Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH BUDAYA BANGSA

PENGARUH EKONOMI, POLITIK, SOSIAL BUDAYA DALAM


PELAYANAN FISIOTERAPI

DOSEN PENGAMPU:

DWI AGUSTINA, SKM, MSC

OLEH :

KELOMPOK 1

POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III

JURUSAN FISIOTERAPI

2019/2020

1
Anggota kelompok 1 :

1. Ammellya Putri Hanindra Halim (P3.73.26.1.19.001)


2. Ananda Nurfitri Arifiantie (P3.73.26.1.19.002)
3. Baskoro Teguh Mujianto (P3.73.26.1.19.009)
4. Bimo Kholifah Utomo (P3.73.26.1.19.010)
5. Dodi Suprianto (P3.73.26.1.19.017)
6. Dzaky Aulia Puspitaningtias (P3.73.26.1.19.018)
7. Laellatul Ummami (P3.73.26.1.19.026)
8. Maria Magdalena (P3.73.26.1.19.027)
9. Nishrina Dzahwan Fadhilah (P3.73.26.1.19.034)
10. Syifa Khairunnisa Sulistianingsih (P3.73.26.1.19.043)
11. Wukir Asih Din Hidayati (P3.73.26.1.19.047)
12. Zahra Athiyya (P3.73.26.1.19.049)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmatNya maka kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengaruh Ekonomi, Politik,
Sosial Budaya Dalam Pelayanan Fisioterapi” dengan mengambil contoh kasus, yaitu
Dampak Aturan Baru BPJS Kesehatan: 186 RS Setop Fisioterapi. Makalah ini kami
buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Budaya Bangsa.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi. Selain itu, kami mengucapkan banyak terimakasih
kepada banyak pihak yang sudah membimbing dalam menyelesaikan tugas ini.

Demikian yang bisa kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf,
semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan pemikiran, manfaat dan wawasan
yang lebih kepada semua pihak mengenai materi kami. Kami berharap adanya kritik dan
saran demi penyempurnaan makalah ini. 

Bekasi, 18 Oktober 2020

Penulis

3
Kasus : Dampak Aturan Baru BPJS Kesehatan: 186 RS Setop Fisioterapi

jpnn.com, JAKARTA - Dampak aturan baru BPJS Kesehatan sudah mulai dirasakan.


Ada 186 rumah sakit yang memiliki layanan fisioterapi untuk pasien BPJS Kesehatan,
mulai kemarin pukul 18.00 berhenti melayani.

Sejak Kamis lalu (26/7) ikatan fisioterapi Indonesia (IFI) mengintruksinya anggotanya
untuk tidak melakukan pelayanan fisioterapi bagi pasien BPJS Kesehatan. Layanan
tersebut berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan.

Ketua IFI Pusat M Ali Imron mengatakan bahwa surat yang dia tanda tangani itu untuk
memberikan imbauan kepada anggotanya dalam menyikapi Perdiyan (Peraturan
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan) BPJS Kesehatan no 5/2018. Dia mengatakan
bahwa BPJS Kesehatan seolah ingin menghilangkan layanan fisioterapi. “Di situlah
ketersesatan terjadi. Potensi Froud besar,” ungkapnya.

Tidak mencukupinya jumlah dokter rehab medis di tanah air, menurut Imron, membuat
kecurangan terjadi. Dia pernah menemui satu dokter rehab medis di Jakarta yang
memiliki lima tempat praktek.

“Datang hanya tanda tangan blanko BPJS,” tuturnya kemarin (27/7) saat dihubungi
Jawa Pos. Padahal untuk rumah sakit tipe C, biaya jasa dokter spesialis sekitar Rp
140.000.

Dia mengatakan bahwa menurut peraturan Menteri Kesehatan no 65 tahun 2015, dalam
pelayanannya dokter spesialis yang merasa pasiennya membutuhkan layanan fisioterapi
akan merujuk langsung. Yang mengerjakan pun para terapi. “Namun BPJS Kesehatan
mengharuskan untuk merujuk ke dokter rehab medis,” ujarnya.

Dia mencontohkan pasien stroke yang ditangani oleh spesialis saraf. Saat di rumah sakit
dan pasien dirasa membutuhkan terapi karena belum bisa bergerak, maka yang akan
menangani adalah terapis dari fisioterapi.

Lalu ketika pasien sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan transisi untuk
kekehidupan sosialnya, maka di situlah peran dokter rehab medis. ”Misal saat ke kantor
tidak bisa karena kantornya menggunakan tangga, itu peran dokter rehab,” ungkapnya.

