EDITOR :
KONTRIBUTOR :
HALAMAN JUDUL i
KONTRIBUTOR DAN EDITOR ii
KATA PENGANTAR KETUA PP PERDOSSI iii
KATA PENGANTAR EDITOR iv
KATA PENGANTAR PENYUSUN v
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KAIDAH KODING DAN KAIDAH KLAIM DALAM PELAYANAN 6
NEUROLOGI
2.1 Pengertian Diagnosis 6
2.2 Aturan Koding Morbiditas ICD-10 Versi Tahun 2010 7
2.3 Aturan Koding Lainnya yang Berlaku untuk INA-CBG 16
BAB III IMPLEMENTASI GROUPER INA-CBG DALAM PELAYANAN 21
NEUROLOGI
3.1 Struktur Grouper INA-CBG 21
3.2 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Efektif 24
Dan Efisien.
3.3 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang 27
Menyesuaikan Dengan Derajat Keparahan (Severity Level) Kasus
3.4 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Berkaitan 31
Dengan Reseleksi Diagnosis Dan Pemilihan Kode ICD X dan ICD 9
CM.
BAB IV OBAT-OBATAN NEUROLOGI DALAM FORNAS 34
4.1 Tata Cara Pengusulan Obat Fornas 34
4.2 Alur Pengusulan Obat Fornas 36
4.3 Faktor-faktor yang membuat usulan obat tidak diterima Fornas 38
4.4 Obat-obatan Dalam Fornas Yang Sering Digunakan Di Bidang 39
Neurologi
BAB V POTENSI FRAUD DALAM PELAYANAN NEUROLOGI DI ERA 54
JKN
5.1 Jenis-jenis kecurangan yang kemungkinan dilakukan di FKRTL 54
Seorang tukang ojek mengalami kelemahan separuh badan sebelah kiri mendadak, saat
bangun tidur, disertai bicara pelo dan rasa kebas di area tubuh sebelah kiri. Karena keluhannya
ringan maka dia tidak segera ke rumah sakit tapi beristirahat saja di rumah sambil minum
vitamin, dan berharap siapa tahu dengan beristirahat keluhannya akan membaik sendiri. Setelah
satu hari, keluhan tidak kunjung membaik tapi malah memberat, kekuatan otot tangan dan kaki
semakin melemah dan tidak bisa berjalan, bicarapun semakin tidak jelas. Oleh istrinya, pasien
dibawa ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan dokter dan ditunjang dengan pemeriksaan
pendukung lainnya, pasien didiagnosis stroke penyumbatan. Setelah dirawat beberapa hari,
pasien diperbolehkan pulang meskipun anggota gerak sebelah kiri masih belum bisa pulih dan
pasien belum bisa berjalan. Pasien harus membayar biaya perawatan selama beberapa hari
dirawat di rumah sakit. Karena penghasilan yang pas-pasan, maka istri pasien berhutang kepada
saudara untuk melunasi biaya rumah sakit. Waktu terus berjalan, namun pasien belumbisa
beraktifitas normal, pasien belum bisa bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari
termasuk biaya sekolah anak-anaknya terpaksa dia menjual sepeda motor yang digunakan
untuk ngojek.
Situasi di atas sangat sering kita jumpai di masyarakat. Situasi seperti ini dikenal dengan
istilah catastrophic health expenditure and impoverishment in household, yaitu situasi
bagaimana sebuah rumah tangga menjadi jatuh miskin karena pengeluaran pembiayaan
kesehatan di luar batas pendapatan mereka. Beberapa jurnal baik dalam maupun luar negeri
telah banyakmengulas tentang hal ini, dan angka kejadian tersebut sangat tinggi terutama di
negara-negarayang sedang berkembang dan tidak menerapkan penjaminan kesehatan bagi
warganya.
Pada rumah tangga kaya, walaupun pengeluaran kesehatan mencapai 20% dari pendapatan
mereka atau bahkan lebih, mereka masih memiliki dana cadangan yang cukup untuk tetap
berada di atas level garis kemiskinan. Namun sebaliknya, pada rumah tangga “miskin”/”pas-
pas-an”, ketika mereka mengeluarkan biaya untuk kesehatan maka status mereka langsung
berada di bawah level kemiskinan. Mereka tidak mempunyai dana cadangan yang cukup untuk
mempertahankan rumah tangga mereka agar tetap berada di atas level kemiskinan (gambar 1).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021
Tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
yang merupakan acuan bagi Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Kesehatan dan pihak lain yang terkait mengenai metode pembayaran INA-CBG dalam
pelaksanaan klaim pelayanan Jaminan Kesehatan.
Koding merupakan kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai
dengan ICD-10 versi tahun 2010 serta kode tindakan/prosedur sesuai ICD-9-CM versi tahun 2010 yang
diterbitkan oleh WHO. Kegiatan koding sangat penting pada metode pembayaran INA-CBG karena
akan menentukan besaran yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan yang mengacu pada aturan koding
morbiditas.
Sumber data untuk melakukan kodefikasi berasal dari resume medik/ringkasan pasien pulang
yaitu diagnosis dan tindakan/prosedur, yang mengacu pada berkas rekam medik pasien. Besaran nilai
INA-CBG di pengaruhi oleh diagnosis utama, diagnosis sekunder, dan tindakan/ prosedur. Sehingga
sangat diperlukan ketelitian dan ketepatan dalam penegakannya.
1 3
G – 4 – 14 – I
2 4
Gambar 2 Struktur Grouper INA CBG.
Contoh hasil grouper INA-CBG’s kasus stroke infark
trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat inap.
Keterangan :
1. digit ke-1 (alfabetik) : menggambarkan kode Casemix Main Groups (CMG);
2. digit ke-2 (numerik): menggambarkan tipe kelompok kasus (Case Groups);
3. digit ke-3 (numerik): menggambarkan spesifikasi kelompok kasus;
4. digit ke-4 (romawi): menggambarkan tingkat keparahan (severity level) kelompok kasus.
1. Casemix Main Groups (CMG) : adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan dengan huruf
Alphabet (A sampai Z) yang disesuaikan dengan ICD-10 Versi Tahun 2010 merujuk pada setiap sistem
organ tubuh manusia. Terdapat 29 kode CMG dalam INA-CBG yaitu :
2. Case Group: adalah sub-group kedua yang menunjukkan spesifikasi atau tipe
kelompok kasus, yang dilabelkan dengan angka 1 (satu) sampai dengan 9
(sembilan).
Tabel 2. Case Group dalam INA-CBG
GROUP DESKRIPSI
0 Error
Pada contoh di atas yaitu kasus stroke infark trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat
inap, maka digit kedua dilambangkan angka 4 yang berarti kasus ini secara sistem masuk dalam
kelompok grup rawat inap bukan prosedur (tabel 2, nomor 4).
3. Case Type: adalah sub-group ketiga yang menunjukkan spesifik CBG yang
dilambangkan dengan numerik mulai dari 01 sampai dengan 99.
Pada contoh di atas yaitu kasus stroke infark trombotik tanpa komplikasi yang dilakukan rawat
inap, maka digit keempat dilambangkan angka romawi I yang berarti kasus ini masuk dalam
kelompok kasus dengan severity level I (ringan) (tabel 3, nomor 1).
3.2 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Efektif Dan Efisien.
