Anda di halaman 1dari 181

Traumatic Brain Injury

Batasan dan uraian umur


Cedara otak traumatic merupakan trauma fisik eksternal mengenai otak dan mengakibatkan impairmen
baik sementara maupun permanin, adanya gangguan fungsi , dan bisa menyebabkan gangguan fisik
kognisi , sosial, emosi dan perilaku yang dapat menimbulkan hilangnya kemampuan menyesuaikan diri
Atau beradaptasi. Berdasarkan epidemiologi laki-laki sering dari pada perempuan.

Klasifikasi
Diklasifikasi berdasarkan tingkat keparahan dan mekanisme trauma.

Tingkat keparahan di bagi atas :

GCS PTA LOC


Mild (ringan0 13-15 < 1day 0-30 minutes
Moderate (sedang) 9-12 >1 to<7day >30 minutes to<24 hours
Severe (berat) 3-8 >7day >24 hours

Keterangan:

GCS = Glesgow Coma Scale


PTA= Post Traumatc Amnesia
LOC= Lost Of Consiousnees

Menurut mekanisme trauma dapat dibagi atas:


 Close head injury
 Penetrating head injury

Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi:


 Cedera primer, merupakan cedera pada otak yang terjadi akibat trauma langsung
 Cedera sekunder, yang dianggap sebagai kerusakan biokimia atau fisiologi yang terjadi dalam
periode menit, jam, hari, minggu, dan bulan setelah cedera primer. Contoh: pendarahan intracranial,
Edema, hipoksia, pergeseran otak, hernisia, dan neurokimia.

Lesi yang terjadi bisa di bagi atas:


 Ekstaaksial (pada tulang tengkorak diluar jaringan otak)
 Iktraaksial (terjadi pada jaringan otak)
- fokal, simptom yang terjadi berhubungan dengan lesi neuroanatomis
- diffuse (mis: diffuse axonal injury)
 Gabungan

Gejala
Gejala tergantung tipe traumatik brain injury dan bagian o tak yang terkena, gejala dapat
bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan cedera dantahap pemulihan.
 Anamnesa mmencakup proses terjadinya cedera, penyakit komorbid, GCS awal, lama koma
dan lamanya
terjadi amnesia. Jika terjadi penurunan fungsi , evaluasi mengenai metabolisme seperti
enfeksi, efek
samping obat, status nutrisi termasuk hidrasi dan oksigen.
 Pada pasien dengan cedera otak, setelah fase akut teratasi, evaluasi cedera pada nervus kranialis
gangguan
pengelihatan, gangguan gerakan bola mata, evaluasi kejang, vertigo dan perubahan sensibilitas
baik pada wajah dan tubuh, gangguan motorik seperti sepertiparese/plegi, kontaktur, spastisitas
maupun gangguan gerak lainnya. Gejala dysautonom seperti peningkatan suhu tubuh, takikardi,
takipneu, peningkatan tonus dan keringat yang berlebihan.
 Gejala yang sering mucul terakhir antara lain defisit memori,sakit
kepala,depresi,kelelahan,gangguan tidur
gangguan control motorik halus dan kasar,dll.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis termasuk evaluasi neuropsikologi, Rancho Los Amigos Cognitive Scale,
status mental, MMSE, fungsi nervus kranialis, penlihatan, pendengaran, reflex fisiologis dan
patologis, kekuatan otot, tonus ,
koordinasi, keseimbangan, analisa pola jalan, dan mobilisasi lainnya termasuk kursi roda bila
diperlukan.

Diagnosis
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, MRI, Foto rontgen
 Alat penilaian fungsi :
- GCS
- Glasgow Outcome Scale or the Disability Rating Scale
- Rancho Los Amigos Cognitive Scale
 Penilaian neuropsikologis : kognisi, afektif, fungsi emosional

Terapi Rehabilitas
Terapi rehabilitas diberikan saat rawat inab baik saat stadium akut dan pemulihan. Pada stadium
pemulihan
dimana kondisi medis dan neurologis sudah stabil, diberikan rehabilitas aktif.
 Stimulasi koma dapat diberikan pada skala II-III dari Racho Los Amigos Cognitive Scale. Dan
dilanjutkan dengan cognitive behavior rehabilitation sesuai tahapan.
 Rehabilitasi fungsi kognitif
Meliputi pengambilan fungsi yang mengalami impairmen, dan meningkatkan kompensasi
dari area yang
mengalami defisit melalui training, atau latihan meliputi atensi, memori, dan konsentrasi
dari sistem kognisi dan berbagai proses daya piker lain.
 Dilakukan evaluasi fungsi menelan bilamana ditemukan disfagia
 Rehabilitasi kemampuan wicara
Ditunjukan kepada pasien dengan gangguan komunikasi baik berbahasa, berbicara.
 Rehabilitasi fungsi motorik
Memperbaiki lingkup gerak sendi ditunjukan untuk pemeliharaan sendi saat kekuatan otot menurun
atau peningkatan tonus otot (spastik), latihan transper dan ambulasi, latihan penggunaan wheelchair
pada pasien dengan keterbatasan mobilisasi.
 Rehabilitai kemampuan ADL
Evaluasi dan latihan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari seperti memakai baju, mandi, dll, termasuk
Penilaian fungsi.
 Evaluasi cacat dan evaluasi kembali kerja
 Rehabilitasi vokasional
Diberikan kepada pasien yang mengalami kesulitan untuk kembali ke pekerjaan semula sehingga
dibutuhkan konseling untuk membantu menentukan pekerjaan sesuai ketrampilan.

Komplikasi
1. Akibat penurunan kesadaran dapat terjadi :
Locket in syndrome, persistent vegetative state, brain dead
2. Gangguan kognisi
- Post traumatic amnesia (memory loss)
- Gangguan atensi
- Gangguan berpikir
- Gangguan insight
- Gangguan judgment
- Distraksi
- Gangguan fungsi eksekutif seperti pemahaman abstrak, perencanaan, problem solving,
dan multy
tasking.
3. Gangguan komunikasi
4. Defisit sistem sensibilitas baik pengelihatan , pendengaran, penciuman, pengecapan dan
perabaan
5. Gangguan emosi dan perilaku
6. Gangguan fisik
- Deep venous thrombosis
- Emboli paru
- Kejang paksa trauma, epelipsi paksa trauma
- Nyeri kepala
- Sindroma Parkinson dan gangguan gerak lainnya
- Fraktor tulang tengkorak
- Hidrosefalus paksa traumatic
- Gangguan keseimbangan hormonal dan cairan: SIADH dan hipotiroid
- Gangguan menelan  aspirasi dan pneumonia  malnutrisi dan dehidrasi
- Sleep apneu
Cedera Medula Spinalis
(Spinal Cord Injury – SCI)

Definisi :
Kerusakan medulla spinalis akibat trauma atau penyakit, dapat bersifat komplit atau parsial
(inkomplit)
dapat disertai atau tanpa fraktur tulang belakang yang menyebabkan gangguan system saraf
sensorik,
motorik dan otonom tergantung level kerusakan medulla spinalis dan radiks sehingga
menimbulkan
gangguan fungsional (disabilitas) dan handicap pada penderitanya.

Klasifikasi
Cedera medulla spinalis diklasifikasi dalam 5 kategori dari ASIA Impairment Scale
- A bila terjadi lesi komplit : tidak ditemukan fungsi motorik atau sensorik pada
segmen sacral S4-S5
- B bila terjadi lesi inkomplit : hanya sensorik tanpa fungsi motorik dibawah level
neurologi dan termasuk
- C Inkomplit : fungsi motorik dibawah level neurologis dan lebih dar
setengah otot dibawah level neurologis memiliki kekuatan
otot <3
- D inkomplit : fungsi motorik dibawah level neurologis , dan kurang lebih
dari otot di bawah level neorologis dengan kekuatan 3
atau lebih
- E Normal : fungsi sensorik dan motorik normal

Klasifikasi ini berbasis dermatom bagi pemeriksaan sensibilitas dan miotom bagi C5,
C6,C7,T1,L2,L3,L4
L5 dan S1

Root Level Kelompok otot Root Level Kelompok otot


C5 Fleksor siku L2 Fleksor panggul
C6 Ekstensor pergelangan L3 Ekstensor lutut
C7 Ekstensor siku L4 Dorsofleksi lutut
C8 Fleksor jauh jari L5 Ekstensor tumit
T1 Abduktor kecil jari S1 Plantarfleksi lutut

Gejala dari cedera medulla spinalis tergantung pada level kerusakan medulla spinalis.
1. Servikal
Kerusakan fungsi motorik dan sensorik setinggi segmen servikal mengakibatkan
kerusakan fungsi
pada lengan, batang tubuh, anggota gerak bawah. Dapat terjadi kerusakan sensorimotor diluar kanalis
spinalis, seperti lesi pleksus brachialis, trauma saraf perifer.
 Cedera pada C1 /C2 sering kal menghasilkan hilangnya kemampuan bernafas, diperlukannya
ventilator mekanik atau phrenic nerve pacing.
 Cedera C3 dan diatasnya : biasanya mengakibatkan hilangnya fungsi diafragma, membutuhkan
bantuan ventilator.
 C4: hilangnya fungsi significan bisep dan bahu
 C5: hilangnya fungsi bisep, bahu, dan complete lossdari fungsi pergelangan dan tangan
 C6: kemampuan control pergelangan terbatas, dan complete loss fungsi tangan
 C7 dan T1: kekakuan pada tangan dan jari, tapi masih dapat mengerakan bahu namun terbatas.
Pasien dengan trauma complete di atas C7 biasanya tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-hari.

2. Torakal:
Kerusakan setinggi segmen toraks, paling sering terjadi setinggi T12, mengakibatkan paralisis atau
Paraplegia, tidak hanya mempengaruhi ekstremitas bawah tetapi juga otot-otot abdomen bagian atas
dan bawah.
 T1-T8 : hilangnya kemampuan control
 T9-T12 : hilangnya sebagian otot tungkai dan abdomen
Lesi diatas level T6 medula spinalis dapat menyebabkan autonomic dysreflexia

3. Lumbosakral:
Kerusakan fungsi motor dan sensori pada medula spinalis segmen lumbal atau sakral. Terdapat
Kerusakan pada kaki dan organ pelvik, sedangkan fungsi lengan dan batangtubuh diatasnya masih
Baik.
 Fungsi difekasi dan berkemih diatur oleh region sacralis pada medula spinalis. Gangguan fungsi
defekasi dan berkemih termasuk infeksi dan inkontinesia anal sering kali dilaporkan pada cedera
trauma.
 Fungsi seksual juga berhubungan dengan bagian sacral dan sering kali terganggu setelah trauma.
Lesi pada serat saraf descending pada level S2-S4 berpotensial mengakibatkan hilangnya
kemampuan ereksi.

Sindrom cedera medula spinalis inkomplit:


 Central cord syndrome
 Anterior cord syndrome
 Posterior cord syndrome
 Brown secuard syndrome
 Conus medularis syndrome
 Cauda equine syndrome

Entiologi:
 Trauma : Kecelakaan lalu lintas , jatuh, trauma akibat kekerasan, dan kecelakaan olahraga
 Non trauma : Neoplasma(lihat tumor medulla spinalis),infeksi, inflamasi,vaskular,proses degenerasi
tulang belakang(spondilosis), congenital, intervertebral disease, spinal cord vascuraldisease,gangguan
toxic-metabolic, defisiensi nutrisi, radiasi, multiple sklerosis, neuromielitis optika.
Anamnesa:
Adanya kelemahan otot, kerusakan sensori dan otonomik(bladder,bowel dan disfungsi seksual), anamnesa
mengenai penyebab cedera, mekanisme cedera, onset, cara tranportasi, pertolongan pertama, kondisi fisik
sebelum cedera.

Pemeriksaan Fisik:
 Pemeriksaan fisik secara umum
 Tanda-tanda vital
 Pemeriksaan khusus:
- Muskuloskeletal : Level skeletal (pada tulang belakang), cedera skeletal lain
- Neurologis : level neurologis, klasifikasi AIS (ASIA impairment Scale)
- Pemeriksaan Lain : Sistem otonomik, kardiorespirasi, gastrointestinal, genitourinaria
 Pemeriksaan Fungsional : alat ukur yang mengevaluasi status fungsionalpasien selama proses
rehabilitasi adalah FIM(Functional Independence Mearsure).Alat ukur ini mengukur derajat disabilitas
yang terdiri dari 18 katagore, focus pada fungsi motorik dan kognitif. Setiap katagori dinilai pada
nominal 7,1 adalah tergantung total, 7adalah mandiri. FIM juga merupakan penilaian luaran (outcome)

Pemeriksaan Penunjang:
 Labortorium darah danurin rutin
 Pemeriksaan fungsi ginjal : ureum, creatinin , urinanalisa, BNO-IVP
 Radiologi : rontgen tulangbelakang, CT-Scan, MRI, USG
 Elektrofisiologi I : SSEP, Elektroneuromiodiagnostik
 Pemeriksaan urodinamik
 Uji latih kardiorespirasi

Penulisan Diagnosa :
Cedera Medulla Spinalis komplit/inkomplit dengan atau tanpa fraktur kompresi/dislokasi/burst vertebra ..
atau Contusio Medulla Spinalis dengan level sensorik/ neurologis setinggi …(level cedera)…, klasifikasi
AIS A/B/C/D/E DENGAN :
 Gangguan mobilisasi/ambulasi akibat tetraplegi/paraplegi
 Gangguan fungsi repreasi
 Gangguan dalam aktivitas sehari-hari
 Gangguan berkemih/defekasi
 Gangguan fungsi seksual

Intervensi dan terapi


Proses rehabilitasi cedera medulla spinalis dibagi dalam 3 fase :

Fase Akut
Dilaksanakan dalam rawat inap, lebih diutamakan pada penatalaksanaan medis
danbedah.Tujuan
Rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit neurologis dan mencegah
komplikasi tirah
baring.
Program :
 Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronchial
 Mencegah dekubitus
 Mencegah komplikasi kardiovakuler
 Mencegah kontraktor dan deformitas
 Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius

Fase Pemulihan
Dilaksanakan dalam rawat inap, merupakan rehabilitasi aktif. Tujuan rehabilitasi untuk
mengatasimasalah disabilitas ndan nhandicap yang ditimbulkan akibat cedera, memaksimalkan
fungsi yang adauntuk kemandirian, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah
komplikasi sekunder.
Program :
 Terapi latihan mobilisasi dan transfer
 Pemberian ortosis sesuai level skeletal dan level medula spinalis (baik ortosis spinal,
tungkai danspilnt tangan) dan fiksasi internal
 Terapi latihan persiapanmo bilisasi dan ambulasi , jalan dengan atau tanpa ortosis,
dengan atau
Tanpa kursi roda sesuai level neurologis dan level kemandirian
 Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
 Terapi latihan perawatan diri
 Terapi latihan control miksi dan defekasi
 Mencegah komplikasi : pulmoner, kardiovaskular, gastrointestinal, traktus urinarius,
integritas kulit,HO, spastisitas, nyeri, osteoporosis, automatic dysrefleksia, nyeri
 Psikososial, seksual and family planning
 Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
 Terapi supportif (kelompok)

Fase Lanjut
Saat rawat jalan, seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap. Tujuan
rehabilitasi untuk
meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan kemampuan fungsional dan memiliki
prodotivitassesuai kemampuan.

Tujuan program adalah :


 Resosialisasi
 Meningkatkan kualitas hidup
 Mempertahankan kemampuan fungsional

Program rehabilitasi :
 Evaluasi medikamentosa
- Evaluasi medikamentosa
- Laboratorium rutin
- USG
- BNO-IVP
- Foto thoraks
 Resosialisasi
 Rujukan untuk vocational training
 Rujukan spesialis lain yang perlu
 Konseling keluarga
 Panti sosial binadaksa
Cedera Pleksus Brakialis

Batasan
Merupakan lesi pada pleksus brakialis mulai dari C5-C8 dan T1 baik akibat truma dan non truma yang
mengenai anggota gerak atas mulai dari bahu, punggung, dada, lengan dan jari-jari.

Anatomi
Pleksus brakialis disusun oleh gabungan rami anterior dar empat terakhir akar saraf cervikal dan akar saraf
thorakal pertama. Sering juga mendapat konstribusi dari akar saraf C4-C5(disebut prefixed)atau bisa juga,
walaupun jarang,dari akar saraf T2-T1(disebut postfixed).Berurutan hingga ke dstal, plekus brakialis terdiri
dari trunk, divisions, cords, dan terakhir, saraf perifer.Kelima segmen akar saraf membentuk tiga trunk,atas
(C5-C6) tengah (C7) dan bawah (C8-T1). Setiap trunk terbagimenjadi divisi anterior dan posterior Setiap
divisi anterior dan trunk atas dan tengah, bersatu membentuk cord lateral; divisi anterior dari trunk bawah
membentuk cord medial; dan divisi posterior dari ketiga trunk membentuk cord posterior. Sebagian besar
saraf perifer berasal dari pleksus yang dibentuk oleh ketiga cord. Kecuali nervus long thoracic dan nervus
dorsal scapular yang merupakan percabangan lansung dari spinal roots dan mempersarafi otot sekitar
skapula. Satu-satunya saraf yang langsung berasal dari trung adala nervus suprascapular (C5-C6).

Uraian Umum
Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Compressive brachial plexus neuropaty(CBPN) adalah tipe yang biasa disebut thoracic outlet
syndrome
(TOS), yaitu neuropati atau vaskulopati kompresi yang mengenai pleksus brakialis dan pembuluh
darah
Subklavia.
2. Brachial plexus traction injury (BPTI), merupakan truma tarikan pada pleksus brakialis. BPTI akan
mengganggu neural tissue gliding dan kemampuan untuk mentoleransi tekanan.Hal ini bisa
disebabkan
oleh fibrosis intra dan ekstraneural akibat trauma langsung, patologi local pada vertebra cervical atau
thorax atau kompresi yang berlebihan atau overuse.

Gejala
 Upper trunk plexopathies(C5-C6)memberikan gejala proksimal yang lebih banyak,termasuk pada
regio
wajah, skpula dan interskapula.Parestesia dan nyeri pada bagian distal pada distribusi saraf
median
atau ulnar atau dermatom C5-C6.
 Lower trunk plexopathies(C8-T1)memberikan gejala distal pada region medial tangan,forearm dan
ulnar.
 Cord atau division level plexophaties akan memberikan gejala yang lebih bervariasi.
 Gejala neurogenikawal: gangguan performa otot, gangguan sensibilitas, gejala
otonom(hiperhidrosis,Instabilitasvasomotor, rasa terbakar), nyeri kepala.
 Gejala neurogenik lanjut: nyeri, parestesia, kehilangan otot intrinsic,kehilangan sensoris, dan
perubahan refleks.
Pemeriksaan Fisik

Thoracic Outlite syndrome Brachial Pplexus Traction Injury


Berkaitan dengan postur,atau penyebab lain yang Berkaitan dengan trauma pada bahu,cervical spine dan
onsetnya perlahan,nonirritable. bersifat irritable.
Gejala transien:nyeri/parestesia Tes profokatif:
Tes provokatif:  Positive upper limb tension
 Tes Adson:scalene  Traksi pada pleksus (Bila diperlukan)
 Manuver costoclavicular;ruang retroclavicula
 Tes Wright’s;ruang axillary

Komplikasi
Instabilitas sendi,kekakuan sendi,kontraktur sendi,complek regional pain syndrome,atrofi
otot,disabilitas permanen,gangguan sensoris pada daerah leher,bahu,lengan sampai jari-jari yang
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan amputasi.

Keterbatasan fungsional
Flail arm terjadi segera setelah trauma(tidak ada pergerakan yang terdeteksi dimulai dari bahu dan
lengan),sehingga akibatnya terjadi gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi yaitu foto rontgen untuk meliat kelainan pada sendi dari bahu,MRI untuk mendeteksi
kelainan saraf maupun patologis pada cervical rib atau tulang.
 Arteriografi;untuk mendeteksi oklusi arteri subklavia atau aksilaris.
 Somatosensory evoked potentials
 Electromyography(EMG)/kecepatan hantar saraf(KHS).
 USG musculoskeletal pada daerah Thorasic Outlet.

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangi nyeri (penilaian dengan VAS).
 Control gejala dan meningkatkan kenyamanan pasien.
 Memperbaiki postur,posisi dan perilaku.
 Pola pernapasan diafragma yang tepat.
 Mengurangi keluhan sekunder pada sendi glenohumeral,cervical spine dan jaringan lunak sekitarnya.
 Mengembalikan keseimbangan dan mobilitas otot.
 Normalisasi mobilitas dan toleransi tensile loads pada saraf.
 Kembali ke aktivitas sehari-hari dan pekerjaan semula dengan menggunakan alat bantu sesuai dengan
pemeriksaan kapasitas fungsional.
Tata laksana

Terapi Konservatif
Nyeri akut diatasi dengan obat-obatan anti nyeri neuropatik,seperti gabapentin dan antidepresan
trisiklik.Analgesia dapat diberikan tramadol,levatiracetam dan pilihan terankir adalah opiate pada kasus
dengan nyeri yang sangat hebat.untuk nyeri kronis dapat digunakan metode non medikamentosa dengan
modalitas fisik seperti TENS.

Rehabilitasi
 Positioningdan latihan lingkup gerak sendi dilakukan untuk mencegah atrofi otot,kontraktur sendi
dan edema,karena hal ini akan mengganggu fungsional pada masa pemulihan.
 Latihan lingkup gerak sendidikombinasikan dengan metode hidroterapi dan massage untuk
meregangkan otot.
 Setelah terjadi reinervasi,perlu dilakukan latihan penguatan otot.
 Terapi okupasi membantu pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
 Terapi vokasional diberikan bila disabilitas dan kelemahan lengan mempengaruhi kemampuan
pasien untuk melakukan pekerjaannya.
 Penggunaan ortosis(shoulder sling)sesuai indikasi.
 Functional Electrical Stimulation (FES) atau Functional Neuromuscular Stimulation (FES) akan
memberikan stimulasi kepada otot lengan yang lemah.

Non Konservatif
Operatif
Prosedur operasi dilaksanakan 5-12 bulan setelah trauma, yaitu pada saat terapi konservatif sudah
tidak efektif.
Cedera Syaraf Perifer

Definisi
Cedera saraf perifer dapat total atau parsial, baik akibat stretching, laseration, compression, shearing or
crushing.Cedera saraf perifer di klasifikasikan berdasarkan perubahan patologis pada saraf tersebut
( Sunderland dan atau Seddon). Kerusakan saraf dapat mengenai myelin dan/atau akson saraf perifer. Jika
demeilinisasi luas, maka dapat disertai kerusakan akson yang ringan. Tidak seperti pada system saraf pusat,
sistem saraf perifer dapat beregenerasi. Proses regenerasi sistem saraf perifer terdiri atas beberapa tahap:
degenerasi Wallerian, regenerasi/ pertumbuhan akson, dan reinervasi saraf. Cedera saraf perifer dapat
mengenai saraf motorik, sensorik dan autonomic.

Pola kerusakan saraf


 Difus : mengenai keseluruhan saraf
 Multivokal : melibatkan banyak saraf, asimetrisatau tidak merata

Klasifikasi
Klasifikasi kerusakan saraf perifer berdasar BURNNET, Hyde:
1. Grade1 : neuropraxia
2. Grade 2 : axonotmesis
3. Grade 3 : neurotmesis

Klasifikasi kerusakan saraf perifer berdasarkan seddon:


1. Kelas 1 : neuropraxia
2. Kelas 2 : axonotmesis
3. Kelas 3 : neurotmesis

Klasifikasi kerusakan saraf perifer berdasarkan Sunderland:


1. Kelas 1 : neuropraxia
2. Kelas 2 : axonotmesis
3. Kelas 3 : nerve fiber interuption dimana terjadi lesi dari endoneurium tapi epineurium dan
perineurium intak
4. Kelas 4 : nerve fiber interruption hanya epineurium yang intak
5. Kelas 5 : complete transction of the nerve

Strategi dan pengobatan tergantung derajat kerusakan saraf perifer.


Neuropraxia : saraf tetap intak tetapi tidak dapat mengirimkan sinyal.
Axonotmesis : dimana akson rusak tetapi jaringan ikat sekitarnya tetap intak.
Neurotmesis : akson dan jaringan ikat sekitarnya rusak.
Tanda dan gejala
 Bila saraf motorik yang cedera maka terjadi kelemahan dari otot yang diinervasi saraf perifer
tersebut. Kelemahan otot biasanya distal, tonus otot menurun, reflex fisiologis menurun.
 Bila saraf sensoris yang cedera maka terjadi kehilangan sensibilitas pada area yang diinervasi oleh
saraf perifer tersebut, kehilangan sensibilitas sesuai peta saraf perifer.
Bila terjadi gangguan saraf sensoris sistemik missal pada dibetes neuropati maka gangguan
sensibitalsnya mengikuti distribusi sarung tangan dan kaos kaki.
 Bila saraf autonomic yang cedera maka dapat terjadi gangguan dalam regulasi temperature, keringat,
tekanan darah, denyut jantung, pencernaan, buang air kecil, buang air besar.

Evaluasi klinis:
1. Riwayat perjalanan penyakit
2. Gejala klinis:
- Nyeri, gangguan sensibilitas,gangguan motorik dan gangguan autonomik
3. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan kekuatan otot
- Pemeriksaan sensibilitas: light touch, pin prick, diskriminasi 2 titik, vibrasi, propioseptif,
monofilament test
- Refleks fisiologis
- Pemeriksaan saraf autonom seperti: keringat
- Tes khusus seperti tinnel test
4. Kecepatan hantaran saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
5. Pemeriksaan imaging
- X-ray, CT-scan, MRI
6. Pemeriksaan saraf autonom
- Potensial simpatetik kulit
- Sinus aritmia
- Rasio valsava

Keterbatasan funsional
 Nyeri
 Gangguan sensibilitas
 Kelemahan otot

Komplikasi
 Hipotrofi/atrofi otot
 Nyeri kronis
 Kelemahan otot
 Gangguan autonomik
Tujuan tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Memberi proteksi pada area dengan gangguan sensibilitas
 Mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut
 Memperbaiki kerusakan saraf
 Memperbaiki gejala dari gangguan autonomic

Tata laksana
 Penatalaksanaan nyeri evaluasi menggunakan VAS.
Pain management dibagi atas farmakologi dan non-farmakologi. Pada non farmakologi digunakan
antara lain TENS dengan menggunakan teori Gate dan endorphin opioid theory.
 Proteksi pada daerah dengan gangguan sensibilitas, dengan inspeksi menggunakan cermin setiap hari,
mencegah eksposure panas atau benda tajam.
 Fasilitas sensoris/stimulasi sensoris sesuai tipe gangguan sensoris, missal propiosepif atau sensibilitas
dalam (pinching, tapping, brushing, incing).
 Electrical stimulation. Electrical stimulation dapat membantu regenerasi saraf. Frekuinsi stimulasi
merupakan factor penting atas berhasilnya kualitas dan kuantitas regenerasi saraf juga pertumbuhan
myelin dan pembuluh darah sekitar akson. ES juga membantu mencegah atrofi.
 Low level laser therapy yang merupakan biostimulasi pada schwan cell.
 Mencegah kontraktur dengan latihan lingkup gerak sendi, modalitas ultrasound dan pemberian
ortosis/splaint.
 Mencegah DVT
 Terapi bioffedback
Program fine motor re-learning menggunakan kemampuan susunan saraf pusat yang intak baik secara
visustaktil, audiotactil,dan feedback.
 Rehabilitasi kognitif bilamana diperlukan
 Terapi rehabilitasi didasarkan pada jenis cedera saraf. Contoh, pada neuropati diabetes control gula
darah merupakan hal penting dalam rehabilitasi saraf.
Stroke

Batasan dan Uraian Umum


Stoke adalah kumpulan gejala kelainan neurologis local yang timbul mendadak akibat gangguan peredaran
darah di otak yang disebabkan penyakit atau kelainan yang juga merupakan factor risiko.
Gejala tersebut dapat disertai atau tidak disertai gangguan kesadaran dan manifestasi klinis tergantung
lokasi lesi neuroanatomis.

Klasifikasi stoke yaitu :


1. Berdasarkan lokasi neuroanatomis dari lesi
a. Kortikal
b. Sub kortikal
c. Batang otak
2. Berdasarkan letak gangguan sirkulasi
a. Sindroma sirkulasi anterior total
b. Sindroma sikulasi anterior parsial
c. Sindroma sirkulasi posterior
d. Sindroma lakunar
3. Berdasarkan sifat gangguan aliran darah
a. Non hemoragik
b. Hemoragik
4. Berdasarkan waktu terjadinya
a. Stroke in progression
b. Stroke komplit

Gejala
Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan yang sering ditemukan pada penderita stroke. Kelainan lain
juga sering ditemukan adalah gangguan bicara, menelan, afasia, gangguan kognitif, hilangnya fungsi
sensorik, dan gangguan penglihatan. Peningkatan tonus otot, kelemahan, depresi, dan nyeri merupakan
gejala yang dapat timbul setelah stroke terjadi.

Pemeriksaan Fisik
Diperlukan pemeriksaan neurologis yang menyeluruh. Pemeriksaan ini meliputi :
 Pemeriksaan kesadaran dengan Glasgow Coma scale
 Evaluasi status mental dengan minimental state evaluation
 Uji fungsi kognisi dengan Rancho Los Amigos Cognitive Scale
 Pemeriksaan Saraf cranial
 Pemeriksaan sensibilitas superficial dan dalam, propioseptif, diskriminasi 2 titik, monofilament tes.
 Pemeriksaan lingkup gerak sendi
 Pemeriksaan kekuatan dan tonus otot
 Pemeriksaan kordinasi motorik
 Uji keseimbangan statis dan dinamis
 Uji fungsi lokomator
 Pemeriksaan reflex fisiologis/ reflek tendon dalam
 Pemeriksaan reflex patologis (Babinsky,dll)
 Uji funsi komunikasi
 Uji fungsi menelan
 Uji fungsi berkemih
 Uji fungsi defekasi
 Uji kemampuan fungsional dan perawatan diri
 Uji pola jalan
Keterbatasan Fungsional
 Gangguan gerak
 Gangguan keseimbangan
 Gangguan sensibilitas
 Gangguan menelan
 Gangguan kognitif (memori,perhatian, persepsi ruangan)
 Gangguan komunikasi
 Gangguan fungsi seksual
 Gangguan berkemih
 Gangguan defekasi
 Gangguan psikis
 Gangguan fungsional dan perawatan diri

Pemeriksaan Penunjang
Mengoptimalkan kemampuan fungsi dengan memodifikasi sehingga insane pasca stroke mampu
beradaptasi, mandiri dengan kualitas hidup yang sesuai.

Tata Laksana
Rehabilitasi
Rehabilitasi stroke adalah pengelolaan medis dan rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas yang
diakibatkan stroke memulai pendekatan neurorehabilitasi. Program rehabilitasi perlu disusun sesuai dengan
tingkat keparahan akibat serangan stroke. Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama pasien dirawat
inap. Pada kondisi medis dan neurologis stabil(fase subakut), pasien bisa dilakukan rehabilitasi rawat inap
maupun rawatjalan/home care. Sedangkan fase kronik/lanjut rehabilitasi dilakukan dengan rawat jalan.
Program rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif dimulai dari fase akut secara inter maupun intra
disiplin dengan spesialislain.

 Latihan (exercise)
Program latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsi dengan penekanan pada
peningkatan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (ADL). Intruksi mengenai teknik-
teknik kompensasi dan edukasi yang dibutuhkan pasien diajarkan juga terhadap keluarga atau
caregiver penting untuk mempersiapkan kembalinya pasien ke rumah. Bukti-bukti menunjukan
bahwa terapi fisik bermanfaat terhadap reorganisasi korteks pasca stroke, yang diiringi dengan
perbaikan pada control motorik dan kapasitas fungsinya.

 Disfagia
Penanganan desfagia neurogenik tergantung pada fasenya, meliputi penggunaan selang nasogastrik,
modifikasi diet (mis; cairan kental, makana dihaluskan), dan terapi menelan (mis;penggunaan tehnik
kompensasi seperti mengangkat dagu saat menelan).

 Komunikasi
Gangguan komunikasi bisa berupa afasia, disartria, dan lain-lain. Tindakan rehabilitasi diberikan
sesuai dengan penilaian kelainan yang terdapat pada pasien.

 Kognisi
Stroke sering kali mempengaruhi kemampuan kognisi pasien. Perubahan dalam memori, perhatian
insight, dan kemampuan penyelesaian masalah sering ditemukan pada pasien dengan stroke.
Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat ditentukan dengan Rachoo Los Amigos Scale dan
minimental. Edukasi dan latihan keluarga merupakan komponen penting dalam rehabilitasi kognitif.
Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paksa stroke merupakan hal yang sangat penting, karena
depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif paksa stroke.

 Ortotis
Ortotis dapat membantu kegiatan mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat membantu kompensasi
pada gangguan dorsofleksi pergelangan kaki, mengontrol pergerakan kaki, spastisitas dan stabilisasi
sendi lutut.
 Bantuan Ambulasi dan Kursi Roda
Adanya hemiparesis pada penderita stroke menyebabkan banyak penderita stroke membutuhkan alat
bantu untuk ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki empat, hemi-walker, atau pada beberapa kasus
dapat menggunakan walker konvensional. Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk
ambulasi pasien. Pada penderita stroke one-side arm wheelchair berguna karena dapat mengontrol
kedua roda hanya dari satu sisi.

 Sublusasi Bahu
Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegia pasca stroke. Menopang lengan
denganmenggunakan penopang lengan (arm board) dan penggunaan shoulder sling/cuff dapat
mencegah dan memperbaiki subluksasi tersebut. Pada nyeri bahu Stimulasi listrik bermanfaat untuk
mengurangi nyeri bahu.

 Evaluasi untuk bekerja kembali.


Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan fungsional yang masih dimili dan ditingkatkan
kemampuannya untuk dapat melakukan pekerjaan seperti sebelum terkena sroke dengan atau tanpa
alat bantu.

 Alat Bantu Adaptif


Alat bantu adaptif merupakan alat bantu yang bentuk dan fungsinya disesuaikan untuk meningkatkan
kemampuan fungsi seorang penderita stoke untuk melakukan aktifitas yang diperlukan.

Komplikasi
 Spastisitas
 Nyeri
 Subluksasi bahu, frozen shoulder
 Ulcus decubitus
 Infeksi saluran kemih
 Komplikasi medikamentosa
 Gangguan fungsi menelan
 Kontraktur
 Penyakit sendi
 Osteoporosis
 Gangguan vascular dan kardiorespirasi
Pasien Dengan Parkison

Batasan dan Uraian Umur


Parkison adalah penyakit neurodegenerative kronik dan progresif yang dikarakteristikkan secara patologis
dengan adanya degenerasi saraf dopaminergik pada substansia nigra pars kompakta dan adanya badan
inklusi sitoplasmik, yaitu badan lewy.

Prevalensi penyakit Parkison ini mencapai 110 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki mempunyai insedinsi
yang sedikit lebih tinggi. Onset penyakit ini rata-rata terjadi pada usia 62 tahun. Secara klinis, penyakit ini
mengalami perburukan secara perlahan dalam waktu 10-15 tahun. Oleh karena itu , tergantung pada usia
onsetnya, penderita dapat meninggal akibat penyebab lain yang tidak berkaitan dengan Parkison ataupun
akibat enfeksi yang disebabkan oleh imobilitas pada stdium akhir penyakit Parkison tersebut.

Manifestasi Klinis
 Nyeri dapat menjadi keluhan awal
Rasa nyeri tumpul yang awalnya dirasakan pada tungkai mungkin pertama kali dihubungkan dengan
bursitis atau arthritis.
 Tremor saat istirahat
Tremor ini dapat dihilangkan baik dengan gerakan yang bertujuan atautidur dan ditimbulkan oleh rasa
takut.
 Rigiditas
Rigiditas bisa menimbulkan persepsi adanya kekakuan.Rigiditas terjadi karena tonus otot yang
meningkatkan yang bersifat cogwhell phenomena.Kekakuan menimbulkan persepsi bahwa penderita
bergerak lambat.
 Bradikinesia
Gerakan yang lambat pada seluruh otot lurik
Kesulitan gerak ini tampak jelas saat memulai dan mengakhiri suatu gerakan
Tulisan tangan menjadi lebih kecil dan sulit dibaca
Perkataan pasien semakin susah dimengerti,terutama melalui telepon
Hipofonia
 Depresi,juga dapat terlihat selama perjalanan penyakit

Pemeriksaan Fisik
 Stadium Parkinson dinilai dengan Hoehn and Yahr
 Uji keseimbangan statis dan dinamis
 Uji kontrol postur
 Uji fungsi bergerak
 Uji motorik halus
 Uji fungsi lokomotor
 Uji pola jalan
 Uji fungsi kardiorespirasi
 Uji fungsi menelan

Keterbatasan fungsional dinilai dengan UPDRS (Unified Parkinson Disease


Rating Scale)
 Penurunan kemampuan motorik dalam aktivitas sehari-hari,misalnya mengancingkan baju atau
mengikat tali sepatu,kesulitan menulis dan huruf menjadi semakin kecil
 Kesulitan saat berdiri dan memulai suatu pola gerakan
 Ketidakstabilan postural
 Kesulitan berjalan secara aman
 Kesulitan berkomunikasi karena hipofonia
 Disfagia
 Penurunan aktivitas dan dorongan seksual,disfungsi erektil,penurunan orgasme
 Afek terkesan mendatar

Pemeriksaan Penunjang
 Penyakit Parkinson adalah suatu diagnosis klinis.
 Pemeriksaan laboratorium konvensional tidak dibutuhkan untuk diagnosis ataupun tatalaksana
Parkinson.
 CT-scan MRI otak tidak dapat menunjukkan abnormalitas yang konsisten.
 PET-scan dengan penggunaan 6-[ ]fluorolevodopa dapat menunjukkan berkurangnya radioisotope di
striata.Namun,PET-scan belum dapat dianggap sebagai alat diagnostic Parkinson.

Tujuan tatalaksana
Untuk memperbaiki fleksibilitas dan mobilitas dan mencegah perburukan ke stadium yang lebih lanjut.

Tatalaksana
Rehabilitasi
Dalam perjalanan penyakit gejala Parkinson memburuk secara gradual,pasien dapat mendapat manfaat dari
terapi fisik berkala.Latihan berjalan penting diterapkan karena sangat membantu dalam mencegah jatuh
dan trauma.Latihan berjalan umumnya melath pasien agar dapat mengambil langkah yang lebih jauh dan
menapakkan kakinya pada setiap langkah.Metode lainnya adalah menggunakan isyarat visual untuk
mempertahankan ukuran regular dari setiap langkahnya,misalnya dengan menempelkan beberapa selotip
dilantai dengan interval yang teratur.Pada tahap yang lebih progresif,dapat terjadi episode diam (frozen
gait),dimana kaki tampak terperangkap di lantai.Episode diamt tersebut dapat diatasi dengan beberapa
teknik,misalnya membayangkan seseorang melangkah melewati suatu garis khayalan sambil dihitung
dengan irama yang teratur,atau dengan berbaris teratur.

Terapi okupasi terutama membantu dalam penggunaan alat-alat adaptif atau membantu menciptakan
rutinitas-rutinitas baru sehingga memungknkan pasien-pasien Parkinson untuk melanjutkan aktivitasnya
secara mandiri.

Latihan bicara diberikan pada pasien yang mengalami kesulitan berkomunikasi baik disartia maupun
hipofonia.Evakuasi dan terapi menelan juga membantu pengobatan disfagia.NGTdigunakan pada pasien
Parkinson dengan disfagia,dimana pemberian obat dosisnya disesuaikan.

Keuntungan yang diperoleh dari terapi rehabilitasi lebih dari sekedar paerbaikan fungsi motorik.Dari segi
fisik termasuk perbaikan kekuatan dan tonus otot serta mempertahankan rentang gerakan sendi yang
edekuat.Sedangkan keuntungan psikologis yang didapat adalah pasien dilibatkan secara aktif dalam terapi
dan memberikan perasaan mampu mengatasi efek penyakitnya.Terapi fisik dan okupasi tersebut
difokuskan pada mobilitas,prnggunaan alat-alat adaptasi,lingkungan demi patient safety baik dirumah dan
tempat kerja.

Komplikasi
 Komplikasi penyakit:
- Depresi (masih diperdebatkan)
- Komplikasi saluran cerna,yaitu disfagia akibat kurangnya control M.masseter dan otot-otot
orofaring
 Komplikasi terapi:
- Withdrawal,dapat disertai perasaan cemas,disforia,atau panic
- Diskinesia yang diinduksi akibat penggunaan Levodopa
Vertigo

Batasan dan Uraian umum


Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerakan dari tubuh atau rasa gerakan dari lingkungan
sekitarnya . Vertigo ialah ilusi bergerak atau halusinasi gerakan.
Penderita merasa lingkungannya begerak padahal lingkungan diam atau penderita merasa dirinya bergerak
padahal tidak. Gerakan vertigo umunya adalah gerakan berputar namun dijumpai kasus gerakan bersifat
linier, tubuh seolah-olah didorong atau ditarik menjauhi bidang vertical. Vertigo disebabkan oleh gangguan
/kelainan /penyakit sitem vestibular. Sering disertai gangguan otonom seperti rasa mual , pucat, keringat
dingin , diare, perubahan denyut nadi dan tekanan darah.

Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi
diruangan. Keseimbangan diatur oleh integrasi berbagai system. Yang paling banyak peranannya ialah
sitem vestibular, system visual dan sitem somatosensorik (propioseptif)
Bentuk keseimbangan yang sering dijumpai ialah.
- Disekuilibrium (rasa tidak seimbang)
- Kepala terasa ringan , enteng
- Merasa seolah-olah hamper pingsan,”hilang”, sinkop,”blackout”
- Vertigo (halusinasi gerakan, rasa bergerak)
- Nistagmus

Klasifikasi vertigo dibagi menjadi 3 kategori mayor yaitu:


1. Perifer
Penyebab perifer vertigo dapat berasal dari disfungsi sitem vestibular (telinga dalam atau saraf
vestibular) dan servikogenik.
a. Vertigo vestibular dapat disebabkan adanya penyakit sistem vestibuler perifer seperti
serumen,benda asing, OMP, infeksi, trauma dan tumor N VIII, BPPV (Benign Paroxysmal
Positional Vertigo),penyakit Meniere (adanya tuli, vertigo dan tinnitus)
Gejala vertigo vestibular:
- Pusing berputar, jalan sempoyongan, jalan membelok
- Keringat dingin, mual, muntah
- Gerakan mata ulang-alik di luar kemauan (nistagmus)
- oscillopsia(obyek yang diam tampak bergoyang)
- Diplopia (obyek Nampak ganda)
- Gejala penyerta dari penyakit penyebab vertigo

b. Sedangkan vertigo servikogenik akibat adanya gangguan musculoskeletal pada daerah servikal.
Gejala vertigo servikogenik:
- Sensasi gerak, sering merasa dirinya berputar atau sekelilingnya berputar
- Sensasi mengambang, terayun-ayun, miring, atau melayang
- Kadang disertai mual, sensitivitas visulal motor, dan telinga seperti terasa penuh
- Nyeri servikal atau kepala dapat mengganggu tidur dan aktivitas fungsional
- Parestesia pada daerah dermatom servikal atas, pada pasien dengan radikulitis servikal

2. Sentral
Adanya lesi atau gangguan pada pusat keseimbangan susunan saraf (batang otak, serebelum, atau
otak sendiri) pusat yang memberikan gejala yang lebih ringan dari pada penyebab perifer. Biasanya
diikuti defisit neurologis seperti gangguan berbicara, diplopia, nistagmus vetikal/torsional. Terjadi
gangguan keseimbangan hebat sehingga pasien tidak dapat berdiri apalagi berjalan.

Lesi sentral dapat disebabkan oleh adanya infrk, haemoragik, tumor, epilepsy, servical spine
disorder,lateral medullary syndrome, multiple sclerosis, Parkinson, dan disfungsi serebral.

3. Kondisi sistemik
Kadang-kadang berhubungan dengan diabetic neuropati dan penyakit autoimun.
Gejala umum
- Sensasi berputar saat statis bersama-sama dengan mual, muntah, gangguan keseimbangan, dan
berkeringat banyak
- Penglihatan kabur
- Kesulitan berbicara
- Pendengaran berkurang
- Seiring bertambahnya usia biasanya terdapat degenerasi organ keseimbangan yaitu ampula dan
otolit

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan mata : nistagmus
 Pemeriksaan keseimbangan tubuh :
- Tes Romberg yang dipertajam
 Tes melangkah ditempat (steping test)
 Pemeriksaan koordinasi:
- Tes tunjuk hidung dan jari (past pointing/salah tunjuk)
- Tes tunjuk jari kanan-kiri
- heel shin test
 Pemeriksaan neurologic lain:
- Nervus kranialis, kekuatan otot, sensibilitas, propioseptif
 Pemeriksaan musculoskeletal
- Palpasi dan ROM facet joint daerah servikal untuk menentukan gangguan mekanik.
Pasien dengan nyeri kepala servikal dan gangguan keseimbangan mempunyai keterbatasan gerak
saat fleksi dan ekstensi, nyeri akibat gangguan sendi servikal dan kaku otot.
- Myofascial trigger point sebaiknya dicari di daerah otot-otot sternoc leidomastoideus,
paraservikal, levator scapula, upper trapezius, dan suboksipital.
 Pemeriksaan otologik
- Garputala tuli persepi / konduksi
- Audiometri
- Hall pike test
 Tes kalori
 Elektronistragmografi, EEG, BAEP
 Posturografi (6 tahap)
 MRI, CT-Scan
 Pemeriksaan Fisik Umum
- Fungsi kardiovaskuler, endokrin
 Keterbatasan Fungsi
Kesulitan saat berjalan dan menjaga keseimbangan, sehingga pasien menjadi tidak percaya diri saat
melakukan aktifitas seperti menyetir karena rotasi servikal memicu gejala. Pekerjaan yang
membutuhkan keseimbangan dan koordinasi sebaiknya dibatasi. Cemas yang sering terjadi pada
gangguan keseimbangan juga memicu diabilitas sekunder.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
 EEG, EMG, EKG
 Radiologi
Fhoto Rontgen : adanya gambaran osteoarthritis dan instabilitas servikal
MRI : bila curiga adanya spondylosis sevikal

Tata laksana

A. Vertigo servikogenik
- Mengurangi spasme otot leher dan bahu
- Menjaga lingkup gerak sendi servikal dan sendi bahu
- Memperbaiki postur dan fungsi dengan menggukan modalitas dan terapi latihan.
- Terapi: myofasial trigger point
- Latihan vestibular
- - Kontrol postur guna memperbaiki postur, ergonomic dan aktivitas fungsi sehari-hari
B. Vertigo vestibular
 Terapi kausal,
Mencari penyebab terjadinya vertigo merupakan terapi pilihan utama.
 Terapi Simtomatik, ditunjukan pada 2 gejala utama :
- Vertigo : berputar, melayang
- Gejala otonom : mual, muntah
 Terapi Rehabilitatif
- Untuk menimbulkan dan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien
gangguan vestibular
- Latihan vestibular / vestibular Exercise

Latihan Vestibular
- Metode brand – Daroff : untuk penderita PBBV (Benign Paroxysmal Position Vertigo)
- Latihan Visual_Vestibular
1. Pasien berbaring :
a. Melirik ke atas – bawah – kanan – kiri
b. Gerak kepala fleksi – ekstensi
2. Pasien duduk :
a. Gerak kepala ke atas – bawah cepat
b. Menatap ke kiri atas – ke kanan atas bergantian
c. Ambil benda di lantai
- Epplye maneuver/ Canalit repotitioning
- Semont maneuver / Liberatory maneuver

Latihan Berjalan
Sesuai kondisi

Komplikasi
Komplikasi yang sering seperti inaktivitas, sindroma dekondisioning, jatuh, takut untuk keluar rumah,
cemas dan depresi, nyeri leher kronis dan pusing terus menerus meskipun telah diberikan
pengobatan.
Tumor Medula Spinalis

Batasan dan Uraian Umum


Tumor spinal adalah suatu tumor / neoplasma yang terletak pada medulaspinalis. Sebagian besar adalah
jinak, sedangkan sebagian besar tumor otak adalah ganas. Kebanyakan merupakan metastasis tumor dari
kanker primer lainnya, umumnya payudara, prostat dan paru-paru. Tumor primer dapat jinak
(hemangioma) atau ganas.

Klasifikasi tumor spinal berdasarkan lokasi neuroanatomis:


1. Ekstradural
2. Intradural :
a. Intradural intramedularis
b. Intradural ekstramedularis

Gejala
Gejala tumor spinalis tergantung pada level medula spinalisnya dan lokasi neuroanatomis ekstradural atau
intradural. Gejala yang timbul tergantung level medulla spinalis, vertebra, maupun saraf spinal perifer yang
terkena baik motorik , sensorik dan otonomik.
Adanya inkontinesia dan sadlle anastesia adalah gejala yang timbul akibat kompresi medulla spinalis oleh
tumor. Gejala lainnya adalah paraparese, paraplegi, gangguan sensibilitas dan onsetnya berlangsung cepat.
Kompresi medulla spinalis biasanya ditemukan pada metastasin akibat keganasan. Nyeri punggung adalah
symptom utama dari pasien dengan kompresi medulla spinalis akibat metastasis.

