Anda di halaman 1dari 118

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional i

EDITOR DAN KONTRIBUTOR

EDITOR :

dr. Muhammad Akbar, Sp.S (K), Ph.D., DFM


dr. Mursyid Bustami Sp.S (K), KIC., MARS
dr. Adin Nulkhasanah Sp.S MARS
dr. Mohammad Kurniawan Sp.S (K) M.Sc

KONTRIBUTOR :

dr. Widodo Mardi Santoso Sp.S (K)


dr. Rivan Danuaji Sp.S (K) M.Kes
dr. Pagan Pambudi Sp.S M.Kes
dr. Sardiana Salam Sp.S M.Kes
dr. Veinels Christian Lomboan Sp.S Mkes

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional i


Sambutan Ketua Umum PP PERDOSSI

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…


Salam sejahtera bagi sejawat semua.
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan
kepada kita semua. Apresiasi yang setinggi-tingginya saya berikan kepada tim editor, kontributor, dan
penyusun buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah
menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Seperti kita ketahui bersama JKN merupakan program negara yang bertujuan untuk
memberikan kepastian perlindungan kesehatan kepada seluruh rakyat dengan menjamin pembiayaan
terutama masyarakat yang tidak mampu dan memberikan kemudahan akses terhadap pelayanan
kesehatan baik secara teritori maupun finansial.
Untuk mensukseskan program ini tentu saja harus melibatkan seluruh pihak yang
berkepentingan mulai dari Kementrian Kesehatan, Kementrian Keuangan, rumah sakit, masyarakat,
dokter, perhimpunan profesi dan lain-lain.
Dokter, khususnya spesialis saraf/neurologi sebagai salah satu unsur penting didalam
menyukseskan program ini. Dokter selain kemampuan profesionalnya juga harus mempunyai
pemahaman dan kemampuan yang baik tentang proses kodefikasi diagnosis, klaim, potensi fraud, obat-
obatan yang berada di Formularium Nasional dan lain-lain yang berkaitan dengan pelayanan neurologi
di era JKN.
Oleh karena itu diperlukan buku panduan yang dapat meningkatan pengetahuan terkait hal-hal
tersebut dengan harapan terjadi persamaan persepsi antara dokter, verifikator rumah sakit dan
verifikator BPJS sehingga proses klaim dan pelayanan neurologi dapat berjalan lancar.
Semoga dengan adanya buku panduan ini dapat memberi manfaat bagi sejawat semua dalam
memberikan pelayanan kesehatan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSSI

Dr. dr. Dodik Tugasworo Pramukarso Sp.S (K)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional ii


Kata Pengantar Editor

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…


Salam sejahtera dan salam sehat bagi semuanya..
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era
JKN ini bisa terselesaikan.
Selamat kami sampaikan kepada para kontributor dan tim penyusun yang sudah
menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik. Semangat kolaborasi dalam pembuatan buku ini
amat terasa. Kalau kita amati, mulai dari editor, kontributor, dan tim penyusun memang terdiri
dari para spesialis saraf yang berkecimpung langsung dalam bidangnya masing-masing. Ada
yang menduduki jabatan di manajemen rumah sakit mulai dari Direktur Utama, Direktur, ada
yang duduk di tim Kementrian Kesehatan sebagai tim ahli, ada juga yang menjabat Ketua Tim
Kendali Mutu Kendali Biaya Cabang, dan juga para perwakilan Perdossi dalam setiap rapat-
rapat dengan Kemenkes ataupun BPJS.
Adapun topik-topik yang dibahas adalah topik yang memang menjadi masalah paling
sering dihadapi oleh para sejawat spesialis saraf dalam berpraktek sehari-hari. Memang dalam
proses editingnya sejumlah kategori dibuat oleh editor untuk memudahkan para pembaca dalam
memahami buku ini, termasuk kita sertakan juga tanya jawab terkait pelayanan neurologi yang
kami tempatkan di bagian akhir. Namun pembaca bebas menikmati buku ini dengan caranya
masing-masing. Mau membaca berurutan boleh, mau secara acak pun tak masalah. Karena
masing-masing topik dalam buku ini berdiri sendiri dan saling melengkapi satu dengan yang
lainnya.
Akhir kata, selamat membaca dan menikmati buku yang pastinya jauh dari sempurna
ini. Harapan kami buku ini dapat membantu para sejawat untuk memberikan pelayanan secara
komprehensif.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Ketua Tim Editor

dr. Muhammad Akbar, Sp.S(K), P.hD, DFM

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional iii


Kata Pengantar Penyusun

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…


Salam sejahtera bagi sejawat semua..
Rasanya tiada kalimat yang patut kami ucapkan selain syukur Alhamduillah atas diberikannya
kemudahan dan kelancaran sehingga penyusunan buku panduan ini bisa terselesaikan dengan tepat
waktu. Terima kasih kami sampaikan kepada ketua umum PP PERDOSSI, para kontributor, editor,
Pusjak Kemenkes, BPJS Kesehatan, dan senior sejawat semua yang telah memberikan masukan
sehingga Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa terwujud.
Keinginan menyusun buku panduan ini sebenarnya sudah sejak lama. Namun melihat regulasi
yang berkaitan dengan JKN dan BPJS sangat sering berubah demikian cepatnya membuat kami ragu-
ragu, jangan-jangan buku yang kita susun ini nanti tidak sesuai dengan situasi yang ada di kemudian
hari karena perubahan kebijakan dan regulasi. Namun atas dorongan terutama Ketua PP Perdossi dan
senior yang lain maka kami beranikan untuk menyusun buku panduan ini.
Di dalam buku ini akan dibahas tentang hal-hal yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari
terutama dalam hal pengkodingan, implementasi aplikasi grouper INA-CBG, potensi fraud dan obat-
obatan neurologi dalam kaitannya dengan Fornas, dan juga rujukan online berjenjang. Kami juga
melampirkan kode diagnosis ICD X, ICD 9 CM, contoh-contoh kasus dan beberapa pertanyaan yang
sering diajukan oleh anggota perdossi dalam program Road Show PP Perdossi yang sudah berjalan
beberapa waktu yang lalu.
Harapan kami dengan adanya buku panduan ini dapat meningkatan pengetahuan terkait hal-hal
tersebut di atas sehingga pelayanan neurologi dapat berjalan lancar.
Sudah barang tentu karena keterbatasan kami, buku ini jauh dari sempurna. Masukan dan saran
sangat kami tunggu untuk perbaikan kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Ketua Tim Penyusun

dr. Widodo Mardi Santoso Sp.S (K)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional iv


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KONTRIBUTOR DAN EDITOR ii
KATA PENGANTAR KETUA PP PERDOSSI iii
KATA PENGANTAR EDITOR iv
KATA PENGANTAR PENYUSUN v
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KAIDAH KODING DAN KAIDAH KLAIM DALAM PELAYANAN 6
NEUROLOGI
2.1 Pengertian Diagnosis 6
2.2 Aturan Koding Morbiditas ICD-10 Versi Tahun 2010 7
2.3 Aturan Koding Lainnya yang Berlaku untuk INA-CBG 16
BAB III IMPLEMENTASI GROUPER INA-CBG DALAM PELAYANAN 21
NEUROLOGI
3.1 Struktur Grouper INA-CBG 21
3.2 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Efektif 24
Dan Efisien.
3.3 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang 27
Menyesuaikan Dengan Derajat Keparahan (Severity Level) Kasus
3.4 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Berkaitan 31
Dengan Reseleksi Diagnosis Dan Pemilihan Kode ICD X dan ICD 9
CM.
BAB IV OBAT-OBATAN NEUROLOGI DALAM FORNAS 34
4.1 Tata Cara Pengusulan Obat Fornas 34
4.2 Alur Pengusulan Obat Fornas 36
4.3 Faktor-faktor yang membuat usulan obat tidak diterima Fornas 38
4.4 Obat-obatan Dalam Fornas Yang Sering Digunakan Di Bidang 39
Neurologi
BAB V POTENSI FRAUD DALAM PELAYANAN NEUROLOGI DI ERA 54
JKN
5.1 Jenis-jenis kecurangan yang kemungkinan dilakukan di FKRTL 54

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional v


BAB VI SISTEM RUJUKAN ONLINE BERJENJANG DIBIDANG
PELAYANAN NEUROLOGI 63
6.1 Manfaat Rujukan Online Berjenjang 64
6.2 Disain Sistem Integrasi 64
6.3 Mapping FKTP-FKRTL 65
6.4 Skema dan Alur Rujukan 66
6.5 Implementasi Rujukan Online Berjenjang Dalam Pelayanan Neurologi 68
LAMPIRAN 1 KODE ICD X DAN DESKRIPSI KASUS-KASUS NEUROLOGI 75
LAMPIRAN 2 KODE ICD 9 CM DAN DESKRIPSI PROSEDUR TINDAKAN 97
BIDANG NEUROLOGI
LAMPIRAN 3 TANYA JAWAB SEPUTAR PELAYANAN NEUROLOGI 102
DAFTAR PUSTAKA 111

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional vi


BAB I
PENDAHULUAN

Seorang tukang ojek mengalami kelemahan separuh badan sebelah kiri mendadak, saat
bangun tidur, disertai bicara pelo dan rasa kebas di area tubuh sebelah kiri. Karena keluhannya
ringan maka dia tidak segera ke rumah sakit tapi beristirahat saja di rumah sambil minum
vitamin, dan berharap siapa tahu dengan beristirahat keluhannya akan membaik sendiri. Setelah
satu hari, keluhan tidak kunjung membaik tapi malah memberat, kekuatan otot tangan dan kaki
semakin melemah dan tidak bisa berjalan, bicarapun semakin tidak jelas. Oleh istrinya, pasien
dibawa ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan dokter dan ditunjang dengan pemeriksaan
pendukung lainnya, pasien didiagnosis stroke penyumbatan. Setelah dirawat beberapa hari,
pasien diperbolehkan pulang meskipun anggota gerak sebelah kiri masih belum bisa pulih dan
pasien belum bisa berjalan. Pasien harus membayar biaya perawatan selama beberapa hari
dirawat di rumah sakit. Karena penghasilan yang pas-pasan, maka istri pasien berhutang kepada
saudara untuk melunasi biaya rumah sakit. Waktu terus berjalan, namun pasien belumbisa
beraktifitas normal, pasien belum bisa bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
termasuk biaya sekolah anak-anaknya terpaksa dia menjual sepeda motor yang digunakan
untuk ngojek.
Situasi di atas sangat sering kita jumpai di masyarakat. Situasi seperti ini dikenal dengan
istilah catastrophic health expenditure and impoverishment in household, yaitu situasi
bagaimana sebuah rumah tangga menjadi jatuh miskin karena pengeluaran pembiayaan
kesehatan di luar batas pendapatan mereka. Beberapa jurnal baik dalam maupun luar negeri
telah banyakmengulas tentang hal ini, dan angka kejadian tersebut sangat tinggi terutama di
negara-negarayang sedang berkembang dan tidak menerapkan penjaminan kesehatan bagi
warganya.
Pada rumah tangga kaya, walaupun pengeluaran kesehatan mencapai 20% dari pendapatan
mereka atau bahkan lebih, mereka masih memiliki dana cadangan yang cukup untuk tetap
berada di atas level garis kemiskinan. Namun sebaliknya, pada rumah tangga “miskin”/”pas-
pas-an”, ketika mereka mengeluarkan biaya untuk kesehatan maka status mereka langsung
berada di bawah level kemiskinan. Mereka tidak mempunyai dana cadangan yang cukup untuk
mempertahankan rumah tangga mereka agar tetap berada di atas level kemiskinan (gambar 1).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 1


Gambar 1 Pengeluaran biaya kesehatan dapat menyebabkan pemiskinan suatu rumah tangga

Dibandingkan dengan kebutuhan hidup manusia yang lain, kebutuhan pelayanan


kesehatan mempunyai tiga ciri utama unik yang harus kita perhatikan, yaitu uncertainty,
asymetri of information, dan externality. Keunikan yang tidak ada di komoditas lain ini
mengharuskan pemerintah memberlakukan beberapa pengaturan atau intervensi terhadap
pelayanan tersebut. Keunikan tersebut adalah :
Uncertainty
Uncertainty menunjukkan bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan (rumah sakit) tidak
bisa dipastikan, baik waktu (kapan sakit itu datang, tempat (dimana sakitnya), maupun
besarnya biaya yang dibutuhkan. Sifat inilah yang menjadi salah satu dasar program
penyelenggaraan penjaminan pada pelayanan kesehatan. Mekanisme penjaminan yang
mentrasfer dan menghimpun (pool) risiko perorangan/kelompok kecil menjadi risiko pada
kelompok yang lebih besar merupakan solusi yang paling tepat untuk menjawab ketidakpastian
ini. Dengan membagi risiko kepada kelompok yang lebih besar maka risiko perorangan
menjadi lebih kecil/ringan, karena dipikul bersama.
Asymetry of information
Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen pelayanan rumah sakit
(pasien atau keluarganya) berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan provider.
Provider (rumah sakit, dokter dan professional pemberi asuhan lain) mengetahui jauh lebih
banyak tentang manfaat dan kualitas pelayanan yang "dijualnya" dibandingkan dengan pasien
atau keluarganya. Dapat dibayangkan jika sebuah rumah sakit memaksimalkan laba dan tidak
mempunyai integritas yang kuat terhadap norma-norma agama dan sosial, maka akan sangat

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 2


mudah terjadi abuse atau moral hazard yang dapat dilakukan melalui oknum-oknum di rumah
sakit tersebut. Menyadari adanya ketidak seimbangan informasi ini, maka praktek kedokteran
dan pelayanan rumah sakit di negara manapun memerlukan lisensi khusus dan dikontrol dengan
sangat ketat oleh pemerintah.
Externality
Externality menunjukkan bahwa konsumsi pelayanan kesehatan/rumah sakit tidak hanya
diakibatkan dari sisi "pembeli" (pasien) saja, tetapi juga dari bukan pembeli. Contohnya adalah
konsumsi rokok yang mempunyai risiko lebih besar pada yang bukan perokok. Seseorang yang
sudah menjaga kesehatannya dengan baik bisa saja terkena risiko karena perilaku tidak sehat
dari orang lain disekitarnya. Pandemi covid-19 banyak memberikan pelajaran tentang hal ini.
Akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi dalam berbagai bentuk. Oleh
karenanya, pembiayaan pelayanan kesehatan tidak saja menjadi tanggung jawab diri sendiri,
akan tetapi perlu adanya penggalangan tanggung jawab secara bersama (publik).
Untuk mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri (out
of pocket) dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang
sangat besar, diperlukan suatu penjaminan dalam bentuk asuransi kesehatan yang bersifat
sosial. Dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong-royong
oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan orang per orang.
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 mengakui hak asasi
warga negara atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 45
pasal 28H dan pasal 34, dan diatur juga dalam Undang-Undang (UU) No. 23/1992 yang
kemudian diganti dengan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU No. 36/2009
ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau.
Pelayanan kesehatan yang layak sudah menjadi hak bagi seluruh warga negara Indonesia
seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia pasal 28 H ayat 3 yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”. Ketentuan ini yang menjadi dasar
dicanangkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Mengikuti pencananganan program JKN tersebut, sejak tanggal 1 Januari 2014 di Indonesia
telah diberlakukan sistem pembiayaan kesehatan dengan metode pembayaran prospektif.
Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan
kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Metode

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 3


ini bertujuan untuk mengendalikan biaya kesehatan, membatasi pelayanan kesehatan yang
tidak diperlukan, mendorong rumah sakit untuk lebih melaksanakan kendali mutu dan kendali
biaya sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
bermutu, efektif, efisien, dan aman.
Sesuai dengan Perpres no 82 tahun 2018 pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut
(FKRTL) metode pembayaraan prospektif dilakukan dengan menggunakan sistem paket
berdasarkan grouper Indonesian Case Base Group (INA-CBG). Pola pembayaran berdasarkan
Case Based Groups adalah salah satu pola pembayaran prospektif kepada FKRTL berupa
pengelompokkan diagnosis dan prosedur yang memiliki ciri klinis dan penggunaan sumber
daya yang mirip atau sama. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur tersebut dijalankan
dengan menggunakan United Nation University Grouper (UNU Grouper).
Selama hampir 9 tahun perjalanan JKN, masih banyak didapatkan kendala yang dihadapi
oleh para dokter khusunya neurolog pada saat memberikan pelayanan kepada pasien. Kendala
utama adalah kecukupan tarif INA-CBG bila dibandingkan dengan tarif rumah sakit. Contoh
kasus yang sering kita dapatkan adalah : stroke infark yang dilakukan trombolisis, tarif paket
INA-CBGnya kurang dari 10 juta padahal rata-rata real cost rumah sakit yang melakukan
tindakan ini berkisar 25 juta, tindakan intervensi vaskuler yang lain seperti coilling,
trombektomi dan lain-lain yang selisih antara paket INA-CBG dengan real cost rumah sakit
sangat besar, bahkan mencapai puluhan juta. Masalah lain adalah deskripsi grouper-grouper di
dalam sistem INA-CBG yang tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan, bagaimana
melengkapi data dukung diagnosis sesuai dengan berita acara kesepakatan antara Kemenkes
dengan BPJS Kesehatan, penyesuaian kaidah-kaidah koding dan klaim yang berlaku,
bagaimana menyesuaikan peresepan sehingga sesuai dengan pedoman formularium nasional,
alur pengajuan obat-obatan baru yang belum diakomodir di fornas, mengenal dan mencegah
potensi-potensi fraud dalam pelayanan neurologi, proses rujukan online berjenjang, dan lain-
lain. Ditambah lagi adanya faktor eksternal yang sering menjadi kendala di lapangan, yaitu
tidak seragamnya para verifikator BPJS Kesehatan antar cabang dalam memverifikasi kasus-
kasus yang sama, sehingga menyulitkan, membuat bingung rumah sakit-dokter, dan
memperlama proses klaim. Melihat beberapa dinamika tersebut maka dipandang perlu bagi
Pengurus Pusat Perdossi untuk membuat buku panduan bagaimana melakukan pelayanan
neurologi yang baik di era JKN.
Harapannya dengan pembuatan buku panduan ini maka pemahanan dan kemampuan
neurolog semakin bertambah sehingga dapat memperlancar proses klaim, meningkatkan
pemenuhan obat-obatan sesuai kebutuhan pasien dan mewujudkan pelayanan neurologi yang

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 4


aman, bermutu, efektif dan efisien dengan tetap mengikuti perkembangan keilmuan dan
penatalaksanaan penyakit terkini.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 5


BAB II
KAIDAH KODING DAN KAIDAH KLAIM DALAM PELAYANAN NEUROLOGI

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021
Tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
yang merupakan acuan bagi Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Kesehatan dan pihak lain yang terkait mengenai metode pembayaran INA-CBG dalam
pelaksanaan klaim pelayanan Jaminan Kesehatan.
Koding merupakan kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai
dengan ICD-10 versi tahun 2010 serta kode tindakan/prosedur sesuai ICD-9-CM versi tahun 2010 yang
diterbitkan oleh WHO. Kegiatan koding sangat penting pada metode pembayaran INA-CBG karena
akan menentukan besaran yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan yang mengacu pada aturan koding
morbiditas.
Sumber data untuk melakukan kodefikasi berasal dari resume medik/ringkasan pasien pulang
yaitu diagnosis dan tindakan/prosedur, yang mengacu pada berkas rekam medik pasien. Besaran nilai
INA-CBG di pengaruhi oleh diagnosis utama, diagnosis sekunder, dan tindakan/ prosedur. Sehingga
sangat diperlukan ketelitian dan ketepatan dalam penegakannya.

2.1 Pengertian Diagnosis


1. Diagnosis utama merupakan diagnosis yang ditegakkan oleh dokter pada akhir
episode perawatan yang menyebabkan pasien mendapatkan perawatan atau
pemeriksaan lebih lanjut. Apabila terdapat lebih dari satu diagnosis, maka dipilih yang
menggunakan sumber daya paling banyak dengan tetap berpedoman pada aturan koding sesuai
dengan ketentuan Peraturan Menteri, kecuali dalam kondisi tertentu.
Kondisi tertentu tersebut beserta penyelesaiannya akan disepakati bersama antara Kementerian
Kesehatan dengan BPJS Kesehatan (Berita Acara Kesepakatan Bersama*).
Sumber daya adalah segala dukungan berupa konsultasi, pemeriksaan, tindakan, tenaga, bahan
medik habis pakai, alat kesehatan, pengetahuan, teknologi, pemeriksaan penunjang, dan/atau
dukungan lainnya yang digunakan untuk menghasilkan manfaat sebagai bagian dari proses tata
laksana dalam pelayanan kesehatan. Jika tidak terdapat diagnosis yang dapat ditegakkan pada
akhir episode perawatan setelah melakukan pemeriksaan berdasarkan standar pelayanan sesuai
ketentuan yang berlaku, maka gejala utama, hasil pemeriksaan penunjang yang tidak normal
atau masalah lainnya dipilih menjadi diagnosis utama.
2. Diagnosis Sekunder merupakan diagnosis yang menyertai diagnosis utama pada saat pasien
masuk atau yang terjadi selama episode perawatan. Diagnosis sekunder merupakan
komorbiditas dan/atau komplikasi termasuk klinis dari neurologi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 6


a. Komorbiditas adalah penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi yang
sudah ada sebelum pasien masuk perawatan dan membutuhkan pelayanan
kesehatan/tata laksana setelah masuk maupun selama perawatan.
b. Komplikasi adalah penyakit yang timbul dalam masa perawatan dan memerlukan
pelayanan tambahan yang mendapatkan tatalaksana sewaktu episode pelayanan, baik
yang disebabkan oleh kondisi yang ada atau muncul akibat dari pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien.
c. Klinis neurologi merupakan klinis yang ditemukan pada saat dilakukan assesment
yang diberikan tatalaksana. Seperti hemiplegia/paraplegi/tetraplegi dilakukan
tatalaksana fisioterapi, afasia dengan terapi wicara, disfagia dengan pemasangan NGT
dan sebagainya. Beberapa klinis neurologi dapat menaikkan severity level
pengklaiman.

2.2 Aturan Koding Morbiditas ICD-10 Versi Tahun 2010


1. Dalam hal koder tidak berhasil melakukan klarifikasi kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien
(DPJP), maka koder menggunakan rule MB1 sampai MB5 untuk memilih kembali kode
diagnosis utama (‘reseleksi’) yaitu :
a. Rule MB1
Rule MB1 merupakan kondisi minor tercatat sebagai diagnosis utama, sedangkan kondisi
yang lebih berarti dicatat sebagai diagnosis sekunder. Ketika kondisi minor atau yang telah
berlangsung lama atau masalah insidental tercatat sebagai diagnosis utama, sedangkan
kondisi yang lebih berarti, relevan dengan pengobatan dan/atau prosedur yang diberikan
dan/atau spesialisasi perawatan tercatat sebagai diagnosis sekunder, maka reseleksi kondisi
yang berarti tersebut sebagai diagnosis utama.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Tumor otak
Diagnosis Sekunder : Hidrocephalus
Disturbance visual
Prosedur : VP Shunt
Spesialisasi : Bedah Saraf
Pasien di rumah sakit selama tiga minggu.
Dikode G91.9 (Hydrocephalus, unspecified) sebagai diagnosis utama, tumor otak dan
disturbance visual sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2:
Diagnosis Utama : CKS
Diagnosis Sekunder : Fraktur humerus
Hipertensi

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 7


Prosedur : ORIF
Spesialisasi : Neurologi dan Ortopedi
Pasien di rumah sakit selama dua minggu.
Dikode S42.3 (fracture of shaf of humerus) sebagai diagnosis utama. CKS dan hipertensi
sebagai diagnosis sekunder.
b. Rule MB2
Rule MB2 merupakan beberapa kondisi dicatat sebagai diagnosis utama. Jika beberapa
kondisi yang tidak bisa dikode bersamaan tercatat sebagai diagnosis utama, dan
menunjukkan bahwa satu di antaranya adalah diagnosis utama pada asuhan pasien, pilih
kondisi tersebut. Jika tidak, pilih kondisi yang sesuai dengan spesialisasi yang menangani.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Diabetes Mellitus Type 2
Stroke Iskemik
Hipertensi
Diagnosis Sekunder :-
Spesialisasi : Neurologi
Pasien di rumah sakit selama satu minggu.
Dikode I63.9 (cerebral infraction) sebagai diagnosis utama, hipertensi dan diabetes
mellitus type 2 sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2:
Diagnosis Utama : Hemiparesis kanan
Meningioma
Afasia
Diagnosis Sekunder :-
Spesialisasi : Bedah Saraf
Dikode D32.0 (cerebral meningens) sebagai diagnosis utama, Hemiparesis kanan dan
Afasia sebagai diagnosis sekunder.
contoh 3:
Diagnosis Utama : Kejang Simtomatik Komplek
Headache
Diagnosis Sekunder :-
Prosedur : Terapi kejang
Dikode G40.2 (localization-related (focal)(partial) symptomatic epilepsy and epileptic
syndromes with complex partial seizures) sebagai diagnosis utama, headache sebagai
diagnosis sekunder.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 8


c. Rule MB3
Rule MB3 merupakan kondisi yang dicatat sebagai diagnosis utama merupakan gejala dari
kondisi yang telah didiagnosis dan diobati. Jika suatu gejala atau tanda (pada umumnya
diklasifikasikan pada Bab XVIII), atau suatu masalah yang bisa diklasifikasikan pada Bab
XXI, dicatat sebagai diagnosis utama, dan merupakan tanda, gejala atau masalah dari
kondisi yang telah didiagnosis sebagai diagnosis sekunder dan telah dirawat, maka pilihlah
kondisi yang didiagnosis tersebut sebagai diagnosis utama.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Dysarthria
Diagnosis Sekunder : CVD SI → cerebrovascular disease stroke ischemic
Hipertensi
Pengobatan : RTPA
Spesialisasi : Neurologi
Dikode i63.9 (cerebral infarction, unspecified) sebagai diagnosis utama, dysarthria
dan hipertensi sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2:
Diagnosis Utama : Penurunan kesadaran
Diagnosis Sekunder : Stroke Perdarahan
Hipertensi
Spesialisasi : Neurologi
Dikode i61.9 (intracerebral haemorrhage, unspecified) sebagai diagnosis utama,
penurunan kesadaran dikarenakan stroke perdarahan.
Penurunan kesadaran dan hipertensi sebagai diagnosis sekunder
contoh 3:
Diagnosis Utama : Cephalgia
Diagnosis Sekunder : Meningioma
Spesialisasi : Bedah Saraf
Prosedur : Kraniotomi
Dikode D32.0 (Benign neoplasm of cerebral meninges) sebagai diagnosis utama.
Cephalgia dikode sebagai diagnosis sekunder.
d. Rule MB4
Rule MB4 merupakan kespesifikan. Jika suatu diagnosis dicatat sebagai diagnosis utama
yang menggambarkan kondisi yang bersifat umum, sedangkan ada diagnosis lain yang
lebih spesifik/rinci mengenai anatomi atau penyebab, maka dipilih diagnosis yang lebih
spesifik/rinci sebagai diagnosis utama.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 9


contoh 1 :
Diagnosis Utama : Cerebrovascular accident
Diagnosis Sekunder : Diabetes mellitus
Hipertensi
Perdarahan otak
Dikode I61.9 (intracerebral haemorrhage, unspecified) sebagai diagnosis utama, diabetes
mellitus dan hipertensi sebagai diagnosis sekunder, dan cerebrovascular accident tidak
dikoding.
contoh 2 :
Diagnosis Utama : Stroke iskemik
Diagnosis Sekunder : Stenosis cerebral
Dikode I63.5 (Cerebral infarction due to unspecified occlusion or stenosis of cerebral
arteries) sebagai diagnosis utama dan penyakit stroke tidak usah dikoding.
e. Rule MB5
Rule MB5 merupakan diagnosis alternatif, yaitu:
1) Jika terdapat gejala atau tanda yang ditulis sebagai diagnosis utama yang
kemungkinan saling berkaitan, maka gejala tersebut sebagai diagnosis utama.
Contoh :
Diagnosis Utama : Vertigo post stroke iskemik
Diagnosis Sekunder :-
Dikode H81.4 (Vertigo of central origin) sebagai diagnosis utama
2) Jika terdapat dua atau lebih diagnosis tertulis sebagai diagnosis utama, maka dipilih
diagnosis yang paling pertama ditulis oleh DPJP sebagai diagnosis utama.
Contoh :
Diagnosis Utama : Stroke iskemik transformasi perdarahan
Diagnosis Sekunder :-
Dikode I63.9 (Cerebral infarction, unspecified) sebagai diagnosis utama