Salah satu tujuan pemberlakuan model pembayaran prospektif adalah mendorong rumah
sakit dan dokter beserta Profesional Pemberi Asuhan (PPA) lain untuk melakukan pelayanan yang
efektif dan efisien. Pada model pembayaran ini, besaran biaya sudah ditentukan sebelumnya sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 6 tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 52 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam
penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Berapapun sumber daya yang dikeluarkan oleh rumah
sakit, mulai dari jasa pelayanan dan jasa sarana semuanya sudah termasuk dalam paket INA-CBG
tersebut. Jadi model penghitungan biaya sudah tidak lagi berdasarkan satu persatu layanan
kemudian dijumlahkan diakhir pelayanan, namun semua biaya sudah ditentukan di depan
berdasarkan besaran paket INA-CBG.
Berapa kalipun neurolog melakuan visite, melakukan prosedur tindakan, melakukan
Gambar 3. Simulasi grouper INA-CBG pasien dengan diagnosis utama (DU) stroke infark yang dilakukan
prosedur tindakan pemeriksaan laboratorium darah, thorak foto, CT Scan dan MRI kepala.
Gambar 4. Simulasi grouper INA-CBG pasien dengan diagnosis utama stroke infark yang dilakukan
prosedur tindakan pemeriksaan laboratorium darah dan thorak foto.
Dari simulasi kasus di atas bisa dilihat bahwa penambahan prosedur pemeriksaan tidak
akan menambah jumlah paket INA-CBG pada setting pelayanan rawat inap. Sehingga sangat
diharapkan peran neurolog dalam melakukan pelayanan se-efektif dan se-efisien mungkin.
Semua pemeriksaan harus didasarkan pada indikasi medik yang jelas dan memang mejadi
kebutuhan pasien.
Untuk setting rawat jalan terdapat penambahan besaran paket INA-CBG ketika pasien
dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik, Gambar 6 dan 7.
Gambar 6. Pasien rawat jalan dengan DU Nyeri Pinggang (M.54.57) dilakukan pemeriksaan
MRIlumbasakral.
Pada gambar 6, pasien rawat jalan dengan diagnosis utama nyeri pinggang (M.54.57)
kemudiandilakukan pemeriksaan MRI lumbasakral (88.93), maka ketika diinput dalam aplikasi
grouper INA-CBG akan muncul besaran klaim 1.243.900. Apabila hanya dilakukan pemeriksaan
saja tanpa MRI lumboskral, besaran klimnya adalah 377.000 (rawat jalan, regional I, Jawa
Timur, RS Pemerintah kelas A).
Sedangkan pada gambar 7, pasien rawat jalan dengan diagnosis utama epilepsi (G40.9)
kemudian dilakukan pemeriksaan EEG (89.14), maka ketika diinput dalam aplikasi grouper
INA-CBG akan muncul besaran klaim 557.800. Apabila hanya dilakukan pemeriksaan saja tanpa
pemeriksaan EEG, besaran klaimnya adalah 377.000 (rawat jalan, regional I, Jawa Timur, RS
Pemerintah kelas A).
3.3 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Menyesuaikan Dengan Derajat
Keparahan (Severity Level) Kasus.
Selama melakukan perawatan pasien, bisa saja terjadi komplikasi atau komorbiditas lain
yang memerlukan perawatan atau pengobatan khusus. Pada kondisi seperti ini maka sistem
grouper INA-CBG mengakomodir dalam kode severity level. Seringkali para neurolog kurang
menyadari bahwa ada beberapa kondisi khusus yang bisa menaikkan besaran paket INA-CBG
namun tidak ditulis scara lengkap di rekam medik, padahal kondisi tersebut memang benar-benar
ada dan dilakukan terapi spesifik.
Apabila diagnosis sekunder hemiplegi kita inputkan, maka besaran paket INA-CBG
meningkat menjadi 10.009.100 dengan deskripsi kode severity level menunjukkan angka romawi
II(sedang) (gambar 9).
Gambar 9 : Simulasi pasien dengan DU stroke perdarahan intraserebral dan diagnosis sekunder (DS) hemiplegi
Gambar 10 : Simulasi pasien dengan diagnosis utama stroke perdarahan intraserebral, diagnosis sekunder
hemiplegi dan pneumonia
Sedangkan untuk diagnosis pneumonia sebagai data dukung adalah adanya anamnesis batuk,
panas, dari pemeriksaan fisik didapatkan ronki dan pemeriksaan penunjang X-Ray foto thorak
didapatkan gambaran pneumonia.
Contoh kondisi lain yang sering kita dapatkan selama merawat pasien yang dapat
meningkatkan severity level adalah : edema cerebri, hemiplegi, hyponatremia, hipokalemia, kejang,
bronkopnemonia,sepsis dan lain-lain (tabel 5).
3.4 Implementasi INA-CBG Dalam Pelayanan Neurologi Yang Berkaitan Dengan Reseleksi
Diagnosis Dan Pemilihan Kode ICD X dan ICD 9 CM.
Contoh kasus yang harus mendapat perhatian tentang penempatan diagnosis primer atau
sekunder adalah sebagai berikut : pada kasus stroke rawat jalan, sesuai kaidah yang berlaku maka
sebagai diagnosis utama adalah Z09.8 (Follow-up exam after other treatment for other conditions)
sedangkan stroke infark (I63.3) sebagai diagnosis sekunder. Seperti dilihat digambar 12 dan 13, apabila
stroke infark dijadikan diagnosis utama besaran klaim adalah 160.000, tapi bila diagnosis utama adalah
Z09.8 maka besaran klaimnya adalah 337.000.
Gambar 12. Grouper INA-CBG pasien stroke infark rawat jalan dengan diagnosis utama I63.3 (Cerebral
infarction due to thrombosis of cerebral arteries)
Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat
adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi. Akses terhadap obat
terutama obat esensial merupakan salah satu hak azasi manusia. Dengan demikian penyediaan obat
esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayanan Kesehatan publik baik
pemerintah maupun swasta.
Sesuai dengan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah
menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat, dan
didalam UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) yang dielaborasi
dalam Peraturan Presiden 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menyatakan bahwa
pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai untuk Peserta Jaminan Kesehatan pada
fasilitas kesehatan berpedoman pada daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai yang
ditetapkan oleh Menteri. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan perlu
menjamin aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah
yang cukup; bahwa dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional perlu disusun daftar obat
dalam bentuk Formularium Nasional;
Sebagai upaya dalam menyesuaikan kemajuan ilmu pengetahuan, memberikan ruang perbaikan
dan meningkatkan kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan obat kepada pasien, maka disusun
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas) yang direvisi secara
berkala.
Obat yang diusulkan harus sesuai dengan kriteria pemilihan obat sebagai berikut:
1. Memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih.
2. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien.
3. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM.
4. Obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tetapi belum memiliki izin
edar, termasuk obat piatu (orphan drug) serta yang tidak mempunyai nilai komersial.
5. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tinggi.
6. Bukan obat tradisional dan suplemen makanan.
Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada
obat yang memiliki kriteria berikut.
1. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah.
2. Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan.