Gejala-gejala berdasarkan lokasi dan jenis tumor:


 Jenis tumor :
a. Neurofibroma dapat menyebabkan nyeri pada distribusi akar saraf beberapa bulan sebelum
menjadi cukup besar untuk menekan madula spinalis. Inin kemudian menyebabkan sindroma
Brown- Sequard dan kemudian, seiring bertambah besar, menjadi lesi melintang total.
b. Meningioma dan hemangioblastoma berprilaku seperti neurofibroma tetapi dengan tanda-tanda
medulla spinal yang lebih banyak dan sedikit nyeri akar saraf
 Tumor intrinsik medulla spinalis umumnya pada region servikal.
a. Awalnya merusak serabut sensorik yang menyilang satu sama lain di tengah medulla spinalis dan
oleh karenanya menghasilkan kehilangan sensasi nyeri dan temperator pada tangan dan tubuh
bagian atas (seperti sringomyelia).
b. Tumor tersebut kemudian menyebar dan mengenai serabut motorik pada tkaktus piramidalis dan
menyebabkan paralisis ekstremitas bawah.
 Tumor diluar medula spinalis bagian bawah yang menginfiltrasi kauda equine memberikan gejala
sindrom kauda equine. Berdasarkan posisi tersebut, tumor dapat menyebabkan paralisis flasid yang
progresif dari kedua tungkai dengan hilangnya sensasi pada daerah bokong dan bagian belakang
tungkai . Sindrom kunus medularis biasanya tidak menyebabkan paralisis dari kedua tungkai bawah,
yang terjadi gangguan otonomik yang mengenai fungsi berkemih, fungsi bowel, dan fungsi seksual.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : CSF
 MRI
 Bone scanning
 Myelogram
 Pemeriksaan histology jaringan tumor

Diagnosis rehabilitasi ditetapkan berdasarkan AIS termasuk menggunakan FIM

Tata laksan

 Steroid, diberikan jika terdapat kompresi pada madula spinalis. Obat ini tidakberpengaruh kepada
massa tumor itu sendiri,tetapi untuk mengurangi reaksi inflamasi di sekitarnya,oleh karenanya
mengurangivolume keseluruhan dari massa yang menekan medulla spinalis.
 Radioterapi
 Pembedahan kadang-kadang memungkinkan

Tatalaksana Rehabilitasi
Proses rehabilitasidibagi dalam 3 fase:
1. Fase Akut
Dilaksanakan saat rawat inap.Tujuan rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit
neurologis dan mencegah komplikasi tirah baring
Program:
 Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronkial
 Mencegah dekubitus
 Mencegah komplikasi kardiovaskuler
 Mencegah kontraktur dan deformitas
 Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius

2. Fase Pemulihan
Dilaksanakan saat rawat inap,merupakan proses rehabilitasi aktif.Tujuan rehabilitasi untuk mengatasi
masalah disabilitas dan handicap yang ditimbulkan akibat cedera,memaksimalkan fungsi yang ada
untuk kemandirian,meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah komplikasi sekunder.
Program:
 Terapi latihan mobilitas dan transfer
 Pemberian ortosis (spinal dan splint tangan)
 Terapi latihan persiapan ambulasi
 Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
 Terapi latihan perawatan diri
 Terapi latihan control miksi dan defekasi
 Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
 Teapi support (kelompok)

3. Fase Lanjut
Dilaksanakan saat rawat jalan,dilakukan seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap.Tujuan
rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup,mempertahankan kemampuan fungsional dan
memiliki produktivitas sesuai kemampuan.
Program:
 Resosialisasi
 Rujukan untuk vocational training
 Konseling keluarga

Meningitis

Batasan dan Uraian Umum


Meningitis adalah Inflamasi/radang pada meningen yang membungkus otak dan medulla spinalis,umumnya
pada lapisan piameter dan arachnoid.
Peradangan dapat disebabkan oleh:
 Infeksi: virus,bakteri,jamur,parasit
 Aseptik: semua kasus meningitis akibat virus,bakteri yang sudah mendapat pengobatan sehingga
tidak ditemukan bakteri atau virus,infeksi lain (sinusitis,endokarditis),infeksi spiroketa
(sifilis,Lymedisease),malaria serebral,jamur (kriptokokus),dan amuba.
 Non infeksi :penyebaran kanker pada meningen,obat-obatan (NSAID, antibiotika,immunoglobulin
intravena,sarcoidosis,SLE,vaskuilitas.
Tumor Medula Spinalis

Batasan dan Uraian Umum


Tumor spinal adalah suatu tumor/neoplasma yang terletak pada medula spinalis. Sebagian besar adalah
jinak, sedangkan sebagian besar tumor otak adalah ganas. Kebanyakan merupakan metastasis umor dari
kanker primer lainnya, umumnya payudara, prostat dan paru-paru. Tumor primer dapat jinak
(hemangioma) atau ganas.

Klasifikasi tumor medula spinalis berdasarkan lokasi neuroanatomis:


1. Ekstradural
2. Intradural :
a. Intradural intramedularis
b. Intradurral ekstramedularis

Gejala
Gejala tumor spinal tergantung pada level medula spinalisnya dan lokasi neuroanatomis ekstradural atau
intradural. Gejala yang timbul tergantung pada level medula spinalis, vertebra, maupun saraf spinal perifer
yang terkena baik motorik, sensorik dan otonomik.
Adanya inkontinesia dan sadlle anastesia adalah gejala yang timbul akibat kompresi medula spinalis oleh
tumor. Gejala lainnya adalah paraparese, paraplegi, gangguan sensibilitas dab onsetnya berlangsung cepat.
Kompresi medula spinalis biasanya ditemukan pada metastasis akibat keganasan. Nyeri punggung adalah
simptom utama dari pasien dengan kompresi medula spinalus akibat metastasis.

Gejala-gejala berdasarkan lokasi dan jenis tumor:


 Jenis Tumor :
a. Neurofibroma dapat menyebabkan nyeri pada distribusi akar saraf beberapa bulan sebelum menjadi
cukup besar untuk menekan medula spinalis. Ini kemudian menyebabkan sindroma brown-Sequard
dan kemudian, seiring bertambah besar, menjadi lesi melintang total.
b. Meningioma dan hemangioblastoma berperilaku seperti neurofibroma tetapi dengan tanda-tanda
medula spinal yang lebih banyak dan sedikit nyeri akar saraf.
 Tumor Instrinsik medula spinalis umumnya pada regio servikal.
a. Awalnya merusak serabut sensorik yang menyilang satu sama lain di tengah medula spinalis oleh
karenanya menghasilkan kehilangan sensasi nyeri dan temperatur pada tangan dan tubuh bagian atas
(seperti syringomyelia).
b. Tumor tersebut kemudian menyebar dan mengenai serabut motorik pada traktus piramidalis dan
menyebabkan paralisis ekstremitas bawah.
 Tumor diluar medula spinalis bagian bawah yang menginfiltrasi kauda equina memberikan gejala
sindrom kauda equina. Berdasarkan posisi tersebut, tumor dapat menyebabkan paralisis flasid yang
progresif dari kedua tungkai dengan hilangnya sensasi pada daerah bokong dan bagian belakang
tungkai. Sindrom konus medularis biasanya tidak menyebabkan paralisis dari kedua tungkai bawah,
yang terjadi adalah gangguan otonomik yang mengenai fungsi berkemih, fungsi bowel, dan fungsi
seksual.

Pemerikasaan Penunjang
 Laboratorium : CSF
 MRI
 Bone scanning
 Myelogram
 Pemeriksaan histologi jaringan tumor

Diagnosis rehabilitasi ditetapkan berdasarkan AIS termasuk menggunan FIM.

Tata laksana
 Steroid, diberikan jika terdapat kompresi pada medula spinalis. Obat ini tidak berpengaruh kepada
massa tumor itu sendiri, tetapi untuk mengurangi reaksi inflamasi di sekitarnya , oleh karenanya
mengurangi massa volume keseluruhan dari massa yang menekan medula spinalis.
 Radioterapi
 Pembedahan kadang-kadang memungkinkan

Tatalaksana Rehabilitasi
Proses rehabilitasi dibagi dalam 3 fase :
1. Fase Akut
Dilaksanakan saat rawat inap. Tujuan rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit neurologis
dan mencegah komplikasi tirah baring.
Program
 Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronkial
 Mencegah dekubitus
 Mencegah komplikasi kardiosvaskuler
 Mencegah kontraktur dan deformitas
 Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius
2. Fase Pemulihan
Dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabiltasi aktif . tujuan rehabilitasi untuk mengatasi
masalah disabilitas dan handicap yang ditimbulkan akibat cedera, memaksimalkan fungsi yang ada
untuk kemandirian, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah komplikasi sekunder.
Program :
 Terapi latihan mobilisasi dan transfer
 Pemberian ortosis (spinal.tungkai dan splint tangan)
 Terapi latihan persiapan ambulasi
 Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
 Terapi latihan perawatan diri
 Terapi latihan kontrol miksi dan defakasi
 Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
 Terapi support (kelompok)

3. Fase Lanjut
Dilaksanakan saat rawat jalan, dilakukan seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap. Tujuan
rehabilitasi untuk meingkatkan kualitas hidup, mempertahankan kemampuan fungsional dan memiliki
produktivitas sesuai kemampuan.
Program :
 Resosialisasi
 Rujukan untuk vocational training
 Konseling keluarga

Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Sabharwal S, Wierbicky J, Nesathurai S. Spinal Cord Injury. In: Frontera WR, editor. Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia ; 2008 .p 859-85
3. Bryce T.N Ragnarsson K.T, Stein A.B Biering-Sorensen F. .Spinal Cord Injury. In: Braddom RL et. al.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 1293-346
4. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007●
Meningitis

Batasan dan Uraian Umum


Meningitis adalah inflamasi/radang pada meningen yang membungkus otak dan medulla spinalis,
umumnya pada lapisan piamater dan arachnoid.
Peradangan dapat disebabkan oleh :
 Infeksi : Virus, bakteri, jamur, parasit
 Aseptik : semua kasus meningitis akibat virus, bakteri yang sudah mendapat pengobatan sehingga tidak
ditemukan bakteri atau virus, infeksi lain (sinusitis, endokarditis), infeksi spiroketa (sifilis, Lyme
disease), malaria serebral, jamur (kriptokokus), dan amuba.
 Non infeksi : penyebaran kanker pada meningen, obat-obatan (NSAID, antibiotika, immunoglobulin
intravena, sarcoidosis, SLE, vaskuilitis.

Gejala
Gejala yang paling umum adalah sakit kepala dan kuku kuduk, bersamaan dengan demam, Confusion,
penurunan/perubahan kesadaran, mual, muntah-muntah, photofobia, malaise, myalgia, diare, rash (terutama
jika penyebabnya meningokokus). Pada anak-anak terdapat irritability dan drowsiness.

Gejala klinis
Gejala klinis pada orang dewasa adalah sakit kepala luar biasa (90% pada meningitis bakteri) dan adanya
nuchal rigidity.
Triad diagnostic dari meningitis:
- Nuchal rigidity
- Sudden high fever
- Perubahan status mental
- Photophobia, fonophobia
Gejala diatas tidak ditemui pada anak-anak, irritable dan bulging dari fontanella, lack vein, cold extremity
dan abnormal skin colour.
Meningitis yang disebabkan meningococcus biasanya didahului oleh petechiae rash.

Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan khusu : adanya kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinksy yang positif.
- Tanda-tanda tekanann intracranial meningkat : penurunan kesadaran, papill edema, dan padabayi sampai
umur 6 bulan tampak fontanella menggembung.
- Meningkatnya lingkar kepala dapat terjadi pada bayi dengan hidrosefalus.

Keterbatasan gfungsional
- Gangguan kognitif
- Gangguan pendengaran (10%)
- Retardasi mental (5%)
- Gangguan penglihatan (kebutaan)
- Deficit neurologis permanen (5%)

Komplikasi
- Sepsis
- Systemic inflammatory response syndrome : tekanan darah turun, denyut jantung cepat, suhu tinggi/
rendahabnormal, nafas cepat
- DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
- Gangren (bila penyebab infeksi : meningokokus)
- Pada infeksi meningokokus atau pnemokokus dapat menyebabkan pendarahan kelenjar adrenal yang
menyebabkan sindrom Waterhouse-Friderichsen
- Peningkatan tekanan intracranial
- Herniasi
- Hidrosefalus
- Kejang
- Kelainan saraf kranial
- Ensefalitis
- Vaskulitis
- Trombosis vena serebral
- Epilepsi

Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : darah, cairan serebrospinal
- Virus-specific PCR, titer antibody, dan kultur (jika penyebab virus)
- CT scan
- MRI

Tata laksana
Rehabilitasi fase akut : (dilaksanakan saat rawat inap)
 Tujuan Rehabilitasi :
- Mencegah atau meminimalkan defisit neurologis
- Nencegah efek tirah baring lama

 Program rehabilitasi :
- Cegah kegagalan respirasi akibat retensi sputum
- Cegah ulkus decubitus
- Cegah komplikasi kardiovaskuler
- Cegah kekakuan sendi
- Cegah distensi baldder dan infeksi traktus urinarius
Rehabilitasi fase pemulihan (dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabilitasi aktif) :
 Tujuan rehabilitasi :
- Mencegah masalah disabilitas dan handicap yang timbul
- Memaksimal fungsi yang ada untuk kemandirian
- Meningkatkan kebugaran kardiopulmoner
- Mencegah komplikasi sekunder
 Program rehablilitasi :
- Terapi latihan fungsi luhur kognitif : arousal, atensi, fungsi eksekutif, inisiasi, bahasa dan
komunikasi, memori, persepsi serta visuopasial
- Terapi perilaku dan psikoterapi untuk mengatasi emosi dan depresi
- Terapi latihan oromotor dan fungsi menelan
- Terapi latihan control miksi dan atau defekasi
- Terapi latihan persiapan mobilisasi dan transfer
- Terapi latihan keseimbangan
- Terapi latihan persiapan ambulasi
- Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
- Splint tangan dan alat bantu adaptif bila diperlukan
- Ortosis tungkai (AFO, KAFO) bila diperlukan
- Latihan jalan dengan atau tanpa ortosis tungkai, dengan atau tanpa alat bantu (crutches, candian,
walker)
- Terapi latihan kebugaran
- Terapi latihan prevokasional
- Aktivitas hobi dan olahraga yang sesuai
- Edukasi : persiapan kembali ke rumah, problema seksual dan family planning
- Terapi suportif (kelompok) : pemahaman mengenai kecacatan

Rehabilitasi fase lanjut (dilakasanakan dalam rawat jalan, lamanya seumur hidup untuk kecacatan
menetap) :
 Tujuan rehabilitasi :
- Resosialisasi (diantaranya mengembalikan ke tempat kerja atau menyiapkan untuk kemampuan
bekerja )
- Mempertahankan kemampuan fungsional
- Meningkatkan kualitas hidup
 Program rehabilitasi :
- Resosialisasi
- Rujukan untuk vocational training
- Kenseling keluarga
- Program latihan di rumah
- Follow up

Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Koppel BS. Bacterial, fungal, & parasitic infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current
Diagnosis & Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007. P 403-48.
3. Sevigny J. Frontera J. Viral infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current Diagnosis &
Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007; p 449-61.
4. Roos KL, Tyler KL, Meningitis, encephalitis, brain abscess, and empyema. In : Hauser SL editor.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw Hill. 2006; p 423-55.
5. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007.
Ensafalitis

Batasan
Ensafalitis adalah suatu peradang otak akut. Ensafalitis disertai meningitis disebut meningoensefalitis.
Penyebab :
 Infeksi :
- Virus : rabies, herpes, polio, measles
- Bakteri
 Komplikasi atau infeksi sekunder dari sifilis
 Infestasi : parasite/protozoa (toxoplasmosis, malaria, amoeba)
 Compromised immune systems
 Lyme disease, bartonella henselae
 Jamur (kriptokokus) pada pasien immunocompromised

Gejala
- Sakit kepala
- Demam
- Confusion
- Drowsyness (mengantuk)
- Gangguan kesadaran : dari lethargy sampai koma
- Fatigue
- Kejang
- Tremor
- Halusinasi
- Agitasi
- Gangguan kepribadian
- Gangguan perilaku
- Gangguan memory
- Gangguan neurologis : afasia, ataxia, hemiparesis, gerakan involunter (mioklinik, tremor), deficit nervus
kranialis

Pemeriksaan fisik
- Gangguan kesadaran, drowsiness/mengantuk, kadang-kadang kejang, kaku kuduk
- Tanda Kernig dan Brudzinsky positif jika terdapat meningoensefalitis

Keterbatasan fungsional
- Kesulitan dalam berjalan dan melakukan aktivitas harian
- Gangguan kognitif
- Gangguan menelan
- Gangguan komunikasi karena afasia atau disartria
- Inkontinensia urin
- Gangguan depresi

Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : darah, cairan cerebrospinal, serologi (PCR)
- Pungsi lumbal : pemeriksaan LCS terdapat peningkatan protein dan sel darah putih dengan glukosa
normal.
- CT scan
- MRI
- EEG

Tata laksana
Rehabilitasi fase akut : (dilaksanakan saat rawat inap)
 Tujuan rehabilitasi :
- Mencegah atau meminimalkan deficit neurologis
- Mencegah komplikasi tiring baring
 Program rehabilitasi :
- Cegah kegagalan respirasi akibat retensi sputum
- Cegah ulkus decubitus
- Cegah komplikasi kardiovaskuler
- Cegah kekakuan sendi
- Cegah distensi bladder dan infeksi traktus urinarius

Rehabilitasi fase pemulihan (dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabilitasi aktif):
 Tujuan rehabilitasi :
- Mengatasi masalah disabilitas dan handicap yang timbul
- Memaksimalkan fungsi yang ada untuk kemandirian
- Meningkatkan kebugaran kardiopulmoner
- Mencegah komplikasi sekunder
 Program rehabilitasi :
- Terapi latihan fungsi luhur kognitif : arousal, atensi, fungsi eksekutif, inisiasi, bahasa dan
komunikasi, memori, persepsi serta visuopasial
- Terapi perilaku dan psikoterapi untuk mengatasi emosi dan depresi
- Terapi latihan oromotor dan fungsi menelan
- Terapi latihan control miksi dan atau defekasi
- Terapi latihan persiapan mobilisasi dan transfer
- Terapi latihan keseimbangan
- Terapi latihan persiapan ambulasi
- Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
- Splint tangan dan alat bantu adaptif bila diperlukan
- Ortosis tungkai (AFO, KAFO) bila diperlukan
- Latihan jalan dengan atau tanpa ortosis tungkai, dengan atau tanpa alat bantu (crutches, candian,
walker)
- Terapi latihan kebugaran
- Terapi latihan prevokasional
- Aktivitas hobi dan olahraga yang sesuai
- Edukasi : persiapan kembali ke rumah, problema seksual dan family planning
- Terapi suportif (kelompok) : pemahaman mengenai kecacatan

Rehabilitasi fase lanjut (dilakasanakan dalam rawat jalan, lamanya seumur hidup untuk kecacatan
menetap) :
 Tujuan rehabilitasi :
- Resosialisasi (diantaranya mengembalikan ke tempat kerja atau menyiapkan untuk kemampuan
bekerja )
- Mempertahankan kemampuan fungsional
- Meningkatkan kualitas hidup
 Program rehabilitasi :
- Resosialisasi
- Rujukan untuk vocational training
- Kenseling keluarga
- Program latihan di rumah
- Follow up

Komplikasi
 Kejang
 Terlibatnya jaras hipotalamus-hipofisis dapat menyebabkan gangguan regulasi suhu, diabetes insipidus,
SIADH (Syndrome of inappropriate.Antidiuretic Hormone Secretion)
Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Sevigny J. Frontera J. Viral infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current Diagnosis &
Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007; p 449-61.
3. Roos KL, Tyler KL, Meningitis, encephalitis, brain abscess, and empyema. In : Hauser SL editor.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw Hill. 2006; p 423-55.
4. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007.
Bell’s Palsy

Definisi
Bell’s palsy adalah facial paralisis karena disfungsi dari nervus fasiaalis perifer yang menyebabkan
kelumpuhan otot-otot wajah. Dapat disebabkan oleh inflamasi yang menyebabkan edema nervus fasialis.
Suatu proses non-supuratif, neo-plasmatik, non-degeneratif primer pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang akut dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan.

Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga terjadi pembengkakan pada saraf wajah sebagai reaksi terhadap
infeksi virus, penekanan atau berkurangnya aliran darah.

Patofisiologi
Adapun etiologi Bell’s palsy, proses yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy
adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan
pertama adalah endothelium dari kapiler dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi
kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan alirah darah
sehingga terjadi hipoksia yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya
enzim proteolitik, terbentuknya peptide-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai
hancurnya nucleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

Gejala
 Terjadi secara tiba-tiba
 Terjadi kelemahan otot wajah (kelemahan otot wajah yang terjadi bisa ringan sampai berat tetapi,
biasanya oada satu sisi wajah)
 Merasakan nyeri dibelakang telinga
 Mati rasa, atau merasakan ada beban berat di daerah wajah, meskipun sebetulnya sensasi di wajah
adalah normal
 Karena bersifat perifer, maka penderita mengalami kesulitan dalam menutup mata pada sisi yang
terkena, mempengaruhi sekresi air liur, air mata dan mempengaruhi rasa pengecapan dilidah.

Anamnesa
 Rasa nyeri.
 Gangguan atau kehilangan pengecapan.
 Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar
ruangan.
 Riwayat penyakit yang pernah dialamai oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes,
dan lain-lain.

Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis paresis N.VII tipe perifer yaitu gerakan volunter dari :
 Mengerutkan dahi
 Memejamkan mata
 Mengembangkan cuping hidung
 Tersenyum
 Bersiul
 Mengencangkan kedua bibir

Prognosis
Prognosis bell’s palsy baik

Diferensial diagnosis
 Tumor pada serebelopontin angle yang menekan saraf fasialis
 Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misal sindroma Ramsay Hunt)
 Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus
 Patah tulang pada dasar tengkorak

Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengeklusikan bell’s palsy dari diferential diagnosis diatas dapat ditentukan dari riwayat perjalanan
penyakit, hasil pemeriksaan Rontgen, CT-scan, MRI dan elektrifisiologi.

Terapi Rehabilitasi
 Terapi medikementosa oral (golongan kortikosteroid)
 Terapi non medikamentosa:
- Untuk mengurangi nyeri pemberian modalitas panas pada sisi wajah yang terkena.
Pemanasan superfisial dengan infra reds, pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau
Microwave Diathermy dengan memperhatikan indikasi dan kontraindikasi.
- Latihan reedukasi otot-otot wajah.
Latihan gerak volunter otot wajah dengan massage wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengakat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut,
tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan di depan kaca untuk feedback dengan konsentrasi penuh).
- Pemberian Modalitas listrik untuk mencegah atrofi dan memperkuat otot.
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah / memperlambat terjadi
atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi otot, melatih fungsi otot,
meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta mencegah perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah
onset.

Perawatan Mata
 Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
 Memakai kacamata gelap sewaktu berpergian siang hari
 Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

Program Rumah
 Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit bila sudah melewati stadium akut.
 Massage wajah yang sakit kea rah atas dengan menggunan tangan dari sisi wajah yang sehat.
 Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan ,
mengunyah permen karet.

Daftar Pustaka
1. Sidharta P. Bell’s Palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. astroasmoro S,
Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat Jakarta ; 2007.
2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II: Clinical Evaluation anda Findings . In: Braddoom RL. et
al. Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p.209
3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affairs Ministry of Health –
Physical Therapy Management Facial nerve Paralysis. Kuwait; 2007.
4. Teixeira LJ. Physical for Bell’s Palsy (idiopathic facial for paralysis). The Cochrane Collaboration .
Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 2008.
CARPAL TUNNEL SYNDROME

Batasan dan Uraian Umum


Carpal tunnel Syndrome (CTS) adalah neuropati akibat kompresi nervus medianus pada terowongan carpal
dipergelangan tangan. Kelainan ini merupakan mononeuropati yang tersering akibat kompresi saraf pada
anggota gerak atas. Biasa dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu seperti posisi pergelangan tangan
dan tangan yang salah, penekanan pada bagian dasara telapak tangan dan gerakan yang berlebihan dan
vibrasi.

Gejala
- Gejala klasik CTS adalah baal dan paresthesia pada digiti I, II, III, dan setengah lateral digiti IV. Gejala
awal berupa terbangun pada malam hari denga rasa baal atau nyeri pada jari-jari. Gejala pada siang hari
biasanya disebabkan oleh aktivitas yang memposisikan pergelangan tangan pada fleksi atau ekstensi
berlebihan atau gerakan repetitif yang berlebihan.
- Gejala nyeri pada sisi volar pergelangan tangan dan pegal pada forearm juga dapat ditemukan. Gejala
berkurang dengan mengibas-ngibaskan tangan (flick sign).
- Gangguan otonom dapat dideskripsikan sebagai adanya edema pada tangan, kulit kering dan dingin.
- Pada tahap yang lebih lanjut, rasa baal dirasakan konstan dan gangguan motorik tampak lebih jelas,
dengan keluhan kelemahan yang berhubungan dengan prehensi tangan. Dilaporkan sering menjatuhkan
benda yang digenggam.

Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi kedua tangan, dibandingkan sisi yang sakit dan sehat, perhatikan asimetris eminentia thenar
dan hypothenar. Kelamahan pada otot thenar dapat dites dengan dynamometer atau secara klinis dengan
memberikan tahanan pada gerakan abduksi digiti I.
 Pemeriksaan sensoris diskriminasi 2 titik merupakan pemeriksaan bedside yang paling sensitive. Tes
khusus yang sering dilakukan adalah tes Phalen (sensitivitas 68%; spesifitas 73%), Tinel (50%;77%)
dan tes kompresi saraf (64%;83%).
- Tes Phalen dilakukan dengan fleksi pada pergelangan tanagan sebesar 90 selama 1 menit, hasil
positif akan menimbulkan gejala CTS. Tes reverse phalen dilakukan dengan cara serupa dan ekstensi.
- Tes Tinel dilakukan dengan mengetuk pergelangan tangan bagian volar, distal dari wrist crease.
Hasil positif bila terjadi gangguan sensoris yang menjalar menjalar ke daerah inervasi nervus
medianus.
- Tes kompresi saraf dilakukan dengan memberika penekanan dengan kedua ibu jari pada daerah
carpal tunnel selama 1 menit.
 Diskriminasi 2 titik adalah tes yang spesifik tapi tidak sensitive.
 Atrofi dan tes kekuatan otot abductor pollicis brevis terbukti sebagai tes yang spesifik, tapi tidak
sensitif.

Keterbatasan Fungsional
- Sering terbangun saat tidur di malam hari.
- Kesulitan melakaukan repetitif seperti mengetik, mengemudi kendaraan bermotor.
- Kesulitan menggenggam benda
- Kesulitan mengikat tali sepatu, mengancingkan baju dan memasukkan kunci ke lubang kunci.

Pemeriksaan Penunjang
- Elektrofisiologi: EMG dan kecepatan Hantar Saraf
- Ultrasound muskulosletal
- Radiologi pergelangan tangan
- Laboratorium, untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan endokrin dan reumatologi

Tujuan tatalaksana
- Mengurangi nyeri, kesemutan
- Meningkatkan kekuatan otot
- Mengoptimalkan kemampuan fungsi tangan
Tatalaksana
Terapi Konservatif/Rehabilitasi
 Medikamentosa steroid sesuai indikasi (baik oral mapun injeksi). Pemberian oral dapat berupa
prednisone 1x20 mg pada minggu pertama dan 1x10 mg pada minggu kedua atau Prednisolone 1x25
mg selama 10 hari.
 Modifikasi pekerjaan sementara waktu termasuk modifikasi postur.
 Tendon and nerve gliding exercise
 Modalitas :
- Low Level Laser Therapy (LLLT) pada daerah carpal tunel. LLLT dapat mengurangi nyeri,
meningkatkan ROM aktif dan memperbaiki toleransi aktivitas fungsional.
- Pulsed Ultrasound (25% duty cycle), 1 MHz, 1,0 W/cm2 selama 15 menit.
 Ortotik. Penggunaan splint pada posisi netral pada malam hari dapat mengurangi gejala CTS.
Penggunaan full-time, bila dapat dilakukan dapat memberikan perbaikan gejala dan elektrofisiologi
yang lebih baik. Perbaikan maksimal terjadi pada 2-3 minggu.
 Selama periode istirahat, dilakukan streching fleksi dan ektensi pergelangan tangan dan forearm
dengan dibantu oleh tangan yang sehat (tendon & nerve gliding exercise.) Latihan strengthening
dapatdilakukan, namun hindari strengthening yang agresif.
 Semua tindakan diatas disesuaikan dengan derajat keparahan dan hasil pemeriksaan kemampuan
fungsional (Functional Status Scale (FSS) dan Symptom Severity Scale (SSS).

Komplikasi
Gangguan sensoris dan motorik kronik, kerusakan saraf permanen.

Daftar Pustaka
1. Zhao M, Burke D. Median Neuropathy (Carpal tunnel Syndrome). ln Frontera WR, editor.
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation.2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008
.p 173-7
2. Richardson JK, Craig A. Rehabilitation of Patients with Neuropathies. ln Braddom RL et al.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia; 2011. p 1084-5
3. Dellagata EM, Nolan Jr TP. Electromagnetic Waves: Laser, Diathermy, and Pulsed Electromagnetic
Fields. ln: Michlovitz SL et al. Modalities for Therapeutic lntervention. 5ed. F.A Davis Company.
philadelphia; 2012. p. 147-8
4. Nadler SF, Schuler S, Nadler JS. Cumulative Trauma Disorders. ln: Delisa JL et al. Physical
Medicine and Rehabilitation Principles and Practice.4th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia ; 2005. p. 623-4
5. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicine and Clinical
Neuromuscular Physiology. ln Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.
4th ed. Demos Medical Publishing. NewYork ; 2005. p. 401-2. ●
Guillain Barre Syndrome

Batasan dan Uraian Umum


GBS merupakan idiopatik polineuropati akut pada sistem saraf perifer, terjadi proses demielinisasi
dengan sifat assending paralyze. Autoimun diseases yang di trigger infeksi virus yang merusak
selubung saraf perifer (myelin), bisa reversible.

Klasifikasi GBS terdiri dari 6 subtipe:


1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP)
2. Miller Fisher Syndrome (MFS)
3. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
4. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
5. Acute Panautonomic NeuroPathy
6. Bickerstaff"s Brainstem encephalitis

Gejala
Kelemahan yang bersifat simetris mengenai anggota gerak bawah dan berprogress dengan cepat
secara assending, disertai atau tidak disertai disestesia (numbness or tingling) naik mengenai otot-otot
alat gerak atas dan otot wajah. Bila mengenai nervus kranialis bisa terjadi parese bulbar, orofaringeal
disfagia dan gangguan respirasi (30% membutuhkan ventilator). Gangguan sensansi berupa gangguan
propioseptif. Pada kasus-kasus berat terjadi gangguan fungsi otonom yaitu : fluktuasi tekanan darah,
hipotensi
ortostatik, dan kardiak aritmia
- Parastesia dimulai dari ujung jari-jari kaki simetris.
- Parastesia dapat berupa nyeri pada punggung atau tungkai
- Parastesis diikuti dengan kelemahan distal (tungkai bawah) dan ascending ke proksimal
secara simetris secara Progresif
- Kelemahan dapat berlangsung selama beberapa hari sampai 4 minggu
- Kelemahan dapat mengenai semua otot tubuh, termasuk otot-otot respirasi
- Sering didahului oleh infeksi virus, imunisasi, atau prosedur pembedahan

Pemeriksaan Fisik
- Abnormalitas sensori yang bersifat ascending secara simetris
- Kelemahan simetris bersifat ascending
- Hilangnya deep tendon reflex
- Gangguan sistem autonom dan adanya gangguan respirasi (gangguan saraf perifer yang mengenai
diafragma dan otot-otot intercostalis)
- Keterlibatan nervus kranialis

Keterbatasan fungsional
- Kesulitan mobilisasi dan melakukan aktivitas sehari-hari
- Gangguan menelan
- Gangguan respirasi

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium (cairan CSF) : peningkatan protein (100-1000mg/dl), tidak adanya pleiositosis.
 EKG akibat sistem otonomik terganggu
 Elektrofisiologi :
- KHS: dista latensi yang memanjang, perlambatan hantaran konduksi, conduction block, prolong
F wave dan H reflex, abnormal SNAP, abnormal CMAP peningkatan dispersi temportal
- EMG: normal pada fase akut, bisa terjadi penurunan firing motor unit pada usaha maksimal
atau recruitment motor unit menurun
- lndeks Barthel

Tujuan tatalaksana dibidang rehabilitasi


 Mencegah komplikasi imobilisasi lama
 Mencegah komplikasi respirasi: respiratory failure, atelektasis dan pneumonia
Tatalaksana
Fase akut
- Pasien GBS harus dirawat
- Observasi sistem kardiovaskuler dan respirasi secara serial. Jika kapasitas vital cepat menurun (<18
mL/kg berat badan), atau jika ada dysautonomia kardiovaskuler, pasien harus dimonitor di ICU
- Ventilator mekanik mungkin dibutuhkan pada fase ini
- Plasmafaresis
- Pemberian immunoglobulin intravena 0,4 kg/berat badan. Dapat memberikan gejala seperti
influenza: demam, myalgia, sakit kepala, mual muntah
- Positioning pasien untuk mencegah dekubitus, kontraktur, dan gangguan kardiopulmonal
Fase Lanjut
- Rehabilitasi respirasi dibutuhkan untuk mencegah atelektasis dan pneumonia
- Latihan lingkup gerak sendi untuk mencegah kontraktur
- Positioning pasien untuk mencegah ulkus dekubitus dan kompresi syaraf perifer
- Latihan penguatan otot dan latihan endurans intensitas dan frekuensi latihan ditingkatkan bertahap
sesuai kondisi pasien
- Pemakaian orthose seperti AFO
- Latihan stretching otot - otot hamstring, trensor fasia lata, dan gastrosoleus
- Gait training dengan menggunakan tilting table, jika kekuatan otot meningkat adekuat pasien
berlatih berjalan di parallel bar, kemudian meningkat dengan pemakaian alat bantu jalan sampai
mandiri

Komplikasi
 Gagal pernafasan
 Kontraktur
 lnfeksi saluran kemih
 Autonomik disfungsi

Prognosis
 Delapan puluh persen terjadi pemulihan yang komplit dalam waktu beberapa bulan sampai dengan 1
tahun,
 5-10% juga terjadi pemulihan tetapi dengan disabilitas berat,
 4% meninggal,
 5-10% terjadi eksaserbasi dimana akhirnya di kategorikan sebagai kronik inflammatory demyelinating
polyneuropaty (CIDP).
Prognosis buruk:
- Bila usia >40 tahun
- Didahului diare
- Membutuhkan ventilator
- adanya titer antiGM tinggi
- kekuatan otot anggota gerak atas yang rendah

Daftar Pustaka
1. Craig A. Richardson JK. Rehabilitation of Patinets With Neuropathies. ln: Braddom RL et al' Physical
Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 1072-4
2. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicine and Clinical
Neuromuscular Physiology. ln: Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.4th
ed. Demos Medical Publishing. New York ; 2005 .p. 385.
Myasthenia Gravis

Manifestasi klinis dan prosedur diagnostic


Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun dengan kelemahan otot yang bersifat fluktuatif pada saat
kelelahan. Hal ini disebabkan gangguan autoimun dimana kelemahan otot terjadi karena adanya antibodi
yang memblokir reseptor asetilkolin (AChR) pada paska sinaps neuromuscular junction. Terjadi inhibisi
pada efek eksitasi neurotransmiter asetilkolin pada reseptor nikotin di neuromuscular junction. Myasthenia
gravis dapat terjadi pada segala usia, puncak onset dini pada wanita antara usia belasan dan tiga puluhan.
Pada pria puncak onset pada usia lima puluhan sampai tujuh puluhan. Medikamentosa dengan
asetilkolinesterase inhibitor atau imunosupresan, juga thymectomy. Harus dibedakan dengan sindrom
myasthenia kongenital dimana gejala sama tapi tidak respon dengan pemberian imunosupresan.

Manfestasi myasthenia dapat bervariasi dan melibatkan otot-otot penggerak bola mata, otot wajah,
orofaring, otot-otot aksial dan tungkai. Reflek fisiologis, fungsi otot polos dan sensibilitas superfisial atau
kulit masih utuh. Diagnosis klinis myasthenia ditegakkan dengan pemerikaan serologis yang menunjukkan
adanya antibodi AChR dan respons dekremental elektrofisiologis terhadap stimulasi saraf 2-3 Hz berulang
pada otot-otot proksimal.

Klasifikasi berdasarkan Myosthenia Gravis Foundation of America Clinical Classification:


- Kelas I : kelemahan otot mata, prtosis, tidak ditemukan kelemahan otot lainnya
- Kelas ll : kelemahan otot mata yang berat, kelemahan ringan otot lainnya
 Kelas lla : dominasi pada daerah limb dan axial
 Kelas llb : dominasi pada otot bulbar dan atau otot pernafasan
- Kelas III : kelemahan otot mata yang berat, kelemahan sedang pada otot lainnya
 Kelas llla : dominasi pada daerah limb dan axial
 Kelas lllb : dominasi pada otot bulbar dan atau otot pernafasan
- Kelas lV : kelemahan otot mata yang berat, kelemahan berat otot Iainnya
 Kelas lVa : dominasi pada daerah limb dan axial
 Kelas lVb : dominasi pada otot bulbar dan atau otot pernafasan
- Kelas V : dibutuhkan intubasi untuk menjaga jalan nafas
Gejala tanda klinis
- Gejala utama adalah kelelahan dimana otot menjadi lemah pada waktu melakukan aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Otot yang dikenai adalah otot yang mengontrol bola mata, otot-otot ekspresi
wajah, otot berbicara, mengunyah dan menelan, otot-otot yang mengontrol pernafasan, leher dan
anggota gerak.
- Onsetnya bisa tiba-tiba
- Gejalanya bisa intermitten
- Kelemahan otot bervariasi, dapat hanya di otot sekitar mata (ocular myasthenia) sampai mengenai otot
pernafasan sehingga membutuhkan ventilator.
- Gejala juga bervariasi, terdapat :
 Ptosis
 Diplopia
 Disfagia (oral atau orofaringeal)
 Disartria
- Kelemahan pada otot leher, bahu, lengan, tangan, jari-jari, dan tungkai bawah, unstable atau waddling
gait.

Myasthenia Gravis berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun, yaitu:


- Tiroid
- Diabetes mellitus tipe I
- Rheumatoid arthritis
- Lupus
- Demyelinating CNSS disease
Diagnosis ditegakkan dengan:
- Pemeriksaan fisik sehingga menyebabkan kelelahan yang akhirnya menimbulkan gejala-gejala,
misalnya melihat keatas dan kesamping selama 30 detik sehingga timbul ptosis dan diplopia.
- Pemeriksaan serologi: antibodi AChR (sensitivitas 80-96%) tapi pada ocular myasthenia tes bisa
negatif sampai 50% dari kasus. Bilamana antibodi tersebut negatif maka ada antibodi terhadap
MuSK protein.
- Elektodiagnostik dengan repetitive nerve stimulation test, SFEMG,
- Ice test (sensitifitas 76,9% dan spesifisitas 98,3%)
- Edrofonium test
- Cest-x-ray
- Ct-scan
- MRI
- Tes fungsi paru (spirometri)
Terapi pada masa akut
 Fase aktif: medikasi antikolinesterase pyridostigmine atau neostigmine
 Fase krisis: petukaran plasma dan lVlG (dosis 0,4 g/kg berat badan) efeknya bertahan rata-rata selama
45 hari.
 Terapi imunologis jangka panjang terdiri atas obat-obatan imunosupresif: prednisone, azathioprine,
ciclosporin, mycophenolate mofetil, rituximab dan lain – lain.
 Tindakan operatif Thymectomy

Terapi Rehabilitasi
 Inspiratory muscle therapy:
- Diafragmatic breathing
- Pursued lip breathing
Latihan harus diselingi dengan periode istirahat.
 Elektrikal stimulasi sebanyak 5 kali (inisial: 3 Hertz) dilakukan selang-seling setiap 1-4 menit setelah
latihan
 Jika piasien tidak dapat melakukan latihan secara volunteer maka diberikan repetitive stimulation
dengan frekuensi tinggi (rating: 30-50 Hz)

Rehabilitasi perjalanan penyakit dan prognosis


 Perjalanan klinis myasthenia gravis sangat bervarisi dengan masa remisi spontan lebih dari 1 tahun
sebesar 20%.
 Sekitar separuh pasien yang menderita myasthenia ocular akan mengalami gejala
generalisata dalam 2 tahun
 perjalanan penyakit myasthenia gravis dapat dibagi 3:
- masa aktif selama 5-7 tahun dengan eksaserbasi, remisi dan kekuatan otot yang berfluktuasi
- masa stabil inaktif selama 10 tahun
- masa burned-out ditandai dengan penurunan gejala

Daftar Pustaka
1. Dilingham TR. Electrodiagnostic Medicine ll: Clinical Evaluation and Findings. ln: Braddom RL et
al. Phisycal Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 218-9
2. Robison LR. Electrodiagnostic Evaluation of the Peripheral Nervous System. ln: DeLisa JL et al.
Physical Medicine and Rehabilitation Principles and Practice. 4 th ed. Lippincott Williams
and Wilkins. Philadelphia; 2005. p 102
Motor Neuron Disease

Batasan dan Uraian Umum


Istilah Motor Neuron Disease (MND) merupakan kelainan neuromuscular progresif yang secara selektif
mengenai motor neuron (suatu sel yang mengontrol gerakan volunteer otot secara aktif), gejala yang timbul
bisa berupa upper atau lower motor neuron. Jenis MND yang paling sering adalah amyotrophic lateral
sclerosis (ALS). Diagnosis ALS ditegakkan bila ditemukan disfungsi upper dan lower motor. Bila hanya
disfungsi lower motor disebut progressive muscular atrophy dan bila hanya disfungsi upper motor disebut
primary lateral sclerosis. Bila hanya disfungsi bulbar disebut progressive bulbar palsy.

Gejala
- Sindrom upper motor neuron: spastisitas, kehilangan deksteritas, kekakuan (stiffness), kelemahan akibat
spastisitas dan kehilangan kontrol motorik volunter.
- Sindrom lower motor neuron: kelemahan, fasikulasi, atrofi otot dan kram pada otot.
- Gejala bulbar: disartria, disfagia, ngeces (drooling), aspirasi dan afek pseudobulbar (tertawa atau
menangis yang tidak sesuai dengan mood).
- Gagal napas dan gejala konstitusional seperti kehilangan berat badan dan fatique dapat juga ditemukan.
- Gejala kognitif seperti gangguan perilaku atau fungsi eksekutif dan demensia frontotemporal terjadi
pada minoritas pasien.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis
- Tanda-tanda disfungsi upper dan atau lower motor neuron
- Status mental, fungsi nervus kranial non motorik, pemeriksaan sensoris dan pemeriksaan serebellar
biasanya normal
- Gold standart untuk diagnosis upper motor neuron adalah ditemukannya refleks patologis
seperti Babinsky sign, Hoffmann sign dan brisk jaw jerk.
- Hiperrefleks atau hiporefleks, tergantung pada proses penyakit dan dominansi keterlibatan upper atau
lower motor neuron.
- Tanda-tanda lower motor neuron seperti kelemahan otot, atrofi (otot intrinsik tangan), hipotonis,
hiporefleks dan fasikulasi.
- Pemeriksaan lidah dapat ditemukan atrofi dan fasikulasi.

Pemeriksaan musculoskeletal
- Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan evaluasi sendi atau struktur jaringan lunak, kekuatan otot.
- Evaluasi sistem kardiovaskular dan pulmonal seperti menghitung Forced Vital Capacity (FVC) dengan
menggunakan hand held spirometry.

Kriteria El Escorial untuk diagnosis ALS


1. Bukti adanya degenerasi LMN
2. Bukti adanya degenerasi UMN
3. Perburukan tanda dan gejala yang progresif pada satu regio ke regio yang lain.

Kategori diagnostic menurut UMN atau LMN


1. Clinically definite ALS : tanda UMN dan LMN pada 3 atau 4 regio
2. Clinically probable ALS : tanda UMN dan LMN pada 2 regio, dengan tanda UMN rostral terhadap
tanda LMN
3. Clinically possible ALS : tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau tanda UMN setidak-tidaknya
pada 2 regio atau tanda LMN ditemukan rostral terhadap tanda UMN

Kategori menurut regio anatomis


 Bulbar
 Cervical, termasuk upper limb
 Thoracic, termasuk otot abdomen
 Lumbar, termasuk lower limb
Komplikasi
Kelemahan progresif, kontraktur sendi, musculosceletol pain syndromes, disfagia, aspirasi, disartria,
depresi, juga gagal napas progresif dan kematian

Keterbatasan Fungsional
Efek langsung dan tidak langsung dari kelemahan otot. Gangguan mobilisasi dan kesulitan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan. Kelemahan otot bulbar akan menimbulkan disartria dan
disfagia. Depresi, fatique dan nyeri muskuloskeletal dapat menimbulkan keterbatasan fungsi lebih lanjut.

Pemeriksaan Penunjang
 MRI
 Pemeriksaan Iaboratorium dilakukan untuk melihat kesehatan pasien secara umum dan menyingkirkan,
kemungkinan penyakit yang bisa diobati. Pemeriksaan yang lebih spesifik disesuaikan dengan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
 Elektrodiagnostik

Neuroimaging dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan kondisi yang menyerupai
ALS. Setiap pasien harus menjalani tes elektrodiagnostik, kriteria El Escorial revisi digunakan untuk
mendiagnosis ALS, terdapat 5 kategori: definite, probable, probable dengan dukungan hasil laboratorium,
possible dan suspected. Sistem motorik dibagi menjadi 4 regio: bulbar, cervical, thoracic, dan lumbosacral.
Bukti keterlibatan upper dan lower motor neuron dicari pada tiap regio. Kategori diagnosis tergantung pada
seberapa banyak regio yang memiliki kelainan upper dan lower motor.

Tujuan tatalaksana
Tujuan rehabilitasi:
 Tahap awal: mencegah maupun memperlambat komplikasi karena terjadinya kelemahan otot
 Tahap lanjut: mempertahankan fungsi dan mengkompensasi kelemahan otot

Terapi Konservatif
Medikamentosa
- Dapat diberikan antiglutamat agent, vitamin dan suplemen (antioksidan) dengan dosis 1000 to 3000 mg
vitamin C, 400 IU vitamin E, dan maksimal 1200 mg coenzyme Q10.
- Spastisitas: Baclofen atau tizanidine.
- Bilamana ada depresi dapat diberikan antidepresan trisiklik.

Rehabilitasi
Latihan fisik pada tahap awal terdiri dari latihan fleksibilitas (stretching dan ROM), strengthening dan
aerobic. Latihan penguatan diafragma dengan inspiratory muscle exercise 5-10 menit, 3x/hari.

Pada ALS tahap lanjut, rehabilitasi berfokus pada latihan untuk mempertahankan mobilisasi independen
dan fungsi selama mungkin. Intervensi mobilisasi meliputi meliputi cane, walker, braces, wheelchair.
Perlengkapan rumah tangga seperti dressing aids, grab bars, raised toilet seats, shower benches dan lifts,
modifikasi (ramps, wide doorways), penggunaan splint tangan dan adaptasi kendaraan bermotor seperti:
hand controls, enviromental control units dan voice-activited software.

Spastisitas hanya diterapi bila mengganggu fungsi. Teknik non farmakologi meliputi latihan stretching,
teknik positioning yang dapat menurunkan tonus otot dan positional splinting. Farmakologis dengan
menggunakan Baclofen, dosis awal 5-10 mg 3x/hari, dosis maksimum 160 mg.

Penanganan kontraktur dengan latihan berdiri dan berjalan setiap hari, ROM aktif dan pasif setiap hari,
positioning ekstremitas ke posisi ekstensi pada posisi istirahat dan penggunaan supportive splinting.

Pada pasien dengan gangguan menelan dilakukan evaluasi gangguan menelan baik secara klinis maupun
FEES. Pada pasien dengan gangguan menelan sedang, dapat diajarkan teknik kompensasi untuk
mengurangi risiko aspirasi dan tersedak, modifikasi konsistensi makanan. Indikasi pemasangan NGT
meliputi pneumonia aspirasi, kehilangan 10% berat badan dan waktu makan yang sangat lama sehingga
mempengaruhi kualitas hidup.
Disartria ringan atau sedang dapat ditangani dengan mengajarkan pasien strategi adaptif seperti
overartikulasi dan memperlambat kecepatan bicara. Pada pasien dengan hypernasal speech yang
disebabkan oleh kelemahan palatal dan disfungsi lower motor neuron primer, dapat diajarkan palatal lift
atau prostetik augmentasi untuk memperbaiki kejernihan suara.