4
“Seharusnya kalau BPJS mau melakukan efisiensi, jangan seperti ini,” ungkapnya. Hal
itu bertentangan dengan logika klinis. Peraturan baru BPJS Kesehatan, menurut Imron
justru bukan solusi untuk melakukan efisiensi. ”Para medis itu mengobati dengan
kondisi apapun. Bukan karena punya atau tidak punya uang,” imbuhnya.

Imron juga mengomentari terkait pembatasan layanan fisioterapi. Dalam Perdiyan no


5/2019, layanan fisioterapi diberikan dua kali seminggu atau maksimal delapan kali
dalam satu bulan. Imron mengibaratkan layanan fisioterapi itu seperti pemberian obat.
”Kalau dosis yang diberikan di bawah yang ditentukan, maka sakitnya semakin
panjang,” ungkapnya.

Sejak program jaminan kesehatan nasional digulirkan, Imron mengatakan bahwa


lembaganya tidak pernah diajak bicara. Termasuk pada saat Perdiyan nomor 5/2018
dikeluarkan. ”Mungkin karena menganggap bahwa fisioterapi itu dibawah dokter
spesialis rehab medik,” ungkapnya. (lyn)

5
Analisis Kejadian

Jenis tindakan : pengaruh sosial dan budaya

Dalam artikel tersebut dapat diidentifimasi bahwa adanya pengurangan jumah


fasilitas fisioterapi dalam pemberian layanan kesehatan pasien BPJS. Dalam perubahan
pertauran BPJS yang terjadi pada tahun 2018, BPJS mengklaim akan menjamin
pelayanan rehabilitasi medik dan fisioterapi, namun dengan kriteria frekuensi maksimal
dua kali seminggu atau 8 kali sebulan. Pembatasan ini tentu akan menyulitkan pasien
rehabilitasi medik. Ketika intensitas pelayanan dikurangi, tentu akan memperlambat
proses penyembuhan.

Tidak hanya pemangkasan jumlah waktu kunjungan pasien untuk mendapatkan


layanan fisioterapi, keharusan pasien untuk berobat ke dokter rehabilitasi medik
sebelum fisioterapi juga dinilai menghambat proses penyembuhan. Hal ini juga
bertentangan pada UU Nomor 35 Tahun 2004 pasal 57 butir pertama yang berbunyi, ‘
tenanga kesehatan dala menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profrsi, standar pelayanan profesi,
dan standar prosedur operasional’ . Dengan adanya peraturan baru BPJS, fisioterapi
kehilangan pilihan untuk memilih apa yang terbaik bagi pasien berdasarkan
keilmuannya dikarenakan adanya kesenggangan pendapat dari dokter rehabilitasi medik
dan juga standar fisioterapi yang memungkinkan apabila fisioterapis mengikuti aturan
BPJS maka fisioterapis sendiri akan melawan standar fisioterapis. dalam kasus ini,
adanya perubahan peraturan BPJS teranggap seolah ingin menghilangkan layanan
fisioterapi.

Ditinjau dari poin wujud kebudayaan, kasus tersebut berkaitan dengan poin
kelakuan berpola dari masyarakat. Ditinjau dari poin ini, kasus tersebut menggambarkan
bahwa masih terdapat tenaga kesehatan ataupun masyarakat yang menganggap bahwa
tindakan yang dilakukan dokter rehabilitasi lebih penting daripada tindakan rehabilitasi
lanjutan yang diberikan fisioterapi. Hal ini tak jarang terjadi, terkadang titel ‘dokter’
menjadi doktrin superior tersendiri di kepala kebanayakan orang. Seorang dengan titel
dokter dianggap dapat menyembuhkan berbagai penyakit, padahal untuk melakukan
suatu tindakan penyembuhan terhadap pasien, dokter pun tidak seorang diri dan tetap

6
membutuhkan bantuan dari tenaga kesehatan lain, termasuk fisioterapi dalam lingkup
rehabilitasi pasien. Sehingga tindakan masyarakat terlebih lagi pada masyarakat awam
yang terpola adalah menganggap seorang tennaga kesehatan adalah seorang dokter.
Apabila ditinjau dari segi tenaga kesehatan, tindakan fisioterapi seringkali
disamaratakan dengan dokter rehabilitasi, sehingga dengan ini banyak yang
menganggap bahwa hanya dengan pemberian tindakan dari dokter rehabilitasi dirasa
cukup tanpa pemberian tindakann lanjutan oleh fisioterapi.