3. Stabilitasnya lebih baik.
4. Mudah diperoleh.
5. Harga terjangkau.
6. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut:
a. Obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap.
b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen.
c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk
sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
Perdossi Cabang
Website
Perdosni
POKDI TERKAIT
Komite FORNAS
Catatan:
Pengusulan melalui organisasi profesi adalah yang terbaik, karena melalui proses seleksi yang
komprehensif di Pokdi dan di tim JKN PP Perdossi. Tim JKN PP Perdossi juga mengawal usulan obat
tersebut dalam rapat-rapat komite Fornas yang diharapkan lebih tajam diskusinya.
Tabel 6. Daftar obat Fornas 2021yang sering digunakan pada kasus Neurologi
- Meropenem hanya
dilanjutkan
apabila hasil kultur
yang diambil dari
tempat yang
dicurigai sebagai
sumber infeksi
menunjukkan
bahwa bakteri
penyebab hanya
sensitif terhadap
meropenem.
2 Metronidazol tab 250 dan 500 Maksimaum 2
mg minggu kecuali
pada abses hepar,
paru, otak sesui
kebutuhan
3 Metronidazole infus 5 mg/ml 3 btl/hari
Pirimetamin tab 25 mg Dalam bentuk kombinasi dengan
sulfadiazin atau klindamisin dan
leukovorin untuk toksoplasmosis
serebral/retinitis pada pasien
Jika tidak
Untuk trofoblastik
ganas: 30 mg/hari
selama 5 hari.
2 Metroteksat inj. 2,5 mg/mL Untuk trofoblastik Untuk penggunaan intratekal, hanya Faskes 3
ganas: 12.000 boleh digunakan sediaan preservative
mg/m²/hari. free.
Metastatik tulang.
3 Dinatrium klodronat inj. 60 Dosis kumulatif Untuk hiperkalsemia akibat Faskes 3
mg/mL maks 1.500 mg/hari keganasan.
selama 5 hari.
Metastatik tulang
10. ANTIPARKINSON
1 Levodopa-karbidopa- 90 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi
entacapone FDC (Fixed Dose
Combination)
2 Pramipeksol 0,125 mg 60 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi,
3 Pramipeksol lepas lambat 0,375 30 tab/bulan dapat diberikan pada restless leg
dan 0,750 mg syndrome
4 Ropinirole tab lepas 30 tab/bulan Hanya diresepkan oleh Sp. Neurologi,
lambat2,4,8 mg dapat diberikan pada restless leg
syndrome
5 Triheksilphenydil 2 mg 90 tab/bulan
10. OBAT yang MEMENGARUHI DARAH
10.1. Antianemia
1 Asam folat tab 0,4, 1 dan 5 mg
2 sianokobalamin (vitamin B12)
tab 50 mcg
3 sianokobalamin (vitamin B12)
inj. 500 mcg/mL
10.2 Obat yang mempengaruhi koagulasi
1 Asam traneksamat tab 500 mg, Untuk perdarahan masif atau
injeksi 50 mg/ml dan 100 berpotensi perdarahan > 600 cc.
mg/ml
2 dabigatran eteksilat 75 mg dan 30 tab/bulan Untuk pencegahan VTE (Venous
110 mg Thrombo Embolism) pada hip dan
knee replacement
3 enoksaparin sodium inj 10.000 2 vial/hari Dapat digunakan untuk
IU/mL tromboemboli dan sindrom koroner
akut serta pencegahan clotting pada
hemodialisis, pada bedridden post
Catatan : bila tidak didapatkan catatan khusus maka obat tersedia di faskes tingkat 2 dan tingkat 3.
Istilah Fraud digunakan untuk menggambarkan bentuk kecurangan yang tidak hanya berupa
korupsi tetapi juga mencakup penyalahgunaan aset dan pemalsuan pernyataan. Fraud dalam sektor
kesehatan dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS
Kesehatan, penyedia layanan Kesehatan (termasuk dokter), BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan
alat kesehatan. Uniknya masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling
mencurangi satu sama lain.
Fraud menyebabkan kerugian finansial negara. Di seluruh Indonesia, data yang dilansir KPK
menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi Fraud dari 175.774 klaim Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari
aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat. Nilai ini mungkin
saja belum total mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana.
Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, mendorong pemerintah menerbitkan permenkes
No. 36 tahun 2015 tentang pencegahan kecurangan (Fraud) dalam program jaminan kesehatan nasional
(JKN). Dimana permenkes ini dalam perjalanannya digantikan dengan Permenkes nomor 16 tahun
2019 tentang pencegahan dan pengenaan sangsi administrasi terhadap pelaku fraud. Kita sebagai
dokter spesialis neurologi yang setiap hari melayani pasien JKN, akan sangat rentan dengan Fraud ini,
baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Hal ini karena pengetahuan dan pemahaman kita yang
kurang terkait fraud ini.
Kecurangan (fraud) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan
keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui
perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Permenkes
16/2019). Tenaga Kesehatan di FKRTL adalah tenaga Kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan yang melakukan pelayanan perorangan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan
khusus.
5.1 Jenis-jenis kecurangan yang kemungkinan dilakukan di FKRTL adalah :
1. Memanipulasi diagnosis dan/atau Tindakan
Memanipulasi diagnosis dan/atau tindakan merupakan tindakan yang dilakukan untuk
meningkatkan besaran klaim dengan cara memalsukan diagnosis dan/atau tindakan medik
seperti:
Pasien B berkunjung ke poli neurologi pada 2 Januari 2021 dan dilakukan pemeriksan
EEG yang hasilnya jadi tanggal 3 Januari 2021. Selanjutnya pasien datang lagi
untuk konsultasi dokter terkait hasil penunjangnya tersebut pada tangga; 4 Januari
2022. Maka episode pelayanan pasien B tersebut adalah 2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama tanggal 2 dan 3 Januari 2021 terdiri dari konsultasi dokter
dan pemeriksaan penunjang EEG
2) Episode kedua adalah tangga;l 4 Januaro 2021 untuk konsultasi dokter
dengan membawa hasil penunjang EEG yang dilakukan tanggal 3 Januari
2021.
4. Contoh D ;
Pasien D datang ke polilinik neurologi tanggal 2 Januari 2021 dan diminta periksa EEG,
namun tidak bisa langsung dikerjakan karena harus persiapan dulu. Pasien datang
Pasien E (pasien lama) datang ke poliklinik neurologi pada tanggal 9 Februari 2021
untuk dilaksanakan pemeriksaan EMG. Pada tanggal 10 Februari 2021 pasien
datang kembali untuk konsultasi ke dokter terkait hasil EMG yang dilakukan
tanggal 9 Februari 2021 tersebut. Maka episode pelayanan pasien E ini adalah 1
(satu) episode saja yaitu tanggal 10 Februari 2021 yang terdiri dari pemeriksaan
penunjang (EMG) dan konsultasi dokter.
Pasien F datang ke poliklinik neurologi berobat ke dokter A spesialis neuro pada tanggal
2 Januari 2021, kemudian tanggal 3 Januari 2021 datang Kembali ke rumahsakit dan
berobat ke poliklinik jantung dan bertemu dr J. Maka episode pasien F tersebut adalah
2 (dua) episode, yaitu:
1) Episode pertama tanggal 2 Januari 2021 untuk konsultasi dr A
2) Episode kedua tanggal 3 Januari 2021 untuk konsultasi dr J.
