Kontributor
Achyar, dkk
Editor
Radityo Prakoso, dkk
Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR
Kontributor
dr. Achyar, SpJP (K), FIHA
dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA
dr. Agus Harsoyo, SpJP(K), FIHA
dr. Agus Subagyo, SpJP(K), FIHA
dr. Afdallun A. Hakim, SpJP (K), FIHA
dr. Budi Bhaktijasa Dharmadjati, SpJP(K), FIHA
dr. Erika Maharani, SpJP(K) FIHA
dr. Endang Ratnaningsih, SpJP (K), FIHA
dr. Farial Indra, SpJP(K), FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP FIHA
dr. Liliek Murtiningsih, SpJP(K), FIHA
dr. Made Satria, SpJP FIHA
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Reza Octavianus, SpJP, FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Santoso Karo - Karo SpJP(K), FIHA
dr. Samuel Sudanawijaya, SpJP(K), FIHA
dr. Tantani Sugiman, SpAn-KIC, MKes
Editor
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP, FIHA
dr. Made Satria, SpJP, FIHA
dr. Dian Aris Priyanti
dr. Tamara Ey Firsty
ISBN
978-602-7885-94-3
Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021
ii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat-
Nya maka buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar (BHJD) dapat diselesaikan.
Buku ini merupakan buku pedoman untuk pelatihan Basic Cardiac Life Support (BCLS) di
seluruh Indonesia. Diharapkan bahwa buku ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi
peserta pelatihan BCLS serta dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kepada seluruh tim Instruktur BCLS yang menjadi kontributor dan telah bersusah payah
menyusun buku ini, Pengurus Pusat PERKI mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya.
Buku pedoman pelatihan BCLS ini akan terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai
dengan perkembangan ilmu kardiologi.
Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
Dr. dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI
Ketua Umum PP PERKI
iii
Daftar Isi
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I
TINJAUAN BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR
A. Pendahuluan
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini masih merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia. Setiap tahunnya di dunia diperkirakan semakin banyak
orang yang meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah jika dibandingkan
dengan penyakit lainnya. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler meningkat 46% dari
tahun 1990 hingga tahun 2013. Pada survei global tahun 2013, penyakit jantung koroner
merupakan 15% dari penyebab kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2030, WHO
memperkirakan terjadi 23,6 juta kematian karena penyakit jantung dan pembuluh darah.
Asia Tenggara juga diprediksi merupakan daerah yang mengalami peningkatan tajam
angka kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah.
Manifestasi komplikasi penyakit jantung dan pembuluh darah yang paling sering
diketahui dan bersifat fatal adalah kejadian henti jantung mendadak. Sampai saat ini,
kejadian henti jantung mendadak merupakan penyebab kematian tertinggi di Amerika
dan Kanada. Walaupun angka insiden belum diketahui secara pasti, akan tetapi pihak
Pusat Pengendalian Pencegahan dan Kontrol Penyakit Amerika Serikat memperkirakan
sekitar 330.000 orang meninggal karena penyakit jantung koroner di luar rumah sakit atau
di ruang gawat darurat. 250.000 diantaranya meninggal di luar rumah sakit. Di Indonesia
sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, hanya
disebutkan prevalensi nasional penyakit jantung semua umur sebesar 1,5% dan
meningkat seiring bertambahnya usia, namun angka kejadian henti jantung mendadak
belum didapatkan.
Sebagian besar kejadian henti jantung mendadak yang terdokumentasi
memperlihatkan irama ventricular fibrillation (VF). Untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, terutama jika henti jantung mendadak tersebut disaksikan, harus secepatnya
dilakukan tindakan bantuan hidup jantung dasar (BHJD). Berdasarkan penelitian, BHJD
akan memberikan hasil yang paling baik jika dilakukan dalam waktu 5 menit pertama saat
pasien diketahui tidak sadarkan diri dengan menggunakan automated external
defibrillator (AED). Umumnya karena waktu yang ditempuh setelah dilakukan permintaan
tolong awal dengan jarak antara sistem pelayanan kegawatdaruratan medis serta lokasi
kejadian akan memakan waktu lebih dari 5 menit, maka untuk mempertahankan angka
7
keberhasilan yang tinggi, tindakan BHJD bergantung terhadap pelatihan umum.
Keberhasilan kejut jantung menggunakan defibrilasi akan menurun antara 7-10% per
menit jika tidak dilakukan tindakan BHJD. Sebagai konsekuensi, semakin lama waktu yang
diperlukan untuk melakukan tindakan kejut jantung pertama kali, maka akan semakin
kecil peluang keberhasilan tindakan tersebut. Tindakan BHJD secara definisi merupakan
layanan kesehatan dasar yang dilakukan terhadap pasien yang menderita penyakit yang
mengancam jiwa sampai pasien tersebut mendapat pelayanan kesehatan secara
paripurna. Tindakan BHJD umumnya dilakukan oleh paramedis, namun di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Kanada, serta Inggris, dapat dilakukan oleh kaum awam
yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya.
Tindakan BHJD secara garis besar dikondisikan untuk keadaan di luar rumah sakit
sebelum mendapat perawatan lebih lanjut, sehingga tindakan BHJD dapat dilakukan di
luar rumah sakit tanpa menggunakan peralatan medis Tindakan BHJD bukan merupakan
satu jenis keterampilan tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak
terputus antara pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam pertolongan.
Keberhasilan pertolongan yang dilakukan, ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan
tindakan awal BHJD, membuat para ahli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu
tindakan BHJD yang efektif serta melatih sebanyak mungkin orang awam dan paramedis
yang dapat melakukan tindakan tersebut secara baik dan benar. Oleh karena itu pula,
hampir rata-rata di setiap negara maju memiliki standar tindakan BHJD masing-masing.
Secara umum, pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam tindakan BHJD
merupakan satu rantai tak terputus, disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of
survival), yang akan dibahas lebih lanjut.
Cakupan yang dipelajari dalam Pelatihan Bantuan Hidup Jantung Dasar:
• Mengetahui peran utama petugas kesehatan dalam masyarakat dalam
menangani kasus-kasus kegawatdaruratan kardiovaskular serta pentingnya
rantai kelangsungan hidup (chain of survival)
• Tatalaksana pertolongan pada obstruksi jalan nafas karena benda asing
• Mempelajari teknik penggunaan AED pada penderita VF
• Mempelajari pertolongan pertama pada anak dan dewasa dalam kondisi-
kondisi khusus (tenggelam, tersengat listrik, dll)
• Faktor keamanan bagi penderita dan penolong saat pertolongan dilakukan
8
B. Komponen Pelaksana Bantuan Hidup Jantung Dasar
Berdasarkan data statistik di Amerika Serikat didapatkan 330.000 penderita yang
meninggal karena penyakit jantung koroner, 250.000 diantaranya terjadi di luar rumah
sakit. Sehingga pada praktek sehari-hari, kita mendapatkan dua komponen utama yang
berperan sangat penting untuk menjamin pelaksanaan BHJD di luar rumah sakit. Kedua
komponen tersebut adalah: yang pertama adalah kaum awam, dan komponen kedua
adalah paramedik sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan BHJD di masyarakat
sebelum mendapatkan pelayanan bantuan hidup lebih lanjut. Untuk menjaga mutu para
pelaksana bantuan, baik dari kaum awam ataupun dari paramedik, sudah pasti diperlukan
satu pelatihan BHJD yang terintegrasi serta komprehensif.
Mengingat pentingnya BHJD dalam memperbaiki kelangsungan hidup manusia, di
beberapa negara maju, pelatihan BHJD bahkan sudah diajarkan di dalam pendidikan
sekolah oleh guru sekolah yang telah mendapat pelatihan awal dari tenaga medis yang
kompeten pada murid mulai umur 10-12 tahun dengan hasil yang baik dengan
menggunakan metode yang standar.
Bantuan hidup jantung dasar, sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat
awam bahkan di Indonesia dengan nama resusitasi jantung paru (RJP). Program
pelatihannya bersifat sangat bisa diajarkan ke masyarakat, terbuka, tidak memandang
jenis kelamin ataupun umur. Dalam pelaksanaan pelatihan program BHJD, diharapkan
mencakup faktor risiko penyakit jantung koroner, pencegahan primer serta mengetahui
atau mengenali tanda-tanda orang yang sedang terkena serangan jantung. Bahkan lebih
diharapkan lagi jika peserta juga benar-benar mengetahui bahwa penyakit jantung
koroner, stroke serta beberapa penyakit pengerasan pembuluh darah berkaitan dengan
perilaku hidup yang tidak sehat seperti pola nutrisi, merokok, stres, dan aktivitas fisik yang
rendah.
Dalam melaksanakan BHJD, kita mengenal istilah penolong utama (emergency first
responder) antara lain polisi, petugas pemadam kebakaran serta petugas keamanan
lainnya. Jikalau memungkinkan, mereka diberikan pelatihan supaya mampu menolong
orang dewasa maupun anak, serta mampu mengoperasikan AED. Selain itu, program
pelatihan BHJD dapat diberikan kepada tempat bekerja dengan risiko tinggi, atau
terhadap keluarga yang memiliki risiko tinggi terkena serangan jantung (pasien dengan
penyakit jantung dan aritmia berbahaya).
9
C. Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskular
Dalam pelayanan terhadap penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, sistem
pelayanan kegawatdaruratan kardiovaskular merupakan satu sistem yang digunakan
untuk pengenalan tanda-tanda terkena serangan jantung dan stroke, bagaimana
mengaktifkan sistem layanan gawat darurat, mencegah komplikasi, resusitasi jantung
paru sesegera mungkin, serta penggunaan automatic external defibrillator pada
penderita henti jantung, setelah penderita menjadi stabil, sesegera mungkin ditransfer ke
rumah sakit dengan fasilitas pelayanan kardiovaskular yang lebih lengkap.
Terminologi pelayanan kardiovaskular yang dimaksud dalam pelayanan
kegawatdaruratan kardiovaskular juga mencakup kasus-kasus mengancam jiwa, seperti
obstruksi benda asing, tenggelam, tersengat listrik, trauma, dan hipotermia. Pertolongan
juga mencakup neonatus dan pediatri. Namun kebanyakan pada pediatri atau neonatus,
penyakit primer bukan terletak pada jantung maupun otak.
Transportasi kegawatdaruratan tanpa usaha mempertahankan kehidupan tidak
termasuk pelayanan kegawatdaruratan kardiovaskular (emergency cardiovascular care),
walau kita sudah mengetahui bahwa transportasi merupakan faktor yang penting bagi
pelayanan kegawatdaruratan.
10
3. Penekanan bantuan kompresi dada yang kontinu dalam melakukan resusitasi
jantung paru oleh tenaga yang tidak terlatih
4. Perubahan urutan pertolongan BHJD dengan mendahulukan kompresi sebelum
melakukan pertolongan bantuan nafas (Circulation – Airway – Breathing)
5. Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif dilakukan sampai didapatkan
kembalinya sirkulasi spontan atau penghentian upaya resusitasi
6. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang baik
7. Penyederhanaan Algoritme BHJD.
Pada bulan Oktober 2015 telah dilakukan revisi terhadap pedoman BHJD oleh
American Heart Association, namun revisi tersebut tidak mengubah dasar-dasar panduan
hidup dasar sebelumnya.
Komponen yang harus dikuasai sebelum melakukan BHJD adalah pengetahuan untuk
menilai keadaan pasien, teknik penilaian pernafasan yang baik serta pemberian ventilasi
buatan yang baik dan benar, dilanjutkan dengan teknik kompresi dada yang baik serta
frekuensi kompresi yang adekuat, serta penggunaan automated external defibrillator jika
memang tersedia. Selain komponen pengetahuan serta teknik yang telah disebutkan
diatas, para penolong pertama yang melakukan BHJD juga harus menguasai teknik
mengeluarkan obstruksi jalan nafas karena sumbatan benda asing.
Apabila kita dapat melakukan BHJD dengan baik dan tepat, maka kita dapat
mengharapkan bahwa :
1. Henti jantung dapat dicegah dan transpor dapat cepat dilaksanakan
2. Fungsi jantung paru dapat diperbaiki dengan menggunakan AED dan kompresi
3. Otak dapat dijaga dengan baik karena suplai darah ke otak dapat terpelihara
selama dilakukan bantuan sampai bantuan lanjutan tiba.
Dalam pelatihan ini, akan diajarkan BHJD menggunakan rekomendasi yang dikeluarkan
oleh American Heart Association (AHA) tahun 2020 dimana terjadi beberapa update dari
algoritma 2015. Beberapa diantaranya:
• Obat epinephrine dapat diberikan lebih awal pada irama non shockable
• Algoritma rantai kelangsungan hidup ditambah menjadi 6 langkah
• Tatalaksana henti jantung pada ibu hamil dibuat lebih rinci
• Tatalaksana henti jantung serta kasus kegawatdaruratan jantung pada anak
dibuat bab tersendiri
11
• Terdapat penambahan pada algoritma ROSC
Pada kejadian henti jantung di dalam RS (IHCA), rantai kelangsungan hidup terdiri dari:
1. Pengawasan dan pencegahan
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya henti
jantung pada pasien di RS, misalnya:
- Telemetri EKG
- Sistem sensor tanda vital (tekanan darah, laju jantung, laju nafas, saturasi
oksigen)
- Sistem skoring yang dibuat berdasarkan beberapa parameter seperti data
laboratorium atau kriteria klinis
12
- Pembentukan tim reaksi cepat, misalnya tim kode biru
2. Aktivasi sistem gawat darurat
Pada saat terjadi henti jantung, RS memiliki sistem untuk mengaktifkan tim reaksi
cepat (kode biru). Terdapat tim yang siap 24 jam yang memiliki kompetensi dan
pengalaman yang cukup dalam melakukan resusitasi jantung paru.
3. Resusitasi jantung paru segera
4. Defibrilasi segera
5. Penanganan pasca henti jantung yang terintegrasi
6. Pemulihan pasca henti jantung
Pemulihan pasca henti jantung dilakukan dengan rehabilitasi baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Edukasi pemulihan pasca henti jantung dilakukan tidak
hanya pada pasien namun juga keluarga pasien pasca henti jantung.
Rantai kelangsungan hidup di luar rumah sakit (OHCA= Out Hospital Cardiac Arrest)
memiliki enam komponen utama yaitu :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (early
access)
2. Resusitasi Jantung Paru segera (early CPR)
3. Defibrilasi segera (early defibrillation)
4. Perawatan kardiovaskular lanjutan yang efektif (effective ACLS)
5. Penanganan pasca henti jantung yang terintegrasi (integrated post cardiac arrest
care)
6. Pemulihan pasca henti jantung
13
Pengenalan awal Aktivasi RJP kualitas Perawatan pasca
Defibrilasi Pemulihan
dan pencegahan respon darurat tinggi henti jantung
Rantai Pertama: Pengenalan Kejadian Henti Jantung dan Aktivasi Sistem Gawat Darurat
Segera
Pengenalan tanda-tanda kegawatan secara dini, seperti keluhan nyeri dada atau
kesulitan bernafas yang menyebabkan penderita mencari pertolongan atau penolong
menghubungi layanan gawat darurat memegang peranan awal yang penting dalam rantai
ini. Apabila ditemukan kejadian henti jantung, maka lakukan hal sebagai berikut:
1. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
2. Informasikan segera kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang
dewasa atau sekitar satu menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi
dan anak
3. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
4. Identifikasi tanda henti jantung atau henti nafas
14
Kompresi dada dilakukan segera jika penderita mengalami keadaan henti jantung
dan/atau henti nafas. Kompresi dada sendiri dilakukan dengan melakukan tekanan
dengan kekuatan penuh serta berirama di setengah bagian bawah dari tulang dada.
Tekanan ini dilakukan untuk mengalirkan darah serta menghantarkan oksigen ke otak
serta miokardium. Pernafasan bantuan dilakukan setelah melakukan kompresi dada
dengan cara memberikan nafas dalam waktu satu detik serta mencukupi volume tidal dan
diberikan 2 kali setelah dilakukan 30 kompresi. Untuk kasus trauma, tenggelam dan
overdosis pada dewasa atau anak, sebaiknya penolong melakukan bantuan RJP selama 1
menit sebelum menghubungi sistem gawat darurat.
15
dan 2015 memperkenalkan kepentingan pelayanan sistematis dan penatalaksanaan
multispesialistik bagi pasien setelah mengalami kembalinya sirkulasi secara spontan
(Return of Spontaneous Circulation=ROSC).
F. Kesimpulan
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan BHJD adalah:
pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP segera serta
defibrilasi segera.
Tindakan tersebut harus dilakukan oleh orang di sekitar yang paling dekat jika
menyaksikan seseorang tidak sadarkan diri secara mendadak. Tidak seperti mitos yang
sering kita dengar, untuk kondisi pasien seperti di atas, RJP merupakan tindakan yang
tidak berbahaya. Lebih berbahaya bagi pasien jika penolong tidak bertindak apa-apa.