Penggunaan ortosis, sesuai dengan impairment yang ditemukan pada pasien, yang diberikan dengan tujuan
mempermudah pasien melakukan ADL (yang sering digunakan AFO, KAFO, wheelchair).

Okupasi terapi dapat melatih pasien agar tetap menjalankan ADL semandiri mungkin, melalui cara
konservasi energy, alat bantu untuk berpakaian (buttoners, sock pullers, reachers, velcro fasteners for
clothes) modifikasi alat lainnya (built-up handles, universal cuffs, plate guards). Hand splint dapat
digunakan mengoptimalkan fungsi tangan.

Kemampuan pengembangan rongga dada harus diperiksa secara rutin untuk mengetahui terjadinya
gangguan pernafasan. Bilamana terjadi gangguan pernafasan akibat kelemahan otot-otot pernafasan maka
elektrostimulasi neuromuskular dapat diberikan.

Daftar Pustaka
1. Krivickas L.5. Motor Neuron Disesase. ln: Frontera WR, editor. Essentials of Physical Medicine and
Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 705-12.
2. Joyce N, Carter GT. Motor Neuron Disease. ln: Braddom RL et al. Physical Medicine and
Rehabilitation.4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia; 2011. p. 1041-63
3. Krivickas LS, Carter GT. Motor Neuron Disease. ln: Delisa JL et al. Physical Medicine and
Rehabilitation Principles and Practice, 4th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia; 2005. p.
931-56
4. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicineand Clinical
Neuromuscular Physiology. ln: Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.4 th
ed, Demos Medical Publishing. New York; 2005. p. 404-7
5. Koller H, Hartung HP. Neuromuscular rehabilitation: diseases of the motor neuron, peripheral nerve
and neuromuscular junction. ln: Seizer ME et al. Textbook of Neural Repair and Rehabititation Volume
ll Medical Neurorehabilitation. Cambridge: Cambridge University Press. 2006. p. 659-64

MUSKULOSKELETAL
De Quervain Tenosynovitis

Batasan dan uraian umum


Definisi: inflamasi pada tendon dan selubung pembungkus tendon otot abductor pollicis longus dan
extensor pollicis brevis yang berada di kompartemen pertama pergelangan tangan karena penggunaan yang
berulang.
Epidemiologi : wanita, usia 35-55 tahun

Gejala
 Keluhan nyeri pada pergelangan tangan ketika menggenggam dan mengekstensikan jari, atau
digambarkan sebagai nyeri pada penekanan di area tersebut, yang persisten selama beberapa
minggu atau bulan.
 Keluhan lainnya dapat berupa kekakuan atau nyeri seperti neuralgia, namun sangat jarang terjadi
parestesia pada area distribusi N.Radialis. Biasanya terdapat riwayat penggunaan pergelangan tangan
dan jari-jari yang berlebihan dan berulang pada pekerjaan rumah tangga dan hobi, misalnya bermain
piano, menjahit, merajut, mengetik, bowling, golf, dll.
Pemeriksaan fisik
 Nyeri tekan dan bengkak pada area sekitar prosesus Styloideus radii
 Tes Finkelstein yang positif
 Penurunan kekuatan menggenggam dan menjimpit karena nyeri atau "disuse" sekunder karena nyeri

Keterbatasan Fungsional
 Hendaya fungsional ibu jari akibat penjepitan mekanik atau nyeri.
 Aktivitas sehari-hari yang terganggu adalah berpakaian, mengancingkan baju, hobi seperti bowling,
golf, merajut, dan menjahit.
 Pekerja pabrik yang banyak menjalankan aktivitas menarik atau mendorong secara berulang berada
pada resiko terkena penyakit ini.

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos pergelangan tangan untuk menyingkirkan penyebab lain
 Perbaikan gejala setelah injeksi anestetik local pada kompartemen pertama
 Bone scan : jika penemuan klinik tidak menunjang diagnosis
 USG Muskuloskeletal: adanya gambaran cairan hipoechoic yang meregangkan selubung tendon
dengan ganbaran inflamasi pada tendon

Diagnosis Banding
 Carpal joint arthritis
 Triscaphoid arthritis
 Intersection syndrome
 Radial nerve injury
 Ganglion cyst
 Cervical radiculopathy
 Scaphoid fracture
 Carpal tunnel syndrome
 Radioscaphoid arthritis
 Kienbock disease
 Extensor pollicis longus tenosynovitis

Tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Meningkatkan fungsi

Tatalaksana
 Immobilisasi dengan thumb spica splint
 Obat-obatan: NSAIDS
 Modalitas fisik: terapi menggunakan es, terapi panas, TENS, US (ultrasound) diathermy, dan
iontophoresis.
 Friction massage
 Terapi latihan :Latihan aktif
 lnjeksi anestetiklokal dan kortikosteroid
 Tindakan bedah

Potensi komplikasi
 Efek samping NSAIDS pada lambung, hepar, dan ginjal
 Efek samping injeksi : nyeri pasca injeksi, parestesia radialis sementara, reaksivasovagal, atrofi lemak
subkutan,
 Efek samping injeksi steroid : resiko perdarahan, kelemahan tendon, dapat terjadi ruptur tendon
Komplikasi tindakan bedah : cedera N.Radialis, pelepasan retinaculum yang tidak sempurna, dan
subluksasi tendon

Daftar Pustaka
1. O'Neil CJ. De Quervain Tenosynovitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo T (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 129-32
2. Chio P. Borg-Stein J. Cumulative Trauma Disorders. In : Delisa JA (ed) Delisa’s Physical Medicine
and Rehabilitation, fifth edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia; 2010: p. 923-36●
CEDERA MENISKUS SENDI LUTUT
(MENISCAL INJURIES, CARTILAGE TEARS, LOCKED KNEE)

Definisi
Cedera pada jaringan fibrokartilagenus yang melapisi kedua permukaan tulang yang bersendi, yaitu
antara femur dan tibia. Fungsi utama meniscus adalah untuk mendistribusikan beban yang diterima lutut
dan
meningkatkan stabilitas.

Gejala
 adanya pengalaman sensasi "pop" atau "snap" pada saat terjadinya cedera
 nyeri pada saat aktivitas yang membutuhkan gerakan memfleksikan lutut biasanya
 terjadi kondisi lutut terkunci secara mekanik
 jika terjadi lutut terkunci secara mekanik dan hilangnya kemampuan ekstensi lutut penuh atau curiga
"bucket handle tear"
 pembengkakan sendi lutut t hari setelah cedera

Pemeriksaan Fisik
 Evaluasi pola jalan (gait): antalgic gait atau pemendekan fase stance dan ekstensi sendi lutut pada sisi
yang sakit
 efusi sendi lutut pada sekitar separuh penderita cedera meniscus
 atrofi otot quadriceps setelah cedera beberapa minggu
 Nyeri sendi saat palpasi, terutama pada area posteromedial atau lateral
 Tes "bounce-home" yang positif
 Tes McMurray positif (58% kasus)
 Tes Kompresi Apley positif (45% kasus)
(hasil pemeriksaan fisik kurang dapat diandalkan apabila terdapat cedera ligamen cruciatum anterior
secara bersamaan)
 pemeriksaan neurologis termasuk sensasi dan reflex tendon dalam batas normal

Keterbatasan Fungsional
 kesulitan dalam aktivitas yang membutuhkan gerakan memfleksikan lutut seperti menaiki tangga,
jongkok, kadang-kadang terjadi kesulitan pula dalam aktivitas jogging, berlari, atau berjalan.
 pekerja yang berjongkok secara berulang kali dapat mengalami lutut terkunci secara mekanik dengan
hilangnya kemampuan untuk mengekstensikan sendi lutut secara penuh ketika bangkit

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos sendi lutut : biasanya normal, untuk cedera meniscus degeneratil terdeteksi dengan foto
polos lutut anteroposterior dan lateral posisi berdiri (weight bearing)
 MRI : untuk cedera meniskus non degeneratif
 Arthroscopy

Diagnosis Banding
 Cedera ligamen Cruciatum anterior atau posterior
 Cedera ligamen Collateral medial
 Osteoarthritis
 Plica syndromes
 Tendinitis Poplitea
 Lesi osteokhondrotik
 Nyeri patellofemoral
 Sindrom penjepitan bantalan lemak
 Arthritis inflamatori
 Fraktur Fiseal
 Tumor

Tujuan tatalaksana
 mengurangi nyeridanpembengkakan
 meningkatkan lingkup gerak sendi
 mempercepat penyembuhan mencegah atrofi otot karena disuse
 meningkatkan kekuatan dan endurans otot

tatalaksana
Fase akut
 Istirahatkan, kompres dingin, penekanan/ balut tekan, dengan pembebanan berat badan sesuai
toleransi.
 Pasien mungkin memerlukan tongkat ketiak (crutches) untuk sementara
 Bidai lutut (knee splint)
 Analgetik (acetaminophen, opioid, NSAIDs)
 Arthrocentesis (dalam 24-48 jam pertama) untuk diagnosis dan terapi apabila terdapat efusi yang
signifikan
Rehabilitasi
 Minggu I : tujuan untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan, dan meningkatkan lingkup gerak sendi,
kekuatan otot dan endurans. Dapat diberikan latihan.
 Latihan aerobic conditioning : setelah dapat mentolerir latihan bersepeda statik atau aqua jogging
 Jika kondisi makin membaik, kombinasi latihan 'bpen and closed kinetic chain" pada ketiga bidang
pergerakan dapat dilakukan bersama-sama peregangan anggota gerak bawah.
 Semakin lanjut, aktivitas yang lebih bersifat fungsional mulai dilakukan
 Terakhir, latihan plyometric dapat diperkenalkan secara bertahap, untuk kemudian kembali pada
aktivitas olah raga yang spesifik

Rehabilitasi pasca tindakan bedah


 Pada beberapa kasus diperlukan brace / ortosis lutut (knee orthosis)
 Latihan awal : non agresil latihan kontraksi isometrik dengan target abduktor, adduktor, dan ekstensor
sendi panggu/ (hip). Latihan quadriceps statik dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
ekstensi lutut terminal.
 Jika tahap mobilisasi patella sudah dimulai, dilakukan latihan peregangan ekstremitas bawah pada
semua bidang gerak.
 Setelah 2-3 minggu, tujuan tatalaksana untuk meningkatkan ROM dan meningkatkan kemampuan
(menahan berat badan, dilakukan latihan dengan tahanan. Jika tidak ada efusi dan nyeri yang
signifikan, peningkatan ROM dari 5 hingga 110 derajat harus tercapai
 Secara gradual, aktivitas fungsional mulai dilakukan
 Setelah 6-8 minggu, aktivitas fungsional yang bersifat low-impact dapat dilakukan, dengan
menghindari aktivitas berlari, memotong, dan rotasi.
 Aktivitas individual dapat kembali dalam l6 minggu untuk kasus pembedahan zona vaskular, dan
24 minggu untuk kasus pembedahan zona non vaskuler

Potensi komplikasi akibat penyakit


 lnstabilitas sendi
 Peningkatan derajat cedera meniscus karena instabilitas
 Pergerakan abnormal yang terjadi secara kronis akibat cedera meniscus menyebabkan kerusakan
bidang atau permukaan yang bersendi
 Osteoarthritis prematur

Potensi komplikasi akibat tatalaksana


 Efek samping analgesik pada sistem pencernaan, hepatik, dan renal
 Regimen rehabilitasi yang terlalu agresif dapat meningkatkan derajat cedera meniscus atau
menimbulkan kegagalan penyembuhan
 Regimen rehabilitasi yang terlalu konservatif dapat mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot, atrofi
otot, dan menurunnya lingkup gerak sendi
LOW BACK PAIN

Definisi
Nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan
gluteal.
Epidemiologi .
 60-90 % insiden dalam seluruh hidup
 5% insiden tahunan
 Insiden pada pria sama dengan wanita
 Pada usia 60 th: wanita Iebih banyak dari pria
 Pada sekitar 50%-80% orang dewasa yang bekerja terjadi LBP tiap tahunnya

Faktor resiko: Okupasional


 Pekerjaan & aktivitas fisik berat: 60% LBP
 Eitiologi mekanik: mengangkat, menarik, mendorong, berputar, menggeser, duduk lama
 Melakukan pekerjaan manual (Manual handling) termasuk kombinasi: gerakan mengangkat &
memutar punggung dalam kecepatan tertentu (teknik salah)
 faktor lain: vibrasi dalam waktu lama (khususnya seluruh tubuh), trauma, & psikologis
Etiologi
1. Mekanikal
 Strain, sprain lumba (7O%)
 Proses degeneratif diskus dan facet (10%)
 Herniasi diskus (4%)
 Stenosis spinal (3%)
 Fraktur kompresi osteoporotik (4%)
 Spondilolistesis (2%)
 Fraktur traumatik (<1%)
 Penyakit kongenital (<1%)

2. Non-mekanikal
 Neoplasia (0,7%)
 Infeksi (0,01%)
 Osteomyelitis
 Abses epidural
 Abses paraspinal
 Penyakit Pott
 Artritis inflamatorik (0,3%)
 Ankylosing spondylitis
 Psoriatic spondylitis
 SindromaReiter
 Penyakit Paget tulang

3. Penyakit organ visceral


 Penyakit organ-organ pelvis
- Prostatitis
- Endometriosis
 Penyakit ginjal
- nefrolitiasis
- pielonefritis
- abses perineprik
 Aneurisma aorta
 Penyakit gastrointestinal
- pankreatitis
- kolelitiasis
Anamnesis
 Lokasi
 Karakter nyeri
 Tingkat keparahan
 waktu: onset, durasi, frekuensi
 Faktor pemicu
 Pekerjaan

Aktivitas sehari-hari Perlu perhatian khusus jika didapati hal-hal berikut (redflags):
 Back pain pada anak <18th, atau dewasa >55 th
 Riwayat trauma
 Nyeri progresif pada malam hari
 Riwayat keganasan
 Riwayat pengobatan dengan steroid
 Drug abuse, HIV infection
 Penurunan berat badan (Weight loss)
 Penyakit sistemik
 Lingkup gerak senditerbatas dan persisten
 Nyeri yang intens dengan gerakan minimal
 lncontinensia
 Kelemahan motoric

Pemeriksaan fisik
 Observasi
- Postur: anterior, posterior, lateral
- Deformitas tulang belakang
- Kulit: psoriasis, atau penyakit vaskular yang menimbulkan nyeri
- Pola jalan
 Palpasi
- Tulang
- otot: trigger point, spasme, tonus
 Gerakan
- ROM Spine: forward flexion, extension, side bending, rotasi
- Ekstremitas
 Tes Neurologi;
- MMT: miotom Ll-S1
- Sensitifitas; dermatom L1-S1
- Reflex
- Keseimbangan dan koordinasi
 Low Back Maneuver:
- SLR
- Kernig test
- Pelvic rock test
- Gaenslen sign
- Patrick-Contra Patrick

Keterbatasan fungsional
 Lingkup gerak sendi
 Transfer dan mobilisasi
 Aktivitas kehidupaan sehari-hari
 Bekerja

Pemeriksaan Penunjang
 Neurofisiologi
- Elektromiografi (EMG),
- Needle EMG dan H-refleks
- Somatosensory Evoked Potensial (SEP)
 Radiologik
- Foto polos
- Mielografi, Mielo-CT, CT-Scan, MRI
- Diskografi
 Laboratorium
- LED, DL, UL

Tujuan tatalaksana
 mengurangi nyeri
 meningkatkan kekuatan otot-otot trunkus dan panggul
 meningkatkan stabilitas lumbal
 mengurangi spasme otot lumbal

Tatalaksana
 Program Manajemen Konservatif Nyeri Punggung Bawah
 Edukasi pasien, konseling (fisik, okupasi, vokasional, psikososial)
 Terapiobat: parasetamol, OAINS, muscle relaxant dan antidepresan
 Terapi suntikan: 1olo xylocaine, kortikosteroid --> trigger point injection
 Modalitas fisik: cold packs (48jam pertama), hot packs, ultrasound, TENS
 Orthosis: LSO bila perlu
 Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama
 Terapi latihan:
- Peregangan lumbal & panggul + ROM exercise (+ heat/cold modalities)
- Penguatan ekstensor trunkus + panggul
- Latihan stabilisasi lumbal
 Okupasi: body mechonics dan posture training
 Manual medicine: manipulasi untuk mengurangi spasme

Daftar Pustaka
1. Abd OE. Low back Sprain or Strain. ln: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 247-52
2. Barr KB Harrast MA. Low Back Pain. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 : 871-912 ●
TENSION TYPE HEADACHE (TTH)

Definisi
TTH merupakan suatu tipe sakit kepala yang bersifat bilateral, intensitasnya sedang/ moderat, dan
digambarkan seperti sensasi tertekan atau diremas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Berlangsung
bervariasi antara 30 menit sampai 7 hari.

Pemeriksaan fisik
Pasien yang mengalami TTH terlihat tidak nyaman tetapi secara keseluruhan tidak mengganggu kapasitas
fungsional.

Keterbatasan fungsional :
 Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari karena nyeri

Tujuan tatalaksana
 Mengurangi nyeri

Tatalaksana
 Modifikasi gaya hidup, termasuk tidur yang teratur dan cukup
 Terapi non farmakologis, termasuk biofeedback (suhu atau EMG). Terapi fisik yang terfokus pada
peregangan, penguatan dan pengembangan program latihan daripada modalitas pasif.
 Terapi akut terdiri dari obat-obatan NSAID dan kombinasi isomepthene (midrin). Sedatif potensial
atau opioid atau komponen yang mengandung barbiturate harus dihindari.
 Terapi profilaksis, terdiri dari obat-obatan NSAID antidepresan trisiklik dan sodium valproat.

efek samping
komplikasi yang mungkin adalah reaksi alergiterhadap obat-obatan.

Deftar Pustaka
1. Loder E. Headaches. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essential of Physical Medicine
and Rehabilitation, 2nd ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 519-24
2. Hong CZ. Muscle Pain Syndromes. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 971-1001●
FROZEN SHOULDER
Definisi
suatu penyakit yang idiopatik, progresif, yang menyebabkan keterbatasan ROM aktif maupun pasif
onsetnya tiba-tiba dan melewati 3 fase, biasanya berlangsung 1-2 tahun. Fasenya yaitu; fase sangat nyeri,
fase beku atau adhesif, dan fase resolusi.

Penyebab frozen shoulder sekunder


 lmobilisasi
 DM
 PenYakit tiroid
 RA
 Trauma
 TB Pulmoner
 Penyakit Paru kronis
 Miokard infark
 Trauma cerebrovaskuler
 Penyakit rotator cuff
 Scleroderma
 Post mastektomi
 Radikulitis cervical
 Cedera saraf Perifer
 Ca paru
 Ca mammae

Gambaran Patologis
 Fase sangat nyeri ditandai adanya sinovitis yang berlanjut menjadi penebalan kapsular (terutama pada
bagian anterior dan posterior kapsul) dan disertai penurunan cairan synovial
 Fase adhesive ; fibrosis yang terjadi pada kapsul semakin berat dan penebalan pada tendon rotator
cuff. sendi glenohumeral makin menyempit dan terjadi obliterasi.
 Fase resolusi ; perubahan lebih berat disertai inflamasi kronis yang pada akhirnya terjadi hilangnya
celah sendi.

Gejala
 Fase sangat nyeri; nyeri progresif, bertambah berat saat malam haridan setelah aktivitas leher
 Fase adhesive ; nyeri berkurang, menurunnya ROM di setiap bidang, terjadi kekakuan pada ROM aktif
dan pasif.
 Fase resolusi ; ditandai peningkatan secara bertahap ROM normal tanpa nyeri.

Pemeriksaan fisik
Pada fase sangat nyeri terjadi penurunan ROM aktif dan pasif. Tiap gerakan menyebabkan nyeri, terutama
external rotasi dan abduksi.

Keterbatasan fungsional
 Gangguan tidur karena nyeri atau ketidakmampuan untuk tidur pada sisi yang nyeri
 Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya mengancingkan bra di punggung,
menautkan ikat pinggang, menjangkau sabuk pengaman, menyisir rambut)
 Terbatasnya aktivitas yang berkaitan dengan gerakan di atas kepala
 Terbatasnya aktivitasnya rekreasi, misalnya melempar bola, gerakan crowlstroke saat berenang

Tujuan tatalaksana
 mengurangi nyeri dan inflamasi disertai peningkatan ROM di semua bidang.

Tatalaksana
 Pada awal nyeri dan inflamasi ditangani dengan pemberian es dan obat-obatan anti inflamasi serta
modifikasi aktivitas.
 Perbaikan ROM sangat penting, dengan latihan pendulum, peregangan melewati kepala dan abduksi
silang pada sisi yang terkena.
 Setelah terjadi perbaikan, latihan yang lebih rinci harus diajarkan kepada pasien.

Prosedur
1. Terapi konservatif : prosedur dilakukan bersamaan dengan sesi terapi fisik dan modalitas untuk
menurunkan nyeri. Modalitasnya termasuk pemberian es pasca terapi, TENS, US, dan iontophoresis.
2. Terapi lnjeksi : lnjeksi glenohumeral dengan saline atau lidokain (untuk melisis-/ lepas-kan adhesi
dan untuk meregangkan kapsul)
3. Terapi bedah : tindakan bedah yang dilakukan jika terapi konservatif gagal, yang sering digunakan
yaitu Manipulasi di bawah anestesi.

Efek samping
Efek samping dari terapi konservatif jarang terjadi, tetapi kadang berhubungan dengan obat-obatan
NSAID dan analgetik, yaitu perdarahan GIT, gastritis, hepatitis toksik, dan gagal ginjal. Pada pasien CHF
dan hipertensi yang telah terjadi retensi cairan harus berhati-hati dengan penggunaan obat NSAID.

Pada pasien yang dilakukan blok saraf suprascapular, harus dicegah injeki ke intraneural atau intravascular.
Komplikasi pasca bedah yang dapatterjadiadalah fraktur humerus ketika dilakukan manipulasi di bawah
anestesi.

Daftar Pustaka
1. Krabak BJ, Banks NL. Adhesive Capsulitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 49-
54
2. Finnoff JT. Musculoskeletal Disorders of Upper Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia; 2011: 817-42 ●
CEDERA LIGAMEN BAHU

Definisi
Cedera pada kompleks acromioclavikular dibagi menjadi VI tingkatan (tabel 9-1)

TABEL 9-1 -- Grades of Acromioclavicular Joint Infurics and Treatments


Grade of AC CC Clavicle Treatment
Injury Ligamen Ligamen Displacement
I Sprain Intact Mild superior Conservative
displacement
II Torn Sprain Definite superior Conservative
displacement
III Torn Torn 25% - 100% increase Conservative or
in CC space Surgical
IV Torn Torn Posterior Surgical
displacement
V Torn Torn 100%-300% increase Surgical
in CC Space
IV Torn Torn Subacromial or Surgical
subcoracoid location
AC. Acromiocalvicular CC. coracoclavicular

Gejala
 Pasien biasanya mengalami riwayat trauma pada bahu atau sendi acromioklavikular. Pasien
melakukan olahraga seperti sepakbola, ski menuruni bukit.
 Pasien mencari pertolongan karena merasakan nyeri pada bagian anterior bahu. Nyeri menjalar sampai
ke dasar leher dan trapezius atau otot deltoid atau sampai ke lengan dengan pola radikular.
 Pasien mengeluhkan nyeri yang terjadi pada saat gerakan menyilangkan lengan melewati dada (seperti
hendak mengambil sesuatu dari saku baju) atau ketika gerakan lengan ke belakang (seperti memakai
kaos). Nyeri juga terjadi saat fleksi bahu (meraih sesuatu melewati kepala) atau ketika lengan
diadduksikan melewati dada.

Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan yang tepat untuk cedera acromioklavikular termasuk pemeriksaan pada leher dan bahu
untuk memeliminasikan kemungkinan radikulopati atau referred pain.
 Pada inspeksi, dapat dilihat daerah yang meninggi pada sendi acromioklvikular. lni disebabkan depresi
dari scapula terhadap klavikula atau karena edema pada sendi itu sendiri. Daerah ini biasanya terasa
nyeri saat ditekan. Pada ROM aktif, pasien mengeluhkan nyeri pada saat fleksi behu yang ekstrim.
 Nyeri semakin bertambah saat bahu semakin difkelsikan, baik secara aktif maupun pasif. Nyeri
biasanya menghilang saat dilakukan MMT yang isometric pada otot rotator cuff.
 Tes khusus yang dapat dilakukan antara lain ; tes adduksi menyilang tubuh, tes kompresi aktif, tes
ekstensi tahanan acromioklavikular, tanda Paxinos.

Keterbatasan fungsional
 Keterbatasan aktivitas menjangkau ke atas, menjangkau arah menyilang badan, membawa barang
berat karena nyeri
 Kesulitan memakai baju, menyisir rambut, menjinjing tas atau keranjang belanjaan.
 Keterbatasan aktivitas rekreasi, yang berkaitan dengan melempar
 Dapat terjadi gangguan tidur karena nyeri

Tujuan tatalaksana
 mengurangi nyeri dan inflamasi disertai peningkatan ROM di semua bidang.

Tatalaksana
Terapi awal tergantung pada tingkat cedera dan aktivitas pasien serta tujuannya.
 Cedera tipe I dan II ditangani tanpa operasi
Terapi awal untuk semua fase yang tidak memerlukan operasi (tipe I, II, III) termasuk istirahat, es, dan
sling/ brace selama 1 - 6 minggu (rata-rata 2-3 minggu). Analgesik non narkotik yang tersedia bebas
tanpa resep biasanya cukup. Obat-obatan NSAID dapat dipergunakan untuk nyeri dan inflamasi.
lnjeksi ke dalam sendi dapat juga dilakukan pada fase awal untuk control nyeri yang segera dan juga
untuk konfirmasi diagnosis.

 Cedera tipe IV, V dan VI memerlukan pembedahan

 Terapi untuk tipe III masih controversial.


Cedera tipe III dapat ditangani secara operatif maupun non operatif. Satu penelitian mengatakan terjadi
kepuasan jangka panjang pada pasien yang di operasi tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada ROM dan kekuatannya. Mayoritas pasien yang tidak di operasi tidak mengalami kesulitan jangka
panjang.
- Operasi merupakan indikasi untuk pasien cedera tipe II yang menunjukan gejala dan pada pasien
yang tidak merespon terapi konservatif.
- Terapi konservatif untuk tipe III adalah dengan istirahat, support, modalitas, obat-obatan untuk
gejala, dan dapat kembali ke aktivitas secara bertahap dalam 6 - 12 minggu.

Rehabilitasi
 Modalitas untuk mengontrol nyeri termasuk aplikasi es, ultrasound diathermy yang dapat diberikan
sebagai phonophoresis dengan lidokain 10%, terapi dengan arus interferensial.
 Terapi latihan termasuk Latihan Codman dan Pendulum yang dapat membantu untuk gerak sendi
(ROM) aktif atau aktif-asisted.
 Ketika nyeri sudah tidak ada dan ROM sudah penuh, dapat dilakukan program penguatan otot bahu,
menggunakan dumbbell ringan 1 - 5 pounds.

Prosedur
pada pasien dengan cedera tipe I atau tipe II yang ringan dapat dilakukan injeksi untuk mengembalikan
mereka ke aktivitas awalnya selama memiliki ROM yang penuh dan kekuatan yang simetris.

lnjeksi intraartikular dengan kombinasi anestesi lokal dan kortikosteroid dapat mengurangi nyeri dengan
cepat dan lebih lama berkurang nyerinya.

lnjeksi ke dalam sendi juga dapat dilakukan untuk cedera tipe yang lebih tinggi untuk meringankan gejala
dengan lebih cepat. Tetapi terapi tersebut bukan merupakan pengganti istirahat (pada cedera tipe II atau
lebih tinggi), 1 minggu menghindarkan kegiatan yang provokatif setelah injeksisangat dianjurkan.

posisi pasien berbaring atau duduk dengan bahu diganjal dengan bantal, injeksi sendi acromioklavikular
pada kondisi steril menggunakan 25-gauge, 1,5 inci jarum disposabel dan anestesi local atau kombinasi
anestesi dan kortikosteroid. Biasanya 1 - 3 ml cairan di injeksikan (contoh 1 ml lidokain 1% dicampur ml
betametason). Harus diingat bahwa sendi acromioklavikular kecil dan dekat dengan permukaan.

perawatan pasca injeksi termasuk pemberian es lokal selama 10-15 menit dan instruksi pada pasien untuk
menghindari gerakan/ aktivitas yang memperparah selama 1 minggu.

Tindakan Bedah
Cedera tipe IV, V, dan VI merupakan bentuk dislokasi pada sendi acromioklavikular. Tujuan dari semua
tindakan bedah adalah untuk menciptakan sendiyang stabil dan bebas nyeri.
Efek samping
Efek samping dari obat-obatan analgetik dan NSAID telah diketahui, antara lain dapat mempengaruhi
lambung, ginjal dan hepar. lnhibitor COX-2 memiliki efek ke lambung yang lebih sedikit, tetapi resiko
kardiovaskular harus diperhatikan. lnjeksi yang menggunakan jarum yang terlalu panjang dapat sampai ke
ruang sub acromial, sehingga dapat menyebabkan kekeliruan diagnostik dan juga infeksi (jarang).
Komplikasi langsung pada tindakan bedah adalah infeksi, nyeri, kerusakan/ luka pada kulit, dan jaringan
parut hipertropik. Setelah tindakan bedah dapat terjadi deformitas, kegagalan atau migrasi, atau limitasi
pada gerakan. Nyeri dapat terjadi karena reseksi yang tidak tepat, kelemahan atau instabilitas sendi.

Rekalsifikasi setelah reseksi sendi acromioklavikular dapat menyebabkan nyeri dan memerlukan revisi
pada reseksi klavikula distal.

Daftar Pustaka
1. Rizzo TD. Acromioclavicular lnjuries. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 41-8
2. Finnoff JT. Musculoskeletal Disorders of Upper Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 817-42
3. Klaiman MD Fink K. Upper Extremity Soft Tissues lnjuries. ln : Frontera WR, Delisa JA (eds).
DeLisa's Physical Medicine & Rehabilitation fifth edition, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia; 2010: 907-22
JEBAKAN SARAF MEDIAN
(MEDIAN NEUROPATHY =
CARPAL TUNNEL SYNDROME )

Definisi
Terperangkapnya saraf medianus pada pergelangan tangan, merupakan penyebab tersering neuropati pada
ekstremitas atas. Memberikan gejala kesemutan, rasa baal, nyeri, pembengkakan dan pada kasus yang
lebih lanjut terjadi atrofi otot dan kelemahan area yg dipersarafi saraf medianus. Biasanya bilateral
walaupun tangan yang dominan terjadi lebih berat.

Terkena pada 3 ½ jari tangan, gejala timbul pertama saat malam hari. Pada fase lanjut terlihat kelemahan
motorik pada bagian thenar.

Wanita lebih sering terkena daripada pria, dengan prevalensi 5,8% pada wanita dan 0,6% pada pria. Dan
sering pada usia 30-60 tahun.

Gejala
 Kebas/baal (Numbness) dan kesemutan pada 3½ jari tangan bagian radial.
 Terbangun pada malam hari karena nyeri dan baal (numbness)
 Gejala timbul saat aktifitas dengan pergelangan tangan posisi fleksi atau ekstensi atau saat melakukan
gerakan yang berulang
 Nyeri pada bagian volar pergelangan tangan dan lengan bawah (forearm)
 Gejala berkurang dengan menggoyangkan tangan
 Bengkak pada tangan, sehingga sulit menggunakan perhiasan atau jam tangan
 Kulit kering, tangan terasa / teraba dingin
 Kelainan motorik, sering menjatuhkan barang karena kelemahan tangan.

Pemeriksaan fisik
 Observasi tangan, membandingkannya dengan tangan yang tidak sakit. Perhatikan otot thenar dan
hipothenar pada tangan yang sama, akan terlihat lebih asimetris.
 Memeriksa kelemahan otot intrinsic thenar dengan dynamometer atau dengan mengabduksikan ibu
jari yang kemudian diberi tahanan.
 Two-point discrimination untuk membandingkan distribusi sensoris saraf medianus dengan ulnaris
 Tes khusus:
- Phalen test / Prayer test
- Tineltest
-
Keterbatasan fungsional
 Sulit tidur karena terbangun saat munculnya gejala
 Kesulitan dalam melakukan gerakan berulang (menyetir mobil, menggunakan keyboard komputer)
 Gejala lanjut karena kelemahan eminensia thenar adalah kesulitan dalam menggenggam Kesulitan
menalikan sepatu, mengkancingkan baju dan membuka kunci.

Pemeriksaan penuniang
 EMG dan gambaran konduksi saraf (‘gold standard’)
 Ultrasonografi muskuloskeletal
 Dengan injeksi kortikosteroid (jika gejala menghilang maka dipastikan itu CTS)
 Rontgen pergelangan tangan
 Pemeriksaan darah (GDS, GDPB eritrosit, fungsi tiroid, faktor rematoid)

Diagnosis banding
 Radikulopati cervical pada distribusi C5-T1
 Pleksopati brakhial
 Neuropati median proksimal
 Neuropati ulnar atau radial
 Neuropati generalisata
 Artritis sendi carpal metakarpal ibu jari
 De Quervain syndrome
 Tendinitis fleksor carpi radialis
 Raynaud phenomenon
 Hand-arm vibration syndrome
 Artritis pergelangan tangan
 Gout

Tujuan Tatalaksana
 Mengontrol nyeri
 Mengurangi bengkak (jebakan)
 Menstabilisasi sendi
 Mencegah atrofi otot thenar

Penatalaksanaan
 Splint malam hari pada posisi netral, dapat mengurangi gejala
 Penggunaan splint sepanjang hari, memberikan hasil yang lebih baik
 lstirahat dan meningkatkan ergonomis.
 NSAIDs
 Oral steroid (prednisone 2Omg/hari selama 1 minggu pertama dan 10 mg/hari selama minggu ke-2
atau prednisolon 25mg/hari selama 10 hari)
 Mengistirahatkan pergelangan tangan, mengurangi aktivitas yang membutuhkan gerakan berulang.
 Menggunakan kompres dingin untuk mengurangi gejala
 Ultrasound diathermy phonophoresis
 Memperbaiki posisi tubuh saat melakukan suatu pekerjaan.
 Peregangan fleksi dan ekstensi pada pergelangan tangan dan forearm dibantu dengan tangan yang
tidak sakit.
 Latihan penguatan dihindari sampai gejala sudah teratasi.

Prosedur
Injeksi kortikosteroid ke dalam terowongan carpal 1 ml steroid (triamcinolone, 4O mg/ml)

Terapi bedah
 Jika terapi konservatif gagal
 Adanya atrofi atau kelemahan otot

Komplikasi
 Penyakit:
- Gangguan sensorik yang kronik
- lmpairmen motorik
- Kerusakan saraf permanen
 Terapi:
- Efek samping obat
- Komplikasi tindakan bedah

Daftar Pustaka
1. Vallarino R, Santiago FH. Median Neuropathy. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 173-
8
2. Lucheti R, Amadio P. Carpal Tunnel Syndrome. Springer. New York. 2007.p 122-43 
NEUROPATHY ULNAR
(WRIST/ PERGELANGAN TANGAN)

DEfinisi
Jebakan saraf ulnaris dapat ditemukan pada pergelangan tangan di dalam terowongan yang dibentuk oleh
tulang pisiformis dan hamatum beserta hooknya (pisohamate hiotus), yang kemudian berhubungan dengan
aponeurosis yang membentuk atap dari kanal Guyon.

Terdapat tiga tipe lesi yang dapat teriadi.


1. Tipe I : pada saraf ulnaris bagian proksimal di kanal Guyon dan mengenai serabut motorik dan
sensorik.
2. Tipe II : pada cabang dalam (motorik) bagian distal kanal Guyon dan dapat mengenai abduktor digiti
quinti, tergantung lokasi percabangannya.
- Tipe IIa : motorik pada otot hipothenar
3. Tipe III : pada cabang superfisialis saraf ulnaris yang memberikan sensasi pada bagian volar jari ke lV
dan V dan eminensia hipothenar. Fungsi motorik juga terkena.

Sering terjadi pada pengendara sepeda dan orang-orang yang menggunakan tongkat yang tidak tepat, juga
pada pekerjaan menggunakan alat dengan lama dan berulang (tang, obeng)

Gejala
 Bervariasi tergantung bagian mana pada saraf ulnaris yang terkena dan percabangan terminalnya.
 Penting untuk membedakan gejala terjebaknya saraf ulnaris pada siku dan pada pergelangan tangan
karena keduanya memberikan gejala yang sama. Pergelangan tangan :
- Distribusi sensorik pada kutaneus dorsal ulna.
- Fungsi fleksor carpi ulnaris dan dua medial head dari fleksor digitorum profundus.
 Pada siku dan pergelangan tangan :
- Kelemahan dan atrofi otot intrinsik
- Numbness pada jari ke lV dan V
- Nyeri pada tangan
- Pada kasus yang berat, berkurangnya fungsi.

Pemeriksaan fisik
 Periksa distribusi motorik dan sensorik yang diinervasi saraf ulnaris
 Lesi di cabang motorik, terjadi kelemahan dan atrofi pada interossei, adductor policis, lumbrikalis IV
dan V dan fleksor policis brevis deep head.
 Pemeriksaan sensorik didapatkan penurunan sensasi bagian volar dari eminensia hipothenar
dan jari ke IV dan V.
 Ulnar claw ( hiperekstensi sendi MCP jari lV dan V dengan fleksi sendi interfalang)
 Froment paper sign
 Berkurangnya kekuatan menggeggam

Keterbatasan fungsional
 Berkurangnya sensasi, kelemahan dan nyeriyang mempengaruhi pergerakan tangan dan deksteritas.
 Lesi yang mengenai serabut motorik secara fungsional memberikan gejala yang lebih berat daripada
serabut sensorik.
 Kesulitan memegang benda dan melakukan AKS

Pemeriksaan penunjang
 Radiografi polos ( melihat fraktur hamate atau tulang karpal lainnya, MCP, distal radius)
 MRI
 CT-angiografi
 Ultrasonografi muskuloskeletal
 EMG
Diagnosis banding
 Neuropati ulnar di siku (atau tempat lain)
 Thoracic outlet syndrome (biasanya lower trunk atau medial cord)
 Cervical radikulopati di C8-T1
 Motor neuron disease
 Superior sulkus tumor
 Camptodactily

Tujuan tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Memaksimalkan fungsi ROM
 Meningkatkan kekuatan otot

Tatalaksana
 lstirahat dan menghindari trauma (terutama pekerjaan yang berulang)
 Penyesuaian postur dan ergonomik
 NSAIDs
 Analgetik
 Low-dose tricyclic antidepressants (untuk nyeri dan membantu tidur)
 Antiepileptic (untuk neuropatik pain syndrome)
 Splint Pergelangan tangan (terutama malam hari).
 Penggunaan padding , shock-absorbent gloves untuk pekerja.
 Memaksimalkan fungsi ROM dan kekuatan otot interosseidan lumbrikalis.
 Program latihan di rumah (Home exercise)
 Static splint dengan ulnar gutter.
 Pada kasus yang berat, penggunaan ortosis statik atau dinamik
 Kelemahan pada ulnar claw deformity dapat dikoreksi dengan meningkatkan grasp menggunakan
dorsol MCP block (lumbricalbar) pada jari ke lV dan V dengan soft strap di bagian palmar (telapak
tangan).

Prosedur
Injeksi pada kanal Guyon dengan campuran kortikosteroid dengan lidocaine 1% atau 2% total tidak lebih
dari 1 ml. Perawatan pasca injeksi dengan kompres dingin setelahnya selama 5-10 menit, dan
mengistirahatkan tangannya selama 48 jam.

Tindakan bedah
 Jika terdapat fraktur pada hook dari hamate atau pisiformis atau tortuous ulnar arteri yang
menyebabkan kelainan neurologis.
 Adanya kista ganglion dan pisohamate arthritis

Komplikasi
 Penyakit:
- kelemahan dan atrofi yang berat sehingga sulit melakukan pekerjaan yang sederhana
- Nyerikronik
- Depresi dan ketergantungan obat.
 Terapi: i83
- Efeksamping obat
- Komplikasi tindakan bedah (infeksi, kekambuhan, kompleks regional pain syndrome)

Daftar Pustaka
1. Vallarino R, Santiago FH. Ulnar Neuropathy (wrist). ln : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essential of Physical medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008 :187-92
2. Thomas MA, Therathil M. Peripheral Neuropathy. ln : Frontera WR, DeLisa JA (eds). Delisa's
Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 5th ed. Lippincort William & Willis,
Philadelphia: 2010. P741-56 
OSTEOARTRITIS (OA) CERVICAL

Definisi
Merupakan perubahan degenerative yang terjadi pada tulang servikal (diskus, corpus vertebra, sendi
Luschka dan sendi facet). Penyakit ini memiliki insiden tahunan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
dan puncaknya sekitar 50-54 tahun. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah multifactor. Genetik,
proses menua (aging), dan faktor gesekan mungkin semuanya memainkan peranan penting.
Diyakini bahwa degenerasi dari diskus mengakibatkan distribusi beban menjadi abnormal, dan selanjutnya
mengarah pada serangkaian perubahan struktur dari komponen tulang belakang. Segmen C5-7, biasanya
menunjukkan perubahan degenerative lebih cepat dan lebih parah dibanding segmen C1-4.

Geiala Klinis
 Nyeri leher (axial pain) dan keterbatasan gerak (terutama saat hiperekstensi & fleksi lateral) Kekakuan
dan spasme otot paraspinal
 Nyeri radikular sesuai dengan radiks (akar) saraf yang terlibat dan mengikuti distribusi dermatom
 Nyeri menjalar ke kepala area Nuchae ataupun Occipital (degenerative sendi servikal atas)
 Nyeri menjalar ke regio upper trapezius (degeneratif sendi servikal bawah)
 Kelemahan otot mengikuti distribusi miotom
 Paraestesia/hypestesia sesuai dengan distribusi dermatom
 Nyeri otot trapezius, paraspinal dan interscapula juga bisa didapatkan.

Pemeriksaan Fisik
 lnspeksi : keabnormalan postur tulang servikal, lengkung lordosis servikal berkurang,
ketidaksimetrisan postur tampak anterior & posterior.
 Palpasi : Nyeri tekan prosesus spinosus, spasme otot paraspinal servikal. Nyeri tekan area Nuchae/
mastoid juga bisa terjadi. Didapatkan fibrosis pada otot jika telah kronis.
 Gerak : Keterbatasan lingkup gerak sendi (ROM) servikal (pada satu ataupun beberapa segmen dan
bidang), nyeri gerak pada berbagai bidang (fleksi, ekstensidan rotasi).
 Tes Provokasi :
- Tanda Sprulling (kompresi axial posisi fleksi lateral : positif jika terjadi nyeri radikular
- Gerakan rotasi disertai ekstensi : positif jika terjadi nyeri radikular
- Gerakan peregangan berlebihan ke arah fleksi : positif jika terjadi nyeri paraspinal, maupun
kesemutan
- Gerakan fleksi & kontralteral lateral fleksi : positif jika nyerinya berkurang
- Gerakan fleksi siku & abduksi bahu ipsilateral : positif jika nyeri berkurang

Tabel.1 Dampak dari radiks saraf yang terlibat


Otot-otot yang Distribusi sensorik Refleks
dipengaruhi
C5 Deltoid, supraspinatus, Shoulder & aspek Refleks Supinator
infraspinatus lateral (arm)
C6 Flexor siku: biceps, Distal lateral lengan Refleks Biceps
brachialis, brachioradialis bawah (forearm), ibu
& ekstensor radial jari & telunjuk
pergelangan tangan
C7 Triceps, flexor Aspek dorsal lengan Refleks Triceps
pergelangan tangan bawah (forearm) & jari
tengah
C8 Flexor digitorum Aspek ulnar lengan
superficialis & profundus bawah (forearm) tangan
(hand) & jari IV-V
Keterbatasan Fungsional
 Hendaya pada gerakan leher sehingga membatasi pandangan ke atas dan kemampuan kepala dan leher
untuk melihat ke samping. Pertimbangkan untuk aktivitas mengemudi, bekerja dengan menunduk,
berenang dan kegiatan lainnya.
 Perubahan motorik dan sensorik indera dapat mengganggu kemampuan memegang, tulisan tangan,
atau aktivitas motorik halus (fine motor) lainnya.
 Kekuatan menggenggam ekstensor pergelangan tangan, aktivitas motorik halus, stabilitas bahu dapat
dipengaruhi jika terjadi gangguan pada radiks saraf servikal

Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos servikal ; terlihat osteofit, spondilotik, degenerasi diskus, hipertrofi vertebra (AP, Lateral),
terlihat foramina intervertebra dan neural foramina (Oblique)
 MRI : melihat kelainan pada jaringan lunak (soft tissue), hiperintensitas pada T2-weighted
 USG Doppler: melihat aliran A.vertebralis
 Elektrodiagnostik: menjelaskan lokasi lesi saraf

Diagnosis Banding
 Rotator cuff tendinitis
 Rototor cuff tear
 Neuropoti perifer
 Carpal Tunnel Syndrome
 Tumor vertebra, lnfeksi spinal
 Plexopati brachial
 Thoracic outlet syndrome.

Otot-otot yang dipengaruhi Distribusi sensorik Refleks


 Deltoid, supraspinatus, & infraspinatus
 Shoulder & aspek lateral arm Refleks Supinator
 Flexor siku: biceps, brachialis, brachioradialis, & ekstensor radial pergelangan tangan
 Distal lateral forearm (lengan bawah distal lateral), ibu jari & telunjuk Refleks Biceps
 Triceps, flexor pergelangan tangan
 Aspek dorsal forearm & jari tengah
 Refleks Triceps
 Flexor digitorum superficialis & profundus
 Aspek ulnar forearm, hand, & jari IV-V

Komplikasi
 Nyeri kronik & deficit nerologis permanen
 Stenosis kanalis spinalis
 Kompresi A.vertebralis menyebabkan gangguan keseimbangan, pusing (dizziness), postural sway
 Gangguan AKS

Tujuan tatalaksana
 Memperbaiki postur
 Mengoptimalkan ROM
 Mengurangi nyeri

Tatalaksana
 NSAID (termasuk COX-2 inhibitor)
 Analgetik
 Tricyclic ontidepressonts (amitriptyline, nortriptyline)
 Musle relaxants (eperisone, diazepam, chlorazoxasone, cyclobenzaprine)
 Tambahan acetaminophen, hydroxyzine sebagai penghilang rasa nyeri
 Injeksi steroid melaluiepidural (4-6 bulan perjalanan penyakit)
 Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body mechonics, home
exercise.
 Modalitas : ice, elektroterapi, panas (heat), TENS, traksi manual/ mekanikal servikal
 Ortosis : - Soft Cervical Collar (awal & intermitten)
- Bantal servikal khusus
- Terapi Latihan (Therapeutic exercise)
 Alat bantu kegiatan/pekerjaan sehari-hari (monitor computer ergonomis dalam posisi servikal netral
alat menulis, dll)
 Tindakan bedah : Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama satu (1) tahun.

Daftar Pustaka
1. Fast A, Segal M. Cervical Degenerative Disease. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2th ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :
11-6
2. Stitik TP, Kim JH, Stiskal D, Foye P. Osteoarthritis. ln: Frontera WR, Delisa JA (eds). Delisa's
Physical Medicine & Rehabilitation, 5th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia: 2010. p 781-
810
3. McKenzie R. The Cervical And Thoracic Spine Mechanical Diagnosis And Therapy. Spinal
Publications Ltd. Philadelphia. 1990. P 65-78 
SPONDYLOLISTHESIS

Definisi
Merupakan tergelincirnya corpus vertebra bagian atas terhadap vertebra di bawahnya. Tergelincirnya
vertebra akan dicegah oleh segmen posterior vertebra, sehingga adanya spondylolisthesis menunjukkan
kegagalan struktural segmen posterior vertebra. Sering terjadi pada vertebra L5-S1, dan L4-L5 karena
proses degeneratif. Dapat juga terjadi pada vertebra Servikal.

Klasifikasi
Berdasarkan etiologi
 Displastik
 Isthmus
 Degeneratif
 Traumatik
 Patologis

Berdasarkan pergeseran segmen sudut posterior corpus vertebra atas terhadap corpus vertebra bawah
 Grade I ≤ 25%
 Grade II 26% - 50%
 Grade III 51% - 75%
 Grade IV > 75%

Gejala Klinis
 Low back pain, dengan nyeri tumpul, nyeri pada punggung, bokong, dan posterior paha.
 Nyeri menjalar ke tungkai bawah, bisa dikaitkan dengan iritasi radiks saraf

Pemeriksaan Fisik
 lnspeksi : kelainan pola gait (waddle dengan hip fleksi, stride length memendek, base of support
melebar
 Palpasi : nyeri radikular pada proc.spinosus diatas slip (khas untuk L4), spasme otot paraspinal, otot
hamstring
 Gerak (Movement) : Nyerigerak, keterbatasan ROM togok (trunk)
 Tes khusus (special): SLR (+) jika terjadi iritasi radiks
 Gangguan motorik dan sensorik

Keterbatasan fungsional
 Nyeri gerak saat membungkuk (bending), menyetir.