Pemecahan episode pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medik (services
unbundling or fragmentation) merupakan klaim atas dua atau lebih diagnosis dan/atau
prosedur yang seharusnya menjadi satu paket pelayanan dalam episode yang sama, seperti:
a. Pemberi pelayanan kesehatan mengirimkan tagihan terpisah dari diagnosis yang sama
tetapi hasil pemeriksaan penunjang atau laboratorium yang sebenarnya dapat
digabungkan menjadi terpisah menjadi 3 atau 4 pengajuan padahal dapat digabungkan
menjadi satu grup dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan lebih. Misalnya
pemeriksaan profil lipid yang seharusnya bisa memeriksa kadar kolesterol total dan
trigliserida, ini dipecah menjadi dua episode.
b. Menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan
bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai klaim lebih besar
pada satu episode perawatan pasien. Misalnya pemeriksaan Carotis dupleks dilakukan
penagihan dua kali atau lebih untuk karotis kanan dan karotis kiri terpisah, dimana
seharusnya menjadi satu episode.
c. Tindakan operasi lebih dari satu diagnosis penyakit yang dapat dilaksanakan dalam satu
tindakan namun dilakukan tindakan lebih dari satu dan diklaim terpisah dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan. Misalnya pasien Cervical Root Syndrome dengan
Fascitis plantaris, dilakukan injeksi blok cervical dan injeksi steroid peritendon fascia
plantaris yang diklaimkan secara terpisah.
7. Rujukan semu (self-referals);
Rujukan semu (self-referals) merupakan klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke
rumah sakit tertentu atau ke dokter yang sama di Fasilitas Kesehatan lain kecuali
dengan alasan keterbatasan fasilitas, seperti:
a. Pasien masuk dengan kasus rencana akan tindakan medik tertentu tetapi dokter tidak
mau melakukan tindakan di rumah sakit tersebut karena jasa tindakan yang didapatkan
sedikit sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit tertentu dimana dokter juga bekerja di
rumah sakit tersebut dengan jasa Tindakan yang lebih besar.
b. Melakukan rujukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien ke rumah sakit
dimana dokter itu berdinas.
8. Tagihan atau klaim berulang (repeat billing);
Tagihan atau klaim berulang (repeat billing) merupakan klaim yang diulang pada kasus
yang sama, seperti: Tagihan yang sudah pernah ditagihkan dan dibayarkan tetapi ditagihkan
Menurut WHO, sistem rujukan adalah proses dimana fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) yang memiliki sumberdaya terbatas (obat, peralatan, kemampuan, dan lain-lain)
melakukan pencarian bantuan kepada fasyankes lain yang memiliki sumberdaya tertentu pada
level yang sama atau di atasnya.
Dalam Permenkes nomor 1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan disebutkan bahwa sistem rujukan vertikal dilakukan bila pasien membutuhkan
pelayanan spesialistik atau subspesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan tersebut karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan. Sedangkan
rujukan horizontal dilakukan bila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan ketenagaan baik yang
sifatnya sementara atau menetap.
Sedangkan rujukan online (berjenjang) Jaminan Kesehatan Nasional adalah digitalisasi
proses rujukan berjenjang untuk kemudahan dan memberikan kepastian kepada peserta dalam
memperoleh layanan di rumah sakit yang sesuai dengan kompetensi, jarak dan kapasitas rumah
sakit tujuan rujukan berdasarkan kebutuhan medik pasien yang terintegrasi dan terkoneksi
melalui sistem aplikasi digital.
Dahulu, kita masih sering mendapatkan hal seperti berikut ini di lapangan yaitu :
pertama, seringnya didapatkan pelaksanaan rujukan di daerah yang didasarkan pada Peraturan
Daerah masing-masing, peserta yang tinggal di daerah perbatasan tidak dapat mengakses
fasyankes terdekat apabila tidak sesuai dengan peraturan Pemerintah Daerah setempat; kedua,
peserta yang dirujuk ke fasilitas penerima rujukan tidak mendapatkan pelayanan yang
dibutuhkan akibat keterbatasan informasi terkait kebutuhan medik, sarana prasarana, dan
sumber daya manusia (SDM) sehingga menyebabkan peserta harus kembali dirujuk ke
fasyankes lainnya; ketiga, antrian yang menumpuk di rumah sakit akibat menjadi tumpuan
rujukan di suatu daerah; dan keempat, belum adanya sistem informasi yang dapat mengatur
pelaksanaan rujukan secara online dan real time.
Atas dasar itulah program rujukan online berjenjang ini dilaksanakan dan wajib
dipahami oleh kita para spesialis saraf sehingga pelayanan bisa lebih efektif dan efisien.
Gambar 23 Disain Integrasi Sistem antar Fasyankes yang terhubung dengan aplikasi P-care, HFIS,
dan V-claim.
Rujukan online bersifat real time dari FKTP ke FKRTL, serta menggunakan digital
documentation. Data dari P-Care di FKTP langsung terkoneksi ke FKRTL sehingga
memudahkan analisis data calon pasien.
BPJS menerapkan dua mekanisme rujukan yaitu mapping dan kapasitas. Mapping
dilakukan agar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bisa merencanakan
untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang dituju sehingga terdapat distribusi secara merata dan
tidak terjadi penumpukan.
Sedangkan kapasitas dimaksudkan agar pasien mengetahui jumlah pelayanan kesehatan
dan kompetensi pelayanan kesehatan seperti ketersediaan poliklinik, alat kesehatan dan dokter
sehingga pasien dapat dirujuk dengan tepat dan maksimal. Untuk itu fasyankes harus memiliki
informasi terkait rumah sakit yang menjadi rujukan sehingga pasien mendapat kepastian
rujukan.
Selain itu, mapping juga bertujuan untuk pemerataan layanan fasyankes untuk
memberikan pelayanan optimal kepada para pasien yang menjadi peserta JKN sehingga pihak
fasyankes dapat fokus memberikan layanan kesehatan kepada para pasien dan tenaga kesehatan
dapat bekerja secara optimal.
Contoh Kasus :
Seorang wanita dengan keluhan utama nyeri pinggang menjalar ke tungkai kiri. Pasien
tersebut berobat ke FKTP di suatu daerah di Jawa Timur. Karena dari assessment medik di
FKTP pasien membutuhkan layanan spesialistik maka oleh dokter di FKTP pasien tersebut
dilakukan rujukan ke FKRTL untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut, namun karena pasien
juga membutuhkan tatalaksana lebih khusus lagi maka dari FKRTL dirujuk lagi ke layanan
subspesialistik yang berada FKRTL tingkat III.
Gambar 27 Menu aplikasi P-Care di FKTP; data dasar, diagnosis dan status pulang pasien
“akan dirujuk” karena membutuhkan layanan spesialis.
2. Setelah klik “cari rujukan”, akan tampil menu Pencarian Fasilitas Kesehatan Rujukan,
karena yang dibutuhkan adalah SDM (spesialis) maka klik “Rujukan Vertikal”.
Gambar 28 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan merujuk vertikal dengan
mencari spesialis
Gambar 29 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan menu rujukan vertikal
karena adanya 9 kondisi khusus.
3. Sebagai tambahan, pasien bisa juga dirujuk vertikal dari FKTP ke FKRTL karena
kondisi khusus, di dashboard akan tampil menu kondisi khusus tersebut (ada 9 kondisi
khusus). Ketika FKTP memilih menu ini maka selanjutnya akan tampil fasyankes
disekitar FKTP yang memiliki layanan yang dimaksud (gambar 29).