2. Aturan Koding Spesifik


a. Pengodean kondisi dugaan/suspek, gejala, penemuan abnormal, dan situasi tanpa
penyakit.
Jika pasien dalam episode rawat, koder harus hati-hati dalam mengklasifikasikan diagnosis
utama pada bab XVIII (kode R) dan XXI (kode Z).
Jika diagnosis yang lebih spesifik belum ditegakkan sampai akhir episode perawatan atau
tidak ada penyakit atau cedera pada saat dirawat yang bisa dikode, maka kode dari Bab
XVIII dan XXI dapat digunakan sebagai kode diagnosis utama (lihat juga rules MB3 dan
MB5).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 10


Kategori Z03.– (Medical observation and evaluation for suspected diseases and
conditions) digunakan untuk diagnosis “suspek” setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan
sesuai dengan standar pelayanan dan diagnosis tidak ditegakkan.
Diagnosis suspek adalah:
1) Diagnosis sebelum diagnosis pasti dapat ditegakkan; dan/atau
2) Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan/atau
pemeriksaan penunjang.
Contoh diagnosis suspek antara lain :
contoh 1 :
Ditemukan massa/benjolan di kepala berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang
prominen maka diagnosis utama adalah suspek neoplasma di kepala sehingga
dikode Z03.1 (Observation for suspected malignant neoplasm).
Untuk kasus neoplasma dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA)
dinyatakan sebagai neoplasm of uncertain or unknown behaviour maka
menggunakan kode diagnosis D32-D43 tergantung lokasinya.
contoh 2 :
Diagnosis utama : Neoplasma brain
Diagnosis sekunder : Epilepsy
Tindakan : Pemeriksaan PA dengan hasil jenis tumor tidak
diketahui
Dikode D43.2 (Neoplasm of uncertain or unknown behaviour, brain, unspecified)
sebagai diagnosis utama dan 90.34 (Microscopic examination of specimen from
ear, nose, throat, and larynx, parasitology) sebagai tindakan.
contoh 3:
Diagnosis Utama : Epistaxis berat
Diagnosis Sekunder :-
Pasien dirawat satu hari. Tidak ada laporan prosedur atau pemeriksaan.
Dikode R04.0 (Epistaxis). Ini bisa diterima karena pasien jelas dirawat hanya untuk
kondisi darurat.
b. Pengodean kondisi multiple
Diagnosis untuk kondisi multipel seperti cedera multipel, gejala sisa (sekuele) multipel dari
penyakit atau cedera sebelumnya, atau kondisi multipel yang terjadi pada penyakit Human
Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu:
1) Jika salah satu kondisi yang jelas lebih berat dan lebih banyak menggunakan
sumber daya dibandingkan dengan yang lain, maka dicatat sebagai diagnosis utama
dan yang lainnya sebagai diagnosis sekunder.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 11


2) Jika tidak ada satu kondisi yang lebih dominan, maka diagnosis seperti fraktur
multipel, cedera kepala multiple, atau penyakit HIV yang menyebabkan infeksi
multipel merupakan diagnosis utama, dan kondisi spesifik sebagai diagnosis
sekunder.
Contoh kondisi multipel antara lain:
contoh 1 :
Diagnosis Utama : Multiple injuries of head
Diagnosis Sekunder : Injury of ear
Injury of cheek
Dikode S09.7 (Multiple injuries of head) sebagai diagnosis utama, injury ear and
cheek dikode S09.9 (Unspecified injury of head) sebagai diagnosis sekunder.
c. Pengodean kategori kombinasi.
ICD-10 menyediakan kategori tertentu dimana dua diagnosis yang berhubungan diwakili
oleh satu kode.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Hypertension heart disease
Diagnosis Sekunder : Congestive heart failure
Dikode I11.0 ((Hypertensive heart disease with (congestive heart failure)) sebagai
diagnosis utama.
contoh 2 :
Diagnosis Utama : Kejang
Diagnosis Sekunder : Demam
Dikode R56.0 (Febrile convulsions) sebagai diagnosis utama.
contoh 3 :
Diagnosis Utama : Hydrocephalus
Diagnosis Sekunder : Spina bifida
Dikode Q05.4 (Unspecified spina bifida with hydrocephalus) sebagai diagnosis utama.
contoh 4 :
Diagnosis Utama : Parkinson
Diagnosis Sekunder : Dementia
Spesialisasi : Neurologi
Dikode G20† (Parkinson's disease) sebagai diagnosis utama dan F02.3* (Dementia in
parkinson's disease) sebagai diagnosis sekunder.
d. Pengodean sekuele kondisi tertentu.
Kode ICD-10 Versi Tahun 2010 untuk sekuele (“sequelae of ...”) yaitu B90-B94, E64.-,
E68, G09, I69.-, O97, T90-T98, dan Y85-Y89. Kode sekuele digunakan untuk
menunjukkan kondisi yang tidak didapatkan lagi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 12


Aturan koding untuk sekuele yaitu :
1) Jika terdapat kondisi yang lebih spesifik daripada sekuele, sebagai penyebab
masalah yang saat ini sedang diperiksa atau diobati, maka kondisi tersebut menjadi
diagnosis utama dan kode “sequelae of ...” ditambahkan sebagai diagnosis
sekunder.
contoh 1 :
Diagnosis Utama : Dysphasia akibat infark otak lama
Diagnosis Sekunder :-
Dikode R47.0 (Dysphasia and aphasia) sebagai diagnosis utama dan I69.3
(Sequelae of cerebral infarction) sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2 :
Diagnosis Utama : Epilepsi akibat abses lama otak.
Spesialisasi : Neurologi
Dikode G40.9 (Epilepsy, unspecified) sebagai diagnosis utama dan G09 (Sequelae
inflammatory diseases of central nervous system) sebagai diagnosis sekunder.
2) Jika tidak ada kondisi yang lebih spesifik daripada sekuele, maka sekuele menjadi
diagnosis utama.
contoh :
Diagnosis Utama : Sequelae CVD SI
Diagnosis Sekunder : -
Dikode I69.3 (Sequelae of cerebral infarction) sebagai diagnosis utama karena
informasi lain tidak tersedia.
e. Pengodean kondisi-kondisi akut dan kronis.
pengodean kondisi-kondisi akut dan kronis diatur sebagai berikut :
1) Jika diagnosis utama dicatat sebagai akut (atau subakut) dan kronis, ICD-10
menyediakan kategori atau subkategori yang berbeda untuk masing-masing
kategori, tapi tidak untuk gabungannya, kategori kondisi akut harus digunakan
sebagai diagnosis utama.
contoh :
Diagnosis Utama : Stroke iskemik with stenosis
Diagnosis Sekunder :-
Dikode I63.5 (Cerebral infarction due to unspecified occlusion or stenosis of
cerebral arteries) sebagai diagnosis utama.
2) Jika di dalam ICD-10 tidak menyediakan kategori atau subkategori yang berbeda
untuk masing-masing kategori, maka kondisi akut harus digunakan sebagai
diagnosis utama dan kondisi kronis menjadi diagnosis sekunder.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 13


contoh :
Diagnosis Utama : Subdural Hemorage akut
Diagnosis sekunder : SDH Traumatic -
Tindakan :-
Dikode S06.5 (Traumatic subdural haemorrhage) sebagai diagnosis utama. Jika
terdapat kondisi lain dimana kondisi akut dan kronis terjadi pada organ/system
yang berbeda, maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kondisi yang
menghabiskan sumber daya yang paling banyak. contoh:
Diagnosis Utama : STEMI
Diagnosis Sekunder : SDH kronik
Tindakan : Craniotomy
Dikode S06.5 (Traumatic subdural haemorrhage) sebagai diagnosis utama, I21.9
(Acute myocardial infarction, unspecified) sebagai diagnosis sekunder dan
craniotomy sebagai tindakan.
f. Pengodean kondisi pasca-prosedur dan komplikasinya.
Terdapat 3 jenis kode komplikasi yaitu:
1) Kelompok kategori komplikasi pada Bab XIX (T80-T88) yang berhubungan
dengan operasi dan prosedur lain, contohnya infeksi luka operasi, komplikasi
mekanis benda benda implantasi, syok, dan lainnya.
Contoh :
Diagnosis Utama : Infeksi luka Laminektomi.
Diagnosis Sekunder :-
Spesialisasi : Bedah Saraf Spine
Dikode T81.4 (Infection following a procedure, not elsewhere classified) sebagai
diagnosis utama.
2) Menggunakan kondisi yang dinyatakan post-procedural atau post-operative.
Contoh :
Diagnosis Utama : HNP sejak laminektomy 1 tahun yang lalu.
Diagnosis Sekunder :-
Spesialisasi : Ortophedi
Dikode M96.1 (Postlaminectomy syndrome, NEC) sebagai diagnosis utama.

g. Pengodean untuk penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) (B20-B24).


1) Dalam koding INA-CBG menggunakan kode 4 karakter untuk subkategori pada
B20-B23. Penentuan penggunaan subkategori 4 karakter pada B20-B23 atau kode
penyebab ganda adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang lebih spesifik.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 14


Contoh :
Diagnosis Utama : Penyakit HIV dan kandidiasis
Diagnosis Sekunder :-
Dikode B20.4 (HIV disease resulting in candidiasis) sebagai diagnosis utama.
2) Jika diagnosis utama yang dicatat adalah penyakit HIV dengan multiple penyakit
penyerta, maka subkategori .7 dari B20-B22 harus dikode. Subkategori B22.7
harus digunakan apabila terdapat kondisi yang bisa diklasifikasikan pada dua
kategori atau lebih pada B20B22. Kode tambahan dari dalam blok B20-B24
digunakan sebagai diagnosis sekunder.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Toxoplasmosis dan candidiadis pada pasien HIV
Diagnosis Sekunder :-
Dikode B20.7 (HIV disease resulting in multiple infections) sebagai diagnosis
utama, B20.8 (HIV disease resulting in other infectious and parasitic disease) dan
B20.4 (HIV disease resulting in candidiasis) sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2 :
Diagnosis Utama : Penyakit HIV dengan tuberkulosis meningitis dan
myoces
Diagnosis Sekunder :-
Dikode B20.7 (HIV disease resulting in multiple infections) sebagai diagnosis
utama, B20.0 (HIV disease resulting in mycobacterial infection), B20.5 (HIV
disease resulting in other mycoses), sebagai diagnosis sekunder.
h. Pengodean Neoplasma.
1) Kasus neoplasma baik primer atau sekunder (metastasis) yang merupakan fokus
perawatan, harus dicatat dan dikode sebagai diagnosis utama.
Contoh :
Diagnosis Utama : Malignant neoplasma of brain
Diagnosis Sekunder : Hemiplegia
Prosedur : Craniotomy
Dikode C71.9 (Malignant neoplasma of brain, unspecified) sebagai diagnosis
utama dan G81.9 (Hemiplegia, unspecified) sebagai diagnosis sekunder.
2) Pasien dengan riwayat neoplasma ganas yang tidak mendapatkan tatalaksana
menggunakan kode Z85.0 - Z85.9 (Personal history of malignant neoplasm).
contoh 1:
Diagnosis Utama : Karsinoma mammae diangkat dua tahun yang lalu
Diagnosis Sekunder : Benign neoplasm of cerebral
Prosedur : Craniotomy

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 15


Dikode D32.0 (Benign neoplasm of cerebral meninges) sebagai diagnosis utama,
Z85.3 (Personal history of malignant neoplasm of breast) sebagai diagnosis
sekunder.
contoh 2:
Diagnosis Utama :Riwayat Malignant Neoplasma brain, post
Craniotomy 1 bulan lalu
Diagnosis Sekunder :-
Prosedur : Ganti balut
Dikode Z08.0 (Follow-up examination after surgery for malignant neoplasm)
sebagai diagnosis utama, Z85.9 (Personal history of malignant neoplasm,
unspecified) sebagai diagnosis sekunder.
3) Pasien yang menjalani pemeriksaan neoplasma karena riwayat keluarga dengan
neoplasma ganas, menggunakan kode Z80.0 - Z80.9 (Family history of malignant
neoplasm).

2.3 Aturan Koding Lainnya yang Berlaku untuk INA-CBG


Aturan koding lainnya adalah aturan tambahan yang dibuat khusus untuk kebutuhan pengodean
dalam INA-CBG.
1. Jika dalam ICD-10 Versi Tahun 2010 volume I (tabular list) terdapat catatan “use
additional code, if desired, to identify specified condition”, maka diagnosis tersebut dikode
sebagai diagnosis sekunder, jika mendapatkan tatalaksana sesuai kondisi yang spesifik,
sesuai dengan kondisi pasien dan bukan merupakan kode gabung.
contoh:
Diagnosis Utama : Toxoplasma
Diagnosis Sekunder : HIV
Spesialisasi : neurologi
Dikode B20.8 (HIV diseases resulting in other infectious and parasitic diseases) sebagai
diagnosis utama dan B58.9 (Toxoplasmosis, unspecified) sebagai diagnosis sekunder.
2. Pengodean sistem dagger (†) dan asterisk (*).
a. Jika diagnosis utama yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan kode dagger (†)
dan asterisk (*) maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kode dagger (†),
sedangkan kode asterisk (*) sebagai diagnosis sekunder.
contoh:
Diagnosis Utama : Tuberculosis spine
Diagnosis Sekunder :-
Dikode A18.0† (Tuberculosis of bones and joint) sebagai diagnosis utama dan M49.0*
(Tuberculosis of spine) sebagai diagnosis sekunder. Simbol (†) dan (*) tidak diinput di

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 16


dalam aplikasi INA-CBG.
b. Jika diagnosis sekunder yang ditegakkan dokter dalam ICD-10 menggunakan kode dagger
(†) dan asterisk (*), maka kedua kode tersebut menjadi diagnosis sekunder, simbol (†) dan
(*) tidak diinput di dalam aplikasi INA-CBG.
Contoh :
Diagnosis Utama : Stroke infark
Diagnosis Sekunder : Peritonitis TB
Dikode I63.9 (Cerebral infarction, unspecified) sebagai diagnosis utama, A18.3†
(Tuberculosis of intestines, peritoneum and mesenteric glands) dan K67.3* (Tuberculous
peritonitis) sebagai diagnosis sekunder.
c. Jika diagnosis utama dan sekunder yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan
kode dagger (†) dan asterisk (*) maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kode
dagger (†), sedangkan kode asterisk (*) sebagai diagnosis sekunder, simbol (†) dan (*)
tidak diinput di dalam aplikasi INA-CBG.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Anemia
Diagnosis Sekunder : Ca Brain
Dikode C71.9† (Malignant Neoplasm of Brain) sebagai diagnosis utama dan D63.0*
(Anaemia in neoplastic disease) sebagai diagnosis sekunder.
3. Pengodean Kontrol Ulang.
a. Dalam hal pasien yang datang untuk kontrol ulang di rawat jalan dengan diagnosis yang
sama pada kunjungan sebelumnya, ditetapkan sebagai diagnosis utama menggunakan kode
“Z” dan diagnosis sekunder dikode sesuai penyakitnya.
Contoh :
Pasien datang ke rumah sakit untuk kontrol hipertensi.
Diagnosis Utama : Kontrol Ulang
Diagnosis Sekunder : Hipertensi
Dikode Z09.8 (Follow-up examination after other treatment for other conditions) sebagai
diagnosis utama dan I10 (Essential (primary) hypertension) sebagai diagnosis sekunder.
4. Terapi Berulang.
Dalam hal pasien yang datang untuk mendapatkan terapi berulang di rawat jalan seperti
rehabilitasi medik, rehabilitasi psikososial, hemodialisa, kemoterapi, radioterapi, pelayanan
gigi, dan transfusi ditetapkan sebagai diagnosis utama menggunakan kode “Z” dan diagnosis
sekunder dikode sesuai penyakitnya.
contoh 1:
Pasien datang ke RS untuk dilakukan kemoterapi karena carcinoma mammae.
Diagnosis Utama : Kemoterapi

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 17


Diagnosis Sekunder : Carcinoma mammae
Dikode Z51.1 (Chemotherapy session for neoplasm) sebagai diagnosis utama dan C50.9
(Malignant neoplasm, breast, unspecified) sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2:
Pasien datang ke rumah sakit untuk dilakukan radioterapi karena carcinoma cervix uteri.
Diagnosis Utama : Radioterapi
Diagnosis Sekunder : Carcinoma cervix uteri
Dikode Z51.0 (Radiotherapy session) sebagai diagnosis utama dan C53.9 (Malignant
neoplasm, cervix uteri, unspecified) sebagai diagnosis sekunder.
5. Pengodean Kemoterapi dan Radioterapi.
a. Pasien yang datang ke rawat jalan dan mendapatkan obat kemoterapi oral, maka
menggunakan kode Z51.1 (Chemotherapy Session for Neoplasm) sebagai diagnosis utama
dan kode neoplasma tidak dikode sebagai diagnosis sekunder.
contoh:
Diagnosis utama : Kemoterapi oral di rawat jalan
Diagnosis sekunder : Ca paru
Tindakan :-
Dikode Z51.1 (Chemotherapy session for neoplasm) sebagai diagnosis utama dan Ca paru
tidak dikode sebagai diagnosis sekunder.
b. Pasien yang datang ke rawat jalan atau rawat inap dan mendapatkan kemoterapi injeksi,
maka menggunakan kode Z51.1 (Chemotherapy session for neoplasm) sebagai diagnosis
utama dan kode neoplasma sebagai diagnosis sekunder.
Contoh:
Diagnosis utama : kemoterapi
Diagnosis sekunder : Ca. Mammae
Tindakan : injeksi kemoterapi
Dikode Z51.1 (Chemotherapy session for neoplasm) sebagai diagnosis utama, C50.9
(Malignant neoplasm, breast, unspecified) sebagai diagnosis sekunder dan 99.25 (Injection
or infusion of cancer chemotherapeutic substance) sebagai prosedur.
c. Pasien yang datang ke rawat jalan atau rawat inap hanya untuk radioterapi maka
menggunakan kode Z51.0 (Radiotherapy session) sebagai diagnosis utama dan neoplasma
menjadi diagnosis sekunder.
d. Pasien yang datang ke rawat jalan atau rawat inap untuk kemoterapi dan radioterapi dalam
satu episode perawatan yang sama maka yang menjadi diagnosis utama adalah yang
menghabiskan sumber daya paling banyak.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 18


e. Pasien yang dirawat inap dilakukan tindakan operasi yang dilanjutkan dengan kemoterapi
dan/atau radioterapi dalam satu episode perawatan maka yang menjadi diagnosis utama
adalah yang berhubungan dengan tindakan utama.
f. Pasien yang dirawat untuk mengatasi anemia yang terkait dengan neoplasma dan perawatan
hanya untuk anemia, maka dikode neoplasma sebagai diagnosis utama sedangkan kode
D63.0* (Anaemia in neoplastic disease) sebagai diagnosis sekunder (merujuk kaidah
koding dagger (†) dan asterisk (*)).
6. Kode Z51.5 (Palliative Care) hanya digunakan jika dokter secara spesifik menuliskan
diagnosis perawatan paliatif (palliative care).
Pengertian perawatan paliatif (palliative care) menurut KMK No. 812/Menkes/SK/VII/2007
tentang Kebijakan Perawatan Paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial, dan
spiritual.
Untuk pasien yang didiagnosis oleh DPJP adalah perawatan paliatif (palliative care) maka
dikode Z51.5 (Palliative care) sebagai diagnosis utama. Penetapan dan perawatan paliatif
(palliative care) ditetapkan oleh DPJP dan tim multidisiplin paliatif di FKRTL.
Untuk pasien perawatan paliatif (palliative care) yang datang kembali dengan kondisi medik
yang lain maka dikoding sesuai dengan penyakit yang mendasari pasien tersebut masuk ke
FKRTL.
contoh 1:
Diagnosis Utama : Anemia
Diagnosis Sekunder : Perawatan paliatif (palliative care)
Carcinoma Nasopharynx Dikode C11.9 (Malignant neoplasm, nasopharynx, unspecified)
sebagai diagnosis utama, D63.0 (Anaemia in neoplastic disease) dan Z51.5 (Palliative care)
sebagai diagnosis sekunder.
contoh 2:
Diagnosis Utama : Hypokalemia
Diagnosis Sekunder : Perawatan paliatif (Palliative care)
Carcinoma cervix uteri Dikode E87.6 (Hypokalaemia) sebagai diagnosis utama, C53.9
(Malignant neoplasm, cervix uteri, unspecified) dan Z51.5 (Palliative care) sebagai diagnosis
sekunder.
7. Jika pada saat dilakukan tindakan ditemukan penyulit yang menyebabkan tindakan
tersebut tidak dapat diselesaikan, maka dikode sesuai tindakan tersebut dilakukan.
contoh 1:
Pasien datang untuk dilakukan tindakan digital subtraction angiography dengan coilling.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 19


Namun pada saat dilakukan tindakan, coilling tidak dapat dilakukan karena ditemukan penyulit,
maka dikode hanya kode digital subtraction angiography (88.41)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 20


BAB III
IMPLEMENTASI GROUPER INA-CBG DALAM PELAYANAN NEUROLOGI

3.1 Struktur Grouper INA-CBG


Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) adalah sistem grouper yang digunakan sebagai dasar
pembayaran oleh BPJS Kesehatan atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjut (FKRTL)/rumah sakit.
Software INA-CBG yang disebut E-klaim INA-CBG adalah perangkat yang digunakan untuk
melakukan grouping diagnosis berdasarkan entri data kode diagnosis dan tindakan yang didapatkan
dari rekam medik. Saat ini versi yang berjalan adalah versi 5.6. Software ini menggunakan grouper
United Nations University-International Institute For Global Health (UNU-IIGH).
Dasar pengelompokan INA-CBG menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan
tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan dengan acuan ICD-10 versi tahun 2010 untuk
diagnosis dan ICD-9-CM versi tahun 2010 untuk tindakan/prosedur. Pada ICD-10 terdapat sekitar
14.500 kode diagnosis dan pada ICD-9-CM terdapat sekitar 7.500 kode prosedur/tindakan.
Kombinasi kode ICD X dan ICD 9 yang diinput ke dalam sistem gouper INA CBG secara sistem
akan mengalami grouping. Terdapat 1.075 grouping kasus yang terdiri dari 786 grouping kasus
rawat inap dan 289 grouping kasus rawat jalan. Setiap grouping dilambangkan dengan kode
kombinasi alfabet dan numerik dengan contoh sebagai berikut (gambar 2)

1 3

G – 4 – 14 – I
2 4
Gambar 2 Struktur Grouper INA CBG.
Contoh hasil grouper INA-CBG’s kasus stroke infark
trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat inap.

Keterangan :
1. digit ke-1 (alfabetik) : menggambarkan kode Casemix Main Groups (CMG);
2. digit ke-2 (numerik): menggambarkan tipe kelompok kasus (Case Groups);
3. digit ke-3 (numerik): menggambarkan spesifikasi kelompok kasus;
4. digit ke-4 (romawi): menggambarkan tingkat keparahan (severity level) kelompok kasus.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 21


Struktur Anatomi Kode Grouping INA-CBG terdiri atas :

1. Casemix Main Groups (CMG) : adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan dengan huruf
Alphabet (A sampai Z) yang disesuaikan dengan ICD-10 Versi Tahun 2010 merujuk pada setiap sistem
organ tubuh manusia. Terdapat 29 kode CMG dalam INA-CBG yaitu :

Tabel 1. Casemix Main Groups (CMG)


Kode
No. Deskripsi Kode CMG
CMG
1 Central nervous system Groups G
2 Eye and adnexa Groups H
3 Ear, nose, mouth & throat Groups U
4 Respiratory system Groups J
5 Cardiovascular system Groups I
6 Digestive system Groups K
7 Hepatobiliary & pancreatic system Groups B
8 Musculoskeletal system & connective tissue Groups M
9 Skin, subcutaneous tissue & breast Groups L
10 Endocrine system, nutrition & metabolism Groups E
11 Nephro-urinary System Groups N
12 Male reproductive System Groups V
13 Female reproductive system Groups W
14 Deleiveries Groups O
15 Newborns & neonates Groups P
16 Haemopoeitic & immune system Groups D
17 Myeloproliferative system & neoplasms Groups C
18 Infectious & parasitic diseases Groups A
19 Mental health and behavioral Groups F
20 Substance abuse & dependence Groups T
21 Injuries, poisonings & toxic effects of drugs Groups S
22 Factors influencing health status & other contacts with health services Z
23 Sub-acute Groups SF
24 Special proceduress YY
25 Special drugs DD
26 Special investigationss II
27 Special prosthesis RR
28 Chronic Groups CF
29 Errors CMG X

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 22


Pada contoh di atas yaitu kasus stroke infark trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat
inap, maka digit pertama dilambangkan huruf G yang berarti disease ini masuk dalam kelompok
sistem organ central nervous system group (tabel 1, nomor 1).

2. Case Group: adalah sub-group kedua yang menunjukkan spesifikasi atau tipe
kelompok kasus, yang dilabelkan dengan angka 1 (satu) sampai dengan 9
(sembilan).
Tabel 2. Case Group dalam INA-CBG

GROUP DESKRIPSI

1 Prosedur Rawat Inap

2 Prosedur Besar Rawat Jalan

3 Prosedur Signifikan Rawat Jalan

4 Rawat Inap Bukan Prosedur

5 Rawat Jalan Bukan Prosedur

6 Rawat Inap Kebidanan

7 Rawat Jalan kebidanan

8 Rawat Inap Neonatal

9 Rawat Jalan Neonatal

0 Error

Pada contoh di atas yaitu kasus stroke infark trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat
inap, maka digit kedua dilambangkan angka 4 yang berarti kasus ini secara sistem masuk dalam
kelompok grup rawat inap bukan prosedur (tabel 2, nomor 4).

3. Case Type: adalah sub-group ketiga yang menunjukkan spesifik CBG yang
dilambangkan dengan numerik mulai dari 01 sampai dengan 99.

