Klasifikasi
Diklasifikasi berdasarkan tingkat keparahan dan mekanisme trauma.
Keterangan:
Gejala
Gejala tergantung tipe traumatik brain injury dan bagian o tak yang terkena, gejala dapat
bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan cedera dantahap pemulihan.
Anamnesa mmencakup proses terjadinya cedera, penyakit komorbid, GCS awal, lama koma
dan lamanya
terjadi amnesia. Jika terjadi penurunan fungsi , evaluasi mengenai metabolisme seperti
enfeksi, efek
samping obat, status nutrisi termasuk hidrasi dan oksigen.
Pada pasien dengan cedera otak, setelah fase akut teratasi, evaluasi cedera pada nervus kranialis
gangguan
pengelihatan, gangguan gerakan bola mata, evaluasi kejang, vertigo dan perubahan sensibilitas
baik pada wajah dan tubuh, gangguan motorik seperti sepertiparese/plegi, kontaktur, spastisitas
maupun gangguan gerak lainnya. Gejala dysautonom seperti peningkatan suhu tubuh, takikardi,
takipneu, peningkatan tonus dan keringat yang berlebihan.
Gejala yang sering mucul terakhir antara lain defisit memori,sakit
kepala,depresi,kelelahan,gangguan tidur
gangguan control motorik halus dan kasar,dll.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis termasuk evaluasi neuropsikologi, Rancho Los Amigos Cognitive Scale,
status mental, MMSE, fungsi nervus kranialis, penlihatan, pendengaran, reflex fisiologis dan
patologis, kekuatan otot, tonus ,
koordinasi, keseimbangan, analisa pola jalan, dan mobilisasi lainnya termasuk kursi roda bila
diperlukan.
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang : CT-scan, MRI, Foto rontgen
Alat penilaian fungsi :
- GCS
- Glasgow Outcome Scale or the Disability Rating Scale
- Rancho Los Amigos Cognitive Scale
Penilaian neuropsikologis : kognisi, afektif, fungsi emosional
Terapi Rehabilitas
Terapi rehabilitas diberikan saat rawat inab baik saat stadium akut dan pemulihan. Pada stadium
pemulihan
dimana kondisi medis dan neurologis sudah stabil, diberikan rehabilitas aktif.
Stimulasi koma dapat diberikan pada skala II-III dari Racho Los Amigos Cognitive Scale. Dan
dilanjutkan dengan cognitive behavior rehabilitation sesuai tahapan.
Rehabilitasi fungsi kognitif
Meliputi pengambilan fungsi yang mengalami impairmen, dan meningkatkan kompensasi
dari area yang
mengalami defisit melalui training, atau latihan meliputi atensi, memori, dan konsentrasi
dari sistem kognisi dan berbagai proses daya piker lain.
Dilakukan evaluasi fungsi menelan bilamana ditemukan disfagia
Rehabilitasi kemampuan wicara
Ditunjukan kepada pasien dengan gangguan komunikasi baik berbahasa, berbicara.
Rehabilitasi fungsi motorik
Memperbaiki lingkup gerak sendi ditunjukan untuk pemeliharaan sendi saat kekuatan otot menurun
atau peningkatan tonus otot (spastik), latihan transper dan ambulasi, latihan penggunaan wheelchair
pada pasien dengan keterbatasan mobilisasi.
Rehabilitai kemampuan ADL
Evaluasi dan latihan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari seperti memakai baju, mandi, dll, termasuk
Penilaian fungsi.
Evaluasi cacat dan evaluasi kembali kerja
Rehabilitasi vokasional
Diberikan kepada pasien yang mengalami kesulitan untuk kembali ke pekerjaan semula sehingga
dibutuhkan konseling untuk membantu menentukan pekerjaan sesuai ketrampilan.