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos lumbosacral : terlihat gambaran Scottie dog's neck/collar (Oblique), tampak pergeseran
vertebra sesuai derajat keparahan (AP, Lateral)
 CT Scan & MRI : melihat kompresi radiks saraf pada foramina saraf, stenosis spinal.
 USG Doppler: melihat aliran A.vertebralis
 Elektro diagnostik: menjelaskan lokasi lesi saraf
Diagnosis Banding
 Low back pain karena degenerative
 Herniasi diskus lumbar
 Radikulopati lumbal
 Stenosis spinal
 Fraktur kompresi vertebra
 Tumor, Lumbar sprain & strain.
Tujuan tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Meningkatkan fleksibilitas

Tatalaksana
 NSAID (termasuk COX-2 inhibitor)
 Analgetik, tricyclic antidepressants, Musle relaxants (relaksan otot)
 lnjeksi Epidural
 Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body mechanics, memodifikasi
aktivitas, home exercise
 Terapi latihan :
 Latihan Peregangan (Stretching exercise) (peregangan untuk mengurangi keterbatasan mobilitas
togok (trunk), meregangkan otot fleksor panggul (hip), otot hamstrings & quadriceps)
 Latihan Penguatan (Strengthening exercise) otot-otot (otot punggung & otot abdomen untuk
mengurangi keluhan dari instabilitas lumbal)
 Modalitas: seperti US (Ultrosound diathermy), ES (Electrical Stimulation).
 Ortosis (Brace anti lordotik) selama 23 jam/hr
 Alat bantu kegiatan/pekerjaan sehari-hari
 Tindakan bedah : Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama satu (1) tahun.

Komplikasi
 Stenosis spinal
 Kompresi saraf spinalis

Daftar Pustaka
1. Paul SM. Scoliosis and Other Spinal Deformities. In : Frontera WR, Delisa JA (eds). Delisal physical
Medicine & Rehabilitation, 5th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia: 2010.p 883-906
2. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 871-912 
CERVICAL SYNDROME

Definisi
Sekumpulan gejala berupa nyeri tengkuk, nyeri yang menjalar, rasa kesemutan yang menjalar, spasme otot
yang disebabkan karena perubahan struktural kolumna vertebra servikalis akibat perubahan degeneratif
pada diskus intervertebralis, atau pada ligamentum flavum. Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa
hal seperti : proses infeksi, perubahan degeneratif, trauma, tumor dan kelainan sistemik. Salah satu
penyebab nyeri servikal adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur
anatomi tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. 34% dari populasi mengalami nyeri
servikal, 14% diantaranya mengalami lebih dari 6 bulan. Lebih sering pada populasi usia diatas 50 tahun.

Gejala Klinis
 Nyeri ditengkuk
 Nyeri menjalar sampai ke lengan
 Kesemutan
 Keterbatasan gerak

Pemeriksaan Fisik
 lnspeksi : posisi kepala tertekuk menjauhi sisi yang sakit
 Palpasi : Nyeri tekan, kekakuan, spasme otot
 Movement : Nyeri gerak (+)
 Tes sensorik & motorik
 Spesial Tes : Spurling (+), Distraksi (+)

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos servikal : penting untuk mendeteksi adanya subluksasi, fraktur, maupun proses
degeneratif.
 CT SCAN : dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang servikal dan sangat membantu
bila ada proses akut.
 MRI : sebagai pemeriksaan penunjang pilihan untuk regio servikal. Dapat mendeteksi kelainan pada
ligamentum, diskus, medula spinalis, radiks saraf dan tulang vertebra.
 EMG : membantu mengetahui apakah gangguan neurogenik atau tidak, menentukan level dari iritasi
radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks.

Diagnosis
 Neurologi
- Myelopati servikal
- Tumor (spinal, Pancoast)
- Syringomelia
- Motor neuron disease
- Herpes zozter
- Brachial plexopahty
- Peripheral nerve entrapment (median, ulnar, radial)

 Muskuloskeletal
- Shoulder disease
- Spondylosis servikal
- Nyeri myofacial
- Penyakit inflamasi
- lnfeksi
- Tumor
- Tendinitis

 Lain-lain
- lskemia jantung
Tujuan tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Mengoptimalkan ROM
 Meningkatkan fungsi
 Memperbaiki postur
 Menjaga stabilitas sendi

Tatalaksana
Farmakologis
 Analgetik
 NSAID
 Muscle relaksan
 Vtamin B12

Non Farmakologis
 Non operatif
- Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body, memodifikasi aktivitas /
pembatasan aktivitas, home exercise
- Modalitas terapi panas seperti Diathermy (Shortwave, Microwave, Ultrasound) atau dingin untuk
mengurangi spasme; TENS untuk mengatasi nyeri, Traksi Servikal apabila tidak ada kontraindikasi
- Terapi latihan terdiri dari latihan peregangan (streching), dan latihan penguatan otot (Strengthening
exercise)
- Ortosis Servikal berupa Soft Cervical Collar untuk immobilisasi leher & mengurangi kompresi
radiks saraf (24 jam/hari selama seminggu, selanjutnya pemakaian jika beraktivitas saja mulai pada
minggu kedua)
 Tindakan bedah: Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama 6 bulan.

Komplikasi
 Kelemahan saraf progresif
 Nyeri radikular servikal residual
 Sindrom nyeri kronik
 Disabilitas
 Mielopati

Daftar Pustaka
1. DePalma MJ, Slipman CW. Common Neck Problem. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 787-816
2. Lipetz JS, Lipetz DI. Disorders of the Cervical Spine. In : Frontera WR, DeLisa JA (eds). Delisa’s
Physical Medicine & Rehabilitation,5th ed. Lippincort William &Wilkins Philadelphia: 2010. p 811-36
3. McKenzie R. The Cervical And Thoracic Spine Mechanical Diagnosis And Therapy. Spinal
Publications Ltd. New York. 1990. P. 608-71
OSTEOPOROSIS

Definisi
Osteoporosis adalah suatu kelainan tulang yang ditandai dengan penurunan kekuatan. tulang sehingga
meningkatkan predisposisi seseorang terhadap risiko fraktur.

Menurut kriteria World Health Organization,diagnosis osteoporosis didasarkan pada pengukuran kepadatan
mineral tulang (BMD=bone mineral density) dan kandungan mineral tulang (BMC= bone mineral
content):
 Normal : nilai BMD atau BMC >- 1 SD
 Massa tulang rendah (osteopenia) : nilai BMD atau BMC -1 s/d -2,5 SD
 Osteoporosis: nilai BMD atau BMC >-2,5 SD
 Osteoporosis berat (established osteoporosis): nilai BMD atau BMC >-2,5 SD dengan adanya satu atau
lebih fraktur.

Gejala
 Osteoporosis adalah silent disease sampai terjadi fraktur.
 Rasa sakit dan deformitas biasanya didapatkan di lokasi fraktur.
 Fraktur vertebra sering terjadi dengan trauma kecil, seperti batuk, mengangkat, atau membungkuk.
 Nyeri punggung akut mungkin berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra dengan nyeri lokal ke
daerah fraktur atau sesuai distribusi radikuler.
 Nyeri punggung akut atau kronis pada pasien osteoporosis dengan riwayat fraktur vertebra mungkin
berhubungan dengan fraktur baru, kejang otot, atau sebab lain.
 Pada fraktur vertebra dapat ditemukan kyphosis yang progresil sesak nafas, dispepsia-mungkin
berkembang karena penyempitan rongga perut.

Penyebab
 Berkaitan dengan usia : kondisi post menopause, proses penuaan
 Berkaitan dengan endokrin : hipogonadisme, hipertiroid, hiperparatiroidisme, kelebihan hormon adrenal
kortikal, diabetes mellitus tipe 2
 Genetika : osteogenesis imperfect, Ehlers-Danlos Syndrom, Homocystinuria,
 Imobilisasi
 Kelainan hematologi : Multiple myeloma, mastositosis sistemik, Thalassemia
 Obat-obatan : glukokortikoid, hormon tiroid, Cyclosporine, obat anticonvulsant, Aromatase inhibitor,
terapi defisiensi androgen (pria)
 Miscellaneous : rheumatoid arthritis

Faktor Risiko
 Usia lanjut
 Perempuan
 Berat badan kurang
 Ras Kaukasia dan Asia
 Defisiensi estrogen
 Riwayat fraktur sebelumnya
 Gaya hidup tidak aktif
 lntake kalsium rendah
 Merokok
 Alkoholisme
 Obat-obatan seperti glukokortikoid, hormon tiroid yang berlebihan, siklosporin, obat anti kejang,
inhibitor aromatase, terapi defisiensi androgen pada pria.

Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan pasien osteoporosis, penting untuk mendiagnosa penyebab yang bisa diobati dan
bersifat reversibel, dan menilaifaktor resiko terjadinya fraktur osteoporosis.
 Didapatkan temuan sugestif dari penyebab sekunder osteoporosis (misalnya, hipertiroidisme dan
sindrom Cushing).
 Pemeriksaan daerah yang sebelumnya mengalami fraktur (misalnya, vertebra, hip, dan pergelangan
tangan) untuk menilai deformitas dan keterbatasan fungsi.
 Pengukuran tinggi badan harus dilakukan dan dievaluasi ulang pada kunjungan berikutnya

Keterbatasan Fungsional
 Pada fraktur vertebra, keterbatasan fungsional awal berhubungan dengan nyeri akut dan kesulitan
mobilisasi.
 Keterbatasan kronis berhubungan dengan berkurangnya tinggi badan, nyeri punggung kronis, kesulitan
dalam mobilisasi, distensi perut, dan sesak nafas.
 Keterbatasan fungsional setelah fraktur hip terkait dengan fungsi mobilisasi, kebutuhan jangka
panjang penggunaan alat bantu, dan menurunnya kemandirian. 50% orang dengan fraktur hip
membutuhkan alat bantu permanen.
 Fraktur pergelangan tangan biasanya sembuh sepenuhnya, tetapi beberapa orang mengalami nyeri
kronis, deformitas, dan keterbatasan fungsional.

Pemeriksaan Penunjang
 Pengukuran kepadatan tulang adalah standar untuk penilaian risiko, diagnosis, dan observasi pasien
dengan osteoporosis.
 Teknik yang tersedia meliputi foton tunggal absorptiometri, dual-energi x-ray absorptiometry,
kuantitatif computed tomography, dan ultrasonografi kuantitatif.
 Pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis banding osteoporosis dan untuk
menyingkirkan osteomalasia, meliputi darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, protein urin, dan
konsentrasi hormon thyroid-stimulating.

Tujuan tatalaksana
 Mencegah terjadinya fraktur
 Stabilitas massa tulang atau peningkatan massa tulang
 Mengurangi gejala dari fraktur dan deformitas
 Mengoptimalkan fungsi fisik

Tatalaksana
Farmakologis
 Kalsium : 1200-1500 mg / hari
 Vitamin D 800 sampai 1000 IU per hari
 Terapi sulih hormon (hormon replacement therapy)
 Kalsitonin (Miacalcin nasal spray) 200 unit 1x 1hari
 Teriparatide (Forteo) 20 Ug subkutan setiap hari selama 2 tahun
 Bifosfonat (Alendronate, Risendronate, lbandronate, dll) harus diberikan pada waktu perut kosong
dengan segelas penuh air putih untuk memaksimalkan penyerapan, dan pasien tidak boleh berbaring
selama setidaknya 60 menit untuk menghindari efek samping esophagitis. Pasien dengan riwayat
refluks tidak boleh diberikan obat-obat ini.

Nonfarmakologis
 Diet makanan tinggi kalsium, seperti susu dan produk susu, khususnya yogurt.
 Stop merokok
 Pencegahan jatuh

Rehabilitasi
 Upaya rehabilitasi osteoporosis harus dimulai jauh sebelum terjadi fraktur.
 Evaluasi kondisi rumah pasien untuk memastikan aman dan mengurangi risiko jatuh.
 Peralatan khusus, seperti parallel bar di kamar mandi, alat bantu jalan (tongkat atau walker)
 Latihan untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan, yang dapat membantu
mencegah jatuh, dan meningkatkan kepadatan tulang.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah dan stabilisasi adalah pengobatan terpilih untuk fraktur hip dan beberapa fraktur lain.

Potensi Komplikasi Pengobatan


 Komplikasi pengobatan dapat berhubungan baik dengan tindakan bedah, fase penyembuhan,
maupun obat yang digunakan untuk mencegah atau mengobati osteoporosis.
 Kebanyakan fraktur osteoporosis terjadi pada pasien usia tanjut dan mengakibatkan hilangnya fungsi,
kemandirian dan kebutuhan untuk perawatan jangka panjang. Komplikasi pasca operasi dan tindakan
anestesi berupa imobilisasi lama, pneumonia, infeksi saturan kemih, konstipasi, dan masalah
pernapasan.
 Komplikasi terapi sulih hormon meliputi resiko kanker payudara, penyakit jantung, tromboemboli, dan
kanker endometrium. Komplikasi obat osteoporosis memberikan gejala gastrointestinal, esofagitis, dll.

Daftar Pustaka
1. David M. Slovik, Jonas Sokolof, DO. Osteoporosis. ln: FronteraWR, SilverJK, RizzoTD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2th ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :
753-60
2. Sinaki M. Osteoporosis. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition,
Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 913-34
PLANTAR FACIITIS

Definisi
Plantar fasciitis adalah overuse injury akibat robekan mikro (microtears) yang berulang pada fascia
Plantaris. Secara klasik digambarkan sebagai reaksi peradangan lokal, meskipun penelitian terbaru telah
menunjukkan ketiadaan relative dari sel-sel inflamasi di jaringan yang terluka, hal ini menunjukkan lebih
dari sekedar proses degeneratif, oleh karena itu, dianjurkan memakai istilah tendinosis dan fasciosis.

Plantar fasciitis adalah salah satu cedera yang paling umum dijumpai pada pelari. Kondisi ini biasanya
dipicu oleh perubahan dalam program pelatihan atlet. Perubahan tersebut dapat mencakup peningkatan
intensitas atau frekuensi, penurunan waktu pemulihan, atau perubahan medan atau permukaan berjalan.
Pada non athlete, kondisi ini dipicu oleh peningkatan frekuensi berjalan, berdiri, atau memanjat tangga.
Ada korelasi antara plantar fasciitis dengan profesi yang membutuhkan berdiri terlalu lama (misalnya,
polisi dan penata rambut).

Faktor risiko seperti pes planus (kaki datar), pes cavus dengan arcus yang tinggi dan rigid, pronasi yang
berlebihan, obesitas, kontraktur tendon Achilles, dan alas kaki yang kurang baik (biasanya bantalan tumit
yang longgar dan arcus suport yang tidak adekuat) dapat berkontribusi pada perkembangan kondisi ini.

Gejala Klinis
 Nyeri yang tajam, nyeri seperti terkena pisau pada daerah plantar tumit di dasar insersi fasia ke
calcaneus.
 Nyeri umumnya memburuk dengan berdiri atau pada saat langkah awal, saat bangkit ke posisi berdiri
atau setelah lama duduk.
 Keluhan mati rasa, parestesia, atau kelemahan adalah atipikal untuk plantar fasciitis, karena itu,
jika keluhan-keluhan itu ada, dokter harus mencurigai adanya cedera saraf yang mendasarinya.

Pemeriksaan Fisik
 Palpasi menunjukkan adanya nyeri (tenderness) pada daerah munculnya fascia di tuberkulum
kalkanealis medial, tapi tendernes dapat juga di sepanjang plantar fascia.
 Keterbatasan ROM saat dorsofleksi akibat plantar fascia yang mengalami kekakuan serta kekakuan
tendon achilles.
 Dorsofleksi dapat diuji dengan ekstensi lutut (knee straight) (gastrocnemius pada peregangan) dan
dengan fleksi lutut (lutut ditekuk) (gastrocnemius rileks, soleus diregangkan / stretched) untuk
membedakan ketegangan (tightness) dari otot-otot gastrocnemius dan soleus. Pemeriksaan neurologis
harus dapat menggambarkan kekuatan otot normal, sensasi, dan refleks tendon dalam, kecuali jika ada
neuropati.

Keterbatasan Fungsional
 Tergantung pada beratnya penyakit
 Pasien mungkin mengeluhkan hanya ketika berjalan jauh atau pada kasus yang parah pasien mengalami
 keterbatasan dalam aktifitas jalan sehari-hari
 profesi yang membutuhkan banyak berjalan atau berdiri (misalnya, pekerja pos, perawat, atau pelayan)
memerlukan modifikasi pekerjaan dan penggunaan splinting atau casting selama fase awal pengobatan

Diagnosis
 Radiologi : adanya heel spur.
 Elektrodiagnostik (elektromiografi) mungkin dapat membantu dalam mengesampingkan kemungkinan
entropment saraf.
 MRI dan USG Muskuloskeletal dapat membantu sebelum intervensi bedah dipertimbangkan dapat
menunjukkan pembengkakan di dalam fascia.

Diagnosis Banding
 Inflamasi
- Juvenile rheumatoid arthritis
- Rheumatoid arthritis
- Ankylosing spondylitis
- Reiter's syndrome

 Metabolik
- Migratory osteoporosis
- Osteomalacia

 Degeneratif
- Osteoarthritis
- Atrophy of the heel fat pad

 Nerve entrapment
- Tarsal tunnel syndrome
- Entrapment of the medial calcaneal branch of the posterior tibial nerve

 Diagnosa lain
- Tumors
- Vascular compromise
- Infection

Tujuan tatalaksana
 mengurangi nyeri dan memperbaiki biomekanik kaki yang salah.

Tatalaksana
 Pasien menghindari aktivitas yang memberatkan, tidak memakai sepatu hak tinggi, alas kaki yg keras.
 Kompres es
 Elevasi : Menjaga kaki diangkat sambil duduk atau berbaring untuk membantu mengurangi peradangan
local dan pembengkakan
 Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS / NSAID)
 Pemakaian alas kaki terutama pada saat berdiri lama.
 Latihan peregangan dan latihan penguatan tungkai bawah, paha, pinggul, dan punggung. Latihan
peregangan selama 30 detik 10 kali per hari.
 Penguatan otot-otot intrinsik kaki dapat dicapai dengan meletakkan handuk di lantai dan meminta
pasien membuat sampai handuk menjadi bola dan kemudian membukanya lagi dengan meregangkan
dan memperpanjang jari kaki.
 Latihan aerobik untuk meminimalkan efek dekondisi (deconditioning) dengan berjalan atau berenang di
kolam renang maupun bersepeda dengan resistensi yang rendah.
 Modalitas: Ultrasound (US) Diathermy
 Pembidaian (Splinting) pada malam hari pada bagian posterior mungkin terbukti efektif dalam kasus-
kasus resisten --> posisi kaki dorsofleksi maksimum setiap malam dan dikenakan sepanjang malam
selama 2 sampai 3 minggu.
 Dalam kasus-kasus refrakter injeksi steroid lokal dapat diberikan: kombinasi 10-20 mg triamsinolon
(Kenalog) dan 4 mL lidocaine 1%.
 Pembedahan dapat diindikasikan pada pasien dengan kecacatan yang signifikan dan nyeri terus
menerus yang dengan tindakan konservatif gagal.

Komplikasi
 Kerusakan dan degenerasifascia yang menetap / irreversible
 Pemberian kortikosteroid walaupun efektif tetapi mempunyai efek samping dapat menyebabkan atrofi
lapisan lemak atau rupturnya fascia plantaris NSAID dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal -->
hindari pemakaian jangka panjang. Tindakan bedah dapat beresiko infeksi atau ruptur fascia.

Daftar Pustaka
1. Slovik DM, Sokolof. Plantar Fasciitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation 2nd ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :469-474
2. Hansen PA, Willick SE. Musculoskeletal Disorders of the Lower Limb. In : Braddom RL (ed).
Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011:
843-870
Kaki Diabetik
Definisi
Perubahanpatologispadaekstremitasbawahsebagaiakibatkomplikasi diabetes yang
tidakterkontrol.

Gejala
 Neuropati
 Neuropatisensori : sensasinyeri, tekandansuhutidakada (negative)
ataumenurun
 Neuropatiotonom : produksikeringatmenurunmenyebabkan kaki
keringdanpecah 2 sehinggaterjadiluka
 Neuropati motoric : atropiotot, kelemahanotot kaki danketerbatasan ROM,
dapatmengakibatkandeformitasfleksi (claw toes) sehinggatekananpada
metatarsal &ujungjariyangmeningkatdanperubahanbiomekanik, terjadikallus
yang dapatterjadiinsfeksi, ulkusdan osteomyelitis, yang
dapatberakhirdenganamputasi
 Kelainanpembuluhdarahperifer :
Berkurangnyaalirandarahke kaki olehkarena arteriosclerosis pd DM adalah 2,3 x yang
selanjutnyamenghambatpenyembuhanlukadanterjadi gangrene

Anamnesa
 Identitas, faktorresiko yang adakaitanyadenganterjadinyaulkus,
gejala/keluhanneuropati, riwayatulkussebelumnya.
 Informasitentanglingkungandanpekerjaanpasien
 Keadaanpsikososial

PemeriksaanFisik
 Inspeksi : apakahadamaserasi, paronchia, kalus, kulitkering, deformitas Claw toes,
hammer toes, dll
 Pemeriksaansensoris : sensasirabaringan, pinprick, rasa panasdingin, Semmes
Weinstein monofilament
 Pemeriksaanvaskularisasi kaki : denganmerabapulsasi a. popliteal dan a.
dorsalispedis, Ultrasound dppler, Angiografi Ankle brachial index (ABI)
 Pemeriksaan musculoskeletal
 Refleks tendon Achilles dan patella
 Lingkupgeraksendi kaki dantungkai
 Kekuatanotot kaki dantungkai

Diagnosis
KategoriresikodankedalamanlukaberdasarkanklasifikasiWagner :
 Grade 0 : kulittidakadaluka / deformitas
 Grade 1 : ulkussuperfisialis, terlokalisir
 Grade 2 : ulkusdalamsampai tendon, ligament dansendi
 Grade 3 : osteomyelitis
 Grade 4 : gangrenpadabagiandepan kaki
 Grade 5 : gangrenpadaseluruh kaki

Ketebatasanfungsional
DROP FOOT

Definisi

Drop foot adalahketidakmam;uan kaki danjari kaki untukmelakukandorsofleksi. Penyebab drop foot
dapatdiketegorikandalamtigakategoriutamayaitukelainansaraf, kelainanotot, ataukelainananatomi
yang menyebabkankonpresisaraf. Dapatjugakarenagabunganbeberapapenyebab. Drop foot
bisajugaolehkarenacederalokalataumerupakangejaladarisuatupenyakit.

Etiologi

 Kelainankongenital
 Cerebral palsy adalahkelainan yang padaumumnyadapatmeyebabkan drop foot. Kelainan
yang berhubungandenganperkembangantulangbelakangsepertispina bifida,
dapatjugamengakibatkan drop foot.
 Trauma
 Trauma yang menyebabkanrobeknya tendon ataubagian-bagian yang
bertanggungjawabterhadapgerakandorsofleksi kaki danjari kaki.
 Kompreasi / entrapment (jebakan) saraf
 Penyebab paling umumadalahkompresisaraf peroneus, bersifat unilateral,
biasanyaolehkarenapemasanganortosis yang tidaktepatataupenyebab yang
tidakdiketahui.Adanyatulang assessor yang disebut fibula yang
terletakdibelakanglututseringsebagaipenyebabkompresisaraf peroneus.
 Pascabedah; misalnyapadatindakan knee arthroplasty.
 Compartment syndrome
 Terjadinyaperubahan vascular
danneurologisolehkarenapeningkatantekananolehkarenakompresi yang
bisabersifatakutataukronis.
 Kelainanneurologis.
 Neuroma, kompresidiskus, spinal stenosis danartritis yang mengenaiakarsarafpada L5
akanmenyebabkandrp foot. Penyakitsistemikseperti ALS, GBS, Miastenia Gravis, Lambert-
Eaton dan myositis dapatjugamenyebabkan drop foot di sampinggejalaneurologis yang
lainnya.
 Kebiasaan
 Kebiasaanmenyilangkansalahsatu kaki (crossing one’s legs)
menyebabkankompresipadaaspek lateral, ataubagianluar kaki yang
dapatmengakibatkankerusakanpadasarafperoneal.
 Penyakit metabolic
 Semuapenyakit yang dapatmengakibatkanpolineuropatidapatmenyebabkan drop foot
 Seperti diabetes mellitus dandefisiensi vitamin B12, sarkoidosis
 Kanker
 KankerdarahsepertiMacroglobulinemiaWaldenstromdan leukemia
dapatmenyebabkankelumpuhansaraf
 Infeksi
Definisi

Arthoplastymelibatkanrekonstruksiataumodifikasiataupenggantiansendi (dalamhalinilutut)
dengankomponensendi yang artifisial.Dilakukanpadalutut yang terkenapenyakit, rusak, atausendi yang
mengalamiankilosis.

Gejala

 Nyerilututpascabedah yang sangatintens, selamakuranglebih 2


minggudandapatmemanjangpadabeberapakondisi
 Kekakuansendilutut
 Deformitassendilutut
 Peradangan di jaringanlunaksekitarsendi
 Gangguanpropiosepsi, danketidakstabilansementarapascabedah
 Rasa sensasi cracking, locking, atauadanyapenonjolansekitarsendi

PemeriksaanFisik

 AdanyaHipertrofidarisendi
 Nyeritekanpadabatassendi
 Berkurangnyagerakan AROM dan PROM
 Krepitus
 Efusi
 Adanyabekaslukajahirpascabedah
 Eritem, hiperpatia, atauallodinia
 MMT padaotot quadriceps dan hamstring

Pemeriksaanpenunjang

 Fotopolos AP lateral,posisiberdiri (weight bearing) untukmelihatpengaruhbebanpadasendilutut


 Analisiscairansendi
 Pencitraanpascabedahyaitufotopolos AP, lateral padaposisi non weight bearing

Keterbatasanfungsional

 Keterbatasanpadagerakanfleksi
 Pengurangankekuatanlutut
 Nyeripascabedah

Tujuantatalaksana

 Menguranginyeri,
 Meningkatkanfungsi musculoskeletal
 Perlindungansendi
 Mencegahregangan yang berlebihanpadasendibaru
Definisi

Rekonstruksidarisendi yang sakit, rusak, tau terjadiankilosisdenganmenggunakanmodifikasi natural,


ataudenganmenggunakanalatartifisial.Penyebab yang paling seringadalah OA, RA, avascular necrosis,
post trauma, congenital, daninfeksi. Indikasiutamanyapadanyeri yang
dapatmenyebabkanpenurunanfunsidalamkehidupansehari-hari

Gejala

 Nyeripadaselangkangan yang beradiasikelutut


 Gangguanpolajalan
 Kekakuan di pagihari

PemeriksaanFisik

 Antalgic gait
 Berkurang ROM dan MMT
 Trendelenburg sign
 Nyeripadaakhir ROM, atausaatmenaikitangga

Pemeriksaanpenunjang

 Fotopolosradiologi
 Scan tulang
 MRI
 USG Doppler
 PemeriksaanLaboratorium

Keterbatasanfungsional

 Kesulitanberjalandanmobilisasi
 Kesulitandariposisidudukkeberdiri
 Kesulitan AKS danbekerja

Tujuantatalaksana

 Menguranginyeri,
 Meningkatkanfungsi musculoskeletal
 Perlindungansendi
 Mencegahregangan yang berlebihanpadasendibaru
Rheumatoid Arthritis

Definisi

Rheumatoid arthrisadalahsuatupenyakitinflamasikronik yang secara primer


mengenalpersendiannamundapatjugaterlhatgambaranekstraartikuler yang
menonjol.Biasanyasimetrisdanmengenalpersendian di bagianperifer.Prevalensinyasekitar 1%
padakulitputihdanwanitasekitar 2 sampai 2,5 kali lebihseringdaripadalaki-laki.
Insidennyapadausiadekadeketigadanempat.

Gejala

 Kekakuan di pagihari 30-60 menit (sampaiberjam-jam). Fatiquedan general malaise


 Nyeridanbengkakpadasendi, berkurangnyafungsipadasendi.
 Mata kering (keratokojungtivitissicca)
 Terdapatnyanodulsubkutaneus yang tidaknyeripadabagianekstensor.
Padarheumathoidvaskulitisdapatditemukanruam (rash) yang dapatmenjadiulcerasi
 Rasa tebaldankesemutanpadapersarafan yang terkena. Dapatterjadipenjepitan /
jebakansarafakibatindflamasisendi (paling seringpadasarafmedianusmenyebabkan
Carpal Tunnel Syndrome). Mononeuritismultipleksakibatvaskulitis (contoh :footdrop,
wristdrop).
 Insidendanprevalensipenyakitjantung coroner meningkatpada rheumatoid artritis
 Inflamasi pleura ataunodulosis

PemeriksaanFisik

Setiapsendidiperiksauntukmengetahuiadanyapembengkakakn, rasa hangat, efusi, keterbatasan


ROM dandeformitas.Reumatoidartritisbiasanyamengenailebihdariempatsendi (jari, kaki,
pergelangantangandanlutut yang paling sering)

Padatangan :

 Pembengkakanpadaproksimalinterfalang (PIP)
 Subluksasimetacarpofalangeal (MCP) dengandeviasi ulnar padajari-jari
 Boutonniere (fleksiPIP danhiperekstensi DIP)
 Inflamasipadasarung tendon synovial (tenosynovitis)
padapemeriksaandidapatkangerakanpasiflebihbaikdaripadaaktif
Cedera Tendon TanganRuptur Tendon Ekstensor

Definisi

Merupakancederapadamekanismeekstensordarijari-
jari.Lebihseringterjadidaripadacederafleksorkarenaletaknya yang
lebihsuperficialis.Dapatberakibatketidakmampuanmengekstensikanjari-jarikarena tendon itusendiri,
extensor lag, kekakuansendi, dannyeri.

Klasifikasizona

 Zona I : area sendi DIP


 Zona II : area phalangs media
 Zona III : area sendi
 Zona IV : area phalangsproksimal
 Zona V : area sendi MCP
 Zona VI : area
 Zona VII
 Zona VIII
Definisi

Terjadi pada pekerjaan yang sering memindahglkan barang, menggunakan pisau, atau mencuci piring,
orang-orang dengan rheumatoid artritis dan atlit. Sering terkena pada fleksor digitorum produndus jari
manis. Regio potensial terjadinya dibagi menjadi 5 zona

Klasifikasi zona

 Zona I : basis insersio tendon pada phalangs distal sampai phalangts media
 Zona II : bagian tengah phalangs medial sampai lipatan palmar distal
 Zona III : lipatan palmar distal sampai bagian distal dari ligamentum tranversal carpal
 Zona IV : ligamentum transversal carval
 Zona V : lipatan pergelangan tangan sampai musculotendineus junction dari tendon fleksor

Gejala

Ketidakmampuan untuk fleksi. Berkurangnya sensasi karena kelainan pada neurovascular bundle.

Pemeriksaan fisik

 Riwayat mekanisme cedera


 Observasi tangan pada posisi istirahat
 Jika sudah terjadi keparahan, jari-jari berada pada posisi ekstensi
 Periksa gerakan aktif fleksi pada tiap sendi jari
 Jika pergelangan tangan diektensikan secara pasif, jari-jari seharusnya pada posisi flesi. Pada
kelainan ini jari-jari akan tetap pada posisi ekstensi
 Evaluasi kekuatan fleksi setiap jari dengan MMT atau dynamometer
 Untuk mengetahui fungsi FDP : fleksikan sendi DIP dengan sendi PIP tetap ekstensi, jika terdapat
injuri pada FDP, pasen tidak dapat memfleksikan sendi DIP
 Sulit untuk mendiagnosa cedera pada FDS tendon sendiri karena adanya sambungan
intertendinosos pada sendi-sendi jari. Untuk itu, luruskan jari-jari, letakkan dalam tendon FDP
dalam posisi biomekanik yang tidak menguntungkan. Pasien secara aktif memfleksikan jari yang
akan di tes sedangkan jari yang laintetap ekstensi. Jika tidak dapat menggerakkan jarinya
kemungkinan besar injuri tendon FDP (tes ini hanya reliable untuk jari tengah, jari manis dan
kelingking)
 Periksa sensasi terutama pada luka tendon terbuka
 Periksa two-point discrimination sebelum menginjeksikan anastesi local untuk perawatan luka

Keterbatasan fungsional

 Kesulitan menggenggam jika bagian ulnar juga terkena


 Kesulitan precision grasp jika bagian radial terkena
 Ketidakmampuan mengkancingkan baju, mengambil benda kecil atau menggenggam benda
dengan kuat
Definisi

Valgus adalah keadaan dimana kaki membentuk lengkungan menjauhi garis tengah tubuh (o). Varus,
adalah keadaan dimana kai terlipat di garis tengah tubuh (x)

Gejala

Varus :

 Normal pada anak dibawah 2 tahun


 Sudut tibio-femoral sekurangnya 10 derajat, apexnya berada di lutut

Valgus :

 Normal pada usia 3-5 tahun, dan aka nada perbaikan setelah usia 6 tahun

Pemeriksaan Fisik

 Lengkungan yang simetris


 Kurva yang berasal dari panggul (hip) – kaki (angkle)
 Puncak kurva berada di lutut
 Biasanya diikuti dengan torsi dari tibia
 Pada keadaan valgus --> terlihat jarak intermalleolar memanjang dengan kedua lutut bertemu

Pemeriksaan penunjang

 Foto polos AP dari anggota gerak bawah dengan lutut menghadap ke depan --> sudut
metafiseal-diafisis normalnya dibawah 11 derajat

Diagnosis banding

 Blount disease
 Rickets
 Displasia skeletal

Tujuan tatalaksana

 Mencegah deformitas lebih lanjut

Tatalaksana

 Brace pada usia dibawah 3-4 tahun


 Pada keadaan yang lebih berat dilakukan tindakan bedah pada lutut

Daftar Pustaka
Etiologi

 Metatarsus adductus (curved foot)


 Femoral anteversion (twisted thighbone)
 Tibial torsion (twisted shinbone)
A. Metatarsus Adductus pada bayi
 Keadaan dimana bagian lateral kaki menjadi seperti cembung dan tumit adduksi
 Etiologi pasti belum diketahui, di percaya karena posisi intra uterin
 Tidak berhubungan dengan usia kehamilan saat kelahiran dan urutan kelahiran

Grading

 Dinilai dengan mengambil garis pada pertengahan tumit, normalnya berakhir pada jari ke 2
- Mild : berakhirpada jari ke 3
- Moderate : berakhir antara jari ke 3-4
- Severe : berakhir antara jari ke4-5

Tatalaksana

 Tumitnya dapat diregangkan (stretching) secara pasif setiap mengganti popok / diaper
 Gunakan serial casting dan sepatu dengan straight / reverse last untuk mengoreksi deformitas
 Observasi : biasanya akan membaik secara spontan pada 90-95% pasien (nilai sampai umur 12-
18 bulan)
 Adduksi pada midfoot ketika berjalan biasa pada anak sampai berusia 24 bulan, terutama untuk
meningkatkan aktifitas otot abductor halluces. Adduksi yang dinamis pada ibu jari ini terjadi
pada saat keseimbangan (balance) dan stabilitas berkembang
 Perbaikan spontan dapat terjadi walau tanpa terapi. Tindakan bedah jarang diperlukan.
B. Femoral Anteversion
 Kondisi rotasi internal hip ≥ 700 derajat dan anteversion ≤ 450

Gejala

 Anak-anak dengan femoral anteversion biasanya duduk dalam posisi “W”


 Berlari sperti “kincir angina” karena rotasi internal dari paha selama fase swing pada saat
berjalan
 Sering terlihat pada umur 2-5 tahun dan secara berangsur meningkat setelahnya dan setelah
usia 12 tahun anteversion akan meningkat secara spontan
 Pada dewasa disertai dengan nyeri patellar dan instability saat rotasi internal pada hip terutama
bila disertai dengan tibial extorsion
 Intoeing pada anak dengan usia 10 tahun akan mengalami gangguan fungsi yang signifikan -->
tindakan bedah termasuk femoral derotational dan osteotomy

Diagnosis
Definisi

Gangguan postur adalah gangguan pada posisi atau sikap tubuh, berhubungan dengan kegiatan spesifik
atau cara seseorang berdiri. Gangguan kesegarisan tubuh pada saat berdiri ataupun duduk.
Berhubungan dengan posisi keseimbangan antara otot dan sendi.

Penyebab

 Hendaya mobilitas pada otot fleksor hip (iliopsoas, tensor fascia lata, rectus femoris)
 Hendaya otot ekstensor lumbal (erector spinae)
 Regangan dan lemahnya otot abdominal (rectus femoris, internal dan eksternal obliques, dan
transverses abdominis)
 Iritasi synovial dan inflamasi sendi
 Kehamilan
 Obesitas
 Kelemahan otot abdominal

Gejala-gejala

 Tegangan pada ligament longitudinal anterior


 Penyempitan pada rongga diskus foramen intervertebralis
 Penekanan pada dura dan pembuluh darah berhubungan dengan akar saraf terutama
perubahan degeneratuf pada vertebra atau diskus

Anamnesis :

 Nyeri termasuk nyeri kepala


 Gangguan mobilitas otot, sendi atau restriksi fascial
 Gangguan performa otot yang berhubungan dengan imbalans pada panjang dan kekuatan otot
di antara kelompok otot antagonis
 Gangguan performa otot yang berhubungan dengan ketahanan (endurance)otot yang buruk
 Kurangnya control postur pada stabilitas otot
 Menurunnya endurens kardiopulmonar
 Berkurangnya perasaan kinestetik postur yang berhubungan dengan kontrol neuromuscular dan
kebiasaan postur yang buruk
 Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan mekanika control spinal

Pemeriksaan Fisik

Aligment (kurvatura vertebra)

 Kurva anterior pada cervical dan region lumbar (lordosis)


 Kurava posterior untuk kurva posterior
 Postur kyphotic merujuk kepada kurvatura posterior
Definisi

 Lumbar radiculopathy merujuk kepada suatu proses patologis yang mengenai akar saraf.
 Lumbar radikulitis merujuk kepada suatu inflamasi dari akar saraf
 Lumbar radiculopathy sering disebabkan oleh herniated lumbar disc.
 Kasus ini sering asimptomatik

Penyebab

 Trauma
 Kanker
 Infeksi
 HIV
 Diabetes

Gejala

 Nyeri (memberat saat berdiri, duduk , batuk, dan bersin)


 Parasthesia
 Retensi urin

Anamnesis

 Nyeri yang menjalar ke ekstremitas bawah


 Kelemahan otot
 Riwayat inkotinensia
 Riwayat disfungsi erektil

Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan musculoskeletal dan saraf perifer


 Asimetri pinggang atau pelvis yang satu lebih tinggi dari yang lain
 Evaluasi gerakan pinggang dan gejala radicular (nyeri menjalar ke ekstremitas bawah)
 Manual muscle testing (MMT) ankle
 Uji Stright leg raising (SLR) posisi duduk dan supine
 Pemeriksaan rektal dan perianal
 Uji sensorik inguinal

Keterbatasan Fungsional

 Tergantung dari beratnya masalah


 Beberapa keterbatasan biasanya terjadi karena nyeri
 Berdiri dan berjalan mungkin terbatas, duduk mungkin tidak
 Pasien dengan L4 radiculopathy berisiko untuk jatuh saat menuruni anak tangga
Definisi

 Skoliosis berasal dari kata Yunani Skoliosis yang berarti bent, twisted, atau curved
 Kyphosis berasal dari kata Yunani Kuphos yang berarti bent forward atau humped
 Kyphosis adalah normal pada spina torasik
 Lordosis berasal dari kata Lordos yang berarti excessive posterior bending
 Lordosis adalah normal pada spina servikal dan lumbal
 The Scoliosis Research Society mendifinisikan scoliosis sebagai beberapa kurva / lengkung yang
lebih besar dari atau sama dengan 10 derajat, dengan atau tanpa rotatory component

Epidemiologi

 Prevalensi dari scoliosis idiopatik dilaporkan antara 0.3% sampai 2% dari populasi
 Insidens dari scoliosis degenerative dilaporkan sebanyak 6% pada orang usia lebih dari 50 tahun
dan 36% pada orang usia di atas 50 tahun dengan osteoporosis
 Schuermann’s disease biasanya disebabkan oleh thoracic kyphosis patologis dengan prevalensi
antara 0.4% dan 8.3% dari populasi

Penyebab

 Idiopatik
 Neuromuskuler
 Disfungsi ligament atau tulang
 Traumatik atau post traumatic
 Infeksi atau neoplastic
 Degeneratif

Anamnesis

 Joint sprains yang dihubungkan dengan laksitas ligament


 Riwayat perkembangan / milestones pada anak-anak
 Gangguan perilaku
 Komunikasi
 Kognisi
 Fine motor
 Gross motor

Pemeriksaan Fisik

 Penilaian pada spine / tulang belakang


 Kekuatan otot
 Endurans / ketahanan otot
 Sensasi
 Keseimbangan (duduk dan berdiri)
Definisi

Sprain dan strain pergelangan kaki adalahcederaektremitasbawah yang paling


umumterjadisaatrekreasidanberolahragaterutama yang melibatkanberlariataumelompat. Sprain
pergelangan kaki melibatkanpereganganataurobeknya ligament pergelangan kaki. 85% terjadipadaaspek
lateral pergelangan kaki, yaituligamentum anterior danligamentumtalofibularcalcaneofibular. 5% sampai
10% lainnyaadalahcederasyndesmoticatau sprain pergelangan kaki tinggi, yang
melibatkanrobekanparsialdariligamentumtibiofibular anterior
distal.Cederasyndesmoticdihubungankandengan trauma yang lebihberatdenganpemulihan yang
lebihpanjangdanmungkinmemerlukanoperasi.Cederainibanyakterjadipadaolahraga American Football
dansepak bola.

Cedera ligament dikategorikanmenjaditigatingkatan :

 Tingkat I adalahrobekanparsialtanpakelemahandanhanya edema ringan. Hanyaterjadi sprain


ringanpadatalofibular anterior dengan ankle drawer test dantalar tilt test yang negative
 Tingkat II adalahrobekanparsialdenganlaksitasringandannyerisedang, nyeritekan, daninstabilitas.
Terdapatgangguanpadakompleksligamentum lateral dan sprain calcaneofibulardengan ankle
drawer test positifdantalar tilt test negative
 Tingkat III adalah rupture komplit yang mengakibatkanpembengkakan yang cukupbesar, rasa
sakitmeningkat, laksitas yang signifikan, danseringinstabilitassendi. Didapatkan ankle drawer
test dantalar tilt test yang positif.

Gejala

 Beberapapasienmerasakansensasiataubunyi “pop” padasaatcedera


 Nyeridannyeritekan di atas ligament yang cedera
 Kesulitan weight bearing padapergelangan kaki yang terlukadanambulasi
 Pembengkakan di
sekitardaerahcederadandapatmelaporkanadanyaekimosissetelahbeberapahari
 Penurunanfungsidanlingkupgeraksendibersamadenganinstabilitaslebihseringterlihat di
cederakelas II dankelas III
 Mungkinadagejalasensorik di wilayahsarafperonealsuperfisialataudalam

PemeriksaanFisik

 Edema dankadang-kadangekimosissekitar area cedera


 Rentanggeraksendipergelangan kaki mungkindibatasiolehpembengkakandan rasa sakit
 Palpasi ligament talofibular anterior dancalcaneofibular, daerahsyndesmotic, dan ligament
deltoid medial, serta fibula distal, malleolus, pangkal metatarsal kelima, kuboid, prossessus
lateral talus, danepifisisuntukkemungkinanfraktur
 Perubahansensorikakibatcederasarafperonealpada dorsum kaki (sarafperonealsuperfisial) atau
first web space (sarafperonealdalam,
Definisi

Osteoartritismengubahkeseimbanganantaradegradasidansintesistulangrawan articular
dantulangsubchondral.Osteoartritislututdapatmunculdari factor mekanikdanidopatik. Osteoarthritis
lututdapatmelibatkansalahsatuatausemuadaritigakompatemenlutututama: medial, patellofemoral, atau
lateral. Kompartemen medial paling seringterlibatdanseringmenyebabkanruntuhnyaruang medial
sendidandengandemikianmenyebabkandeformitas genu varum (bowleg).Keterlibatankompartemen
lateral dapatmenyebabkandeformitas genu valgum (knock-knee).
Penyakitterisolasidarisendipatellofemoralterjadisampaisepersepuluhdaripasiendengan osteoarthritis
lutut.Arthritis dalamsatukompartemendapat, melaluiperubahanpola stress biomekanik,
akhirnyamengarahpadaketerlibatankompartemenlainnya.

Osteoarthritis secaraperlahanmenjadipenyebab paling


umumdaridisabilitasuntukusiatengahbayadantelahmenjadipenyebab paling
umumdaridisabilitasbagimereka yang lebihtuadari 65 tahun. Sebelumusia 50 tahun,
priamemilikiprevalensidaninsidensilebihtinggisecarakeseluruhan. Untuk orang-orang ini,
lututadalahbagiantubuh yang paling seringterkena osteoarthritis.Osteoarthritis
lututsimptomatisditemukanpadasekitar 10% daripopulasi yang lebihtuadari 65
tahun.Selainpertumbuhanpopulasipasienusialanjutdengan osteoarthritis lutut,
semakinbanyakmantanatletdengancederalututsebelumnyamungkinmengalami osteoarthritis lutut post-
trauma

GejalaKlinis

 Nyerisendi di sekitarlututterutamaselama weight-bearing,


danberkurangdenganistirahatnamundenganperkembanganpenyekit, rasa
sakitdapatbertahanbahkanpadasaatistirahat
 Nyeritekanpadalutut
 Penurunan ROM karenakekakuansendiataupembengkakan
 Sensasi “locking” atau “catching” karenaberbagaipenyebab, termasuk debris
daridegenerasitulangrawanatau meniscus padasendi, peningkatanperlekatanpermukaan
articular yang relative kasar, kelemahanotot, danbahkanperadanganjaringan
 Krepitasi
 Terkadangefusi
 Peradangandalamberbagaiderajat

PemeriksaanFisik
Inspeksi Hipertrofi
Varusdeformitasdariketerlibatankompartemen
medial preferensial
Palpasi Peningkatan temperature
Efusisendi
Nyeritekansendi
LGS Nyerisaatfleksilutut
LOWER LIMB AMPUTATIONS

Definisi
Amputasi karena kondisi pembuluh darah bertanggung jawab terhadap sebagian besar (82%) penyebab
hilangnya ekstremitas bawah. Lebih dari setengah dari amputasi dysvascular (53,6%) berada pada tingkat
transfemorol (25,8%) dan transtibial (27,6%); dan 31% melibatkan jari kaki. Sebagian besar amputasi
terjadi pada orang berusia 60 tahun lebih. Trauma adalah penyebab berikut yang paling umum dari
amputasi ekstremitas bawah (22%), diikuti oleh tumor (5%). Namun, pada anak usia 10 sampai 20 tahun,
tumor adalah penyebab paling umum dari amputasi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Amputasi
pria melebihi jumlah wanita yaitu 2.1:1 diamputasi pada penyakit dan 7.2:1 pada trauma.