Gambar 30 Menu aplikasi P-Care di FKTP yang menunjukkan pilihan menu rujukan vertikal
karena pasien membutuhkan layanan spesialistik, tanggal yang diinginkan pasien, dan Fasyankes
yang sesuai dengan kebutuhan pasien tampil monitor P-care lengkap dengan keterangan lainnya
(alamat, no telpon, jarak dari FKTP, kapasitas klinik, jumlah pasien yang sudah mengantri, dan
jadwal praktek dokter spesialis yang dimaksud).
6. Sesuai rencana, pasien berkunjung ke klinik spesialis saraf di RS Glia Husada pada
tanggal 01-08-2019 jam 16.00 WIB. Di klinik ini pasien dilakukan pemeriksaan oleh
dokter spesialis saraf dan ternyata dari assessment dokter spesialis, pasien perlu dirujuk
Gambar 31 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu rujukan vertikal karena adanya kebutuhan layanan pasien yang lebih (di FKRTL
tingkat II tidak ada), beserta tanggal kunjungan pasien di poli tersebut.
7. Dokter spesialis saraf di RS Glia Husada meminta kepada petugas administrasi klinik
untuk mengisi form rujukan pasien ke FKRTL tingkat III, pilih “spesialis SARAF”
kemudian lanjutkan pilih salah satu divisi/subspesialis dari 11 divisi/subspesialis yang
tampil di menu tersebut. Dipilih divisi/subspesialis “Neuromuskuler dan Saraf Tepi”
karena pilihan subspesialis Nyeri (yang seharusnya) belum tampil di aplikasi V-claim.
Kemudian pilih rencana tanggal rencana berkunjung pasien ke FKRTL tingkat III
(tanggal 05-08-2019). Kemudian klik “Neuromuskuler dan Saraf Tepi” (gambar 32).
Gambar 33 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL tingkat II yang menunjukkan
pilihan menu rujukan vertikal ke layanan SUB SPESIALIS, PPK/FKRTL tingkat III tujuan rujukan
(RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG) dan beserta rencana tanggal kunjungan pasien di
klinik SUB SPESIALIS tersebut.
8. Setelah di klik, subspesialis maka akan tampil di dashboard v-claim “Jadwal Praktek
dan Sarana Rumah Sakit Rujukan”. Untuk rujukan ke FKRTL tingkat III karena
pilihannya tidak banyak, maka rumah sakit tertuju bisa diisi secara manual. Maka
diinputlah RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG, pilih tanggal rencana
Gambar 34 Dashboard aplikasi virtual claim (V-claim) di FKRTL yang menunjukkan pilihan
menu rujukan vertikal ke layanan SUB SPESIALIS, PPK/FKRTL tingkat III tujuan rujukan
(RSUD DR SAIFUL ANWAR KOTA MALANG) dan beserta rencana tanggal kunjungan pasien
di klinik sub spesialis yang dimaksud yaitu Neuromuskuler dan Saraf Tepi beserta kapasitas,
antrian pasien dan lain-lain.
10. Setelah data diinput lengkap, klik “simpan”, dan surat rujukan yang menjadi syarat
pasien bisa dirujuk/diterima ke/di FKRTL tingkat III (RSUD DR SAIFUL ANWAR
KOTA MALANG) sudah terpenuhi. Kemudian surat rujukan bisa dicetak (Gambar 36)
I66 Oklusi dan stenosis arteri serebralis, tidak menyebabkan infark serebri
Termasuk: embolisme, penyempitan, obstruksi (komplit)(parsial) atau trombosis,
pada aa. serebrales media, anterior, dan posterior, serta aa. serebellares,
yang tidak menyebabkan infark serebri
Kecuali: kalau menyebabkan infark serebri (I63.-)
I66.0 Oklusi dan stenosis a. serebralis media
I66.1 Oklusi dan stenosis a. serebralis anterior
I66.2 Oklusi dan stenosis a. serebralis posterior
I66.3 Oklusi dan stenosis aa. serebellares
I66.4 Oklusi dan stenosis arteri otak ganda dan bilateral
I66.8 Oklusi dan stenosis arteri otak lain
Oklusi dan stenosis arteriae perforans
I66.9 Oklusi dan stenosis arteri otak yang tak dijelaskan
Neoplasma ganas yang dinyatakan atau dianggap primer, pada tempat yang
dijelaskan, selain neoplasma jaringan limfoid, hematopoietik dan yang
berhubungan
C70 Neoplasma ganas meningen
C70.0 Meningen otak
C70.1 Meningen spinalis
C70.9 Meningen, tidak dijelaskan
C71 Neoplasma ganas otak
Kecuali: nervi kraniales (C72.2-C72.5)
jaringan retrobulbar (C69.6)
C71.0 Serebrum, selain lobus dan ventrikel
Corpus callosum; supratentorium NOS
C71.1 Lobus frontalis
C71.2 Lobus temporalis
C71.3 Lobus parietalis
C71.4 Lobus oksipitalis
C71.5 Ventrikel otak
Kecuali: ventrikel IV (C71.7)
C71.6 Serebellum
C71.7 Batang otak; ventrikel IV; infratentorium NOS
C71.8 Lesi overlap pada otak
C71.9 Otak, tidak dijelaskan
C72 Neoplasma ganas medulla spinalis, nervi craniales dan bagian lain SSP
Kecuali: meningen (C70.-)
syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (C47.-)
C72.0 Medulla spinalis
C72.1 Cauda equina
D33 Neoplasma jinak otak dan bagian lain sistem syaraf pusat
Kecuali: angioma (D18.0), meningen (D32.-), syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (D36.1),
jaringan retro-okuler (D31.6)
D33.0 Supratentorium otak
Ventrikel otak, serebrum, lobus frontalis, oksipitalis, parietalis, temporalis
Kecuali: ventrikel IV (D33.1)
D33.1 Infratentorium otak: batang otak, serebelum, ventrikel IV
D33.2 Otak, tidak dijelaskan
D33.3 Nervi craniales; bulbus olfaktorius
D33.4 Medulla spinalis
D33.7 Bagian lain sistem syaraf pusat yang dijelaskan
D33.9 Sistem syaraf pusat, tidak dijelaskan; sistem syaraf (pusat) NOS
D35 Neoplasma jinak kelenjar endokrin lain dan yang tidak dijelaskan
Kecuali: pankreas endokrin (D13.7), ovarium (D27), testis (D29.2), thymus (D15.0)
D35.0 Kelenjar adrenal
D35.1 Kelenjar parathyroid
D35.2 Kelenjar pituitary
D35.3 Duktus kraniofarings
D35.4 Kelenjar pineal
D35.5 Carotid body
D35.6 Aortic body dan paraganglia lain
D35.7 Kelenjar endokrin lain yang dijelaskan
D43 Neoplasma dengan sifat tak jelas atau tak diketahui pada otak dan SSP
Kecuali: syaraf perifer dan sistem syaraf otonom (D48.2)
D43.0 Supratentorium otak:
Ventrikel serebri, serebrum, lobus frontal, oksipital, parietal, temporal
Kecuali: ventrikel IV (D43.1)
D43.1 Infratentorium otak: batang otak, serebellum, ventrikel IV
D43.2 Otak, tidak dijelaskan
D43.3 Nervi kraniales
D43.4 Medulla spinalis
D43.7 Bagian lain sistem syaraf pusat
D43.9 Sistem syaraf pusat, tidak dijelaskan; sistem syaraf (pusat) NOS
Blok ini berisi kelompok kelainan jiwa akibat penyakit otak, kerusakan otak, atau keadaan lain
yang merusak fungsi otak. Kerusakan fungsi ini bisa primer atau sekunder. Kelainan primer disebabkan
oleh keadaan yang secara langsung dan selektif mengganggu otak; sedangkan kelainan sekunder adalah
pada penyakit yang melibatkan otak sebagai salah satu dari berbagai sistem atau organ tubuh yang
diserangnya.