4. Severity Level : adalah sub-group keempat yang menggambarkan tingkat keparahan


kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun komplikasi dalam masa
perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi menjadi (tabel 3):

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 23


Tabel 3. Keparahan (severity level) dalam grouper INA-CBG
Kode Angka Romawi Deskripsi Kode
0 untuk rawat jalan
I “RINGAN” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1
(tanpa komplikasi maupun komorbiditi)
II ”SEDANG” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2
(dengan mild komplikasi dan komorbiditi)
III “BERAT” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3(dengan
major komplikasi dan komorbiditi)

Tabel 4. Contoh kode grouper INA-CBG

Tipe Kode Grouper Deskripsi Kode Grouper


Layanan INA-CBG INA-CBG
Kecederaan pembuluh darah otak dengan infark
G – 4 – 14 – I (ringan)
Kecederaan pembuluh darah otak dengan infark
RawatInap G – 4 – 14 – II (sedang)
Kecederaan pembuluh darah otak dengan infark
G – 4 – 14 – III (berat)
Rawat Jalan Q – 5 – 44 – 0 Penyakit kronis kecil lain-lain

Pada contoh di atas yaitu kasus stroke infark trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat
inap, maka digit keempat dilambangkan angka romawi I yang berarti kasus ini masuk dalam
kelompok kasus dengan severity level I (ringan) (tabel 3, nomor 1).

3.2 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Efektif Dan Efisien.
Salah satu tujuan pemberlakuan model pembayaran prospektif adalah mendorong rumah
sakit dan dokter beserta Profesional Pemberi Asuhan (PPA) lain untuk melakukan pelayanan yang
efektif dan efisien. Pada model pembayaran ini, besaran biaya sudah ditentukan sebelumnya sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 6 tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 52 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam
penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Berapapun sumber daya yang dikeluarkan oleh rumah
sakit, mulai dari jasa pelayanan dan jasa sarana semuanya sudah termasuk dalam paket INA-CBG
tersebut. Jadi model penghitungan biaya sudah tidak lagi berdasarkan satu persatu layanan
kemudian dijumlahkan diakhir pelayanan, namun semua biaya sudah ditentukan di depan
berdasarkan besaran paket INA-CBG.
Berapa kalipun neurolog melakuan visite, melakukan prosedur tindakan, melakukan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 24


konsultasi dan lain-lain, asal masih dalam episode perawatan yang sama maka rumah sakit hanya
dibayar satu paket saja.
Contoh : pasien stroke infark, masuk di IGD dilakukan pemeriksaan laboratorium, foto thorak,
dan CT Scan kepala, saat perawatan di ruangan dilakukan pemeriksaan MRI kepala maka besaran
paket INA-CBGnya (regional 1, kelas rumah sakit A Pemerintah, perawatan kelas 1) adalah
9.737.000 (gambar 3). Misal pada pasien tersebut tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan dan MRI
kepala (hanya pemeriksaan laboratorium dan foto thorak saja) maka besaran klaim INA-CBG juga
sama yaitu 9.737.000 (gambar 4).

Gambar 3. Simulasi grouper INA-CBG pasien dengan diagnosis utama (DU) stroke infark yang dilakukan
prosedur tindakan pemeriksaan laboratorium darah, thorak foto, CT Scan dan MRI kepala.

Gambar 4. Simulasi grouper INA-CBG pasien dengan diagnosis utama stroke infark yang dilakukan
prosedur tindakan pemeriksaan laboratorium darah dan thorak foto.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 25


Gambar 5. Simulasi grouper INA-CBG pasien dengan diagnosis utama (DU) stroke infark yang tidak
dilakukanprosedur tindakan pemeriksaan.

Dari simulasi kasus di atas bisa dilihat bahwa penambahan prosedur pemeriksaan tidak
akan menambah jumlah paket INA-CBG pada setting pelayanan rawat inap. Sehingga sangat
diharapkan peran neurolog dalam melakukan pelayanan se-efektif dan se-efisien mungkin.
Semua pemeriksaan harus didasarkan pada indikasi medik yang jelas dan memang mejadi
kebutuhan pasien.
Untuk setting rawat jalan terdapat penambahan besaran paket INA-CBG ketika pasien
dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik, Gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Pasien rawat jalan dengan DU Nyeri Pinggang (M.54.57) dilakukan pemeriksaan
MRIlumbasakral.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 26


Gambar 7. Pasien rawat jalan dengan diagnosis utama Epilepsi (G40.9) dilakukan pemeriksaan EEG
(89.14)

Pada gambar 6, pasien rawat jalan dengan diagnosis utama nyeri pinggang (M.54.57)
kemudiandilakukan pemeriksaan MRI lumbasakral (88.93), maka ketika diinput dalam aplikasi
grouper INA-CBG akan muncul besaran klaim 1.243.900. Apabila hanya dilakukan pemeriksaan
saja tanpa MRI lumboskral, besaran klimnya adalah 377.000 (rawat jalan, regional I, Jawa
Timur, RS Pemerintah kelas A).
Sedangkan pada gambar 7, pasien rawat jalan dengan diagnosis utama epilepsi (G40.9)
kemudian dilakukan pemeriksaan EEG (89.14), maka ketika diinput dalam aplikasi grouper
INA-CBG akan muncul besaran klaim 557.800. Apabila hanya dilakukan pemeriksaan saja tanpa
pemeriksaan EEG, besaran klaimnya adalah 377.000 (rawat jalan, regional I, Jawa Timur, RS
Pemerintah kelas A).

3.3 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Menyesuaikan Dengan Derajat
Keparahan (Severity Level) Kasus.
Selama melakukan perawatan pasien, bisa saja terjadi komplikasi atau komorbiditas lain
yang memerlukan perawatan atau pengobatan khusus. Pada kondisi seperti ini maka sistem
grouper INA-CBG mengakomodir dalam kode severity level. Seringkali para neurolog kurang
menyadari bahwa ada beberapa kondisi khusus yang bisa menaikkan besaran paket INA-CBG
namun tidak ditulis scara lengkap di rekam medik, padahal kondisi tersebut memang benar-benar
ada dan dilakukan terapi spesifik.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 27


Simulasi kasus sebagai berikut: pasien dengan diagnosis utama stroke perdarahan
intraserebri, terdapat hemiplegi kiri, dari CT Scan didapatkan perdarahan intraserebral. Selama
perawatan pasien mengalami batuk, panas, dan akhirnya jatuh ke kondisi pneumonia (gambar 8-
10 simulasi INA-CBG).
Dari simulasi kasus seperti pada gambar 8-10 bisa kita perhatikan bahwa ketika diagnosis
utama hanya diinput stroke perdarahan saja (I61.0) maka besaran paket INA-CBG adalah
5.739.800 dengan deskripsi kode severity level menunjukkan angka romawi I (ringan) (gambar 8).

Gambar 8 : Simulasi pasien dengan DU stroke perdarahan intraserebral.

Apabila diagnosis sekunder hemiplegi kita inputkan, maka besaran paket INA-CBG
meningkat menjadi 10.009.100 dengan deskripsi kode severity level menunjukkan angka romawi
II(sedang) (gambar 9).

Gambar 9 : Simulasi pasien dengan DU stroke perdarahan intraserebral dan diagnosis sekunder (DS) hemiplegi

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 28


Apabila diagnosis sekunder lainnya yaitu pneumonia kita inputkan maka besaran paket INA-
CBG meningkat menjadi 11.871.100 dengan deskripsi kode severity level menunjukkan angka romawi
III (berat) (gambar 10). Namun demikian kita harus tetap menuliskan dan atau melampirkan data
dukung yang menjadi dasar diagnosis tersebut. Untuk hemiplegi/hemiparese kita harus menuliskan
skor motorik di dalam assesment awal medik dan lembar catatan perkembangan pasien serta
mengkonsultasikan untuk dilakukan fisioterapi.

Gambar 10 : Simulasi pasien dengan diagnosis utama stroke perdarahan intraserebral, diagnosis sekunder
hemiplegi dan pneumonia

Sedangkan untuk diagnosis pneumonia sebagai data dukung adalah adanya anamnesis batuk,
panas, dari pemeriksaan fisik didapatkan ronki dan pemeriksaan penunjang X-Ray foto thorak
didapatkan gambaran pneumonia.
Contoh kondisi lain yang sering kita dapatkan selama merawat pasien yang dapat
meningkatkan severity level adalah : edema cerebri, hemiplegi, hyponatremia, hipokalemia, kejang,
bronkopnemonia,sepsis dan lain-lain (tabel 5).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 29


Tabel 5. Daftar Diagnosis sekunder yang dapat meningkatkan severity level beserta data dukung yang harus
dipenuhi.

No Diagnosis Kode ICD X Data Dukung


1. Catatan di rekam medik ada gambaran status
Status konvulsi G41.9
konvulsi dan ada terapi spesifik untuk kejangnya.
2. Catatan di rekam medik, foto thorak, dan
Pneumonia/ Bronkopneumonia J18.9 / J18.0
tatalaksana khusus.
3. Sepsis A41.9 Bisa dilihat di berita acara kesepatan
4. Catatan di rekam medik, skor motorik, dan
Hemiplegi/Hemiparese G81.9
dilakukan fisioterapi.
5. Ada asesmen medik, terapi wicara, dan pasang
Afasia & Disfagia R47.0
NGT (untuk disfagia)
6. Assesmen dari Gizi, ada tatalaksana khusus tentang
Malnutrisi dan kakheksia E46
malnutrisi dan kakheksianya.
7. Dicatat di rekam medik dan diberikan tatalaksana
Kejang R56
spesifik.
8. Kondisi dimana kadar natrium lebih rendah dari
nilai normal (Na < 135) maka kondisi tersebut tetap
Hiponatremi E87.1 dikatakan sebagai hiponatrema dan dapat
digunakan sebagai diagnosis sekunder apabila ada
tatalaksana yang diberikan.
9. Kondisi dimana kadar kalium lebih rendah dari
nilai normal (Kalium < 3,5 maka kondisi tersebut
Hipokalemi E87.6 tetap dikatakan sebagai hipokalemia dan dapat
digunakan sebagai diagnosis sekunder apabila ada
tatalaksana yang diberikan.
10. Ada bukti imaging edema cerebri dan diberi
Edema cerebri G93.6 tatalaksana spesifik dan dikuatkan dokumen PNPK
Stroke dan atau PPK Rumah Sakit.
11. Tetraparesis/Tetraplegia G82.5 Catatan di rekam medik, skor motorik, dan
dilakukan fisioterapi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 30


12. Paraparesis/ Paraplegia G82.2 Catatan di rekam medik, skor motorik, dan
dilakukan fisioterapi.
13. Atrial fibrillation and flutter I48 Bisa dilihat diberita acara kesepakatan
14. Malnutrisi dan kaheksia E46 Catatan di assesmen rekam medik oleh gizi, dan
dilakukan tatalaksana spesifik..

3.4 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Berkaitan Dengan Reseleksi
Diagnosis Dan Pemilihan Kode ICD X dan ICD 9 CM.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesianomor 26 tahun


2021 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) dalam pelaksanaan
jaminan Kesehatan maka tugas dan tanggung jawab dokter adalah menegakkan dan
menuliskan diagnosis utama, diagnosis sekunder dan tindakan/prosedur yang telah
dilaksanakan serta membuat resume medik pasien secara lengkap, jelas dan spesifik.
Sedangkan tugas dan tanggung jawab seorang koder adalah melakukan kodifikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter yang merawat pasien sesuai
dengan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems 10th Revision) Versi Tahun 2010 untuk diagnosis dan ICD-9-CM
(International Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification) Versi
Tahun 2010 untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medik pasien.
Apabila dalam melakukan pengodean diagnosis atautindakan/prosedur koder
menemukan kesulitan ataupun ketidaksesuaian dengan aturan umum pengodean, maka
koder harus melakukan klarifikasi dengan dokter. Sehingga dokter dan koder harus
selalu berkomunikasi untuk membuat formula kode diagnosis yang sesuai dengan
kaidah koding maupun kaidah “klaim” (gambar 11).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 31


Gambar 11. Area tugas dan kewenangan dokter dan koder, serta mekanisme komunikasi
antara keduanya. PPA=Profesional Pemberi Asuhan.

Contoh kasus yang harus mendapat perhatian tentang penempatan diagnosis primer atau
sekunder adalah sebagai berikut : pada kasus stroke rawat jalan, sesuai kaidah yang berlaku maka
sebagai diagnosis utama adalah Z09.8 (Follow-up exam after other treatment for other conditions)
sedangkan stroke infark (I63.3) sebagai diagnosis sekunder. Seperti dilihat digambar 12 dan 13, apabila
stroke infark dijadikan diagnosis utama besaran klaim adalah 160.000, tapi bila diagnosis utama adalah
Z09.8 maka besaran klaimnya adalah 337.000.

Gambar 12. Grouper INA-CBG pasien stroke infark rawat jalan dengan diagnosis utama I63.3 (Cerebral
infarction due to thrombosis of cerebral arteries)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 32


Gambar 13. Grouper INA-CBG pasien stroke infark rawat jalan dengan diagnosis utama Z09.8 (Follow-
up exam after other treatment for other conditions) sedangkan diagnosis sekunder I63.3 (Cerebral
infarction due to thrombosis of cerebral arteries)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 33


BAB IV
OBAT OBATAN NEUROLOGI DALAM FORNAS

Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi. Akses terhadap obat
terutama obat esensial merupakan salah satu hak azasi manusia. Dengan demikian penyediaan obat
esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayanan Kesehatan publik baik
pemerintah maupun swasta.
Sesuai dengan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah
menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat, dan
didalam UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) yang dielaborasi
dalam Peraturan Presiden 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menyatakan bahwa
pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai untuk Peserta Jaminan Kesehatan pada
fasilitas kesehatan berpedoman pada daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai yang
ditetapkan oleh Menteri. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan perlu
menjamin aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah
yang cukup; bahwa dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional perlu disusun daftar obat
dalam bentuk Formularium Nasional;
Sebagai upaya dalam menyesuaikan kemajuan ilmu pengetahuan, memberikan ruang perbaikan
dan meningkatkan kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan obat kepada pasien, maka disusun
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas) yang direvisi secara
berkala.

4.1 Tata Cara Pengusulan Obat Fornas


Pengusulan obat hanya dapat dilakukan oleh :
1. Dinas Kesehatan Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota;
2. Rumah Sakit Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Swasta;
3. Perhimpunan/organisasi profesi dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis;
(misalnya Perdossi)
4. Unit di Kementerian Kesehatan dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Usulan Obat Fornas selanjutnya dapat dikirimkan melalui aplikasi e-Fornas dengan alamat
website http://e-fornas.binfar.kemkes.go.id.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 34


Jenis usulan yang dapat disampaikan :
1. Usulan jenis item obat
2. Usulan jenis sediaan/bentuk kekuatan obat
3. Usulan Restriksi dan/atau Peresepan Maksimal
4. Usulan Fasilitas Kesehatan

Obat diusulkan dengan menyampaikan:


1. Surat Pengantar Pengajuan Pengusulan dari Unit Kerja Pengusul
2. Mengisi Formulir Usulan Obat
3. Lampiran dokumen pendukung alasan pengusulan yaitu:
4. Data dukung bukti ilmiah dengan tingkat pembuktian EBM level 1A atau 1B

Obat yang diusulkan harus sesuai dengan kriteria pemilihan obat sebagai berikut:
1. Memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih.
2. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien.
3. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM.
4. Obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tetapi belum memiliki izin
edar, termasuk obat piatu (orphan drug) serta yang tidak mempunyai nilai komersial.
5. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tinggi.
6. Bukan obat tradisional dan suplemen makanan.

Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada
obat yang memiliki kriteria berikut.
1. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah.
2. Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan.
3. Stabilitasnya lebih baik.
4. Mudah diperoleh.
5. Harga terjangkau.
6. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut:
a. Obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap.
b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen.
c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk
sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 35


d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio).
e. Untuk antibiotika, kombinasi tetap harus mempertimbangkan bahwa kombinasi tersebut
dapat meminimalkan risiko terjadinya resistensi atau efek merugikan lainnya.

4.2 Alur Pengusulan Obat Fornas


1. Usulan dapat dilakukan oleh sejawat melalui RS, Dinas Kesehatan, Organisasi Profesi,
organisasi keseminatan (perhatikan syarat-syarat pengusulan obat). Surat pengantar dan
Formulir usulan obat dapat diunduh di http://e-fornas.binfar.kemkes.go.id
2. Usulan yang telah masuk akan dinilai oleh tim pelaksana Fornas apakah memenuhi syarat untuk
dibahas pada rapat komite Fornas, bila belum layak maka tim pelaksana Fornas akan
memberikan komentar pada aplikasi e fornas dapat berupa penolakan atau meminta untuk
melengkapi dokumen pendukung.
3. Hanya obat yang lolos seleksi tim pelaksana Fornas yang akan dibahas dalam rapat komite.
4. Rapat komite akan membahas usulan obat yang memenuhi persyaratan dengan meminta
pertimbangan dari tim ahli sesuai dengan obat yang dibahas atau dari pihak pengusul obat
(misalnya wakil dari RS Pengusul).
5. Obat-obat yang telah disetujui oleh rapat komite sekali lagi akan dibahas pada rapat pleno
komite
6. Obat-obat yang telah ditetapkan oleh rapat pleno selanjutnya akan dilakukan finalisasi, salah
satu yang penting dalam finalisasi adalah negosiasi harga antara kemenkes dengan produsen
atau distributor.
7. Setelah proses finalisasi selesai maka di dapat dibuat draft SK Fornas untuk kemudian disahkan
oleh Menteri Kesehatan RI

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 36


Gambar 14. Alur Pengusulan Obat Fornas

Alur Pengusulan Obat Fornas melalui Perdossi


Sejawat spesialis neurologi dapat mengusulkan penambahan obat baru, penambahan bentuk sediaan,
perubahan restriksi, jumlah maksimal pemberian melalui Perdossi dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Sejawat dapat mengusulkan melalui website Perdossi, Perdossi Cabang masing-masing atau
melalui Pokdi terkait
2. Perdossi cabang selanjutnya mengusulkan obat tersebut dengan bersurat kepada Pokdi terkait.
Misalnya mengusulkan Flunarizin dengan indikasi vertigo sentral untuk masuk dalam Fornas
maka cabang dapat bersurat kepada pokdi neurootologi dan neuroopthalmologi
3. Pokdi selanjutnya mengusulkan obat yang telah dilengkapi dengan kajian dari pokdi dan
dilengkapi dengan bukti ilmiah melalui tim JKN PP Perdossi
4. Tim JKN PP Perdossi berkoordinasi dengan pokdi, selanjutnya atas sepengetahuan ketua
umum mengusulkan obat tersebut melalui aplikasi e-fornas dan mengawal usulan tersebut
dalam rapat-rapat komite Fornas.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 37


Sejawat Sp.S/Sp.N

Perdossi Cabang
Website
Perdosni

POKDI TERKAIT

Tim JKN PP KETUM PP


Perdossi

Komite FORNAS

Gambar 15. Diagram alur pengusulan obat melalui Perdossi

Catatan:
Pengusulan melalui organisasi profesi adalah yang terbaik, karena melalui proses seleksi yang
komprehensif di Pokdi dan di tim JKN PP Perdossi. Tim JKN PP Perdossi juga mengawal usulan obat
tersebut dalam rapat-rapat komite Fornas yang diharapkan lebih tajam diskusinya.

4.3 Faktor-faktor yang membuat usulan obat tidak diterima Fornas


1. Obat tidak beredar di Indonesia (tidak memiliki nomer registrasi)
2. Obat belum beredar di Indonesia selama minimal 2 tahun
3. Obat tidak teregistrasi di BPOM sebagai obat (misalnya teregistrasi sebagai suplemen makanan,
fitofarmaka atau obat tradisional)
4. Indikasi yang diusulkan tidak sesuai dengan indikasi yang teregistrasi di BPOM (misalnya
mengusulkan indikasi aripiprazole untuk terapi gangguan gerak, sedangkan yang tercatat di
BPOM adalah antipsikotik saja)
5. Usulan tidak disertai bukti ilmiah yang kuat (bukti ilmiah dengan level evidence IA dan IB)
6. Sudah ada obat sejenis dalam fornas dengan harga yang lebih ekonomis
7. Usulan yang tidak dikawal oleh wakil perhimpunan atau RS pengusul dalam rapat tim ahli

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 38


4.4 Obat-Obat Dalam Fornas Yang Sering Digunakan Di Bidang Neurologi
Fornas 2021 memliki daftar obat yang cukup lengkap yang dapat digunakan dalam kebutuhan
pelayanan neurologi. Pada buku ini kami sampaikan beberapa obat yang sering digunakan dalam
layanan neurologi. Peresepan maksimal dan restriksi mungkin tidak sesuai dengan harapan sejawat
namun hal tersebut merupakan hasil diskusi komite Fornas yang harus dihargai, masih terbuka usulan
untuk perubahan yang dapat disampaikan sejawat melalui mekanisme yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Pada buku saku ini hanya kami tampilkan obat-obatan yang sering dan mungkin
digunakan sejawat neurologi. Fornas 2021 versi lengkap dapat diunduh melalui link berikut
http://e-fornas.binfar.kemkes.go.id/index.php/front/Download/

Tabel 6. Daftar obat Fornas 2021yang sering digunakan pada kasus Neurologi

No Nama Obat/Golongan Peresepan Restriksi Catatan


maksimal
1. ANALGESIK, ANTIPIRETIK, ANTIINFLAMASI NON STEROID, ANTIPIRAI
1.1 Analgesik Narkotik
1 Fentanyl injeksi 5 ampul/kasus Hanya boleh diresepkan oleh tim
manajemen nyeri RS atau tim
2 Fentanyl patch 12,5; 25 mcg/jam 10 patch/bulan onkologi (tumor board) RS.
3 Fentanyl patch 50 mcg 5 patch/bulan
4 Hidromorfon tablet 8 dan 16 mg 30 tab perbulan NR
lepas lambat
5 Morfin tablet 10 mg 4 tablet perhari Nyeri kanker, nyeri pada serangan
6 Morfin tablet lepas lambat 10,15 60 tablet/bulan jantung tindakan anestes
dan 30 mg
7 Morfin injeksi 10 mg/ml Infus/24 jam
8 Oksikodon oral tablet 5,10,20 60 tab perbulan Untuk nyeri berat yang
dan memerlukan terapi opioid
10,15,20 lepas lambat jangka panjang, (around-theclock)
Tidak untuk terapi as needed
(prn)
9 Oksikodon larutan oral 2 botol perbulan Hanya untuk indikasi breakthrough
pain, emergency pain
10 Oksikodon injeksi 10 mg/ml 2 ampul/hari Hanya untuk nyeri akut
11 Petidin injeksi 50 mg/ml 2 ampul/hari Nyeri sedang-berat pada pasien yang
rawat inap
12 Tramadol 50 mg/hari 2 ampul/hari Nyeri sedang-berat yang intoleran
maksimal 3 hari pada NSAID
dalam 1 bulan
1.2 Analgesik Non narkotik
1 Asam Mefenamat, 250 dan 500 30 tab/bulan
mg
2 Ibuprofen 200,400 mg 14 tablet/kasus
60 tab/bulan untuk
nyeri kronik
3. Ketoprofen injeksi 50 mg/ml ND
Ketoprofen supp 100 mg 2 supp/hari untuk 3 Untuk nyeri sedang sampai berat
hari pada pasien yang tidak dapat
menggunakan analgesik secara
oral

No Nama Obat/Golongan Peresepan Restriksi Komentar dari


maksimal penulis
4 Ketorolac injeksi 30 mg/ml 3 ampul/hari maks 2 Untuk nyeri sedang sampai berat Biasanya RS tidak
hari pada pasien yang tidak dapat menerapkan restriksi,

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 39


menggunakan analgesik secara hanya membatasi
oral jumlah
5 Metamizol injeksi 4 ampul selama Nyeri post operatif
dirawat
6 Natrium Diklofenak tab 25 dan 30 tab/bulan
50 mg
7 Natrium Diklofenak injeksi 25 Maksimal 2 hari Untuk nyeri pasca operasi
mg/ml pemberian
8 Parasetamol tabl 500 mg 30 tab/bulan
9 Parasetamol infus 1000 mg 3 botol/kasus Hanya untuk pasien di ruang Biasanya RS tidak
perawatan intensif yang menerapkan restriksi,
memerlukan analgesik hanya membatasi
jumlah
1.3 Antipirai
1 Allopurinol tab 100 mg 30 tab/bulan
2 Allopurinol tab 300 mg 60 tab/bulan
3 Kolkisin 500 mcg 30 tab/bulan
1.4 Anti Nyeri Neuropati
1 Amitriptilin 25 mg 30 tab/bulan
2 Gabapentin 60 kaps perbulan Hanya untuk neuralgia pasca herpes Beberapa RS tidak
3 Pregabalin 120 caps perbulan dan neuropati diabetik mempermasalahkan
restriksi hanya
mengikuti aturan
peresepan maksimal.
Tim JKN berencana
mengajukan usulan
perubahan restriksi
dan peresepan
maksimal
4 Karbamazepin 200 mg 120 tab/bulan Hanya untuk neuralgia pasca herpes Restriksi ini tidak
membatasi
penggunaan pada
epilepsi
2. ANESTETIK
2.1 Anestesi Lokal
1 Lidocain injeksi 1%, 2 %, spray
10% dan gel 2%
2 Bupivakain 0,5%
2.2 Anestesi Umum danOksigen
1 Propopfol injeksi 1% Tidak ada restriksi
2 Tiopental 500 dan 1000 mg dalam fornas
3. ANTIALERGI dan OBAT untuk ANAFILAKSIS
1 Deksametason injeksi 5 mg/ml
2 Difenhidramin injeksi 10 mg/ml
3 Epinefrin injeksi 1 mg/ml
4 Hidrocortison injeksi 100 mg
5 Loratadine tabl 10 mg 30 tab /bulan
6 Cetirizine 10 mg 30 tab/ bulan
7 Klorfeniramin 4 mg 3 tab/hari maks 5
hari
4. ANTIDOT DAN OBAT LAIN UNTUK KERACUNAN
4.1. Antidot khusus
1 Atropin injeksi 0,25 mg/ml
2 Atropine 0,5 mg
3 Calcium gluconas injeksi 10 mg
4 Natrium bicarbonate inj 8,4%
5 Natrium bicarbonate tablet
6 Nalokson 0,4 mg/ml Hanya untuk opioid intoxication
7 Natrium tiosulfat
8 Neostigmin
9 Protamin Sulfat
4.2 Antidot umum
1 Magnesium Sulfat inj 20% &
40%