Gejala Klinis
 Hilang semua atau sebagian anggota badannya
 Sensasi phantom limb, nyeri phantom, nyeri stump, dan rasa sakit akibat operasi

Pemeriksaan Fisik
 Penyembuhan luka, lingkup gerak sendi, kekuatan otot, dan integritas insisional harus dievaluasi pada
sisa ekstremitas
 Kekuatan ekstremitas atas harus dinilai untuk menentukan kemampuan penggunaan alat bantu.
 Kaki yang normal dinilai untuk potensi kerusakan
 Pemeriksaan stump untuk memeriksa bekas insisi, eritema, daerah nekrosis, dan neuroma
 Amputasi Transtibial (below knee) dan Syme
- Evaluasi ROM pada lutut dalam keadaan fleksi dan ekstensi
- Kekuatan otot ekstensor lutut harus lebih dari 4/5 untuk ambulasi sukses dengan prosthesis
- kontraktur fleksi lutut 10 sampai 18 derajat dapat diakomodasi dengan prostesis transtibial.
- Kontraktur lebih dari 20 derajat memerlukan ambulasi dengan bent socket, weight bearing melalui
lutut
 Amputasi Transfemoral (above knee)
- ROM harus mencakup fleksi, ekstensi, adduksi, dan abduksi pinggul.
- Prostesis transfemoral dapat mengakomodasi kontraktur fleksi hip sampai 20 derajat, bila lebih dapat
membuat fitting prostetik dan ambulasi sulit.
- Kekuatan harus bernilai 4/5 atau lebih pada fleksi-ekstensi dan abduksi pinggul
- Evaluasi gait dengan prosthesis

Keterbatasan Fungsional
Sangat tergantung pada status premorbid pasien
 Ambulasi dengan walker atau crutches memerlukan sekitar 60% peningkatan energi daripada ambulasi
normal
 Peningkatan Energy Expenditure saat ambulasi 38%-60% pada amputasi below-knee dan 52%-116%
pada amputasi above-knee
 Keterbatasan akibat nyeri seperti ketidakmampuan berpartisipasi dalam ADL
 Umumnya phantom sensation tidak menyebabkan masalah namun phantom pain dapat mengganggu
partisipasi pasien pada rehabilitasi pre-prostetik dan prostetik
 Stump atau residual limb pain dapat menggangu proses latihan gait
 Depresi klinis didapatkan sekitar 18%-35% dari pasien

Pemeriksaaan Penunjang
 EMG dan nerve conduction studies untuk menyingkirkan kelainan radikulopati atau penyakit lainnya
pada phantom limb
 Radiografi polos untuk menilai bone overgrowth pada pasien muda

Diagnosis Banding
 Residual Limb Pain
 Edema
 Neuroma
 Incision
- Post surgical
- lnfeksi
- Bone Overgrowth
 lskemia
 Phantom Pain
 Sympathetic Pain
 Radikulopati

Tujuan tatalaksana
 Mengurangi edema, maturasi stump, penyembuhan luka, mencegah kontraktur dan mengendalikan nyeri
 Kemandirian fungsional dan self-care

Tatalaksana
Awal
 Kontrol edema
 Membantu penyembuhan luka dan membentuk stump hingga matur
 Menghindari penempatan bantal dibawah lutut dan menganjurkan berbaring prone pada amputasi
transtibial
 Posisikan pinggul dalam adduksi, menghindari penempatan bantal dibawah stump dan menganjurkan
berbaring prone pada amputasi transfemoral
 Mengedukasi pasien bahwa phantom sensation adalah reaksi yang normal dan menganjurkan
penggunaan sisa tungkai dan massase stump untuk mengatasinya
 Tidak ada pengobatan definitive untuk phantom pain namun dapat dengan medikasi analgesik narkotik
dan non-narkotik; OAINS; anti konvulsan seperti gabapentin, duloxetine dan pregabaline; serta
antidepresan trisiklik

Rehabilitasi
 Latihan prostetik setelah stump matur / matang
 Okupasiterapi untuk mengidentifikasikan assistive device yang diperlukan dan mendorong kemandirian

Tindakan bedah
 Diindikasikan bila residual limb memerlukan revisi luka atau amputasi yang lebih tinggi
 Hamstring release memiliki peran yang terbatas atau malah tidak sama sekali karena dapat mengganggu
kemampuan berjalan
 Hanya ada sedikit data tentang dorsal root entry zone ablation, dorsal rhizotomy, dorsal column
tractotomy, thalamotomy, atou cortical resection untuk tatalaksana phantom pain
 Bone overgrowth

Potensi Komplikasi Penyakit


 Dehiscence atau rusaknya daerah insisi dan luka yang sulit sembuh
 Iskemi jantung karena pasien yang tadinya tidak aktif mulai menggunakan lebih dari 100% energy untuk
latihan gait

Potensi Komplikasi Tatalaksana


 Skin breakdown setelah pemasangan prosthesis
 Efek samping medikasi dan potensi interaksi obat-obatan
Daftar Pustaka
1. Gittler M. Lower Limb Amputations, In : Frontera W, Silver J, Rizzo T, Eds. Essential of Physical
Medicine and Rehabilitation 2nd Edition. Elsevier lnc. Philadelphia. 2008. p 599-604
2. Gitter A, Bosker G. Upper and Lower Extremity Prosthetics, ln : DeLisa JA, at al (eds). Physical
Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 4th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia:
2005. p 2017-2050 
EPIKONDILITIS

Batasan dan Uraian Umum


Epikondilitis merupakan inflamasi atau nyeri yang terjadi pada regio epikondilus lateral atau medial.
Pada epikondilitis lateral (tennis elbow) terjadi inflamasi degenerative kelompok otot ekstensor, sedangkan
pada epikondilitis medial (golfer elbow) terjadi pada kelompok otot fleksor.

Anamnesis
 Nyeri daerah siku di bawah regio epikondilitis lateral atau medial
 Dapat disertai nyeri menjalar ke proksimal atau distal
 Nyeri pada saat gerakan pergelangan tangan
 Kadang ada keluhan bengkak pada siku

Pemeriksaan Fisik
 Nyeri tekan pada daerah origo otot ekstensor atau fleksor pergelangan tangan (wrist)
 Pada tennis elbow, nyeri meningkat saat ekstensi pergelangan tangan melawan tekanan terutama bila
siku pada posisi ekstensi, lengan bawah pronasi, pergelangan tangan deviasi ke radial dan tangan
menggenggam
 Pada golfer elbow, nyeri meningkat saat fleksi pergelangan tangan melawan tahanan

Tatalaksana
Fase I
 Aplikasi dingin
 Antiinflamasi
 Pemberian modalitas (TENS/ Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) / LASER
 Latihan conditioning (sisi yang sehat)
 Pemberian bidai
 Bila masa akut lewat diberi modalitas (terapi panas lokal)

Fase II
 Gentle stretching pergelangan tangan
 Latihan fleksibilitas pergelangan tangan
 Latihan penguatan otot ekstensor pergelangan tangan & abduksi tangan (Isometrik dan isotonik)
 Latihan penguatan dan mobilitas bahu dan lengan
 Bila nyeri menetap dapat diberikan injeksi steroid lokat dengan istirahat l -2 minggu

Fase III
 Latihan peregangan dan penguatan otot pergelangan tangan
 Persiapan untuk kembali berolah raga

Komplikasi
 Nyeri kronik
 Kontraktur sendi siku
 Kerusakan nervus ulnaris
 Efek samping medikamentosa
 Efek samping injeksi kortikosteroid: nekrosis jaringan, ruptur tendon, depigmentasi atau atrofi kulit,
infeksi

Daftar Pustaka
1. Weiss LD. Weiss JM. Epicondylitis. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 105-8
2. Diclpff-Hoffman S. Foster D. Rehabilitation of Elbow lnjuries. In: Prentice WE (ed). Rehabilitation
Technique in Sport Medicine 2nd ed. Mosby. Baltimore; 1994: 338-57.
3. Tulaar ABM. Cedera Bahu : Assesmen. Dalam : Pelatihan Rehabilitasi Medik Sports (Olahraga).
Denpasar. 25-28 Maret 2003.
4. The Nicholas lnstitute of Sports Medicine and Athletic Trauma. Treatment for Epicondylitis. Copyright
@1996-2002
ANKLE SPRAIN

Batasan dan Uraian Umum


Ankle sprain merupakan cedera pada persendian pergelangan kaki dimana sebagian serat ligament ruptur,
tetapi kontinuitas ligamen masih utuh.

Cedera ligamen dapat diklasifikasikan menjadi :


 Grade I : Terjadi robekan minimal tetapi tetap stabil
 Grade II : Terjadi robekan parsial dengan instabilitas sedang
 Grade llI : Terjadi robekan komplit dengan instabilitas berat

Anamnesis
 Nyeri diatas ligamen yang cedera
 Bengkak pada pergelangan kaki
 Kesulitan berjalan karena nyeri
 Bunyi "pop" pada saat terjadi cedera
 Mengalami riwayat ankle sprain sebelumnya

Pemeriksaan Fisik
 Pembengkakan dan ekimosis di sekeliling pergelangan kaki
 Tes khusus : talar tilt test dan anterior drawer test untuk kaki

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos ankle AP/Lateral (pada cedera grade ll dan lll)

Tatalaksana
1 - 3 minggu
 RICE (Rest, lce, Compression, Elevation)
 Controlled-mobilization (plantar & dorsifleksi ankle terbatas)
 Latihan ketahanan kardiorespirasi (non weight bearing)
 Latihan peregangan achilles sesuai toleransi

3 - 4 minggu
 Latihan lingkup gerak sendi pergelangan kaki bertahap
 Latihan ketahanan kardiorespirasi (non weight bearing)
 Latihan peregangan achilles sesuai toleransi

4/8 minggu – 3 bulan


 Latihan proprioseptif
 Closed chain exercise
 Latihan fungsional
 Pemberian tambahan modalitas (USD atau SWD)

Komplikasi
 Nyeri kronik berat
 Instabilitas mekanik dan fungsional
 Efek samping medikamentosa

Daftar Pustaka
1. Krabak BJ, Baima J. Ankle Sprain. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;2008 : 421-6
2. Putra HL. Cedera Kakidan Pergelangan Kaki: Asesmen. Pelatihan Rehabilitasi Medik Cedera Olah
Raga. Denpasar. 25-28 Maret 2003.
3. Peterson L. Renstrom P. Ankle Joint lnjuries. In : Sport lnjuries. Their Prevention and Treatment.
Martin Dunitz Ltd. Singapore-London. 1988: 341-43. 
CEDERA LIGAMEN KRUSIATUM ANTERIOR

Batasan dan Uraian Umum


Cedera ligament krusiatum anterior adalah cedera pada ligamen krusiatum anterior yang mengakibatkan
translasi anterior dan medial os tibia terhadap os femur.

Anamnesis
Terdengar bunyi pop/snap daerah lutut saat tungkai bawah mengalami hiperekstensi/rotasi dan sense giving
away (rasa gamang) untuk melakukan aktivitas olah raga terutama melompat, berlari yang menimbulkan
kurangnya rasa percaya diri atlit
 Nyeri dan bengkak 2-3 jam setelah cedera
 Jalan menjadi pincang, sehingga atlit tidak bisa melanjutkan pertandingan
 Rasa terkunci pada lutut dan gerakan terbatas, harus dicurigai robekan meniskus

Pemeriksaan Fisik
 Drawer test
 Lachman test (grade 1,2,3)
 Pivot shift test

Uji khusus lain yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain adalah:
 Posterior cruciate ligament test
 Medial/lateral collateral ligament test
 Mc Murray test
 Appley's compression/grinding and distraction test

Pemeriksaan Penunjang
 Foto lutut, untuk menyingkirkan adanya fraktur osteochondral pada kondilus lateralis os femur

Tatalaksana
Tatalaksana
dibagi menjadi : operatif dan konservatif

Indikasi Tindakan Bedah (Operatif)


 Umur < 40 tahun, atlit
 Cedera lutut bilateral
 Cedera kapsulo-ligamen
 Fraktur avulsi
 Robekan parsial ligamen
 Kompensasi muskular defisiensi

lndikasi konservatif
 Absolut
 Menolak untuk tindakan operatif
 Mengancam kehidupan
 Luka terkontaminasi atau infeksi
 pasien tidak mampu melakukan program rehabititasi medik sesudah dilakukan tindakan operatif
 lnstabilitas otot adekuat

 Relatif
 Anterior drawer sign (+) dengan pivot shift sign lemah
 Pasien > 40 tahun dengan ambisi sebagai atlit tidak ada
 Ruptur ligamen krusiatum pada anak
 Cedera terjadi > 14 hari

Tatalaksana Konservatif
Minggu ke 1-2
 RICE (Rest, lce, Compression, Elevation)
 Latihan lingkup gerak sendi lutut (pasif)
 Latihan penguatan otot gastroknemius dan hamstring (isometric)
 Terapi modalitas (elektro stimulasi)

Minggu ke 2-8
 Open chain exercise
 Closed chain exercise

Minggu ke 8 bulan ke 12
 Proprioception training
 Plyometric training
 Latihan ketahanan kardiorespirasi
 Kembali ke aktivitas olah raga

Tatalaksana Pasca Bedah (Operatif)


Minggu 1-2
 RICE (Rest, lce, Compression, Elevation)
 Terapi modalitas (elektro stimulasi)
 Latihan peregangan sendi lutut
 Latihan lingkup gerak sendi lutut (pasif)
 Latihan penguatan otot quadriceps dan hamstring (isometrik)
 Menggunakan ortosis dan crutch

Minggu ke 2-20
 Open chain exercise
 Close chain exercise
 Ergocyle exercise
 Aquatic exercise
 Proprioceptiontraining
 Isokinetic training (Cybex)
 Walking training

Minggu ke 21-27/40
 Power training
 Running upward dan down word
 Functional test (EN-Tree test)
 Plyometric exercise

Tindak Lanjut:
Syarat kembali ke aktifitas olah raga prestasi:
 Minimum 9 bulan pasca operatif
 Tidak ada pembengkakan sendi
 ROM sendi lutut penuh
 Tidak ada nyeri
 Tes isokinetik quadriceps : 85% dibandingkan tungkai yang sehat
 Tes isokinetik hamstring : 90% dibandingkan tungkai yang sehat
 Tes fungsional : 80% dibandingkan tungkai yang sehat

Komplikasi
 Keterbatasan ROM/Arthrofibrosis
 Patella femoral pain
 Robekan meniskus

Daftar Pustaka
1. De Palma’s Connoly JF. lnjuries of the Soft Tissues and Bone Element of the Knee Joint. ln : The
Management of Fractures and Dislocations. Philadelphia, 1981. 1589-91.
2. Magee DJ. The Knee in Orthopedic Physical Assesment. Philadelphia. 1987. 227-89.
3. Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities. Appleton Century Croft. New York.
1967. 185-95.
4. lnklaar H. Revalidatie Protocol VKB Plastik. Sport Medisch Centrum.2000
5. Tamin TZ. Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Anterior Cruciate Ligament lnjury (ACL) Sport Medical
Rehabilitation Training. Jakarta. 2001 
CEDERA MENISKUS

Batasan dan Uraian Umum


Meniskus memiliki peran penting dalam mempertahankan kesehatan, stabilitas dan fungsi sendi. Secara
anatomis meniskus medial dan lateral membantu menjelaskan biomekanika fungsional. Bila dilihat dari
atas, meniskus medial berbentuk seperti huruf C dan meniskus lateralis berbentuk seperti huruf O. Setiap
meniskus tebal dan cembung dibagian pinggirnya dan menjadi tipis dan cekung di bagian pusat. Bentuk ini
berfungsi menyediakan area yang lebih luas bagi kondilus femoralis yang berbentuk bulat dan tibia yang
relatif datar. Meniskus medial dan lateral ini terhubung satu sama lain di bagian anterior serta dihubungkan
dengan ligamen ke ligamentum krusiatum anterior, patela, femur dan tibia.

Cedera meniskus dapat terjadi akibat cedera akut ataupun dari degenerasi bertahap akibat pertambahan
usia. Robekan vertikal cenderung terjadi secara akut pada individu usia 20 hingga 30 tahun dan biasanya
terletak di dua pertiga posterior meniskus. Olahraga yang sering terkait dengan cedera meniskus adalah
sepak bola, basket, bisbol, gulat, ski, rugby dan lacrosse. Cedera terjadi ketika beban aksial ditransmisikan
saat posisi lutut fleksi atau ekstensi dibarengi dengan rotasi. Robekan degeneratif biasanya horisontal dan
dapat terjadi pada orang yang lebih tua seiring dengan perubahan degeneratif sendi.

Klasifikasi cedera meniskus:


 Berdasarkan komplisitas
 Komplit, bila terjadi sepanjang permukaan tibia hingga femoralis
 Parsial
 Berdasarkan bidang robekan
 Vertikal-longitudinal; biasanya pada orang muda
 Horizontal; lebih sering ditemukan pada pasien yang lebih tua
 Berdasarkan arah robekan
 Vertikal
 Horizontal
 Longitudinal
 Oblik
 Berdasarkan lokasi
 Meniskus medial; lebih sering terjadi (rasio 2-5:1)
 Meniskus lateral
 Berdasarkan bentuk secara keseluruhan

Anamnesis
 Adanya pop atau snap pada saat cedera
 Nyeri saat fleksi lutut
 Hemarthrosis lutut bila mengenai bagian perifer meniskus
 Bengkak pada lutut akibat efusi reaktif
 Pada robekan meniskus degenerative seringkali tidak berhubungan dengan trauma. Mekanisme cedera
dapat terjadi pada aktivitas sehari-hari seperti saat bangkit dari duduk dan berputar saat kaki menjejak
lantai. Pasien juga sering melaporkan adanya bengkak berulang terutama setelah aktivitas.

Pemeriksaan Fisik
 Pola jalan yang berubah karena nyeri.
 Efusi lutut
 Atrofi otot quadrisep dapat terjadi beberapa minggu setetah cedera
 Nyeri tekan pada palpasi sepanjang garis sendi, terutama posteromedial atau lateral
 Uji khusus:
- Bounce home yaitu nyeri saat, lutut di-ektensikan secara pasif
- Tes McMurray

Keterbatasan fungsional
 Kesulitan untuk gerakan fleksi lutut seperti saat naik tangga, jongkok atau saat penggunaan toilet
 Jogging, berlari dan berjalan akan terganggu bila komponen rotasi juga terlibat.
Tatalaksana
Fase inisial
 Imobilisasi
 Aplikas dingin
 Kompresi
 Menumpu berat badan parsial dengan penggunaan crutches bilateral
 Splint lutut
 Analgetik seperti asetaminofen atau opioid untuk mengurangi nyeri
 obat-obat anti inflamasi non steroid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi
 Arthrocentesis dapat dilakukan baik untuk diagnosis atau terapi bila terjadi efusi yang signifikan.

Rehabilitasi
 Beberapa lesi meniskus mengalami resolusi gejala secara gradual dalam periode 6 minggu, mungkin
akan memiliki fungsi normalnya dalam 3 bulan. Jenis robekan yang dapat ditangani dan
intervensi bedah yaitu robekan longituainat dengan ketebaran parsial, robekan perifer tanpa
penuh ukuran kecil (<5mm), atau robekan degeneratif.
 secara umum hanya cedera meniskus dengan gejala menetap yang harus dirujuk untuk intervensi bedah.
 Pasien dengan menisektomi ataupun yang tidak mendapatkan intervensi bedah mendapatkan protokol
rehabilitasi yang serupa, yaitu:
- Partial weight bearing dengan bilateral crutches
- Latihan penguatan isometrik atau kombinasi dengan stimulasi elektrik untuk mencegah atrofi
quadrisep.
- Latihan aerobik Kombinasi latihan open dan closed kinetik chain pada tiga bidang (sagital, coronal
dan transversal)
- Latihan peregangan ekstremitas bawah
- Bracing
- Mulai dikenalkan aktivitas fungsional
- Latihan proprioseptif dan latihan keseimbangan
- Latihan plyometric
- Secara bertahap kembali ke aktivitas olahraga spesifik

Komplikasi
Pemakaian analgetik seperti asetaminofen dan NSAID dapat menyebabkan efek samping pada sistem
pencernaan, hepatik, dan ginjal. Terapi yang terlalu agresif dapat mamperburuk robekan atau gagalnya
penyembuhan meniscus. Kebalikannya jika program rehabilitasi terlalu konservatif dapat menyebabkan
hilangnya kekuatan disertai atrofi otot. Jika operasi menyebabkan hilangnya kartilago secara signifikan,
akan menjadi faktor predisposisi terjadinya OA. Selain itu operasi juga menyebabkan trauma pada N.
Saphenus dan infeksi.

Daftar Pustaka
1. Lento B Akuthota V. Meniscal lnjuries. In : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (ed) Essential of
Physical medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008: 359-66
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia:
WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998. 
TOTAL KNEE REPLACEMENT

Batasan dan Uraian Umum


Artroplasti mencakup rekonstruksi dengan modifikasi atau penggantian sendi yang sakit, rusak atau
ankilosing. Terdapat 3 tipe dasar artroplasti lutut total (TKA): constrained total, semiconstrained, dan
unconstrained total. Yang paling sering digunakan adalah semiconstrained dan unconstrained total. Secara
umum, implan unconstrained total paling dapat memberikan lingkup gerak sendi dan pola jalan yang
normal.

TKA adalah prosedur yang banyak dilakukan untuk artropati lutut; secara konsisten dapat meredakan rasa
sakit, meningkatkan fungsi, dan meningkatkan kualitas hidup. Diagnosa yang paling sering dikaitkan
dengan TKA ini adalah osteoarthrosis dan gangguan serupa (90%), diikuti oleh rheumatoid arthritis dan
polyarthropathies inflamasi lainnya (3,4%). Lutut adalah sendi yang paling sering diganti dalam prosedur
artroplasti. Kelompok usia yang paling umum untuk penggantian lutut total adalah 65-84 tahun. Perempuan
di rentang usia ini lebih mungkin untuk menjalani TKA dari pada pria.

Anamnesis
 Nyeri lutut refrakter
 Kekakuan
 Deformitas
 Ketidakstabilan
 Nyeri pasca bedah
 Gangguan dan radang pada jaringan lunak periarticular
 Penurunan rasa posisi (propriosepsi)

Pemeriksaan Fisik
 Hipertrofi sendi
 Nyeri tekan sepanjang garis sendi
 Penurunan lingkup gerak sendi
 Deformitas valgus sering terjadi pada osteoarthrosis, deformitas varus lebih sering terjadi pada
rheumatoid arthritis.
 Kelemahan ligamen lebih sering ditemui dalam rheumatoid arthritis dibandingkan dengan osteoarthritis.
 Efusi sendi
 Bursitis suprapetellar atau pes anserinus
 Peningkatan suhu dan eritema

Tatalaksana
Awal
 Profilaksis trombosis vena dalam
Warfarin, heparin berat molekul rendah, faktor pembekuan X, dan inhibitor thrombin, kompresi
pneumatik untuk ekstremitas bawah merupakan cara pencegahan efektif untuk trombosis vena dalam
 Manajemen Nyeri pasca Bedah (Postoperatif)
Dalam 48 hingga 72 jam pertama, pasien diberikan analgetik melalui jalur intravena atau epidural.
Tergantung pada klinisi dan pasien, maka dapat dipilih opioid dengan dosis bertahap atau dosis tetap.
Opioid dapat dititrasi untuk mencapai keseimbangan antara efek analgetik dengan efek sampingnya.
 Bengkak Pasca bedah (Postoperatif)
Penggunaan stocking kompresi elastis setinggi paha, mesin continuous passive motion (CPM), dan bila
memungkinkan aplikasi cryotherapy lokal untuk mengatasi bengkak.

Rehabilitasi
 Pasca bedah hari ke-0
- Latihan pernapasan dalam
- lnsentif spirometri
- Penguatan Quadriceps dan gluteal
- Straight leg raise
- Abduksi panggul (hip)
- Ankle pumping
- Mobilisasi duduk di kursi
- Edukasi tentang penggunaan mesin continuous passive motion

 Pasca bedah hari ke-I


- Latihan pernapasan dalam
- Latihan ekstremitas bawah statik dengan tahanan
- Ankle pumping
- Continuous passive motion
- Mobilisasi di tempat tidur
- Transfer dari tempat tidur ke kursi dengan alat imobilisasi lutut

 Pasca bedah hari ke-2


- Latihan yang sebelumnya dilanjutkan
- Latihan jongkok dengan sudut kecil
- Straight-leg raise dengan knee immobilizer
- Penguatan ekstremitas atas
- Melanjutkan mobilitas ditempat tidur dan transfer
- Mulai transfer ke toilet
- Ambulasi dalam ruangan, parsial weight bearing atau weight bearing sebatas toleransi pasien dengan
knee immobilizer
- Grooming dan dressing sambil duduk

 Pasca bedah hari ke-3


- Latihan yang sebelumnya dilanjutkan
- Duduk dengan sudut fleksi dan ekstensi penuh disertai fleksi dan ekstensi pasif dalam posisi supine
- Transfer dengan bantuan yang dikurangi
- Ambulasi mandiri dengan walker atau crutches di dalam ruangan dengan parsial weight bearing atau
weight bearing sebatas toleransi pasien dengan knee immobilizer
- Dicoba untuk ambulasi di koridor, bila memungkinkan latihan naik turun 2-4 anak tangga
- Toileting dan grooming mandiri
- Edukasi tentang proteksi sendi dan tehnik konservasi energi

 Pasca bedah hari ke-4


- Latihan yang sebelumnya dilanjutkan dengan intensitas yang ditingkatkan
- Dimulai latihan lingkup gerak sendi aktif asistif serta peregangan sendiri dari quadricep dan
hamstring
- Transfer mandiri
- Gait training untuk meningkatkan pola jalan dan ketahanan
- Bila kekuatan quadriceps sudah melebihi 3/5 maka knee immobilizer dapat dilepas
- Lanjutkan aktivitas hidup sehari-hari

 Pasca bedah hari ke-5-6


- Latihan yang sebelumnya dilanjutkan
- Transisi dari latihan lingkup gerak sendi pasif menjadi aktif asistif
- Ambulasi mandiri dengan alat bantu
- Mulai naik tangga, bila diperlukan menggunakan tongkat

Komplikasi
 Komplikasi lokal : DVT dan Peroneal Nerve Palsy
 Komplikasi patellar : subluksasi dan dislokasi
 Gerakan yang inadekuat
 Instabilitas
 lnfeksi Loosening
Daftar pustaka
1. Kaplan RJ. Total Knee Replacement. In : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (eds), Essential of Physical
medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008: 359-66
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia:
WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998. 
TENDINITIS ROTATOR CUFF

Batasan dan Uraian Umum


Terjadi inflamasi atau penjepitan pada otot-otot rotator cuff (supraspinatus, infraspinatus, subscapularis,
dan teres minor) di acromion, ligament coracoacromial, sendi acromioclavicular dan prosessus coracoid.
Banyak terjadi pada orang yang melakukan aktivitas bahu melewati kepala (perenang, tukang cat)

Manifestasi Klinik
 Nyeri pada bahu bagian posterolateral dan dapat menjalar sampai otot deltoid.
 Nyeri tumpul dan terutama pada malam hari
 Nyeri bertambah pada saat melakukan aktivitas (abduksi bahu >90o)
 Nyeri bertambah berat pada gerakan kontraksi eksentrik dan pada saat tidur miring kesisi yang sakit

Pemeriksaan fisik
 Gerakan scapulothorakal yang abnormal
 Nyeri pada tuberositas mayor humeri, bursa subacromial, atau caput longum biseps
 Nyeri pada saat internal rotasi bahu (bahu abduksi 90o, siku fleksi 90o)
 Tes drop arm
 lmpingement sign
 Tes apprehension
 Tes relokasi

Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen bahu
 MRl jika pasien tidak berhasil dengan terapi konservatif
 EMG (menyingkirkan radikulopati servikal)
 Injeksi anestesi subacromial

Tatalaksana
Konservatif
 Kontrol nyeri dan pengurangan inflamasi
 Normalisasi kekuatan otot dan kontrol otot dinamis
 Stabilisasi sendi dan propioseptif
 Olahraga atau latihan spesifik

Tindakan Bedah
Dapat dipertimbangkan jika pasien gagal dengan terapi non operasi (3-6 bulan). Tindakan operasi termasuk
diantaranya dekompresi subacromial dengan arthroskopi atau dengan pembedahan terbuka (jarang), untuk
mendebridement tendon dan mengeksplorasi perubahan patologis yang terjadi.

Komplikasi
Pada terapi non operasi efek samping yang terjadi minimal. Pemberian NSAID yang menyebabkan
gastritis, ulkus, gangguan ginjal dan bronkospasme). lnjeki dapat menyebabkan tendon.
Daftar pustaka
1. Malanga GA, Bowen JE. Rotator Cuff Tendinitis. ln : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds)
Essentials Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008 : 71-6
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
loong Printing Industries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadelphia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers. 1998.
TENDINITIS ACHILLES

Batasan dan Uraian Umum


adalah sebuah kondisi yang ditandai dengan nyeri, bengkak, dan nyeri tekan pada daerah tendon Achilles
dan sekitar tendonnya. Biasanya disebabkan karena aktivitas berulang atau penggunaan berlebih dan
dikaitkan dengan riwayat penggunaan obat-obatan (quinolone, obat untuk collagen vascular disease,
anabolic steroid) serta riwayat merokok.

Manifestasi KIinik
 Nyeri dan nyeri tekan pada area tendon Achilles terutama saat beraktivitas
 Nyeri biasanya muncul di daerah apex tendon Achilles
 Didapati riwayat trauma
 Ada penonjolan tulang menunjukkan adanya ruptur tendon komplit atau parsial

Pemeriksaan Fisik
 Terdapat nyeri tekan dan bengkak yang terlokalisasi didaerah Achilles
 Nyeri tekan yang tajam pada saat palpasi
 Teraba tegang pada tendon Achilles, dengan kaki dorsoflexi < 90o
 Abnormal foot posture (pes planus atau cavus)
 Tegang pada otot hamstring
 Kelemahan otot panggul dan ekstremitas bawah
 Pemeriksaan neurologis
 Thompson test yaitu menekan bagian belakang betis dengan hasil positif berupa plantar flexi untuk
membedakan dengan rupture tendon

Keterbatasan fungsional
 Kegiatan-kegiatan yang berupa weight-bearing biasanya terbatas
 Gerakan menyilang biasanya tidak mampu dilakukan

Tata Laksana
 Untuk fase akut tujuan utamanya untuk mengurangi nyeri dan inflamasi dengan kompres dingin dan
obat-obatan anti inflamasi/analgetik
 Elevasi kaki (0.5 inchi)
 Terapifisik dan latihan
 Ultrasound diathermy
 Ionthoporesis
 Phonoporesis
 Tidak boleh dilakukan ES
 Jika penanganan rehabilitasi gagal dapat dilakukan tindakan operatif

Komplikasi
 Kelemahan otot dan rupture komplit dari tendon
 Nyeri kronik
 Abnormal gait
Daftar pustaka
1. Stretanski MF. Achilles Tendinitis. In : Frontera WR, Silver Jk, RizzoTD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 407-10
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed.
Philadephia : WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB,VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers, 1998. 
BURSITIS PADA LUTUT

Batasan dan Uraian Umum


Bursitis pada lutut dapat terjadi karena proses inflamasi pada bursa di regio sendi lutut dan merupakan
kelainan klinis yang dapat menyebabkan gangguan fungsional. Pada regio ini terdapat sebelas bursa.
Terdapat tiga bursa yang berhubungan dengan sendi lutut, yaitu kuadriseps atau suprapatelar, poplitea dan
gastroknemius medial; dan empat bursa berhubungan dengan patella, yaitu prepatellar superfisialis dan
dalam, dan infrapatellar superficialis dan dalam. Sedangkan dua lainnya berhubungan dengan ligamentum
kolateral dari lutut.

Kondisi bursitis pada lutut yang paling sering adalah :


 Bursitis prepatellar (housemaid's knee), disebabkan karena trauma langsung (jatuh dengan posisi lutut
tertekuk).
 Bursitis infrapatellar (vicar's knee), biasanya akibat fleksi lutut berulang pada saat weight bearing
(misal: squatting, melompat); dan dapat berhubungan dengan tendinitis patellar-quadriceps.
 Bursitis anserinus, banyak ditemukan pada wanita dengan kelebihan berat badan yang juga menderita
osteoarthritis pada lutut dan pada individual yang mengikuti olahraga dengan berlari, gerakan side-to-
side dan cutting.
 Bursitis ligamentum kolateral medial disebabkan inflamasi dari bursa yang terletak diantara bagian
superfisialis dan dalam dari ligamentum ini. Hal ini berhubungan dengan penyakit degenerative pada
sendi kompartemen medial, dengan marginal osteophytic spur formation. Dapat ditemukan pada
equestrian dan atlit balap motor.
 Bursitis semimembranosus, biasanya ditemukan pada pelari dan berhubungan dengan tendinitis
hamstring.

Manifestasi Klinik
 Nyeri lokal
 Nyeri tekan
 Pembengkakan pada sisi yang terkena.
 Rasa sakit memburuk dengan gerakan fleksi dan biasanya muncul malam hari atau setelah aktivitas.
 Nyeri terasa lebih menonjol dan dapat disertai kekakuan saat berjalan pada pagi hari.

Pemeriksaan Fisik
 Antalgic gait, dengan pemendekan pada fase stance di sisi yang sakit.
 Nyeri tekan saat palpasi berhubungan dengan bursa yang terkena, dapat ditemukan kemerahan dan
peningkatan temperature.
 Jika bursa menempel pada sendi lutut, dapat terjadi efusi.
 Keterbatasan ROM
 Pemeriksaan neurologis tampak normal

Keterbatasan fungsional
 Pasien kesulitan berjalan lama.
 Penurunan keseimbangan sering terjadi pada pasien usia lanjut, kadang-kadang diperlukan alat bantu
(contoh: walker, crutches, cone, atau wheelchair).
 Jika terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi, pasien memiliki kesulitan menekuk lutut, misalnya untuk
menyetir mobil atau duduk.
 Pasien juga mengalami kesulitan untuk membungkuk, berlutut, merangkak, atau mendaki yang akan
mempengaruhi pekerjaan dan kegiatan rekreasi.

Pemeriksaan Penunjang
 Aspirasi jarang diperlukan tapi dapat dilakukan jika dicurigai terjadi infeksi.
 Pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain tapi mungkin
menunjukkan exostosis di daerah sekitar bursa. Rencana pemeriksaan radiologi seharusnya dilakukan
jika dicurigai terdapat tumor tulang, terutama pasien mengeluh nyeri pada malam hari.
 Pemeriksaan Ultrasonografi muskuloskeletal untuk melihat peradangan pada bursal sac dan dapat
ditambah dengan menggunakan campuran udara-steroid-saline sebagai medium kontras.
 Arthography jarang dilakukan.
 Magnetic resononce imaging (MRl) diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis tumor atau tumor ganas
dan dapat menunjukkan infiltrasi cairan pada bursa.

Tata Laksana
Tatalaksana awal
 Mengurangi aktivitas
 Pemberian kompres es dapat membantu mengurangi nyeri dan inflamasi
 Heat therapy untuk bursitis kronik (moistened warm compress, MWD, atau electric heating pad, sambil
diobservasi untuk mencegah terjadi luka bakar dan komplikasi lain
 NSAIDs dapat diberikan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi

Rehabilitasi
 Orthosis untuk mencegah nyeri gerak dan inflamasi. Shoe insert unilateral atau bilateral, dapat
diberikan tergantung pada proses patologis, berperan untuk perubahan biomekanik ekstremitas bawah
 Stretching quadriseps, hamstring, iliotibial, dan otot-otot adduktor panggul jika terdapat kekakuan.
 Latihan kekuatan otot diperlukan pada bursitis lutut kronik disebabkan kelemahan akibat gangguan pola
jalan.
 Edukasi untuk melindungi lutut dari trauma (mencegah membungkuk atau menggunakan knee pad)

Prosedur
lnjeksi kortikosteroid intrabursal diberikan jika tidak ada respon pada manajemen konservatif atau jika
pasien menunjukkan keterbatasan fungsi yang bermakna. Diagnosis lain harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan gejala yang sulit disembuhkan. Pasien dianjurkan menghindari aktivitas pada daerah yang
diinjeksi kira-kira 2 minggu untuk membantu retensi kortikosteroid pada bursa dan mencegah
penyerapan sistemik.

Tindakan Bedah
Eksisi pada bursa dapat dipertimbangkan jika tidak memberikan respon pada terapi konservatif.
Komplikasi
 Nyeri kronik
 Dekonditioning
 Disuse muscle atrophy
 Kontraktur Fleksi lutut
 Komplikasi obat : hipersensitivitas dan perdarahan lama, NSAID dapat menyebabkan gangguan
lambung, ginjal, dan hepar.
 Penggunaan terapi es dapat menyebabkan hipersensitivitas dan vasokonstriksi pada pasien Raynaud
disease dan peripheral vascular disease
 Pemakaian terapi panas dapat menghasilkan luka bakar, sedasi, dan skin discoloration.
 Injeksi dapat berakibat hipersensitivitas obat, abses, infeksi, nerve injury, ruptur, dan lipoatropy.

Daftar pustaka
1. Hanada Ed, Keplinger FS, Gupta N. Knee Bursitis. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds)
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008: 355-358
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries:Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia :
Lippincot Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed.
Philadephia : WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB,VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
INSTABILITAS GLENOHUMERAL

Batasan dan uraian umum


Instabilitas glenohumeral meliputi subluksasi bahu, yaitu sebagian caput humeri bergeser dari fosa glenoic
dan dislokasi bahu, yaitu seluruh caput humeri bergeser darifosa glenoid.

Klasifikasi:
1. Berdasarkan penyebab
a. Trauma langsung
b. Trauma repetitif
c. Spontan pada orang dengan laksitas ligamen berlebih
2. Berdasarkan Arah Pergeseran
a. Anterior
b. Posterior
c. Multidirectional
3. Berdasarkan frekuensi

Manifestasi Klinik
 Nyeri saat diam ataupun bergerak merupakan gejala awal.
 Perasaan sendi bergeser, kelemahan saat melakukan gerakan diatas kepala juga sering dikeluhkan

Pemeriksaan fisik
 Inspeksi dilakukan dari segala arah (anterior, posterior, dan lateral). Deformitas, atrofi otot sekitar,
asimetri bahu dan winging scapulae.
 Palpasi pada jaringan lunak dan tulang dilalkukan secara sistematis meliputi otot-otot rotator tendon otot
biceps, dan region subacromion.
 Dilakukan pemeriksaan lingkup gerak sendi aktif dan pasif.
 Pemeriksaan kekuatan otot ditujukan untuk menilai adakah kelemahan pada otot-otot spesifik seperti
rotator cuff dan otot stabilisator scapula.
 Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan termasuk manuver load and shift untuk menilai pergesaran arah
anterior dan posterior; sulcus sign untuk menilai laksitas caput humeri inferior; dan tes komp O'Brien
untuk menilai robekan pada labrum superior.

Keterbatasan fungsional
 Berkurangnya gerakan sendi, kelemahan otot, dan nyeri berakibat pada kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari
 Pada atlet akan menimbulkan berkurangnya kecepatan dan control
 Kesulitan mengangkat benda ke atas kepala

Pemeriksaan penunjang
 Radiografi standar
 Artrografi, CT-artrografi, MRI

Tatalaksana
Tatalaksana awal
lstirahat, kompres dingin, dan analgesik atau anti-inflamasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa
nyeri, pencegahan trauma lanjutan dan persiapan program rehabilitasi.

Rehabilitasi
Harus dimulai segera setelah trauma terjadi. Tujuannya adalah mengurangi nyeri, mengembalikan lingkup
gerak, memperkuat otot, menghasilkan keseimbangan otot, dan dapat melakukan aktivitas harian dengan
normal.
 Fase akur (1-2 minggu)
Program terfokus untuk menangani trauma jaringan dan pengurangan gejala. Tujuan dari fase ini adah
memfasilitasi penyembuhan luka sekaligus mengurangi nyeri dan inflamasi, pencegahan atrofi otot, dan
mempertahankan kebugaran.
 Fase pemulihan (2-6 minggu)
Fase ini ditujukan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi yang normal dengan cara meningkatkan
kekuatan, keseimbangan, dan kontrol gerakan otot.
 Fase fungsional (6 minggu-6 bulan)
Fase ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot ekstrimitas atas serta
meningkatkan kontrol neuromuskuler. Program inijuga harus dapat mencegah trauma berulang.

Prosedur
Injeksi anestetik atau kortikosteroid pada regio subacromion dapat membantu mengurangi gejala yang
tidak dapat diminimalisir dengan program rehabilitasi saja.

Tatalaksana bedah
Pembedahan artroskopik perlu dipertimbangkan pada kejadian instabilitas glenohumeral yang berulang
terutama pada atlit lempar jauh.

Komplikasi
 Trauma ulangan
 Kerusakan saraf
 Nyeri daerah bahu
 Kelemahan rotator cuff dan otot scapula
 Efek samping medikamentosa
 Komplikasi bedah

Daftar pustaka
1. Micheo WF, Ramos E. Glenohumeral lnstability. ln: Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 63-
70
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill,2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries : Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998. 
COLLATERAL LIGAMENT SPRAIN

Batasan dan Uraian Umum


Ligamen collateral sendi lutut merupakan ligamen yang penting untuk stabilisasi sendi lutut serta
mencegah terjadinya varus dan valgus.

Klasifikasi
Berdasarkan cedera ligamen :
 Grade I : nyeri tekan terlokalisir, tanpa laxitas jelas/bermakna
 Grade II : nyeri tekan menyeluruh tanpa laxitas jelas/bermakna
 Grade lll : terhentinya gerak ligamen lengkap dengan celah sendi > 10 mm pada kondisi stres ligamen
(ligamen diregangkan berlebihan)

Manifestasi Klinis
 Nyeri lateral dan medial lutut adalah keluhan tersering. Nyeri yang muncul juga disertai dengan sensasi
knee locking.
 Didapatkan spasme hamstring atau cedera meniscus
 Dapat juga terjadi kerusakan jaringan neurovaskular.
 Kekuatan otot di bawah lutut yang berkurang juga sering dikeluhkan.

Pemeriksaan Fisik
 lnspeksi : Deformitas valgus /varus,tanda radang
 Palpasi : Nyeri tekan, bengkak, kerusakan jaringan sekitar, efusi dapat terjadi.
 Gerakan : Nyeri gerak, instabilitas sendi
 Tes khusus :
- Tes Abduction stress pada 30o menunjukkan cedera ligamen collateral medial
- Tes Adduction stress pada 30o menunjukkan cedera ligamen collateral lateral
- Tes Eksternal rotasi recurvatum

Keterbatasan fungsional
 Nyeri selama berdiri lama atau pada posisi hiperekstensi lutut.

Pemeriksaan Penunjang
 Foto Polos : mendeteksi adanya avulsi dan fraktur tibial plateau.
 MRI : melihat kerusakan ligamen
 USG Muskuloskeletal dapat menggambarkan kondisi ligament

Tatalaksana
Awal
Prinsip dasar pada fase awal adalah PRICE (protect, rest, ice, compression, elevation). Pada grade 2 dan
grade 3 mungkin membutuhkan tongkat ketiak atau knee brace dengan hinge joint stop 20o-60o untuk
mendapatkan efek bantuan lutut agar stabil. Pemakaian obat NSAID sebagai anti nyeri pada fase akut dari
cedera.

Rehabilitasi
Tujuan dari rehabilitasi pada lutut dengan cedera ligamen collateral adalah untuk mengembalikan lingkup
gerak sendi, meningkatkan stabilitas, dan membebaskan aktivitas dari nyeri. Latihan kontraksi isometrik
otot quadriceps dan stimulasi listrik dapat dimulai 24-48jam setelah cedera untuk mengurangi bengkak
pada jaringan sekitar dan atrofi otot. Latihan ROM dan stretching dapat dimulai pada hari pertama. Latihan
aerobik dapat diberikan dengan menggunakan ergometer, sepeda statis, renang (latihan akuatik dengan
menggerak-gerakkan kaki). Rehabilitsi pada fase selanjutnya yaitu dengan meningkatkan aktivitas
olahraga spesifik. Mengkombinasi latihan closed dan open kinetic chain. Biasanya pasien yang mengalami
cedera ligamen collateral ringan dapat kembali ke aktivitasnya setelah 3-4 minggu. Pasien dengan cedera
ligamen collateral sedang hingga berat dapat kembali beraktivitas setelah 8-12 minggu. Sedangkan
rehabilitasi pada pasien dengan pasca operasi perbaikan ligamen dilakukan latihan weight bearing segera,
pemeliharaan ROM, dan kembali ke aktivitas sehari-hari.
Tindakan Bedah
Dilakukan pada cedera ligamen Grade 3

Komplikasi
 Instabilitas kronik lutut
 Osteoartritis
 Pellegrini-Stieda disease

Daftar Pustaka
1. Akuthota V Lento P. Collateral Ligament Sprain. ln : Frontera WR, Silver )k,Rizzo TD (eds) Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 319-
24
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries : Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998 
ROBEKAN LIGAMEN KRUSIATUM POSTERIOR

Batasan dan Uraian Umum


Robekan ligamen krusiatum posterior (PCL) mewakili 5% sampai 20% dari semua cedera ligamen lutut.
fungsi utama PCL adalah untuk menahan perpindahan posterior tibia pada femur. PCL juga bertindak
sebagai penahan sekunder dari rotasi tibialis eksterna. Bersama dengan ACL, berfungsi dalam mekanisme
“screw-home”dari lutut dimana tibia meluncur ke posisi spesifiknya pada gerakan ekstensi lutut terminal.

secara umum, robekan PCL terjadi pada trauma lutut yang sedang dalam posisi fleksi. Tetapi dapat juga
diakibatkan saat posisi lutut hiperekstensi dan rotasi lutut pada kaki yang menapak kuat atau pada
hiperfleksi paksa. Cedera PCL umumnya terjadi dengan tambahan cedera lainnya (misalnya, robekan
ACL, robekan ligamen kolateral, dan cedera meniskus).

Gejala sisa jangka panjang dari ketidakstabilan posterior lutut dapat menyebabkan arthritis degeneratif.
Angka kejadian cedera PCL lebih banyak pada pria.

Klasifikasi Cedera ligamen krusiatum posterior

Kelas Definisi Laksitas (mm)


I PCL sebagian robek <5
II PCL sebagian robek 5-9
III PCL benar-benar robek >10
IVa PCL dan LCl cedara poterolateral >12
Vb PCL dan MCL cedara posterolateral >12
IVc PCL dan Cedera ACL >15

catatan: Kelas I hingga lll adalah cedera yang terisolasi; kelas lV adalah cedera gabungan. ACL ligamen
krusiatum anterior; ligamen kolateral lateral; MCL, ligamen kolateral medial, PCL, ligamen krusiatum
posterior.

Manifestasi Klinik
Penting untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme terjadinya cedera. Biasanya, pasien melaporkan
bahwa mereka terjatuh dengan lutut fleksi atau mengalami benturan pada lutut bagian anterior ketika
tertekuk (misalnya, pada dashboard mobil). Beberapa pasien mungkin ingat merasa atau mendengar bunyi
“pop” pada saat cedera.
Pasien dapat melaporkan nyeri di sepanjang daerah medial dan patellofemoral dari lutut, ketidakstabilan,
dan ketidakmampuan untuk menanggung berat badan dan berjalan. Pembengkakan dapat berkisar dari tidak
signifikan sampai bengkak hebat.

Pemeriksaan Fisik
Pada cedera akut, mungkin terlihat adanya kontusio dari anteriortibia, dan ekimosis poplitea.
Pembengkakan dan efusi mungkin tidak ditemukan. Temuan pemeriksaan neurologis harus normal, dengan
kemungkinan pengecualian kelemahan jelas dengan pengujian kekuatan sebagai akibat dari rasa sakit.

Beberapa tes khusus yang dapat dilakukan adalah:


 Posterior drawer test; merupakan standar pemeriksaan baku
 Posterior Lachman test
 Posterior sag test
 Reverse pivot shift
 Dynamic posterior shift test
 Quadriceps active test

Keterbatasan fungsional
 Nyeri
 Kesulitan berjalan
Pemeriksaan Penunjang
 Arthrometer KT-1000 sangat spesifik dalam mendeteksi robekan PCL grade ll dan lll.
 Stress radiographs ditempat di mana MRl tidak tersedia.
 Foto polos harus dilakukan untuk menyingkirkan patah tulang, termasuk avulsi PCL (tunnel view yang
terbaik untuk memvisualisasikan ini).
 MRI sangat spesifik dan sensitif dalam penilaian cedera PCL, terutama ketika tehnik fat suppression dan
"fast spin" terbaru digunakan.
 Artroskopi diagnostik memungkinkan visualisasi langsung dari PCL tersebut.

Tata Laksana
Awal
 Protection, rest, ice, compression, dan elevation (PRICE)
 NSAIDs
 lmmobilisasi dalam posisi ekstensi dengan Velcro knee immobilizer
 Tongkat ketiak bila perlu

Rehabilitasi
Rehabilitasi dimulai setelah tanda dan gejala cedera akut sudah reda (7-10 hari). Lingkup gerak dan latihan
ketahanan quadriceps dimulai sementara kelemahan tibialis posterior dicegah.
 Latihan sepeda stationer dapat dimulai segera setelah fase akut
 Setelah 3 bulan, closed-chain kinematictherapy dapat dimulai
 Bracing dalam posisi ekstensi
 Passive-exercise untuk fleksi lutut
 Setelah 9-12 bulan, dapat kembali ke aktivitas semula

Prosedur
 Arthrocentesis dilakukan untuk hemarthrosis.

Tindakan Bedah
 Tindakan bedah dilakukan bila tindakan konservatif tidak menampakkan hasil.

Komplikasi Penyakit
 Nyeri
 Keterbatasan fungsi dan aktivitas
 Artritis degeneratif
 Efek samping medikamentosa.
 Bracing lama atau imobilisasi dapat menyebabkan kelemahan otot yang signifikan dan atrofi.
 Risiko operasi

Daftar pustaka
1. Curtis C, Bienkowski P, Micheli U. Posterior Cruciate Ligament Sprain. ln : Frontera WR, Silver Jk,
Rizzo TD (eds) Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders
publishing, Philadephia; 2008 : 381-6
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers, 1998. 
KARDIRESPIRASI III
MCI

Batasan dan Uraian Umum


Miokardial infark akut adalah proses berkurangnya / tersumbatnya aliran darah didalam pembuluh darah
koroner setelah terjadinya oklusi koroner akut sehingga menyebabkan terjadinya nekrosis irreversible dari
otot jantung.