Dementia (F00-F03) adalah sindroma kekacauan fungsi tinggi korteks seperti daya ingat,
belajar, berpikir, orientasi, memahami, menghitung, dan memutuskan. Kesadaran tidak terganggu.
Biasanya terdapat kerusakan fungsi kognitif (pengenalan), yang kadang-kadang didahului oleh
memburuknya kontrol emosi, tingkah-laku sosial, atau motivasi. Sindroma ini terjadi pada (1) penyakit
Alzheimer, yaitu penyakit degenerasi primer otak yang penyebabnya tidak jelas; (2) penyakit pembuluh
darah otak yang menimbulkan infark otak, dan (3) keadaan lain yang mengganggu otak.
Excludes: dementia senilis (tua) dengan delirium atau kebingungan akut (F05.1)
senility NOS (R54)
F04 Amnesia organik, bukan akibat alkohol atau zat psikoaktif lain
Amnesia adalah kegagalan ingatan baru dan lama, tapi ingatan terbaru masih ada. Kesanggupan
belajar menurun dan orientasi waktu terganggu.
Includes: Psikosis atau sindroma Korsakov, non-alkoholik
F05 Delirium, bukan akibat alkohol atau zat psikoaktif lain
Sindroma otak organik yang khas dengan kacaunya kesadaran, perhatian, persepsi, pikiran,
ingatan, sikap motorik, emosi, dan jadwal tidur. Lamanya dan tingkatnya bervariasi.
Includes: sindroma otak, bingung (nonalcoholic), psikosis akibat infeksi, reaksi organik, sindroma
psiko-organik akut atau subakut
F05.0 tidak menyertai dementia
F05.1 menyertai dementia
F05.8 jenis lain
F06 Kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan
Disni termasuk kondisi minor yang berhubungan dengan kelainan otak, baik penyakit otak
primer, penyakit sistemik, zat-zat eksogen, kelainan endokrin, atau penyakit badan lain.
F06.0 halusinosis organik – diikuti banyak halusinasi
F06.1 kelainan katatonik organik – aktifitas psikomotor terganggu
F06.2 kelainan waham organik
F06.3 kelainan alam perasaan organik
F06.4 kelainan anxiety organik – banyak kecemasan atau panik
F06.5 kelainan disosiasi organik – integrasi memori, identitas, dan gerakan putus
F06.6 kelainan emosi labil [asthenic] organik
F06.7 kelainan kognitif ringan
F06.8 kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan, jenis lainnya
F06.9 kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak atau penyakit badan, yang tidak dijelaskan
Spondilopathi (M45-M49)
M45 Ankylosing spondylitis
[Lihat kode situs sebelum M40]
Arthritis rheumatoid vertebra
Kecuali: arthropati pada penyakit Reiter (M02.3)
spondylitis (ankylosing) remaja (M08.1)
penyakit Behçet (M35.2)
M47 Spondylosis
[Lihat kode situs sebelum M40]
M54 Dorsalgia
Kecuali: dorsalgia psikogenik (F45.4)
M54.0 Panniculitis yang mengganggu regio leher dan punggung
Kecuali: panniculitis: lupus (L93.2)
relapsing (M35.6)
NOS (M79.3)
M54.1 Radikulopati
Neuritis atau radiculitis:
- brakialis NOS
- lumbalis NOS
- lumbosakralis NOS
- torakalis NOS
Radikulitis NOS
Subdivisi berikut disediakan untuk karakter tambahan, kalau penggunaan kode ganda untuk
identifikasi fraktur dan luka terbuka tidak mungkin atau tidak diinginkan. Fraktur yang tidak jelas
tertutup atau terbuka hendaknya diklasifikasikan sebagai terbuka.
0 closed 1 open
Untuk kode utama fraktur tengkorak dan tulang muka dengan cedera intrakranial yang terkait,
rujuk aturan dan pedoman pengodean morbiditas dan mortalitas pada Volume 2.
S02.0 Fraktur atap tengkorak
Fraktur os. frontalis, os. parietal
Kecuali: cedera permukaan kelopak (S00.1-S00.2), luka terbuka kelopak dan area periokuler (S01.1),
fraktur tulang orbita (S02.1, S02.3, S02.8), cedera: nn. optikus [II] (S04.0), okulomotorius
[III] (S04.1)
S05.0 Cedera konjungtiva dan abrasi kornea tanpa disebut benda asing
Kecuali: benda asing dalam: sakkus konjungtiva (T15.1), kornea (T15.0)
S05.1 Kontusio bola mata dan jaringan orbita
Hifema traumatika [hifema = perdarahan ke dalam ruang anterior mata]
Kecuali: black eye (S00.1), kontusio kelopak dan area periokuler (S00.1)
S05.2 Laserasi dan ruptur okuler dengan prolaps atau hilangnya jaringan intraokuli
S05.3 Laserasi okuler tanpa prolaps atau hilangnya jaringan intraokuli
Laserasi mata NOS
S05.4 Luka tembus orbita dengan atau tanpa benda asing
Kecuali: benda asing (lama) yang tertahan setelah luka tembus orbita (H05.5)
S05.5 Luka tembus bola mata dengan benda asing
Kecuali: benda asing ditraokuli (lama) tertahan (H44.6-H44.7)
S05.6 Luka tembus bola mata tanpa benda asing
Penetrasi okuli NOS
S05.7 Avulsi mata
Enukleasi traumatika
S05.8 Cedera lain pada mata dan orbita
Cedera duktus lakrimalis
S05.9 Cedera mata dan orbita, bagian tidak dijelaskan
Subdivisi berikut disediakan untuk karakter tambahan kalau penggunaan kode ganda untuk
identifikasi cedera dan luka terbuka intrakranium tidak mungkin atau tidak diinginkan.