Kualitas RJP harus kita perhatikan, kompresi dada harus dikerjakan dengan baik
melalui menekan cepat dan kuat di bagian tengah dari dinding dada. Petugas kesehatan
memegang peranan yang penting dalam perkembangan sistem pelayanan
kegawatdaruratan kardiovaskular (emergency cardiovascular care system) serta
pendidikan kepada masyarakat dan tampilan BHJD (performance of BLS) pada berbagai
situasi klinis.
16
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. ECC Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
3. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M.
F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
4. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
5. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
6. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
7. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
8. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
17
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN,
KARDIOVASKULAR, DAN SEREBROVASKULAR
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pernafasan
• Mengetahui anatomi sistem kardiovaskular
• Mengetahui fisiologi jantung
• Mengetahui anatomi sistem serebrovaskular dan sirkulasi otak
• Mengetahui hubungan pernapasan, jantung, dan otak
A. Pendahuluan
Pengenalan dan pemahaman yang baik terhadap anatomi serta fisiologi sistem
pernapasan, kardiovaskular, serta serebrovaskular akan membantu pelaksanaan secara
optimal BHJD, baik untuk orang awam dan terlebih lagi untuk tenaga kesehatan.
Pengetahuan anatomi serta fisiologi membantu penolong dapat mengurangi efek
samping yang dapat terjadi pada penolong maupun penderita saat pelaksanaan BHJD.
B. Sistem Pernapasan
Anatomi sistem pernapasan terbagi menjadi 4 komponen, yaitu:
1. Saluran napas sebagai tempat masuknya udara luar ke dalam tubuh manusia
di dalam paru-paru
3. Komponen neuromuskular
Saluran pernapasan terbagi menjadi dua: saluran napas atas dan saluran napas bawah.
Bagian atas terdiri dari hidung, mulut, faring dan laring. Bagian bawah terdiri dari trakea,
bronkus, bronkiolus, dan berakhir di alveoli.
18
Faring Tenggorokan Nasofaring
Lidah
Esofagus
Laring
Trakea
Paru
19
kekurangan oksigen. Untuk mempertahankan keseimbangan, tubuh mengubah sistem
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik dengan hasil samping adalah asam laktat.
Jika proses tersebut terjadi dalam jumlah besar akan terjadi asidosis metabolik.
Sebaliknya, jika sistem pernapasan mengalami kegagalan, maka pengeluaran
karbondioksida dari dalam tubuh akan mengalami gangguan. Keadaan tersebut akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan gas karbon dioksida (hiperkarbia), sehingga
darah menjadi asam yang disebut asidosis respiratorik.
Ruang-ruang jantung terbagi menjadi 4 bagian: 2 ruang atrium dan 2 ruang ventrikel.
Jantung bagian kanan menerima darah yang mengandung banyak karbondioksida dari
seluruh tubuh yang akan dibawa ke paru untuk pertukaran gas di alveoli. Setelah terjadi
20
pertukaran, darah akan kembali ke jantung bagian kiri melalui vena pulmonalis menuju
atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri sebelum dipompakan ke seluruh tubuh.
Katup-katup jantung membatasi ruang-ruang atrium dengan ventrikel dan ventrikel
dengan pembuluh darah besar seperti aorta dan arteri pulmonalis. Katup-katup ini
berguna untuk mempertahankan supaya arah aliran darah tetap menuju distal dan tidak
kembali ke proksimal. Transportasi darah menuju ruang-ruang jantung menggunakan
kontraksi otot jantung, baik di atrium maupun ventrikel. Untuk memenuhi kebutuhan
metabolismenya, otot jantung mendapat pendarahan dari arteri koroner. Arteri koroner
terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri.
E. Fisiologi Jantung
Jantung berfungsi untuk memompa darah ke paru serta ke seluruh tubuh. Pembuluh
darah arteri dan vena berperan sebagai pipa penyaluran darah dari jantung. Pertukaran
gas karbondioksida serta oksigen dalam darah terjadi di alveoli dengan perantaraan
pembuluh darah kapiler.
Untuk pernapasan tingkat sel, pertukaran gas karbondioksida serta oksigen terjadi di
mitokondria secara terus-menerus, dan diteruskan ke dalam darah sebelum terjadi
pertukaran di alveolus.
Jantung memiliki fungsi sebagai pompa ganda. Pompa pertama jantung yaitu jantung
bagian kanan, menerima darah dari seluruh tubuh dengan kandungan terbanyak karbon
21
dioksida. Kemudian darah tersebut dipompakan melalui ventrikel kanan menuju paru-
paru untuk melakukan pertukaran gas secara difusi di alveolus. Setelah dari alveolus,
darah yang memiliki kandungan oksigen yang lebih banyak dibawa kembali menuju jantung
melalui vena pulmonalis menuju atrium kiri, masuk ke ventrikel kiri dan selanjutnya
dipompakan ke seluruh tubuh dan arteri koroner.
Jantung dewasa dalam keadaan istirahat berdenyut antara 60-100 kali per menit. Dalam
tiap denyutannya, jantung memompakan darah sekitar 70 ml, sehingga darah yang
dipompakan jantung adalah sekitar 5 liter per menit. Bila melakukan latihan, jantung bisa
memompakan darah sampai 37 liter per menit. Total volume darah individu dengan berat
sekitar 70 kg adalah 6 liter. Darah dipompakan keluar dari jantung melalui kontraksi
miokardium yang diawali dengan cetusan listrik secara alami di nodus sinoatrial (SA Node)
yang diteruskan menuju nodus atrioventrikular (AV Node) dan dihantarkan menuju
serabut Purkinje melalui berkas His sebelum menggerakkan miokardium untuk
memompakan darah keluar dari jantung. Frekuensi denyut jantung dapat dipengaruhi
oleh latihan yang rutin, rangsangan sistem saraf dari otak, zat-zat hormonal dalam darah,
atau obat-obatan yang bersifat merangsang atau menghambat sistem pacu jantung dan
hantaran listrik jantung.
F. Sistem Serebrovaskular
Anatomi Sistem Serebrovaskular
Susunan sistem saraf pusat terdiri dari otak besar (serebrum), otak kecil (serebelum),
batang otak, dan susunan saraf spinal. Bagian otak yang memiliki peranan besar dalam
sistem saraf adalah serebrum yang mengendalikan hampir sebagian besar kegiatan
sensorik dan motorik tubuh. Serebrum terbagi menjadi dua hemisfer yang dikenal dengan
hemisfer kiri dan kanan. Setiap hemisfer terdiri dari beberapa lobus yaitu lobus anterior,
medial, parietal, temporal, dan oksipital. Masing-masing hemisfer mengatur dan
mengontrol bagian yang berbeda dari tubuh. Secara garis besar, hemisfer kiri
mengendalikan tubuh sebelah kanan dan hemisfer kanan mengendalikan tubuh sebelah
kiri. Batang otak yang terletak di antara otak besar dan susunan saraf spinal memiliki
beberapa jaras (traktus) yang menghubungkan antara otak besar, otak kecil, dan saraf
spinal. Keistimewaan batang otak adalah merupakan pusat pengendali saraf otonom
(saraf yang berdiri sendiri), contohnya adalah pusat pernapasan (pernapasan) dan
peredaran darah (sirkulasi).
22
Sirkulasi pada Otak
Otak merupakan bagian tubuh yang paling banyak memerlukan oksigen untuk
aktivitasnya, sehingga diperlukan suplai darah kaya oksigen secara konstan. Apabila
terjadi gangguan aliran darah menuju otak, atau bahkan jika berhenti total, maka akan
terjadi kerusakan jaringan otak yang mungkin bisa menimbulkan kematian. Pembuluh
darah yang memperdarahi otak terbagi menjadi dua. Arteri karotis kanan dan kiri
memperdarahi 80% bagian otak, sedangkan 20% diperdarahi oleh arteri vertebralis kanan
dan kiri. Kedua arteri ini bertemu membentuk lingkaran yang disebut sirkulus Willisi yang
membuat seluruh bagian otak tersuplai darah.
Kerusakan jaringan otak menyebabkan penurunan fungsi bagian yang terkena.
Sebaliknya, bagian otak yang tidak mengalami kerusakan akan tetap berfungsi secara
normal. Keadaan yang mengganggu metabolisme seperti henti jantung akan
mempengaruhi sel-sel otak. Penderita mungkin akan kehilangan kesadaran, tidak
merasakan rangsang atau nyeri, tidak dapat bergerak, dan kehilangan kontrol terhadap
pernapasan. Saat terjadi henti jantung, semua sel tubuh akan terpengaruh, demikian juga
sel-sel otak.
23
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
3. ECC Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013).
Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review.
Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the
art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8
7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M.
F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
24
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
25
BAB III
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Menjelaskan anatomi sistem hantaran dan konduksi listrik pada jantung
• Menjelaskan gambaran elektrokardiogram normal
• Melakukan interpretasi elektrokardiogram
• Mengenali irama henti jantung pada elektrokardiogram
• Mengenali irama non henti jantung pada elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman potensial listrik yang timbul akibat aktivitas
jantung. Yang dapat direkam adalah potensial-potensial listrik yang timbul pada waktu
otot-otot jantung berkontraksi. Meskipun potensial listrik yang timbul akibat depolarisasi
satu sel otot jantung sangat kecil, tetapi depolarisasi sejumlah besar otot jantung yang
memiliki posisi sejajar secara bersamaan dapat menimbulkan potensial listrik yang dapat
terukur dari luar tubuh dalam ukuran milivolt. Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas
yang berjalan dengan kecepatan standar 25mm/detik dan defleksi 10 mm sesuai dengan
potensial 1mV.
atrium kiri
atrium kanan
serambi kanan
fasikulus
anterior
fasikulus
nodus AV posterior
bilik kanan
26
A. GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM NORMAL
Gambaran EKG normal menunjukan bentuk dasar sebagai berikut:
1. Gelombang P
Gelombang ini merupakan hasil depolarisasi atrium kanan dan kiri.
2. Segmen PR
Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan gelombang P dengan
kompleks QRS.
3. Kompleks QRS
Kompleks QRS adalah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasil depolarisasi
ventrikel kanan dan kiri. Kompleks QRS pada umumnya terdiri dari gelombang Q yang
merupakan gelombang defleksi negatif pertama, gelombang R yang merupakan
gelombang defleksi positif pertama dan gelombang S yang merupakan gelombang
defleksi negatif pertama setelah gelombang R.
4. Segmen ST
Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan kompleks QRS dan
gelombang T.
5. Gelombang T
Gelombang T merupakan repolarisasi ventrikel kanan dan kiri.
6. Gelombang U
Gelombang ini berukuran kecil dan sering tidak ada. Asal gelombang ini masih belum
jelas. Gelombang yang merupakan hasil repolarisasi atria sering tak dapat dikenali,
karena berukuran kecil dan biasanya terbenam dalam gelombang QRS.
B. Interpretasi Elektrokardiogram
Terminologi
Pada pembuatan elektrokardiogram, maka rekaman harus diawali dengan kalibrasi,
yaitu satu atau lebih defleksi yang sesuai dengan 1 milivolt (mV). Secara standar, defleksi
10 mm sesuai dengan 1 mV. Kecepatan kertas perekam secara standar adalah 25
mm/detik. Garis rekam mendatar tanpa ada potensial listrik disebut garis isoelektrik.
Defleksi yang arahnya ke atas disebut defleksi positif dan yang arahnya ke bawah disebut
defleksi negatif.
27
Interpretasi Elektrokardiogram 12 Sadapan
Gelombang P
Gelombang P adalah defleksi pertama dari siklus jantung, yang menunjukan
depolarisasi atrium. Aktivasi bisa berasal dari pacu jantung fisiologis (nodus SA) atau dari
bagian atrium lain, misalnya nodus AV. Gelombang P bisa positif, negatif, atau bifasik, atau
bentuk lain yang khas. Gelombang P yang menunjukkan irama berasal dari nodus SA
memiliki defleksi positif di sandapan II dan defleksi negatif di aVR.
Kompleks QRS
Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel dan terdiri dari:
• Gelombang Q, yaitu defleksi negatif pertama
• Gelombang R, yaitu defleksi positif pertama. Jika terdapat defleksi positif kedua
disebut gelombang R’
• Gelombang S, yaitu defleksi negatif pertama setelah gelombang R. Jika terdapat
gelombang S kedua disebut S’
QRS monofasik terdiri dari satu defleksi saja, yaitu R jika defleksi positif atau QS jika
defleksi negatif. Untuk defleksi yang lebih dari 5 mm dipakai huruf-huruf besar (Q, R dan
S), sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm dipakai huruf-huruf kecil (q, r dan s).
Gelombang T
Gelombang ini menunjukkan repolarisasi ventrikel. Gelombang T bisa positif, negatif,
atau bifasik.
Gelombang U
Gelombang U adalah gelombang kecil yang mengikuti gelombang T. Gelombang U
biasanya tegak dan paling besar terdapat di V2 dan V3. Sering gelombang U tidak jelas
karena bersatu dengan gelombang T.
28
Gambar 3.2. Bentuk dasar EKG dan nama-nama interval
Nilai normal
Interval P (durasi) : < 0,12 detik
Interval PR : 0,12-0,20 detik
Interval QRS : 0,07-0,10 detik
29
4. Regularitas irama
Regularitas irama dilihat dengan mengukur jarak antara puncak kompleks QRS yang
satu dengan puncak kompleks QRS yang lain. Jika jarak antar tiap puncak kompleks
QRS tetap, maka irama tersebut berarti reguler. Beberapa irama jantung akan
menghasilkan irama yang tidak teratur, misalnya fibrilasi atrium (atrial fibrillation,
AF), multifocal atrial tachycardia (MAT), ventricular tachycardia (VT) polimorfik, dll.
5. Ada atau tidaknya gelombang P
Gelombang P yang normal memiliki defleksi positif bila sandapan diambil di lead II.
Diperhatikan juga apakah gelombang P yang ada memiliki bentuk yang sama.
6. Hubungan antara gelombang P dengan kompleks QRS
Pada irama yang normal, setiap kompleks QRS didahului oleh gelombang P dengan PR
interval tetap. Panjang PR interval normal adalah 0,12-0,2 detik.
1. Fibrilasi Ventrikel
Patofisiologi
Dapat terjadi pada ventrikel dengan daerah miokard normal yang diselingi oleh daerah
miokard iskemik, cedera, atau infark, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pola
depolarisasi dan repolarisasi ventrikel yang tidak sinkron dan kacau. Tanpa adanya
depolarisasi ventrikel yang teratur, ventrikel tidak dapat berkontraksi sebagai satu
kesatuan dan tidak menghasilkan curah jantung (cardiac output). Jantung hanya bergetar
dan tidak memompa darah.
30
• Irama tidak dapat ditentukan; pola naik (puncak) dan turun (palung) yang tajam
• Amplitudo: diukur dari puncak ke palung; biasa digunakan secara subjektif untuk
menggambarkan VF sebagai halus (puncak ke palung 2 sampai < 5mm), medium
atau sedang (5 sampai < 10 mm), kasar (10 sampai < 15), atau sangat kasar (> 15
mm).
Manifestasi Klinis
• Denyut nadi menghilang dengan dimulainya VF. Denyut dapat menghilang
sebelum dimulainya VF bila suatu pertanda lazim bagi VF (VT yang cepat) terjadi
sebelum VF.
• Jatuh pingsan, tidak dapat memberi respon.
• Megap-megap, sangat sulit bernapas, lalu berhenti bernapas.
Etiologi
• Sindroma koroner akut (SKA) yang menimbulkan daerah iskemik pada miokard
• VT stabil hingga tidak stabil, tidak diobati.
• Kompleks ventrikel prematur/premature ventricular complexes (PVCs) dengan
fenomena R-pada-T (R-on-T phenomenon)
• Beberapa obat, ketidakseimbangan elektrolit, atau ketidaknormalan asam-basa
yang memperpanjang periode refrakter relatif
• Perpanjangan QT primer atau sekunder
• Kematian karena listrik (electrocution), hipoksia
31
Bentuk gelombang dengan amplitudo tinggi, yang memiliki berbagai variasi ukuran,
bentuk, dan irama yang menunjukkan aktivitas listrik ventrikel yang kacau. Kriteria EKG
untuk VF adalah sebagai berikut: (1) Kompleks QRS: tidak ditemukan kompleks QRS
normal; tidak terlihat pola “negatif-positif-negatif” QRS yang reguler. (2) Kecepatan: tidak
dapat dihitung; defleksi listrik sangat cepat dan sangat tidak teratur. (3) Irama: tidak ada
pola irama reguler; bentuk gelombang listrik bervariasi dalam ukuran dan bentuk.
32
3. Asistol
Kriteria Penentu Berdasarkan EKG
Secara klasik asistol ditampilkan sebagai suatu garis datar; secara virtual tidak ada kriteria
penentu.