Ada beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya miokardial infark:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah, contoh : usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga
2. Faktor resiko yang dapat dirubah seperti : hiperkolesterolemia, hipertensi, merokok, diabetes
mellitus, obesitas, stress dan lain-lain

Rehabilitasi jantung adalah sejumlah kegiatan yang dibutuhkan untuk menjamin pasien penyakit jantung
pada kondisi fisik, mental, social yang optimal sehingga mereka dapat dengan usaha mereka sendiri
memperoleh kembali kehidupan seoptimal mungkin di masyarakat dan menjalani hidup secara
aktif.

Konsep rehabilitasi jantung pasca MCI adalah pencegahan sekunder (secondary prevention)

Anamnesis
 Nyeri dada khas menjalar ke punggung, leher dan lengan bagian kiri
 Sesak nafas
 Cepat lelah
 Palpitasi (berdebar-debar)
 Sinkop

Pemeriksaan Fisik
 Status generalis : tanda vital T.N.R
 lnspeksi : tampak iktus cordis
 Palpasi : tidak teraba iktus cordis
 Perkusi : pembesaran pinggang jantung
 Auskultasi : Bunyi jantung (marmur, gallop)

Pemeriksaan Penunjang
 EKG, laboratorium, rontgen

Kriteria Diagnosis
Dua dari 3 kriteria dibawah ini :
 Nyeri dada khas  20 menit
 Abnormalitas EKG (perubahan ST-T)
 Abnormalitas enzim jantung (CK-CKMB)

Tatalaksana
Tujuan rehabilitasi jantung pasca MCI adalah mengembalikan kondisi fisik, mental dan sosial untuk
menjalani hidup dengan aktif.
 Tujuan jangka pendek mengembalikan kondisi (reconditioning), mobilisasi dini, mengurangi efek
fisik dan psikologis akibat tirah baring, meningkatkan fungsi kardiovaskular, meningkatkan daya tahan
dan kapasitas kerja fisik, mengontrol keluhan-keluhan kardiak
 Tujuan jangka panjang mengindentifikasi dan memperbaiki faktor resiko, menstabilkan proses
atherosclerosis, meningkatkan status psikologis penderita, dan mempersiapkan penderita untuk kembali
kerja dan berperan aktif dalam keluarga dan lingkungan sosial.

Ada tiga fase rehabilitasi jantung pasca MCI :


 Fase I : lnpatient
dan ruang rawat
 Lamanya 5-7hari
 Goal aktifitas fungsional 3-4 mets

Program 5 Tahap MCI (tanpa Komplikasi)


Metz level Aktifitas
Step I : ICCU 1-2 Metz - Bed rest sampai stabil
- Turun dari tempat tidur ke
kursi
- Bed side commode
Step II : ICCU 2-3 Metz - Kegiatan Rutin ICCU
- Latihan Pemanasan/ RoM
di kursi
Step III – V 2-3 Metz - Turun dari tempat tidur
Sesuai TGt Stabilitas OS sesuai toleransi
- Latihan pemanasan sambil
berdiri
- Jalan 5-10 menit di Hall 2-
3 x / hari
3-4 Metz - Mandi sambil duduk
- Latihan Pemanasan sambil
beridir
- Jalan 5-10 menit di Hall 3-
4 x / hari
- Turun 1 tangga turun dan
naik ½ lantai (supervisi)
3-4 Metz - Lanjutkan seperti di atas
- Naik turun tangga 1 lantai
(supervisi)
- Jalan di treadmill

Keterangan : 1 flight of stairs = 12 anak tangga


 Fase ll : Out patient
 Lamanya 4-8 minggu
 Mampu melakukan aktifitas fungsional 6 mets

Program
 Stratifikasi resiko: ringan, sedang, berat
 Exercise
- Senam Calistenik Stretching,
- Ergocycle exercise : 25 watt/ 10 menit dilanjutkan latihan jalan aerobik 2,5 - 3 km/30 meriit
 Relaksasi
 Konseling dan edukasi
 Akhir fase ll dilakukan treadmill test

 Fase lll : Maintenance


 Lamanya 3-6 bulan
 Mampu melakukan aktifitas 6 - 8 mets

Program
 Melanjutkan fase ll
 Exercise :
- Senam Kalistenii stretching
- Ergocycle exercise 50 watt /10 menit dilanjutkan latihan jalan erobik 3 - 4 km/ 30 menit
 Relaksasi
 Konseling dan edukasi
 Akhir fase lll dilakukan treadmill test
Komplikasi
 Aritmia
 Supraventricular Tachicardy
 Gagal jantung kiri yang berat
 Syok kardiogenik

Daftar Pustaka
1. Wenger NK. Hospital Exercise Rehabilitaion After Myocardinal lnfarction and Myocardial
Revascularization of The Coronary Patient, Churchill Livingtine 1992, 351 - 63
2. Braunwald, Acute Myocardial lnfarction, in Heart Disease, Sixth Edition,W.B Saunders Company 2001
: 1178 - 93
3. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs Third Edition Americar
Association of Cardiovascular & Pulmonary, Rehabilitaion 1999: 19.21.45 
GAGAL JANTUNG KRONIK STABIL
(CHF KRONIK STABIL)

Batasan
Gagal jantung (CHF) adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompakan darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun aliran darah balik cukup.

Rehabilitasi jantung CHF Kronik bertujuan :


1. mengurangi keluhan sesak
2. meningkatkan aktivitas kegiatan sehari-hari (ADL)
3. meningkatkan toleransi latihan (exercise training)

Goal
 Menurunkan morbiditas dan mortalitas
 Menurunkan rehospitalisasi (perawatan kembali).

Anamnesis
 Sesak napas
 Cepat lelah
 Edema perifer
 Takikardi

Pemeriksaan fisik
Status generalis : tanda vital tensi, nadi, respirasi, suhu
 Inspeks : keadaan umum saat istirahat dan selama aktifitas jalan
 Palpasi : Pulsasi jantung (ictus cordis), v. Jugolaris, pembesaran hepar dan lien
(hepatosplenomegali)
 Perkusi : Pembesaran pinggang jantung
 Auskultasi : bunyi jantung (murmur, gallop)

Pemeriksaan Penunjang
 RontgenThorax
 Hasil EKG
 Hasi Ekokardiograf
 Hasil Laboratorium

Kriteria diagnosis
 Gambaran klinis : sesak nafas, cepat lelah, edema perifer
 Pemeriksaan penunjang : Ro, EKG, Ekokardiografi

Berdasarkan NewYork Heart Assosiation dibagi 4 Kelas:


 Kelas 1 : Aktivitas sehari-hari tidak terganggu, sesak timbul bila melakukan aktivitas yang berat
 Kelas 2 : Aktivitas sehari-hari sedikit terganggu
 Kelas 3 : Aktivitas sehari-hari sangat terganggu, saat istirahat biasanya nyaman
 Kelas 4 : Saat istirahat terasa sesak

Tata laksana
Tujuan rehabilitasi jantung CHF Kronik adalah
 Memperbaiki Performa fisik
 Memperbaiki keluhan sesak nafas
 Meningkatkan kemampuan aktivitas
 Meningkatkan toleransi latihan
 Menurunkan mortalitas dan morbiditas
Program rehabiltasi jantung CHF Kronik stabil :
1. Perawatan RS
 Mobilisasi sesuai aktivitas fungsional klas :
- Fc 1 : > 6 Mets
- Fc 2 : 5-6 Mets
- Fc 3 : 3-4 Mets
- Fc 4 : 1-2 Mets
 Latihan ROM ke empat extremitas secara aktif

2. Pasca Perawatan RS
 Fase initial :
- Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit
- Latihan aerobik jalan intensitas rendah (low intensity exercise)
- Latihan ergocycle 50 - 60 % HR Max
- Latihan relaksasi
- Goal :
 Meningkatkan fungsional klas menurut NYHA
 Lamanya 4-6 minggu

 Fase Progresif
- Latihan erobik jalan ditingkatkan
- Latihan ergocycle 60 -70 % HR Max
- Latihan relaksasi
- Goal:
 Meningkatkan fungsional klas NYHA
 Lamanya 6-26 minggu

 Fase Pemeliharaan
- Latihan erobik jalan sesuai dengan fase progresi
- Latihan ergocycle sesuaidengan fase progresi
- Latihan relakasi
- Goal:
 Mempertahankan dan meningkatkan ketahanan erobik dan toleransi latihan
 Lamanya sampai 52 minggu.

Daftar Pustaka
1. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs Third Edition American
Association of Cardiovascular & Pulmonary Rehabilitaion 1999: 19.21.45 
PENYAKIT PARU RESTRIKTIF

Definisi
Penyakit Paru Restriktif adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik pada penurunan volune paru
yang disebabkan oleh adanya perubahan pada jaringan parenkim paru atau karena adanya proses penyakit
pada pleura, dinding dada atau komponen neuromuskular.

Beberapa kapasitas paru mengalami penurunan kapasitas yaitu kapasitas total paru, kapasitas vital atau
kapasitas paru istirahat.

Klasifikasi
1. Penyakit paru intrinsik atau penyakit pada parenkim paru.
Penyakit tersebut menyebabkan peradangan atau terbentuknya jaringan parut pada jaringan paru
(interstitial lung disease), atau menyebabkan terisinya ruang udara pada paru oleh eksudat dan debris
(pneumonitis).

2. Penyakit ekstrinsik atau jaringan ekstra parenkim, yaitu pada dinding dada, pleura, otot respirasi

Kelainan pada semua struktur tersebut dapat menyebabkan restriksi jaringan paru, kelemahan fungsi
ventilasi dan gagal nafas (Misalnya, penyakit-penyakit dinding dada diluar otot. atau adanya kelainan
neuromuskular).

Anamnesis
 Keluhan utama
 Riwayat masalah
 Riwayat fungsi mencakup kemampuan berjalan dan naik tangga
 Riwayat psikososial
 Obat/alergi
 Riwayat medik/operasi
 Riwayat keluarga

Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan umum
 Penilaian fungsi
 Penilaian musculoskeletal
- Penilaian neurologis
- Pola nafas serta penggunaan otot-otot pernafasan tambahan
- Kemampuan ekspektorasi, batuk efektif, peak flow meter
- Skala sesak
- Kekuatan otot respirasi

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
 Foto Thoraks
 Spirometri

Keterbatasan fungsional
 Pemeriksaan AKS
 Gangguan mobilisasi

Asesmen luaran
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan pemandu untuk pemberian intervensi atau program.
Diperlukan suatu tolok ukur untuk menilai keberhasilan suatu program. menganjurkan penggunaan
outcome ossessment dengan kelompok uji laboratorium untuk penampilan, uji lapangan, sesak dalam
bentuk skala, kuesioner kualitas hidup dan kuesioner penilaian status fungsional. Menggunakan beberapa
hal berikut:

Sesak -Skala Modifikasi Borg


Skala ini merupakan upaya membuat keluhan sesak menjadi sesuatu yang bisa diukur, sehingga dapat
digunakan untuk pasien sebagai panduan melakukan aktivitas. Modifikasi skala Borg, bernilai antara nol
hingga sepuluh. Nol menyatakan tidak adanya sesak, dan sepuluh menyatakan sesak tak tertahankan.

Uji Jalan Enam Menit


sebagai tolok ukur pada gangguan paru sedang hingga berat dan dapat dipergunakan sebagai pengukuran
statusfungsional. Uji jalan mencerminkan status fungsional, karena berjalan mencerminkan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Hasil uji didapat berupa jarak tempuh dalam satuan meter, dan di konversi
menjadi Metabolic equivalents (METs)

Uji Sepeda Statis Metoda lncremental


Uji sepeda statis merupakan salah satu uji latih yang dapat menggambarkan kapasitas fungsional pasien.
Hasil uji berupa besaran watt untuk penentuan beban latihan

St George Respiratory Questionnaire (SGRQ)


SGRQ merupakan kuesioner spesifik untuk mengukur kualitas pada penderita dengan gangguan saluran
pernafasan dan terdiri atas tiga hal utama yaitu menilai gejala penyakit, aktivitas yang menyebabkan
sesak ataupun dihambat sesak, dan dampak yang dirasakan oleh pasien. Kuisioner ini diharapkan diisi
sendiri oleh pasien. Kuisioner ini. SGRQ secara obyektif sesuai dengan ICIDH dan juga responsif
terhadap intervensi terapi.

Tujuan Rehabilitasi Paru


Tatalaksana terapi untuk penyakit paru restriktif bertujuan :
 Mempertahankan compliance paru dan dinding dada
 Mencapai perkembangan paru dan dinding dada yang normal serta mencegah deformitas toraks
pada anak-anak
 Mempertahankan ventilasi alveolar normal
 Memperbaiki toleransi latihan
 Memperbaiki pola pernapasan,
 Mengurangi sesak serta mengkoordinasikan pola pernapasan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
 Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah episode gagal nafas akut saat infeksi paru, mencegah rawat
inap, dan menambah daya tahan hidup tanpa memerlukan trakeostomi. Seluruh tujuan tersebut dapat
diperoleh dengan cara mengevaluasi, melatih, dan mengedukasi pasien rawat jalan dan di rumah.

Tatalaksana
 Edukasi
 Nutrisi
Asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru. Gejala penyakit paru
restriktifi seperti kesulitan bernapas, kelelahan, dan sebagainya. dapat berkontribusi terhadap
berkurangnya asupan makanan. Penurunan yang berkepanjangan dalam asupan makanan dapat
menyebabkan kekurangan gizi dan kehilangan berat badan yang signifikan

 Psikososial
Depresi dan anxietas adalah dua komorbiditi utama yang berhubungan dengan penyakit paru restraksi,
seiring dengan penurunan drastis keterbatasan aktifitas fungsional, dan panik diasosiasikan dengan
serangan dyspnea yang berat. Antidepresan dan medikasi dengan antianxiolitik biasa digunakan sebagai
pengobatan penunjang saat konseling.
 Terapi fisik dada (Chest Physical Therapy)
Terapi fisik dada dapat didefinisikan sebagai teknik terapi yang diterapkankan pada dinding dada dari
luar, dalam memfasilitasi pembersihan sekret/mukus pada saluran pernapasan, meningkatkan fungsi
pernapasan dan mengurangi komplikasi yang terjadi, seperti terjadinya air trapping sampai terjadi
hyperinflation yang akan menyebabkan perburukan keadaan umum pasien.
Terapi fisik dada meliputi:
 Latihan batuk efektif dengan metode huffing-coughing
 Postural drainage
Bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen paru dengan mengandalkan gaya
gravitasi.
 Perkusi
 Vibrasi
 Therapeutic Exercise
Exercise untuk mengatasi sesak nafas tergabung pada active cycle of breathing yang terdiri dari: pursed
lip breathing, diaphragmatic breathing dan huffing. Latihan ini diberikan sesuai dengan derajat beratnya.
Latihan atau exercise mencakup : relaksasi, latihan otot terisolasi (hairmyers), dan latihan aerobik.

 Latihan Otot-Otot Pernapasan dengan lncentive Spirometry


Latihan pernapasan dengan menggunakan alat lncentive Spirometry merupakan bagian dari lnspiratory.
Muscle Training yang bertujuan untuk:
- Memperbaikiotot pernapasan dengan mengukur kemampuan inspirasi maksimal serta merangsang
fungsi paru kembali dengan meningkatkan tekanan transpulmonal dan volume paru saat inspirasi.
- Meningkatkan fungsi diafragma melalui perbaikan kelenturan diafragma sehingga akan
meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot-otot pernapasan.
 Terapi oksigen
Manfaat terapi oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitas
- Meningkatkan kualitas hidup penderita penyakit paru.

Daftar Pustaka
1. Sharma Sat. Restrictive Lung Disease. Article. available from : http://emedicine.medsape.com
2. Nusdwinuringtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta : Departemen Rehabilitasi Medik
RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 2006. p.49
3. Kohlam, Virginia C, Stulbarg, Michael S. Dyspenea : Assessment and management in Hodgkin, John
E: Pulmonary Rehabilitation. Guidelines to Succes; Lippincoat Williams & Wilkins 2000 3rd ed. p.57-89
4. Kendrick KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg scale in assessing the degree
of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of Emergency Nursing. Volume 26, lssue 3 ,
Pages 216-222, June 2000
5. Nusdwinuringtyas N, Laksmi W & Bachtiar A. Healthy adults maximum oxygen uptake rediction from
a six minute walking test. Medica! Journal lndonesia, Edisi Juli-September 2011, Vol 20 No 3
6. Mador MJ, Bozkanat E. Skeletal muscle dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease. Respir
Res 2001, 2:216-224
7. Nusdwinuringtyas N, kumpulan Makalah rehabilitasi respirasi. In Nusdwinuringtyas N. Exercise
training in Chronic pulmonary Disease. Paper Presented at Satellite Symposia 5 : Improving Quality of
life in COPD and other Chronic Repiratory Disease”. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Ciptomangunkusumo, 2006. p61-73
8. Delisa JA, Physical Medicine and Rehabilitation. In : Delisa, Joel A, et al. Rehabilitation of the Patient
with Respiratory Dysfunction. 4th ed. Lippincott William& Willkins; 2005. 1844-1867
9. Alba A, Chan L. pulmonary Rehabilitation In: Braddo, RL. Physical medicine and Rehabilitation. 3th
ed. Saunders, Philadeplhia. 2007. P.732-742.
10. Huge BS. Women’s Health: Obstetrics and Pelvic Floor In: Kisner C, Coldby, LA Therapeutic
Exercise. F.A. Davis Company, Philadelphia, 2007. P.799-822
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

Definisi dan Karakteristik


Penyakit paru obstruksi didefinisikan sebagai gangguan saluran nafas struktural atau fungsional yang
menimbulkan perlambatan arus respirasi. Gangguan dapat intraluminer (tumor paru, sumbatan oleh sekret,
benda asing), ekstra luminer (tumor yang menekan bronkus, jaringan peyanggah kurang misalnya
emfisema), ataupun penebalan mukosa (hiperplasia & hipertrofi), bronkitis kronik, emfisema, asma,
bronkiektasis.

Gangguan saluran pernafasan ini memiliki karakteristik pada kapasitas paru. Beberapa volume meningkat
yaitu VR (volume residu) & KPT (kapasitas paru total); KV (kapasitas vital) dapat turun atau normal,
sedangkan VEP1/KVP <75%. Gambaran Flow volume loop pada ekspirasi akan melandai/cekung.1

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Evaluasi Rehabilitasi


keluhan utama : batuk dan sesak nafas.
 riwayat masalah: pola nafas serta penggunaan otot-otot pernafasan tambahan
 riwayat fungsi: kemampuan berjalan dan naik tangga
 riwayat psikososial
 obat/alergi: obat yang pernah dan sedang dikonsumsi juga diperlukan,
 riwayat medic/operasi,
 riwayat keluarga;
 pemeriksaan fisik meliputi penilaian fungsi,
 penilaian muskuloskeletal,
 penilaian neurologis,
 selain pemeriksaan umum.
 Kemampuan bergerak,
 aktivitaskehidupansehari-hari,
 aktivitas dalam rumah dan lingkungan

Outcome Assessment
 skala Borg,
 Uji jalan enam menit,
 Uji sepeda statis dengan metoda incremental,
 St George Respiratory Questionare (SGRQ).8

Tatalaksana Terapi
 Farmakologi : pemberian bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik dan antibiotik.
 Non farmakologi : edukasi, nutrisi, dan psikososial.
 Terapi dada (chest therapy), modalitas, latihan misal : latihan terapeutik, latihan otot-otot pernapasan
dengan incentive spirometry dan juga dengan inhalasi (nebulizer).14
 Terapi fisik dada meliputi batuk, postural drainage, perkusi, vibrasi, osilasi frekuensi tinggi, suction
nasotracheal, dan exercise.
 Terapifisik dada ini tidak diberikan pada pasien pasca operasi atau dengan riwayat kelainan pembuluh
darah/aneurisma.
 huffing : tekniknya dengan bernafas, pasien mengatakan "ha" dengan tegas dan berulang kali.16
 Postural drainage bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen paru dengan mengandalkan
gaya gravitasi.

Exercise / latihan
 Exercise untuk mengatasi sesak nafas tergabung pada active cycle of breathing yang terdiri dari pursed
lip breathing, diaphragmatic breathing dan huffing23
 Latihan atau exercise mencakup relaksasi, latihan otot terisolasi (Hairmyers), hingga latihan aerobik.24

Latihan Otot-Otot Pernapasan dengan lncentive Spirometry


 Latihan pernapasan dengan menggunakan alat lncentive Spirometry
 Terapi Oksigen
 Pemberian terapi oksigen mempunyai peranan penting dalam mempertahankan oksigenasi
seluler serta mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ lainnya.

Terapi Inhalasi
 Terapi inhalasi yang menggunakan alat nebulizer
 Obat-obatan yang dapat digunakan melalui inhalasi adalah golongan bronkodilator (antikolergik,
adrenergic), kortkosteroid dan mukolitik.30

Modalitas
Modalitas electrical stimulasi sebagai suatu terapi untuk mempertahankan kekuatan otot Quadricep femoris
sudah direkomendasikan oleh ATS/ERS terhadap rehabilitasi paru.32

Nutrisi
Asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru.

Dukungan psikososial
 Depresidan anxietas
 Antidepresan dan medikasi dengan antianxiolitik biasa digunakan sebagai pengobatan penunjang saat
konseling35

Daftar Pustaka
1. West JB. Ventilation. ln: West JB, editor. Respiratory physiology. 7th ed. Baltimore: William and
Wilkins; 2008. p.13-30.
2. Global lnitiative for Asthma (GINA). Diagnosis and classification. ln: Global strategy for asthma
management and prevention. NHLBI publication 2010.
3. Donohue FJ, Sheth K. Asthma and COPD. Management strategies for the primary care provider. 2008.
4. Global lnitiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. National lnstitutes of Health.
National Heart, Lung and Blood lnstitute, Update 2009.
5. Tsang KW, Tipoe GL. Bronchiectasis: not an orphan disease in the east. lnt. J Tuberc Lung Dis. 2004;
8 (6): 691-702.
6. King Pf,, Daviskas E. Pathogenesis and diagnosis of bronchiectasis. ERS. 2010; 6:342-51.
7. Nusdwinuringtyas N. Bahan tutorial dasar-dasar rehabilitasi respirasi. Unpublished.
8. Nusdwinuringtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik
RS Dr. Cipto Mangunkusumo; 2006. p.49.
9. Kohlam, Virginia C, Stulbarg, Michael S. Dyspenea: Assessment and management in Hodgkin, John E:
Pulmonary Rehabilitation. Guidelines to Succes. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 57-
89.
10. Kendrick KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg scale in assessing the
degree of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of Emergency Nursing. 2000 June; 26
(3):216-222.
11. Nusdwinuringtyas N, Laksmi W & Bachtiar A. Healthy adults maximum oxygen uptake prediction
from a six minute walking test. Medical Journal lndonesia. 2011 Juli-September ; 20 (3).
12. Mador MJ, Bozkanat E. Skeletal muscle dysfunction in chronic obstructive putlonary disease.
Respir Res. 2001; 2:216-224.
13. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. ln Nusdwinuringtyas, N. lmproving
Quality of life in COPD and other Chronic Respiratory. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Cipto Mangunkusumo; 2006. p.61.
14. Abdool-Gaffar MS, Ambaram. A Guideline for the management of chronic obstructive pulmonary
disease-2011 update. SAMJ.2011 January; 101 (1).
15. Alba A, Chan L. Pulmonary Rehabilitation. In: Braddom RL. Physical and Rehabilitation. 3th ed.
Philadelphia: Saunders; 2007. p.732 - 142.
16. Huge BS' Women's Health: Obstetrics and Pelvic Floor ln: Kisner C, Colby LA Therapeutic
Exercise. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007.p.799 - 822.
17. Delisa JA. Physical medicine and rehabilitation. ln: Delisa, Joet A, et al. Rehabilitation of the
patient with Respiratory Dysfunction. 4th ed. Lippincott william & willkins; 2005. p.1844-1867.
18. Mackenzie CF, et al. Chest physiotherapy in the intensive care unit. ln: Nancy Ciesla. Postural
Drainage, positioning, and breathing exercise. 1st ed, Baltimore William and Willkins; 1981. p. 55-80
19. Kisner C, Colby LA. Management of pulmonary conditions. ln: Carolyn Kisner. Therapeutic
Exercise Foundation and Technique. 4th ed. Philadelphia: FA Davis Company; 2002. p.738-774.
20. Rochester & Carolyn L. The basis of exercise limitation in COPD. ln: Ambrosino N, Goldstein
Ventilatory support for chronic respiratory failure. lnforma Healthcare; 2008. p. 145.
21. Macintyer NR. Pulmonary Rehabilitation. ln: R Dean, Macintyre NR, Mishoe SC. Respiratory are:
Principles and Practice. Sudburry, MA: Jones & Barlett Learning; 201 1. p.549 - 557.
22. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. ln Nusdwinuringtyas, N. Chest
physical Therapy in The Rehabilitation of Lung Function. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS
Dr. Cipto Mangunkusumo; 2006. p. 18.
23. Dean, Macintyre NR, Mishoe SC. Sputum collection, airway clearance and lung expansion
therapy. ln: Respiratory Care: Principles and Practice. Sudburry, MA: Jones & Barlett Learning; 2011.
p.352-373.
24. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. In Nusdwinuringtyas N. Exercise
Training in Chronic Pulmonary Disease. Paper presented at Satellite Symposia 5: "lmproving Quality of
Life in COPD and Other Chronic Respiratory Disease". Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Cipto Mangunkusumo; 2006. p. 61 -73.
25. Sarmento A. lnspiratory muscle training in patient with COPD. AMJ of Respiratory & Critical Care
Medicine. 2OO2: 1491-97.
26. Basoglu OK, Atsever A, & Bacakoglu F. The efficacy of incentive spirometry in patients with
COPD. Respirology Journal. 2005 June: 10 (3): 349-53.
27. Tambunan T. Pengaruh latihan pernapasan incentive spirometry terhadap kemampuan inspirasi
maksimal dan kualitas hidup pada penderita penyakit paru obstruksi. [Tesis]. Jakarta: Program Studi
Ilmu Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006
28. Troosters T, Casaburi R, Gosselink R, Decramer M. Pulmonary Rehabilitation in Chronic
Obstructive. Pulmonary Disease Am J Respir Crit Care Med. 2005; 172: 19-38.
29. Raul JL. Administration of aerosolized agents. Respiratory care Pharmacology. 6th Edition.
Georgia: Mosby; 2002. p.36.
30. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 113-131.
31. Nici L, Donner C, Wouters E, Zuwallack R, Ambrosino N, Bourbeau J, et al. American thoracic
society/ european respiratory society statement on pulmonary rehabilitation. Am J Respiratory Critical
Care Medicine. 2006; 173: 1390-413.
32. Barus AP. Pengaruh electrical stimulation terhadap kekuatan otot quadriceps femoris pada
penderita penyakit paru obstruksi pasca dan eksaserbasi akut. [Tesis]. Jakarta: Program Studi llmu
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia. 2006
33. CockburnT, Johnson J. Nutritional Management of COPD: Guide for Health Professionals. CDM
Dietitian, Saskatoon Health Region. 2009
34. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success
3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 247-260.
35. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 113-131.
Miopati

Definisi
Miopati adalah kelainan pada saraf tepi yang mengenai level otot. Miopati dapat disebabkan oleh
berbagai hal dan memiliki perjalanan yang bervarisasi pula. Bisa terdiri atas akut, subakut dan kronik.
Miopati mengenai grup otot proksimal atau distal, sebagian menyebabkan kelainan otot jantung
(kardiomiopati).
Banyak kelainan miopati merupakan kelainan genetik autosomal dominan.

Anamnesis
 Tingkat tumbuh kembang menurut milestone
 Kelemahan otot dari proksimal (tanda utama), hip dan tungkai atas, pasien mengalami
kesulitan berdiri. Kesulitan berdiri dan naik turun tangga. Drop foot dan instabilitas pergelangan
kaki.
 Kelelahan otot (otot-otot lengan atas, terutama saat melakukan kegiatan yang overheod, menyisir
rambut, gosok gigi, dll)
 Kelainan pola jalan (serta kesulitan apa yang dialami saat berjalan, naik tangga, dll)
 Kelainan postur
 Riwayat ambulasi pasien

Evaluasi tumbuh kembang menurut milestone


 Keluhan gagal jantung : sesak saat aktifitas, kaki bengkak, paroksismal nokturnal dispnoe
 Riwayat kekakuan sendi
 Kadang didapatkan nyeri (tumpul, keram)
 Evaluasi lntelektual pasien

Pemeriksaan Fisik
 Status generalis
 Pemeriksakan fungsi mobilisasi (saat anak dari duduk ke berdiri Gower monuver,berjalan Gait
waddling
 Pemeriksaan postur (termasuk pemeriksaan skoliosis)
 Pemeriksaan muskuloskeletal (deformitas, atrofi/hipertrofi otot, tonus otot, kekuatan otot,
lingkup gerak sendi,dll)
 Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler dan respirasi

Keterbatasan fungsional
 Gangguan aktivitas kehidupan sehari- hari
 Kelelahan karena gangguan fungsi kardiovaskuler dan respirasi

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium:
 Creatinine phosphokinase (CPK)--> meningkat 10-100x normal.
 Pemeriksaan DNA (apakah terdapat mutasi dari gen yang menyebabkan tipe
khusus dystrophie)
 Biopsi otot
 EMG
 FotoThoraks
 EKG atau ECHO
 a Foto seri skoliosis
 Test lQ

Tujuan Tatalaksana
 Menigkatkan atau mempertahankan status gizi anak.
 Membantu mempertahankan kekuatan otot
 Meningkatkan ketahanan kardiorespirasi
 Kemandirian dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari mandiri sesuai usia dan
perjalanan penyakit
 Anak tetap dapat bersekolah dan bermain
 Mencegah komplikasi
 Kontraktur
 Skoliosis
 Fungsi respirasi (misalnya : aspirasi, atelektasis)

Tatalaksana
 Pengaturan dietTKTP
 Latihan penguatan otot
 Latihan aerobik submaximal, contohnya : berenang
 Positioning yang optimal, latihan lingkup gerak sendi, latihan peregangan sendi, latihan berdiri
dan berjalan
 Latihan mempertahankan atau meningkatkan kemampuan melakukan AKS
 Ortosis : Ankle Foot Orthosis, Knee Ankle Foot Orthosis, spinal brace untuk skoliosis
 Edukasi keluarga mengenai AKS anak ( mungkin anak akan membutuhkan bantuan dalam AKS
nya)
 Edukasi pentingnya anak tetap bersekolah dan bermain dengan teman-temannya.

Komplikasi
 Penurunan fungsi respirasi
 Kardiomiopati
 Kontraktur
 Malnutrisi
 Skoliosis

Daftar Pustaka
1. McDonald CM. Neuromuscular diseases. In : Alexander MA, Matthews DJ (eds) Pediatric
rehabilitation principles and practice, fourth edition, Demos Publishing, NewYork;2010 :277-334
2. Emery AEH. Muscular DystrophiesThe Facts, Oxford university press, NewYork; 1994:14-20
3. Borg K, Ensrud E. Myopathies. ln : FronteraWE, SilverJK, RizzoTD (eds) Essential of Physical
medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Phitadephia;2008 :729-32
4. Han JJ, Kilmer DD. Myopathy. !n : Delisa JA (ed) Delisat Physical Medicine and Rehabilitaion e,
fifth edition, Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia; 20 I 0:757-80.
KESULITAN BELAJAR

Definisi (berdasarkan DSM lV)


 Kemampuan individu dalam hal membaca, berhitung, atau menulis di bawah umur rata-rata anak
sebaya, sekolah dan tingkat inteligensi. Kesulitan belajar ini memiliki pengaruh penting dalam
pencapaian akademik atau dalam AKS yang memerlukan proses membaca, berhitung, dan
menulis.
 Anak memiliki kesulitan dalam pencapaian akademik dan prosesnya. Terdapat ketidak
sesuaian antara potensi anak dan apa yang sesungguhnya ia pelajari.
 Pada kesulitan belajar menunjukkan pola yang tidak seimbang dari perkembangan
(perkembangan bahasa, perkembangan fisik, perkembangan akademik atau perkembangan
persepsi).
 Gangguan ini tidak berhubungan dengan lingkungan yang tidak mendukung. Juga tidak
berhubungan dengan retardasi mentalatau gangguan emosi.

Faktor predisposisi
1. Faktor biologis (belum pasti)
a. Faktor medis :gangguan neurologis misalnya palsi serebral, spina bifida, epilepsi, trauma
kapitis, infeksi sistem saraf pusat, paparan radiasi.
b. Gangguan penyakit kronis : asma, alergi, DM, kelainan endokrin, kelainan jantung.
2. Faktor prilaku sosial dan lingkungan
a. Kondisi sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga inti
b. Norma budaya
c. lnteraksi keluarga, sikap orang tua terhadap pendidikan manajemen praktis terhadap anak
d. Sikap anak: senang sekolah, konsep diri, kognitif, temperamen
e. Harapan anak sesuai/ tidak dengan kapasitas untuk merealisasikan.

Gejala
 Kesulitan bekerjasama dalam kelompok
 Kesulitan membedakan ukuran, bentuk dan warna
 Kesulitan konsep waktu
 Penyimpangan dalam konsep bentuk tubuh
 Kesulitan dalam membaca dan menulis
 Sikap yang kaku
 Gangguan koordinasi visual-motor
 Hiperaktifitas
 Kesulitan untuk mengkopi secara tepat saat diberikan suatu contoh
 Lambat dalam menyelesaikan tugas
 Gangguan keterampilan pengorganisasian
 Kesulitan memahami instruksi
 Kesulitan dalam berpikir abstrak dan problem solving
 Pemikiran yang tidak teroganisir
 Kadang-kadang terobsesiterhadap suatu topik atau ide
 Gangguan memori jangka pendek atau jangka panjang
 Perilaku impulsil, kehilangan pemikiran reflektif Toleransi yang rendah terhadap frustasi
 Gerakan yang berlebihan saat tidur
 Kesulitan dalam pergaulan
 Eksitasi berlebihan dalam grup bermain
 Kesulitan membuat Pertimbangan
 Afek yang kadang tidak pantas, tidak selektif dan kadang berlebihan dalam menunjukkan afeksi
 Keterlambatan dalam perkembangan milestones (motor, bahasa)
 Perilaku yang tidak sesuai dengan situasi
 Kegagalan untuk memahami konsekuensi perbuatannya
 Mudah dipengaruhi dan diarahkan oleh pemimpinnya
 Variasidan respons dalam mood
 Kesulitan menyesuaikan pada perubahan di lingkungan
 Kesulitan membuat keputusan
 Kesulitan konsentrasi, mudah dialihkan
 Kesulitan dalam dominansi tangan
 Kesulitan dalam tugas yang beruntun
Pemeriksaan Fisik
 Fungsi sensori persepsi
 Fungsi kognitif dan praksis

Keterbatasan fungsional
 Membaca
 Mengeja
 Tulisan tangan
 lntegrasivisualmotor
 Matematika

Tuiuan tatalaksana
 Menghilangkan atau mengurangi gejala yang ada
 Mengembangkan potensi untuk mencapai kemampuan sesuai dengan tingkat perkembangan usia
 Dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari sesuai dengan usia

Tatalaksana
 Terapi diberikan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi anak dan tingkat perkembangan apa
yang telah dicapai anak
 Terapi disini dapat berarti dapat berarti latihan fisik, mental emosional, pemberian obat-obatan,
diet, tergantung kondisi anak. Hasil terapi tidak dapat dinikmati seketika, memerlukan waktu.
 Kesempatan yang sama harus diberikan pada anak dengan kesulitan belajar untuk bermain,
merawat diri sendiri, bersekolah, mengikuti aktifitas keluarga dan bepergian.

Keluaran
 Refleks primitif terintegrasi dan reflex protektif dan keseimbangan dipergunakan dengan baik
 Tonus otot normal
 Kemampuan gross motor dan fine motor sesuai usia
 Kemampuan koordinasidan desteritas sesuai usia
 Kemampuan konsentrasi dan atensi yang meningkat
 Meningkatnya kemampuan sosial
 Kemampuan akademik dan bermain meningkat
 Kemampuan bersenang-senang dan bermain yang meningkat

Daftar Pustaka
1. Rogers SL, Gordon CY Schanzenbacher KE, Smith JC. Common Diagnosis in Pediatric
Occupational Therapy Practice. ln : Smith JC (ed) Occupational Therapy for Children, fourth
edition, Mosby Inc, Missouri; 2001 : 136-87.
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IVTR, fourth edition-text
revision, American Psychiatric Association, USA; 2000
3. National joint committee on learning disability.WETA;2010{update 2010 2010; cited 2012 15
march}; available from : http://ldonline.org/pdfs/njcld/NJCDDefinitionoflD.pdf
4. Learning disability. Child development institute. LLC. 2012 [update 2012; cited 2012 15 march]
available from http://childdevelopmentinfo.com/learning_disability.shtm
PENYAKIT BLOUNT
Definisi
Penyakit Blount adalah gangguan perkembangan tulang proksimal tibia aspek medial yang dapat
mengakibatkan deformitas progresif berupa varus angulasi serta rotasi abnormal pada tungkai bawah.

Epidemiologi
Prevelansi penyakit Blount bentuk infantile di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 0,007 atau
kurang dari 1% sedangkan prevelansi penyakit Blount bentuk dewasa mencapai 2,5%.

Anamnesis
 Keluhan bentuk kaki O
 Riwayat mulai berjalan lebih awal biasanya pada usia 9-19 bulan
 Riwayat obesitas
 Riwayat keluarga dengan penyakit Blount

Pemeriksaan Fisik

Pengukuran Antropomctri: berat badan dan tlnggi badan


Pola jalan
 Postur mulai dari trunk sampai pedis
 Deformitas pada lutut berupa genu varus
 Deformitas kaki
 Leg length discrepancy/perbedaan panjang kaki
 Pelvic Obliquity
 Keterbatasan fungsional

Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi konvensional proyeksiAP/lateralfe moral-tibial dalam posisi berdiri
 MRI
 CT scan 3D
 Diagnosis Penyakit Blount ditegakkan bila sudut metaphysical-diaphysis (MDA= metaphysic-
diaphysis angle) pada proksimal tibia >16o atau perbandingan MDA femur dan MDA tibial
kurang dari 1
 Apabila sudut MDA proksimal tibia 11-15o disebut genu varum fisiologis.

Gb. 1 Cara pengukuran sudut Metaphysis Diaphysis dan sudut Tibial-Femoral

Tuiuan tatalaksana
 . Memperbaiki alignment / kesegarisan dari tibia vara

Tatalaksana
 Bracing pada pasien kurang dari 3 tahun atau Langenskiold staging I atau II
 Lndikasi operasi :
 deformitas tidak terkoreksi pada usia 4-5 tahun
 sudut tibio-femoral > 15 o
 sudut metaphyseal-diaphyseal > 16 o
 tekanan pada medial tibia yang progresif
 kelemahan ligament lutut
 deformitas menetap atau meningkat menjadi staging lll atau lV
Daftar Pustaka
1. Raymond TM, Stuart LW.Lovel! & Winter's Pediatric Orthopaedics.6,hed. Philadelphia: Lippincot
Williams&Wilkins.2006:1158
2. Nunn, Rolinson, Scott. Blount Disease in Orthopaedic and Trauma.USA: Mosby Elsevier.2011:454
3. Matthew JD. Blount Disease.Update: Sep 25,2010,diunduh tanggal 3 JUli 2012 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1250420
4. Murphy KP, Colleen A. Wunderlich, Et all. Orthopaedic and Musculosketetal Conditions in
Alexander MA, Matthew JD.Pediatric Rehabilitation.Principal and Practice.4th ed. New York: Demos
Medical publisher.2010
HEMOFILIA

Definisi
Hemofilia adalah suatu penyakit atau gangguan perdarahan yang bersifat herediter akibat
kekurangan faktor pembekuan VIII atau IX.

Derajat keparahan hemofilia dibagi berdasarkan jumlah factor VIII. Hemofilia berat ditandai dengan
jumlah faktor VIII kurang dari 1%, pada hemofilia sedang terdapat 1-5% jumlah factor VIII dan
hemofilia ringan dengan jumlah factor VIII lebih dari 5%.

Hemofilia (A dan B) diturunkan secara sex(X)Jrnked recessive dan gen untuk faktor VIII dan IX terletak
pada ujung lengan panjang(q) kromosom X. Oleh karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa
sifat sedangkan laki-laki sebagai penderita

Epidemiologi
Angka kejadian hemofilia A sekitar 1 : 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 :25.000-30.000 orang.
Belum ada data mengenai kekerapan di lndonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta
penduduk Indonesia.

Anamnesis
 Riwayat perdarahan berlebih pada operasi minor atau pada saat sirkumsisi
 Kecenderungan terjadinya perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan timbulnya
kebiruan atau hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya hemartrosis
 Adanya riwayat keluarga

Pemeriksaan Fisik
 Pola jalan dan postur
 Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah.
 Tanda perdarahan misalnya hematom, deformitas
 Keterbatasan fungsional

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap termasuk :


 Masa pembekuan memanjang
 Masa protrombin normal, masa tromboplastin parsial memanjang
 Masa pembekuan tromboplastin abnormal
 Pemeriksaan radiologi konvensional pada daerah sendi / otot yang diduga terjadi perdarahan

Tujuan tatalaksana
Pada dasarnya terapi hemofilia adalah mengganti atau menambah faktor antihemofilia yang kurang.
Untuk hemofilia A diberikan transfusi kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII. Untuk hemofilia B
diberikan faktor IX setiap 24 jam.

Penatalaksanaan rehabilitasi pada perdarahan intra artikular tergantung pada stadium hemartrosis.
Tujuan tatalaksana untuk mengurangi nyeri dan mengurangi perdarahan, meningkatkan lingkup gerak
sendi dan meningkatkan kekuatan otot sekitar sendi

Tatalaksana
 Pada fase akut sendi harus diistirahatkan pada posisi fungsional.
 Pemberian modalitas dingin. Latihan isometrik dan latihan lingkup gerak sendi pasif.
 Pada fase sub akut program rehabilitasi berupa program latihan dari isometrik, resistive isotonic
dan latihan lingkup gerak sendi aktif. Setelah kekuatan otot meningkat, latihan dapat dilanjutkan
dengan latihan isokinetik.
 Pada fase kronik, program latihan hampir sama fase subakut. Latihan fleksibilitas dan
proprioseptif diberikan secara bertahap pada program rehabilitasi.
 Hidroterapi untuk mengurangi tekanan pada sendi

Kontraindikasi
Olah raga dengan kontak langsung

Komplikasi
Arthropati sendi dan sinovitis

Daftar Pustaka
1. Gatot D, Moeslichan M. Pembekuan darah. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti E,
Abdulsalam M. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak Jakarta. Badan Penerbit IDAI.2006 :174-176
2. Rotty L. Hemofilia A dan B. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam FKUI. 2006: 759-762
3. Gurcay E, Eksioglu E,Ezer U, Cakir B, CakciA. A prosprective series of musculoskeletal system
rehabilitation of arthropathic joints in young male hemophilic patients. Rheumatollnt.2008.28:541-
545
4. Murphy KP, Colleen A. Wunderlich, Et all. Orthopaedic and Musculoskeletal Conditions in Alexander
MA, Matthew JD.Pediatric Rehabilitation.Principal and Practice.4th ed. New York Demos Medica!
Publisher. 2010.
LEUKIMIA

Definisi
Leukimia adalah kelainan darah yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel-sel darah yang belum
matang karena ketidakmampuan sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah yang sehat dan
berakumulasi sebagai sel-sel ganas dalam aliran darah serta menyebar ke organ tubuh lainnya.

Anamnesis
 Nyeri di persendian (poliatralgia)
 Kelelahan saat beraktivitas
 Jenis aktivitas yang dilakukan
 Adakah keterbatasan dalam melakukan aktivitas (bermain, sekolah)
 Riwayat perdarahan (epistaksis, gusi berdarah)
Pemeriksaan Fisik
 Pola jalan dan postur
 Tanda-tanda anemis (wajah pucat, konjungtiva pucat)
 Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah.

Keterbatasan fungsional
1. Makan
2. Mengurus diri
3. Mandi
4. Berpakaian atas-bawah tubuh
5. Aktivitas sekitar BAB & BAK
6. Berjalan, berlari
7. Naik tangga

Tujuan tatalaksana
 Meningkatkan ketahanan kardiorespirasi serta kualitas hidup
 Menguranginyeri

Tatalaksana
 Edukasi orangtua mengenai penyakit serta komplikasi yang ditimbulkan
 Latihan lingkup gerak sendi serta penguatan otot
 Terapi nyeri dengan modalitas yang aman:TENS

Komplikasi
 Poliatralgia
 Kelelahan

Daftar Pustaka
1. Halar EM, Bell KR. Contracture and Other Deletrious. ln: Delisa J. Rehabilitation Medicine,
Principles and Practices. Second ed. Philadelphia, Lippincott Co. 1993;8:681-9.
2. lrain K. Bums. ln: Garrison SJ. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation Basics.
Philadelphia. JB. Lippincott co. 1995; 9:95-7,102-3
3. Saleem S, Valbona C. lmmobilization. ln: Garrison 5. Handbook of Physical Medicine and
Rehabilitation Basics. Philadelphia. JB. LippincottCo. 1995; 188-9.

CEREVRAL PALSY

Batasan dan Uraian Umum


Cerebral Palsy (CP) adalah kelainan gerak dan postur yang disebabkan oleh suatu penyakit atau
cedera yang bersifat non progresif pada otak yang imatur.

Epidemiologi
2 - 3 per 1000 kelahiran hidup

Penyebab
 Prenatal : Kelainan kongenital, kelainan plasenta, infeksi, toksik
 Neonatal : Prematuritas, BBLR, infeki, hipoksia, hiperbilirubinemia, perdarahan intrakranial
,partus lama.
 Postnatal :Trauma, infeksi, toksik, perdarahan intracranial, tumor otak

Anamnesis
 Disfungsi motorik halus dan kasar
 Gangguan gerak, transfer, ambulasi
 Gangguan AKS: makan, minum, berpakaian, toileting, berhias
 Gangguan komunikasi
 Gangguan psikososialdanvokasional

Pemeriksaan Fisik
 Keterlambatan tahapan perkembangan
 Gerak dan postur berupa spastik atau diskinetik
 Pola jalan (crouch gait)
 Evaluasi pendengaran
 Evaluasi penglihatan
 Pemeriksaan tonus dan spastisitas
 Reflek primitive yang menetap
 Evaluasi nervus kranialis
 Evaluasi komunikasi

Klasifikasi Palsi Serebral :


Berdasarkan pola gerakan dibagi menjadi lima :
1. Spastic
2. Diskinetik
3. Hipotonia
4. Ataksia
5. Campuran
Berdasarkan penyeba ran a natomi ganggua n motorik dibagi menjadi tiga:
1. Monoplegia
2. Hemiplegia
3. Diplegia
4. Quadriplegia
5. Total body involvement

Berdasarkan fungsi kemampuan motorik menurut Gross Motor Function Classificotion System (GMFCS)
1. GMFCS I : anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan dan naik tangga tanpa bantuan
2. GMFCS ll : anak dapat berjalan di dalam dan di luar ruangan dan naik tangga dengan
berpegangan
3. GMFCS lll : dapat berjalan di dalam ruangan atau luar ruangan pada permukaan datar
dengan alat bantu
4. GMFCS lV : dapat berjalan dalam jarak pendek dengan alat bantu namun lebih sering
dengan menggunakan kursi roda di dalam dan di luar rumah
5. GMFCS V : tidak bisa mobilisasi

Pemeriksaan Penunjang
 Evaluasi kognitif
 Radiologi konvensional
 BERA
 CT Scan
 MRI
 Laboratorium darah untuk mencari penyebab seperti infeksi TORCH, gangguan metabolik dan
kelainan genetik

Tujuan tatalaksana
1. Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikan keinginan, pikiran, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
2. Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
3. Mobilitas : kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
4. Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat latihan
dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi roda untuk
semua aktivitas

Tatalaksana
1. Edukasi
Edukasi keluarga dan lingkungan mengenai penanganan dalam hal interaksi keluarga dengan
penderita (bayi/anak), serta lingkungan yang sesuai untuk anak tersebut.

2. Terapi disfungsi motorik


 Kombinasi berbagai bentuk teknik fasilitasi dengan latihan aktifitas motorik fungsional sesuai
tahap perkembangan mulai dari kontrol kepala hingga berjalan untuk motorik kasar
 Stimulasi gerakan dan keterampilan tangan sesuai tahapan perkembangan yang sudah / belum
dicapai
 Metode: inhibisi, fasilitasi, stimulasi

3. Casting/ Splint dan Ortosis/Ortotik dan Prostetik


 Resting atau night splint, untuk memelihara ROM, misalnya pada ankle (mencegah plantar fleksi)
dan pada pergelangan tangan atau jari tangan untuk stabilisasi
 AFO (Ankle Foot Orthosis), untuk kontrol spastik equinus dan hiperekstensi lutut saat " stance
phase"
 Hip abduction orthosis, untuk mencegah kontraktur adduktor panggul dan dipasang juga pada
pasca operasi adductor panggul.