Komplikasi
1. Akibat penurunan kesadaran dapat terjadi :
Locket in syndrome, persistent vegetative state, brain dead
2. Gangguan kognisi
- Post traumatic amnesia (memory loss)
- Gangguan atensi
- Gangguan berpikir
- Gangguan insight
- Gangguan judgment
- Distraksi
- Gangguan fungsi eksekutif seperti pemahaman abstrak, perencanaan, problem solving,
dan multy
tasking.
3. Gangguan komunikasi
4. Defisit sistem sensibilitas baik pengelihatan , pendengaran, penciuman, pengecapan dan
perabaan
5. Gangguan emosi dan perilaku
6. Gangguan fisik
- Deep venous thrombosis
- Emboli paru
- Kejang paksa trauma, epelipsi paksa trauma
- Nyeri kepala
- Sindroma Parkinson dan gangguan gerak lainnya
- Fraktor tulang tengkorak
- Hidrosefalus paksa traumatic
- Gangguan keseimbangan hormonal dan cairan: SIADH dan hipotiroid
- Gangguan menelan aspirasi dan pneumonia malnutrisi dan dehidrasi
- Sleep apneu
Cedera Medula Spinalis
(Spinal Cord Injury – SCI)
Definisi :
Kerusakan medulla spinalis akibat trauma atau penyakit, dapat bersifat komplit atau parsial
(inkomplit)
dapat disertai atau tanpa fraktur tulang belakang yang menyebabkan gangguan system saraf
sensorik,
motorik dan otonom tergantung level kerusakan medulla spinalis dan radiks sehingga
menimbulkan
gangguan fungsional (disabilitas) dan handicap pada penderitanya.
Klasifikasi
Cedera medulla spinalis diklasifikasi dalam 5 kategori dari ASIA Impairment Scale
- A bila terjadi lesi komplit : tidak ditemukan fungsi motorik atau sensorik pada
segmen sacral S4-S5
- B bila terjadi lesi inkomplit : hanya sensorik tanpa fungsi motorik dibawah level
neurologi dan termasuk
- C Inkomplit : fungsi motorik dibawah level neurologis dan lebih dar
setengah otot dibawah level neurologis memiliki kekuatan
otot <3
- D inkomplit : fungsi motorik dibawah level neurologis , dan kurang lebih
dari otot di bawah level neorologis dengan kekuatan 3
atau lebih
- E Normal : fungsi sensorik dan motorik normal
Klasifikasi ini berbasis dermatom bagi pemeriksaan sensibilitas dan miotom bagi C5,
C6,C7,T1,L2,L3,L4
L5 dan S1
Gejala dari cedera medulla spinalis tergantung pada level kerusakan medulla spinalis.
1. Servikal
Kerusakan fungsi motorik dan sensorik setinggi segmen servikal mengakibatkan
kerusakan fungsi
pada lengan, batang tubuh, anggota gerak bawah. Dapat terjadi kerusakan sensorimotor diluar kanalis
spinalis, seperti lesi pleksus brachialis, trauma saraf perifer.
Cedera pada C1 /C2 sering kal menghasilkan hilangnya kemampuan bernafas, diperlukannya
ventilator mekanik atau phrenic nerve pacing.
Cedera C3 dan diatasnya : biasanya mengakibatkan hilangnya fungsi diafragma, membutuhkan
bantuan ventilator.
C4: hilangnya fungsi significan bisep dan bahu
C5: hilangnya fungsi bisep, bahu, dan complete lossdari fungsi pergelangan dan tangan
C6: kemampuan control pergelangan terbatas, dan complete loss fungsi tangan
C7 dan T1: kekakuan pada tangan dan jari, tapi masih dapat mengerakan bahu namun terbatas.
Pasien dengan trauma complete di atas C7 biasanya tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-hari.
2. Torakal:
Kerusakan setinggi segmen toraks, paling sering terjadi setinggi T12, mengakibatkan paralisis atau
Paraplegia, tidak hanya mempengaruhi ekstremitas bawah tetapi juga otot-otot abdomen bagian atas
dan bawah.