• Kompleks QRS: tidak terlihat defleksi yang konsisten dengan suatu kompleks QRS
Manifestasi Klinis
• Napas megap-megap, sangat sulit bernapas (pada saat awal), lalu berhenti
bernapas; tidak dapat memberikan respon
• Tidak ada denyut nadi
Etiologi
• Akhir dari kehidupan (kematian)
• Iskemia/ hipoksia dari banyak penyebab
• Gagal napas akut (tidak ada oksigen, apnea, asfiksia)
• Kejut listrik tingkat tinggi (kematian karena listrik, tersambar petir)
• Dapat menunjukkan “pingsan jantung” segera setelah defibrilasi (pemberian
kejut untuk mengeliminasi VF), sebelum dimulainya irama spontan
33
D. PENGENALAN IRAMA NON HENTI JANTUNG PADA ELEKTROKARDIOGRAM
Pengenalan Takiaritmia Supraventrikel
1. Takikardia Sinus
Patofisiologi
• Takikardia sinus lebih merupakan tanda fisiologis daripada suatu aritmia atau
kondisi patologis
• Pembentukan dan konduksi impuls normal
Manifestasi Klinis
• Tidak ada yang spesifik untuk takikardia
• Gejala dapat timbul akibat penyebab takikardia (demam, hipovolemia, dll)
Etiologi
• Aktivitas fisik
• Demam
• Hipovolemia
• Stimulasi adrenergik, ansietas
• Hipertiroidisme
34
• Fibrilasi atrium: impuls mengambil jalur yang beraneka ragam, kacau dan acak
melalui atrium
• Flutter atrium: impuls mengambil jalur melingkar mengelilingi atrium, sehingga
menimbulkan gelombang flutter
Flutter Atrium
• Kecepatan
o Kecepatan atrium 220-350 kali per menit
o Respon ventrikel merupakan suatu fungsi blok nodus AV atau konduksi
impuls atrium. Respon ventrikel jarang > 150-180 kali per menit, karena
dibatasi oleh konduksi nodus AV
• Irama
o QRS kompleks dapat teratur/tidak teratur
o Menetapkan rasio terhadap irama atrium, misalnya 2-1 atau 4-1
• Gelombang P: Gelombang flutter dalam pola “gigi gergaji” yang klasik
• PR interval: Tidak dapat diukur
35
• Kompleks QRS: Tetap <0,10-0,12 detik, kecuali bila terdapat gangguan konduksi
melalui ventrikel.
Gambar 3.7. Flutter atrium. Perhatikan gambaran gigi gergaji.
Manifestasi Klinis
• Tanda dan gejala tergantung respon kecepatan ventrikel terhadap gelombang
fibrilasi atrium; “fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat” dapat
ditandai dengan terjadinya dispnea saat aktivitas (dyspnea on effort, DOE), sesak
napas (shortness of breath, SOB), dan terkadang edema paru akut
• Hilangnya kontraksi atrium (atrial kick) dapat menyebabkan penurunan curah
jantung (cardiac output) dan berkurangnya perfusi koroner
• Irama yang tidak teratur sering dirasakan sebagai “palpitasi”
• Dapat tidak menampakkan gejala sama sekali
Etiologi
• Sindroma koroner akut, penyakit pembuluh darah koroner, gagal jantung
kongestif
• Penyakit pada katup mitral atau trikuspid
• Hipoksia, emboli paru akut
• Obat-obatan: digoksin, kuinidin, agonis beta, teofilin, dll
• Hipertensi
• Hipertiroidisme
Patofisiologi
Fenomena masuk kembali (reentry): impuls berdaur ulang berulang kali dalam nodus AV
36
karena terdapatnya sirkuit irama abnormal yang memungkinkan gelombang depolarisasi
berjalan dalam suatu lingkaran. Biasanya depolarisasi berjalan ke depan melalui jalur yang
abnormal dan kemudian berputar kembali melalui jaringan konduksi yang “normal”.
Manifestasi Klinis
• Palpitasi dirasakan pada saat awal serangan, cemas dan tidak nyaman
• Toleransi terhadap aktivitas menurun pada SVT dengan kecepatan yang sangat
tinggi
• Dapat terjadi gejala takikardia yang tidak stabil
Etiologi
• Pada banyak penderita disebabkan jalur konduksi tambahan
• Pada penderita yang termasuk kategori “sehat”, banyak faktor dapat memicu
terjadinya SVT (reentry): kafein, hipoksia, rokok, stres, kurang tidur dan obat-
37
obatan
• Frekuensi SVT meningkat pada penderita yang menderita penyakit pembuluh darah
koroner, penyakit paru obstruktif kronis dan gagal jantung kongestif
38
Manifestasi Klinis
• Secara khas terjadi gejala penurunan curah jantung (ortostasis, hipotensi, sinkop,
keterbatasan aktivitas, dll.)
• VT monomorfik dapat bersifat asimtomatis, walaupun pada umumnya VT yang
berkepanjangan selalu menunjukkan gejala
• VT yang tidak ditangani dan berkepanjangan akan memburuk menjadi VT yang tidak
stabil, seringkali menjadi VF
Etiologi
• Suatu kejadian iskemik akut (lihat Patofisiologi) dengan daerah-daerah iritabilitas
ventrikel yang menyebabkan terjadinya PVC
• PVC yang terjadi selama periode refrakter relatif siklus jantung (fenomena R-pada-
T)
• Interval QT memanjang yang disebabkan oleh obat (antidepresan trisiklik,
prokainamid, digoksin, beberapa antihistamin yang bekerja jangka panjang)
39
Manifestasi Klinis
• Secara khas akan cepat memburuk menjadi VT tanpa denyut atau VF
• Terjadi gejala penurunan curah jantung (ortostasis, hipotensi, perfusi yang buruk,
sinkop, dll.)
• Jarang terjadi VT yang berkepanjangan
Etiologi
• Kejadian iskemik akut (lihat Patofisiologi) dengan daerah-daerah “iritabilitas
ventrikel”
• PVC yang terjadi selama periode refrakter relatif siklus jantung (fenomena R- pada-
T)
• Interval QT memanjang yang disebabkan oleh obat (antidepresan trisiklik,
prokainamid, sotalol, amiodaron, ibutilid, dofetilid, beberapa antipsikotik, digoksin,
beberapa antihistamin yang bekerja jangka panjang)
• Sindroma interval QT panjang herediter
40
• Kecepatan ventrikel: 150-250 kali per menit
• Irama: hanya irama ventrikel reguler
• Gelombang P: tidak ada
• Kompleks QRS menunjukkan pola kumparan nodus yang klasik
B
A
Manifestasi Klinis
• Cenderung memburuk secara tiba-tiba menjadi VT tanpa denyut atau VF
• Gejala yang khas penurunan curah jantung (ortostasis, hipotensi, sinkop, tanda-
tanda perfusi yang buruk, dll.)
• Torsades de pointes yang stabil dan berkepanjangan tidak umum terjadi
• Diatasi dengan defibrilasi energi tinggi
Etiologi
Paling umum terjadi pada penderita dengan interval QT yang memanjang akibat banyak
sebab:
• Obat-obatan: antidepresan trisiklik, prokainamid, solatol, amiodaron, ibutilid,
dofetilid, beberapa antipsikotik, digoksin, beberapa antihistamin yang bekerja
jangka panjang.
• Perubahan elektrolit dan metabolik (hipomagnesemia adalah bentuk dasarnya).
• Sindroma bentuk QT panjang yang diwariskan.
• Kejadian iskemik akut (lihat Patofisiologi).
41
Pengenalan Irama Bradikardia
1. Sinus Bradikardia
Patofisiologi
• Impuls berasal dari nodus SA, frekuensi rendah
• Dapat bersifat fisiologis
• Dapat berupa suatu tanda fisik, seperti pada takikardia sinus
Manifestasi Klinis
• Umumnya tidak menunjukkan gejala (asimtomatis) pada saat beristirahat
• Dengan peningkatan aktivitas dapat menyebabkan timbulnya gejala berupa mudah
lelah, napas tersengal-sengal, pening atau pusing, sinkop, hipotensi
Etiologi
• Dapat normal pada orang dengan kondisi yang baik
• Kejadian vasovagal, seperti muntah, maneuver Valsalva, stimuli rektal, tekanan
yang kurang hati-hati pada sinus karotid ('sinkop alat cukur')
• Sindroma koroner akut yang mempengaruhi sirkulasi ke nodus SA (pembuluh darah
42
koroner kanan); paling sering pada infark miokard akut (IMA) inferior
• Efek samping obat, contohnya penghambat-α, penghambat kanal kalsium,
digoksin, kuinidin
Manifestasi Klinis
Biasanya tidak menunjukan gejala (asimtomatis)
43
Etiologi
• Banyak Blok AV derajat satu disebabkan oleh obat-obatan; biasanya penghambat
nodus AV, penghambat beta, penghambat kanal kalsium non-dihidropiridin dan
digoksin
• Kondisi yang merangsang sistem saraf parasimpatis (contohnya refleks vasovagal)
• Infark miokard akut yang mempengaruhi sirkulasi ke nodus AV (pembuluh darah
koroner kanan); paling sering IMA inferior
44
Gambar 3.12. Atrioventricular blok derajat 2 tipe I (Mobitz I). Perhatikan perpanjangan
interval PR yang progresif hingga satu gelombang P (panah) tidak diikuti oleh kompleks
QRS.
Etiologi
• Zat penghambat nodus AV (AV nodal blocking agents): penghambat-α, penghambat
kanal kalsium non-dihidropiridin, digoksin
• Kondisi yang merangsang sistem saraf parasimpatis
• Sindroma koroner akut yang melibatkan pembuluh darah koroner kanan
45
• Gelombang P: ukuran dan bentuk tetap normal, beberapa gelombang P tidak diikuti
oleh kompleks QRS
• Kompleks QRS: sempit (≤ 0,10 detik), secara tidak langung menyatakan adanya
hambatan tinggi yang relatif terhadap nodus AV; lebar (> 0,12 detik), secara tidak
langsung menyatakan adanya hambatan rendah yang relatif terhadap nodus AV
Etiologi
• Sindroma koroner akut yang melibatkan cabang-cabang pembuluh darah koroner
kiri atau kanan
46
Kriteria Penentu Berdasarkan EKG
Blok AV derajat 3 (lihat Patofisiologi) menyebabkan atrium dan ventrikel mengalami
depolarisasi secara independen, tidak ada hubungan antara keduanya (disosiasi AV).
• Kecepatan atrium: biasanya 60-100 kali per menit; impuls benar-benar terpisah dari
kecepatan ventrikel yang lebih lambat
• Kecepatan ventrikel: bergantung pada kecepatan denyut pelepasan ventrikel yang
timbul
• Kecepatan pelepasan ventrikel lebih lambat daripada kecepatan atrium = blok AV
derajat tiga (kecepatan = 20-40 kali per menit)
• Irama: kedua irama atrium dan irama ventrikel reguler tetapi independen
• Interval PR: tidak ada hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS
• Gelombang P: ukuran dan bentuk normal
• Kompleks QRS: bila sempit (≤ 0,10 detik), secara tidak langsung menyatakan adanya
hambatan yang letaknya lebih tinggi daripada nodus AV; bila lebar (> 0,12 detik)
secara tidak langsung menyatakan adanya hambatan yang lebih rendah daripada
nodus AV
Gambar 3.14. Blok AV derajat 3: gelombang P reguler pada kecepatan 70 kali per menit;
denyut pelepasan ventrikel reguler pada kecepatan 36 kali per menit; tidak ada
hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS (disosiasi AV)
Etiologi
• Sindroma koroner akut yang melibatkan cabang-cabang pembuluh darah koroner
kanan atau kiri (melibatkan ramus desenden anterior arteri koronaria kiri (left
47
anterior descending, LAD) dan cabang-cabang septum interventrikel yang
memberikan suplai cabang-cabang berkas)
48
REFERENSI
1. Zamroni D, Kosasih A, Sugiman T, dkk. “Pengenalan Irama EKG”. Buku Ajar Kursus
Bantuan Hidup Jantung Dasar. Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2018: 18-39
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., ...
& Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010
American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
3. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
4. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V. K., ...
& White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
5. Katritsis, D. G., Boriani, G., Cosio, F. G., Hindricks, G., Jais, P., Josephson, M. E., ... &
Lane, D. A. (2017). European Heart Rhythm Association (EHRA) consensus document
on the management of supraventricular arrhythmias, endorsed by Heart Rhythm
Society (HRS), Asia-Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), and Sociedad
Latinoamericana de Estimulación Cardiaca y Electrofisiologia (SOLAECE). EP Europace,
19(3), 465-511.
6. Blomström-Lundqvist, C., Scheinman, M. M., Aliot, E. M., Alpert, J. S., Calkins, H.,
Camm, A. J., ... & Miller, D. D. (2003). ACC/AHA/ESC guidelines for the management
of patients with supraventricular arrhythmias—executive summary: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines
(Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients with
Supraventricular Arrhythmias) developed in collaboration with NASPE-Heart Rhythm
Society. Journal of the American College of Cardiology, 42(8), 1493-1531.
7. Page, R. L., Joglar, J. A., Caldwell, M. A., Calkins, H., Conti, J. B., Deal, B. J., ... & Indik,
J. H. (2016). 2015 ACC/AHA/HRS guideline for the management of adult patients with
49
supraventricular tachycardia: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and
the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology, 67(13), e27-
e115.
8. Kirchhof, P., Benussi, S., Kotecha, D., Ahlsson, A., Atar, D., Casadei, B., ... & Hindricks,
G. (2016). 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in
collaboration with EACTS. European journal of cardio-thoracic surgery, 50(5), e1-e88.
9. Authors/Task Force Members, Priori, S. G., Blomström-Lundqvist, C., Mazzanti, A.,
Blom, N., Borggrefe, M., ... & Hindricks, G. (2015). 2015 ESC Guidelines for the
management of patients with ventricular arrhythmias and the prevention of sudden
cardiac death: The Task Force for the Management of Patients with Ventricular
Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death of the European Society of
Cardiology (ESC) Endorsed by: Association for European Paediatric and Congenital
Cardiology (AEPC). Ep Europace, 17(11), 1601-1687.
10. Pratanu S. Dasar-dasar pengobatan aritmia. Simposium Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan IV 1997. Surabaya 28 Juni 1997.
11. Pratanu S. Interpretasi Elektrokardiografi. Dalam: Kursus Elektrokardigrafi. Edisi ke 3.
2006: 29-34.
12. Pratanu S. Elektrokardiografi Normal. Dalam: Kursus Elektrokardigrafi. Edisi ke 3.
2006: 35-8
50
BAB IV
SURVEI PRIMER BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Mengerti dan bisa menerangkan kembali survei Bantuan hidup jantung dasar
primer serta survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut
• Mengerti, bisa menerangkan serta dapat melakukan survei BHJD secara
spesifik dan terperinci setiap langkah yang dilakukan baik pada survei BHJD
primer maupun pada survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut
• Mengerti, bisa menerangkan serta melakukan tindakan sesuai pendekatan
survei BHJD atau Bantuan Hidup Jantung Lanjut pada hampir semua keadaan
kegawatdaruratan kardiovaskular
A. Pendahuluan
Dalam melakukan pertolongan menggunakan pendekatan sistematis Bantuan
Hidup Jantung Lanjut, maka kita harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
secara sistematis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut dimulai dari survei
primer BHJD dilanjutkan dengan survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Survei BHJD primer merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi
keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang penolong ataupun
lebih secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan survei BHJD primer adalah
memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak
dengan melakukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian
ventilasi yang efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan
atau tindakan dihentikan karena tidak ada respons dari penderita setelah tindakan
dilakukan beberapa saat. Jika setelah dilakukan survei BHJD primer secara efektif
didapatkan kembalinya sirkulasi secara spontan, maka tindakan survei BHJD primer
langsung dilanjutkan dengan survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Pendekatan yang
dilakukan saat ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh American Heart
Association tahun 2010 dengan urutan survei BHJD CAB yang akan dijelaskan lebih
51
lanjut dalam bab ini.
Dalam pelaksanaan kursus ini, tiap langkah survei akan dijelaskan sesuai
pembagian sebagai berikut:
• Tinjauan umum
• Teknik pelaksanaan survei
• Ringkasan survei
52
Breaths
Chest Compressions
Survei BHJD primer dilakukan baik untuk penderita yang mengalami henti jantung
mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita saksikan atau datang ke rumah sakit
sudah tidak sadarkan diri. Kita memeriksa respons penderita dengan memanggil dan
menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita yang bertujuan untuk
mengetahui respons kesadaran penderita (check responsiveness). Setelah yakin bahwa
penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta bantuan orang lain
menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat rumah sakit terdekat dan meminta
bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan medis yang lebih lengkap
(call for help). Jika saat melakukan pertolongan hanya seorang diri, setelah melakukan
pemeriksaan respons, penolong segera menghubungi rumah sakit terdekat atau
ambulans dan melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan cepat dan kuat
dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian napas bantuan 2 kali (satu detik setiap
napas bantuan) sampai bantuan datang.