4. Tatalaksana gangguan wicara


 Stimulasi bahasa
 Stimulasi sesuai tingkat perkembangan
 Stimulasi perbendaharaan kata-kata

5. Manajemen feeding dan drooling serta gangguan menelan

6. Terapi psikososial dan edukasional

7. Medikamentosa dengan obat antispastisitas


 Baclofen
 Lnjeksi Botox

8. Operasi
Dilakukan oleh ahli bedah orthopedic pada kondisi:
Terjadi deformitas kontraktur yang mengganggu aktivitas vokasional dan perawatan diri

Komplikasi
 Kontraktur - deformitas muskuloskeletal
 Skoliosis
 Subluksasi/dislokasi panggul
 lnfeksi pernafasan
 Obstipasi
 Lnfeksi traktus urinarius
Daftar Pustaka
1. Mattews DJ,Wilson P. Cerebral Palsy. ln: MolnarGE (ed) Pediatric Rehabilitation 3rd ed.
Philadelphia. Hanley and Belfus lnc. 1999:1 93-213
2. Bleck EE. Orthopedic Managemen in Cerebral Palsy. Philadelphia. Stanford University
School of Medicine. Mac Keith Press, 1987:6-10
3. Erhardt RP. Cerebral Palsy. ln: Hopkins HL, Smith HD (ed)Willard and Spackman's
OccupationalTherapy 8th ed. Philadelphia. JB Lippincott company, 1993:430-443
4. Werner, David. Disabled Village Children 2nd ed. Palo Alto. The Hesperian Foundation,
1988.
PASCA MENINGITIS

Definisi
 Radang/inflamasi pada selaput otak atau meningen
 Rehabilitasi meningitis adalah rehabilitasi yang dilakukan pada penderita pasca meningitis/
gejala sisa akibat meningitis

Penyebab
 Neonatus: Group B Streptococcus, Gram-negative bacteria, Listeria
 Diatas usia neonatus:Streptococcus pneumoniae dan N. meningitides, Enterovirus, Borrelia
burgdorferi, Rickettsiae, Ehrlichia species, Fungus (pada immunocompromised), Mycobacteria
tuberculosis

Anamnesis
 Awitan penyakit
 Adanya gangguan pendengaran dan penglihatan
 Kelemahan anggota gerak, separuh badan atau ke empat anggota gerak
 Otot-otot yang kaku, gerakan yang tidak terkoordinI
 Kejang kompleks
 Gangguan motorik, transfer, ambulasi, kesulitan belajar, gangguan komunikasi, gangguan
psikososial dan vokasional
 Adanya kemunduran perkembangan anak
 Kesulitan belajar

Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital: tensi, suhu, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan
 Penilaian status nutrisi
 Pemeriksaan fungsi sensoris: penglihatan dan pendengaran, raba, proprioseptif, keseimbangan
 Pemeriksaan motorik : koordinasi gerakan kasar, kontrol motor, praksis, koordinasi gerakan
halus / jarl - jari
 Pemeriksaan neuromuskuloskletal : reflek fisiologis dan patologis, Iingkup gerak sendi, kekuatan
dan tonus otot, ketahanan otot, kontrol postural, integritas jaringan lunak
 Pemeriksaan kognitif : orientasi, atensi, memori, belajar, bahasa, visuospasial
 Penilaian tingkat intelektual

Keterbatasan fungsional
 Kesulitan makan, komunikasi
 Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
 Gangguan interaksi social dan vokasional

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan visual dan auditori
 CT scan
 EEG
MRI

Tuiuan tatalaksana
 Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikankeinginan, pikiran, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
 Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
 Mobilitas : kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
 Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat
latihan dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi
roda untuk semua aktivitas

Tatalaksana
 Edukasi terhadap diagnosis dan tatalaksana rehabilitasi
 Latihan fisik untuk gangguan gerak, transfer dan ambulasi
 Latihan adaptasi aktivitas kehidupan sehari-hari
 Ortotik/prostetik untuk menunjang kemampuan motor
 Latihan untuk gangguan komunikasi
 Medikamentosa
 Operasi ortopedi

Komplikasi
 Kontraktur
 Gangguan psikososial
 Gangguan vokasional

Daftar pustaka
1. 1. Jones C. Meningitis . ln : Singer HS, Kossoff EH, Hartman AL, Crawford TO (eds) Treatment
of Pediatric Neurologic Disorders, Taylor&Francis, London; 2005 : 287 -9 1
2. Perfect JR et all. Ctinical Practice Guidelines for the Management of Cryptococcal Disease:
2010 Update by the lnfectious Diseases Society of America. ln : Clinical lnfectious Disease, 2010;
50: 291 -322.
PASCA ENSEFALITIS

Definisi
 Encephalitis merupakan inflamasi pada parenkim otak
 Rehabilitasi pada ensefalitis adalah rehabilitasi yang dilakukan terhadap penderita pasca
ensefalitis/ gejala sisa akibat ensefalitis.

Etiologi
 Herpes virus, Virus campak, Arbo virus, Virus rabies
 Bakteri, Rikketsia
 Jamur dan Parasit

Anamnesis
 Awitan PenYakit
 Adanya gangguan pendengaran dan penglihatan
 Kelemahan anggota gerak,separuh badan atau ke empat anggota gerak
 Otot-otot yang kaku, gerakan yang tidak terkoordinasi
 Kejang kompleks
 Gangguan motorik, transfer, ambulasi, kesulitan belajar, gangguan komunikasi, gangguan
psikososial dan vokasional
 Adanya kemunduran perkembangan anak
 Kesulitan belajar

Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital: tensi, suhu, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan
 Penilaian status nutrisi
 Pemeriksaan fungsi sensoris: penglihatan dan pendengaran, raba proprioseptilf, keseimbangan
 Pemeriksaan motorik : koordinasi gerakan kasar, kontrol motor, praksis, koordinasi gerakan
halus/ jari - jari
 Pemeriksaan neuromuskuloskeletal : reflek fisiologis dan patologis, lingkup gerak sendi, kekuatan
dan tonus otot, ketahanan otot, kontrol postural, integritas jaringan lunak
 Pemeriksaan kognitif : orientasi, atensi, memori, belajar, bahasa, visuospasial
 Penilaian tingkat intelektual

Keterbatasan fungsional
 Kesulitan makan, komunikasi
 Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
 Gangguan interaksi sosialdan vokasional

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan visual dan auditori
 CT scan : defisit neurologis
 EEG
 MRI

Tujuan tatalaksana
 Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikan keinginan, pikira, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
 Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
 Mobilitas: kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
 Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat
latihan dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi
roda untuk semua aktivitas

Tatalaksana
1. Edukasi terhadap diagnosis dan tatalaksana rehabilitasi
2. Latihan fisik untuk gangguan gerak, transfer dan ambulasi
3. Latihan adaptasiaktivitas kehidupan sehari-hari
4. Ortotik/prostetik untuk menunjang kemampuan motor
5. Latihan untuk gangguan komunikasi
6. Medikamentosa
7. Operasi ortopedi
Kompllkasi
 Kontraktur
 Gangguan psikososial
 Gangguan vokasional

Daftar Pustaka
1. Goodwin F, Kennedy C. Treatment of Pediatric Neurological Disorders : Encephalitis. In : Singer
HS, Kossoff EH, Hartman AL, Crawford TO (eds) Treatment of Pediatric Neurologic Disorders,
Taylor&Francis, London;2005 :293-301
2. Tunkel AR et all.The Management of Encephalitis : Clinical Practise Guidelines by the
lnfectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Disease, 2008; 47 :303-21.
SINDROM DOWN

Definisi
Sindroma down atau yang dikenaldenganTrisomy 21 merupakan kelainan kromosom berupa
penambahan sebagian atau seluruh kromosom 21. Kelainan kromosom dapat berupa trisomi 21 (95% ),
translokasi (4%) dan mozaik (1%)
Sindroma down ditandai dengan adanya kombinasi kelainan mayor dan minor dari struktur dan fungsi
tubuhnya.

Karakteristik Umum
 . Karakteristik Fisik
 Berperawakan pendek
 Kelainan jantung bawaan
 Lnfeksi telinga dan infeksi pernafasan berulang
 Gangguan pendengaran
 Gangguan penglihatan
 Kelainan gigi
 Gangguan fungsi tiroid
 Penyakit saluran nafas obstruktif
 Tonus otot yang rendah
 Laksitas ligamen
 Profil wajah yang datar
 Upward slanting eyes
 Bentuk telinga yang abnormal
 Hanya terdapat satu sendi pada jari kelingking
 Lipatan tunggal yang membelah telapak tangan (simian crease)
 Obesitas
 KarakteristikPerkembangan
Keterlambatan perkembangan :
 Kognitif
 Motorik
 Komunikasi
 Kecakapan sosial
 Kemampuan adaptif / menolong dirisendiri

Kondisi yang yang berhubungan dengan Sindroma Down


 Penyakit jantung bawaan
 Gangguan pendengaran
 Gangguan penglihatan
 Masalah gigi geligi
 Hipotiroidisme
 Defek saluran pencernaan
 Gangguan psikiatrik pada usia remaja
 Alopesia
 Kejang
 Leukemia

Diagnosis

Anamnesis
 Riwayat prenatal
 Riwayat kelahiran
 Riwayat post natal
 Riwayat perkembangan
Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis : berat badan, tinggi badan, Iingkar kepala, tanda vital, wajah, leher, mata,
telinga, mulut dan gigi, iantung, paru-paru, abdomen
 Gangguan bicara berupa:
Kesulitan dalam mengucapkan artikulasi dan fonologi.
 Gangguan dalam kelancaran berbicara seperti gagap dan cluttering
 Adanya developmental aphasia
 Status Muskuloskeletal :
 Pemeriksaan adanya defisit pertumbuhan linear (penurunan kecepatan pertambahan tinggi
badan, reduksi panjang tungkai, reduksi panjang metacarpal dan phalangeal)
 Pemeriksaan tonus otot g hipotonia menyeluruh ( eher, trunk, ekstremitas )
 Pemeriksaan laksitas ligamen (pes planus, instabilitas patella, skoliosis, instabilitas
atlantoaksial)
 Pemeriksaan grip strength, isometric strength dan ankle strength
 Pemeriksaan kognitif

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan skrining pada wanita hamil
 Pemeriksaan analisis kromosom

lmplikasi Fungsional
 Gangguan motorik
 Gangguan kognitif
 Gangguan komunikasi
 Gangguan kecakapan sosial
 Gangguan kemampuan adaptif / menolong dirisendiri

Tatalaksana
Edukasi kepada orang tua untuk:
1. Memahami masalah yang ada sehingga mereka dapat mengetahui kebutuhan anaknya.
2. Membantu anak merasa nyaman dengan kondisinya
3. Mengontrol lingkungan
 lntervensi spesifik sesuaidengan karakteristik perkembangan (motorik, kognitif, komunikasi,
sosial,kemampuan adaptif /menolong diri sendiri )
 lntervensi spesifik ( Behovioral and Educationol Approoches )
Sensori lntegrasi terapi, perceptual-motor intervensi, neurodevelopmental terapi,vestibular
stimulasi, play therapy dan pendekatan language-cognitive
 lntervens iterhadap kondisi medis yang berhubungan dengan Sindroma Down
Pencegahan dan Pendidikan
 Konseling genetik
 Stimulasi perkembangan dirumah
 Supporting group

Prognosa
Penyakit jantung bawaan adalah penyebab utama kematian dini. Banyak orang dengan tanda-tanda
sindrom Down menunjukkan demensia dan gejala penyakit Alzheimer pada usia 40 tahun.

Daftar Pustaka
1. Turk MA, Logan LR, Kanter D. Aging with Pediatric Onset Disability and Diseases. ln : Alexander
AM, Matthews DJ (eds) Pediatric Rehabilitation, fourth ed. Demos Medical, NewYork;2010: 425-
460
2. Selokowitz, M ahli bahasa Rini Surjadi mengenalSindroma Down.2001
3. Bertoti DB, Smith DE. Mental Retardation : Focus on Down Syndrome. ln :Tecklin JS. Pediatric
Physical Therapy, 4th ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia; 2008 : 365-86
4. Clinical Practice Guideline. Down Syndrome - Assessment and Intervention for Young Children
(Age0-3years).
CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CLUB FOOT)

Batasan dan Uraian Umum


Club foot atau talipes equinovarus merupakan kelainan bawaan pada kakidan pergelangan kaki berupa :
 Talipes: kelainan pada kaki sehingga kaki berputar
 Equinus dari ankle dan subtalar
 Varus : inversi dan adduksi darifore-foot (kaki depan), mid-foot (kaki tengah)dan hind-foot (kaki
belakang)

Epidemiologi :0.5 : 1.000 kelahiran hidup dengan laki-laki mendominasi 2:1, dan bilateral sebesar 50%

Penyebab:
 Faktor mekanik dalam uterus
 Defek neuromuskuler
 Defek primary germ-plasma
 Terhentinya perkembangan janin

Anamnesis
 Riwayat tumbuh kembang
 Riwayat perkembangan motorik
 Riwayat terapi sebelumnya : manipulasi, casting, operatif
 Adakah gangguan dalam berkemih dan defekasi
 Gangguan gerak, transfer, ambulasi
 Gangguan psikososial

Pemeriksaan Fisik
 Kaki bagian depan (fore-foot) dan tengah (mid-foot) inverse dan adduksi.
 Kaki bagian belakang (hind-foot) equinus.
 Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan dieversikan,
kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus.

 Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan posterior
lebih kuat serta dapat mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang.
 Deformitas equinus
 Adduksi dan varus hindfoot
 Adduksi forefoot
 Laki-laki
 Hip dysplasia
 Adakah abnormalitas neurologis/ kromosomal, tungkaiyang lebih kecil, benjolan dengan hairy
patch sepanjang tulang belakang (jarang).

Keterbatasan fungsional
 Keterbatasan dalam fungsi transfer dan mobilisasi
 Keterbatasan dalam aktivitas keseharian

Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen: pedis, pergelangan kaki posisi AP dan Lateral. Pelvis
 CT scan pedis, Spinal
 Ultrasound dynamic pelvis dan ultrasound abdomen

Tujuan tatalaksana
 Mencapai dan mempertahankan kesegarisan konsentrik yang normal dari sendi
talokalkaneonavikular, kalkaneokuboid dan pergelangan kaki yang tergeser.
 Membentuk keseimbangan normal antara otot-otot evertor, lnvertor kaki dan dorso fleksi, plantar
fleksi kaki dan pergelangan kaki.
 Menghasilkan kaki dengan fungsi dan daya tanggung beban yang norma!.

...

Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan talipes equinovarus dibagi menjadi empat:
1. Peregangan manipulatif untuk memanjangkan jaringan lunak dan kulit yang terkontraksi
(Manipulative stretching), di ikuti dengan retensi dalam gips (retention in cast-splint).
Biasanya dilakukan selama 3 sampai5 minggu.
2. Reduksi terbuka pembukaan posteromedial, lateral, plantar dan subtalar.
3. Pemeliharaan reduksi dan restorasi mobilitas sendi kaki dan tungkai dengan splinting dan latihan
aktif dan pasif.
4. Penatalakanaan masalah, seperti kekambuhan deformital supinasi kaki bagian depan dan
metatarsus varus.

Hasil yang dlharapkan


 Deformitas terkoreksi
 Tidak terjadi penyulit
 Mandiri/mandiri dengan pengawasan/sebagian dibantu/dibantu penuh

Komplikasi
 Terapi konservatif mungkin dapat terjadi masalah pada kulit, dekubitus oleh karena gips, dan
koreksi yang tidak lengkap
 lnfeksi dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi. lnfeksi dapat terjadi setelah operasi kaki
clubfoot.
 Kaki bayi sangat kecil, strukturnya sangat sulit dilihat. Pembuluh darah dan saraf mungkin saja
rusak akibat operasi. Sebagian besar kaki bayi terbentuk oleh tulang rawan. Material ini dapat
rusak dan mengakibatkan deformitas dari kaki. Deformitas ini biasanya terkoreksi sendiri
dengan bertambahnya usia.

Daftar Pustaka
1. Murphy KP Wunderlich CA, Pico EL. Orthopedics and Musculoskeletal Conditions. ln:
Alexander MA, Matthews DJ (eds). Pediatric Rehabilitation :. Principles and Practice, fourth
edition, Demos Publishing, NewYork;2010:361-411
2. Neal AV. Common Orthopedic Conditions from Birth to Walking. In : Weiner, DS. Pediatric
Orthopedic for primary care physician. 1st ed. USA : Cambridge University Press. 2004. P 28-30.
GANGGUAN KOMUNIKSASI

Definisi
Merupakan hendaya dalam kemampuan untuk menerima, mengirim, mengolah dan memahami konsep
atau verbal, non verbal dan sistem lambang-lambang ataupun grafik. (ASHA, 1993)

Anamnesis
 Riwayat tumbuh kembang (motorik kasar dan halus)
 Jumlah bahasa yang digunakan dirumah/sekolah
 Riwayat prenatal, perinatal (prematuritas) dan postnatal
 Riwayat gangguan penglihatan dan pendengaran
 Riwayat asupan makan dan oro-motor
 Riwayat tarkeostomi dan intubasi
 Gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, ada tidaknya kontak mata
 Penyakit kronis atau gangguan saraf yang lain, riwayat gagal tumbuh
 Adakah riwayat dalam keluarga dengan gangguan bicara dan bahasa, orang tua dengan hendaya
pendengaran atau keterbatasan kognisi ,.

Pemeriksaan fisik
 Antropometri (berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala) dan tumbuh kembang
 Kemampuan mendengar
 Tingkat perkembangan bicara/ bahasa
 Kemampuan dalam feeding dan oro-motor
 Performa dalam bahasa reseptif dan ekspresif (syntax, semantik, pragmatik dan fonologi)
 Tingkat perkembangan sosial
 Kualitas/ resonansi suara (laju dan tipe pernafasan, suara sengau)
 Ke-fasih-an (laju dan aliran bicara)
 Tingkat kognisi

Keterbatasan fungsional
 Pencapaian prestasi akademik tidak optimal
 lnteraksi sosial tidak optimal

Pemeriksaan penunjang
 Auditory Broinstem Response (ABR)
 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
 Brainstem Evoked Response Audiomtery (BERA)

Tujuan tatalaksana
 Menghilangkan atau mengurangi gejala yang ada
 Mengembangkan potensi untuk mencapai kemampuan sesuai dengan tingkat perkembangan usia
 Dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari sesuai dengan usia

Tatalaksana
Penatalaksanaan Rehabilitasi hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor dibawah ini :
 Usia kronologis dan tingkat perkembangan anak
 Tipe dan derajat keparahan gangguan komunikasi
 Defisit atau masalah medis yang lain
 Kekuatan dan rasa keingintahuan anak
 Terapi lain yang sudah/ sedang dijalani
 Keinginan dan kemampuan keluarga untuk berpartisipasi
 Bahasa yang digunakan oleh anak dan keluarga
Tidak ada disiplin tertentu yang dapat mencakup semua metoda pemeriksaan dan penyembuhan yang
dibutuhkan bagi anak dengan gangguan komunikasi . Para ahli yang mendalami bidang ini bekerja sama
meliputi dokter dari berbagai keahlian (Anak, Syaraf, Jiwa, Rehabilitasi), psikolog, terapi okupasi,
terapis wicara, fisioterapi, ahli gizi, guru dan tentu saja orang tua dan keluarga.

Terapi diberikan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi anak dan tingkat perkembangan apa yang telah
dicapai anak. Hasil terapi tidak dapat dinikmati seketika, memerlukan waktu.

Daftar pustaka
1. New York State Department of Health, Clinical practice guidelines : Communication
disorders, Assessment and intervention for young children (age 0-3 years), New York, 2009
2. Driver L, Ayyangar R, Tubbergen MV. Language Development in Disorders of Communication
and Oral Motor Function. ln :Alexander MA, Mattewa DJ (eds). Pediatric rehabilitation principles
and practice,4th edition, Demos medical, New York; 2010 : 53-78.
SUBLUKASI PANGGUL PADA PALSI SEREBRAL

Definisi
Subluksasi panggul (hip displacement) adalah adanya pergeseran kaput femoral dengan Migration
Percentoge (MP) antara 10% dan 99%.

Dislokasi panggul adalah pergeseran kaput femoral seluruhnya dari bawah acetabulum (MP = 100%)
Migrotion Percentage (MP) merupakan pengukuran atas banyaknya bagian kepala femur yang tidak
tertutup oleh acetabulum. lni merupakan persentase atas kepala femur pada sisi lateral ke garis Perkin
pada foto pelvis AP

Perhitungan MP (MP= a/b x 100)

Epidemiologi
15-20% dari total populasi anak dengan Palsi Serebral. Sekitar 1% pada Palsi Serebral spastik
hemiplegia, hingga 75% pada Palsi Serebral spastik quadriplegia.

Penyebab:
 lmmobilisasi (Lack of weight bearing):
 Seiring dengan waktu menyebabkan meningkatnya femoral anteversi sehingga menimbulkan
perubahan pada acetabulum dan femur
 Asimetri aktivitas otot-otot di sekeliling panggul dapat disebabkan oleh spastisitas dan atau
ketidakseimbangan kekuatan otot.

Anamnesis
 Keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman di panggul
 Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
 Gangguan aktivitas hidup sehari-hari: terutama toileting (kebersihan perineal)

Pemeriksaan Fisik
 Status generalis: termasuk kebersihan perineal, luka dekubitus
 Postur: posisi duduk, scoliosis
 Pola berjalan
 GMFCS (Gross Motor Function Classification System)
 Pemeriksaan muskoloskeletal di daerah panggul melingkupi:
 Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi Pasif (abduksi dengan posisi panggul fleksi 90o, abduksi
dengan posisi panggul fleksi 0o, fleksi, ekstensi (Staheli), internal rotasi, external
rotasi,Thomas test, sudut leher femur (ongle femorol neck), sudut popliteal.
 Kontraktur Dinamik pengukuran menggunakan Modified Tordieu Scale (otot adduktor dan
otot hamstring)
 Pemeriksaan spastisitas dengan menggunakan Modified Ashworth Scale (otot fleksor dan
adduktor panggul, otot hamstring)

Pemeriksaan Penunjang
 Foto Pelvic AP:
 Foto ulangan dilakukan sesuaidengan ktasifikasiGMFCS
 Dihitung nilaiMP:
o MP3 33% direkomendasikan sebagai batas untuk mulai dilakukan tindakan atau
pengawasan yang intensif.
o MP3 40%, nilai ini menjadi indikator dilakukannya tindakan operatif.
o MP 33-40%, terapi berdasarkan tampilan klinis dan progresivitas MP lebih lanjut.

Tujuan
Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti dislokasi hip, scoliosis, kontraktur.
Tatalaksana
 Pemeriksaan berkala foto pelvis AP dan pemeriksaan fisik yang seksama sesuai dengan
klasifikasi GMFCS
 Latihan peregangan otot: adduktor panggul, Hamstrings, otot fleksor panggul
 Latihan penguatan otot: abduktor panggul, otot ekstensor panggul
 Lingkup Gerak Sendi: Abduksi panggul dengan posisi panggul fleksi 90O, Abduksi panggul
dengan posisi panggul fleksi 0o, Fleksi panggul, Ekstensi panggul, lnternal rotasi panggul,
External rotasi panggul, Ekstensi lutut
 Elektrikal stimulasi: abduktor panggul, otot ekstensor panggul
 Penatalaksanaan spastisitas (diberikan jika spastisitas mengganggu fungsi, positioning, pola
berjalan, aktlvitas hidup sehari-hari, kenyamanan dan perawatan)
 Botulinum toxin A
 Oral:
o Baclofen dimulai dengan dosis 2,5-5 mg/hari ditingkatkan sampai 30mg/hari (untuk
anak usia 2-7 tahun) atau 60mg/hari (untuk anak usia 8 tahun ke atas)
o Diazepam dosis 0,12-0,8mg/KgBB/hari dalam dosis terbagi.

Daftar Pustaka
1. McMahon M, Pruitt D, Vargus-Adams J. Cerebral Palsy. ln : Alexander MA, Matthews DJ
Editor: Pediatric Rehabilitation Principles and Practice,4th Edition. demosMedical.
NewYork.2010
2. Pountney T, Green EM. Hip Dislocation in Cerebral Palsy. BMJ Volume 332. 2006
3. Morton RE, Scott & McClelland V, Henry A. Dislocation of the hips in children with bilateral
spastic cerebral palsy,1985-2000. Developmental Medicine & Child Neurology 2006,48:555-
558
3. Wynter M et al. Paket dari Beben Consensus Statement on Hip Surveilance for Children with
Cerebral Palsy: Australian Standards of Care.2008.
GERIATRI
SINDROMA DEKONDISI

Batasan dan Uraian Umum


Sindroma dekondisi adalah kumpulan gejala akibat menurunnya kapasitas fungsional dari sistem
multiorgan tubuh, yang diawali oleh sistem muskuloskeletal dalam bentuk inaktifitas yang
berkepanjangan dan memberi dampak buruk terhadap sistem kardiovaskuler; respirasi; kulit; gastro
intestinal ; genito urinari ; metabolik dan endokrin; nutrisi ; neurologi, emosi dan intelektual.

Komplikasi Sindroma Dekondisi


1. Gangguan pada Sistem Kardiovaskular
 Hipotensi ortostatik (postural)
 Dekondisi jantung pada saat istirahat dan aktif
 Perubahan keseimbangan cairan
 Thrombosis vena dalam (DVT)

2. Gangguan pada Sistem Respirasi


Penumpukan spuntum, pneumonia orthostatik yang menunjukkan gejala seperti: batuk, spuntum
yang kuning kehijauan dan demam.

3. Gangguan pada Sistem Saraf Pusat


 Perubahan afek (depresi, ansietas, dan rasa takut)
 Delirium
 Gangguan Sensorik
 Penurunan kapasitas intelektual

4. Gangguan pada Sistem Muskuloskeletal


 Otot
 Kelemahan otot
 Atrofi otot
 . Sendi
 Penurunan Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) akibat penurunan lingkup gerak sendi
 Klinis :
o Kelainan kontraktion dan kontraktur
o Deformitas
 Kontraktur yang sering terjadi:
 Fleksi panggul
 Fleksi lutut
 Plantar fleksi
 Rotasi bahu kedepan
 Fleksi Siku
 Fleksi pergelangan tangan
 Fleksi jari
 Tulang
(Asimptomatis sampai : terjadifraktur )
 Degenerasi rawan sendi

5. Gangguan pada Sistem Metabolik dan Endokrin


6. Gangguan pada Sistem Gastrointestinal dan Nutrisi
 Penurunan nafsu makan
 Konstipasi
 Asupan cairan menurun
7. Gangguan pada Sistem lntegumen
 Luka tekan
 Edema (dependent edema)
 Bursitis sub kutaneus ulkus dekubitus

8. Gangguan pada Sistem Genitourinari ,'


 Pada awalnya sering miksi, selanjutnya frekuensimiksi menurun
 Inkontinensia urine
 Diuresis
 Pembentukan batu buli-buli
 Infeksi saluran kemih '

A. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan Hipotensi Ortostatik

Pengertlan
Adanya perubahan tekanan darah sistolik > 20 mmHg dan tekanan darah diastolik > 10 mmHg pada saat
melakukan perubahan posisi (posisi tidur ke duduk atau posisi duduk ke berdiri)

Manifestasi Klinik
Rasa tingling pada ekstremitas bawah, pusing, penurunan kesadaran,vertigo, denyut jantung meningkat
penurunan denyut nadi lebih dari 20 denyut per menit dibandingkan denyut nadi istirahat.

Kriteria Diagnosis
Penurunan tekanan darah sistolik sekurang-kurangnya 20 mmHg atau tekanan darah diastolik paling sedikit
10 mmHg dalam periode kurun waktu 3 menit setelah berdiri.

Tujuan Tatalaksana
 Meningkatkan tekanan darah ortostatik, tanpa menyebabkan hipertensi berlebihan pada saat
berbaring
 Meningkatkan durasi waktu berdiri
 Meredakan gejala-gejala ortostatik
 Meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan kegiatan-kegiatan aktivitas kehidupan
sehari- hari dalam posisi berdiri.

Tatalaksana:
Pada saat kejadian: pasien dikembalikan pada posisisemula.

Yang harus dilakukan


 Mobilisasi dini: latihan lingkup gerak sendi, latihan kekuatan otot saat berbaring dan duduk, serta
latihan berdiri perlahan dan jalan
 Latihan kekuatan otot perut dan latihan isometriUk/isotonik yang melibatkan kaki
 Lakukan gerakan kaki dorsifleks beberapa kali sebelum berdiri
 Lakukan gerakan secara perlahan saat berubah posisi
 Makan dengan jumlah yang sedikit, dengan frekuensi yang ditingkatkan
 Meningkatkan asupan garam dan cairan sesuai dosis
 Naikkan bagian kepala tempat tidur setinggi 5-20 derajat
 Menggunakan compression stockings

Yang harus dihindari


 Berdiri dalam keadaan diam
 Berdiri dengan cepat setelah berbaring atau duduk yang lama
 Makanan dengan porsi besar, konsumsialkohol
 Latihan yang terlalu melelahkan, dehidrasi
 Mandi air panas dan lingkungan dengan suhu yang panas
 Bekerja dalam posisi tangan melebihi tinggi bahu
 Mengedan saat buang air besar atau kecil, batuk yang dipaksa

Pencegahan dan Edukasi


 Meningkatkan asupan cairan (minimum 2-2,5L/hari, disesuaikan dengan kondisi pasien)
 Meningkatkan asupan garam (10g sodium/hari, disesuaikan dengan kondisi pasien)
 Pada saat duduk lama, gerakkan tumit kaki naik dan turun untuk mengkontraksikan otot kaki
bagian bawah, membantu aliran darah kembali ke jantung. Atau kepal-kepalkan otot tangan
secara rutin
 Saat berdiri lama : berdiri sambil menggerakkan badan ke depan dan ke belakang secara
bergantian dengan mengangkat tumit; atau silangkan satu kaki pada kaki yang lain dan berpijak
secara bergantian
 Gunakan stoking penyangga yang elastis untuk digunakan setiap hari
 Naikkan sedikit bagian kepala tempat tidur
 Hindari konsumsi alkoholyang berlebihan
 Kurangi asupan kafein

B. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan Dekondisi Jantung pada Saat Istirahat
dan Aktif

Pengertian
Dampak dari imobilisasi juga mempengaruhi adaptasi kerja jantung dan pembuluh darah memenuhi
kebutuhan nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh.

Manifestasi Klinik
 Peningkatan denyut jantung saat istirahat
 Peningkatan denyut jantung yang berrebihan saat berolah raga
 Menurunnya curah jantung maksimal saat berolah raga

Tujuan Tatalaksana
 Meningkatkan ketahanan jantung saat berolah raga
 Menstabilkan tekanan darah dan denyut jantung saat beristirahat

Tatalaksana
 Mobilisasi dini dan aktifitas yang dilakukan secara perlahan dengan peningkatan intensitas secara
bertahap
 Untuk pasien yang oleh karena kondisi tertentu tidak dapat dimobilisasi, perlu dilakukan
stimulasi elektrik pada otot

Pencegahan dan Edukasi


 Sama dengan tindakan tatalaksana

C. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan gangguan trombosis vena dalam


Pengertian
Suatu kondisi dimana terjadi bekuan darah di daram vena yang menyebabkan sumbatan pada aliran
darah, baik parsial maupun total. Kondisi ini umum terjadi pada pasien dengan faktor risiko seperti
imobilisasi, trauma, malignansi dan lain-lain.

Manifestasi Klinik
 Edema
 Nyeri
 Hiperemia
 Distensivena

Kriteria Diagnosis:
Tanda Homan

Pemeriksaan Pcnunjang
 Venografi dengan kontras (pemeriksaan yang standar dilakukan untuk mendiagnosis (DVT).
 USG doppler
 Venografi radionuclide

Tujuan Tatalaksana
 Mencegah ekstensi local dari trombus
 Mencegah emboli
 Mencegah trombosis berulang
 Meningkatkan kemampuan mobilisasi pasca operasi

Tatalaksana
 Remobilisasi dan partisipasi dalam kegiatan aktivitas kehidupan sehari-hari dan kegiatan
mobilitas lainnya
- Dapat dianjurkan setetah 2 atau 3 hari jika portial thromboplastin time telah berada pada
kisaran terapetik

Pencegahan dan Edukasi


 Kompresi kaki eksternal
 Pembungkus kaki elastis
 Latihan aktif
 Mobilisasi dini

D. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan pada Sistem Respirasi

Pengertian
Komplikasi pada sistem respirasi dapat mencakup terbatasnya gerakan dinding dada pada posisi
berbaring, ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi, akumulasi sekresi dan malfungsi silia, serta
melemahnya otot-otot abdomen

Manifestasi Klinik
 Pergerakan napas yang cepat dan dangkal
 Gangguan pembersihan sekresi
 Menurunnya efektifitas batuk
 Demam
 Sputum

Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen toraks
 Kultur sputum/tenggorok bila perlu)

Tujuan Tatalaksana
 Mengoptimalkan pembersihan sekresi sputum
 Mengoptimalkan fungsi otot-otot pernapasan
 Mengurangi lamanya efektivitas kerja perawatan
 Mencegah komplikasi pulmoner
Tatalaksana
 Sama dengan tindakan pencegahannya
 Antibiotik (bila perlu)

Pencegahan dan Edukasi


 Mobilisasidini
 Respiratory toileting
 Perubahan posisisecara berkala
 Latihan pernapasan (deep breathing) dan batuk yang dalam
 Menjaga hidrasi
 Spirometri(bilamungkin)
 Perawatan gigi

E. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan pada Sistem Saraf Pusat

Pengertian
Menurunnya input sensoris pada tirah baring lama menyebabkan kurangnya paparan terhadap
isyarat sosial dan urutan waktu (waktu siang dan malam, pergerakan di suatu ruangan) sehingga
mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, emosional dan intelektual.

Manifestasi Klinik
 Perubahan afek (depresi, ansietas, dan rasa takut)
 Delirium
 Gangguan sensoris
 Penurunan kapasitas intelektual

Tujuan Tatalaksana
 Mempertahankan orientasi terhadap waktu, ruangan, dan orang sekitar
 Mencegah isolasi sosial
 Meningkatkan independensi

Tatalaksana
 Terapiobat penyebab delirium
 Hentikan obat yang menyebabkan perubahan status mental
 Latihan orientasi waktu dan tempat secara berkala
 Letakkan pasien ditempat yang tenang
 Atur kunjungan keluarga dan teman, kalau perlu bawakan foto keluarga, musik, buku
 Berikan aktifitas grup dan bawa pasien ke luar ruangan
 Pasangkan alat bantu dengar dan kacamata kalau perlu

Pencegahan dan Edukasi


 Berikan stimulasifisik dan psikososialyang sesuai sedini mungkin
- Sesi terapi kelompok
- Sosialisasi
- Mengajak berinteraksi dengan keluarga
- Berpartisipasi dalam aktifitas fisik dan latihan

F. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi Dengan Gangguan Disuse Atrophy, Penurunan Kekuatan,
Massa Dan Ketahanan Otot
Pengertian
Gangguan metabolisme dan homeostasis sel otot sebagai akibat dari inaktifitas otot. Berkurangnya
kekuatan dan ketahanan otot merupakan akibat fungsional dari atrofi otot karena lama tidak digunakan
(disuse otrophy).

Manifestasi Klinik
 Berkurangnya kekuatan otot
 Berkurangnya massa otot
 Kelemahan otot
 Turunnya ketahanan otot
 Toleransi bekerja turun
 Gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari dan berjalan
dengan aman
 Sering mengeluh nyeri punggung saat berbaring
 Otot-otot yang rentan menjadi lemah: otot peronei, tibialis anterior, vastus lateralis, gluteals,
rectus abdominis, serratus anterior, rhomboids ,lower ond middle trapezius, short deep
cervicolflexors, scalenes and upper limb extensors

Tujuan Tatalaksana
 Meningkatkan koordinasi gerakan ekstremitas
 Meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari
 Meningkatka ntoleransi dalam bekerja

Tatalaksana
 Latihan fleksibilitas (peregangan setiap hari 30 menit)
 Latihan kekuatan
 Latihan isotonik atau isometrik di tempat tidur
- Lakukan maksimum 1 kali pengulangan untuk setiap grup otot
- Pilih intensitas awal dan lanjutan dari latihan antara 50-80% dari maksimum pengulangan
dilakukan 8-15 kali, 2 kali setiap sesi untuk setiap kelompok otot, 3 kali seminggu atau lebih
- Peningkatan secara progresif dalam hal intensitas dan durasi latihan sampai target tercapai
- Lakukan pada semua grup otot secara berurutan, dari ekstremitas atas dan bawah, otot
daerah punggung dan perut
- Latihan ketahanan pada otot tipe 1 dan 2, terutama otot soleus
- TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulotion)
- Lengthening dan shortening (exentric, concentric)
- Masase (5 menit efflurage dan friksi)

Pencegahan dan Edukasi


 Latihan resistif yang progresif
 Peregangan
 Latihan aerobik
 Remobilisasi pasien sedini mungkin dan sediakan latihan mobilitas secara progresif
 Motivasi pasien untuk latihan berjalan 30 menit
 Kegiatan rekreasi 3 hari dalam seminggu

G. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan Kontraktur Sendi

Pengertian
Berkurangnya lingkup gerak sendi sebagai akibat dari kurangnya pergerakan sendi dan beberapa factor
kontributori lainnya yang dapat berasal dari sendi itu sendiri maupun organ-organ disekitarnya.

Manifestasi Klinik
 Posisi anggota gerak atau tubuh yang abnormal
 Berkurangnya lingkup gerak sendi

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangi nyeri
 Meningkatkan lingkup gerak sendi

Tatalaksana
 Terapispastisitas:
- Motor point atau nerve blocks menggunakan phenol
- lnjeksi muskular dengan botulinum toksin A atau B
 Tatalaksana nyeri
 Latihan lingkup gerak sendi pasif dengan stretching terminal
 Stretching lama dengan low passive tension dan heat (contoh ultrasound)
 Splinting, casting yang progresif (contoh dinamik)
Pencegahan dan Edukasi
 Pada orang sehat dengan gaya hidup sedentari dan usia tua:
- Latihan fleksibilitas, peregangan pada two-jointed muscles
- Yoga
- Pilates
 Pada orang yang sudah mengalami kontraktur atau memiliki faktor risiko mengalami kontraktur:
- Latihan lingkup gerak sendi (aktif atau pasif ) dengan peregangan terminal
- Posisiyang benar saat berbaring, di kursi roda, saat menggunakan splinting atau casting
- Mobif isasi dini dan ambulasi (weight bearing)
- CPM (continuous passive motion)
- Latihan resistan pada opposing muscles

H. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi Dengan Gangguan Dissue Osteoporosis

Pengertlan
Ditandaidengan osteopenia dimana terjadi hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari bagian kalkaneus
tulang panjang, epifisis, metafisis, dan tulang kortikal dekat kavitas sumsum tulang.

Manifestasi Klinik
 Nyeri dan kelemahan
 Atrofi otot dan kelemahan pada otot yang menempel pada tulang yang atrofi

Pemeriksaan Penunjang
 DEXA (Dual-Energy X-Ray Absorptiometry): bila mungkin
 WHO:
- Osteoporosis: BMD lebih dari atau sama dengan 2,5 SD di bawah rata-rata wanita 25 tahun
- Osteopeni: BMD 1 (T Score) sampai 2,5 SD di bawah rata-rata wanita 25 tahun

Tuiuan Tatalaksana
 Meningkatkan volume dan kekuatan otot
 Mencegah jatuh dan fraktur
 Mencegah resorpsitulang dan meningkatkan densitas tulang
 Meningkatkan kekuatan dan keseimbangan

Tatalaksana
 Latihan kekuatan resistan secara progresif untuk otot ekstensor punggung, ekstensor dan
abduktor panggul, dan shoulder girdle
 Latihan keseimbangan, postur dan long walks
 Hindari latihan dengan pergerakan fleksi pada tulang belakang atau latihan high-impact pada
posisi fleksi untuk pasien dengan cedera tulang belakang atau osteoporosis tingkat lanjut
 Controlled axial loading
 Latihan weight-bearing (WB) dini untuk menstimulasi pembentukan tulang. Jumlah latihan WB
minimal yang dibutuhkan belum diketahui
 Bila mungkin bifosfonat:
Alendronat 10mg setiap pagi, resedronat 5mg setiap pagi. Ke-2 obat tersebut harus diminum
pagi hari dengan perut kosong dengan 1 gelas air putih. Pasien harus dalam posisi tegak minimal
30 menit sebelum sarapan atau minum obat lain untuk mencegah erosi esofagus
 Kalsium karbonat: 1000mg/hari untuk wanita pasca menopause karena penurunan absorbsi
gastrointestinal
 Kecukupan vitamin D dalam makanan atau suplemen,400-800mglU/hari

Pencegahan dan Edukasi


 Latihan yang teratur; latihan isotonik, weight-bearing, dan latihan fungsional
 Intervensi gaya hidup lainnya seperti berhenti merokok, mengurangi atau berhenti
mengkonsumsi alcohol dan kafein

I. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan pada Sistem Gastrointestinal


Pengcetian
Gangguan pada sistem pencernaan oleh karena tirah baring yang mencakup waktu transit bolus yang
meningkat, hambatan peristalsis, dan peningkatan asam lambung.

Manifestasi Klinik
 Konstipasi
 Nafsu makan menurun
 Penyerapan makanan menjadi lebih lambat
 Nyeri lambung
 Dan lain-lain

Tuiuan Tatalaksana
 Bowel movement setiap 2 hari sekali
 Mencegah konstipasi

Tatalaksana
 Impaksi fecolit

Pencegahan dan Edukasi


 Gunakan toilet atau bedside commode, bila tidak mungkin baru gunakan bed pan
 Mobilisasi dini
 Tidur dengan 2 atau 3 bantal dengan tubuh bagian atas sedikit dielevasi
 Asupan makanan tinggi serat yang cukup, seperti buah-buahan dan sayuran
 Asupan cairan yang memadai dan olah raga teratur
 Stool softener atau bulk-forming agents (bila perlu)
 Bowel program yang terjadwal dengan teratur

J. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi Dengan Gangguan Ulkus Dekubitus

Pengertian
Daerah kerusakan lokal pada kulit dan jaringan di bawahnya yang disebabkan oleh tekanan, geser,
gesekan, atau kombinasinya.

Manifestasi Klinik
 Luka tekan
 Edema
 Bursitis subkutaneus

Kriteria Diagnosis
 Derajat l: daerah yang tertekan berwarna kemerahan yang tidak menjadi putih saat ditekan, kulit
masih intak
 Derajat 2: ulkus dekubitus dengan erosi, blister, bagian epidermis dan/atau dermis yang hilang
sebagian
 Derajat 3: ulkus dekubitus dengan hilangnya seluruh lapisan kulit disertai kerusakan atau nekrosis
ari jaringan subkutan yang dapat meluas ke fasia dibawahnya
 Derajat 4: ulkus dekubitus dengan nekrosis pada otot tulang, atau struktur penyagga lainnya
seperti endon atau kapsul sendi

Tujuan Tatalaksana
 Memperbaiki sirkulasidarah ke jaringan
 Mengurangi tekanan dan gesekan
 Mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus
 Mencegah komplikasi dari ulkus dekubitus

Tatalaksana
 Terapi medikamentosa: penanganan infeksi, perawatan luka (lebih dari derajat 2), tindakan bedah,
debridement (derajat 3 atau lebih), topikal dressing
 Terapi nonmedikamentosa: pengaturan posisidan penggunaan alat-alat bantu, memperbaiki
asupan nutrisi, perawatan luka.

Pencegahan dan Edukasi


 Pengkajian risiko pada pasien usia lanjut begitu masuk ke ruang rawat inap
 Promosi gerakan
 Posisi dan postur tubuh yang tepat j.
 Perubahan posisi yang sering untuk mengurangi tekanan pada daerah yang sama dalam waktu
yang lama
 Posisi tengkurap saat tidur di malam hari
 Menghindari aktifitas yang menyebabkan pergeseran atau pergesekan
 Nutrisi
Bila malnutrisi, berat badan menurun lebih dari 10%/tahun, dan bila albumin menurun,
tingkatkan asupan protein
 Penggunaan alat-alat distribusi tekanan dengan tepat
 Pemeriksaan kulit secara berkala

K. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan pada Sistem Endokrin

Pengertian
Hormon yang dapat dipengaruhi oleh berkurangnya aktifitas fisik antara lain insulin dan steroid
adrenokortikal.

Manifestasi Klinik
 Hiperglikemi
 Hiperinsulinemia
 Hiperparatiroid
 Hiperkalsemi
 Peningkatan ekskresi kortisol

Tuiuan Tatalaksana
 Meningkatkan toleransi glukosa
 Menstabilkan kadar hormon-hormon yang meningkat terkait dengan imobilisasi

Tatalaksana
 Latihan isotonik, bukan isometrik, pada kelompok-kelompok otot besar

Pencegahan dan Edukasl


 Sama seperti tindakan tatalaksana

L. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi Dengan Gangguan Pada Sistem Genitourinari

Pengertian
Gangguan pada sistem genitourinari oleh karena tirah baring dapat mencakup gangguan fungsi fisik
maupun metabolik.