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 40


5. ANTIEPILEPSI – ANTIKONVULSI
1 Diazepam injeksi 10 ampul/kasus Tersedia di FKTP
kecuali pasien di
ICU
2 Diazepam Supp, 5 mg/2,5 ml 2 tube/hari Tersedia di FKTP
3 Diazepam supp, 10 mg/2,5 ml 2 tube/hari Tersedia di FKTP
4 Fenitoin injeksi 50 mg/ml Tersedia di FKTP
5 Fenitoin Kapsul 100 mg 120 kaps/bulan Tersedia di FKTP
6 Fenobarbital tab, 30 mg 120 tab/bulan Tersedia di FKTP
7 Fenobarbital injeksi 50 mg dan Maksimal 40
100 mgl/ml mg/kgBB
8 Karbamazepin tab 200 mg 120 tab per bulan Tersedia di FKTP
9 Karbamazepin syruo 100 4 botol perbulan Tersedia di FKTP
mg/5ml
10 Klonazepam 2 mg 30 tablet
11 Lamotrigin 25 mg 30 tablet Hanya untuk dosis titrasi
12 Lamotrigin 50 mg Sampai dengan 400
mg/hari
13 Lamotrigin 100 mg 120 tab/bln
14 Levetiracetam 250 mg 60 tab/bln Add on pada epilepsy onset fokal
15 Levetiracetam 500 mg 90 tab/bln
16 Oxcarbazepin syrup 60 mg/ml
17 Topiramat 25, 50, 100 mg 90 tab/bln untuk tab Digunakan untuk terapi pada
100 mg epilepsi parsial.
18 Valproat tab ER 250 mg 120 tab/bl Dapat digunakan untuk epilepsy onset
19 Valproat tab ER 500 60 tab/bl umum
20 Valproat salut enteric 250 mg 90 tab/hari
21 Valproat syrup 50 mg/ml 5 botol/hari
22 Zonisamid 100 mg 60 tab/bulan Hanya digunakan pada pasien yang
sudah pernah mendapat topiramate
atau levetirasetam, namun tidak
mencapai remisi (bebas serangan 1
tahun berturut-turut).
6. ANTIINFEKSI
6.1 Antelmintik
6.1.1 Antelmintik intestinal
1 Albendazol tab 400 mg dan
suspense 200 mg/5ml
2 Mebendazole tab 100, 500 mg,
suspense 100 mg/5ml
3 Pirantel Pamoat tabl 125 mg,
250 mg, suspense 125 mg/5ml
4 Praziquantel tab 600 mg
6.2. Antibiotika
6.2.1. Betalaktam
1 Ampisilin inj 250mg, 1000 mg 10 hari
2 Benzatin benzilpenisilin
1,2 jt IU 2 vial/bulan
2,4 jt IU 1 vial/bulam
3 Amoxicillin-Asam klavulanat 10 hari Pencampuran dilakukan sesaat
FDC sebelum penyuntikan untuk mencegah
Injeksi 1200 mg hilangnya efikasi asam klavulanat
4 Ampisilin-Sulfbactam FDC 10 hari
500/250 mg
1000/500 mg
5 FDC Sefoperazone/Sulfbactam 10 hari Diberikan atas persetujuan
500/500 mg KFT/KPRA/pimpinan RS untuk:
1. Antibiotik lini ketiga,
2. Infeksi berat yang tidak bisa
diatasi dengan antibiotic tunggal.
6 Procain benzil Penisilin 3 vial/kasus
3jt IU (i.m)
7 Sefazolin injeksi 1000 mg 24 jam Digunakan pada profilaksis
bedah untuk mencegah
terjadinya infeksi luka operasi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 41


8 Sefepim 3 g/hari sampai Antibiotik lini ketiga (reserved
ANC > 500/mm3. antibiotic). Diberikan atas persetujuan
KFT/KPRA/pimpinan RS
Untuk demam neutropenia karena
penggunaan kemoterapi atau
radioterapi, dapat diberikan
sebagai terapi empiris
9 Sefoperazone 3 g/hari maksmal 7 Antibiotik lini ketiga (reserved
hari antibiotic). Diberikan atas persetujuan
KFT/KPRA/pimpinan RS
Mengatasi infeksi pada pasien yang
mengalami penurunan fungsi ginjal

10 Sefotaksim 500 mg dan 100- mg Maksimal 10 hari


11 Seftazidim 1000 mg Antibiotik lini ketiga (reserved
antibiotic), untuk infeksi yang terbukti
disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa.
Diberikan atas persetujuan
KFT/KPRA/pimpinan RS.
12 Seftriakson 1000 mg 2 g/hari selama 7
hari, meningitis
4g/hari selama 14
hari
13 Sefuroksim injeksi 750 mg 3g per kasus
6.2.2 Antibiotik Lainnya
6.2.2.1 Tetrasiklin
1 Doksisiklin caps 100 mg Tidak digunakan untuk anak usia
< 6 tahun, ibu hamil, atau ibu
Menyusui
2 Tetrasiklin capsl 250 dan 500 4 caps/hari untuk 5
mg hari
6.2.2.2 Kloramfenikol
1 Kloramfenikol caps 250 dan 500 4 caps/hari, 5 hari
mg
2 Kloramfenikol inj 1000 mg Untuk meningitis
Anak 2 g/hari,
dewasa 4 g/hari
selama 14 hari
6.2.2.3 Sulfametoksazol-Trimetoprim
1 Kotimoxazol tab 480 mg 4 tab/hari, 10 hari,
21 hari pasien
imunocompromized
2 Kotirmoksazol forte 960 mg Profilaksis pada
pasien HIV:
1 tab/hari sampai
CD4 > 200
sel/mikroliter.
- Infeksi yang
sensitif terhadap
kotrimoksazol: 2
tab/hari selama
10 hari.
- PCP:
3-6 tab/hari
selama 21−28 hari
6.2.2.4 Makrolid
1 Azitromisin 3 hari
• Caps 250 dan tab 500
mg
• Dry syrup 200 mg/5ml
• Injeksi 500 mg
2 Klaritromisin tab 500 mg 14 hari
3 Spiramisin tab 500 mg 3 g/hari selama 6 Dapat digunakan untuk
minggu toksoplasmosis pada kehamilan.
6.2.2.5 Aminoglikosida

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 42


1 Amikasin injeksi 250 mg/ml Hanya digunakan untuk infeksi oleh
bakteri gram negatif yang resisten
terhadap gentamisin
2 Gentamisin injeksi 40 mg/ml
3 Streptomisin 1000 mg
6.2.2.6 Kuinolon
1 Levofloxacin tab 500 mg, injeksi 10 hari
5 mg/ml
2 Moksifloksasin tab 400 mg, 10 hari Faskes 3
infus 1,6 mg/mL Tidak digunakan untuk pasien usia
3 Ofloksasin tab 200 dan 400 mg 10 hari < 18 tahun, ibu hamil, atau ibu
Menyusui
4 Siprofloksasin
• Tab 500 mg
• Infus 2 mg/ml 4 botol/hari
6.2.2.7 Linkosamid
1 Klindamisin cap 150 mg 4 kaps/hari selama 5
hari kecuali untuk
toksoplasmosis
selama 6 minggu.
2 Klindamisin cap 300 mg 4 kaps/hari
selama 5 hari
kecuali untuk
toksoplasmosis 8
kaps/hari selama
6 minggu.
- Untuk abses paru
atau empiema:
3−4 kaps/hari
selama 14 hari
6.2.2.8 Lain-lain
1 Meropenem injeksi 500 mg dan Febrile Diberikan atas persetujuan
1000 mg neutropenia: KFT/KPRA/pimpinan RS untuk
Dosis 1−3 g/hari, antibiotik lini ketiga (reserved
sampai ANC antibiotic) pada infeksi oleh kuman
>500/mm3. penghasil ESBL
Tidak untuk profilaksis
b) Sepsis dan Prabedah
infeksi
berat mengancam
jiwa:
- Dosis 1−3 g/hari
sampai ada hasil
kultur, maks 7 hari.

- Meropenem hanya
dilanjutkan
apabila hasil kultur
yang diambil dari
tempat yang
dicurigai sebagai
sumber infeksi
menunjukkan
bahwa bakteri
penyebab hanya
sensitif terhadap
meropenem.
2 Metronidazol tab 250 dan 500 Maksimaum 2
mg minggu kecuali
pada abses hepar,
paru, otak sesui
kebutuhan
3 Metronidazole infus 5 mg/ml 3 btl/hari
Pirimetamin tab 25 mg Dalam bentuk kombinasi dengan
sulfadiazin atau klindamisin dan
leukovorin untuk toksoplasmosis
serebral/retinitis pada pasien

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 43


immunocompromised.
4 Sulfadiazin 500 mg
5 Vankomisin injeksi 500 mg 10 hari/kasus Diberikan atas persetujuan
KFT/KPRA/pimpinan RS untuk
antibiotik lini ketiga (reserved
antibiotic) pada infeksi oleh kuman
MRSA atau MRSE positif (dibuktikan
dengan hasil kultur)
6.3 ANTIINFEKSI KHUSUS
6.3.2 Anti tuberkulosis
Catatan:
– Disediakan oleh Program Kemenkes.
– Penggunaan sesuai dengan Program Nasional Pengendalian TB.
1 Rifampisin 300 450, 600 mg
2 Isoniazid 100 mg 10 mg/Kg/hari,
maks 6 bl
3 Isoniazid 300 mg 300 mg/hari maks 6
bl
4 OAT katergori I KDT/FDC
mengandung
• RHZE: 150/75/400/275 mg 1 tab/15 Kg Pengobatan TB 2 bulan pertama
• RH: 150/150 mg 1 tab/15 kg Pengobatan TB 4 bulan lanjutan,
dapat diperpanjang bila perlu
5 T KDT Kategori 2
• RHZE: 150/75/400/275 mg 1 tab/15 Kg Pengobatan TB 3 bulan pertama
• RH: 150/150 mg 1 tab/15 kg Pengobatan TB 5 bulan lanjutan
• Etambutol 400 mg ditambah etambutol 3 x seminggu
• Streptomisin 1000 mg
6 T Kombipak kategori I, dalam Diberikan untuk pasien TB yang
bentuk paket terdiri dari: tidak bisa menggunakan OAT bentuk
FDC/KDT
mbipak II 56 blister dalam 2 Pengobatan TB tahap awal
ZE: 450/300/500/250 mg bulan pertama
mbipak III 48 blister dalam 4 Pengobatan TB tahap lanjutan
: 450/300 mg bulan pemberian 3 x
seminggu
7 zinamid tab 500 mg Hanya dapat diberikan di Faskes
Tk. 2 dan 3, sesuai dengan SK
Penetapan Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan Pelaksana Layanan
Tuberkulosis Resistan Obat.
(Kepmenkes No.
HK.01.07/MENKES/350/2017)
Hanya digunakan untuk paduan
pada TB Resistan Obat.
8 ptomisin inj 1000 mg Digunakan untuk paduan OAT
kategori 2, tahap awal.
Untuk kombinasi pengobatan
pasien TB Kambuh BTA (+).
Digunakan untuk paduan
pengobatan TB Resistan Obat.
6.4. ANTIFUNGI
1 Antifungi sistemik
1 foterisin B inj 5 mg/ml
2 conzol tab 50, 100 mg dan infus 2 Digunakan untuk kandidiasis
mg/ml sistemik/pada pasien
immunocompromised
Digunakan untuk berbagai
bentuk kriptokokosis
3 konazol Hanya untuk aspergilosis,
onikomikosis, deep mycosis yang
dibuktikan dengan kultur
4 afungin injeksi 50 mg Hanya digunakan untuk kandidiasis
sistemik yang sudah tidak respons
dengan flukonazol.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 44


5 tatin tab 500.000 IU 30 tab/bl
6 tatin susp ensi 100.000 IU/ml 2 botol/kasus untuk
satum minggu
7 ikonazol tab 200 IU Selama 4 minggu Hanya untuk akut invasif
8 ikonazol injeksi 200 IU 14 hari, dilanjutkan aspergilosis.
oral Diagnosis harus dibuktikan
dengan pemeriksaan kultur
jaringan atau kultur aspirat paru
atau serologi
Hanya dapat diberikan di ICU
atau pasien yang memenuhi
persyaratan untuk masuk ICU
6.5 Anti Malaria
6.5.2 Antimalaria (disediakan oleh Program Kemenkes)
1 esunate injeksi 60 mg im/iv Diberikan pada malaria
berat/dapat diberikan pra
rujukan
Hanya dapat diberikan di puskesmas
perawatan atau untuk 1 kali
pemberian pada malaria berat yang
segera dirujuk ke Faskes Tk. 2
2 T/FDC Terapi lini pertama
emether/lumefantrin 20/120 mg malaria falsifarum
3 C dihidroartemisinin/piperaquin
4 nin tablet 200 mg Untuk terapi lini kedua pada
Malaria
5 nin injeksi 25% Hanya digunakan untuk malaria
dengan komplikasi/malaria
berat.
6 makuin tab 15 mg
6.6 ANTIVIRUS
6.6.1 Antiherpes
1 klovir tab 200 mg, 400 mg, injeksi
250 mg
2 asiklovir tab 500 mg
6.6.2 Anti Sitomegalovirus (CMV
Hanya untuk pasien immunocompromised (CD 4 <100) serta dibuktikan ada kelainan organik (retinitis CMV/CMV serebral).
Untuk transplantasi organ dari donor yang menderita CMV.
1 siklovir serb injeksi 500 mg
2 gansiklovir tab sal 450 mg Untuk profilaksis pada donor positif -
resipien negatif atau donor positif -
resipien positif.
Kadar transaminase serum dalam
batas normal.
6.6.3 Antiretroviral
6.6.3.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes.
1 Abakavir tab 300 mg
2 Kombinasi KDT/FDC 1 tab
mengandung: Zidofudin 300
mg, lamivudine 150 mg
3 Kombinasi KDT/FDC 1 tab
Mengandung: Tenofovir 300
mg, emtrisitabin 200 mg
4 Lamivudin tab 150 mg
5 Tenofovir tab 300 mg
6 Zidovudin kaps 100 mg
6.6.3.2 Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes.
1 Evafirens tab/kaps 200 mg, 600
mg
2 Nevirapin tab 200 mg
6.6.3.3 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)+Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes.
1 kombinasi KDT/FDC 1 tab

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 45


mengandung:
Tenofovir 300 mg, Lamivudin
300 mg, Evafirenz 600 mg
6.6.3.4 Protease Inhibitor
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes.
1 kombinasi KDT/FDC (LPV/r) 1 Hanya digunakan sebagai lini kedua
tab mengandung: terapi antiretroviral.
Lopinavir 200 mg
Ritonavir 50 mg
6.6.3.5 Integrase Inhibitor
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes.
1 Dolutegravir tab 50 mg
6.6.3.6 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)+Integrase Inhibitor
Catatan: Disediakan oleh Program Kemenkes
1 kombinasi KDT/FDC 1 tab
mengandung:
Tenofovir 300 mg
Lamivudin 300 mg
Dolutegravir 50 mg
7. ANTIMIGREN dan ANTIVERTIGO
7.1. Antimigrain
7.1.1 profilaksis
1 Propranolol 10 mg
2 Propanolol 40 mg
3 Valproat 250 mg ER 60 tab/bl Hanya digunakan pada pasien yang
4 Valproat 500 mg ER 30 tab/bl memiliki kontraindikasi atau gagal
profilaksis dengan beta bloker
7.1.2 Serangan akut
1 Ergotamin tabl 1 mg 8 tab/minggu
2 Ergotamin-caffein 0,5 mg/50mg 8 tab/minggu
7.2. Antivertigo
1 Betahistin 6 mg Untuk vertigo perifer:
- BPPV: 1 minggu.
- Non BPPV: 30 tab/bulan.
2 Betahistin 24 mg Untuk meniere 90 tab/bulan
8. ANTINEOPLASTIK, IMUNOSUPRESAN dan OBAT untuk TERAPI PALIATIF
8.2 Imunosupresan
1 Azatioprin tab 50 mg 90 tab/bulan
2 Metotreksat tab 2,5 mg Untuk imunosupresi.
Untuk pasien dengan luas psoriasis
diatas 10%.
3 Metotreksat inj 2,5 mg/mL (i.t.) Untuk penggunaan intratekal, hanya
boleh digunakan sediaan preservative
free.
Hanya boleh diresepkan oleh
Konsultan Hematologi dan Onkologi
Medik (KHOM) dan Dokter Spesialis
Neurologi konsultan Onkologi.
4 mikofenolat sodium tab sal 180 Dewasa: 60 Faskes 3
mg tab/bulan
5 mikofenolat sodium tab sal 360 120 tab/bulan Faskes 3
mg
6 Siklosporin kaps lunak 25 mg, 5 mg/kgBB/hari Untuk kasus transplantasi organ atau Faskes 3
50 mg penyakit autoimun.
7 Siklosporin kaps lunak 100 mg 90 kaps/bulan Untuk kasus transplantasi organ atau Faskes 3
penyakit autoimun.
8 Siklosporin inj. 50 mg/mL, 100 Faskes 3
mg/mL
9 Rituksimab inj. 10 mg/mL 375 mg/m2 setiap 3 Untuk Diffuse Large B-Cell Faskes 3
minggu, maks 6 Lymphoma (DLBCL) dengan hasil
siklus. pemeriksaaan CD20 Positif.
Untuk terapi Chronic lymphocytic
leukemia (CLL) dengan hasil
pemeriksaan CD20 positif.
10 Siklofosfamid inj. 200 mg, 500 Faskes 3

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 46


mg, 1000 mg
8.3 Sitotoksik
1 Afatinib tab sal 20 mg, 30 mg, 30 tab/bulan Untuk NSCLC jenis non squamous Faskes 3
40 mg yang locally advanced atau metastatik
dengan EGFR exon 19 delesi atau
mutasi subsitusi exon 21 (L858R dan
L861Q), substitusi exon 18 (G719X),
atau substitusi mutasi exon 20
(S7681), pada pasien yang belum
pernah mendapatkan TKI
sebelumnya.

Dosis terapi adalah 40 mg, diberikan


1x1 sehari.

Tidak digunakan sebagai lini kedua.

Jika terjadi progresi pada salah satu


(gefitinib, erlotinib, atau afatinib),
maka tidak dapat diganti dengan obat-
obat tersebut.

Obat dihentikan jika respons terhadap


obat kurang dari 50%, setelah 3
siklus.
1 Gefitinib tab 250 mg 30 tab/bulan. Untuk NSCLC jenis non squamous Faskes 3
yang locally advanced atau metastatik
dengan EGFR exon 19 delesi atau
mutasi subsitusi exon 21 (L858R),
pada pasien yang belum pernah
mendapatkan TKI sebelumnya.

Jika terjadi progresi pada salah satu


(gefitinib, erlotinib, atau afatinib),
maka tidak dapat diganti dengan obat-
obat tersebut

Obat dihentikan jika respons terhadap


obat kurang dari 50%, setelah 3
siklus.
1 Lapatinib tab 250 mg Untuk HER2 positif Kombinasi dengan kapesitabin untuk
bersama dengan kanker payudara metastatik dengan
kapesitabin, dosis hasil pemeriksaan HER2 (ErbB2)
1.250 mg/hari (5 positif 3. Bila HER2 positif 2 maka
tab/hari). pemeriksaan FISH atau CISH harus
positif. Semua harus telah mendapat
Untuk HER2 terapi sebelumnya termasuk
positif+hormon ER trastuzumab.
dan/atau PR positif
dan post menopause Kombinasi dengan letrozol untuk
pemberian bersama kanker payudara metastatik pada post
letrozol, dosis 1.500 menopause dengan reseptor hormon
mg/hari (6 tab/hari). positif (ER/PR positif) dan
memerlukan terapi hormone
1 Temozolomid kaps 20 mg, 100 Jika menggunakan Untuk glioblastoma. Faskes 3
mg fasilitas radioterapi:
75 mg/m2/hari Untuk anaplastic astrocytoma.
selama pasien
disinar kemudian
dilanjutkan 150−200
mg/m2/hari selama 5
hari berturut-turut
diulang setiap 4
minggu, maks 6
siklus.

Jika tidak

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 47


menggunakan
fasilitas radioterapi:
150−200 mg/m2/hari
selama 5 hari
berturut-turut
diulang setiap 4
minggu, maks 6
siklus.
1 Metroteksat tab 2,5 mg Untuk maintenance Faskes 3
leukemia: 7,5
mg/hari setiap
minggu.

Untuk trofoblastik
ganas: 30 mg/hari
selama 5 hari.
2 Metroteksat inj. 2,5 mg/mL Untuk trofoblastik Untuk penggunaan intratekal, hanya Faskes 3
ganas: 12.000 boleh digunakan sediaan preservative
mg/m²/hari. free.

Jika diperlukan dapat diberikan


bersama kalsium folinat (leukovorin,
Ca) sebagai rescue medication.
3 Metroteksat inj. 5 mg/mL 15 mg/minggu Untuk penggunaan intratekal, hanya Faskes 3
(i.v./i.m./i.t.) boleh digunakan sediaan preservative
free.
8.4. Lain-lain
1 Asam zoledronate inf. 4 mg/100 1 vial/bulan Hiperkalsemia akibat keganasan. Faskes 3
mL
Metastatik tulang.
2 Asam ibandronate inj. 1 mg/mL 1 vial/bulan Hiperkalsemia akibat keganasan. Faskes 3

Metastatik tulang.
3 Dinatrium klodronat inj. 60 Dosis kumulatif Untuk hiperkalsemia akibat Faskes 3
mg/mL maks 1.500 mg/hari keganasan.
selama 5 hari.
Metastatik tulang
10. ANTIPARKINSON
1 Levodopa-karbidopa- 90 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi
entacapone FDC (Fixed Dose
Combination)
2 Pramipeksol 0,125 mg 60 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi,
3 Pramipeksol lepas lambat 0,375 30 tab/bulan dapat diberikan pada restless leg
dan 0,750 mg syndrome
4 Ropinirole tab lepas 30 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi,
lambat2,4,8 mg dapat diberikan pada restless leg
syndrome
5 Triheksilphenydil 2 mg 90 tab/bulan
10. OBAT yang MEMENGARUHI DARAH
10.1. Antianemia
1 Asam folat tab 0,4, 1 dan 5 mg
2 sianokobalamin (vitamin B12)
tab 50 mcg
3 sianokobalamin (vitamin B12)
inj. 500 mcg/mL
10.2 Obat yang mempengaruhi koagulasi
1 Asam traneksamat tab 500 mg, Untuk perdarahan masif atau
injeksi 50 mg/ml dan 100 berpotensi perdarahan > 600 cc.
mg/ml
2 dabigatran eteksilat 75 mg dan 30 tab/bulan Untuk pencegahan VTE (Venous
110 mg Thrombo Embolism) pada hip dan
knee replacement
3 enoksaparin sodium inj 10.000 2 vial/hari Dapat digunakan untuk
IU/mL tromboemboli dan sindrom koroner
akut serta pencegahan clotting pada
hemodialisis, pada bedridden post

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 48


operasi
4 Fondaparinuks inj 2,5 mg/0,5 1 vial per hari Digunakan untuk tromboemboli
mL dan sindrom koroner akut.
5 heparin, Na (non porcine) inj Dosis sesuai dengan
5.000 IU/mL (i.v./s.k.) target APTT (maks
20.000−40.000
IU/hari)
6 protamin sulfat inj 10 mg/mL
(i.v.)
7 Rivaroxaban 15 dan 20 mg 42 tab/kasus dan 30 Terapi deep vein trombosis
tab/bulan
8 Warfarin 1 dan 2 mg Pengobatan dan pencegahan
tromboembolism
9 fitomenadion (vitamin K1), tab
10 mg, injeksi 2 mg/ml dan 10
mg/ml
Antivertigo
1 Betahistin 6 mg Untuk vertigo perifer:
- BPPV: 1 minggu.
- Non BPPV: 30 tab/bulan.
2 Betahistin 24 mg Untuk meniere 90 tab/bulan
11. PRODUK DARAH dan PENGGANTI PLASMA
11.2 Pengganti Plasma dan Plasma ekspander
1 Albumin 5% Plasmaferesis
2 Albumin 20% dan 25% 100 ml/hari Untuk kasus hipoalbumin < 2,5g/dL
3 Fraksi protein plasma inj 5% Hanya faskes tk 3
12. DIAGNOSTIK
12.1 BAHAN KONTRAS RADIOLOGI
12.1.2 Intravaskular
1 Iodiksanol injeksi 320 mg/ml
2 Ioheksol injeksi
140-350 mg/ml
240-350 mg/ml
3 Iopamidol injeksi 300-370
mg/ml
4 Iopromid infus 300-370 mg/ml
12.1.3. Intratekal
1 Ioheksol injeksi 180-300 mg/ml Faskes 3
2 Iopamidol injeksi 300 mg/ml Faskes 3
12.3 Ultrasound
1 galactose microparticle 200-400
micropart/ml

15. DIURETIK dan OBAT untuk HIPERTROFI PROSTAT


15.1 Diuretik
1 Furosemide tab 40 mg 90 tab/bl
2 Furosemide injeksi 10mg/ml
3 Hidrochlortiazid 25 mg 30 tab/bl
4 Manitol 20% 2 btl/hari
5 Spironolacton 25 mg, 100 mg 30 tab/bl
16. HORMON, OBAT ENDOKRIN LAIN dan KONTRASEPSI
16.2. ANTIDIABETES
16.2.1 Antidiabetes oral
1 Acarbose 50 dan 100 mg 90 tab/bl
2 Glibenclamid 5 mg 90 tab/bl
3 Gliclazid 30,60 dan 80 mg 30 tb/bl dan 60
tab/bl
4 Gliquidon 30 mg 90 tab/bl
5 Glimepiride, 1,2,3, dan 4 mg 60 dan 30 tab/bl
6 Glipizid 5 dan 10 mg 90 tab/bl
7 Metformin 500 dan 850 mg 120 dan 60 tab/bl
8 Pioglitazon 15 dan 30 mg 30 tab/bl Tidak diberikan pada pasien dengan
gagal jantung atau edema karena
sebab lain, dan/atau Riwayat keluarga
bladder cancer.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 49


9 Sitagliptin 100 mg 30 tab/bl Tidak digunakan sebagai lini
pertama/terapi inisial.
Tambahan pada metformin dan
sulfonil urea
Tidak untuk terapi tunggal

10. Vildagliptin 50 mg 60 tab/bl Restriksi = sitagliptin


16.2.2. Antidiabetes parenteral
11. insulin basal inj 100 dan 300 Untuk pasien yang dengan oral
IU/mL hipoglikemik kadar gula tidak
terkendali HbA1c > 7,5% atau
gula rerata 169 g/dL atau pasien
diabetes tipe 2 dengan HbA1c >9
dengan dekompensasi metabolic
13. Insulin prandial 100 IU/ml
14. Insulin campuran 100 mg/ml Sama dengan insulin basal
16.5. Kortikosteroid
1 Deksametason tab 0,5 mg dan
injeksi 5 mg/ml
2 Hidrokortison injeksi 100 mg
3 Metilprednisolon tab 4,8,16 mg
4 Metil prednisolone injeksi 125 Hanya digunakan untuk kasus
dan 500 mg spesialistik, digunakan dalam
waktu relatif singkat
5 Prednison tab 5 mg
6 Triamcinolon acetonid injeksi 10
mg/ml
11. OBAT KARDIOVASKULAR (Antihipertensi, anti angina, anti trombotik, trombolitik)
1 Amlodipin 5, 10 mg 30 tab/bl
2 Diltiazem 30 mg 90 tab/bl
3 Diltiazem tabl lepas lambat 100 30 tab/bl
dan 200
4 Diltiazem injeksi 50 mg Untuk hipertensi berat atau angina
pektoris pada kasus rawat inap
5 Isosorbid di nitrat 5,10 mg 90 tab/bl
6 Digoksin tab 25 mg 30 tab/bl
7 Bisoprolol 2,5 dan 5 mg 30 tab/bl
8 Irbesartan 150 dan 300 mg 30 tab/bl Untuk pasien yang telah mendapat
9 Kandesartan 8 dan 16 30 tab/bln ACE inhibitor sebelumnya sekurang
10 Valsartan 80 dan 160 mg 30 tab/bl kurangnya 1 bulan dan mengalami
intoleransi terhadap ACE inhibitor
yang dibuktikan dengan melampirkan
resep sebelumnya
11 Telmisartan 40 dan 80 mg 30 tab/bl Digunakan untuk hipertensi dengan
nilai eGFR < 30 mL/menit/1,73 m2
12 Kaptopril 12,5; 25; 50 mg 90 tab/bl
13 Ramipril 5, 10 mg 30 tab/bl
14 Klonidin tab 0,15 mg 90 tab
15 Klonidin injeksi 150 mcg/ml
16 Lisinopril 5, 10, 20 mg 30 tab