Sebelum melakukan survei Bantuan Hidup Jantung Dasar primer, kita harus
memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan
pertolongan, dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respons penderita,
sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan
menyediakan AED.
Sistematika survei BHJD primer saat ini lebih disederhanakan, yang memungkinkan
orang tidak terlatih dapat melakukan BHJD primer dengan baik. Urutan sistematis yang
digunakan saat ini adalah C-A-B. Sebelum melakukan BHJD harus dipastikan langkah
53
yang tepat dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Setelah dilakukan
pemeriksaan (kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu tidaknya defibrilasi), harus
dianalisis secara cepat dan tepat tindakan yang diperlukan. Setiap langkah yang akan
dilakukan dimulai dari pemeriksaan, diikuti dengan tindakan. Sebagai contoh:
• Periksa respons penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan sadar
atau tidak sadar
• Periksa denyut nadi (untuk tenaga medis) sebelum melakukan kompresi dada atau
sebelum melakukan penempelan sadapan AED
• Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut listrik pada
jantung (defibrilasi)
54
2. Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan
• Tanda-tanda klinis kematian yang ireversibel, seperti kaku mayat, lebam
55
per menit.
5. Tindakan RJP pada asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan
kondisi sebagai berikut:
• Usia muda
• Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit
• Hipotermia
• Overdosis obat
• Usaha bunuh diri
• Permintaan keluarga
• Korban tenggelam di air dingin
56
• Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter dinding
anteroposterior dada, atau 4 cm (1.5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch)
pada anak
• Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna
setelah setiap kompresi
• Seminimal mungkin melakukan interupsi
• Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan
Gambar 4.2. Alur Bantuan Hidup Jantung Dasar untuk Tenaga kesehatan
57
(head tilt chin lift) pada penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher.
Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt chin lift
tidak bisa dilakukan. Teknik yang digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik
rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (jaw thrust). Pada penolong yang hanya
mampu melakukan kompresi dada saja, belum didapatkan bukti ilmiah yang cukup
untuk melakukan teknik mempertahankan jalan napas secara pasif, seperti
hiperekstensi leher.
58
DEFIBRILASI
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk keberhasilan
pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan sebagai berikut:
1. Irama dasar jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak
bertambahnya waktu
4. Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalannya
waktu
Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator manual atau
menggunakan automated external defibrillator (AED). Penderita dewasa yang mengalami
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi diberikan energi kejutan 360 J pada
defibrilator monofasik atau 120 - 200 J pada bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti
jantung mendadak sangat jarang, energi kejut listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/kg,
dapat diulang dengan dosis 4-10 J/kg dan tidak melebihi energi yang diberikan kepada
penderita dewasa. Pada neonatus, penggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan.
Penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut listrik tidak diindikasikan pada penderita
dengan asistol atau pulseless electrical activity (PEA).
59
• Tindakan tersebut terus diulang sampai tindakan RJP boleh dihentikan sesuai
indikasi
60
Gambar 4.3. Alur Bantuan Hidup Jantung Dasar untuk Tenaga kesehatan pada Korban
Dewasa
61
Ringkasan Umum Bantuan Hidup Jantung Dasar
Rekomendasi
Dewasa Pediatri Bayi
Pengenalan awal Tidak sadarkan diri
Tidak ada napas
atau bernapas
Tidak bernapas atau gasping
tidak normal
(misalnya gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan).
Urutan BHJD CAB CAB CAB
62
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013).
Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review.
Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M.
F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
7. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
8. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
9. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
63
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
10. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
64
BAB V
SINDROMA KORONER AKUT
TINJAUAN PEMBELAJARAN
• Mengenal istilah-istilah yang digunakan pada penyakit koroner
• Menjelaskan patofisiologi sindroma koroner akut (SKA)
• Menjelaskan manifestasi SKA
• Menjelaskan jenis SKA
A. Pendahuluan
Penyakit jantung koroner menjadi penyebab 15% dari seluruh kematian di seluruh
dunia. Data di Amerika Serikat menunjukkan 7-8 juta penderita datang ke Unit Gawat
Darurat dengan keluhan dada tidak enak. Lebih dari 2 juta (25%) didiagnosis sebagai
sindroma koroner akut (angina tidak stabil dan infark miokard akut). Dari jumlah tersebut
sekitar 500 ribu penderita menjalani rawat inap dengan diagnosis angina tidak stabil dan
1.5 juta penderita mengalami infark miokard akut. Dari 1.5 juta penderita IMA kira-kira
500 ribu meninggal dunia. Di antara jumlah tersebut 250 ribu mati mendadak dalam satu
jam pertama sejak mulai serangan jantung.
Pengobatan terkini dalam dua dekade terakhir pada penderita SKA mengalami
kemajuan dramatis dibanding era sebelumnya, sehingga banyak menyelamatkan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berkat terapi reperfusi cepat (fibrinolisis
dan intervensi koroner akut, PCI) untuk membuka sumbatan/ oklusi arteri koroner. Kunci
penting untuk mencapai hal tersebut adalah ketepatan dan kecepatan diagnosis serta
terapi dini pada SKA, dan hal ini sangat tergantung pada masyarakat dan profesionalisme
tenaga kesehatan.
B. Batasan Istilah
Arteriosklerosis adalah pengerasan dinding arteri sehingga dinding arteri menebal dan
kaku. Aterosklerosis adalah salah satu bentuk arteriosklerosis di mana lapisan dalam
dinding arteri menebal dan iregular karena pengendapan lemak. Akibatnya dinding dalam
arteri menonjol ke dalam lumen dan diameter lumen arteri menjadi sempit. Hal ini akan
mengurangi aliran darah yang melalui tempat penyempitan tersebut saat kebutuhan
darah meningkat, misalnya aktivitas fisik meningkat atau keadaan stres/emosi.
65
Penyakit jantung koroner adalah terjadinya aterosklerosis pada arteri koroner.
Sindroma koroner akut, adalah spektrum gejala klinis penyakit jantung koroner sebagai
akibat penurunan mendadak aliran darah ke jantung yang menyebabkan iskemia miokard
akut. Penyebab penurunan mendadak aliran arteri koroner sebagian besar adalah
trombosis yang disebabkan rupturnya plak aterosklerosis. Walaupun demikian, penyebab
lain dapat juga terjadi misalnya spasme arteri koroner. Termasuk SKA adalah angina tidak
stabil (unstable angina pectoris/UAP), infark miokard non-ST elevasi (NSTEMI) dan infark
miokard ST elevasi (STEMI).
Angina pektoris merupakan gejala nyeri dada atau dada terasa tidak enak yang
disebabkan iskemia miokard akibat defisiensi antara suplai dan kebutuhan oksigen di
jantung. Angina pektoris memiliki karakteristik gejala khas, yaitu dada seperti ditindih
benda berat, diremas, ditekan atau rasa penuh di belakang tulang dada, seringkali disertai
dengan penjalaran ke leher, rahang bawah, lengan kiri, punggung atau ulu hati, disertai
dengan keringat dingin.
Rasa nyeri tidak dapat dilokalisasi secara pasti. Pada beberapa penderita, gejala yang
dirasakan bisa saja hanya dada terasa tidak enak.
Dada
Daerah daerah penjalaran nyeri:
Leher, rahang bawah,
abdomen atas, bahu, dan tangan
Infark miokard adalah nekrosis (kematian sel) miokard akibat sumbatan mendadak
arteri koronaria, biasanya akibat trombus oklusif yang timbul pada plak yang ruptur.
Trombus adalah pembentukan gumpalan darah karena respons sistem pembekuan darah
pada injuri (perlukaan/erosi/ruptur plak). Beberapa komponen yang berpartsisipasi
66
dalam terbentuknya trombus adalah platelet (trombosit) dan protein pembekuan darah
(seperti trombin dan fibrin). Trombus yang terbentuk di dalam lumen arteri koroner dapat
menyumbat sebagian (parsial) atau total aliran darah ke miokard yang dialirinya, sehingga
menyebabkan iskemia miokard/infark miokard akut, dengan manifestasi keluhan berupa
angina pektoris/nyeri dada iskemik.
Angina tidak stabil, adalah iskemia miokard yang disebabkan oleh sumbatan arteri
koroner parsial atau intermiten oleh trombus dengan pola serangan frekuensi semakin
sering, derajatnya semakin berat, faktor pencetus atau yang meringankan berubah.
C. Patofisiologi
Proses aterosklerosis merupakan proses yang perlahan-lahan, bersifat progresif dan
umumnya dimulai pada usia anak-anak dan dapat menimbulkan gejala pada usia 20
tahun.
Lapisan dalam arteri akan menebal dengan deposit lemak dan juga kalsium, perlahan-
lahan akan mengakibatkan penyempitan lumen arteri. Proses tersebut bisa terjadi pada
arteri di jantung, otak, atau tungkai. Proses aterosklerosis pada arteri koronaria
menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Spektrum klinis penyakit jantung koroner
dapat berupa angina pektoris stabil, sindroma koroner akut atau mati mendadak. PJK
dapat bersifat asimptomatik selama perfusi jantung cukup dan fungsi jantung normal.
Pada periode ini modifikasi faktor risiko dapat menghambat progresifitas proses
aterosklerosis.
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut plak ateroma pembuluh darah arteri
koroner yang robek/ruptur. Ruptur plak ini akan memicu proses agregasi trombosit yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini mengakibatkan penyumbatan lumen arteri
koroner (bisa parsial, total, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat arteri koroner
67
lebih distal). Selain itu juga terjadi pelepasan zat-zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi ateri koroner, sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Akibat selanjutnya adalah terjadi iskemia miokard, dan bila pasokan O2 berhenti lebih 20
menit dapat menyebabkan nekrosis miokard (infark miokard akut). Akibat iskemia atau
nekrosis miokard adalah gangguan kontraktilitas miokard, aritmia, dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi). Sebagian penderita SKA tidak
mengalami ruptur plak, tapi karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal arteri koroner
epikardium yang disebut Angina Prinzmetal.
Beberapa penderita SKA dapat mengalami komplikasi aritmia gawat (fatal), yaitu
fibrilasi ventrikel (VF) yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Keadaan ini
paling sering menjadi penyebab mati mendadak (sudden cardiac death) dan umumnya
terjadi pada jam-jam pertama serangan jantung.
68
berkembang seiring dengan bertambahnya umur manusia. Proses tersebut berlangsung
tanpa menimbulkan gejala, sampai terjadi defisiensi oksigen yang bermakna saat
kebutuhan oksigen miokard meningkat, misalnya saat melakukan aktivitas, karena telah
terbentuk penyempitan yang bermakna pada arteri koroner atau terjadi ruptur/erosi plak
mendadak.
Gejala klinis yang biasanya terjadi adalah:
1. Angina pektoris stabil, yaitu keluhan nyeri dada angina yang konsisten dan
timbulnya dapat diprediksi. Umumnya terjadi pada saat aktivitas fisik atau stres
emosional dan hilang dengan istirahat dan/atau menggunakan obat nitrat. Gejala
tersebut terjadi bila stenosis arteri koroner sudah mencapai 70% atau lebih.
Semakin berat penyempitan yang terjadi, maka semakin ringan aktivitas yang dapat
menimbulkan keluhan.
2. Sindroma koroner akut. Terjadi karena adanya erosi atau ruptur plak di dalam arteri
koroner, sehingga terbentuk trombus yang mengakibatkan gangguan mendadak
aliran arteri koroner. Trombus yang menyumbat parsial/intermiten akan
menyebabkan sindroma koroner akut tanpa ST elevasi (angina pektoris tidak stabil
dan NSTEMI). Sedangkan trombus yang oklusif akan menyebabkan sindroma
koroner akut dengan ST elevasi (STEMI)
69
dalam waktu lama (biasanya lebih dari 20 menit) dan menyebabkan miokard nekrosis.
Umumnya keadaan ini karena penyempitan berat atau oklusi/sumbatan arteri koroner
akibat ruptur plak atau erosi disertai terbentuknya trombus. Jarang disebabkan oleh
spasme koroner saja, diseksi arteri koroner, atau emboli. Spasme vaskular dapat terjadi
spontan atau sekunder akibat obat seperti kokain dan dapat menyebabkan serangan
jantung. Keadaan iskemia miokard dapat menyebabkan gangguan irama jantung,
termasuk fibrilasi ventrikel (VF). VF sering terjadi dalam satu jam pertama mulainya gejala.
Hal inilah yang menjadi alasan untuk segera menghubungi Layanan Gawat Darurat
(Emergency Medical System/EMS), atau pergi ke Unit Gawat Darurat RS terdekat untuk
mencari pertolongan. Gejala berikut ini harus diwaspadai adanya serangan jantung:
1. Dada rasa tidak enak (chest discomfort) di precordial atau retrosternal
2. Gejala penyerta adalah keringat dingin, mual, muntah, atau napas pendek
3. Pasien memiliki faktor risiko PJK antara lain merokok, hipertensi, diabetes
mellitus, dislipidemia, Riwayat keluarga dengan PJK prematur
4. Hati-hati bila menjumpai gejala seperti ini:
• Dada tidak enak biasa saja disertai napas pendek (atypical angina)
berlangsung cukup lama, tidak hilang setelah istirahat atau pemberian nitrat,
pada penderita lanjut usia, diabetes atau wanita
• Walaupun penderita tidak tampak mengalami serangan berat atau tidak
Diagnosis banding nyeri dada yang mengancam jiwa antara lain diseksi aorta,
perikarditis akut, pneumotoraks spontan, emboli paru dan miokarditis akut.
70
Program pertolongan gawat darurat gejala serangan jantung pada seorang penderita:
NYERI MENETAP
71
REFERENSI
1. Cannon CP dan Braunwald E, Unstable Angina and Non-ST elevation myocardial
infarction. Dalam Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Heart Disease:
A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Saunders Elsevier. 2008: 53; 1319-
51.
2. ESC Committee for Practice Guidelines. Guidelines for The Diagnosis and Treatment
of Non-ST Elevation Acute Coronary Syndormes. 2007
3. Grubb NR, Newby DE. Cardiology in Acute Coronary Syndrome. Pocket Book
Cardiology. 2nd ed. Elsevier. 2006:5; 91-132.
4. O’Connor, R. E., Bossaert, L., Arntz, H. R., Brooks, S. C., Diercks, D., Feitosa-Filho, G.,
... & Welsford, M. (2010). Acute Coronary Syndrome Chapter Collaborators. Part 9:
acute coronary syndromes: 2010 international consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 122(16 suppl 2), S422-S465.
5. Welsford, M., Nikolaou, N. I., Beygui, F., Bossaert, L., Ghaemmaghami, C., Nonogi, H.,
... & Woolfrey, K. G. (2015). Part 5: acute coronary syndromes: 2015 international
consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1), S146-S176.
6. Amsterdam, E. A., Wenger, N. K., Brindis, R. G., Casey, D. E., Ganiats, T. G., Holmes,
D. R., ... & Levine, G. N. (2014). 2014 AHA/ACC guideline for the management of
patients with non–ST-elevation acute coronary syndromes: executive summary: a
report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. Journal of the American college of cardiology, 64(24), 2645-
2687.
7. O'Gara, P. T., Kushner, F. G., Ascheim, D. D., Casey, D. E., Chung, M. K., De Lemos, J.
A., ... & Granger, C. B. (2013). 2013 ACCF/AHA guideline for the management of ST-
elevation myocardial infarction: executive summary: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology, 61(4), 485-510.
8. Nikolaou, N. I., Arntz, H. R., Bellou, A., Beygui, F., Bossaert, L. L., & Cariou, A. (2015).
European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015 section 8. Initial
management of acute coronary syndromes. Resuscitation.-Limerick, 1972, currens,
95, 264-277.
72
9. Van de Werf, F., & Staff, E. S. C. (2008). ESC Guidelines on the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with STEMI. European heart journal, 29,
2909-2945.
10. Steg, P. G., & James, S. (2012). 2012 ESC Guidelines on acute myocardial infarction
(STEMI). European heart journal, 33, 2501-2502.
11. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H., ... &
Hindricks, G. (2017). 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal, 39(2),
119-177.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
73
BAB VI
BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR PADA DEWASA
TUJUAN PEMBAHASAN
• Menjelaskan penyebab henti napas dan henti jantung
• Menjelaskan tahapan penatalaksanaan bantuan hidup jantung dasar pada orang
dewasa yaitu circulation – airway – breathing
A. Pendahuluan
Bantuan hidup jantung dasar Dewasa adalah tindakan pertolongan medis sederhana
yang dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung sebelum diberikan tindakan
pertolongan medis lanjutan.