Manifestasi Klinik
 Batu saluran kemih
 Infeksi saluran kemih
 Hiperkalsiuria
 Peningkatan ekskresi fosfor

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangi retensi urin
 Mencegah komplikasi (batu saluran kemih dan infeksi saluran kemih)
 Memperkuat otot-otot dasar panggul

Tatalaksana
 Asidifikasi urin dengan Vitamin C
 Antiseptik urin
 lnhibitor urease untuk mengobati batu saluran kemih
 Pembedahan atau litotripsi untuk membuang batu
 Penggunaan antibiotik yang sesuai untuk infeksi

Pencegahan dan Edukasi


 Jadwal buang air kecil terprogram
 Gunakan toilet atau bedside commode, bila tidak mungkin, baru gunakan bed
pan
 Asupan cairan yang cukup untuk mengurangi kolonisasi bakteri
 Posisi tegak pada saat berkemih
 Mencegah kontaminasi pada saat melakukan tindakan medis

Daftar Pustaka
.
1. Hendry C.Tong, Christopher M. Brammer. Deconditioning and bedrest. Dalam : Christopher M.
Brammer M. Catherine Spires, penyunting. Manual of physical Medicine and Rehabilitation.
Philadelphia: Hanley & Belfus lnc;2002 h/221-29
2. Tan.Jackson C. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. Elsevier Mosby, 2nd
ed, 2006 / 457-63
3. Halar EM, Bell KR. Physical lnactivity: Physiological and Functional lmpairments and Their
Treatment. Dalam: Frontera WR, Delisa JA, et al. DeLisa's Physical Medicine and Rehabilitation.
Principles and Practice. 5th ed. Vol.ll. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters
Kluwer, 2010.
4. Downey Rl. Physiology of Bed Rest. Dalam: Downey JA, et al. The Physiological Basis of
Rehabilitation Medicine. 2nd ed. Boston. Butterworth-Heinemann, 1994.
5. Kahn SR, Shrier l, Kearon C. Physicalactivity in patients with deep vein thROMbosis: A
systematic review. ThROMbosis Research. 2008; 1 22: 7 63-77 3.
6. Braksey JG, Davis KA. Orthostatic Hypotension. Fam Physician. 2003; 68: 2393-8.
7. Figueroa JJ, Basford JR, Low PA. Preventing and treating orthostatic hypotension: As easy as A,
B, C. Cleve Clin J Med.2010;77 (5):298-306.
8. Grey JE, Enoch S, Harding KG. ABC of wound healing: Pressure ulcers. BMJ. 2006; 332:472-
475
9. Anders J, Heinemann A, Leffmann C, et al. Decubitus ulcers: Pathophysiology and primary
prevention. Dtsch Arztebl lnt. 201 0;107 (21):371-82.
DEMENSIA

Batasan dan Uraian Umum


Demensia adalah diagnosis klinis dimana terjadi penurunan fungsi kognitif dari tingkat yang lebih tinggi
yang bermanifestasi dengan adanya gangguan kognitif lebih dari 1 domain dan mengganggu AKS
(Aktifitas Kehidupan Sehari-hari)

Manifestasi Klinis
Gejala awal demensia bervariasi dan dapat sangat ringan sampai tidak bisa terdeteksi.
 Perubahan dalam memori
- Mengulang-ngulang pertanyaan dan cerita yang sama
- Mudah lupa (forgetful)
- sering kehilangan barang-barang yang berharga (kunci, kacamata, dompet)
- Lupa terhadap tempat-tempat yang familiar

 Perubahan orientasi
- Kesulitan mengingat hari, tanggal, bulan, tahun
- Kesulitan mengingat teman, alamat

 Perubahan perilaku
- Gangguan dalam cara penilaian dan pertimbangan pada suatu hal
- Ketidak mampuan dalam membuat rencana atau mengorganisasikan sesuatu
- Deteriorasi hygiene dan penampilan
- Berperilaku tidak normal atau tidak seperti biasanya (menarik diri dari lingkungan)

 Perubahan emosi
- Mudah marah dan mudah terjadi perubahan mood
- Tidak dapat menanganitekanan dan sering kali mengalami agitasi
- Menarik diri dari kehidupan sosial
- Kehilangan minat, motivasi, dan lain-lain
 Perubahan pola berpikir
- Menjadi lebih fleksibelatau menjadi lebih kaku
- Kesulitan dalam mempelajarihal-hal baru
- Kesulitan dalam menemukan kata-kata untuk diucapkan
- Kesulitan dalam memuraitopik pembicaraan yang tain

Klasifikasi Demensia
 Penyakit Alzheimer
 Demensia vaskular
 Demensia dengan Badan Lewy
 Demensia frontotemporal

Pemeriksaan Fisik
 Status neurologi
 Status neuropsikologi: Mini Mental Stote Exominotion (MMSE)
 Status psikiatri : pemeriksaan deteksi depresi
 Status fungsional : AKS, AKS-instrumental (AKS-I), analisis aktivitas

Kriteria Diagnosis Berdasarkan DSM IV


1. Kriteria Demensia
a. Terdapat gangguan daya ingat jangka pendek (ketidak mampuan mempelajari hal baru) dan
jangka panjang
b. Terdapat paling tidak 1 dari hal berikut:
 Gangguan dalam berpikir abstrak
 Gangguan pengambilan keputusan
 Gangguan fungsi kortikal lainnya, seperti: afasia, apraksia, agnosia, kesulitan konstruksi
c. Masalah a dan b mengganggu aktivitas pekerjaan atau kreativitas sosial atau menjalin relasi
secara bermakna
d. Tanpa delirium
e. 1 atau 2 dari hal berikut :
 Didapat dari riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
 Terdapat gangguan mental, seperti:depresi

2. Kriteria Alzeimer's Disease (AD)


 Sesuaidengan kriteria Demensia a sampaidengan e, ditambah dengan gejala di bawah ini:
- Gejala memburuk secara progresif
- Tidak terdapat defisit neurologis (kelemahan otot atau yang disebabkan oleh stroke)

3. Kriteria Demensia Vaskular


 Sesuai dengan kriteria Demensia a sampai dengan e, ditambah dengan gejala di bawah ini:
- Gangguan pola berjalan dan jatuh
- Terdapat defisit neurologis fokal
- Pseudobulbar palsy
- Gangguan bladder dan bowel
- Dari RPP dan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium, secara bermakna
menunjukkan Cerebrovascular Disease (CVD)
-

Kriteria beratnya demensia


Ringan
Secara bermakna mengganggu aktivitas pekerjaan atau aktivitas sosial, tapi masih mampu hidup
mandiri dengan kemampuan membersihkan diri dan pengambilan keputusan

Sedang
Sulit hidup mandiri dan membutuhkan supervisi

Berat
Kesulitan dalam melakukan AKS dan butuh supervise terus menerus

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : Darah perifer lengkap (DPL), vitamin Bl2 dan folat
 Radiografik : Computed Tomogrophy-scan (CT-scan) atau MRI kepala

Manajemen Behavior
 Rujuk psikogeriatri

Manajemen rehabilitasi, Pemberian latihan :


 Stimulasi sensori
 Pergerakan tubuh
 Latihan terapeutik
 Latihan dalam bentuk permainan
 Latihan AKS
 Latihan kreativitas
 Latihan relaksasi

Tujuan Tatalaksana
 Mampu berpartisipasi dalam akifitas fisik rutin dan latihan
 Memperbaiki kondisi medis pasien
 Mengurangi polifarmasi

Tatalaksana
Prinsip manajemen demensia
 Mengoptimalkan status fungsional (mengkaji lingkungan, menganjurkan perubahan, jika
diperlukan)
- Hindaridari kondisiyang menimbulkan stress
- Gunakan alat bantu memori bila mungkin
- Anjurkan aktivitas fisik dan mental

 Identifikasi adanya:
- Wandering
- Gangguan tingkah laku
- Depresi
- Agitasi atau agresivitas
- Inkontinensia
Kalau perlu rujuk ke psikogeriatri. Lakukan tatalaksana rehabilitasi medis untuk inkontinensia urin dan
alvi.

Pencegahan dan Pendidikan


 Berikan fomily counselling
 Edukasi pasien dan keluarga tentang:
- Perjalanan alamiah penyakit
- Kerusakan yang bisa terjadi
- Prognosis
- Jika perlu, konseling hukum dan finansial oleh ahli terkait
- Mengatasi rasa kesal dan bersalah dari keluarga
- Keputusan untuk memindahkan pasien ke panti werdha

Daftar Pustaka
1. Robert LK, Joseph G.Q Itamar BA. Demensia. Dalam : Essential of Clinical Geriatrics, 2nd ed.
New York : McGraw HillCo; 1999. h.90-111
2. Carlsson CM, Gleason CE, Puglielli L, Asthana S. Dementia lncluding Alzheimer's Disease.
ln: Halter JB, Ouslander JG,Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard's Geriatric
Medicine and Gerontology. 6 ed. NewYork McGraw Hill 2009; 797-812
3. Dave J, Hecht M. Dementia. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD. Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation: Musculoskeletal Disorders, Pains and Rehabilitation. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier 2008; 665-762.
DEPRESI

Batasan dan Uraian Umum


Depresi adalah suasana perasaan depresi (depressed mood) yang dapat merupakan suatu gejala
penyakit lain. Sebagai suatu diagnosis, depresi ditandai dengan perasaan tertekan, hilangnya minat
terhadap suatu hal atau kesenangan, disertai dengan perubahan selera makan, perubahan pola tidur,
perubahan berat badan, dan aktivitas psikomotor; menurunnya energi; perasaan tidak berguna, bersalah;
kesulitan dalam berpikir, konsentrasiatau membuat keputusan; pikiran berulang tentang kematian, ide
bunuh diri, rencana bunuh diri, bahkan percobaan bunuh diri.

Dicurigai depresi bila episode tersebut terjadi dalam periode minimal 2 minggu. Prevalensi depresi pada
usia lanjut adalah 5-65% baik dirumah sakit atau diluar rumah sakit.

Pada usia lanjut, penyebab depresi adalah karena penggunaan obat (polifarmasi), dan atau akibat kondisi
penyakit seperti stroke dan hipertiroidisme.Tingginya depresi pada usia lanjut, didasari pada teori
neurobiologi, teori psikodinamik, teori kognitif dan perilaku, dan teori psikoedukatif.

Kriteria Diagnosis
Adanya 5 atau lebih gejala berikut dengan salah satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan
minat atau kehilangan kesenangan :
 Perasaan depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang secara subyektif dilaporkan
pasien (seperti rasa sedih atau hampa) atau diobservasi oleh orang lain (seperti mudah menangis)
 Kehilangan minat atau kesenangan yang jelas dalam semua, atau hampir semua, aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS), hampir setiap hari (dilaporkan sendiri ataupun diobservasi orang
lain)
 Penurunan berat badan yang bermakna tanpa diet atau peningkatan berat badan (lebih dari 5%)
atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap hari.
 lnsomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
 Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari.
 Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
 Merasa tidak berguna atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (inappropriate) hampir
setiap hari.
 Kemampuan berpikir atau berkonsentrasi menurun, atau ketidak mampuan dalam mengambil
keputusan.
 Pikiran tentang kematian yang berulang atau ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus
atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh diri.

Anamnesis
 Dilakukan dengan panduan kriteria diagnostik
 Penelusuran tentang penyakit yang sedang diderita dan pengobatan yang sedang dilakukan.

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan fisik umum
 Pemeriksaan rehabilitasi medik fungsional sesuai standar

Pemeriksaan Penunjang
 Proses penapisan
- Geriatric Depression Scole (GDS)
- Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
- Mini Mental State Examinotion (MMSE)
 Pemeriksaan penunjang terkait dengan penyakit primer, sesuai kebutuhan.

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangi rasa tertekan yang dihadapi oleh pasien
 Meningkatkan partisipasi dalam Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) dan aktifitas fisik
lainnya di masyarakat
 Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri terhadap diri sendiri

Tatalaksana i 245
 Selalu waspada, bahwa setiap pasien dengan disabilitas, ada kecenderungan mengalami
depresi.
 Pemberian terapi didasarkan pada penyebab depresi bekerjasama dengan dokter spesialis penyakit
jiwa
 Program rehabilitasi pasien depresi merupakan bagian integraldari penatalaksanaan holistik
pasien geriatrik
 Rehabilitasi aktifitas fungsional pasien akan berhasil baik bila depresi teratasi
 Terapirehabilitasi:
- Pendekatan biologik
Tujuan :
o Perbaikan gejala depresi
o Medikamentosa (anti depresan, antianxietas, antipsikotik)
o Koreksi keadaan medik umum

- Pendekatanpsikososial
Tujuan : Memperbaiki faktor kepribadian individu dan lingkungan sosial, melalui pendekatan
:
o Terapi individu
o Terapi kelompok
o Terapi keluarga
- Pendekatan aktifitas fungsional
Tujuan : Pasien mandiridalam beraktifitas
o Prinsip awal : Pencegahan dan terapi dampak kecacatan terhadap penyakit primer.
o Program rehabilitasi aktifitas fungsional sesuai dengan target yang rasional. Bila perlu
lakukan program rehabilitasi bertahap
o Cognitive behavioral therapy
Pencegahan dan Pendidikan
 Observasi setiap pasien usia Ianjut dengan risiko depresi
 Awasi efek samping obat, kurangi obat yang menyebabkan depresi
 Deteksi dan intervensi dini
 Partisipasi aktif keluarga
 Layanan day care di rumah sakit (day hospital) sebagai bagian dari layanan rawat jalan usia
lanjut

Daftar Pustaka
1. Kawas L. Evaluation of Cognition in the Elderly Rehabilitation Patient, dalam Felsenthal et
al. Rehabilitation of The Aging and Elderly Patient.Williams & Etilkins, 1994,pg 289-294
2. Ham Rl. Sloane : Primary Care Geriatrics, a case based approach. MosbyYear Book,2nd ed.
1992.pg 1 37 -59; 259-307 : 407 -27
3. Burns A. Lawlor Betal, Assessment Scales in Old Age Psychiatry. Martin Dunits l. td, 1999,pg
225-232 .
ACUTE CONFUSIONAL STATE (ACS)/ DELIRIUM

Batasan dan Uraian Umum


Acute confusional state (ACS) atau delirium adalah suatu keadaan seseorang mengalami pengurangan
kemampuan untuk memelihara atensi terhadap stimuli eksterna dan untuk mengalihkan atensi terhadap
stimuli baru. Terdapat juga gangguan proses berfikir, seperti: bicara tak ada arti (meracau), perilaku tak
relevan, atau bicara inkoheren.

Sindroma delirium, terkadang disertai dengan gangguan kesadaran dari ringan sampai berat;
mispersepsi sensori; gangguan siklus tidur-bangun; disorientasi waktu, tempat, orang; gangguan
memori; sehingga mengganggu kemampuan kognisi pasien. Umumnya terjadi secara akut, proses dapat
hilang timbul. Pemulihan dapat terjadi dalam 1 hari atau setelah berhari-hari. Para usia lanjut adalah
kelompok yang rentan terhadap terjadinya delirium, sebagai efek samping dari beberapa kondisi,
seperti efek obat, demam, hypoxia, infeksi, gagal organ (ginjal, hati, paru, jantung) sepsis, infeksi saluran
kemih, nyeri.

Pada usia lanjut tipe delirium lebih sering dalam bentuk tipe hipokinetik-hipoalert dengan gejala :
letargi,kurang respon terhadap stimuli, berbeda dengan usia lebih muda, tipe delirium dalam bentuk
hiperkinetik dan hiperalert.

Kriteria Diagnosis
Menurut Confussion Assessment Method (CAM) :
Diagnosis delirium bila terdapat kriteria 1 dan 2, serta 1 diantara kriteria 3 dan 4:
1. Terdapat perubahan akut pada status perilaku/mental, dan bersifat hilang timbul.
2. Terdapat gangguan memfokuskan atensi, dan tak mampu melakukan penyesuaian terhadap topik
pembicaraan
3. Gangguan mengorganisir pola pikir, dalam bentuk berbicara dan bertindak yang tidak relevan
4. Gangguan kesadaran, termasuk kondisi abnormal seperti: letargi, stupor, hiper/hipokinetik,
hiper/ hipoalert

Anamnesis
 Dilakukan dengan panduan kriteria diagnostik
 Penelusuran tentang penyakit yang sedang diderita dan pengobatan yang sedang dilakukan

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan fisik umum
 Pemeriksaan fisik rehabilitasi medik-fungsional

Pemeriksaan Penunjang
 Proses skrining (penapis)
- Delirium rating scale (DRS)
- Mini mentol state exomination (MMSE)
 Pemeriksaan Electroencephalography(EEG)
 Pemeriksaan CT Scan Kepala
 Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan sesuai indikasi
- Darah lengkap
- Fungsi hepar, fungsi ginjal
- Analisa gas darah
- Glukosa
- Elektrolit

Tujuan Tatalaksana
 Mengobati penyebab
 Menghindari komplikasi dari tirah baring lama
 Meningkatkan kapasitas fungsional
Tatalaksana
 Atasi gejala dan penyebab ACS bekerjasama dengan spesialis terkait
 Program rehabilitasi :
- Prinsip awal : pencegahan efek samping tirah baring lama
- Bila delirium teratasi, lanjutkan rehabilitasi aktifitas fungsi
- Lakukan uji kognisi (MMSE)
- Tetapkan target pencapaian rehabilitasi secara rasional

Pencegahan dan Pendidikan


Pencegahan
 Observasi setiap pasien usia lanjut dengan riwayat demensia dan mempunyai risiko faktor ACS
akibat faktor penyakit.
 Awasi efek samping obat, kurangi obat yang sebabkan delirium
 Deteksi dan intervensi dini
 Rehabilitasi dini untuk cegah sindroma dekondisi
 Nutrisi adekuat

Pendidikan (untuk Keluarga)


 Identifikasi dan observasi pasien, peduli bila ada perubahan perilaku
 lngatkan pasien tentang waktu, tempat, orang dan suasana lingkungan
 Koreksi gangguan visual dan pendengaran
 Pastikan pasien nyaman dan diperhatikan keluarga
 Hindari polifarmasi
 Minimalkan penggunaan obat-obatan sedatif
 Monitor dan koreksi kebutuhan elektrolit
 Mobilisasidini
 Pasien jangan didera, lakukan perawatan manusiawi
 Suasana kamar tenang, lampu redup, musik halus

Daftar Pustaka
1. 1. Kawas L. Evaluation of Cognition in the Elderly Rehabilitation Patient, dalam Felsenthl et al.
Rehabilitation of the Aging and Elderly Patient.Williams & Eilkins, 1994,pg 289-294
2. Ham RJ, Sloane: Primary Care Geriatrics, a case based approach. Mosby Year Book,2nd
ed.1992.pg 137 -59; 259-307 ; 407 -27
3. Burns A, Lawlor Betal, Assessment Scales in Old Age Psychiatry. Martin Dunitz. Ltd, 1999, pg
1-32, pg 225-232.
INSTABILITAS DAN JATUH

Batasan dan Uraian Umum


Jatuh adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak dapat memelihara pergeseran dari pusat gaya gravitasi
terhadap dasar support.

Keseimbangan adalah suatu keadaan dimana tubuh dalam keadaan seimbang, dengan proyeksi pusat
gravitasi berada dalam dasar support dan jumlah dari semua gaya yang ada (resultan) sama dengan 0.

Kontrol postural adalah suatu keadaan (statis dan dinamis) dimana tubuh dapat mempertahankan
keseimbangan dari setiap bagian tubuhnya terhadap perubahan pusat gravitasi dengan energy
expenditure yang minimal.

Keseimbangan statis adalah kemampuan seseorang untuk memelihara keseimbangan pada suatu saat
tertentu untuk beberapa waktu.

Keseimbangan dinamis adalah kemampuan seseorang untuk memelihara keseimbangan pada saat
bergerak.

lnstabilitas, perubahan pola berjalan dan jatuh merupakan kejadian yang sering pada usia lanjut. Jatuh
merupakan penyebab utama morbiditas pada usia lanjut. Kejadian jatuh kemungkinan merupakan petanda
kelemahan pada usia lanjut, dan jatuh merupakan prediktor sekaligus penyebab mortalitas. Hampir
sepertiga populasi usia diatas 65 tahun mengalamijatuh sedikitnya sekali dalam setahun, dan 1 dari 40
memerlukan perawatan di rumah sakit.

Manifestasi Klinis
 Rasa takut jatuh (fear of falling), sehingga menurunkan rasa percaya diri dalam melakukan
aktifitas
 lmobilitas, kelemahan otot, isolasi
 Perubahan gaya berjalan (broad-based gait)
- Langkah yang pendek dan lambat
- Berkurangnya ayunan tangan
- Postur kifosis
- Fleksidari pinggang dan lutut
- Dasar support yang melebar
 Gangguan fungsi lokomosi
 Keragu-raguan dan kekakuan saat akan berputar
 Kesulitan dalam memulailangkah
 Risiko untuk jatuh ke arah depan
 Otot yang rentan menjadi kaku: gastrocnemius dan soleus, tibialis posterior, short hip adductors,
hamstrings, rectus femoris, illiopsoas, tensor fascia latae, piriformis, spinal extensors, quadratus
lumborum, pectoralis major, upper trapezius, levator scapulae, sternocleidomastoid,
suboccipitalis, upper limb flexors.
 Otot yang rentan menjadi lemah: peronei, tibialis anterior, vastus lateralis, gluteals, rectus
abdominis, serratus anterior, rhomboids, lower dan middle trapezius, short, deep cervical flexors,
scalenes, upper limb extensors.

Kriteria Diagnosis
Faktor risiko jatuh :
1. Faktor ekstrinsik
Berhubungan dengan keadaan lingkungan (lantai licin, cahaya kurang, rintangan/undakan,
penggunaan alat bantu gerak)

2. Faktor intrinsik
 Gangguan visual : presbiopia, lapang pandang, pandangan malam hari
 Gangguan saraf : vibrasi, proprioseptif, refleks, fungsi serebral reaction time memanjang
 Gangguan muskuloskeletal: kekakuan, kekuatan otot menurun
 Gangguan kardiovaskular : hipotensi ortostatik
 Gangguan pola jalan : pada fase swing kaki tidak diangkat cukup tinggi, dasar support yang
melebar pada pria tua dan dasar support yang menyempit pada wanita tua
 Gangguan auditori
 Riwayat jatuh sebelumnya
 Penggunaan medikamentosa : psikotropik, polifarmasi
 Penyakit-penyakit lain : demensia, stroke, arthritis, diabetes, gangguan vestibular
 Rasa takut jatuh
 Masalah kaki

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mencari penyebab jatuh yang berhubungan dengan kondisi
kesehatan pasien, baik yang bersifat akut maupun kronis. Beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan
antara lain:

Pemeriksaan Fisik Dilihat ada tidaknya


Tekanan darah postural  Hipotensi ortostatik
Evaluasi status mental  Delirium
 Demensia hipotensi
 Depresi
Pemeriksaan penglihatan  Ketajaman visual
 Katarak
 Glaukoma
 Degenerasi makula
Pemeriksaan neurolgis  Difisit lokal
 Neuropati perifer
 tremor
Pemeriksaan muskuloskeletal  Kelemahan otot
 Artritis
Pemeriksaan kaki  Kelainan kuku
 Deformasi jari kaki
 Kondisi alas kaki
Pemeriksaan kardiologi  Aritmia
 Gangguan katup
 bruit

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan BMD sesuai indikasi.Dilakukan untuk mengurangi factor risiko trauma, seperti fraktur.

Pemeriksaan manuver yang perlu diperiksa untuk dapat menilai ada tidaknya gangguan kontrol balans,
di antaranya:
 Keseimbangan saat duduk
 Berdiri dari kursi
 Keseimbangan berdiri yang cepat (pada 5 detik pertama)
 Keseimbangan berdiri dalam waktu yang lama
 Menahan dorongan didada
 Keseimbangan berdiri saat mata ditutup
 Keseimbangan saat berputar
 Keseimbangan saat hendak duduk

Beberapa hal yang perlu dinilai saat pemeriksaan keseimbangan adalah:


 Lnisiasi berjalan
 Panjang langkah
 Tinggi langkah (apakah kaki menyentuh lantai?)
 Kontinuitas langkah
 Kesimetrisan langkah
 Sikap berjalan
 Banyaknya ayunan badan
 Deviasi langkah

Pemeriksaan skrining mobilitas yang terdiri dari tujuh langkah:


1. Duduk dan beranjak dari kursi
2. Berdiri di tempat selama 10-15 detik setelah beranjak dari kursi
3. Berdiri dengan mata tertutup, tangan berada di samping tubuh, dan kedua kaki berjarak sekitar 3
inci (Uji Romberg)
4. Menjaga keseimbangan saat diberikan beban yang ringan pada sternum
5. Membungkuk ke bawah dan seolah-olah akan meraih sesuatu
6. Berjalan pada garis yang lurus (kurang lebih sepanjang 15 kaki), lalu berputar, dan berjalan
kembali ke tempat semula
7. Bangun dari lantai

Uji fungsional keseimbangan :


1. Berg balance scale
2. Timed up and go test
3. Tinetti POMA
4. Functional Reach Test

Pemeriksaan laboratorlum
Sesuai indikasi :
 Darah Perifer Lengkap (DPL)
 Elektrolit darah

Bila mungkin
 Nitrogen I Kreatinin l Gula Darah
 Vitamin B 12
 Fungsi tiroid

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangirisikojatuh
 Meningkatkan kemampuan berjalan dengan baik dan meningkatkan kepercayaan diri dalam
inisiasi mobilisasi
 Latihan keseimbangan (konvensional atau dengan Balance trainer)
Pengkajian klinis & faktor risiko Terlaksana
 Riwayat jatuh sebelumnya  Modifikasi lingkungan dan aktifitas
untuk
menurunkan kemungkinan jatuh
berulang
 Penggunaan obat  Review dan penggunaan obat diatur
 Obat risiko tinggi (neuroleptik, anti oleh spesialis terkait
konvulsi, antiartimia)
 Polifarmasi
 Vision  Pastikan penerangan cukup dan tidak
 Ketajaman kurang dari20/60 silau
 Persepsi dalam menurun  Hindari pemakaian kaca mata
 Sensitivitas kontras menurun multifokus waktu berjalan
 Katarak  Konsul SpKFR
 Hipotensi ortostatik  Diagnosis dan terapi penyakit yang
mendasari (bila mungkin) oleh
spesialis yang terkait
 Review dan pengurangan jumlah
obat oleh spesialis terkait
 Modifikasi restriksi garam, kalau
perlu rujuk spesialisterkait
 Kecukupan cairan
 Theurapeutic positioning
 Pressure stocking
 Keseimbangan dan pola jalan  Diagnosis dan terapi penyakit yang
 Gangguan keseimbangan (dari mendasari (bila mungkin) oleh
laporan dan observasi) spesialis terkait
 Pemeriksaan get-up and go-test  Meurunkan obat yang menyebabkan
gangguan keseimbangan (bila
mungkin) oleh spesialis terkait
 Modifikasi lingkungan
 Alat bantu jalan kalau perlu
 Latihan untuk keseimbangan secara
progresif
 Status Neurologis  Diagnosis dan terapi penyakit yang
mendasari
 (bila mungkin)
 . Gangguan proprioseptit  lnput proprioseptif (misal sepatu
 . Gangguan fungsi kognisi khusus, hak rendah dan sole tipis)
 . Kekuatan otot menurun  Obat yang mengganggu fungsi
kognisi diturunkan oleh spesial
terkait
 Faktor risiko lingkungan dikurangi
 Latihan berjalan, keseimbangan, dan
penguatan otot
 Tingkatan kewaspadaan pramurawat
tentang penurunan fungsi kognisi
 Status Muskulokeletal  Diagnosis dan terapi penyakit yang
 Sinkop mendasari (bila mungkin)oleh
 Aritma spesialis kulit
 Latihan penguatan otot, latihan
lingkup gerak sendi, latihan berjalan
dan keseimbangan

 Alat bantu jalan


 Alas sepatu yang sesuai
 Evaluasi Rumah Pasca Perawatan  Pindahkan karpet rusak
 Gunakan lampu malam
 Tape anti slip pada undakan
 PeganganTangga
 Dan lain-lain yang diperlukan

Pencegahan dan Pendidikan


 Minimal 1 tahun sekali memeriksa usia lanjut terkait dengan :
- Adakah kejadian jatuh
- Adakah kesulitan/gangguan keseimbangan atau gangguan pola jalan ?
- Minimal melakukan pemeriksaan get-up and go test
 Programlatihanmultidimensional
- Latihan mobilisasi
- Latihan kekuatan resistif progresif
- Latihan fleksibilitas

Edukasi
Edukasi kepada lansia berisiko jatuh & keluarga tentang:
 Perjalanan alamiah multifaktor terjadinya jatuh
 Faktor risiko jatuh yang spesifik
 Intervensi yang disarankan
 Usia lanjut berisiko jatuh yang tinggal sendiri atau lebih banyak menghabiskan waktu sendirian,
harus tahu apa yang harus dilakukan bila jatuh dan tidak dapat bangkit kembali
 Usia lanjut yang sehat belum pernah jatuh, tidak ada laporan atau memperlihatkan
gangguan keseimbangan, disarankan ikut Senam Kesehatan Jasmani (SKJ) lansia atau latihan
sejenisnya (terdapat komponen latihan penguatan otot dan latihan keseimbangan)
 Bila ada gangguan fungsi kognitif disarankan ikut program day-hospital, day care center
 Modifikasi lingkungan rumah
 Bila mungkin dianjurkan pemeriksaan Bone Mas Density (BMD), terutama pada wanita usia 65
tahun atau lebih, lndex Masa Tubuh rendah, riwayat fraktur, perokok

Daftar Pustaka
1. Kane RL, Outslander JG, Abrass lB. lnstability and falls. Dalam : Essential of clinical geriatrics,
2nd ed. NewYork: McGraw HillCo; 1999. h.191-211
2. William Mcllroy, MD. Predicting & Preventing falls. Falls and Mobility Network Meeting.
Sunnybrook & Women's College Health Services Center 2001; November 5:. [Available online at:
http://sunnybrook.ca/research/content/?page=sri_proj_csia_collab_fmn_homel ]
3. Mary E.Tinetti, MD. Preventing Falls in Elderly Patients. Dalam : N. Engl. J. Med. 348;1, January
2,2003.
OSTEOARTRITIS

Batasan dan Uraian Umum


Osteoartritis (OA) merupakan bentuk artritis kronik yang paling sering terjadi dan ditandai dengan adanya
degenerasi kartilago artikular dimana semua komponen kartilage hancur. Osteoartritis merupakan
penyakit degeneratif sendi yang dapat menyebabkan disabilitas kronik. Saat ini, osteoartritis umum
terjadi pada pasien setengah baya dan paling sering mengakibatkan disabilitas pada pasien usia lanjut
diatas 65 tahun.

OA melibatkan semua struktur pada sendi, paling sering terlibat adalah tulang subkondral, cairan
sinovium, dan membran sinovium. Selain itu, OA juga ditandai dengan terjadinya perubahan tulang
hipertrofik; osteofit, remodeling tulang subkondral, dan pada kebanyakan kasus, inflamasi kronik dari
membran sinovium. Sendi yang terlibat biasanya sendi-sendi penopang berat badan, seperti tulang
panggul, lutut, sendi- sendi interfalang distal dan proksimal, dan persendian pada tulang belakang.

OA diklasifikasikan menjadi OA primer dan sekunder. OA primer umumnya tidak memiliki etiologi
yang jelas dan biasanya berhubungan dengan usia dan faktor mekanik dimana terjadi stress mekanikal
yang repetitif pada sendi normal, gejala dapat lokal ataupun sistemik. OA sekunder memiliki penyebab
yang dapat diketahui, seperti trauma inflamasi, metabolik, developmental, atau penyakit jaringan ikat.
Faktol risiko meliputi usia lanjut, obesitas, densitas tulang, dan faktor genetik.

Manifestasi Klinis
Gejala pada sendi yang dirasakan dapat berupa:
 Nyeri
 Kekakuan di pagi hari kurang dari 30 menit
 Berkurangnya lingkup gerak sendi
 Bengkak

Gejala-gejala ini dapat diperberat dengan aktifitas dan berkurang dengan istirahat. Jika nyeri terjadi saat
istirahat atau di malam hari, kemungkinan osteoartritis sudah menjadi berat atau sebagai petanda adanya
penyakit lain.

Gejala penyerta lainnya berupa:


 Krepitus saat digerakkan
 Bengkak akibat deformitas tulang (seperti osteofit) atau akumulasi cairan sinovium
 Tanpa gejala sistemik
 Sendi tiba-tiba tidak dapat digerakkan (locking)
 Spasme pada otot periartikular
 Fatigue
 Nyeri otot lain dari sistem muskuloskeletal (oleh karena penggunaan grup otot alternatif )

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sendi
 lnspeksidan Palpasi
- Pembesaran/penonjolan tulang
- Misalignment
- Tanda-tanda inflamasi
- Suhu kulit lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya
- Pembengkakan jaringan lunak
- Efusi sendi
 Uji Lingkup Gerak Sendi
 Berkurangnya ruang lingkup sendi
 Locking saat ROM
 Krepitus
 Nyeri
Pemeriksaan neuromuskular
 lnspeksidan Palpasi
- Atrofi otot periartikular
- Tanda-tanda inflamasi
 Uji kekuatan otot pada sendi terkait
 Uji Trendelenburg
- Kelemahan pada otot abduktor panggul
 Uji keseimbangan
 Uji ketahanan otot
 Uji Kardiorespirasi
 Uji Aktifitas fungsional

Pemeriksaan Penunjang
 Foto Rontgen untuk konfirmasi diagnosis
- Penipisan ruang sendiyang asimetris
- Osteofit pada margin sendi
- Sklerosis kortikal
- Pembentukan kista subkondral
 Magnetic Resonance lmoging (MRl) untuk menyingkirkan osteonekrosis awal jika OA tidak
terlihat pada foto rontgen pada kasus nyeri sendi
 Analisa cairan sendi
- Untuk menyingkirkan penyakit deposisi kristal (seperti gout, pseudogout), artritis
inflamatorik, atau artritis infeksiosa
- Hitung leukosit biasanya kurang dari 2000 sel/mm3
- Jika eritrosit meningkat tinggi, curiga polimyalgia reumatika, penyakit inflamatorik lainnya,
keganasan, atau infeksi yang tidak jelas penyebabnya

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan American College of Rheumatology, kriteria diagnosis untuk OA lutut adalah:
 Tanda klinis dan hasil laboratorium
- Nyeri lutut dengan paling sedikit 5 dari 9 kriteria berikut:
o Usia lebih dari 50 tahun
o Kekakuan kurang dari 30 menit
o Krepitus
o Nyeritulang
o Pembesaran tulang
o Suhu kulit tidak hangat o Laju endap darah (LED) kurang dari40mm/jam
o Faktor rematoid kurang dari 1,40
o Analisa cairan sendidengan tanda-tanda OA
 Tanda klinis dan hasil radiologi
- Nyeri lutut dengan osteofit pada radiograf, dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria berikut:
o Usia lebih dari 50 tahun
o Kekakuan kurang dari 30 menit
o Krepitus

Berdasarkan American College of Rheumatology, kriteria diagnosis untuk OA panggul adalah:


 Nyeri panggul disertai dengan:
- Rotasi internal panggul 15 derajat atau lebih, nyeri saat rotasi internal, kekakuan di pagi hari
pada panggul kurang dari sama dengan 60 menit, usia lebih dari 50 tahun, atau
- Rotasi internal panggul kurang dari 15 derajat, LED kurang dari sama dengan 45 mm/jam. Jika
LED tidak dilakukan, diganti dengan fleksi hip kurang dari sama dengan 115 derajat

Atau

 Nyeri panggul, disertaidengan 2 dari kriteria berikut:


- Osteofit(femoral atau asetabular)
- Penyempitan ruang antar sendi (superior, aksial, dan/atau medial)
- LED kurang dari20 mm/jam

Berdasarkan American College of Rheumatologn kriteria diagnosis untuk OA tangan adatah jika
pada pemeriksaan fisik, terdapat:
 Pembesaran jaringan padat pada 2 dari 10 sendi-sendi tertentu
 Pembengkakan di kurang dari3 sendi Metacarpophalangeal (MCP)
 Pembesaran jaringan padat pada setidaknya 2 sendi Distal interphalang (DlP). Jika sendi DIP
yang terlibat kurang dari 2, maka deformitas pada sekurang-kurangnya 1 dari 10 sendi tersebut
wajib ada untuk bisa menyimpulkan bahwa gejala disebabkan oleh OA

Tujuan Tatalaksana
 Mencegah toksisitas obat
 Mengurangi disabilitas fisik
 Mengurangi nyeridan gejala lainnya
 Memaksimalkan fungsifisik dan penyesuaian psikososial

Tatalaksana
Awal
4 Prinsip utama Tatalaksana OA:
 Menghindaritoksisitasdariobat
 Membatasi disabilitas fisik
 Menghilangkan nyeridan gejala lainnya
- Obat-obatan lini pertama mencakup:
o Asetaminofen
o Obat-obat anti-inflamatorik nonsteroid
Obat-obatan lainnya:
o Capsaicin topikal
o Non-steroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)t opikal
o Kondroitin dan glukosamin
 Memaksimalkan fungsi fisik dan penyesuaian psikososial

Rehabilitas
Rehabilitasi pada pasien geriatri dengan OA merupakan upaya dalam mengembalikan dan
mengoptimalkan fungsi yang tersisa untuk dapat mengurang keterbatasan fungsional yang disebabkan
oleh OA. Keterbatasan fungsional tersebut dapat meliputi; kesulitan dan melambatnya kecepatan berjalan,
kesulitan dalam menaiki tangga, transfer, meggunakan kamar mandi, mengenakan sepatu, dan lain-lain
terkait dengan mobilisasi.

Pendekatan rehabilitatif yang komprehensif menekankan pada:


 Tindakan preventif dan tatalaksana nyeri serta disabilita melalui konseling
 Edukasi
 Anjuran penurunan berat badan
 Latihan
 Penggunaan alat bantu
 Modalitas superfisial (terapi panas dan dingin)

A. Latihan fisikdan adaptasi lingkungan sekitar


 Program pelenturan (stretching) dan latihan ROM yang diawali dengan terapi panas akan sangat
membantu
 Pemberian ice packs (terapi dingin) sesudah exercise dapat mengurangi nyeri
 Edukasi dalam penggunaan terapi dingin dan panas
 Latihan gaya berjalan dan transfer
 Latihan kekuatan otot
 Exercise aerobik dan resistan, kekuatan secara dinamik dan statik
 Penggunaan alat bantu untuk ambulasi
 Latihan untuk tehnik konservasi energi
 Latihan Aktifitas kehidupan sehari_hari (AKS)
 Latihan penggunaan alat bantu untuk makan, berhias, berpakaian, dan aktifitas sehari-hari
lainnya

B. lntervensi ortotik
 Penggunaan sepatu yang menyelaraskan tinggi kaki
 oBracing,taping, dan lain-lain

Prosedural
 Injeksi asam hiuluronat intra-artikular setiap minggu selama 3-5 minggu, dan dapat diulang
sebanyak 2-4 kali setiap tahun.

Tindakan bedah
 Konsultasi kepada dokter spesialis ortopedi untuk risiko dan keuntungan pembedahan

Pencegahan dan pendidikan


Faktor risiko osteoartritis adalah sebagai berikut:
 Usia lanjut
 Obesitas
 Aktifitas fisik yang mengakibatkan mikrofraktur repetitif
 Trauma
 Abnormalitas struktural kongenital

Pencegahan osteoartritis dituiukan untuk mengurangi/menghindari trauma pada sendi yang bersifat
repetitif.
 Menjaga berat badan ideal
 Olah raga teratur yang tidak membebani sendi, seperti berenang, bersepeda statis, tai chi
 Lindungi sendi: postur tubuh seimbang dan gerak mekanik tubuh yang sesuai
 Hindari stress berlebihan dan repetitif pada sendi
 Mengerti bahasa tubuh "NYERl"
 Hindari cedera pada sendi

Daftar Pustaka
1. Wilkins AN, Phillips EM. Osteoarthritis. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD. Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation. Muskuloskeletal Disorders, Pain, and Rehabilitation.2nd
ed. Philadelphia: Saunders 2008. p7a5-53
2. Stitik TB Foye PM, Stiska! D Nakser RR. Chapter 32. Osteoarthritis. ln: Delisa JA, Gans BM,
Walsh NE, BockenekWL, FronteralWR, Geiringer SR. Physical Medicine & Rehabilitation:
Principles and Practice.4th ed. Lippincott Williams & Wilkins 2005.
3. ShielWC, Stoppler MC. Osteoarthritis (OA or Degenerative Arthritis). MedicineNet.com
2011l; November 1 8:. [Available at http://www.medicinenet.com/osteoarthritis.htm].
4. Eustice C. 6 Tips for Osteoarthritis Prevention. About.com Guide 2010; November 20:.
[Available at http://osteoarthritis.about.com/od/jointprotection/a/OA-prevention.html].
GANGGUAN FUNGSI BERKEMIH

Batasan dan Uraian Umum


lnkontinensia urin (lU) merupakan salah satu masalah yang paling sering dihadapi oleh pasien usia
lanjut. lnkontinensia urin diartikan dengan keluhan yang dirasakan pasien berupa keluarnya urin tanpa
disengaja, tidak terkontrol. Walaupun lU sering dialami baik pada pasien geriatri laki-laki dan
perempuan, namun pasien geriatri perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami lU. Setelah
usia 65 tahun, sekitar 10% pria dan 20% wanita mengalami lU. Beberapa penyebab umum dari lU
adalah infeksi, kelemahan otot- otot yang menyangga kandung kemih, kelemahan otot dari kandung
kemih itu sendiri, gangguan saraf, delirium, obat-obatan, terapi bedah atau terapi radiasi pada struktur
pelvis, dan penyakit lainnya seperti penyakit jantung, diabetes.

lnternational Continence Society telah mengklasifikasikan tiga tipe inkontinensia: lU stres, lU urge,
dan lU campuran. lU stres merupakan keluarnya urin secara tidak sengaja yang terjadi akibat adanya
dorongan atau upaya, atau pada saat batuk atau bersin.lU urge diartikan dengan keluarnya urine secara
tidak sengaja yang disertai dengan atau segera setelah didahului urgensi. lU campuran merupakan
keluarnya urine secara tidak sengaja baik karena adanya dorongan ataupun batuk, bersin serta urgensi.
Satu lagi type inkontinensia, yaitu inkontinensia overflow, yaitu suatu tipe inkontinensia karena
kandung kemih penuh, melebihi kapasitas volume kandung kemih, sehingga terjadi "kebocoran".

Manifestasi Klinis
 lU urge
Saat pasien diminta untuk batuk, pasien tidak langsung pada saat itu juga mengalami inkontinensia,
seperti pada lU stres, melainkan inkontinensia terjadi sekitar 10-15 menit setelah batuk oleh karena
kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol. Urin dapat keluar pada saat pasien duduk,
berbaring, atau tidur (bertolak belakang dengan lU stres).

 lU stres
Kebocoran urin terjadi bersamaan dengan meningkatnya tekanan intraabdomen oleh karena
batuk, bersin, tertawa atau saat berolah-raga. Gejala dapat jarang timbul dan biasanya volume urin
yang keluar hanya sedikit.

 lU Campuran
Gejala yang muncul dapat berasaldari lU stres maupun lU urge.

 lU Overflow
Diawali dengan retensio urin yang disusuldengan keluarnya urin tanpa terkontrol. Sering terjadi
pada penyakit susunan syaraf pusat, cedera medula spinalis ataupun sumbatan uretra, misalnya pada
hipertrofi prostat.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik terdiri dari:


 Pemeriksaan umum
 Pemeriksaan abdomen
 Pemeriksaan neurologis
- Sensorik: inervasi lumbosakral
- Motorik: inervasi lumbosakral
- Refleks: refleks sakru m, refleks bulbo-kavernosus
 Pemeriksaan otot dasar panggul
- Observasi:
o Bersifat kualitatif dan subjektif
o Deteksi adanya gerakan area anal ke arah proksimal, dinding posterior vagina
terangkat,introitus vagina menyempit, penis/scrotum bergerak ke proksimal

- Pemeriksaan:
o Pengukuran kekuatan otot dasar panggul metode digital
o Memeriksa tekanan, displacement, dan durasi kekuatan kontraksiotot dasar panggul,
menggunakan biofeedback
 Uji batuk
- Untuk mendeteksi IU stres

Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis
Untuk menyingkirkan adanya infeksl, hematuria atau glukosuria
 Perineometer
o Mengukur perubahan manometrik tekanan vaginal/anal, dideteksi oleh sensor probe
o Sensitifitas tergantung alat
o Diukur kekuatan dan durasi kontraksi
o Berguna untuk diagnostik dan terapi (biofeedback)
o Pengaruh tekanan otot abdominal sulit disingkirkan
 Biofeedback
o Terdiri dari: pressure dan EMG biofeedback
o Biofeedbock bermakna mendukung proses edukasi, motivasi, dan kepatuhan pasien
 Catatan Harian Berkemih

Tujuan Tatalaksana
 Meningkatkan kekuatan otot dasar panggul
 Kemampuan miksi dengan pola normal
 Mengobati penyakit yang mendasari
 Mengurangi penggunaan garmen inkontinensia atau pad
 Mengurangifrekuensi berkemih, menjadifrekuensi normal,8 kali berkemih per hari

Tatalaksana
 Meningkatkan kapasitas kandung kemih
 Meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan mengenaitanda-tanda kandung kemih yang penuh
 Meningkakan kemampuan dalam merespon kontraksi kandung kemih dengan cara
menggunakan otot spingter luar untuk menahan keluarnya urin (melalui latihan otot dasar
panggul)

Beberapa contoh terapi perilaku untuk lnkontinensia Urin


Prosedur Tipe inkoninensia
Patient - dependent
 Exercise kegel Stres dan urge
 Bladder training Stres dan urge
 Vaginalweight cone Stres dan urge
theropy
Coregiver - depend urge
- Toileting terjadwal urge
- Latihan habit urge, stres, campuran
- Prompted voiding

Pencegahan dan Pendidikan


 Latihan kekuatan otot dasar panggul dengan cara yang benar, teratur dan rutin
 Diet dengan menghindari makanan/minuman yang dapat memicu buang air kecil
 Memodifikasi aktifitas sehari-hari untuk dapat mengkontrol kegiatan berkemih
 Pengertian kepada pasien bahwa keberhasilan terapi dapat terjamin bila:
- Latihan dilakukan secara benar pada otot yang benar
- Latihan dilakukan teratur, sesuai dosis yang ditentukan
- Praktekkan kontraksi otot pada aktifitas sehari-hari, pada kondisi dimana diperlukan otot
dasar panggu lyang kuat. Misalnya saat angkat barang, saat mendorong, saat batuk, bersin,
dan lain-lain
- Tetap kontraksi otot secara periodik, walaupun bukan hari latihan
Daftar Pustaka
1. Newman DK Evaluating lncontinence,File://A:\evaluating lnconitnense.htm Last updated may
1999, pg 1-6
2. Dorothy BD. Urinary& Fecal lncontinence, Nursing Management, Mosby 2nd 2000,pg72-103
3. Bo K. Conservative Mangement in women dalam Abrmas P, Khoury S, Wein Alan. lncontinence
l st inti. Consultation on lncontinence, Monaco 1998, pg 581-99
4. Widodo SM; Efektifitas Latihan otot dasar panggul pada wanita dengan stress lnkontinensia urin.
Proposal Penelitian PSIRM, 2001
5. lncontinence, Booklet by Krames Communication, Canada, 1987
6. Johnson TM, Ouslander JG. lncontinence. ln: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S,
High Kp, and Asthan a 5. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New
York:The McGraw-Hill 2009; pg7l7-30.
7. Perkash l, Friedland GW. Urologic Disorders. ln: Felsenthal G, Garrison SJ, Steinberg FU.
Rehabilitation of the Aging and Elderly Patient. Baltimore: Williams & Wilkins 1994; pg295-302.
PERAWATAN PALIATIF PASIEN GERIATRI

Batasan dan Uraian Umum


Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mendefinisikan perawatan paliatif sebagai berikut.
"Semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita, terutama yang tak mungkin disembuhkan.
Tindakan aktif yang dimaksud antara lain meng-hilangkan nyeri dan keluhan Lain, serta mengupayakan
perbaikan dalam aspek psikologis, sosial, dan spiritual. Tujuan perawatan paliatif ialah men-capai
kualitas hidup maksimal bagi penderita dan keluarga. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan bagi
penderita menjelang akhir hayatnya, na-mun sudah dimulai segera setelah diagnosis penyakit (seperti
kanker) di- tegakkan, dan dilaksanakan bersama dengan pengobatan kuratif".
Lebih lanjut lagi, Organisasi Kesehatan Dunia menekankan bahwa pelayanan paliatif berpijak pada pola
dasar berikut ini:
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai pro-ses yang normal.
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritua!.
5. Mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Mengusahakan membantu mengatasi suasana duka cita pada ke-luarga.

Tatalaksana rehabilitasi juga termasuk di dalam perawatan paliatif dimana rehabilitasi membantu
pasien untuk dapat menjalani sisa hidupnya dengan potensi semakimal mungkin dalam hal fisilk
psikologis, sosialdan spiritual.

Model Terintegrasi dari perawatan paliatif

Manifestasi Klinis
 Anoreksia/kaheksia
 Ansietas
 Konstipasi
 Delirium
 Depresi
 Dispneu
 Kelelahan
 Mual
 Nyeri

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan tanda vital
 Pemeriksaan umum
- Status nutrisi (pengukuran lndex Masa Tubuh)
- Mata
- Mulut, gigi geligi
- Telinga Hidung Tenggorokan (adanya infeksi, serumen)
- Leher
- Jantung
- Paru
- Abdomen
- Ekstremitas
 Pemeriksaan khusus
- Pemeriksaanneurologis
- Pemeriksaanmuskuloskeletal
- Status lokalis (bila dicurigai terdapat trauma, deformitas atau kelainan lokalis lainnya)
- Dan lain-lain yang terkait
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah tepi lengkap dengan hitung jenis, urinalisis, gula darah
puasa dan sewaktu, fungsi ginjal, fungsi hati, albumin, elektrolit, dan lain-lain disesuaikan dengan
kasus
 Rontgen Toraks
 Visuol Analogue Scale (VAS)
 Barthel Index
 Penilaian kualitas hidup dengan Skala MOS 36, Sickness lmpact Profile (SlP), dan lain-lain

Tujuan Tatalaksana
 Mengurangi nyeri dan gejala lainnya
 Meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
 Mempertahankan independensi
 Pasien dapat hidup dalam kenyamanan dan dengan martabat yang tinggi sepanjang sisa hidupnya

Tatalaksana
Tatalaksana medis umum :
(Bekerja sama dengan sejawat spesialis penyakit dalam)
 Atasi kondisi gawat-darurat sebagai prioritas apabila didapatkan
 Oksigenasi atas indikasi (mulai dari kanulasi hingga bantuan ventilator mekanik, disesuaikan
dengan kondisi pasien)
 Pemberian cairan intravena diikutidengan pemantauan balans caian ketat (target seimbang setiap
harinya)
 Nutrisi (Kebutuhan kalori dihitung untuk masing-masing pasien. Suplementasi nutrisi diprioritaskan
per oral, bila terdapat inadekuasi dapat diberikan per enteral atau kombinasi parenteral)
 Dukungan psikoterapi (bekerja sama dengan sejawat spesialis psikiatri)
 Mobilisasi bertahap
 Analgetik atas indikasi

Tatalaksana medis khusus :


Terapi medikamentosa lainnya disesuaikan kasus per kasus, bekerja sama dengan sejawat spesialis dari
departemen terkait.

Tatalaksana dukungan mental, sosial, spiritual oleh psikolog, psikiater, pekerja sosial, rohaniawan, dan
lainnya.

Pendidikan
Edukasi pada pasien dan keluarga dapat meliputi:
 Prospek biologis pasien yang dapat digunakan semaksimal mungkin
 Tujuan dan keuntungan dari setiap terapi yang dilakukan
 Efek samping dari terapi
 Edukasi kepada keluarga dan kerabat pasien untuk selalu memberikan dukungan mental, sosial dan
spiritual
 Menegaskan dan memberikan pengertian dan pemahaman yang baik kepada pasien dan keluarga
bahwa kematian merupakan proses yang alami

Daftar Pustaka
1. Chevile AL. Palliative Care. ln: Delisa JA, Gans BM, Walsh NE, Bockenek WL, Frontera WR,
Geiringer SR, et al. Physical Medicine & Rehabilitation: Principles and Practice. 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins 2005; 531 -556.
2. Chun A, Morrison RS. Palliative Care. ln: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High
KB and Asthana S. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: The
McGraw-Hill 2009; 373-383.

Anda mungkin juga menyukai