T1-T8 : hilangnya kemampuan control
T9-T12 : hilangnya sebagian otot tungkai dan abdomen
Lesi diatas level T6 medula spinalis dapat menyebabkan autonomic dysreflexia
3. Lumbosakral:
Kerusakan fungsi motor dan sensori pada medula spinalis segmen lumbal atau sakral. Terdapat
Kerusakan pada kaki dan organ pelvik, sedangkan fungsi lengan dan batangtubuh diatasnya masih
Baik.
Fungsi difekasi dan berkemih diatur oleh region sacralis pada medula spinalis. Gangguan fungsi
defekasi dan berkemih termasuk infeksi dan inkontinesia anal sering kali dilaporkan pada cedera
trauma.
Fungsi seksual juga berhubungan dengan bagian sacral dan sering kali terganggu setelah trauma.
Lesi pada serat saraf descending pada level S2-S4 berpotensial mengakibatkan hilangnya
kemampuan ereksi.
Entiologi:
Trauma : Kecelakaan lalu lintas , jatuh, trauma akibat kekerasan, dan kecelakaan olahraga
Non trauma : Neoplasma(lihat tumor medulla spinalis),infeksi, inflamasi,vaskular,proses degenerasi
tulang belakang(spondilosis), congenital, intervertebral disease, spinal cord vascuraldisease,gangguan
toxic-metabolic, defisiensi nutrisi, radiasi, multiple sklerosis, neuromielitis optika.
Anamnesa:
Adanya kelemahan otot, kerusakan sensori dan otonomik(bladder,bowel dan disfungsi seksual), anamnesa
mengenai penyebab cedera, mekanisme cedera, onset, cara tranportasi, pertolongan pertama, kondisi fisik
sebelum cedera.
Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan fisik secara umum
Tanda-tanda vital
Pemeriksaan khusus:
- Muskuloskeletal : Level skeletal (pada tulang belakang), cedera skeletal lain
- Neurologis : level neurologis, klasifikasi AIS (ASIA impairment Scale)
- Pemeriksaan Lain : Sistem otonomik, kardiorespirasi, gastrointestinal, genitourinaria
Pemeriksaan Fungsional : alat ukur yang mengevaluasi status fungsionalpasien selama proses
rehabilitasi adalah FIM(Functional Independence Mearsure).Alat ukur ini mengukur derajat disabilitas
yang terdiri dari 18 katagore, focus pada fungsi motorik dan kognitif. Setiap katagori dinilai pada
nominal 7,1 adalah tergantung total, 7adalah mandiri. FIM juga merupakan penilaian luaran (outcome)
Pemeriksaan Penunjang:
Labortorium darah danurin rutin
Pemeriksaan fungsi ginjal : ureum, creatinin , urinanalisa, BNO-IVP
Radiologi : rontgen tulangbelakang, CT-Scan, MRI, USG
Elektrofisiologi I : SSEP, Elektroneuromiodiagnostik
Pemeriksaan urodinamik
Uji latih kardiorespirasi
Penulisan Diagnosa :
Cedera Medulla Spinalis komplit/inkomplit dengan atau tanpa fraktur kompresi/dislokasi/burst vertebra ..
atau Contusio Medulla Spinalis dengan level sensorik/ neurologis setinggi …(level cedera)…, klasifikasi
AIS A/B/C/D/E DENGAN :
Gangguan mobilisasi/ambulasi akibat tetraplegi/paraplegi
Gangguan fungsi repreasi
Gangguan dalam aktivitas sehari-hari
Gangguan berkemih/defekasi
Gangguan fungsi seksual
Fase Akut
Dilaksanakan dalam rawat inap, lebih diutamakan pada penatalaksanaan medis
danbedah.Tujuan
Rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit neurologis dan mencegah
komplikasi tirah
baring.