17 Nifedipin tab 10 mg 90 tab


18 Nifedipin tabl lepas lambat 30 tab
20,30 mg
19 Nicardipin injeksi 1 mg/ml Hanya untuk pasien dengan
hipertensi berat dan memerlukan
perawatan
20 Nimodipine tab 30 mg 8 tab/hari maksimal Hanya tersedia di
18 hari faskes tiga
21 Nimodipin injeksi 0,2 mg/ml Maks 3 hari
22 Asetosal 80 dan 100 mg 30 tab/bl
23 Klopidogrel 75 mg 30 tab/bl Pasien yang menderita recent
myocardial infarction, ischaemic
stroke atau established Peripheral
Arterial Disease (PAD) maksimal 12

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 50


bulan
24 Silostazol tabl lepas lambat 100 30 tab/bl Secondary prevention pada
mg pasien stroke dengan Cerebral
Small Vessel Disease (CSVD)
25 Alteplase injeksi 50 mg Hanya untuk stroke non
hemoragik dengan onset < 4,5
jam.
Dapat diberikan di Faskes Tk. 2
yang memiliki fasilitas
ICCU/ICU/unit stroke.
26 Dobutamin injeksi 12,5 mg/ml Hanya untuk syok kardiogenik,
dekompensasi kordis akut dan
syok septik.
27 Dobutamin injeksi 25 dan 50
mg/ml
28 Epinefrin 1 mg/ml
29 Norepinefrin 1 mg/ml
Antidislipidemia
30 Atorvastatin 30 tab/bl Pasien ASCVD (pasca PCI/CABG,
• Tab 10 mg stroke iskemi dan/atau PAD,
• Tab 10 mg pascainfark) yang dibuktikan dengan
31 Rosuvastatin tab 10 mg 30 tab/bl EKG atau MSCT atau riwayat
32 Simvastatin tab 10, 20, 40 mg 30 tab/bl angiografi. Target LDL adalah ≤ 70
mg/dL, yang harus diperiksa setiap 6
bulan
33 Fenofibrat 100 dan 300 mg/dl 30 tab/bl Hanya untuk hipertrigliseridemia
dengan kadar trigliserida > 250 mg/dL
34 Gemfibrozil 300 dan 600 mg 30 tab/bl Hanya untuk hipertrigliserida, tidak
dianjurkan diberikan Bersama statin
20. LARUTAN ELEKTROLIT, NUTRISI, dan LAIN–LAIN
20.1 Oral
1 kalium klorida tab 600 mg 90 tab/bl
2 Kalium aspartate tab 300 mg 90 tab/bl
3 Natrium bicarbonat tab 500 mg 90 tab/bulan
20.2 Parenteral
1 Larutan Mengandung:
- Karbohidrat
- asam amino
- elektrolit
-karbohdirat dan elektrolit
- lipid
2 Larutan mengandung Hanya digunakan untuk pasien
karbohidrat, elektrolit, lipid, dengan Total Parenteral Nutrition
asam amino (TPN)
3 Larutan Mengandung Vitamin Faskes 3
yang larut dalam lemak
(Vitamin A, D, E, K)
23. PSIKOFARMAKA
23.1. Antiansietas
1 Alprazolam 0,25; 0,5 dan 1 mg 30 tab/bl Hanya dapat diresepkan oleh Banyak restriksi
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa karena potensi adiksi
dan Internis Psikosomatik. tinggi, masih banyak
pilihan yang bisa
digunakan sejawat
Sp.S
2 Diazepam tab 2mg, 5 mg 30 tab/bl
3 Klobazam 10 mg 60 tab/bl
4 Lorazepam tab 0,5 mg, 1 mg, 2 30 tab/bl
mg
5 Klobazam 10 mg 60 tab/bl
23.2. Antidepresan
1 Amitriptilin 25 mg 60 tab/bl
2 Fluoxetin 20 mg 60 tab/bl
3 Sertralin 50 mg 30 tab/bln Untuk depresi yang disertai ansietas
23.1. Antipsikotik

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 51


1 Haloperidol tab 0,5 mg; 1,5 mg; 90 tab/bln
2 mg dan 5 mg
2 Haloperidol drops 2 mg/ml 2 botol/bln
3 Haloperidol injeksi 5 mg/ml 4 ampul/hari Untuk agitasi akut dan
kegawatdaruratan psikiatri
4 Klorpromazin tab 25 dan 100 90 tab/bl
mg
5 Klorpromazin injeksi 5 mg/ml
6 Klozapin 25 mg 60 tab/bl Untuk psikosis yang resisten dengan
obat lain
7 Klozapin 100 mg 90 tab/bl Untuk skizofrenia yang resisten atau
intoleran dengan obata lain
8 Risperidone 1 mg 60 tab/bl Untuk skizofrenia, sebagai adjunctive
10 Risperdione 2 mg 90 tab/bln treatment pada pasien bipolar yang
tidak respon lithium atau valproat
11 Risperidone Oral solution 1 5 btl/bulan
mg/ml
23.5. Obat ADHD
1 Metilfenidat
• tab 10 mg, dan 90 tab/bl
• lepas lambat 18 dan 36 mg 30 tab/bl
24. RELAKSAN OTOT PERIFER dan PENGHAMBAT KOLINESTERASE
24.3. OBAT UNTUK MYASTHENNA GRAVIS
1 Neostigmin injeksi 0,5 mg/ml
2 Piridostigmin tabl 60 mg 120 tab/bl
24.4. OBAT UNTUK DEMENSIA
1 Donepezil 5 dan 10 mg oral 30 tab/bln Hanya dapat diresepkan oleh
dispersible Sp.Sdengan pemeriksaan
neurobehaviour
25 OBAT SALURAN CERNA
25.1 Anti ulkus
1 Antasida tablet kunyah dan
suspense
2 Esomeprazole inj 40mg 1 vial per hari
selama 3 hari
3 Lansoprazole
• caps 30 mg 30 caps/bulan
• inj 30 mg 1 vial perhari
selama 3 hari
4 Omeprazole
• caps 20 mg 30 cap/bln
• inj 30 mg 1 vial per hari
selama 3 hari
5 Ranitidin
• tab 150 mg 30 tab/bln
• inj 25 mg/ml 2 ampul/hari
6 Sucralfat
• tab 500 mg 60 tab/bulan
• syrup 500 mg/5 ml
25.2. Antiemetik
1 Dimenhidrinat 50 mg
2 Domperidone tab 10 mg
3 Metoclopramide
• tab 10 mg
• injeksi 5 mg/ml
4 Ondansetron tab 4 mg. 8 mg, Untuk pengobatan muntah pasca Diberikan dalam
injeksi 2 mg/ml radiasi atau kemoterapi jumlah terbatas untuk
indikasi lain
25.6. Katartik
Bisacodyl
• tab 5 mg 2 tab/hari, 5 hr
• supp 5 dan 10 mg 3 supp/kasus
Gliserin 100 ml
FDC paraffin gliserin
fenolftalein

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 52


Suspense
Lactulose syrup 3,335 g/5 mL
28. OBAT yang MEMENGARUHI SISTEM IMUN
28.1 Serum dan immunoglobulin
1 human tetanus immunoglobulin Luka baru terkontaminasi pada
injeksi 250 IU dan 500 IU pasien dengan riwayat vaksinasi
tetanus yang tidak diketahui/tidak
lengkap
manifestasi klinis tetanus
2 Intravenous Immunoglobulin inj 40 ampul/kasus Hanya digunakan apabila syarat
50 mg/ml (IVIg) untuk plasmaferesis tidak
terpenuhi pada terapi:
- Guillain–Barré syndrome (GBS).
- Krisis miastenia.
b) Untuk krisis miastenia, dapat
diberikan di Faskes Tk. 2 dan 3
yang memiliki fasilitas ICU
3 Serum anti bisa ular: Khusus untuk daerah tertentu.
A.B.U. I (khusus ular dari luar Disimpan pada suhu 2−8 oC.
Papua) inj (i.m./i.v.)
A.B.U.II (khusus ular dari
Papua)
Inj (i.m./i.v.)

4 Serum antirabies inj 150−400 Digunakan untuk pengobatan post


IU/mL exposure di daerah rabies.
Disimpan pada suhu 2−8 0C.
5 Serum antitetanus (A.T.S) inj. Untuk pencegahan
1.500 IU/mL (i.m.), inj. 5.000 Disimpan pada suhu 2−8 0C.
IU/mL (i.m.)
Tetanus toxoid inj.
28.2 VAKSIN
Disediakan oleh Program Kemenkes.
Disimpan pada suhu 2−8 0C.
1 Vaksin rabies untuk manusia inj Digunakan untuk post exposure di
+ booster daerah rabies.
2 Vaksin rabies untuk manusia inj. Digunakan untuk post exposure di
2,5 IU daerah rabies.
30. VITAMIN dan MINERAL
1 kalsium glukonat inj 10%
2 Klasium karbonat tab 500 mg
3 Kalsium laktat tab 500 mg Disedikan program
kemenkes
4 sianokobalamin (vitamin B12)* 30 tab/bl
5 Piridoksin tab 10, 25 mg, inj 50
mg
6 Thiamin tab 50 mg 30 tab/bulan
7 B complex tab 30 tab/bulan
31. OBAT YANG MEMPENGARUHI MINERALISASI TULANG
1 Alendronat tab 70 mg Pasien dengan osteoporosis, hasil 4 tab/bl
2 Asam zolendronat injeksi pemeriksaan BMD DXA, T score
5mg/100 ml < -2,5 (bukan BMD ultrasound);
3 Risendronat tab 35 mg Atau 4 tab/bl
Riwayat fraktur karena osteoporosis
4 sodium hialuronat 10 mg/ml Hanya diberikan untuk OA grade 1 vial per minggu
II−III (klasifikasi KellgrenLawrence). maksimal 5 vial per
Diberikan pada pasien yang sudah kasus
tidak respons dengan parasetamol
atau NSAID atau ada kontraindikas

Catatan : bila tidak didapatkan catatan khusus maka obat tersedia di faskes tingkat 2 dan tingkat 3.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 53


BAB V
POTENSI FRAUD DALAM LAYANAN NEUROLOGI
DI ERA JKN

Istilah Fraud digunakan untuk menggambarkan bentuk kecurangan yang tidak hanya berupa
korupsi tetapi juga mencakup penyalahgunaan aset dan pemalsuan pernyataan. Fraud dalam sektor
kesehatan dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS
Kesehatan, penyedia layanan Kesehatan (termasuk dokter), BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan
alat kesehatan. Uniknya masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling
mencurangi satu sama lain.
Fraud menyebabkan kerugian finansial negara. Di seluruh Indonesia, data yang dilansir KPK
menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi Fraud dari 175.774 klaim Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari
aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat. Nilai ini mungkin
saja belum total mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana.
Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, mendorong pemerintah menerbitkan permenkes
No. 36 tahun 2015 tentang pencegahan kecurangan (Fraud) dalam program jaminan kesehatan nasional
(JKN). Dimana permenkes ini dalam perjalanannya digantikan dengan Permenkes nomor 16 tahun
2019 tentang pencegahan dan pengenaan sangsi administrasi terhadap pelaku fraud. Kita sebagai
dokter spesialis neurologi yang setiap hari melayani pasien JKN, akan sangat rentan dengan Fraud ini,
baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Hal ini karena pengetahuan dan pemahaman kita yang
kurang terkait fraud ini.
Kecurangan (fraud) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan
keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui
perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Permenkes
16/2019). Tenaga Kesehatan di FKRTL adalah tenaga Kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan yang melakukan pelayanan perorangan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan
khusus.
5.1 Jenis-jenis kecurangan yang kemungkinan dilakukan di FKRTL adalah :
1. Memanipulasi diagnosis dan/atau Tindakan
Memanipulasi diagnosis dan/atau tindakan merupakan tindakan yang dilakukan untuk
meningkatkan besaran klaim dengan cara memalsukan diagnosis dan/atau tindakan medik
seperti:

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 54


a. Pasien stroke infark kronis ditulis sebagai stroke infark akut
b. Vertigo perifer ditulis sebagai insufiseiensi vertebrobasiler
2. Penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning);
Penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning) merupakan klaim yang dibuat dengan cara
menyalin dari klaim pasien lain yang sudah ada, seperti: menyalin (copy paste) seluruh
atau sebagian rekam medik dan/atau data pasien lain. Perilaku ini biasanya dilakukan
oleh oknum rumah sakit, baik sepengetahuan dokter DPJP maupun tidak.
3. Klaim palsu (phantom billing); yaitu melakukan klaim atas layanan yang tidak pernah
diberikan.
Klaim palsu (Phantom billing) merupakan klaim atas layanan yang tidak pernah
dilakukan/diberikan kepada pasien, seperti:
a. Penagihan tindakan fisioterapi pasien rawat inap yang tidak pernah dilakukan; dan
b. Penagihan obat/alat kesehatan di luar paket INA-CBG yang tidak diberikan kepada
pasien.
4. Penggelembungan tagihan obat dan/atau alat kesehatan (Inflated bills);
Penggelembungan tagihan obat dan/atau alat kesehatan (Inflated bills) merupakan klaim
atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari biaya yang sebenarnya,
sepert:
a. Obat pasien penyakit kronis pada rawat jalan yang seharusnya mendapat obat 1 (satu)
bulan, tetapi obat yang diberikan untuk 2 minggu, namun ditagihkan biayanya selama
1 (satu) bulan
b. pasien kemoterapi yang membutuhkan obat kemo sebanyak 2 (dua) vial diklaimkan
menjadi 4 (empat) vial.
5. Pemecahan episode pelayanan sesuai dengan indikasi medik tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Episode adalah jangka waktu perawatan pasien mulai dari pasien masuk sampai pasien
keluar rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat inap, termasuk
konsultasi/pemeriksaan dokter dan/atau pemeriksaan penunjang maupun pemeriksaan
lainnya. Untuk setiap episode hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali klaim.
Pada sistem INA-CBG ada 2 (dua) episode yaitu episode rawat jalan dan rawat inap,
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Episode Rawat Jalan
Satu episode rawat jalan adalah satu rangkaian pertemuan konsultasi antara pasien dan dokter
dan/atau pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medik dan/atau tatalaksana yang diberikan pada

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 55


hari pelayanan yang sama.

Ketentuan tambahan terkait dengan episode rawat jalan yaitu :


a. Pada pemeriksaan penunjang yang tidak dapat dilakukan pada hari yang sama yaitu
pemeriksaan penunjang yang sesuai indikasi medik memerlukan persiapan khusus
dan atau kendala kapasitas pelayanan penunjang maka tidak dihitung episode baru
b. Pasien yang mendapatkan pemeriksaan penunjang dan hasil pemeriksaan
penunjang tersebut tidak dapat diselesaikan pada hari yang sama akan mendapatkan
pelayanan konsultasi dokter lanjutan dan merupakan episode baru.
1. Contoh A;
Pasien A berkunjung ke poli neurologi pada 2 Januari 2021 dan dilakukan pemeriksaan
TCD kemudian konsultasi ke dokter pada hari yang sama, maka rangkaian tersebut
adalah 1 (satu) episode.

Gambar 16. Contoh A (1 episode)


2. Contoh B;

Pasien B berkunjung ke poli neurologi pada 2 Januari 2021 dan dilakukan pemeriksan
EEG yang hasilnya jadi tanggal 3 Januari 2021. Selanjutnya pasien datang lagi
untuk konsultasi dokter terkait hasil penunjangnya tersebut pada tangga; 4 Januari
2022. Maka episode pelayanan pasien B tersebut adalah 2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama tanggal 2 dan 3 Januari 2021 terdiri dari konsultasi dokter
dan pemeriksaan penunjang EEG
2) Episode kedua adalah tangga;l 4 Januaro 2021 untuk konsultasi dokter
dengan membawa hasil penunjang EEG yang dilakukan tanggal 3 Januari
2021.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 56


Gambar 17. Contoh B (2 episode)
3. Contoh C ;

Pasien C berkunjung ke poliklinik neurologi tanggal 2 Januari 2021 dilanjutkan


pemeriksaan EEG (Penunjang) pada hari yang sama, kemudian pasien datang lagi
tanggal 3 Januari 2021 untuk berkonsultasi kepada dokter dengan membawa hasil
EEG, maka episode pelayanan pasien C adalah 2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama pada tanggal 2 Januari 2021 terdiri dari pemeriksaan dokter
dan pemeriksaan penunjang
2) Episode kedua pada tanggal 3 Januari 2021 untuk konsultasi dokter terkait hasil
EEG nya yang telah dilakukan pada tanggal 2 Januari 2021 sebelumnya.

Gambar 18. Contoh C (2 episode)

4. Contoh D ;
Pasien D datang ke polilinik neurologi tanggal 2 Januari 2021 dan diminta periksa EEG,
namun tidak bisa langsung dikerjakan karena harus persiapan dulu. Pasien datang

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 57


tanggal 3 Januari 2021 untuk pemeriksaan EEG dan konsultasi dokter terkait hasil
EEG tersebut. Maka episode pelayanan pasien D adalah 2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama tanggal 2 Januari 2021 dengan konsultasi dokter.
2) Episode kedua tanggal 3 Januari 2021 terdiri dari pemeriksaan EEG dan
konsultasi dokter.

Gambar 19. Contoh D (2 episode)


5. Contoh E

Pasien E (pasien lama) datang ke poliklinik neurologi pada tanggal 9 Februari 2021
untuk dilaksanakan pemeriksaan EMG. Pada tanggal 10 Februari 2021 pasien
datang kembali untuk konsultasi ke dokter terkait hasil EMG yang dilakukan
tanggal 9 Februari 2021 tersebut. Maka episode pelayanan pasien E ini adalah 1
(satu) episode saja yaitu tanggal 10 Februari 2021 yang terdiri dari pemeriksaan
penunjang (EMG) dan konsultasi dokter.

Gambar 20. Contoh E (1 episode)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 58


6. Contoh F

Pasien F datang ke poliklinik neurologi berobat ke dokter A spesialis neuro pada tanggal
2 Januari 2021, kemudian tanggal 3 Januari 2021 datang Kembali ke rumahsakit dan
berobat ke poliklinik jantung dan bertemu dr J. Maka episode pasien F tersebut adalah
2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama tanggal 2 Januari 2021 untuk konsultasi dr A
2) Episode kedua tanggal 3 Januari 2021 untuk konsultasi dr J.

Gambar 21. Contoh F (2 episode)


7. Pasien yang datang ke rumah sakit mendapatkan pelayanan rawat jalan pada satu
atau lebih klinik spesialis pada hari yang sama, terdiri dari satu atau lebih diagnosis,
dimana diagnosis satu dengan yang lain saling berhubungan atau tidak
berhubungan, dihitung sebagai 1 (satu) episode.
8. Pasien datang kembali ke rumah sakit dalam keadaan darurat pada hari pelayanan
yang sama, maka keadaan darurat tersebut dianggap sebagai episode baru walaupun
dengan diagnosis yang sama
9. Pasien yang datang ke IGD dan pada hari yang sama datang kembali ke rumah sakit
untuk mendapatkan pelayanan rawat jalan, maka tidak dihitung sebagai episode
baru
2. Episode Rawat Inap
Satu episode rawat inap adalah satu rangkaian perawatan mulai tanggal masuk sampai
keluar rumah sakit termasuk perawatan di ruang rawat inap, ruang intensif, dan ruang
operasi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 59


6. Pemecahan episode pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medik (services
unbundling or fragmentation);

Pemecahan episode pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medik (services
unbundling or fragmentation) merupakan klaim atas dua atau lebih diagnosis dan/atau
prosedur yang seharusnya menjadi satu paket pelayanan dalam episode yang sama, seperti:
a. Pemberi pelayanan kesehatan mengirimkan tagihan terpisah dari diagnosis yang sama
tetapi hasil pemeriksaan penunjang atau laboratorium yang sebenarnya dapat
digabungkan menjadi terpisah menjadi 3 atau 4 pengajuan padahal dapat digabungkan
menjadi satu grup dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan lebih. Misalnya
pemeriksaan profil lipid yang seharusnya bisa memeriksa kadar kolesterol total dan
trigliserida, ini dipecah menjadi dua episode.
b. Menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan
bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai klaim lebih besar
pada satu episode perawatan pasien. Misalnya pemeriksaan Carotis dupleks dilakukan
penagihan dua kali atau lebih untuk karotis kanan dan karotis kiri terpisah, dimana
seharusnya menjadi satu episode.
c. Tindakan operasi lebih dari satu diagnosis penyakit yang dapat dilaksanakan dalam satu
tindakan namun dilakukan tindakan lebih dari satu dan diklaim terpisah dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan. Misalnya pasien Cervical Root Syndrome dengan
Fascitis plantaris, dilakukan injeksi blok cervical dan injeksi steroid peritendon fascia
plantaris yang diklaimkan secara terpisah.
7. Rujukan semu (self-referals);
Rujukan semu (self-referals) merupakan klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke
rumah sakit tertentu atau ke dokter yang sama di Fasilitas Kesehatan lain kecuali
dengan alasan keterbatasan fasilitas, seperti:
a. Pasien masuk dengan kasus rencana akan tindakan medik tertentu tetapi dokter tidak
mau melakukan tindakan di rumah sakit tersebut karena jasa tindakan yang didapatkan
sedikit sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit tertentu dimana dokter juga bekerja di
rumah sakit tersebut dengan jasa Tindakan yang lebih besar.
b. Melakukan rujukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien ke rumah sakit
dimana dokter itu berdinas.
8. Tagihan atau klaim berulang (repeat billing);
Tagihan atau klaim berulang (repeat billing) merupakan klaim yang diulang pada kasus
yang sama, seperti: Tagihan yang sudah pernah ditagihkan dan dibayarkan tetapi ditagihkan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 60


ulang. Kondisi ini biasanya dilakukan oknum rumah sakit baik atas sepengetahuan DPJP atau
tidak

9. Memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay);


Memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay) merupakan klaim atas biaya
pelayanan kesehatan yang lebih besar akibat perubahan lama hari perawatan inap bukan karena
indikasi medik, seperti:
a. penggunaan ventilator yang diperpanjang waktunya tanpa indikasi medik, dan
b. Case Main Group (CMG) khusus untuk penyakit jiwa dan penyakit kusta.
10. Memanipulasi kelas perawatan (manipulation of room charge);
Memanipulasi kelas perawatan (manipulation of room charge) merupakan tindakan
manipulasi kelas perawatan yang menyebabkan klaim yang tidak sesuai. Hal ini sering
dilakukan dengan alasan kamar tidak tersedia, sehingga peserta diminta naik kelas perawatan.
11. Menagihkan tindakan yang tidak dilakukan;
Menagihkan tindakan yang tidak dilakukan merupakan klaim atas diagnosis dan/atau
tindakan yang tidak jadi dilaksanakan, seperti:
a. Pada pasien Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) dengan rencana tindakan TCD, tidak
jadi dilakukan tindakan TCD karena alasan tertentu namun tindakan TCD tetap
ditagihkan ke BPJS Kesehatan; atau
b. Pasien dengan indikasi rawat inap, tetapi pasien menolak dan pulang, sehingga pasien
hanya ingin rawat jalan, namun di klaimkan sebagai rawat inap.
12. Melakukan tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medik;
Melakukan tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medik merupakan
klaim atas tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medik.
13. Admisi yang berulang (readmisi)
Admisi yang berulang (readmisi) merupakan klaim atas diagnosis dan/atau tindakan
dari satu episode yang dirawat atau diklaim lebih dari satu kali seolah-olah lebih dari satu
episode, seperti pasien rawat inap dipulangkan kemudian diminta masuk kembali dengan
berbagai alasan.
14. Menarik biaya dari Peserta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
15. Memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan Jaminan Kesehatan;
16. Memalsukan Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan dan Surat Izin Operasional Fasilitas
Kesehatan.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 61


Selain poin tersebut di atas, kecurangan bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak lain (BPJS,
Peserta, penyedia alat/obat, dll) yang semua akan memiliki dampak sangsi tersendiri. Sebagai
dokter neurologi, kita harus paham aturan dan ketentuan ini agar bisa terhindar dari fraud ini.
Kita bisa sajamenjadi tim pencegahan anti fraud yang dibentuk oleh rumah sakit, bisa juga
senantiasa berdiskusi dengan Tim JKN dari PP Perdossi untuk pencegahan dan penangan fraud
ini di keseharian kita.

Penyelesaian kecurangan (fraud) dilakukan internal dimasing-masing institusi. Untuk


Kecurangan (fraud) yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat internal, diselesaikan secara
berjenjangsesuai dengan tingkat kewenangan dan instansi pembina. Sanksi yang diterapkan
sesuai permenkes nomor 16 tahun 2019 adalah sanksi administratif. Namun perlu diingat dan
diperhatikan bahwa sanksi administrasi tidak menggugurkan proses atau sanksi pidana jika
kecurangan (fraud) ini dibawa ke ranah hukum pidana.

Dengan dipahaminya tindakan-tindakan kecurangan (fraud) dalam Jaminan Kesehatan,


diharapkan agar segenap pihak yang terlibat dalam satu rangkaian proses Jaminan Kesehatan
dapat menghindari tindakan Kecurangan (fraud) dan kerugian Dana Jaminan Sosial Nasional
akibat Kecurangan (fraud) bisa dicegah sehingga dapat menjaga keberlangsungan program
Jaminan Kesehatan. Dan terutama kepastian hukum dokter sebagai DPJP dapat dilaksanakan
dengan sebaik- baiknya.