Tujuan melakukan BHJD adalah memberikan bantuan sirkulasi dan pernapasan yang
adekuat sampai keadaan henti jantung teratasi atau sampai pasien dinyatakan meninggal.
2. Gangguan Paru
Kondisi-kondisi paru yang menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi antara lain:
1. Infeksi
2. Aspirasi
3. Edema paru
4. Kontusio paru
5. Keadaan tertentu yang menyebabkan rongga paru tertekan oleh benda asing
seperti pneumotoraks, hematotoraks, efusi pleura.
3. Gangguan neuromuskular
Kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan kemampuan otot-otot utama pernapasan
(otot dinding dada, diafragma, dan otot interkostal) untuk mengembangkempiskan paru
antara lain :
1. Miastenia gravis
2. Sindroma Guillan Barre
3. Multipel sklerosis
4. Poliomielitis
5. Kiposkoliosis
6. Muskular distrofi
7. Penyakit motor neuron
75
4. Kardiomiopati hipertrofi
5. Fibrilasi ventrikel yang mungkin disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard,
tersengat listrik, gangguan elektrolit, atau karena konsumsi obat-obatan.
E. Penilaian respons
Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk
melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan cara menepuk-nepuk dan
menggoyangkan penderita sambil berteriak memanggil penderita.
Hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respons penderita :
• Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respons yang diberikan, maka
usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti pada saat ditemukan atau
76
usahakan pasien diposisikan ke dalam posisi mantap; sambil terus melakukan
pemantauan terhadap tanda-tanda vital penderita tersebut secara terus menerus
sampai bantuan datang
• Bila penderita tidak memberikan respons serta tidak bernapas atau bernapas tidak
normal (gasping) maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung,
maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan aktivasi sistem layanan
gawat darurat
77
nadi bukan hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan tenaga kesehatan yang menolong
mungkin memerlukan waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut nadi, sehingga:
• Tindakan pemeriksaan denyut nadi tidak dilakukan oleh penolong awam dan
langsung mengasumsikan terjadi henti jantung jika seorang dewasa mendadak
tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respons yang bernapas tidak normal
• Pemeriksaan arteri karotis oleh tenaga kesehatan dilakukan dengan memegang
leher pasien dan mencari trakea dengan 2-3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan
bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot samping leher
(tempat lokasi arteri karotis berada)
78
• Penolong melakukan kompresi 100-120x/menit tanpa interupsi. Penolong terlatih
tanpa alat bantu napas lanjutan lakukan kompresi dan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2 (setiap 30 kali kompresi efektif, berikan 2 napas bantuan)
• Evaluasi penderita dengan melakukan pemeriksaan denyut arteri karotis setelah 5
siklus kompresi
• Dalam keadaan berlutut, harus diperhatikan posisi setengah berlutut penolong
agar dapat memberikan kekuatan kompresi yang memadai.
Tulang Dada
Gambar 6.4. Penentuan lokasi kompresi dan posisi penolong terhadap penderita
saat melakukan kompresi jantung
79
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3),
S729-S767.
3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D.
(2013). Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic
review. Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the
art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8
7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski,
M. F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–
S435.
80
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde,
K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015:
section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén,
M., ... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support:
2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
81
BAB VII
BANTUAN HIDUP JANTUNG DASAR
PADA ANAK DAN BAYI
TUJUAN PEMBELAJARAN
● Mampu mengenali tanda-tanda kegawatan dan henti jantung pada anak
● Mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus henti jantung pada anak
A. Pendahuluan
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 20.000 kasus henti jantung pada bayi dan
anak per tahunnya, dengan setidaknya 7.000 kasus diantaranya terjadi di luar rumah
sakit (OHCA) pada tahun 2015. Sekitar 11,4% pasien OHCA pediatri dapat bertahan
hidup hingga pulang rawat, namun angka ini lebih bervariasi tergantung kelompok usia
dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 17,1% pada remaja, 13,2% pada anak, dan
4,9% pada bayi. Pada tahun yang sama, insiden henti jantung anak di dalam rumah
sakit (IHCA) yaitu 12,66 kasus per 1000 bayi dan anak yang dirawat, dengan tingkat
kelangsungan hidup hingga pulang rawat sebesar 41,1%. Luaran neurologis pada
berbagai kelompok usia anak masih sulit dinilai, terutama mengingat studi-studi pada
OHCA dan IHCA pediatri memiliki cara pelaporan dan durasi waktu pengamatan yang
bervariasi. Luaran neurologis yang baik dilaporkan terdapat pada hingga 47% pasien
hingga pulang rawat. Meskipun angka kelangsungan hidup pada IHCA meningkat,
masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan angka kesintasan dan luaran
neurologis pada pasien-pasien ini.
Terdapat tiga komponen penting untuk menunjang hasil resusitasi yang baik,
yaitu adanya panduan berbasis bukti mengenai resusitasi yang baik, edukasi kepada
masyarakat awam dan tenaga kesehatan, serta implementasi rantai bertahan hidup
(survival chain) yang lancar.
Pasien pediatri didefinisikan sebagai bayi, anak, dan remaja berusia di bawah 18
tahun, namun tidak mencakup bayi baru lahir. Bayi baru lahir didefinisikan sebagai bayi
dalam perawatan rumah sakit pertama setelah lahir, sehingga panduan ini tetap
berlaku pada neonatus berusia <30 hari yang telah pulang rawat. Bayi mencakup usia
di bawah 1 tahun sementara anak untuk usia 1 tahun hingga pubertas.
82
Sebab-sebab umum henti jantung pada anak:
1. Kegawatan napas yang tidak dikelola dengan benar
2. Akibat penyakit atau trauma
3. Masalah gangguan irama jantung primer jarang terutama pada anak umur kurang
dari 8 tahun
Fokus utama tatalaksana henti jantung sejauh ini adalah pada manajemen henti
jantung itu sendiri, dengan menekankan pentingnya RJP berkualitas tinggi, defibrilasi
segera, dan kerja sama tim yang efektif. Meskipun begitu, perlu dipertimbangkan aspek
perawatan sebelum dan setelah henti jantung yang penting untuk mengoptimalkan
luaran. Melihat tidak adanya kemajuan pada tingkat kelangsungan hidup pasien henti
jantung pediatri dalam beberapa tahun terakhir, pencegahan henti jantung menjadi
sangat penting. Di luar rumah sakit, pencegahan mencakup pengetatan keamanan,
seperti penggunaan helm saat bersepeda, pencegahan sindrom kematian bayi mendadak,
pelatihan RJP untuk awam, dan akses segera ke unit gawat darurat. Ketika OHCA terjadi,
RJP segera oleh pengamat terbukti dapat meningkatkan luaran. Sementara di dalam
rumah sakit, pencegahan ini mencakup deteksi dini dan tatalaksana awal pasien berisiko
henti jantung, seperti neonatus yang menjalani operasi jantung, pasien dengan
miokarditis fulminans, gagal jantung akut, hingga hipertensi paru.
Setelah sirkulasi spontan kembali, perlu dilakukan tatalaksana sindroma pasca henti
jantung untuk mencegah hal-hal yang dapat memicu komplikasi seperti hipotensi.
Sindroma ini dapat mencakup disfungsi otak, disfungsi miokardium dengan curah jantung
rendah, dan jejas reperfusi. Penilaian neuroprognostikasi yang akurat penting untuk
membimbing diskusi dan pengambilan keputusan mengenai perawatan oleh pelaku rawat
utama pasien. Terakhir, mengingat risiko gangguan perkembangan saraf yang tinggi pada
penyintas henti jantung, lakukan rujukan segera untuk asesmen rehabilitasi dan
intervensi.
Rantai kelangsungan hidup OHCA dibuat terpisah untuk menekankan perbedaan
antara OHCA dan IHCA (Gambar 7.1). Terdapat mata rantai keenam pada kedua rantai
untuk menekankan pentingnya perawatan pasca henti jantung, yang berfokus pada
evaluasi tatalaksana jangka panjang dan jangka pendek serta dukungan untuk penyintas
dan keluarganya. Untuk kedua rantai ini, aktivasi respons emergensi harus segera diikuti
oleh RJP berkualitas tinggi. Jika terdapat bantuan atau telepon genggam di sekitar, aktivasi
83
respons emergensi dan inisiasi RJP dapat berlangsung hampir simultan. Bila henti jantung
pada bayi dan anak terjadi di luar rumah sakit dengan saksi satu penolong tunggal tanpa
akses ke telepon, penolong disarankan untuk langsung memulai RJP sebelum memanggil
bantuan. Hal ini disebabkan karena henti napas merupakan sebab utama henti jantung
pada populasi ini dan belum tentu bantuan tersedia di sekitar. Jika henti jantung
disaksikan, penolong dapat menggunakan defibrilator eksternal otomatis (AED),
mengingat defibrilasi segera dapat menyelamatkan nyawa.
Gambar 7.1. Rantai Kelangsungan Hidup Pediatrik untuk serangan jantung di rumah
sakit (atas) dan di luar rumah sakit (bawah)
84
sama dengan dewasa.
1. Penilaian respons
Penilaian respons pada anak dilakukan setelah penolong dapat meyakini bahwa
tindakan yang akan dilakukan aman bagi penolong dan anak yang ditolong. Pertama
kali yang diperiksa adalah apakah penderita memberikan respons terhadap
rangsangan dengan memanggil sambil menepuk atau menggoyangkan penderita
sambil memperhatikan apakah ada tanda-tanda trauma pada anak tersebut.
2. Mengaktifkan sistem gawat darurat
Bila pasien tidak memberikan respons dan penolong lebih dari satu orang, penolong
pertama segera melakukan CPR sambil penolong kedua segera mengaktifkan
sistem gawat darurat dan mengambil AED. Bila penolong seorang diri
direkomendasikan untuk segera melakukan RJP sebanyak 5 siklus (2 menit)
sebelum memanggil bantuan dan mengambil AED. Hal ini didasari banyaknya
penyebab henti jantung pada anak akibat asfiksia dibandingkan masalah jantung.
Pengaktifan sistem gawat darurat pada satu orang penolong dilakukan dengan
menggunakan perangkat telepon seluler (jika memungkinkan) untuk tetap
mempertahankan kualitas yang baik saat RJP sebanyak 30:2 hingga tercapainya
sirkulasi spontan. Berbeda pada kasus pasien tidak sadar dan kejadian henti
jantung/pingsan disaksikan, maka segera panggil bantuan dan akses AED lalu
karena dicurigai penyebab utamanya adalah masalah jantung, baru kemudian
melakukan RJP dan menggunakan AED (jika tersedia).
85
Gambar 7.2. Pemeriksaan sirkulasi pada anak dan bayi
Kompresi dilakukan segera pada anak dan bayi yang tidak sadarkan diri, tidak ada
denyut nadi, serta tidak bernapas. Kompresi jantung juga dilakukan pada kondisi
terabanya denyut nadi namun kurang dari 60 kali per menit disertai tanda tanda
syok (pucat, mottling, sianosis). Yang menjadi perbedaan dalam melaksanakan
kompresi adalah teknik kompresi pada bayi yang menggunakan teknik kompresi 2
jari atau 2 ibu jari. Jika penolong lebih dari satu orang maka gunakan teknik
kompresi menggunakan 2 ibu jari menekan thoraks, dan ke-empat jari lainnya
melingkar di thoraks pasien dan penolong lainnya memberikan ventilasi. Untuk
penolong satu orang, dilakukan teknik kompresi menggunakan 2 jari sambil tangan
satunya menstabilkan airway. Pada anak berumur kurang dari 8 tahun dilakukan
teknik satu tangan.
86
Kompresi dada pada bayi
• Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar 1 jari berada
Gambar 7.3. Teknik kompresi dengan dua jari (kiri) atau dengan ibu jari melingkar
(kanan)
87
dewasa, namun hal itu berbeda untuk bayi. Untuk bayi, langkah yang dilakukan
adalah:
1. Gendong bayi di lengan penolong sambil mensupport perut dan dada bayi
dengan kepala bayi terletak lebih rendah untuk mencegah tersedak karena
lidah bayi tersebut atau aspirasi karena muntah
2. Usahakan tidak memblok mulut dan hidung bayi
3. Monitor dan rekam tanda vital, kadar respons, denyut nadi dan pernapasan
sampai pertolongan medis datang
88
Gambar 7.5. Alur Bantuan Hidup Jantung Dasar satu penolong pada anak
89
Gambar 7.6. Alur Bantuan Hidup Jantung Dasar pada anak untuk dua penolong
90
REFERENSI
1. Topjian, A. A., Raymond, T. T., Atkins, D., Chan, M., Duff, J. P., Joyner, B. L., ... &
Schexnayder, S. M. (2021). Part 4: Pediatric Basic and Advanced Life Support 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics, 147(Supplement 1).
2. Sutton, R. M., Niles, D., Nysaether, J., Abella, B. S., Arbogast, K. B., Nishisaki, A., ...
& Nadkarni, V. (2009). Quantitative analysis of CPR quality during in-hospital
resuscitation of older children and adolescents. Pediatrics, 124(2), 494-499.
3. International Liaison Committee on Resuscitation. (2006). The International
Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with treatment
recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric basic and
advanced life support. Pediatrics, 117(5), e955-e977.
4. Kleinman, M. E., De Caen, A. R., Chameides, L., Atkins, D. L., Berg, R. A., Berg, M.
D., ... & Wessel, D. (2010). Part 10: pediatric basic and advanced life support: 2010
international consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation,
122(16_suppl_2), S466-S515.
5. De Caen, A. R., Maconochie, I. K., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D., Guerguerian,
A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life support and pediatric
advanced life support: 2015 international consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1), S177-S203.
6. Maconochie, I. K., de Caen, A. R., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D., Guerguerian,
A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life support and pediatric
advanced life support: 2015 international consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Resuscitation, 95, e147-e168.
7. Atkins, D. L., Berger, S., Duff, J. P., Gonzales, J. C., Hunt, E. A., Joyner, B. L., ... &
Schexnayder, S. M. (2015). Part 11: pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association
guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2), S519-S525.
91
BAB VIII
SUMBATAN JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Menjelaskan tanda-tanda sumbatan jalan napas akibat benda asing pada orang
dewasa
• Menjelaskan penatalaksanaan sumbatan jalan napas akibat benda asing pada
orang dewasa
• Menjelaskan tanda-tanda sumbatan jalan napas akibat benda asing pada bayi dan
anak
• Menjelaskan penatalaksanaan sumbatan jalan napas akibat benda asing pada bayi
dan anak
A. Pendahuluan
Sumbatan jalan napas merupakan gangguan pada jalan napas yang dapat diatasi
namun jarang terjadi dan berpotensi menimbulkan kematian bila tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang benar. Orang yang tidak sadarkan diri mudah mengalami
sumbatan jalan napas, baik yang disebabkan oleh sebab intrinsik (lidah) ataupun
ekstrinsik (benda asing). Penatalaksanaan yang baik merupakan kunci untuk mencegah
kematian akibat sumbatan jalan napas. Kasus sumbatan jalan napas pada dewasa
umumnya terjadi pada saat makan. Sedangkan pada bayi atau anak, keadaan tersebut
terjadi pada saat makan atau sedang bermain, walaupun sudah diawasi oleh orang tua
atau pengasuh anak.
92
segera dilakukan. Tanda-tanda sumbatan jalan napas yang terganggu antara lain adalah
pertukaran udara yang buruk serta diikuti dengan kesulitan bernapas yang meningkat
seperti batuk tanpa suara, sianosis, atau tidak bisa berbicara. Kadangkala penderita
memperagakan cekikan di lehernya untuk memperlihatkan tanda universal tercekik.
Segera tanyakan kepada penderita apakah dia tersedak? Bila penderita menjawab
dengan anggukan berarti penderita mengalami sumbatan jalan napas yang berat.
93
Nilai Keparahan
94
tindakan tersebut gagal, lakukan kembali 5 abdominal thrusts
berulang-ulang sampai sumbatan berhasil dikeluarkan atau
penderita tidak sadarkan diri.
D. Sumbatan Jalan Napas oleh Benda Asing pada Bayi dan Anak
Panduan terbaru yang dikeluarkan oleh American Heart Association tidak terdapat
perbedaan dengan panduan sebelumnya. Namun, pedoman yang dilakukan untuk
dewasa tidak bisa diterapkan pada bayi dan anak. Umumnya benda asing yang
menyebabkan sumbatan jalan napas pada anak adalah benda cair, diikuti benda asing
yang bersifat padat seperti kancing, mainan atau makanan padat.
Mulai RJP
Gambar 8.2. Tatalaksana sumbatan jalan napas oleh benda asing pada anak
Tanda yang dikeluarkan oleh anak bila mengalami sumbatan jalan napas biasanya adalah
menangis sambil diikuti refleks batuk untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Batuk
merupakan refleks yang aman untuk mengeluarkan benda asing pada anak dibandingkan
manuver apapun.