Program :
Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronchial
Mencegah dekubitus
Mencegah komplikasi kardiovakuler
Mencegah kontraktor dan deformitas
Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius
Fase Pemulihan
Dilaksanakan dalam rawat inap, merupakan rehabilitasi aktif. Tujuan rehabilitasi untuk
mengatasimasalah disabilitas ndan nhandicap yang ditimbulkan akibat cedera, memaksimalkan
fungsi yang adauntuk kemandirian, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah
komplikasi sekunder.
Program :
Terapi latihan mobilisasi dan transfer
Pemberian ortosis sesuai level skeletal dan level medula spinalis (baik ortosis spinal,
tungkai danspilnt tangan) dan fiksasi internal
Terapi latihan persiapanmo bilisasi dan ambulasi , jalan dengan atau tanpa ortosis,
dengan atau
Tanpa kursi roda sesuai level neurologis dan level kemandirian
Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
Terapi latihan perawatan diri
Terapi latihan control miksi dan defekasi
Mencegah komplikasi : pulmoner, kardiovaskular, gastrointestinal, traktus urinarius,
integritas kulit,HO, spastisitas, nyeri, osteoporosis, automatic dysrefleksia, nyeri
Psikososial, seksual and family planning
Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
Terapi supportif (kelompok)
Fase Lanjut
Saat rawat jalan, seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap. Tujuan
rehabilitasi untuk
meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan kemampuan fungsional dan memiliki
prodotivitassesuai kemampuan.
Program rehabilitasi :
Evaluasi medikamentosa
- Evaluasi medikamentosa
- Laboratorium rutin
- USG
- BNO-IVP
- Foto thoraks
Resosialisasi
Rujukan untuk vocational training
Rujukan spesialis lain yang perlu
Konseling keluarga
Panti sosial binadaksa
Cedera Pleksus Brakialis
Batasan
Merupakan lesi pada pleksus brakialis mulai dari C5-C8 dan T1 baik akibat truma dan non truma yang
mengenai anggota gerak atas mulai dari bahu, punggung, dada, lengan dan jari-jari.
Anatomi
Pleksus brakialis disusun oleh gabungan rami anterior dar empat terakhir akar saraf cervikal dan akar saraf
thorakal pertama. Sering juga mendapat konstribusi dari akar saraf C4-C5(disebut prefixed)atau bisa juga,
walaupun jarang,dari akar saraf T2-T1(disebut postfixed).Berurutan hingga ke dstal, plekus brakialis terdiri
dari trunk, divisions, cords, dan terakhir, saraf perifer.Kelima segmen akar saraf membentuk tiga trunk,atas
(C5-C6) tengah (C7) dan bawah (C8-T1). Setiap trunk terbagimenjadi divisi anterior dan posterior Setiap
divisi anterior dan trunk atas dan tengah, bersatu membentuk cord lateral; divisi anterior dari trunk bawah
membentuk cord medial; dan divisi posterior dari ketiga trunk membentuk cord posterior. Sebagian besar
saraf perifer berasal dari pleksus yang dibentuk oleh ketiga cord. Kecuali nervus long thoracic dan nervus
dorsal scapular yang merupakan percabangan lansung dari spinal roots dan mempersarafi otot sekitar
skapula. Satu-satunya saraf yang langsung berasal dari trung adala nervus suprascapular (C5-C6).
Uraian Umum
Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Compressive brachial plexus neuropaty(CBPN) adalah tipe yang biasa disebut thoracic outlet
syndrome
(TOS), yaitu neuropati atau vaskulopati kompresi yang mengenai pleksus brakialis dan pembuluh
darah
Subklavia.
2. Brachial plexus traction injury (BPTI), merupakan truma tarikan pada pleksus brakialis. BPTI akan
mengganggu neural tissue gliding dan kemampuan untuk mentoleransi tekanan.Hal ini bisa
disebabkan
oleh fibrosis intra dan ekstraneural akibat trauma langsung, patologi local pada vertebra cervical atau
thorax atau kompresi yang berlebihan atau overuse.