0 tanpa luka terbuka intrakranium
1 dengan luka terbuka intrakranium
Untuk kode utama pada cedera intrakranium dengan fraktur yang terkait, kode utama harus
pada fraktur intrakranium(S02.-)
S06.0 Konkusio
Commotio cerebri
S06.1 Edema traumatika otak
S06.2 Cedera diffus otak
Kontusio otak NOS, laserasi otak NOS, kompresi traumatika otak NOS
S06.3 Cedera otak pada fokus
Kontusio dan laserasi serebri, perdarahan intraserebri traumatika: pada fokus
S06.4 Perdarahan epidura
Perdarahan extradura (traumatika)
S06.5 Perdarahan traumatika subdura
S06.6 Perdarahan traumatika subarakhnoid
S06.7 Cedera intrakranium dengan koma berlangsung lama
S06.8 Cedera intrakranium lainnya
Perdarahan traumatika: serebellum, intrakranium NOS
S06.9 Cedera intrakranium, tidak dijelaskan
Cedera otak NOS
Kecuali: cedera kepala NOS (S09.9)
S74.0 Cedera sciatic nerve [n. iskiadikus] pada level panggul dan paha
S74.1 Cedera n. femoralis pada level panggul dan paha
S74.2 Cedera syaraf sensoris kulit pada level panggul dan paha
S74.7 Cedera syaraf ganda pada level panggul dan paha
S74.8 Cedera syaraf lain pada level panggul dan paha
S74.9 Cedera syaraf yang tidak dijelaskan pada level panggul dan paha
1. Kami kesulitan pengodean epilepsi karena di RS kami belum ada EEG, apakah ada PPK atau
aturan dari PERDOSSI yang menjelaskan diagnosis epilepsi atau suspek epilepsi tidak diwajibkan
melampirkan pemeriksaan EEG.
a. Pemeriksaan EEG tidak menjadi syarat mutlak dalam menentukan diagnosis epilepsi
karena EEG hanyalah merupakan alat untuk membantu menunjang diagnosis. DPJP
dapat membuat justifikasi dengan memberikan alasan ilmiah bahkan perlu memasukkan
data/sumber pendukung (seperti jurnal ilmah) sehingga bisa menjadidasar bagi BPJS
atau Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) untuk bisa memahami akan keadaan
tersebut dan bisa menjadikan dasar pembayaran klaim.
b. Bila kita merujuk pada Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun
2020 halaman 45 no 60 berbunyi : “Untuk pasien epilepsi kejang berulang minimal dua
kali dengan pola yang sama dan dibuktikan dengan hasil EEG yang abnormal. Pada
penegakan kasus epilepsi harus dengan EEG”. Maka diagnosis epilepsy harus dengan
EEG.
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan Tim KMKB rumah sakit
atau cabang atau verifikator BPJS Cabang.
2. Untuk diagnosis ensefalopati, ini sering dikembalikan oleh BPJS karena harus dilakukan CT Scan,
dan DPJP tidak semuanya melakukan pemeriksaan CT scan, apakah ada anjuran lain dok?
Bisa dibuat justifikasi dari DPJP alasan-alasan pasien tersebut tidak memungkinkan
untuk dilakukan CT-Scan kepala seperti keadaan umum tidak stabil, pasien gelisah, dll.
3. Dan untuk hemiplegi diwajibkan ada tindakan exercise dari BPJS, apakah ada acuan selain
tindakan tsb?
a. Salah satu data dukung yang dibutuhkan untuk proses klaim atas diagnosis yang dibuat
adalah adanya tatalaksana spesifik terhadap diagnosis tersebut. Fisioterapi adalah salah
satu tatalaksana spesifik terhadap hemiparese/hemiplegi.
b. Menurut Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
39 no 20 : “Tidak semua kasus stroke disertai dengan hemiplegi/hemiparese. Untuk
pasien dengan hemiplegi dirawat inap ada tindakan fisioterapi”. Data dukung lain yaitu
4. Mohon pencerahan untuk coding stroke perdarahan, karena sering pada stroke perdarahan kami
sering diingatkan karena klaim sudah melebihi. Terima kasih
Memang besaran paket INA-CBG untuk Stroke perdarahan relatif kecil bila dibandingkan
dengan billing rumah sakit. Mohon dituliskan diagnosis sekunder yang ada sehingga severity
level menjadi naik. Diagnosis sekunder yang sering didapatkan adalah sebagai berikut :
edema cerebri, kejang, hemiplegi/hemiparese, hiponatremi, hipokalemi, pneumonia, sepsis
dan lain-lain. Tentu saja diagnosis sekunder tersebut harus dilengkapi dengan data dukung
dan tatalaksana yang spesifik.
Contoh : edema cerebri non traumatik (G93.6) harus dibuktikan dengan CT scan dan ada
tatalaksana spesifik terhadap edema tersebut (seperti manitol atau NaCl 3%).
5. Apakah untuk klaim Stroke non hemorthagik/iskemik diwajibkan hasil CT scannya tertera ada
infark? pengalaman dari RS kami menemui kesulitan klaim karena bacaan normal/belum tarmpak
infark, padahal klinis sudah jelas stroke. Trims
a. Tidak wajib hasil bacanya adalah infark, karena dalam waktu <96 jam kadang kala
infarknya belum bisa terlihat. (bisa diperkuat dengan justifikasi yang dibuat oleh DPJP
dengan melampirkan jurnal atau kajian ilmiah).
b. Menurut Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
14 no 74 disebutkan : “Hasil imaging (contoh CT scan) diperhatikan untuk penegakkan
tambahan jenis stroke haemorrhagic atau non haemorrhagic. Kode I63.- jika hasil
pemeriksaan CT Scan (+) infark).
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan Tim KMKB rumah sakit
atau cabang atau verifikator BPJS Cabang.
6. Pemeriksaan kognitif dengan MMSE atau MoCA Ina apakah bisa dikaim/dikoding? Dan apakah
bisa diklaim oleh semua tipe RS atau hanya di RS tipe A atau B yg ada poli Neurobehavior?
a. Kode pemeriksaan MMSE atau Moca-Ina sampai saat ini tidak terdapat dalam ICD 9,
tapi bisa dilakukan dan dijadikan dasar bukti penentuan diagnosis gangguan kognitif.
Untuk penentuan diagnosis dan pengklaiman bisa dilakukan di semua tipe RS namun
untuk pemberian terapinya hanya dapat diberikan pada pelayanan tingkat 3 (donepezil
7. Apakah diagnosis hemiparese atau hemiplegi harus ada konsultasi dg ahli RM. Terimakasih
a. Wajib dilakukan tatalaksana fisioterapi sesuai Berita Acara Kesepakatan antara BPJS
dengan Kemenkes tahun 2020 halaman 39 no 20 berbunyi ”Tidak semua kasus stroke
disertai dengan hemiplegi/hemiparese. Untuk pasien dengan hemiplegi dirawat inap ada
tindakan fisioterapi”.
b. Merujuk pula peraturan BPJS Kesehatan No 1 tahun 2020 pasal 4 ayat 2 yang berbunyi
“Pelayanan Rehab Medik sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan di FKTRL yang
memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi”.
8. Pada pasien kronis yg mendapatkan obat 3 minggu berikutnya apakah ada plafonnya?
• Pengklaiman obat kronis yang 23 hari dihitung tersendiri (diluar paket 7 hari) tidak
mengikuti paket INA-CBG rawat jalan, sehingga tidak membebani paket rawat jalan dan
tidak ada plafonnya. Syarat bisa diklaimkan salah satunya adalah obat harusterdaftar di
Fornas.
9. Untuk hipertensi emergensi, apakah tidak menaikkan severity level pada kasus stroke.
Terimakasih.
• Tidak menaikkan severity level (besaran klaim), yang bisa meningkatkan severity level
(besaran klaim) adalah Hipertension Heart Disease (HHD) namun harus dilengkapi
dengan data dukung sesuai dengan berita acara.
10. Saya ijin bertanya untuk hemiplegia/hemiparesis apakah ada grade tertentu baru akan
meningkatkan severity? atau berapapun gradenya, kemudian kita konsulkan dan mendapatkan
fisioterapi akan meningkatkan severity? Terima kasih
a. Pasien yang dengan diagnosis sekunder hemiparese/hemiplegi, maka severity level akan
menjadi severity level 2. Tingkat kekuatan otot dari pasien yang mengalami hemiplegi
/hemiparese tidak berpengaruh pada severity level/klaim.