95
Tabel 8.2 Gejala sumbatan jalan napas oleh benda asing
E. Penatalaksanaan Sumbatan Jalan Napas Oleh Benda Asing Pada Bayi Dan Anak
Perbedaan utama antara penatalaksanaan sumbatan jalan napas oleh benda asing
pada bayi dan anak dengan dewasa adalah pada penderita bayi dan anak tindakan
abdominal thrust tidak dianjurkan lagi untuk dilakukan karena risiko cedera yang tinggi.
Faktor keselamatan penolong dan penderita yang ditolong sangat diperhatikan. Itulah
sebabnya tindakan baru diberikan bila sumbatan berat.
1. Penatalaksanaan pada penderita sadar
• Tindakan back blows bisa dilakukan untuk bayi atau anak. Cara melakukannya
sebagai berikut:
o Posisikan bayi atau anak dengan posisi kepala mengarah ke bawah
rahang dan rahang yang lain menggunakan satu atau dua jari dari tangan
yang sama. Jangan sampai menekan jaringan lunak di bawah rahang,
karena akan menyebabkan sumbatan jalan napas kembali. Sedangkan
untuk anak berusia di atas 1 tahun, kepala tidak perlu ditopang secara
khusus.
o Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat dengan menggunakan
96
Gambar 8.3. Back blow
kepala di bawah dan posisi terlentang. Tindakan ini akan lebih aman
bila penolong meletakkan punggung bayi di lengan yang bebas serta
menopang ubun-ubun dengan tangan.
o Topang peletakkan bayi pada lengan dengan menggunakan bantuan
paha penolong.
o Identifikasi daerah yang akan dilakukan tekanan (bagian bawah
• Abdominal thrust
o Tindakan ini dilakukan hanya untuk anak yang berumur di atas 1
sternum.
o Raih kepalan tersebut dengan tangan yang lain serta hentakkan ke
97
arah atas dan belakang (arah tubuh penderita).
o Lakukan sebanyak 5 kali, serta pastikan bahwa tindakan yang
98
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767
2. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1.
3. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102
4. Atkins JM.(1986) Emergency medical services system in acute cardiac care state
of the art. Circulation.;74 (pt2):IV 4-8
5. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski,
M. F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
6. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–
S435.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde,
K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015:
section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
9. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
99
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
10. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V.
K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support:
2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S444-S464.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support:
2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
100
BAB IX
PENGELOLAAN HENTI JANTUNG
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Memahami klasifikasi henti jantung
• Mengidentifikasi pasien yang mengalami VF atau VT tanpa nadi
• Memahami dan melakukan tata laksana VF atau VT tanpa nadi
• Mengidentifikasi pasien yang mengalami PEA dan asistol
• Memahami dan melakukan tata laksana PEA/asistol
• Mengetahui penyebab paling sering PEA/asistol serta VF atau VT tanpa nadi
A. Pendahuluan
Henti jantung (cardiac arrest) adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah berhenti
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Secara klinis, keadaan henti
jantung ditandai dengan tidak adanya nadi. Gambaran henti jantung dapat berupa:
• Fibrilasi ventrikel / ventricular fibrillation (VF)
• Takikardi ventrikel tanpa nadi / pulseless ventricular tachycardia (VT)
• Pulseless Electrical Activity (PEA)
• Asistol
Untuk mengatasi henti jantung, diperlukan integrasi dari tindakan Bantuan hidup
jantung dasar (BHJD), Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) serta Perawatan Pasca Henti
Jantung. Dasar keberhasilan BHJD adalah RJP yang berkualitas dan defibrilasi segera pada
kasus VF/VT tanpa nadi. Untuk kasus-kasus VF/VT yang disaksikan, RJP dan defibrilasi
segera akan meningkatkan survival korban. Algoritme tata laksana henti jantung yang
baru menekankan pentingnya RJP yang berkualitas. Interupsi terhadap RJP harus
sesingkat mungkin dan hanya dilakukan untuk menilai irama, melakukan defibrilasi.
Selama alat bantu jalan napas lanjut belum terpasang RJP dilakukan dalam siklus 30
kali kompresi dan 2 kali ventilasi. Kecepatan kompresi sedikitnya 100x/menit dan
maksimal 120x/menit. Setelah pemasangan alat bantu jalan napas supraglotik atau pipa
endotrakeal, RJP dilakukan dengan melakukan kompresi tidak terputus dengan kecepatan
100-120 x/menit. Penolong yang memberikan ventilasi memberikan napas bantuan 1
101
napas tiap 6 detik (10 x/menit) dan harus berhati-hati untuk tidak memberikan ventilasi
berlebihan.
Satu-satunya terapi yang spesifik terhadap irama VF/VT tanpa nadi yang akan
meningkatkan survival korban henti jantung adalah defibrilasi. Karenanya defibrilasi
merupakan bagian integral dari siklus RJP pada saat irama menunjukkan VF/VT tanpa nadi.
Intervensi BHJL lain berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan kembalinya
sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC). Pemasangan akses pembuluh
darah, pemberian obat, dan pemasangan alat bantu jalan napas tidak boleh menyebabkan
penundaan atau interupsi terlalu lama terhadap kompresi dada dan defibrilasi.
Irama jantung selama resusitasi dapat berubah. Pada kasus-kasus demikian, tata
laksana harus disesuaikan dengan irama yang ada. Misalnya penolong harus siap untuk
memberikan defibrilasi bila pasien yang awalnya asistol/PEA tiba-tiba berubah menjadi
VF/VT tanpa nadi pada saat penilaian irama. Obat-obatan yang diberikan selama resusitasi
harus diawasi dan dicatat. Obat-obat yang memiliki dosis maksimal harus ditabulasi untuk
menghindari toksisitas.
Jika korban akhirnya kembali ke sirkulasi spontan (ROSC) segera lakukan Perawatan
Pasca Henti Jantung untuk mencegah korban kembali jatuh ke keadaan henti jantung. Hal
ini akan meningkatkan kemungkinan korban untuk selamat dengan fungsi neurologis yang
baik.
Etiologi
Penyebab terbesar dari VF/VT tanpa nadi berhubungan dengan penyakit jantung
koroner, akumulasi ion Ca, adanya radikal bebas, gangguan metabolik sel, modulasi
102
autonom, dsb. Beberapa penyebab lain timbulnya VF/VT tanpa nadi antara lain:
Gangguan elektrolit (hipo/hiper K dan Mg), toksisitas obat seperti digitalis, phenothiazine,
trisiklik dan tetrasiklik anti-depresan, dapat juga sebagai penyebab.
Biasanya merupakan kelanjutan dari VT, dapat berubah menjadi VF dalam hitungan
detik atau menit ataupun lebih lama. Kadang-kadang torsade de pointes berubah menjadi
VF.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik dari VF/VT tanpa nadi biasanya penderita tidak sadar dan tidak
bernafas serta tidak teraba nadi. Pada kondisi ini jantung hanya bergetar saja tidak
mampu bekerja sebagai pompa, berarti terjadi kematian klinis yang dapat berlanjut
menjadi kematian biologis.
Tata Laksana
Tata laksana VF sama dengan VT tanpa nadi (pulseless VT). Lakukan survei primer
untuk menentukan henti jantung jika terbukti terjadi kemudian lanjutkan dengan RJP
sambil menunggu alat defibrilator datang. Ketika alat defibrilator datang, pasang sadapan
segera pada tubuh penderita tanpa menghentikan RJP. Setelah monitor sudah terpasang
dan sudah siap dibaca, hentikan RJP (tidak boleh lebih dari 10 detik) dan lihat di monitor
irama apakah yang terlihat.
Bila terlihat VT/VF, lakukan defibrilasi (unsynchronized) dengan energi maksimal 360
Joule (untuk defibrilasi monofasik), atau 200 J (untuk defibrilasi bifasik). Lalu lakukan RJP
selama 5 siklus (2 menit) sambil pasang jalur intravena, setelah 5 siklus (2 menit) hentikan
RJP, lakukan evaluasi irama lihat kembali monitor EKG. Bila masih terdapat VT/VF, kembali
103
lakukan defibrilasi 360 J, kembali lakukan RJP 5 siklus tanpa melihat irama dan berikan
epinefrin 1 mg IV/IO yang dapat diulang setiap 3-5 menit, dilanjutkan dengan pemasangan
pipa endotrakheal/intubasi. Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor EKG, bila
tetap VT/VF, kembali lakukan defibrilasi 360 J, diteruskan kembali RJP 2 menit dan
diberikan obat amiodaron 300 mg (lihat algoritme henti jantung gambar 9.2).
Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor EKG, bila masih terdapat VT/VF,
kembali lakukan defibrilasi 360 J dan lakukan RJP selama 2 menit serta berikan epinefrin
1 mg. Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor, bila ternyata masih VT/VF lakukan
defibrilasi 360 J dan RJP selama 2 menit diteruskan, berikan obat amiodaron 150 mg.
Berikutnya lihat monitor lagi setelah 2 menit RJP, bila masih VT/VF lakukan defibrilasi
360 J, lakukan RJP selama 2 menit dan berikan epinefrin 1 mg, setelah RJP selama 2 menit
lihat lagi monitor, bila masih VT/VF lakukan kejut listrik 360 Joule dan RJP kembali selama
2 menit.
Intubasi trakea dapat dilakukan pada saat pemberian epinefrin ataupun amiodaron
yang pertama. Bila pemberian oksigenisasi dapat berlangsung dengan baik, intubasi
trakhea bisa ditunda dan tidak perlu dilakukan sesegera mungkin pada kasus henti jantung
yang terjadi di depan kita (witnessed). Namun pada kasus henti jantung yang tidak terjadi
disaksikan (unwitnessed), intubasi dilakukan sesegera mungkin, karena kita tidak tahu
secara pasti berapa lama penderita itu sudah tidak bernafas sebelum sampai ke tempat
kita.
Lidokain dapat digunakan bila amiodaron tidak ada. Dosis lidokain 1-1,5 mg/kgBB dosis
awal dan diikuti 0,5-0,75 mg/kgBB sampai dosis maksimal 3mg/kgBB. Magnesium dengan
dosis 1-2 gr IV/IO digunakan untuk torsade de pointes. Bila terdapat perubahan irama
pasca-defibrilasi/RJP maka tata laksana selanjutnya sesuai dengan irama/klinis penderita
saat itu (masuk algoritme yang sesuai irama/klinis penderita).
Lakukan penilaian setelah sirkulasi spontan kembali (ada denyut nadi, irama berubah).
Nilai kembali ABC-nya, penambahan obat tergantung dari klinis pasien pasca-sirkulasi
spontan kembali. Ketika melihat irama di monitor, RJP dihentikan sementara paling lama
10 detik. Bila terlihat VF/VT, maka tetap perintahkan RJP sementara kita melakukan
pengisian energi 360 Joule untuk defibrilasi monofasik atau 200 Joule untuk defibrilasi
bifasik.
Setelah energi sudah penuh barulah kita melakukan defibrilasi dengan sebelumnya
mengatakan “Saya bebas“ (pemegang defibrilasi tidak bersinggungan atau bersentuhan
104
dengan penderita), “Kamu bebas“ (semua teman penolong lainnya juga tidak
bersinggungan atau bersentuhan dengan penderita), “Semua bebas“ (semua yang ada di
tempat tindakan tidak bersinggungan atau bersentuhan dengan penderita), barulah
energi listrik tersebut dilepaskan, sikap demikian ini diulang dalam setiap akan
memberikan defibrilasi.
C. Kasus PEA/Asistol
Definisi
Aktivitas listrik tanpa denyut (pulseless electrical activity/PEA) adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan adanya gambaran listrik pada monitor EKG, tetapi tidak teraba
denyut nadi pada perabaan arteri karotis. PEA merupakan suatu keadaan henti jantung.
Sebenarnya pada keadaan ini ventrikel masih berkontraksi tetapi tidak cukup kuat
menimbulkan pulsasi sampai ke pembuluh darah.
Asistol merupakan keadaan pada saat jantung berhenti berkontraksi. Keadaan ini
merupakan puncak dari perjalanan henti jantung. Pada VT, VF, dan PEA jantung masih
dapat bergerak walaupun tidak dapat memompa darah, tetapi pada asistol jantung benar-
benar berhenti total. Penyebab keadaan ini adalah sama dengan penyebab henti jantung
lainnya.
Gambaran EKG
Gambaran EKG pada PEA dapat bermacam-macam, tetapi pada keadaan ini irama yang
timbul di jantung tidak mampu membuat suatu aktivitas mekanik ventrikel atau bisa saja
terdapat aktivitas mekanik pada ventrikel tetapi tidak cukup untuk membuat terabanya
nadi. Walaupun iramanya dapat bermacam-macam, tapi biasanya gambaran EKG berupa
komplek QRS yang lebar dengan frekuensi yang rendah sekitar 20-40 kali per menit
ataupun bisa kurang dari 20 kali per menit. Gambaran EKG ini dikenal sebagai irama
idioventrikular, banyak ahli menganggap keadaan ini sebagai “dying heart”.
Gambaran asistol (atau lebih tepat disebut ventricular asystole) adalah garis lurus
tanpa aktivitas ventrikel (tidak tampak kompleks QRS).
Gambar 9.2. Asistol ventrikel. Penderita ini tidak memiliki denyut dan tidak dapat
memberikan respon.
105
Tata Laksana PEA
Lakukan survei primer untuk menentukan henti jantung jika terbukti terjadi kemudian
lanjutkan dengan RJP sambil menunggu alat defibrilator datang. Ketika alat defibrilator
datang, pasang sadapan segera pada tubuh penderita tanpa menghentikan RJP. Setelah
monitor sudah terpasang dan sudah siap dibaca, hentikan RJP (tidak boleh lebih dari 10
detik) dan lihat di monitor irama apakah yang terlihat. Bila ternyata terdapat irama
terorganisir (bukan VT, bukan VF, bukan asistol), lakukan perabaan karotis. Bila tidak
terdapat denyut karotis maka keadaan ini disebut PEA dan segera melakukan RJP
Segera berikan epinefrin 1 mg dan lanjutkan RJP sebanyak lima siklus (2 menit).
Pertimbangkan intubasi trakea segera bila diperlukan. Setelah RJP selama 2 menit, stop
RJP, lihat irama pada monitor. Bila terdapat irama terorganisir (bukan VT, bukan VF, bukan
asistol), lakukan perabaan karotis, bila tidak ada denyut karotis lakukan RJP lagi. RJP
dilakukan selama 2 menit, lihat kembali monitor, bila tetap irama terorganisir (bukan VT,
bukan VF, bukan asistol), cek nadi, bila tidak ada, kembali lakukan RJP kembali dan berikan
obat epinephrine 1 mg. Setelah RJP selama 2 menit, lihat monitor kembali, bila tetap
idioventrikular, cek nadi, bila tidak ada nadi lakukan RJP.
106
sudah benar diberikan baik cara maupun dosisnya. Penilaian ulang ini untuk melihat
apakah ada kekurangan kita dalam melakukan pertolongan. (lihat algoritme henti jantung
gambar 9.3)
107
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., ...
& Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010
American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V. K.,
... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
3. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
4. Morrison, L. J., Deakin, C. D., Morley, P. T., Callaway, C. W., Kerber, R. E., Kronick, S.
L., ... & Parr, M. (2010). Part 8: advanced life support: 2010 international consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S345-S421.
5. Rea, T. D., Helbock, M., & Perry, S. (2006). Increasing use of cardiopulmonary
resuscitation during out-of-hospital cardiac arrest: survival implications of guideline
changes. Circulation, 114, 2760-5.
6. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circulation, 112(24 Suppl), IV1.
7. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
8. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013).
Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review.
Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
9. Ong, M. E. H., Tiah, L., Leong, B. S. H., Tan, E. C. C., Ong, V. Y. K., Tan, E. A. T., ... &
Chen, Y. (2012). A randomised, double-blind, multi-centre trial comparing
vasopressin and adrenaline in patients with cardiac arrest presenting to or in the
Emergency Department. Resuscitation, 83(8), 953-960.
108
10. Rodríguez-Núñez, A., López-Herce, J., García, C., Domínguez, P., Carrillo, A., & Bellón,
J. M. (2006). Pediatric defibrillation after cardiac arrest: initial response and
outcome. Critical Care, 10(4), R113.
11. Eftestøl, T., Wik, L., Sunde, K., & Steen, P. A. (2004). Effects of cardiopulmonary
resuscitation on predictors of ventricular fibrillation defibrillation success during out-
of-hospital cardiac arrest. Circulation, 110(1), 10-15.
12. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation worsens
the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of emergency
medicine, 27(4), 470-474.
13. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
109
BAB X
RESUSITASI PADA KONDISI–KONDISI KHUSUS
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada orang yang mengalami henti jantung akibat
hipotermia
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada orang yang mengalami henti jantung karena
tenggelam
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada orang yang mengalami henti jantung karena
trauma
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada orang yang mengalami henti jantung karena
tersambar petir dan tersengat listrik
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada wanita hamil yang mengalami henti jantung
• Menguraikan tatalaksana BHJD pada orang dengan henti jantung akibat asphyxia
PENDAHULUAN
Kondisi-kondisi khusus yang dapat mengakibatkan henti jantung paru mungkin
memerlukan aspek spesifik pada tatalaksana resusitasi. Pada bab ini akan dipelajari
pertolongan pada situasi-situasi khusus, seperti: hipotermia, tenggelam, trauma,
tersengat listrik dan tersambar petir, dan kehamilan.
Sebagai pelayan kesehatan, anda sebaiknya mampu melakukan triage dan teknik yang
benar sebagai persiapan pertolongan pada kondisi-kondisi khusus tersebut.
A. Hipotermia
Hipotermia berat, suhu kurang dari 30oC, berhubungan dengan depresi berat
peredaran darah otak dan kebutuhan oksigen, penurunan cardiac output, dan penurunan
tekanan arterial. Penderita dapat meninggal disebabkan depresi berat pada sistem saraf.
Hipotermia dapat membuat kesulitan penilaian terhadap sistem pernapasan dan
sirkulasi, tetapi jangan menunda proses penyelamatan hanya dengan mengandalkan
penilaian klinis. Rujuk penderita secepatnya ke pusat yang memiliki fasilitas lengkap jika
memungkinkan. Hipotermia merupakan masalah kesehatan yang serius. Hipotermia di
kota-kota besar biasanya terkait dengan kondisi gangguan mental, kemiskinan, dan
110
ketergantungan obat dan alkohol. Di daerah pedesaan lebih dari 90% kematian akibat
hipotermia disebabkan peningkatan kadar alkohol di dalam darah.
Jika penderita tubuhnya kedinginan, pernapasan dan nadi akan menjadi lambat, napas
dangkal, dan adanya vasokonstriksi perifer akan menyebabkan pulsasi sulit diraba. Karena
alasan-alasan inilah maka kompresi dada segera dilakukan jika mendapatkan pulseless
cardiac arrest. Jika penderita tidak bernapas, berikan napas bantuan, idealnya dengan
bag-mask ventilation dan penghangat udara. Jika penderita nadinya tidak teraba dan tidak
terdeteksi adanya tanda-tanda sirkulasi, lakukan kompresi dada segera, jangan menunda
RJP, jangan menunda resusitasi jantung paru karena menunggu tubuh penderita menjadi
hangat. Jika penderita hipotermia tidak dalam kondisi henti jantung sediakan segera alat
penghangat dan diletakkan pada leher, ketiak dan lipat paha. Setelah kondisi penderita
stabil persiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit. Semua memerlukan dukungan ACLS.
Terdapat beberapa kontroversi untuk penanganan terhadap hipotermia (suhu <30oC).
Kebanyakan pelayan kesehatan tidak memiliki sarana penghangat tubuh, sehingga
dianjurkan untuk segera merujuk penderita tersebut. Penyediaan sarana penghangat di
luar rumah sakit dengan pelembab oksigen atau cairan hangat mungkin dapat mencegah
menurunnya suhu tubuh. Untuk mencegah fibrilasi ventrikel, cegah terjadinya ekses
aktivitas yang berlebihan. Transportasikan penderita dengan posisi tubuh horizontal
untuk mencegah perburukan hipotermia.
Jika penderita hipotermia dalam kondisi henti jantung, protokol BHJD, yakni
circulation, airway dan breathing tetap dilaksanakan. Defibrilator eksternal otomatis
harus disediakan pada semua unit BHJD. Jika VF terdeteksi berikan shock. Jika VF menetap
dan suhu tubuh <300C, dipertimbangkan untuk menunda defibrilasi dan mulai segera
lakukan RJP, rewarming (penghangatan tubuh), stabilkan kondisi penderita untuk dirujuk.
Jika suhu tubuh penderita >300C, bukan tidak mungkin aritmia (bukan VF) dapat kembali
ke sinus rhythm jika kehangatan tubuh telah diperoleh.
111
f. Jika tanda-tanda pernapasan tidak terdeteksi, berikan napas bantuan dan
sebaiknya menggunakan bag mask, menggunakan oksigen yang memiliki
kelembaban baik (420C-460C (1080F-1150F) jika memungkinkan
g. Jika penderita tidak dalam kondisi henti jantung berikan penghangatan tubuh
segera
h. Jika penderita dalam henti jantung segera mulai kompresi dada dan gunakan
defibrilator eksternal otomatis. Jika penderita tidak ada respons lanjutkan RJP dan
stabilkan kondisi klinisnya untuk dapat dilakukan transfer ke RS
Di lapangan, resusitasi mungkin dapat dihentikan jika penderita sudah dalam lethal
injury atau tubuh sudah menjadi beku. Kompresi dada merupakan hal yang tidak mungkin.
Penghangatan komplit (complete rewarming) tidak diperlukan pada kondisi demikian.
Karena hipotermia berat dapat terjadi akibat beberapa kondisi, seperti overdosis obat,
penggunaan alkohol atau trauma, maka penolong harus mengevaluasi kondisi-kondisi
tersebut pada saat menolong penderita hipotermia.
B. Tenggelam
Hipoksia merupakan hal yang paling berperan terhadap terjadinya kerusakan organ
vital pada orang yang tenggelam. Kerusakan yang terjadi dan harapan hidup tergantung
dari lamanya keadaan hipoksia. Jadi oksigenisasi, ventilasi dan perfusi harus diperbaiki
secepat mungkin. Hal ini memerlukan tindakan segera, yakni BHJD dan aktifkan sistem
Layanan Gawat Darurat (Emergency Medical System). Penderita yang mengalami sirkulasi
spontan dan pernapasan pada saat di rumah sakit hasilnya cukup baik. Penderita yang
tenggelam dapat mengalami hipotermia primer atau sekunder.
Jika tenggelam terjadi di air bersalju suhu < 50C, hipotermia dapat cepat terjadi.
Hipotermia sekunder terjadi sebagai komplikasi penyelaman dan berkurangnya panas
tubuh karena evakuasi pada saat resusitasi. Kondisi hipoksia itu sendiri dapat
menyebabkan komplikasi pada paru dan memerlukan pertolongan ACLS. Pada hampir
semua korban tenggelam akibat menyelam dapat terjadi injuri pada kepala atau saraf
tulang belakang.
112
menggunakan kapal, perahu, dan lain-lain. Perlakukan semua orang tenggelam seperti
penderita cedera tulang belakang, imobilisasi tulang toraks, juga keamanan diri sendiri
pada waktu memberikan pertolongan tersebut.
Trauma/nyeri saraf tulang belakang biasanya terjadi pada orang yang menyelam.
Menyelam pada air yang dangkal dapat menyebabkan fraktur tulang leher dan
paralisis. Jika terjadi trauma pada leher, posisikan leher secara netral (tanpa fleksi atau
ekstensi). Jika penderita harus berpindah posisi, lakukan kepala, leher, dada dan badan
dengan posisi horizontal dan posisi supine/terlentang. Berikan bantuan napas dengan
posisi kepala netral, buka jalan napas dengan menggunakan manuver jaw thrust tanpa
head tilt-chin lift.
2. Penyelamatan pernapasan
Yang pertama dan terpenting untuk menyelamatkan orang yang tenggelam adalah
pemberian napas bantuan dari mulut ke mulut atau dapat juga menggunakan alat
perintang (barrier device). Segera berikan napas bantuan secepatnya dan tentunya
perlindungan terhadap penolong.
Alat tambahan (contohnya snorkel) untuk napas bantuan dari mulut ke snorkel
memerlukan keahlian dari seseorang, tetapi jangan memperlambat bantuan napas
disebabkan kurangnya alat-alat yang tersedia. Penolong yang tidak terlatih sebaiknya
tidak menggunakan alat-alat tersebut. Tatalaksana jalan napas dan pernapasan pada
orang tenggelam adalah sama dengan semua korban dengan henti jantung paru.
Tatalaksana jalan napas pada BHJD dengan alat bantuan, contoh bag-mask
ventilation dan intubasi dapat diberikan pada orang yang tenggelam. Heimlich
maneuver tidak direkomendasikan pada penanganan rutin orang yang tenggelam.
Manuver Heimlich hanya digunakan jika kita mencurigai jalan napas orang tersebut
terobstruksi oleh benda asing. Bersihkan semua material padat pada mulut atau faring
sebelum melakukan pembebasan jalan napas, tetapi tidak perlu berusaha
mengeluarkan cairan yang mengendap kedalam paru-paru (teraspirasi).
113
menyelamatkan orang dari air. Segera berikan bantuan napas secepatnya
• Jika terjadi kecelakaan pada penyelaman atau trauma pada kepala, perlakukan
leher pada posisi netral, cegah leher untuk bergerak dan pindahkan korban dari
air dengan menggunakan papan jika memungkinkan. Jangan melakukan
kompresi dada di dalam air. Jika memungkinkan mulai kompresi dada sesegera
mungkin setelah memindahkan korban dari air. Jangan coba mengeluarkan air
yang mengendap dalam paru2 (teraspirasi), cukup mengeluarkan cairan dan
bahan organik yang terdapat dalam mulut dan faring
• Rujuk semua korban tenggelam ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan
segera
C. Trauma
Angka kelangsungan hidup prahospital pada henti jantung akibat trauma tumpul
secara umum lebih rendah pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Transportasi
ke pusat trauma adalah hal penting untuk menyelamatkan hidup penderita.
Perburukan pada henti jantung disebabkan hal-hal sebagai berikut:
a. Trauma saraf pusat dengan akibat kolaps jantung dan pembuluh darah
b. Hipoksia sekunder dan henti napas menyebabkan trauma pada saraf, obstruksi
jalan napas, atau laserasi trauma bronkial berat
c. Trauma langsung dan berat ke organ-organ vital: jantung, aorta, dan arteri
pulmonalis
d. Beberapa masalah medis sebelumnya dapat menyebabkan trauma seperti sudden
VF pada pengemudi kendaraan atau korban tersengat listrik
e. Penurunan cardiac output yang berat karena tension pneumothorax
f. Trauma pada lingkungan yang dingin (contoh fraktur kaki merupakan komplikasi
hipotermia berat)
Pada kondisi henti jantung akibat perdarahan internal atau tamponade perikardial,
harus memerlukan transportasi yang cepat ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap.
Henti napas mungkin dapat ditangani dengan baik jika penanganan manajemen jalan
napas dan ventilasi secepatnya. VF dapat diterapi dengan defibrilator eksternal
otomatis. Triage dan manajemen penderita trauma dengan kondisi kritis, jika banyak
penderita yang mengalami trauma serius, personel emergensi harus memprioritaskan
114
hal ini. Jika jumlah penderita yang mengalami sakit berat melebihi kapasitas yang ada,
korban tanpa nadi merupakan prioritas yang paling rendah dalam triage. Personel
emergensi sebaiknya bekerja dengan pedoman yang tersedia.
D. Tersengat Listrik
Tersengat listrik mencapai kira-kira 500-1000 kematian per tahun di Amerika. Korban
dengan tersengat listrik mengeluh sensasi yang berbeda-beda dari mulai intensitas
rendah sampai henti jantung akibat kecelakaan listrik. Sebagian shock elektrik yang terjadi
pada orang dewasa terjadi di tempat kerja. Tersengat listrik pada anak biasanya terjadi di
rumah pada waktu anak memainkan kabel listrik atau memasukkan sebuah objek ke
dalam soket listrik, trauma listrik pada anak biasanya terjadi di rumah pada saat anak
memegang kabel listrik dengan voltase rendah.
Shock listrik berasal dari efek langsung sejumlah besar daya listrik ke membran dan
jaringan pembuluh darah ke otot.
E. Kehamilan
Resusitasi pada ibu hamil memerlukan penanganan khusus. Meskipun jarang angka
kejadian henti jantung pada ibu hamil, akhir akhir ini semakin meningkat. Selama
kehamilan normal terjadi peningkatan cardiac output sebesar 50%. Denyut jantung ibu,
isi sekuncup, dan kebutuhan oksigen tentu akan naik. Jika korban dalam posisi terlentang
115
uterus yang gravid akan menekan vena kava interior, vena iliaka, dan aorta abdominalis
dan akan mengakibatkan penurunan cardiac output sebesar 25%. Kasus potensial yang
dapat menyebabkan henti jantung pada kehamilan adalah sebagai berikut:
a. Perdarahan
b. Gagal jantung
c. Cairan emboli dari amnion
d. Sepsis
e. Eklamsia
f. Emboli paru
Seksio caesar perimortem yang dilakukan pada usia kandungan lebih dari 20 minggu
dapat meningkatkan angka harapan hidup kejadian henti jantung pada ibu hamil. Tim
medis yang terdiri dari ahli di bidang obstetri, resusitasi henti jantung, resusitasi neonatus
dan anesthesi direkomendasikan untuk penanganan kasus kasus henti jantung pada ibu
hamil. Apabila ROSC tidak didapatkan pada kasus henti jantung ibu hamil lebih dari 5
menit, maka seksio caesar perimortem harus dilakukan secepat mungkin dengan tim yang
terintegrasi. Untuk manajemen kejadian henti jantung pada ibu hamil di luar rumah sakit
juga harus difasilitasi dengan transpor sesegera mungkin ke pusat kesehatan yang dapat
melakukan seksio caesar perimortem selama resusitasi berlangsung.
Wanita hamil lebih mudah mengalami hipoksia maka oksigenasi dan tatalaksana jalan
nafas harus lebih dioptimalkkan selama proses resusitasi berlangsung. Tatalaksana pasca
henti jantung berupa targeted temperature management (TTM) masih direkomendasikan
bagi ibu hamil yang tetap mengalami koma setelah dilakukan resusitasi pada kasus henti
jantung. Selama pelaksanaan TTM evaluasi janin tetap dilakukan mengingat bradikardi
pada janin merupakan salah satu resiko pelaksanaan TTM.
Henti jantung sendiri mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit yang dialami
oleh penderita tersebut, termasuk kardiomiopati kongestif, diseksi aorta, emboli paru,
perdarahan akibat kehamilan yang berhubungan dengan kondisi patologis. Untuk
mencegah henti jantung pada wanita hamil, jika memungkinkan letakkan penderita pada
posisi lateral kiri. Hal ini akan mengurangi tekanan pada vena kava inverior dan mungkin
menaikkan volume darah yang menuju ke jantung. Kompresi dada lebih efektif jika
penderita dimiringkan ke kiri.
116
Gambar 10.1. Memposisikan uterus ke sisi kiri korban
Lanjutkan ACLS/BLS
• High quality CPR
• Defibrilasi sesuai indikasi
• Tatalaksana algoritma
ACLS
117
Tabel 10.1 Hal-hal yang perlu diperhatikan pada kondisi henti jantung pada ibu hamil
Etiologi Henti
Henti Jantung Maternal Advanced Airway
Jantung
• Perencanaan tim • Karena tatalaksana A: Anesthetic
sebaiknya dilakukan jalan nafas henti complication
berkolaborasi melibatkan jantung pada wanita B: Bleeding
obstetric, neonatal, hamil cukup sulit, C: Cardiovascular
kegawatdaruratan jantung, maka diperlukan D: Drugs
anesthesi, perawatan penolong yang E: Embolic
intensif dan tatalaksana berpengalaman F: Fever
henti jantung • Intubasi G: General non
• Prioritas yang harus endotracheal atau obstetric cause (5H
dilakukan pada kasus supraglottic dan 5T)
wanita hamil dengan henti advanced airway H: Hypertension
jantung adalah high quality dapat menjadi
CPR dan melakukan pilihan
manuver memposisikan • Lakukan waveform
rahim ke lateral kiri capnography atau
• Tujuan dari seksio caesar capnometry untuk
perimortem adalah untuk mengkonfirmasi
meningkatkan angka pemasangan ET
keselamatan ibu dan bayi • Setelah ET terpasang
• Waktu ideal untuk seksio berikan 1 nafas tiap
caesar perimortem adalah 6 detik bersamaan
5 menit dari awal dengan kompresi
resusitasi dada 100-120
x/menit
F. Alergi
Reaksi alergi sangat jarang, tetapi jika terjadi hal ini merupakan hal yang vital untuk
diatasi. Terpapar dengan alergen yang telah diketahui (pollen, makanan, digigit serangga)
mungkin merupakan penyakit awalnya. Hal yang paling penting pada kondisi alergi adalah
membuka jalan napas yang disebabkan edema atau syok anafilaktik. Setelah
118
mengaktifkan sistem emergensi letakkan penderita pada posisi terlentang. Jika henti
napas dan jantung terjadi segera lakukan penyelamatan jalan napas atau RJP.