Gejala
Upper trunk plexopathies(C5-C6)memberikan gejala proksimal yang lebih banyak,termasuk pada
regio
wajah, skpula dan interskapula.Parestesia dan nyeri pada bagian distal pada distribusi saraf
median
atau ulnar atau dermatom C5-C6.
Lower trunk plexopathies(C8-T1)memberikan gejala distal pada region medial tangan,forearm dan
ulnar.
Cord atau division level plexophaties akan memberikan gejala yang lebih bervariasi.
Gejala neurogenikawal: gangguan performa otot, gangguan sensibilitas, gejala
otonom(hiperhidrosis,Instabilitasvasomotor, rasa terbakar), nyeri kepala.
Gejala neurogenik lanjut: nyeri, parestesia, kehilangan otot intrinsic,kehilangan sensoris, dan
perubahan refleks.
Pemeriksaan Fisik
Komplikasi
Instabilitas sendi,kekakuan sendi,kontraktur sendi,complek regional pain syndrome,atrofi
otot,disabilitas permanen,gangguan sensoris pada daerah leher,bahu,lengan sampai jari-jari yang
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan amputasi.
Keterbatasan fungsional
Flail arm terjadi segera setelah trauma(tidak ada pergerakan yang terdeteksi dimulai dari bahu dan
lengan),sehingga akibatnya terjadi gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi yaitu foto rontgen untuk meliat kelainan pada sendi dari bahu,MRI untuk mendeteksi
kelainan saraf maupun patologis pada cervical rib atau tulang.
Arteriografi;untuk mendeteksi oklusi arteri subklavia atau aksilaris.
Somatosensory evoked potentials
Electromyography(EMG)/kecepatan hantar saraf(KHS).
USG musculoskeletal pada daerah Thorasic Outlet.
Tujuan Tatalaksana
Mengurangi nyeri (penilaian dengan VAS).
Control gejala dan meningkatkan kenyamanan pasien.
Memperbaiki postur,posisi dan perilaku.
Pola pernapasan diafragma yang tepat.
Mengurangi keluhan sekunder pada sendi glenohumeral,cervical spine dan jaringan lunak sekitarnya.
Mengembalikan keseimbangan dan mobilitas otot.
Normalisasi mobilitas dan toleransi tensile loads pada saraf.
Kembali ke aktivitas sehari-hari dan pekerjaan semula dengan menggunakan alat bantu sesuai dengan
pemeriksaan kapasitas fungsional.
Tata laksana
Terapi Konservatif
Nyeri akut diatasi dengan obat-obatan anti nyeri neuropatik,seperti gabapentin dan antidepresan
trisiklik.Analgesia dapat diberikan tramadol,levatiracetam dan pilihan terankir adalah opiate pada kasus
dengan nyeri yang sangat hebat.untuk nyeri kronis dapat digunakan metode non medikamentosa dengan
modalitas fisik seperti TENS.
Rehabilitasi
Positioningdan latihan lingkup gerak sendi dilakukan untuk mencegah atrofi otot,kontraktur sendi
dan edema,karena hal ini akan mengganggu fungsional pada masa pemulihan.
Latihan lingkup gerak sendidikombinasikan dengan metode hidroterapi dan massage untuk
meregangkan otot.
Setelah terjadi reinervasi,perlu dilakukan latihan penguatan otot.
Terapi okupasi membantu pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Terapi vokasional diberikan bila disabilitas dan kelemahan lengan mempengaruhi kemampuan
pasien untuk melakukan pekerjaannya.
Penggunaan ortosis(shoulder sling)sesuai indikasi.
Functional Electrical Stimulation (FES) atau Functional Neuromuscular Stimulation (FES) akan
memberikan stimulasi kepada otot lengan yang lemah.