12. Saya kebetulan bertugas di daerah Kabupaten yg tidak mempunyai ct scan untuk membedakan
stroke hermoragik dan non hemoragik apakah bisa dipakai scoring untuk mendiagnosis stroke
karena bpjs selaiu meminta ct scan kepala krn sebagai gold Standard. terimakasih dokter
sebelumnya.
a. Hal tersebut bisa dan pernah dilakukan dibeberapa daerah (Banggai, Tojo una-una,
Morowali, Morowali Utara). Penapisan strok hemoragik dan non hemoragik bisa
dilakukan dengan menggunakan skoring namun DPJP harus membuat justifikasi dan
memberikan alasan ilmiah bahkan perlu memasukan data/sumber pendukung (seperti
jurnal ilmah) sehingga bisa menjadi dasar bagi BPJS atau TKMKB untuk bisa
memahami akan keadaan tersebut dan bisa menjadikan dasar pembayaran klaim.
b. Hasil imaging (contoh CT scan) diperhatikan untuk penegakkan tambahan jenis stroke
hemorrahgic atau non haemorrhagic. Kode I63.- jika hasil pemeriksaan CT Scan (+)
infark (Berita Acara Kesepakatan antara BPJS dengan Kemenkes tahun 2020 halaman
14 no 74).
c. Saran : coba dulu sesuai dengan poin a untuk berdiskusi dengan verifikator BPJS dan
Tim Kendali Mutu Kendali Biaya Cabang.
13. Untuk dry needling di RS saya menurut petugas koding masuk koding grouping bukan ICD 9 CM
bagaimana nggeh dok? mohon arahan.
Dry needling merupakan teknik penusukkan menggunakan jarum monofilamen tipis pada
titik pusat nyeri. Memang saat ini di grouper INA-CBG versi 5 dry needling belum ada kodenya,
namun bisa dikode dengan ICD 9 CM 82.96 (other injection of locally-acting therapeutic
substance into soft tissue).
17. Selanjutnya tentang fraud. Tidak ada dokter yang mau fraud, tetapi BPJS memaksa orang untuk
membuat tambahan keluhan yang semestinya tidak ada agar bisa diklem dok? Mohon
penjelasannya.
• Diagnosis harus didasarkan pada temuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Bila tidak ada data dukung tersebut maka diagnosis tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi tujuannya untuk memperlancar klaim, hal ini
TERMASUK FRAUD. BPJS juga memiliki WASIN (Pengawasan Internal) dan
dilakukan audit secara regular. Apabila disuatu waktu dilakukan audit dan
didapatkan temuan maka akan berisiko bagi dokter, rumah sakit dll. Salah satu
risiko adalah rumah sakit harus mengembalikan klaim yang sudah dibayarkan.
19. Untuk pasien yang dirawat di RS tipe A yang mempunyai fasilitas lengkap setelah selesai rawat
inap pasien ingin kontrol di RS tipe B dengan alasan RS tipe B berdekatan dengan rumahnya.
Apakah bisa dok?
• Bisa, namun harus ada surat rujukan dari FKTP dulu dengan menunjukan resume
medik dari RS tipe A tersebut.
• Sebenarnya untuk kontrol pertama kali setelah rawat inap bisa ke RS tipe A atau di
RS tempat pasien tersebut dirawat tanpa diserta surat rujukan dari FKTP sehingga
memudahkan pasien. Untuk mendapatkan pelayanan tersebut, pasien yang
bersangkutan cukup membawa resume medik rawat inap yang membuktikan bahwa
telah menjalani rawat inap di RS tersebut namun pelayanan tersebut hanya berlaku
1 kali.
20. Pada kasus stroke, pemeriksaan diagnostik apa yang diperiksakan atau dituliskan untuk
menaikkan klemnya dok?
Pada kasus stroke rawat inap, pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ada yang
menaikkan besaran klaim INA-CBG. Untuk stroke rawat jalan ada beberapa
pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat meningkatkan besaran klaim
diantaranya adalah : CT scan kepala, MRI kepala, TCD, EEG dll. Pemeriksaan
penunjang tersebut harus sesuai indikasi medik dan regulasi yang ada.
21. Kenapa banyak diagnostik yang dilakukan tetapi tidak mempengaharui atau menaikkan
klemnya dok?
22. Pada beberapa kasus meminta untuk pemeriksaan penunjang harus diperiksakan, contohnya
pada kasus BPPV elektrolitnya harus di periksakan, tetapi ada juga pada beberapa kasus yang
dilarang pemeriksaannya dok, apakah ini kebijakan dari RS atau dari BPJS dok, mohon
penjelasannya dok?
• Menurut berita acara kesepakatan Bersama panduan penatalaksanaan solusi
permasalahan klaim INA-CBG tahun 2019 No. JP.02..03 /1693/2020 bagian Aspek
Medik menyebutkan: vertigo perifer (H81.3) dengan kriteria muntah hebat yaitu jika
pasien kesulitan untuk makan disertai dengan salah satu dari: tanda-tanda dehidrasi,
gangguan hemodinamik (salah satu dari takikardi, nadi lemah dan hipotensi),
gangguan elektrolit dan hipoglikemia. Jadi pemeriksaan elektrolit bukanlah satu-
satunya syarat mutlak untuk pengajuan klaim kasus BPPV
23. Terkait pemeriksaan yang dijadikan syarat, apakah itu dari verifikator RS atau dari BPJS secara
umum? Bagaimana cara membuka komunukasi efektif antara validator casemix dan BPJS ?
• Pemeriksaan (data dukung) yang dijadikan syarat agar klaim bisa disetujui harus
sesuai dengan kaidah-kaidah koding dan klaim. Selain itu masalah-masalah yang
masih menjadi pertanyaan di lapangan diatur dalam berita kesepakatan antara
Kemenkes dengan BPJS Kesehatan. Di dalam berita acara tersebut dibahas dan
a. Tanda-tanda dehidrasi
b. Gangguan hemodinamik (salah satu
dari takikardi, nadi lemah, hipotensi)
c. Gangguan elektrolit
d. Hipoglikemia
• Cara membangun komunikasi yang efektif antara validator casemix dan BPJS
adalah :
a. Kita harus meningkatkan kemampuan dan pemahaman kita terhadap proses
klaim dan segala hal yang terkait dengan pembiayaan ini. Salah satu caranya
adalah dengan membaca buku panduan ini atau bisa langsung kontak dengan
POKJA JKN PP Perdossi.
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Rujukan Online Berjenjang pada pasien Jaminan Kesehatan
Nasional, 2018.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan_no 54 tahun 2018
tentang Penyusunan dan_Penerapan Fornas dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Jakarta; 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Formularium Nasional. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/6485/2021 Tentang Formularium
Nasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2021. p. 1–167.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Kementrian
kesehatan Republik Indonesia; 2006.
5. Kementrian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Berita Acara Kesepakatan Bersama Panduan
Penatalaksanaan Solusi Permasalahan Klaim INA-CBG Nomor JP.02.03/3/1693/2020; No
411/BA/0720; 2020.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
IndonesiaNomor 26 Tahun 2021 Tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups
(Ina-CBG)Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional; 2020.
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
IndonesiaNomor 16 Tahun 2019 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kecurangan
(Fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud)Dalam
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan; 2019.