Gambar 22. Alur Penyelesaian Kecurangan (Fraud)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 62


BAB VI
SISTEM RUJUKAN ONLINE BERJENJANG
DIBIDANG PELAYANAN NEUROLOGI

Menurut WHO, sistem rujukan adalah proses dimana fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) yang memiliki sumberdaya terbatas (obat, peralatan, kemampuan, dan lain-lain)
melakukan pencarian bantuan kepada fasyankes lain yang memiliki sumberdaya tertentu pada
level yang sama atau di atasnya.
Dalam Permenkes nomor 1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan disebutkan bahwa sistem rujukan vertikal dilakukan bila pasien membutuhkan
pelayanan spesialistik atau subspesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan tersebut karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan. Sedangkan
rujukan horizontal dilakukan bila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan ketenagaan baik yang
sifatnya sementara atau menetap.
Sedangkan rujukan online (berjenjang) Jaminan Kesehatan Nasional adalah digitalisasi
proses rujukan berjenjang untuk kemudahan dan memberikan kepastian kepada peserta dalam
memperoleh layanan di rumah sakit yang sesuai dengan kompetensi, jarak dan kapasitas rumah
sakit tujuan rujukan berdasarkan kebutuhan medik pasien yang terintegrasi dan terkoneksi
melalui sistem aplikasi digital.
Dahulu, kita masih sering mendapatkan hal seperti berikut ini di lapangan yaitu :
pertama, seringnya didapatkan pelaksanaan rujukan di daerah yang didasarkan pada Peraturan
Daerah masing-masing, peserta yang tinggal di daerah perbatasan tidak dapat mengakses
fasyankes terdekat apabila tidak sesuai dengan peraturan Pemerintah Daerah setempat; kedua,
peserta yang dirujuk ke fasilitas penerima rujukan tidak mendapatkan pelayanan yang
dibutuhkan akibat keterbatasan informasi terkait kebutuhan medik, sarana prasarana, dan
sumber daya manusia (SDM) sehingga menyebabkan peserta harus kembali dirujuk ke
fasyankes lainnya; ketiga, antrian yang menumpuk di rumah sakit akibat menjadi tumpuan
rujukan di suatu daerah; dan keempat, belum adanya sistem informasi yang dapat mengatur
pelaksanaan rujukan secara online dan real time.
Atas dasar itulah program rujukan online berjenjang ini dilaksanakan dan wajib
dipahami oleh kita para spesialis saraf sehingga pelayanan bisa lebih efektif dan efisien.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 63


6.1 Manfaat Rujukan Online Berjenjang
Manfaat program rujukan bagi peserta adalah membantu peserta mendapatkan
kepastian waktu pelayanan dengan kompetensi dan radius terdekat, membantu peserta
mendapatkan fasilitas kesehatan penerima rujukan yang sesuai dengan kompetensi dan sarana
prasarana yang dibutuhkan sehingga meminimalisir adanya rujukan berulang dengan alasan
tidak adanya SDM dan sarana yang dibutuhkan, dan mengurai antrian yang menumpuk pada
fasilitas kesehatan penerima rujukan dengan memberikan beberapa opsi tujuan kepada peserta
(dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan sarana prasarana serta kompetensi SDM).
Sedangkan manfaat bagi fasyankes adalah membantu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) dalam melakukan rujukan yang tepat sesuai dengan kompetensi dan sarana prasarana
yang dibutuhkan, memberikan rujukan secara real time dan online dengan data pada fasyankes
perujuk yang langsung terkoneksi ke fasyankes penerima rujukan (Digital Documentation),
mengurai antrian yang menumpuk pada fasyankes penerima rujukan.

6.2 Disain Sistem Integrasi


Di dalam proses rujukan ini semua fasyankes akan terkoneksi secara real time dan bisa
mengetahui kondisi masing-masing fasyankes berdasarkan SDM, sarana prasana, antrianpasien
dan lain-lain.

Gambar 23 Disain Integrasi Sistem antar Fasyankes yang terhubung dengan aplikasi P-care, HFIS,
dan V-claim.

Rujukan online bersifat real time dari FKTP ke FKRTL, serta menggunakan digital
documentation. Data dari P-Care di FKTP langsung terkoneksi ke FKRTL sehingga
memudahkan analisis data calon pasien.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 64


Dalam rujukuan online ini terdapat tiga aplikasi yang dapat digunakan (Gambar 23)
yaitu pertama Health Fascilities Information System (HFIS) berperan dalam menyediakan
informasi profil fasyankes yang digunakan dalam rujukan pasien seperti dokter pratek, jam
praktek dokter, alat yang tersedia dan lain-lain.
Aplikasi yang kedua adalah aplikasi P-care berperan dalam menerbitkan rujukan
pasien ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang memiliki
kompetensi yang dibutuhkan untuk menangani kebutuhan medik pasien.
Dan yang ketiga adalah aplikasi V-claim digunakan untuk menerima rujukan dari P-
care dan memfasilitasi rujukan antar rumah sakit. Dalam V-claim ini akan memberikan jaminan
rujukan yang sesuai atau eligible.

6.3. Mapping FKTP-FKRTL


Mapping adalah langkah awal yang dilakukan oleh masing-masing Kantor Cabang
(KC) untuk menentukan fasyankes yang akan dimasukan di dalam sistem. Mapping ini
melibatkan Dinas Kesehatan dan Asosiasi Fasyankes dengan mempertimbangkan beberapa hal,
yaitu : dari aspek FKTP, prediksi jumlah peserta yg dirujuk dan akses menuju fasyankes
penerima rujukan, sedangkan dari aspek FKRTL hal yang perlu dipertimbangkan adalah
pertimbangan kapasitas pemberian pelayanan di masing-masing FKRTL, dan radius jarak.
Namun demikian peserta dalam kondisi tertentu dapat dipilih FKRTL diluar wilayah KC
(Gambar 24).

BPJS menerapkan dua mekanisme rujukan yaitu mapping dan kapasitas. Mapping
dilakukan agar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bisa merencanakan
untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang dituju sehingga terdapat distribusi secara merata dan
tidak terjadi penumpukan.
Sedangkan kapasitas dimaksudkan agar pasien mengetahui jumlah pelayanan kesehatan
dan kompetensi pelayanan kesehatan seperti ketersediaan poliklinik, alat kesehatan dan dokter
sehingga pasien dapat dirujuk dengan tepat dan maksimal. Untuk itu fasyankes harus memiliki
informasi terkait rumah sakit yang menjadi rujukan sehingga pasien mendapat kepastian
rujukan.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 65


Gambar 24 Mapping FKTP-FKRTL

Selain itu, mapping juga bertujuan untuk pemerataan layanan fasyankes untuk
memberikan pelayanan optimal kepada para pasien yang menjadi peserta JKN sehingga pihak
fasyankes dapat fokus memberikan layanan kesehatan kepada para pasien dan tenaga kesehatan
dapat bekerja secara optimal.

6.4 Skema dan Alur Rujukan

Aturan umum dalam mekanisme rujukan berjenjang adalah sebagai berikut : 1.


Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medik, dimulai dari
pelayanan kesehatan tingkat pertama. 2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. 3. Pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau
tingkat pertama. 4. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama. 5. Ketentuan di atas tidak berlaku
pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan
pertimbangan geografis.
Mekanisme tersebut di atas kemudian dilengkapi dengan sistem digitalisasi sehingga
menjadi rujukan online berjenjang dengan skema dan alur seperti pada gambar 25 dan 26.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 66


Gambar 25 Skema Rujukan Online Berjenjang

Gambar 26 Alur Rujukan Online Berjenjang.

Rujukan pasien dilakukan ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang memiliki


kemampuan pelayanan sesuai kebutuhan pasien yang bertujuan untuk meningkatkan
aksesibilitas, pemerataan dan peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 67


6.5 Implementasi Rujukan Online Berjenjang Dalam Pelayanan Neurologi

Contoh Kasus :
Seorang wanita dengan keluhan utama nyeri pinggang menjalar ke tungkai kiri. Pasien
tersebut berobat ke FKTP di suatu daerah di Jawa Timur. Karena dari assessment medik di
FKTP pasien membutuhkan layanan spesialistik maka oleh dokter di FKTP pasien tersebut
dilakukan rujukan ke FKRTL untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut, namun karena pasien
juga membutuhkan tatalaksana lebih khusus lagi maka dari FKRTL dirujuk lagi ke layanan
subspesialistik yang berada FKRTL tingkat III.

Tahapan Alur Rujukan Online Berjenjang Pasien Adalah Sebagai Berikut :


1. Pasien dilakukan assessment medik di FKTP, data dasar dimasukkan di dalam sistem
aplikasi P-care yang berada di FKTP. Karena diputuskan untuk dilakukan rujukan
maka pada menu “status pulang” diisi pilihan “rujuk lanjut”. Kemudian klik “cari
rujukan” (gambar 27).

Gambar 27 Menu aplikasi P-Care di FKTP; data dasar, diagnosis dan status pulang pasien
“akan dirujuk” karena membutuhkan layanan spesialis.

2. Setelah klik “cari rujukan”, akan tampil menu Pencarian Fasilitas Kesehatan Rujukan,
karena yang dibutuhkan adalah SDM (spesialis) maka klik “Rujukan Vertikal”.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 68


Rujukan vertikal ada dua pilihan : karena kondisi khusus pasien atau mencari spesialis
(gambar 28).

Gambar 28 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan merujuk vertikal dengan
mencari spesialis

Gambar 29 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan menu rujukan vertikal
karena adanya 9 kondisi khusus.

3. Sebagai tambahan, pasien bisa juga dirujuk vertikal dari FKTP ke FKRTL karena
kondisi khusus, di dashboard akan tampil menu kondisi khusus tersebut (ada 9 kondisi
khusus). Ketika FKTP memilih menu ini maka selanjutnya akan tampil fasyankes
disekitar FKTP yang memiliki layanan yang dimaksud (gambar 29).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 69


4. Dokter di FKTP memutuskan untuk mencari rujukan vertikal, karena yang dicari adalah
spesialis, maka akan dipilih menu pilihan spesialis, yang dipilih adalah SPESIALIS
SARAF (sesuai diganosis), input juga tanggal rencana berkunjung pasien, kemudian
klik “cari fasyankes rujukan”, maka akan tampil fasyankes yang sesuai kebutuhan
pasien beserta keterangan atas fasyenkes tersebut (alamat, no telpon, jarak dari FKTP,
kapasitas klinik, jumlah pasien yang sudah mengantri, dan jadwal praktek dokter
spesialis yang dimaksud) (Gambar 30).

Gambar 30 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan menu rujukan vertikal
karena pasien membutuhkan layanan spesialistik, tanggal yang diinginkan pasien, dan Fasyankes
yang sesuai dengan kebutuhan pasien tampil monitor P-care lengkap dengan keterangan lainnya
(alamat, no telpon, jarak dari FKTP, kapasitas klinik, jumlah pasien yang sudah mengantri, dan
jadwal praktek dokter spesialis yang dimaksud).

5. Setelah dikomunikasikan dengan pasien, bahwa pada tanggal rencana kunjungan ke


FKRTL ada beberapa fasyankes yang tampil (pada simulasi adalah RS Glia Husada
dan RS Axon Husada) maka dokter di FKTP klik “pilih” fasyankes yang dimaksud
(misal yang dipilih adalah RS Glia Husada). Setelah klik pilih, maka secara otomatis
pasien yang berasal dari FKTP tadi sudah masuk dalam data base V-claim dan masuk
dalam daftar antrian pasien di RS Glia Husada pada tanggal tersebut (gambar 30).

6. Sesuai rencana, pasien berkunjung ke klinik spesialis saraf di RS Glia Husada pada
tanggal 01-08-2019 jam 16.00 WIB. Di klinik ini pasien dilakukan pemeriksaan oleh
dokter spesialis saraf dan ternyata dari assessment dokter spesialis, pasien perlu dirujuk

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 70


ke FKRTL tingkat III karena memerlukan layanan sub spesialis. Maka proses rujukan
dari FKRTL ke FKRTL tingkat III menggunakan aplikasi virtual claim (V-claim)
(Gambar 31).

Gambar 31 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu rujukan vertikal karena adanya kebutuhan layanan pasien yang lebih (di FKRTL
tingkat II tidak ada), beserta tanggal kunjungan pasien di poli tersebut.

7. Dokter spesialis saraf di RS Glia Husada meminta kepada petugas administrasi klinik
untuk mengisi form rujukan pasien ke FKRTL tingkat III, pilih “spesialis SARAF”
kemudian lanjutkan pilih salah satu divisi/subspesialis dari 11 divisi/subspesialis yang
tampil di menu tersebut. Dipilih divisi/subspesialis “Neuromuskuler dan Saraf Tepi”
karena pilihan subspesialis Nyeri (yang seharusnya) belum tampil di aplikasi V-claim.
Kemudian pilih rencana tanggal rencana berkunjung pasien ke FKRTL tingkat III
(tanggal 05-08-2019). Kemudian klik “Neuromuskuler dan Saraf Tepi” (gambar 32).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 71


Gambar 32 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu rujukan vertikal karena pasien membutuhkan layanan tidak hanya spesialis SARAF
saja, namun sudah membutuhkan layanan SUB SPESIALIS (di FKRTL tingkat II tidak ada),
beserta rencana tanggal kunjungan pasien di klinik SUB SPESIALIS di FKRTL tingkat III. .

Gambar 33 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu rujukan vertikal ke layanan SUB SPESIALIS, PPK/FKRTL tingkat III tujuan rujukan
(RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG) dan beserta rencana tanggal kunjungan pasien di
klinik SUB SPESIALIS tersebut.

8. Setelah di klik, subspesialis maka akan tampil di dashboard v-claim “Jadwal Praktek
dan Sarana Rumah Sakit Rujukan”. Untuk rujukan ke FKRTL tingkat III karena
pilihannya tidak banyak, maka rumah sakit tertuju bisa diisi secara manual. Maka
diinputlah RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG, pilih tanggal rencana

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 72


berkunjung. Tampilan dashboard akan muncul klinik subspesialis tertuju beserta
kapasitas rujukannya (Gambar 33 dan 34).

Gambar 34 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL yang menunjukkan pilihan
menu rujukan vertikal ke layanan SUB SPESIALIS, PPK/FKRTL tingkat III tujuan rujukan
(RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG) dan beserta rencana tanggal kunjungan pasien
di klinik sub spesialis yang dimaksud yaitu Neuromuskuler dan Saraf Tepi beserta kapasitas,
antrian pasien dan lain-lain.

9. Untuk melengkapi surat rujukan ke RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG


maka masuk dalam menu SEP. Di menu tersebut petugas klinik menginput data rujukan
sesuai saran dokter spesialis, termasuk tanggal rujukan, diagnosis rujukan, subspesialis
tertuju dan yang terpenting adalah catatan rujukan. Catatan rujukan ini akan dibaca oleh
sistem atau petugas loket (bila masih belum digital) di FKRTL tingkat III (RSUD DR
SAIFUL ANWAR KOTA MALANG) sehingga klinik yang tertuju betul-betul sesuai
dengan rujukan awal atau kondisi pasien. Catatan yang diberikan pada kasus ini adalah
“NEUROINTERVENSI NYERI” artinya pasien dirujuk ke Subspesialis Saraf
(neuromuscular dan saraf tepi) untuk dilakukan Intervensi Nyeri (Gambar 35).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 73


Gambar 35 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu tanggal rujukan, layanan rawat jalan, rujukan vertikal penuh, dengan diagnosis
intervertebral disc disorder (HNP) ke layanan SUB SPESIALIS Neuromuskuler dan Saraf Tepi
di RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG, diberikan catatan khusus bahwa pasien ini akan
dilakukan NEUROINTERVENSI NYERI.

10. Setelah data diinput lengkap, klik “simpan”, dan surat rujukan yang menjadi syarat
pasien bisa dirujuk/diterima ke/di FKRTL tingkat III (RSUD DR SAIFUL ANWAR
KOTA MALANG) sudah terpenuhi. Kemudian surat rujukan bisa dicetak (Gambar 36)

Gambar 36 Surat rujukan dari FKRTL ke FKRTL tingkat III.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 74


LAMPIRAN 1 :

KODE ICD-10 DAN DESKRIPSI KASUS-KASUS NEUROLOGI

Penyakit-penyakit serebrovaskuler (I60-I69)


Termasuk: dengan disebutkan hipertensi (konditsi pada I10 dan I15.-)
Gunakan kode tambahan, kalau perlu, untuk identifikasi adanya hipertensi
Kecuali: dementia vaskuler (F01.-)
serangan iskemia otak sementara dan sindroma yang terkait (G45.-)
perdarahan intrakranium akibat trauma (S06.-)

I60 Perdarahan subarakhnoid


Termasuk: ruptur aneurisma serebri
Kecuali: sequelae perdarahan subarakhnoid (I69.0)
I60.0 Perdarahan subarakhnoid dari aliran dan percabangan karotid
I60.1 Perdarahan subarakhnoid dari a. serebri media
I60.2 Perdarahan subarakhnoid dari a. komunikans anterior
I60.3 Perdarahan subarakhnoid dari a. komunikans posterior
I60.4 Perdarahan subarakhnoid dari a. basilaris
I60.5 Perdarahan subarakhnoid dari a. vertebralis
I60.6 Perdarahan subarakhnoid dari arteri intrakranium lain
Keterlibatan ganda arteri-arteri intrakranium
I60.7 Perdarahan subarakhnoid dari arteri intrakranium, tak dijelaskan
Ruptura aneurisma berry (kongenital) NOS
Perdarahan subarakhnoid dari:
- arteri serebri NOS
- arteri komunikans NOS
I60.8 Perdarahan subarakhnoid lain
Perdarahan meningen
Ruptur malformasi arteriovena serebri
I60.9 Perdarahan subarakhnoid, tak dijelaskan
Ruptura aneurisma serebri (kongenital) NOS

I61 Perdarahan intraserebri


Kecuali: sequelae perdarahan intraserebri (I69.1)
I61.0 Perdarahan intraserebri di hemisfer, subkorteks

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 75


Perdarahan intraserebri profunda
I61.1 Perdarahan intraserebri di hemisfer, korteks
Perdarahan lobus serebri
Perdarahan intraserebri superfisialis
I61.2 Perdarahan intraserebri di hemisfer, tak dijelaskan
I61.3 Perdarahan intraserebri di batang otak
I61.4 Perdarahan intraserebri di serebellum
I61.5 Perdarahan intraserebri, intraventrikel
I61.6 Perdarahan intraserebri, lokalisasi ganda
I61.8 Perdarahan intraserebri lain
I61.9 Perdarahan intraserebri, tak dijelaskan

I62 Perdarahan intrakranium non-traumatika lainnya


Kecuali: sequelae perdarahan intrakranium (I69.2)
I62.0 Perdarahan subdura (akut) (non-traumatika)
I62.1 Perdarahan extradura non-traumatika
Perdarahan epidura non-traumatika
I62.9 Perdarahan intrakranium (non-traumatika), tak dijelaskan

I63 Infark serebri


Termasuk: oklusi dan stenosis arteri-arteri serebri dan preserebri, menyebabkan
infark serebri
Kecuali: sequelae infark serebri (I69.3)
I63.0 Infark serebri akibat trombosis arteri preserebralis
I63.1 Infark serebri akibat embolisme arteri preserebralis
I63.2 Infark serebri akibat oklusi atau stenosis yang tak jelas pada arteri preserebralis
I63.3 Infark serebri akibat trombosis arteri serebralis
I63.4 Infark serebri akibat embolism arteri serebralis
I63.5 Infark serebri akibat oklusi atau stenosis yang tak jelas pada arteri serebralis
I63.6 Infark serebri akibat trombosis vena serebralis, nonpyogenic
I63.8 Infark serebri lain
I63.9 Infark serebri, tak dijelaskan

I64 Stroke, tak dijelaskan sebagai perdarahan atau infark


Cerebrovascular accident NOS
Kecuali: sequelae stroke (I69.4)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 76


I65 Oklusi dan stenosis arteri preserebralis, tidak menyebabkan infark serebri
Termasuk: embolisme, penyempitan, obstruksi (komplit)(parsial) atau trombosis, pada
aa. basilaris, karotis, atau vertebralis, yang tidak menyebabkan infark serebri
Kecuali: kalau menyebabkan infark serebri (I63.-)
I65.0 Oklusi dan stenosis a. vertebralis
I65.1 Oklusi dan stenosis a. basilaris
I65.2 Oklusi dan stenosis a. karotid
I65.3 Oklusi dan stenosis arteri-arteri preserebralis ganda dan bilateral
I65.8 Oklusi dan stenosis arteri preserebralis lain
I65.9 Oklusi dan stenosis arteri preserebralis yang tak dijelaskan
Oklusi dan stenosis arteri preserebralis NOS

I66 Oklusi dan stenosis arteri serebralis, tidak menyebabkan infark serebri
Termasuk: embolisme, penyempitan, obstruksi (komplit)(parsial) atau trombosis,
pada aa. serebrales media, anterior, dan posterior, serta aa. serebellares,
yang tidak menyebabkan infark serebri
Kecuali: kalau menyebabkan infark serebri (I63.-)
I66.0 Oklusi dan stenosis a. serebralis media
I66.1 Oklusi dan stenosis a. serebralis anterior
I66.2 Oklusi dan stenosis a. serebralis posterior
I66.3 Oklusi dan stenosis aa. serebellares
I66.4 Oklusi dan stenosis arteri otak ganda dan bilateral
I66.8 Oklusi dan stenosis arteri otak lain
Oklusi dan stenosis arteriae perforans
I66.9 Oklusi dan stenosis arteri otak yang tak dijelaskan

I67 Penyakit-penyakit serebrovaskuler lain


Kecuali: sequelae dari kondisi pada daftar berikut (I69.8)
I67.0 Disseksi arteri-arteri serebri, tidak ruptur
Kecuali: ruptur arteri-arteri serebri (I60.7)
I67.1 Aneurisma otak, tidak ruptur
Aneurisma otak NOS
Fistula arteriovena serebri, didapat
Kecuali: aneurisma serebri kongenital, tidak ruptur (Q28.-)
ruptur aneurisma serebri (I60.9)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 77


I67.2 Aterosklerosis serebri
Ateroma arteri serebralis
I67.3 Leukoensefalopati vaskuler progresif
Penyakit Binswanger
Kecuali: dementia vaskuler subkorteks (F01.2)
I67.4 Ensefalopati hipertensif
I67.5 Penyakit Moyamoya
I67.6 Trombosis non-piogenik pada sistem vena intrakranium
Trombosis non-piogenik pada:
- vena otak
- sinus vena intrakranium
Kecuali: kalau meimbulkan infark (I63.6)
I67.7 Arteritis serebri, not elsewhere classified
I67.8 Penyakit serebrovaskuler lain yang dijelaskan
Insufisiensi serebrovaskuler akut NOS
Iskemia serebri (kronik)
I67.9 Penyakit serebrovaskuler, tak dijelaskan

I68* Kelainan-kelainan serebrovaskuler pada penyakit c. e.


I68.0* Angiopathy amyloid otak(E85.-†)
I68.1* Arteritis serebri pada penyakit infeksi dan parasit c. e.
Arteritis serebri pada:
- TB (A18.8†)
- listeria (A32.8†)
- sifilis (A52.0†)
I68.2* Arteritis serebri pada penyakit lain c. e.
Arteritis serebri pada systemic lupus erythematosus (M32.1†)
I68.8* Kelainan serebrovaskuler lain pada penyakit c. e..

I69 Sequelae penyakit serebrovaskuler


Catatan: Kategori ini digunakan untuk menunjukkan kondisi-kondisi pada I60-I67 sebagai
penyebab sekuel, yang mereka sendiri diklasifikasikan di bagian lain. Sekuel
mencakup kondisi yang disebut demikian atau efek jangka panjang, atau terdapat
satu tahun atau lebih setelah onset kondisi penyebab.
I69.0 Sekuel perdarahan subarakhnoid

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 78


I69.1 Sekuel perdarahan intraserebri
I69.2 Sekuel perdarahan intrakranium non-traumatika lain
I69.3 Sekuel infark serebri
I69.4 Sekuel stroke, yang tidak dinyatakan sebagai perdarahan atau infark
I69.8 Sekuel penyakit serebrovaskuler lain dan tak dijelaskan

Neoplasma ganas yang dinyatakan atau dianggap primer, pada tempat yang
dijelaskan, selain neoplasma jaringan limfoid, hematopoietik dan yang
berhubungan
C70 Neoplasma ganas meningen
C70.0 Meningen otak
C70.1 Meningen spinalis
C70.9 Meningen, tidak dijelaskan
C71 Neoplasma ganas otak
Kecuali: nervi kraniales (C72.2-C72.5)
jaringan retrobulbar (C69.6)
C71.0 Serebrum, selain lobus dan ventrikel
Corpus callosum; supratentorium NOS
C71.1 Lobus frontalis
C71.2 Lobus temporalis
C71.3 Lobus parietalis
C71.4 Lobus oksipitalis
C71.5 Ventrikel otak
Kecuali: ventrikel IV (C71.7)
C71.6 Serebellum
C71.7 Batang otak; ventrikel IV; infratentorium NOS
C71.8 Lesi overlap pada otak
C71.9 Otak, tidak dijelaskan

C72 Neoplasma ganas medulla spinalis, nervi craniales dan bagian lain SSP
Kecuali: meningen (C70.-)
syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (C47.-)
C72.0 Medulla spinalis
C72.1 Cauda equina

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 79


C72.2 Nervus olfaktorius; bulbus olfaktorius
C72.3 Nervus optikus
C72.4 Nervus akustikus
C72.5 Nervi kraniales lain dan yang tidak dijelaskan; nervi kraniales NOS
C72.8 Lesi overlap pada otak dan bagian lain SSP
Titik asalnya tidak bisa diklasifikasikan pada kategori C70-C72.5
C72.9 Sistem syaraf pusat, tidak dijelaskan; sistem syaraf NOS
D32 Neoplasma jinak meningen
D32.0 Meningen otak
D32.1 Meningen spinalis
D32.9 Meningen, tidak dijelaskan; meningioma NOS

D33 Neoplasma jinak otak dan bagian lain sistem syaraf pusat
Kecuali: angioma (D18.0), meningen (D32.-), syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (D36.1),
jaringan retro-okuler (D31.6)
D33.0 Supratentorium otak
Ventrikel otak, serebrum, lobus frontalis, oksipitalis, parietalis, temporalis
Kecuali: ventrikel IV (D33.1)
D33.1 Infratentorium otak: batang otak, serebelum, ventrikel IV
D33.2 Otak, tidak dijelaskan
D33.3 Nervi craniales; bulbus olfaktorius
D33.4 Medulla spinalis
D33.7 Bagian lain sistem syaraf pusat yang dijelaskan
D33.9 Sistem syaraf pusat, tidak dijelaskan; sistem syaraf (pusat) NOS

D35 Neoplasma jinak kelenjar endokrin lain dan yang tidak dijelaskan
Kecuali: pankreas endokrin (D13.7), ovarium (D27), testis (D29.2), thymus (D15.0)
D35.0 Kelenjar adrenal
D35.1 Kelenjar parathyroid
D35.2 Kelenjar pituitary
D35.3 Duktus kraniofarings
D35.4 Kelenjar pineal
D35.5 Carotid body
D35.6 Aortic body dan paraganglia lain
D35.7 Kelenjar endokrin lain yang dijelaskan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 80


D35.8 Keterlibatan pluriglandular [berbagai kelenjar yang berbeda]
D35.9 Kelenjar endocrine, tidak dijelaskan
D36 Neoplasma jinak padasitus lain dan yang tidak dijelaskan
D36.0 Kelenjar limfe
D36.1 Syaraf perifer dan sistem syaraf otonom
Kecuali: syaraf perifer orbita (D31.6)
D36.7 Situs lain yang idjelaskan; hidung NOS
D36.9 Neoplasma jinak pada situs yang tidak dijelaskan

Neoplasma dengan sifat tak jelas atau tak diketahui (D37-D48)

D43 Neoplasma dengan sifat tak jelas atau tak diketahui pada otak dan SSP
Kecuali: syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (D48.2)
D43.0 Supratentorium otak:
Ventrikel serebri, serebrum, lobus frontal, oksipital, parietal, temporal
Kecuali: ventrikel IV (D43.1)
D43.1 Infratentorium otak: batang otak, serebellum, ventrikel IV
D43.2 Otak, tidak dijelaskan
D43.3 Nervi kraniales
D43.4 Medulla spinalis
D43.7 Bagian lain sistem syaraf pusat
D43.9 Sistem syaraf pusat, tidak dijelaskan; sistem syaraf (pusat) NOS

F00-F09: Kelainan jiwa organik, termasuk hanya gejala

Blok ini berisi kelompok kelainan jiwa akibat penyakit otak, kerusakan otak, atau keadaan lain
yang merusak fungsi otak. Kerusakan fungsi ini bisa primer atau sekunder. Kelainan primer disebabkan
oleh keadaan yang secara langsung dan selektif mengganggu otak; sedangkan kelainan sekunder adalah
pada penyakit yang melibatkan otak sebagai salah satu dari berbagai sistem atau organ tubuh yang
diserangnya.