G. Asfiksia
Adalah merupakan hal yang disebabkan gas dan udara atau oksigen. Hal ini dapat
berkembang dari kebakaran atau bocornya sebuah gas. Yang akan menghasilkan karbon
monoksida. Lakukan RJP dan jauhkan dari gas beracun. Jika ventilasi pernapasan adekuat
berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi.
119
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3),
S729-S767.
3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D.
(2013). Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic
review. Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the
art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8
7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski,
M. F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–
S435.
120
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde,
K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015:
section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén,
M., ... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support:
2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
121
BAB XI
RESUSITASI PADA PASIEN CURIGA ATAU TERKONFIRMASI
COVID-19
LATAR BELAKANG
Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dari Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) yang ada saat ini belum membahas langkah-langkah
resusitasi dalam situasi pandemi seperti era COVID-19 ini, dimana penolong perlu
memberikan pertolongan dengan tetap memastikan keamanan mereka sendiri. Untuk itu,
PERKI memakai pedoman RJP dari American Heart Association (AHA), yang bekerja sama
dengan American Academy of Pediatrics, American Association for Respiratory Care,
American College of Emergency Physicians, The Society of Critical Care Anesthesiologists,
dan American Society of Anesthesiologists dengan didukung oleh American Association of
Critical Care Nurses dan National EMS Physicians dalam memberikan pertolongan yang
tepat terhadap korban henti jantung terduga/ positif COVID-19.
Wabah infeksi SARS-CoV2 yang terus meningkat dan menyebar luas tentu berdampak
pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk memodifikasi praktik resusitasi
yang telah ada. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan pasien dengan
atau tanpa COVID-19 yang mengalami henti jantung mendapatkan kesempatan untuk
selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong – yang tentunya akan dibutuhkan
untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan COVID-19 yang sangat
menular, hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi
dan mungkin mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas. Sekitar 12-19% pasien
yang positif COVID-19 membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan 3-6% berada pada
kondisi kritis. Komplikasi seperti hipoksemia akibat gagal nafas akut, jejas miokard, aritmia
ventrikular, dan syok banyak dijumpai pada pasien kritis dan menyebabkan pasien
tersebut lebih berisiko mengalami henti jantung. Penggunaan obat-obatan seperti
hidroklorokuin dan azitromisin yang memiliki efek samping memperpanjang interval QT
juga berpotensi meningkatkan risiko aritmia lethal. Dengan angka infeksi yang masih
bertambah secara eksponensial di berbagai belahan dunia, angka henti jantung pada
pasien COVID-19 juga kemungkinan besar akan bertambah.
Tenaga kesehatan merupakan profesi dengan risiko tertinggi tertular penyakit ini.
122
Risiko ini semakin nyata seiring maraknya kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) di seluruh
dunia. Upaya resusitasi meningkatkan risiko penularan terhadap tenaga kesehatan karena
berbagai alasan. Pertama, RJP meliputi berbagai prosedur yang menghasilkan aerosol,
termasuk di dalamnya kompresi dada, ventilasi tekanan positif, dan pemasangan alat
bantu nafas lanjut (advanced airway). Selama prosedur ini, partikel virus dapat
tersuspensi di udara dengan waktu paruh kurang-lebih 1 jam dan dihirup oleh orang-
orang yang ada di sekitarnya. Kedua, upaya resusitasi mengharuskan sejumlah penolong
untuk bekerja dalam jarak dekat baik satu sama lain maupun dengan pasien. Terakhir,
henti jantung merupakan kegawatdaruratan dimana kebutuhan pasien untuk mendapat
resusitasi dalam waktu cepat dan hal ini berpotensi menyebabkan kemerosotan praktik
kewaspadaan standar untuk mengontrol infeksi.
Dalam penyusunan pedoman sementara ini, kami menelaah rekomendasi RJP dari AHA
yang ada dalam konteks pandemi COVID-19 dan mempertimbangkan patofisiologi COVID-
19 yang unik dengan menjadikan koreksi hipoksemia sebagai tujuan utama. Kami berfokus
untuk menyeimbangkan antara memberikan resusitasi yang cepat dan berkualitas kepada
pasien dengan tetap memperhatikan keamanan penolong. Pernyataan ini berlaku untuk
semua pasien yang terduga/ positif COVID-19 baik dewasa, anak, maupun neonatus
kecuali dinyatakan secara khusus. Pedoman ini didasarkan pada pendapat ahli dan perlu
diadaptasi secara lokal didasarkan pada beban penyakit dan ketersediaan sumber daya.
123
3. Pada kondisi dimana sudah ada protokol dan tersedia fasilitas, pertimbangkan
untuk mengganti kompresi dada manual dengan alat RJP mekanik guna
mengurangi jumlah penolong yang dibutuhkan pada kasus henti jantung dewasa
dan dewasa muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan.
4. Komunikasikan dengan jelas status infeksi COVID-19 kepada penolong baru
sebelum mereka sampai di lokasi atau saat memindahkan pasien ke lokasi yang
baru.
Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi yang lebih rendah
• Dasar: Meskipun intubasi memiliki risiko aerosolisasi yang tinggi, jika pasien diintubasi
dengan pipa endotrakeal yang dilengkapi cuff dan kemudian dihubungkan ke ventilator
dengan sistem penyaring HEPA (high-efficiency particulate air) dan kateter penghisap
dalam tabung (in-line suction catheter), sirkuit tertutup yang dihasilkan akan
menurunkan risiko aerosolisasi dibandingkan metode ventilasi tekanan positif lain.
• Strategi:
1. Sambungkan penyaring HEPA, jika tersedia, ke ventilasi manual ataupun mekanis di
bagian yang dilalui udara ekshalasi sebelum memberikan bantuan nafas.
2. Setelah tenaga kesehatan menilai irama dan melakukan defibrilasi sesuai indikasi,
pasien henti jantung direkomendasikan untuk diintubasi menggunakan pipa yang
dilengkapi balon cuff sesegera mungkin. Hubungkan pipa endotrakeal dengan
ventilator yang memiliki penyaring HEPA bila tersedia.
3. Minimalkan kemungkinan gagal intubasi dengan cara:
a) Tugaskan tenaga kesehatan berpengalaman dan gunakan metode yang
memiliki peluang keberhasilan tinggi pada percobaan pertama intubasi
b) Hentikan kompresi dada selama intubasi
4. Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece untuk neonatus) dengan
penyaring HEPA dan penyekat kedap udara jika tersedia; atau untuk dewasa
pertimbangkan penggunaan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing mask yang
ditutupi dengan masker bedah.
5. Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan penggunaan ventilasi manual dengan
supraglottic airway atau bag-mask device yang dilengkapi penyaring HEPA bila
tersedia
124
6. Begitu sirkuit tertutup berhasil dipasang, minimalisir diskoneksi alat untuk
mengurangi aerosolisasi.
125
Kurangi paparan terhadap penolong
• Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruangan/ tempat kejadian
• Batasi jumlah personel
• Pertimbangkan penggunaan alat RJP mekanik pada pasien dewasa dan dewasa muda yang
memenuhi kriteria tinggi dan berat badan.
• Komunikasikan status COVID-19 ke setiap penolong baru
Gambar 11.1. Ringkasan Algoritma RJP pada pasien terduga/ positif COVID-19
126
Gambar 11.2. Algoritma Bantuan Hidup Jantung Dasar pada kasus henti jantung untuk
pasien terduga atau terkonfirmasi COVID-19
127
Gambar 11.3. Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien dewasa terduga
atau terkonfirmasi COVID-19
128
Gambar 11.4. Algoritma Bantuan Hidup Jantung Dasar pada kasus henti jantung pasien
anak terduga atau terkonfirmasi COVID-19 untuk 1 (satu) penolong
129
Gambar 11.5. Algoritma Bantuan Hidup Jantung Dasar pada kasus henti jantung anak
yang terduga atau terkonfirmasi COVID-19 untuk 2 penolong atau lebih
130
Gambar 11.6. Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien anak terduga atau
terkonfirmasi COVID-19
131
Pertimbangan untuk Situasi dan Kondisi Tertentu
Henti Jantung di Luar Rumah Sakit
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien
terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada
prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk
mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar rumah sakit.
• Penolong awam
RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti
meningkatkan sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka
sintasan tersebut menurun dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi.
Penolong di komunitas kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD
yang cukup, dan oleh karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar
COVID-19 selama RJP dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni.
Penolong dengan usia tua dan memiliki komorbid seperti penyakit jantung,
diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke
dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2. Meskipun begitu, bila henti jantung
terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus henti jantung di luar rumah
sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja diterapkan), penolong awam
kemungkinan telah terpapar dengan COVID-19.
- Kompresi dada
o Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP
dengan tangan saja (hands-only CPR) ketika menemukan kasus henti
jantung, jika bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di
rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan
korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut
dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat
menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal
di rumah tersebut.
o Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan
mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan
mampu, mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak,
khususnya jika penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban
sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah
132
atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh
penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan
kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut, jika
penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan ventilasi mulut
ke mulut.
- Defibrilasi
o Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol,
penolong awam dapat menggunakan automated external
defibrillation (AED) jika ada untuk menolong korban henti jantung di
luar rumah sakit.
• Penolong tenaga medis
- Telekomunikasi (dispatch)
o Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang
berlaku, direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua
telepon yang masuk terkait pasien dengan gejala COVID-19 (demam,
batuk, sesak nafas) atau telah diketahui positif COVID-19 atau
memiliki kontak dekat dengan pasien positif lainnya.
▪ Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan
panduan mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi
penolong dan memberikan instruksi untuk RJP dengan
kompresi dada saja seperti di atas
▪ Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus
mengingatkan tim untuk mengenakan APD jika mencurigai
adanya infeksi COVID-19
- Transportasi
o Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau
positif COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama
o Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya
resusitasi optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk
tidak membawa pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang
rendah, dan risiko peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga
kesehatan lainnya.
133
Henti Jantung di Lingkungan Rumah Sakit
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien
terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Panduan berikut
tidak berlaku untuk pasien yang telah diketahui negatif COVID-19, dimana pasien tersebut
dapat menerima BHJD dan BHJL standar. Meskipun begitu, adalah masuk akal untuk
mengurangi tenaga medis di dalam ruangan selama resusitasi berlangsung selama
pandemi dengan tujuan menjaga jarak (social distancing).
• Sebelum henti jantung
o Diskusikan pelayanan lanjutan dan tujuan perawatan dengan semua
pasien (atau wali) yang terduga/ positif COVID-19 begitu sampai di rumah
sakit dan apa yang ingin dilakukan begitu ada perubahan yang signifikan
pada klinis pasien
o Monitor ketat tanda dan gejala perburukan klinis untuk meminimalkan
kebutuhan intubasi emergensi yang meningkatkan risiko bagi pasien dan
tenaga medis
o Jika pasien berisiko henti jantung, pertimbangkan untuk secara proaktif
memindahkan pasien ke ruangan bertekanan negatif bila ada, untuk
meminimalkan risiko paparan terhadap penolong selama resusitasi
• Tutup pintu jika memungkinkan untuk mencegah kontaminasi ruangan yang
berdekatan.
• Untuk pasien yang terintubasi pada saat henti jantung
o Pertimbangkan untuk memberikan pasien ventilator mekanik dengan
penyaring HEPA untuk mempertahankan sirkuit tertutup dan
menurunkan aerosolisasi
o Sesuaikan pengaturan ventilator untuk memungkinkan ventilasi asinkron
(sesuaikan pengaturan waktu kompresi dada dengan ventilasi pada bayi
baru lahir). Pertimbangkan saran-saran berikut:
▪ Tingkatkan FIO2 ke 1.0
▪ Ubah mode pengaturan menjadi Pressure Control Ventilation
(Assist Control) dan batasi tekanan sesuai kebutuhan untuk
menghasilkan pengembangan dada yang adekuat (target
umumnya 6 mL/kg BB ideal untuk dewasa dan 4-6 mL/kg untuk
neonatus)
134
▪ Sesuaikan pemicu ke off untuk mencegah ventilator terpicu
secara otomatis saat dilakukan kompresi dada dan mencegah
hiperventilasi dan air trapping
▪ Sesuaikan laju respirasi menjadi 10 kali per menit untuk dewasa
dan anak, dan 30 kali per menit untuk neonatus
▪ Nilai kebutuhan untuk menyesuaikan positive end-expiratory
pressure untuk menyeimbangkan dengan volume paru dan aliran
balik vena.
▪ Sesuaikan alarm untuk mencegah alarm fatigue
▪ Pastikan pipa endotrakueal/ trakeostomi dan sirkuit ventilator
aman untuk mencegah ekstubasi yang tidak terencana
o Jika sirkulasi spontan pasien kembali (ROSC), atur ventilator sesuai
dengan klinis pasien
• Untuk pasien dengan posisi pronasi saat henti jantung
o Pada pasien terduga/ positif COVID-19 yang berada dalam posisi pronasi
tanpa alat bantu nafas lanjut (advanced airway), upayakan untuk reposisi
pasien ke dalam posisi supinasi untuk melanjutkan resusitasi
o Meskipun efektivitas RJP dalam posisi pronasi tidak diketahui secara
pasti, untuk pasien yang berada dalam posisi pronasi dengan alat bantu
nafas lanjut (advanced airway), hindari reposisi ke supinasi kecuali tidak
ada risiko lepas alat bantu nafas dan aerosolisasi. Pertimbangkan untuk
menempatkan bantalan defibrilasi pada posisi anterior-posterior dan
berikan RJP dalam posisi pronasi dengan tangan di posisi standar di atas
korpus vertebra T7 atau T10
• Pada pasien post henti jantung
o Konsultasikan bagian pengendalian infeksi terkait transportasi pasca
resusitasi
135
melahirkan adalah sumber aerosolisasi potensial bagi tim perawatan neonatus.
• Langkah awal: Pelayanan neonatus rutin dan langkah awal resusitasi neonatus
kemungkinan besar tidak menghasilkan aerosol; diantaranya mengeringkan
bayi, stimulasi taktil, menempatkan bayi dalam balutan plastik, penilaian laju
detak jantung, serta pemasangan oksimetri dan lead EKG.
• Suction: suction pada jalan nafas setelah lahir sebaiknya tidak dilakukan secara
rutin jika cairan amnion jernih atau terkontaminasi meconium. Suctioning
merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol dan tidak diindikasikan untuk
persalinan normal
• Medikasi endotrakeal: Pemberian obat-obatan secara endotrakeal, seperti
surfaktan atau epinefrin, merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol,
terutama bila dilakukan dengan pipa endotrakea tanpa cuff. Pemberian epinefrin
secara intravena dengan kateter vena umbilikus letak rendah (low-lying umbilical
venous catheter) merupakan rute administrasi pilihan pada resusitasi neonatus
• Inkubator tertutup: Pemindahan dan perawatan pasien dalam inkubator tertutup
(dengan pengaturan jarak yang sesuai) sebaiknya digunakan untuk pasien
neonatus yang menjalani rawat intensif jika memungkinkan, namun hal ini tidak
melindungi mereka dari aerosolisasi virus.
Henti jantung pada ibu hamil: Prinsip henti jantung pada ibu hamil tidak berbeda untuk
perempuan terduga/ positif COVID-19.
• Perubahan fisiologis jantung paru pada saat kehamilan berpotensi
meningkatkan risiko dekompensasi akut pada pasien hamil dengan COVID-19
yang jatuh kritis.
• Persiapan untuk persalinan perimortem, setelah 4 menit resusitasi, perlu
dipertimbangkan lebih awal pada algoritma resusitasi guna memberi waktu bagi
tim obstetri dan neonatus untuk menggunakan APD, bahkan jika sirkulasi
spontan (ROSC) berhasil kembali dan persalinan perimortem tidak lagi
dibutuhkan.
136
REFERENSI:
1. Edelson DP, Sasson C, Chan PS, Atkins DL, Aziz K, Becker LB, et al. Interim guidance
for basic and advanced life support in adults, children, and neonates with
suspected or confirmed COVID-19. Circulation. 2020.
2. Maron, B. A., Gladwin, M. T., Bonnet, S., De Jesus Perez, V., Perman, S. M., Yu, P.
B., & Ichinose, F. (2020). Perspectives on Cardiopulmonary Critical Care for
Patients With COVID‐19: From Members of the American Heart Association
Council on Cardiopulmonary, Critical Care, Perioperative and Resuscitation.
Journal of the American Heart Association, 9(14), e017111.
3. Nolan, J. P., Monsieurs, K. G., Bossaert, L., Böttiger, B. W., Greif, R., Lott, C., ... &
Wyllie, J. (2020). European Resuscitation Council COVID-19 guidelines executive
summary. Resuscitation, 153, 45-55.
4. Chan, P. S., Berg, R. A., & Nadkarni, V. M. (2020). Code blue during the COVID-19
pandemic. Circulation: Cardiovascular Quality and Outcomes, 13(5), e006779.
137