Hal ini berkertakaitan dengan faktor sosial yang berpengaruh terhadap perilaku
kesehatan pada poin image kelompok, dalam kasus ini menggambarka seolah dokter
rehab medik memiliki peran lebih penting dibandingkan dengan peran fisioterapsi,
padahal fisioterapis pun memiliki peranan yang sama pentingnya untuk untuk
memberikan pelayanan terbaik demi kesehatan pasien. Berdasarkan peraturan baru
BPJS tahun 2018 yang ditetapkan dan jumlah rumah sakit yang memberhentikan
fisioterapi akibat dampak dari perubahan peraturan BPJS sangat mengkhawatirkan bagi
tenaga kesehatan fisioterapi. Maka dengan ini diharapkan rumah sakit dapat mengelola
layanan kesehatannya seoptimal mungkin dengan tenaga kesehatan yang memadai dan
dapat memberikan layanan kesehatan terbaik pada seluruh pasien sesuai dengan hak-
hak nya.

Selain itu, adapun aspek budaya yang memengaruhi status kesehatan dan derajat
kesehatan yang terkait dengan kasus ini adalah Pengaruh sikap ethnocentris : hal ini
menggambarkan ada kadangkala petugas kesehatan merasa lebih berpendidikan maka
tidak melibatkan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan

Adanya pembatasan pelayanan fisioterapi yang merupakan dampak dari perturan


baru BPJS tahun 2018 ini berkaitan dengan HAM, dimana manusia memiliki hak untuk
hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Peraturan terkait dengan terpangkasnya
pelayanan fisioterapi juga bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 tentang Hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan adanya beberapa rumah sakit
memberhentikan tenaga fisioterapi akan berimbas pada hak-hak kemanusiaan tersebut.

7
Terkait dengan adanya pemberhentian layanan dan pemangkasan waktu
pelayanan fisioterapi juga memberikan dampak bagi pasien bpjs yang seharusnya
berhak mendapatkan layanan fisioterapi yang optimal untuk tingkat kesehatan yang
lebih baik.

Maka demikian, untuk mengurangi frekuensi terjadinya kasus serupa dengan


kaus tersebut adalah dengan kemmbali meluruskan perilaku keshatan yang baik dan
benar dengan inovasi-inovasi perubahan pola pikir. Adapun kondisi dasar individu
agara mau merubah perilakunya (GM Foste) adalah dengan :

- Individu harus menyadar kebitihna untuk berubah


- Harus mendapatkan informasi bagaimana kebutuhan ini dipenuhi
- Mengetahui bentuk pelayanan yang dapat memnuhi kebutuhannya

Selanjutnya ditinjau dari segi ekonomi, yaitu bahwa adanya pengurangan jumlah
fasilitas fisioterapi dalam pemberian layanan kesehatan dan pemangkasan frekuensi
kunjungan pelayanan rehabilitatif medik dan fisioterapi dalam perubahan peraturan
BPJS yang terjadi pada tahun 2018. hal ini akan berdampak terhadap pelayanan
fisioterapi, masyarakat, dan juga pendanaan dalam pelayanan fisioterapi. Dengan
berkurangnya jumlah waktu kunjungan pasien untuk mendapatkan layanan fisioterapi
yang di tetapkan oleh BPJS selain akan menghambat proses penyembuhan pasien yang
kurang mampu, juga akan mengurangi jumlah dan minat pasien untuk datang ke
pelayanan fisioterapi, sehingga akan berdampak juga terhadap mengalokasian dan
pendanaan sumber daya dan fasilitas pelayanan fisioterapi dalam kegiatan peningkatan
kesehatan, dan tujuan tujuan lain dalam hal peningkatan kesehatan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Artikel ini telah tayang di JPNN.com dengan judul


"Dampak Aturan Baru BPJS Kesehatan: 186 RS Setop Fisioterapi",
https://m.jpnn.com/news/dampak-aturan-baru-bpjs-kesehatan-186-rs-setop-fisioterapi?
page=2 diakses pada Minggu, 18-10-2020 pukul 18:50.
https://www.ifi.or.id/2018/07/dilema-peraturan-bpjs-kesehatan-bagi.html diakses pada
Senin, 19-10-2020 pukul 07:30.
https://news.detik.com/kolom/d-4146005/over-update-kebijakan-bpjs-kesehatan diakses
pada Senin, 19-10-2020 pukul 07:50.
http://www.jamsosindonesia.com/document/download/267/peraturan-direktur-jaminan-
pelayanan-kesehatan-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-kesehatan-nomor-05-tahun-
2018-tentang-penjaminan-pelayanan-rehabilitasi-medik-dalam-program-jaminan-
kesehatan diakses pada Senin, 19-10-2020 pukul 08:40.

Anda mungkin juga menyukai