Dementia (F00-F03) adalah sindroma kekacauan fungsi tinggi korteks seperti daya ingat,
belajar, berpikir, orientasi, memahami, menghitung, dan memutuskan. Kesadaran tidak terganggu.
Biasanya terdapat kerusakan fungsi kognitif (pengenalan), yang kadang-kadang didahului oleh
memburuknya kontrol emosi, tingkah-laku sosial, atau motivasi. Sindroma ini terjadi pada (1) penyakit
Alzheimer, yaitu penyakit degenerasi primer otak yang penyebabnya tidak jelas; (2) penyakit pembuluh
darah otak yang menimbulkan infark otak, dan (3) keadaan lain yang mengganggu otak.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 81


F00* Dementia pada penyakit Alzheimer (G30.-†)

F00.0* onset dini (G30.0†) – usia <65 tahun


F00.1* onset lanjut (G30.1†) – 65 tahun atau lebih
F00.2* tidak jelas atau campuran (G30.8†)
F00.9* tidak dijelaskan (G30.9†)

F01 Dementia vaskuler

F01.0 dengan onset yang akut


F01.1 dengan banyak infark
F01.2 pada subkorteks
F01.3 campuran korteks dan subkorteks
F01.8 jenis lain
F01.9 tidak dijelaskan
F02* Dementia pada penyakit yang klasifikasinya di bagian lain
F02.0* pada penyakit Pick (G31.0†)
F02.1* pada penyakit Creutzfeldt-Jakob (A81.0†)
F02.2* pada penyakit Huntington (G10†)
F02.3* pada penyakit Parkinson (G20†)
F02.4* pada penyakit human immunodeficiency virus [HIV] (B22.0†)
F02.8* pada penyakit lain yang klasifikasinya di tempat lain

F03 Dementia yang tidak dijelaskan

Excludes: dementia senilis (tua) dengan delirium atau kebingungan akut (F05.1)
senility NOS (R54)

F04 Amnesia organik, bukan akibat alkohol atau zat psikoaktif lain

Amnesia adalah kegagalan ingatan baru dan lama, tapi ingatan terbaru masih ada. Kesanggupan
belajar menurun dan orientasi waktu terganggu.
Includes: Psikosis atau sindroma Korsakov, non-alkoholik
F05 Delirium, bukan akibat alkohol atau zat psikoaktif lain
Sindroma otak organik yang khas dengan kacaunya kesadaran, perhatian, persepsi, pikiran,
ingatan, sikap motorik, emosi, dan jadwal tidur. Lamanya dan tingkatnya bervariasi.
Includes: sindroma otak, bingung (nonalcoholic), psikosis akibat infeksi, reaksi organik, sindroma
psiko-organik akut atau subakut
F05.0 tidak menyertai dementia
F05.1 menyertai dementia
F05.8 jenis lain

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 82


F05.9 tidak dijelaskan

F06 Kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan

Disni termasuk kondisi minor yang berhubungan dengan kelainan otak, baik penyakit otak
primer, penyakit sistemik, zat-zat eksogen, kelainan endokrin, atau penyakit badan lain.
F06.0 halusinosis organik – diikuti banyak halusinasi
F06.1 kelainan katatonik organik – aktifitas psikomotor terganggu
F06.2 kelainan waham organik
F06.3 kelainan alam perasaan organik
F06.4 kelainan anxiety organik – banyak kecemasan atau panik
F06.5 kelainan disosiasi organik – integrasi memori, identitas, dan gerakan putus
F06.6 kelainan emosi labil [asthenic] organik
F06.7 kelainan kognitif ringan
F06.8 kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan, jenis lainnya
F06.9 kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan, yang tidak dijelaskan

F07 Kelainan kepribadian dan tingkah-laku akibat kerusakan otak

F07.0 kelainan kepribadian organik


F07.1 sindroma pasca ensefalitis
F07.2 sindroma pasca-konkusio
F07.8 jenis lain
F07.9 tidak dijelaskan.

Penyakit-penyakit muskuloskeleton dan jaringan penyambung


(M00 – M99)
M41 Scoliosis
[Lihat kode situs sebelum M40]
Termasuk: kiposkoliosis
Kecuali: skoliosis kongenital:
- NOS (Q67.5),
- postural (Q67.5),
- akibat malformasi tulang (Q76.3)
penyakit jantung kiposkoliosis (I27.1)
pasca-prosedur (M96.-)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 83


M41.0 Skoliosis idiopatik infantil
M41.1 Skoliosis idiopatik remaja
Skoliosis remaja
M41.2 Skoliosis idiopatik lain
M41.3 Skoliosis torakogenik
M41.4 Skoliosis neuromuskuler
Skoliosis akibat cerebral palsy, ataxia Friedreich, poliomyelitis, dan kelainan
neuromuskuler lain.
M41.5 Skoliosis sekunder lain
M41.8 Bentuk-bentuk lain skoliosis
M41.9 Skoliosis, tak dijelaskan

Spondilopathi (M45-M49)
M45 Ankylosing spondylitis
[Lihat kode situs sebelum M40]
Arthritis rheumatoid vertebra
Kecuali: arthropati pada penyakit Reiter (M02.3)
spondylitis (ankylosing) remaja (M08.1)
penyakit Behçet (M35.2)

M46 Spondylopati radang lain


[Lihat kode situs sebelum M40]
M46.0 Entesopati spina
Kelainan perlekatan ligamen atau otot ke vertebra
M46.1 Sakroiliitis, not elsewhere classified
M46.2 Osteomielitis vertebra
M46.3 Infeksi diskus intervertebralis (pyogenic)
Gunakan kode tambahan (B95-B97), kalau perlu, untuk identifikasi agen infeksi
M46.4 Diskitis, tak dijelaskan
M46.5 Spondilopati infektif lainnya
M46.8 Spondilopati radang lain yang dijelaskan
M46.9 Spondilopati radang, tak dijelaskan

M47 Spondylosis
[Lihat kode situs sebelum M40]

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 84


[Kaku spina dan degenerasi diskus intevertebra, dengan osteoarthritis
(sering pada orang tua)]
Termasuk: arthrosis atau osteoarthritis spina
degenerasi pertemuan sendi
M47.0†Sindroma kompresi arteri spinalis anterior dan arteri vertebralis (G99.2*)
M47.1 Spondylosis lain dengan myelopati
Kompresi spondilogenik medulla spinalis† (G99.2*)
Kecuali: subluksasio vertebralis (M43.3-M43.5)
M47.2 Spondylosis lain dengan radiculopati
M47.8 Spondylosis lain
Spondylosis servikal }
Spondylosis lumbosakral } tanpa myelopati atau radikulopati
Spondylosis thorakal }
M47.9 Spondylosis, tak dijelaskan

M48 Spondilopati lainnya


[Lihat kode situs sebelum M40]
M48.0 Spinal stenosis
Stenosis kaudalis
M48.1 Hiperostosis ankilosis [Forestier]
Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis [DISH]
M48.2 Kissing spine
M48.3 Spondilopati traumatika
M48.4 Fatigue fracture of vertebra
Fraktur stress pada vertebra
M48.5 Kolaps vertebra, NEC;
Kolaps vertebra NOS
Vertebra membentuk baji NOS
Kecuali: kolaps vertebra pada osteoporosis (M80.-)
cedera sekarang – lihat cedera vertebra menurut regio tubuh
M48.8 Spondilopati lain yang dijelaskan
Osifikasi ligamen longitudinalis posterior
M48.9 Spondilopati, tak dijelaskan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 85


M49* Spondilopati pada penyakit c.e.
[[Lihat kode situs sebelum M40]
Kecuali: arthropati psoriatik dan enteropatik (M07.-*, M09.-*)
M49.0*Tuberkulosis spina (A18.0†)
Kurvatura Pott
M49.1*Spondilitis brusella (A23.-†)
M49.2*Spondilitis enterobakterium (A01-A04†)
M49.3*Spondilopati pada penyakit infeksi dan parasit c.e.
Kecuali: spondilopati neuropatik pada tabes dorsalis (M49.4*)
M49.4*Spondilopati neuropatik
Spondylopati neuropatik pada:
- syringomyelia dan syringobulbia (G95.0†),
- spondylopati pada tabes dorsalis (A52.1†)
M49.5*Kolaps vertebra pada penyakit c.e.
Fraktur metastatik vertebra (C79.5†)
M49.8*Spondilopati pada penyakit lainc.e.

Dorsopati lain (M50-M54)


Kecuali: cedera sekarang – lihat cedera menurut regio tubuh
diskitis NOS (M46.4)

M50 Kelainan diskus servikalis


Termasuk: kelainan diskus servikalis dengan servikalgia,
kelainan diskus servikotorakalis
M50.0†Kelainan diskus servikalis dengan myelopati (G99.2*)
M50.1 Kelainan diskus servikalis dengan radiculopati
Kecuali: radikulitis brachialis NOS (M54.1)
M50.2 Pergeseran letak lain diskus servikalis
M50.3 Degenerasi lain diskus servikalis
M50.8 Kelainan diskus servikalis lainnya
M50.9 Kelainan diskus servikalis, tak dijelaskan

M51 Kelainan diskus intervertebralis lain


Termasuk: kelainan diskus torakalis, torakolumbalis dan lumbosakralis
M51.0†Kelainan diskus lumbalis dan intervetebralis lain dengan myelopati (G99.2*)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 86


M51.1 Kelainan diskus lumbalis dan intervetebralis lain dengan radikulopati
Sciatica akibat kelainan diskus intervertebralis
Kecuali: radikulitis lumbalis NOS (M54.1)
M51.2 Pergeseran letak [displacement] diskus intervertebralis lain yang dijelaskan
Lumbago akibat pergeseran letak diskus intervertebralis
M51.3 Degenerasi diskus intervertebralis lain yang dijelaskan
M51.4 Nodus Schmorl
M51.8 Kelainan diskus intervertebralis lain yang dijelaskan
M51.9 Kelainan diskus intervertebralis, tak dijelaskan

M53 Dorsopati lain, not elsewhere classified


M53.0 Sindroma servikokranialis;
Sindroma simpatis servikalis posterior
M53.1 Sindroma servikobrakhialis
Kecuali: kelainan diskus servikalis (M50.-)
thoracic outlet syndrome (G54.0)
M53.2 Spinal instabilities [ketidakstabilan vertebra]
M53.3 Kelainan sakrokoksigeus, not elsewhere classified;
Coccygodynia
M53.8 Dorsopati lain yang dijelaskan
M53.9 Dorsopati, tak dijelaskan

M54 Dorsalgia
Kecuali: dorsalgia psikogenik (F45.4)
M54.0 Panniculitis yang mengganggu regio leher dan punggung
Kecuali: panniculitis: lupus (L93.2)
relapsing (M35.6)
NOS (M79.3)
M54.1 Radikulopati
Neuritis atau radiculitis:
- brakialis NOS
- lumbalis NOS
- lumbosakralis NOS
- torakalis NOS
Radikulitis NOS

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 87


Kecuali: neuralgia dan neuritis NOS (M79.2)
radikulopati dengan:
- spondylosis (M47.2)
- kelainan diskus servikalis (M50.1)
- kelainan diskus lumbalis dan intervertebralis lain (M51.1)
M54.2 Servikalgia
Kecuali: servikalgia akibat kelainan diskus servikalis intervertebralis (M50.-)
M54.3 Sciatica
Kecuali: lesi sciatic nerve (G57.0)
sciatica akibat kelainan diskus intervertebralis (M51.1)
sciatica dengan lumbago (M54.4)
M54.4 Lumbago dengan sciatica
Kecuali: akibat kelainan diskus intervertebralis (M51.1)
M54.5 Low back pain
Loin pain
Low back strain
Lumbago NOS
Kecuali: lumbago akibat pergeseran diskus intervetebralis (M51.2),
lumbago dengan sciatica (M54.4)
M54.6 Nyeri vertebra torakalis
Kecuali: nyeri akibat kelainan diskus intervetebralis (M51.-)
M54.8 Dorsalgia lainnya
M54.9 Dorsalgia, tak dijelaskan
Backache [sakit punggung] NOS

Cedera, Keracunan, dan akibat lain tertentu penyebab eksternal (S00-T98)

Cedera kepala (S00-S09)

S00 Cedera permukaan kepala

Kecuali: kontusio serebri (diffus) (S06.2), kontusio serebri fokus (S06.3)


cedera mata dan orbita (S05.-)
S00.0 Cedera permukaan kulit kepala
S00.1 Kontusio kelopak dan area periokuler

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 88


Black eye
Kecuali: kontusio bola mata dan jaringan orbita (S05.1)
S00.2 Cedera permukaan lain pada kelopak dan area periokuler
Kecuali: cedera permukaan konjungtiva dan kornea (S05.0)
S00.3 Cedera permukaan hidung
S00.4 Cedera permukaan telinga
S00.5 Cedera permukaan bibir dan rongga mulut
S00.7 Cedera permukaan ganda pada kepala
S00.8 Cedera permukaan bagian lain kepala
S00.9 Cedera permukaan kepala, bagian tidak dijelaskan

S01 Luka terbuka kepala

Kecuali: Cedera mata dan orbita (S05.-),


Amputasi trauma bagian kepala (S08.-), dekapitasi (S18)
S01.0 Luka terbuka kulit kepala
Kecuali: avulsi kulit kepala (S08.0)
S01.1 Luka terbuka kelopak dan area periokuler
Luka terbuka kelopak dan area periokuler
dengan atau tanpa melibatkan duktus lakrimalis
S01.2 Luka terbuka hidung
S01.3 Luka terbuka telinga
S01.4 Luka terbuka pipi dan area temporomandibularis
S01.5 Luka terbuka bibir dan rongga mulut
Kecuali: dislokasi gigi (S03.2), fraktur gigi (S02.5)
S01.7 Luka terbuka ganda pada kepala
S01.8 Luka terbuka bagian lain kepala
S01.9 Luka terbuka kepala, bagian tidak dijelaskan

S02 Fraktur tengkorak dan tulang muka

Subdivisi berikut disediakan untuk karakter tambahan, kalau penggunaan kode ganda untuk
identifikasi fraktur dan luka terbuka tidak mungkin atau tidak diinginkan. Fraktur yang tidak jelas
tertutup atau terbuka hendaknya diklasifikasikan sebagai terbuka.
0 closed 1 open
Untuk kode utama fraktur tengkorak dan tulang muka dengan cedera intrakranial yang terkait,
rujuk aturan dan pedoman pengodean morbiditas dan mortalitas pada Volume 2.
S02.0 Fraktur atap tengkorak
Fraktur os. frontalis, os. parietal

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 89


S02.1 Fraktur basis tengkorak
Fraktur occiput, os. temporalis, sphenoid, atap orbita
Fraktur fossa: anterior, middle, posterior
Fraktur sinus: ethmoid, frontal
Kecuali: lantai orbita (S02.3), orbita NOS (S02.8)
S02.2 Fraktur os. nasalis
S02.3 Fraktur lantai orbita
Kecuali: fraktur atap orbita (S02.1), orbita NOS (S02.8)
S02.4 Fraktur tulang malaris dan maxillaris
Fraktur maxilla superior, (tulang) rahang atas, zygoma
S02.5 Fraktur gigi
Gigi patah
S02.6 Fraktur mandibula
Fraktur (os.) rahang bawah
S02.7 Fraktur ganda melibatkan tengkorak dan tulang muka
S02.8 Fraktur tengkorak dan tulang muka lainnya
Fraktur alveolus, palatum, orbita NOS
Kecuali: fraktur atap orbita (S02.1), lantai orbita (S02.3)
S02.9 Fraktur tulang tengkorak dan muka, bagian tidak dijelaskan

S03 Dislokasi, sprain dan strain sendi dan ligamen kepala

S03.0 Dislokasi rahang


Dislokasi rahang (rawan)(meniskus), mandibula,
S03.1 Dislokasi rawan septum hidung
S03.2 Dislokasi gigi
S03.3 Dislokasi bagian lain dan tidak dijelaskan pada kepala
S03.4 Sprain dan strain rahang
Sprain dan strain (sendi)(ligamen) temporomandibula
S03.5 Sprain dan strain sendi dan ligamen bagian lain dan tidak dijelaskan pada kepala

S04 Cedera nervi kraniales

S04.0 Cedera n. optikus dan jaras optik


Cedera khiasma optikum, NC II, korteks visual
S04.1 Cedera n. okulomotorius
Cedera NC III
S04.2 Cedera n. trokhlearis
Cedera NC IV

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 90


S04.3 Cedera n. trigeminus
Cedera NC V
S04.4 Cedera n. abdusens
Cedera NC VI
S04.5 Cedera n. fasialis
Cedera NC VII
S04.6 Cedera n. akustikus
Cedera NC VIII, n. auditorius
S04.7 Cedera n. aksessorius
Cedera NC XI
S04.8 Cedera nervi kraniales lain
Cedera nn. olfaktorius [I], vagus [X], glossofaringeus [IX], hipoglossus [XII]
S04.9 Cedera tidak dijelaskan pada syaraf kepala

S05 Cedera mata dan orbita

Kecuali: cedera permukaan kelopak (S00.1-S00.2), luka terbuka kelopak dan area periokuler (S01.1),
fraktur tulang orbita (S02.1, S02.3, S02.8), cedera: nn. optikus [II] (S04.0), okulomotorius
[III] (S04.1)
S05.0 Cedera konjungtiva dan abrasi kornea tanpa disebut benda asing
Kecuali: benda asing dalam: sakkus konjungtiva (T15.1), kornea (T15.0)
S05.1 Kontusio bola mata dan jaringan orbita
Hifema traumatika [hifema = perdarahan ke dalam ruang anterior mata]
Kecuali: black eye (S00.1), kontusio kelopak dan area periokuler (S00.1)
S05.2 Laserasi dan ruptur okuler dengan prolaps atau hilangnya jaringan intraokuli
S05.3 Laserasi okuler tanpa prolaps atau hilangnya jaringan intraokuli
Laserasi mata NOS
S05.4 Luka tembus orbita dengan atau tanpa benda asing
Kecuali: benda asing (lama) yang tertahan setelah luka tembus orbita (H05.5)
S05.5 Luka tembus bola mata dengan benda asing
Kecuali: benda asing ditraokuli (lama) tertahan (H44.6-H44.7)
S05.6 Luka tembus bola mata tanpa benda asing
Penetrasi okuli NOS
S05.7 Avulsi mata
Enukleasi traumatika
S05.8 Cedera lain pada mata dan orbita
Cedera duktus lakrimalis
S05.9 Cedera mata dan orbita, bagian tidak dijelaskan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 91


Cedera mata NOS

S06 Cedera intrakranium

Subdivisi berikut disediakan untuk karakter tambahan kalau penggunaan kode ganda untuk
identifikasi cedera dan luka terbuka intrakranium tidak mungkin atau tidak diinginkan.
0 tanpa luka terbuka intrakranium
1 dengan luka terbuka intrakranium
Untuk kode utama pada cedera intrakranium dengan fraktur yang terkait, kode utama harus
pada fraktur intrakranium(S02.-)
S06.0 Konkusio
Commotio cerebri
S06.1 Edema traumatika otak
S06.2 Cedera diffus otak
Kontusio otak NOS, laserasi otak NOS, kompresi traumatika otak NOS
S06.3 Cedera otak pada fokus
Kontusio dan laserasi serebri, perdarahan intraserebri traumatika: pada fokus
S06.4 Perdarahan epidura
Perdarahan extradura (traumatika)
S06.5 Perdarahan traumatika subdura
S06.6 Perdarahan traumatika subarakhnoid
S06.7 Cedera intrakranium dengan koma berlangsung lama
S06.8 Cedera intrakranium lainnya
Perdarahan traumatika: serebellum, intrakranium NOS
S06.9 Cedera intrakranium, tidak dijelaskan
Cedera otak NOS
Kecuali: cedera kepala NOS (S09.9)

S07 Cedera remuk kepala

S07.0 Cedera remuk muka


S07.1 Cedera remuk tengkorak
S07.8 Cedera remuk bagian lain kepala
S07.9 Cedera remuk kepala, bagian tidak dijelaskan

S08 Amputasi trauma bagian kepala

S08.0 Avulsi kulit kepala


S08.1 Amputasi trauma telinga
S08.8 Amputasi trauma bagian lain kepala

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 92


S08.9 Amputasi trauma bagian kepala yang tidak dijelaskan
Kecuali: dekapitasi (S18)

S09 Cedera lain dan tidak dijelaskan pada kepala

S09.0 Cedera pembuluh darah kepala, not elsewhere classified


Kecuali: cedera: pembuluh darah: otak (S06.-), pra-otak (S15.-)
S09.1 Cedera otot dan tendon kepala
S09.2 Ruptur traumatika gendang telinga
S09.7 Cedera ganda pada kepala
Cedera yang dengan klasifikasi lebih dari satu kategori pada S00-S09.2
S09.8 Cedera lain yang dijelaskan pada kepala
S09.9 Cedera yang tidak dijelaskan pada kepala
Cedera: muka NOS, telinga NOS, nose NOS

S14 Cedera syaraf dan medulla spinalis setinggi leher

S14.0 Konkusio dan edema of medulla spinalis servikalis


S14.1 Cedera lain dan tidak dijelaskan pada medulla spinalis servikalis
Cedera medulla spinalis servikalis NOS
S14.2 Cedera radiks syaraf spina servikali
S14.3 Cedera plexus brakhialis
S14.4 Cedera syaraf perifer leher
S14.5 Cedera syaraf simpatis servikalis
S14.6 Cedera syaraf lain dan tidak dijelaskan pada leher

S24 Cedera syaraf dan medulla spinalis setinggi thorax

Kecuali: cedera plexus brakhialis (S14.3)


S24.0 Konkusio dan edema pada medulla spinalis thorax
S24.1 Cedera lain dan tidak dijelaskan pada medulla spinalis thorax
S24.2 Cedera radix syaraf spina torakalis
S24.3 Cedera syaraf perifer thorax
S24.4 Cedera syaraf simpatis thorax
Cedera : plexus kardiaka, esophagus, pulmonalis; ganglion: stellata, simpatis torakalis
S24.5 Cedera syaraf lain thorax
S24.6 Cedera syaraf thorax yang tidak dijelaskan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 93


S34 Cedera syaraf dan medulla spinalis lumbal setinggi abdomen, punggung bawah dan
pelvis
S34.0 Konkusio dan edema medulla spinalis lumbalis
S34.1 Cedera lain pada medulla spinalis lumbalis
S34.2 Cedera radiks syaraf spina lumbarlis dan sakralis
S34.3 Cedera cauda equina
S34.4 Cedera plexus lumbosacralis
S34.5 Cedera syaraf simpatis lumbalis, sakralis dan pelvik
Cedera ganglion atau plexus seliaka, plexus hypogastrika
Cedera plexus mesenterika (inferior)(superior), n. splanchnikus
S34.6 Cedera peripheral nerve(s) of abdomen, punggung bawah dan pelvis
S34.8 Cedera syaraf lain dan tidak dijelaskan setinggi abdomen, punggung bawah dan pelvis

S44 Cedera syaraf pada level bahu dan lengan atas

Kecuali: cedera plexus brakhialis (S14.3)


S44.0 Cedera n. ulnaris pada level lengan atas
Kecuali: cedera n. ulnaris NOS (S54.0)
S44.1 Cedera n. medianus pada level lengan atas
Kecuali: cedera n. medianus NOS (S54.1)
S44.2 Cedera n. radialis pada level lengan atas
Kecuali: cedera n. radialis NOS (S54.2)
S44.3 Cedera n. axillaris
S44.4 Cedera n. musculocutaneous
S44.5 Cedera syaraf sensoris kulit pada level bahu dan lengan atas
S44.7 Cedera syaraf ganda pada level bahu dan lengan atas
S44.8 Cedera syaraf lain pada level bahu dan lengan atas
S44.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level bahu dan lengan atas

S54 Cedera syaraf pada level lengan bawah

Kecuali: Cedera syaraf di pergelangan dan tangan (S64.-)


S54.0 Cedera n. ulnaris di lengan bawah
Cedera n. ulnaris NOS
S54.1 Cedera n. medianus di lengan bawah
Cedera n. medianus NOS
S54.2 Cedera n. radialis di lengan bawah
Cedera n. radialis NOS
S54.3 Cedera cutaneous sensory nerve di lengan bawah

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 94


S54.7 Cedera syaraf ganda di lengan bawah
S54.8 Cedera syaraf lain di lengan bawah
S54.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan di lengan bawah

S64 Cedera syaraf pada level pergelangan dan tangan

S64.0 Cedera n. ulnaris pada level pergelangan dan tangan


S64.1 Cedera n. medianus pada level pergelangan dan tangan
S64.2 Cedera n. radialis pada level pergelangan dan tangan
S64.3 Cedera n. digitalis ibu jari
S64.4 Cedera n. digitalis jari II, III, IV atau V
S64.7 Cedera syaraf ganda pada level pergelangan dan tangan
S64.8 Cedera syaraf lain pada level pergelangan dan tangan
S64.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level pergelangan dan tangan

S74 Cedera syaraf pada level panggul dan paha

S74.0 Cedera sciatic nerve [n. iskiadikus] pada level panggul dan paha
S74.1 Cedera n. femoralis pada level panggul dan paha
S74.2 Cedera syaraf sensoris kulit pada level panggul dan paha
S74.7 Cedera syaraf ganda pada level panggul dan paha
S74.8 Cedera syaraf lain pada level panggul dan paha
S74.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level panggul dan paha

S84 Cedera syaraf pada level tungkai bawah

Kecuali: cedera syaraf pada level tumit dan kaki (S94.-)


S84.0 Cedera n. tibialispada level tungkai bawah
S84.1 Cedera n. peroneuspada level tungkai bawah
S84.2 Cedera syaraf sensoris kulit pada level tungkai bawah
S84.7 Cedera syaraf ganda pada level tungkai bawah
S84.8 Cedera syaraf lain pada level tungkai bawah
S84.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level tungkai bawah

S94 Cedera syaraf pada level tumit dan kaki

S94.0 Cedera n. plantar lateralis


S94.1 Cedera n. plantar medialis
S94.2 Cedera n. peroneus profunda pada level tumit dan kaki
Cedera cabang lateralis terminal dari n. peroneus profunda
S94.3 Cedera syaraf sensoris kulit pada level tumit dan kaki
S94.7 Cedera syaraf ganda pada level tumit dan kaki

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 95


S94.8 Cedera syaraf lain pada level tumit dan kaki
S94.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level tumit dan kaki

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 96


LAMPIRAN 2 :

KODE ICD-9 CM DAN DESKRIPSI PROSEDUR TINDAKAN


NEUROLOGI

00.41- 43 DSA + Trombolisis intraarterial

00.62 Percutaneus angioplasty or arteriotomy of intracranial vessel (ballon angioplasty


intracranial)
00.63 Percutaneus angioplasty or arteriotomy of precerebral (ballon angioplasty
ekstrakranial)
00.94 Intra operative neurophysiology monitoring

01.10 Intracranial Pressure Monitoring

02.93 Deep Brain Stimulation

04.2 Destruction of cranial and peripheral nerves


03.91 Foraminal block
03.92 Kemoterapi intratekal (Injection other agent into spinal canal, caudal epidural)
00.94 Intra operative neurophysiology monitoring
03.96 Percutaneous denervation of Facet block
04.8 Peripheral nerve block
04.81 Great Occipital Nerve Blockade (GONB)
04.89 Injection of other agent, except neurolytic
05.3 Injection Sympathetic nerve/ Ganglion

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 97


05.39 Other injection into sympathetic nerve or ganglion
3.11 Setting ventilator
17.4 Neurorestorasi robotik
37.20 Brainwave modulation (auditori, visual)
37.20 Transcranial Direct Current Stimulation (TDCS)
39.53 Repair of Arteriovenous Fistula
39.72 Endovascular repair or occlusion of head and neck vessels (Liquid tissue adhesive
/glue embolization)
39.72 Intracranial artery angioplasty
39.72 Intracranial artery stenting
39.72 Vertebral artery angioplasty
39.72 Vertebral artery stenting
39.72 Terapi endovascular penyakit serebrovaskular pada anak
39.72 Terapi endovascular pada intracranial venous stenosis/occlusion artery
39.74 Mechanical thrombectomy of precerebral and cerebral vessels
39.74 DSA + Thrombectomy pada Stroke Iskemik Akut
39.75 Endovascular embolization or occlusion of vessel of head and neck using bare coils
39.79 Other Endovascular Repair of Aneurisma of Others Vessel (coiling aneurisma)
39.79 Terapi endovaskuler pada kasus malformasi vaskuler intracranial
39.79 Transmagnetic stimulation
39.79 Embolisasi kasus tumor otak hipervaskuler
39.79 Embolisasi kasus trauma neurovaskular
76.96 Injection of therapeutic substance into temporomandibular joint.
80.5 Percutaneous disectomy, repair of intervertebral disc
81.6 Percutaneous vertebral augmentation, kyphoplasty, vertebroplasty
81.92 Injeksi intraarticular (Injection of therapeutic substance into joint or ligament)
83.98 Injection of locally-acting therapeutic substance into other soft tissue 

87.29 Discography
88.41 Arteriography of cerebral artery
88.41 Percutaneus insertion of precerebral (stenting vertebrobasilar)
88.41 Cerebral (and Cervical Vessels) Digital Substraction Angiography (DSA)
88.71 Duplex Carotis
88.71 Brain Parenchim USG

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 98


88.77 Bubble Test
88.77 Monitoring Embolic detection – TCD
88.77 Doppler Transcranial (TCD)
88.79 Ultrasonografi neuromuskular
88.97 Doppler Carotis
88.97 Doppler Vertebralis
89.14 Electroencephalography
89.17 Polisomnografi
89.18 Multiple sleep latency test
89.19 Video EEG
89.59 Indeks Vaskuler Migrain
89.59 Reaktivitas Vasomotor
89.59 Breath-holding Index
89.62 Central venous pressure monitoring
90.0 Microscopic examination of specimen from nervous system and of spinal fluid
E 933.1 Antineoplastic and immunosuppressive drugs
92.30 Stereotactic radiosurgery, not otherwise specified
03.90 Insertion of catheter into spinal canal for infusion of therapeutic or palliative
substances
93.08 Electromyography (EMG)
93.2 Taping pada gangguan neuromuskular
93.39 Dry needling
93.58 Pneumatic device
93.58 EEG monitoring
94.33 Behavior therapy
94.08 Other psychologic evaluation and testing
93.90 Pemasangan continous positive airway pressure (CPAP) untuk sleep related breathing
disorder
95.01 Limited eye examination (Eye examination with prescription of spectacles)

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 99


95.02 Comprehensive eye examination (Eye examination covering all aspects of the visual
system)
95.03 Optokinetic Nystagmus (OKN)
95.03 Extended ophthalmologic work-up (Examination (for): glaucoma, neuro-
ophthalmology,retinal disease)
95.03 Pemeriksaan Tangens Byerum
95.03 Pemeriksaan Amsler Grid
95.04 Eye examination under anesthesia
95.05 Perimetrri Goldmann (Visual field study)
95.06 Color vision study
95.07 Dark adaptation study
95.07 Photo-stress test
95.09 Eksoftalmometer (Eye examination, not otherwise specified)
9.1 Examinations of form and structure of eye
95.11 Fundus photography
95.13 Ultrasound study of eye
95.15 Ocular motility study
95.13 Neurovascular Ocular Ultrasound
95.23 Visual evoked potential
95.42 Clinical Test of Hearing
95.44 Clinical Vestibular Function Test
95.44 Matrass Unterberger test dan Romberg test
96.01 Pemasangan nasopharyngeal airway
96.02 Pemasangan oropharyngeal airway
96.04 Pemasangan endotracheal tube
99.10 Injection or infusion of thrombolytic agent (rTPA)
99.10 Sonotrombolisis
99.14 Pemberian injeksi IVIG
99.2 Trigger point deafferentation and injection

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 100


99.2 Botulinum toxin injection
99.2 Prolotherapy pada nyeri kepala
99.23 Injection of steroid
99.71 Plasmafaresis
99.81 Terapi hipotermi non-invasif
327.36 Actigraphy
349.0 Lumbal pungsi
374.45 Blink reflex
781.99 Nerve repetitive stimulation
794.09 Brainstem auditory evoked potential
794.17 Nonspecific abnormal electromyogram

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 101


LAMPIRAN 3 :

TANYA JAWAB SEPUTAR PELAYANAN NEUROLOGI

1. Kami kesulitan pengodean epilepsi karena di RS kami belum ada EEG, apakah ada PPK atau
aturan dari PERDOSSI yang menjelaskan diagnosis epilepsi atau suspek epilepsi tidak diwajibkan
melampirkan pemeriksaan EEG.
a. Pemeriksaan EEG tidak menjadi syarat mutlak dalam menentukan diagnosis epilepsi
karena EEG hanyalah merupakan alat untuk membantu menunjang diagnosis. DPJP
dapat membuat justifikasi dengan memberikan alasan ilmiah bahkan perlu memasukkan
data/sumber pendukung (seperti jurnal ilmah) sehingga bisa menjadidasar bagi BPJS
atau Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) untuk bisa memahami akan keadaan
tersebut dan bisa menjadikan dasar pembayaran klaim.
b. Bila kita merujuk pada Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun
2020 halaman 45 no 60 berbunyi : “Untuk pasien epilepsi kejang berulang minimal dua
kali dengan pola yang sama dan dibuktikan dengan hasil EEG yang abnormal. Pada
penegakan kasus epilepsi harus dengan EEG”. Maka diagnosis epilepsy harus dengan
EEG.
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan Tim KMKB rumah sakit
atau cabang atau verifikator BPJS Cabang.

2. Untuk diagnosis ensefalopati, ini sering dikembalikan oleh BPJS karena harus dilakukan CT Scan,
dan DPJP tidak semuanya melakukan pemeriksaan CT scan, apakah ada anjuran lain dok?
Bisa dibuat justifikasi dari DPJP alasan-alasan pasien tersebut tidak memungkinkan
untuk dilakukan CT-Scan kepala seperti keadaan umum tidak stabil, pasien gelisah, dll.
3. Dan untuk hemiplegi diwajibkan ada tindakan exercise dari BPJS, apakah ada acuan selain
tindakan tsb?
a. Salah satu data dukung yang dibutuhkan untuk proses klaim atas diagnosis yang dibuat
adalah adanya tatalaksana spesifik terhadap diagnosis tersebut. Fisioterapi adalah salah
satu tatalaksana spesifik terhadap hemiparese/hemiplegi.
b. Menurut Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
39 no 20 : “Tidak semua kasus stroke disertai dengan hemiplegi/hemiparese. Untuk
pasien dengan hemiplegi dirawat inap ada tindakan fisioterapi”. Data dukung lain yaitu

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 102


skor motorik harus ditulis di asesmen awal medik dan di lembar catatan perkembangan
pasien.

4. Mohon pencerahan untuk coding stroke perdarahan, karena sering pada stroke perdarahan kami
sering diingatkan karena klaim sudah melebihi. Terima kasih
Memang besaran paket INA-CBG untuk Stroke perdarahan relatif kecil bila dibandingkan
dengan billing rumah sakit. Mohon dituliskan diagnosis sekunder yang ada sehingga severity
level menjadi naik. Diagnosis sekunder yang sering didapatkan adalah sebagai berikut :
edema cerebri, kejang, hemiplegi/hemiparese, hiponatremi, hipokalemi, pneumonia, sepsis
dan lain-lain. Tentu saja diagnosis sekunder tersebut harus dilengkapi dengan data dukung
dan tatalaksana yang spesifik.
Contoh : edema cerebri non traumatik (G93.6) harus dibuktikan dengan CT scan dan ada
tatalaksana spesifik terhadap edema tersebut (seperti manitol atau NaCl 3%).

5. Apakah untuk klaim Stroke non hemorthagik/iskemik diwajibkan hasil CT scannya tertera ada
infark? pengalaman dari RS kami menemui kesulitan klaim karena bacaan normal/belum tarmpak
infark, padahal klinis sudah jelas stroke. Trims
a. Tidak wajib hasil bacanya adalah infark, karena dalam waktu <96 jam kadang kala
infarknya belum bisa terlihat. (bisa diperkuat dengan justifikasi yang dibuat oleh DPJP
dengan melampirkan jurnal atau kajian ilmiah).
b. Menurut Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
14 no 74 disebutkan : “Hasil imaging (contoh CT scan) diperhatikan untuk penegakkan
tambahan jenis stroke haemorrhagic atau non haemorrhagic. Kode I63.- jika hasil
pemeriksaan CT Scan (+) infark).
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan Tim KMKB rumah sakit
atau cabang atau verifikator BPJS Cabang.

6. Pemeriksaan kognitif dengan MMSE atau MoCA Ina apakah bisa dikaim/dikoding? Dan apakah
bisa diklaim oleh semua tipe RS atau hanya di RS tipe A atau B yg ada poli Neurobehavior?
a. Kode pemeriksaan MMSE atau Moca-Ina sampai saat ini tidak terdapat dalam ICD 9,
tapi bisa dilakukan dan dijadikan dasar bukti penentuan diagnosis gangguan kognitif.
Untuk penentuan diagnosis dan pengklaiman bisa dilakukan di semua tipe RS namun
untuk pemberian terapinya hanya dapat diberikan pada pelayanan tingkat 3 (donepezil

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 103


selaput 5mg, maksimal 30 tab/bulan) serta pelayanan tingkat 2 dan 3 (donepezil
dispersible 10mg, maksimal 30 tab/bulan).
b. Memang kode pemeriksaan MMSE atau Moca-Ina sampai saat ini tidak terdapat dalam
ICD 9, namun bisa dicoba menggunakan kode 94.08 (other psychologic evaluation and
testing)

7. Apakah diagnosis hemiparese atau hemiplegi harus ada konsultasi dg ahli RM. Terimakasih
a. Wajib dilakukan tatalaksana fisioterapi sesuai Berita Acara Kesepakatan antara BPJS
dengan Kemenkes tahun 2020 halaman 39 no 20 berbunyi ”Tidak semua kasus stroke
disertai dengan hemiplegi/hemiparese. Untuk pasien dengan hemiplegi dirawat inap ada
tindakan fisioterapi”.
b. Merujuk pula peraturan BPJS Kesehatan No 1 tahun 2020 pasal 4 ayat 2 yang berbunyi
“Pelayanan Rehab Medik sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan di FKTRL yang
memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi”.

8. Pada pasien kronis yg mendapatkan obat 3 minggu berikutnya apakah ada plafonnya?
• Pengklaiman obat kronis yang 23 hari dihitung tersendiri (diluar paket 7 hari) tidak
mengikuti paket INA-CBG rawat jalan, sehingga tidak membebani paket rawat jalan dan
tidak ada plafonnya. Syarat bisa diklaimkan salah satunya adalah obat harusterdaftar di
Fornas.

9. Untuk hipertensi emergensi, apakah tidak menaikkan severity level pada kasus stroke.
Terimakasih.
• Tidak menaikkan severity level (besaran klaim), yang bisa meningkatkan severity level
(besaran klaim) adalah Hipertension Heart Disease (HHD) namun harus dilengkapi
dengan data dukung sesuai dengan berita acara.

10. Saya ijin bertanya untuk hemiplegia/hemiparesis apakah ada grade tertentu baru akan
meningkatkan severity? atau berapapun gradenya, kemudian kita konsulkan dan mendapatkan
fisioterapi akan meningkatkan severity? Terima kasih
a. Pasien yang dengan diagnosis sekunder hemiparese/hemiplegi, maka severity level akan
menjadi severity level 2. Tingkat kekuatan otot dari pasien yang mengalami hemiplegi
/hemiparese tidak berpengaruh pada severity level/klaim.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 104


b. Pasien dengan diagnosis tetraparese maka akan membuat severity level 3.
c. Data dukung hemiplegi/hemiparese harus dilengkapi dengan pencatatan skor motorik
di lembar catatan perkembangan pasien dan resume medik serta dilakukan fisoterapi.

11. Untuk diagnosis Pneumoni, apakah harus melibatkan konsultasi ke TS Paru?


• Pelayanan di RS adalah pelayanan dokter spesialis sehingga untuk melakukan
pelayanan harus mengacu kepada kompetensi yang ada. Dokter spesialis neurologi
tidak memiliki kompetensi terhadap kasus-kasus pneumonia sehingga penanganan
kasus tersebut harus melibatkan bagian lain yaitu Interna maupun Paru.

12. Saya kebetulan bertugas di daerah Kabupaten yg tidak mempunyai ct scan untuk membedakan
stroke hermoragik dan non hemoragik apakah bisa dipakai scoring untuk mendiagnosis stroke
karena bpjs selaiu meminta ct scan kepala krn sebagai gold Standard. terimakasih dokter
sebelumnya.
a. Hal tersebut bisa dan pernah dilakukan dibeberapa daerah (Banggai, Tojo una-una,
Morowali, Morowali Utara). Penapisan strok hemoragik dan non hemoragik bisa
dilakukan dengan menggunakan skoring namun DPJP harus membuat justifikasi dan
memberikan alasan ilmiah bahkan perlu memasukan data/sumber pendukung (seperti
jurnal ilmah) sehingga bisa menjadi dasar bagi BPJS atau TKMKB untuk bisa
memahami akan keadaan tersebut dan bisa menjadikan dasar pembayaran klaim.
b. Hasil imaging (contoh CT scan) diperhatikan untuk penegakkan tambahan jenis stroke
hemorrahgic atau non haemorrhagic. Kode I63.- jika hasil pemeriksaan CT Scan (+)
infark (Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
14 no 74).
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan verifikator BPJS dan
Tim Kendali Mutu Kendali Biaya Cabang.

13. Untuk dry needling di RS saya menurut petugas koding masuk koding grouping bukan ICD 9 CM
bagaimana nggeh dok? mohon arahan.
Dry needling merupakan teknik penusukkan menggunakan jarum monofilamen tipis pada
titik pusat nyeri. Memang saat ini di grouper INA-CBG versi 5 dry needling belum ada kodenya,
namun bisa dikode dengan ICD 9 CM 82.96 (other injection of locally-acting therapeutic
substance into soft tissue).

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 105


14. Mohon ijin menanyakan, pada pasien stroke dengan hemiplegi tetapi di RS kami belum ada dr. Sp
KFR sehingga pelayanan fisioterapi utk pasien ranap tdk bisa dilakukan. sebaiknya bagaiamana
nggih dokter? terima kasih dokter
• Bagi FKTRL yang belum memiliki Sp.KFR dapat membuat permohonan kepada
perhimpunan spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medik yang terdekat sehingga
menugaskan dokter Sp.KFR terdekat yang berada di tempat lain sebagai penanggung
jawab pelayanan rehab medik.

15. Bagaimana dgn IV RTPA apa sudah menambah plafon BPJS?


• Sampai dengan buku ini dicetak IV RTPA (Injection or infusion of thrombolytic agent
99.10) masih belum menambah besaran klaim. Salah satu sebabnya adalah : didalam
sistem grouper INA-CBG versi 5, prosedur ini secara sistem masih ”belum diakui”.
Artinya ketika kode tindakan tersebut (ICD 99.10) kita input hasil deskripsi kode di
sistem grouper masih masuk group disease, yaitu : KECEDERAAN PEMBULUH
DARAH OTAK DENGAN INFARK.

16. Apakah citicoline termasuk Fornas untuk stroke?


• Sampai saat buku ini dicetak belum masuk Fornas karena belum didukung oleh
EBM dengan kualitas yang baik.

17. Selanjutnya tentang fraud. Tidak ada dokter yang mau fraud, tetapi BPJS memaksa orang untuk
membuat tambahan keluhan yang semestinya tidak ada agar bisa diklem dok? Mohon
penjelasannya.
• Diagnosis harus didasarkan pada temuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Bila tidak ada data dukung tersebut maka diagnosis tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi tujuannya untuk memperlancar klaim, hal ini
TERMASUK FRAUD. BPJS juga memiliki WASIN (Pengawasan Internal) dan
dilakukan audit secara regular. Apabila disuatu waktu dilakukan audit dan
didapatkan temuan maka akan berisiko bagi dokter, rumah sakit dll. Salah satu
risiko adalah rumah sakit harus mengembalikan klaim yang sudah dibayarkan.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 106


18. Pasien yang rawat jalan dengan penyakit kronis, terkadang untuk pengambilan obat tidak
diberikan sebulan, bagaimana solusinya?
a. Hal ini termasuk salah satu jenis Fraud yaitu pemberian obat yang tidak sesuai
dengan peresepan (peresepan yang sesuai regulasi). Apalagi kalau rumah sakit
dengan sengaja melakukan itu dengan tujuan mem-fragmentasi kunjungan agar
pasien dapat berkunjung ke rumah sakit lebih dari satu kali dalam satu bulan (di
luar indikasi medik), maka yang demikian disebut fraud.
b. Solusi : berdiskusilah dengan direksi rumah sakit, saling mengingatkan karena hal
ini melanggar regulasi dan berisiko mengembalikan klaim bila dalam audit nanti ada
temuan.

19. Untuk pasien yang dirawat di RS tipe A yang mempunyai fasilitas lengkap setelah selesai rawat
inap pasien ingin kontrol di RS tipe B dengan alasan RS tipe B berdekatan dengan rumahnya.
Apakah bisa dok?
• Bisa, namun harus ada surat rujukan dari FKTP dulu dengan menunjukan resume
medik dari RS tipe A tersebut.
• Sebenarnya untuk kontrol pertama kali setelah rawat inap bisa ke RS tipe A atau di
RS tempat pasien tersebut dirawat tanpa diserta surat rujukan dari FKTP sehingga
memudahkan pasien. Untuk mendapatkan pelayanan tersebut, pasien yang
bersangkutan cukup membawa resume medik rawat inap yang membuktikan bahwa
telah menjalani rawat inap di RS tersebut namun pelayanan tersebut hanya berlaku
1 kali.

20. Pada kasus stroke, pemeriksaan diagnostik apa yang diperiksakan atau dituliskan untuk
menaikkan klemnya dok?
Pada kasus stroke rawat inap, pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ada yang
menaikkan besaran klaim INA-CBG. Untuk stroke rawat jalan ada beberapa
pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat meningkatkan besaran klaim
diantaranya adalah : CT scan kepala, MRI kepala, TCD, EEG dll. Pemeriksaan
penunjang tersebut harus sesuai indikasi medik dan regulasi yang ada.

21. Kenapa banyak diagnostik yang dilakukan tetapi tidak mempengaharui atau menaikkan
klemnya dok?

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 107


• Sejak diberlakukannya JKN tahun 2014 sistem pembayaran pelayanan kesehatan
berubah dari retrospetif (fee for service) menjadi prospektif (sistem paket sesuai INA-
CBG untuk FKRTL). Pemerintah melihat bahwa sistem pembayaran prospektif lebih
banyak keunggulan dibandingkan dengan model retrospektif, dan itu sudah
dipraktekan hampir disemua negara-negara di dunia. Salah satu keunggulan tersebut
adalah pelayanan lebih efektif dan efisien serta memudahkan negara dalam
merencanakan anggaran pembiayaan kesehatan bagi warganya.
• Salah satu ciri pembayaran model prospektif adalah pembayaran sistem paket yang
besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan dilakukan. Besaran biaya sistem
paket ini sudah dirumuskan di awal berdasarkan kode-kode yang diinput dalam
sistem gouper INA-CBG sehingga berapapun banyaknya tindakan diagnostik yang
diinput bila paket sudah ditentukan didalam sistem maka tidak akan menaikan
besaran klaim.

22. Pada beberapa kasus meminta untuk pemeriksaan penunjang harus diperiksakan, contohnya
pada kasus BPPV elektrolitnya harus di periksakan, tetapi ada juga pada beberapa kasus yang
dilarang pemeriksaannya dok, apakah ini kebijakan dari RS atau dari BPJS dok, mohon
penjelasannya dok?
• Menurut berita acara kesepakatan Bersama panduan penatalaksanaan solusi
permasalahan klaim INA-CBG tahun 2019 No. JP.02..03 /1693/2020 bagian Aspek
Medik menyebutkan: vertigo perifer (H81.3) dengan kriteria muntah hebat yaitu jika
pasien kesulitan untuk makan disertai dengan salah satu dari: tanda-tanda dehidrasi,
gangguan hemodinamik (salah satu dari takikardi, nadi lemah dan hipotensi),
gangguan elektrolit dan hipoglikemia. Jadi pemeriksaan elektrolit bukanlah satu-
satunya syarat mutlak untuk pengajuan klaim kasus BPPV

23. Terkait pemeriksaan yang dijadikan syarat, apakah itu dari verifikator RS atau dari BPJS secara
umum? Bagaimana cara membuka komunukasi efektif antara validator casemix dan BPJS ?
• Pemeriksaan (data dukung) yang dijadikan syarat agar klaim bisa disetujui harus
sesuai dengan kaidah-kaidah koding dan klaim. Selain itu masalah-masalah yang
masih menjadi pertanyaan di lapangan diatur dalam berita kesepakatan antara
Kemenkes dengan BPJS Kesehatan. Di dalam berita acara tersebut dibahas dan

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 108


diberikan jalan keluar bagaimana melengkapi data dukung diagnosis yang dibuat
oleh DPJP sehingga diagnosis tersebut bisa diklaimkan.
• Contoh berita acara dan data dukung yang harus disiapkan pada kasus-kasus
neurologi :
No. PERIHAL KASUS PERHATIAN KHUSUS Hal-
Nomor
1. Cerebral infarction (I63) Hasil imaging (contoh CT scan) Hal 14 no
diperhatikan untuk penegakkan tambahan 74.
jenis stroke hemorrahgic atau non
haemorrhagic.
I63.- jika hasil pemeriksaan CT Scan (+)
infark.
2. Stroke, not specified as Kode ini digunakan hanya untuk kasus stroke Hal 14 no
haemorrhage or infarction yang tidak spesifik apakah infark atau 75.
(I64) perdarahan. Pastikan pemeriksaan
penunjang, klinis, dan scoring.
3. Epilepsi Untuk pasien epilepsy kejang berulang Hal 45 no
minimal dua kali dengan pola yang sama dan 60.
dibuktikan dengan hasil EEG yang abnormal.
Pada penegakan kasus epilepsi harus dengan
EEG.
5. Hemiparese/Hemiplegi Tidak semua kasus stroke disertai dengan Hal 39 no
hemiplegi/hemiparese. Untuk pasien dengan 20
hemiplegi dirawat inap ada tindakan
fisioterapi.
6. Hiponatremi Kondisi dimana kadar natrium lebih rendah Hal 36 no
Hipokalemia dari nilai normal (Na < 135, Kalium < 3,5 5 dan 6.
maka kondisi tersebut tetap dikatakan
sebagai hiponatrema dan dapat digunakan
sebagai diagnosis sekunder apabila ada
tatalaksana yang diberikan.
7. Vertigo Indikasi vertigo dapat dirawat inapkan : Hal 40 no
ertigo (R42) sentral dengan etiologinya : 21.
troke, infeksi akut dan kronik, trauma kepala,
umor intraserebral dengan TIK meningkat.
ertigo perifer (H81.3) dengan kriteria
untah hebat, yaitu jika pasien kesulitan untuk
akan disertai dengan salah satu dari :

a. Tanda-tanda dehidrasi
b. Gangguan hemodinamik (salah satu
dari takikardi, nadi lemah, hipotensi)
c. Gangguan elektrolit
d. Hipoglikemia

• Cara membangun komunikasi yang efektif antara validator casemix dan BPJS
adalah :
a. Kita harus meningkatkan kemampuan dan pemahaman kita terhadap proses
klaim dan segala hal yang terkait dengan pembiayaan ini. Salah satu caranya
adalah dengan membaca buku panduan ini atau bisa langsung kontak dengan
POKJA JKN PP Perdossi.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 109


b. Di tingkat rumah sakit ada Tim yang disebut Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya (bila di rumah sakit belum ada tim ini secara resmi, biasanya yang mewakili
adalah komite medik). Melalui tim inilah kita bisa berkomunikasi perihal
pembiayaan dan segala aspeknya sehingga masalah bisa diselesaikan.
c. Bila di Tim KMKB rumah sakit masih belum sepakat maka komunikasi bisa
dilanjutkan ke Tim KMKB tingkat Cabang BPJS setempat.
d. Dalam rangka komunikasi ini yang harus kita siapkan adalah : PNPK, PPK,
Clinical Pathway, rincian kewenangan klinis (RKK), dokumen-dokumen
kompetensi kita dan jurnal-jurnal atau kajian ilmiah tentang kasus yang kita
diskusikan.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 110


DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Rujukan Online Berjenjang pada pasien Jaminan Kesehatan
Nasional, 2018.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan_no 54 tahun 2018
tentang Penyusunan dan_Penerapan Fornas dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Jakarta; 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Formularium Nasional. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/6485/2021 Tentang Formularium
Nasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2021. p. 1–167.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Kementrian
kesehatan Republik Indonesia; 2006.
5. Kementrian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Berita Acara Kesepakatan Bersama Panduan
Penatalaksanaan Solusi Permasalahan Klaim INA-CBG Nomor JP.02.03/3/1693/2020; No
411/BA/0720; 2020.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
IndonesiaNomor 26 Tahun 2021 Tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups
(Ina-CBG)Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional; 2020.
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
IndonesiaNomor 16 Tahun 2019 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kecurangan
(Fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud)Dalam
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan; 2019.

Buku Panduan Pelayanan Neurologi di Era Jaminan Kesehatan Nasional 111

Anda mungkin juga menyukai