Non Konservatif
Operatif
Prosedur operasi dilaksanakan 5-12 bulan setelah trauma, yaitu pada saat terapi konservatif sudah
tidak efektif.
Cedera Syaraf Perifer
Definisi
Cedera saraf perifer dapat total atau parsial, baik akibat stretching, laseration, compression, shearing or
crushing.Cedera saraf perifer di klasifikasikan berdasarkan perubahan patologis pada saraf tersebut
( Sunderland dan atau Seddon). Kerusakan saraf dapat mengenai myelin dan/atau akson saraf perifer. Jika
demeilinisasi luas, maka dapat disertai kerusakan akson yang ringan. Tidak seperti pada system saraf pusat,
sistem saraf perifer dapat beregenerasi. Proses regenerasi sistem saraf perifer terdiri atas beberapa tahap:
degenerasi Wallerian, regenerasi/ pertumbuhan akson, dan reinervasi saraf. Cedera saraf perifer dapat
mengenai saraf motorik, sensorik dan autonomic.
Klasifikasi
Klasifikasi kerusakan saraf perifer berdasar BURNNET, Hyde:
1. Grade1 : neuropraxia
2. Grade 2 : axonotmesis
3. Grade 3 : neurotmesis
Evaluasi klinis:
1. Riwayat perjalanan penyakit
2. Gejala klinis:
- Nyeri, gangguan sensibilitas,gangguan motorik dan gangguan autonomik
3. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan kekuatan otot
- Pemeriksaan sensibilitas: light touch, pin prick, diskriminasi 2 titik, vibrasi, propioseptif,
monofilament test
- Refleks fisiologis
- Pemeriksaan saraf autonom seperti: keringat
- Tes khusus seperti tinnel test
4. Kecepatan hantaran saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
5. Pemeriksaan imaging
- X-ray, CT-scan, MRI
6. Pemeriksaan saraf autonom
- Potensial simpatetik kulit
- Sinus aritmia
- Rasio valsava
Keterbatasan funsional
Nyeri
Gangguan sensibilitas
Kelemahan otot
Komplikasi
Hipotrofi/atrofi otot
Nyeri kronis
Kelemahan otot
Gangguan autonomik
Tujuan tatalaksana
Mengurangi nyeri
Memberi proteksi pada area dengan gangguan sensibilitas
Mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut
Memperbaiki kerusakan saraf
Memperbaiki gejala dari gangguan autonomic
Tata laksana
Penatalaksanaan nyeri evaluasi menggunakan VAS.
Pain management dibagi atas farmakologi dan non-farmakologi. Pada non farmakologi digunakan
antara lain TENS dengan menggunakan teori Gate dan endorphin opioid theory.
Proteksi pada daerah dengan gangguan sensibilitas, dengan inspeksi menggunakan cermin setiap hari,
mencegah eksposure panas atau benda tajam.
Fasilitas sensoris/stimulasi sensoris sesuai tipe gangguan sensoris, missal propiosepif atau sensibilitas
dalam (pinching, tapping, brushing, incing).
Electrical stimulation. Electrical stimulation dapat membantu regenerasi saraf. Frekuinsi stimulasi
merupakan factor penting atas berhasilnya kualitas dan kuantitas regenerasi saraf juga pertumbuhan
myelin dan pembuluh darah sekitar akson. ES juga membantu mencegah atrofi.
Low level laser therapy yang merupakan biostimulasi pada schwan cell.
Mencegah kontraktur dengan latihan lingkup gerak sendi, modalitas ultrasound dan pemberian
ortosis/splaint.
Mencegah DVT
Terapi bioffedback
Program fine motor re-learning menggunakan kemampuan susunan saraf pusat yang intak baik secara
visustaktil, audiotactil,dan feedback.
Rehabilitasi kognitif bilamana diperlukan
Terapi rehabilitasi didasarkan pada jenis cedera saraf. Contoh, pada neuropati diabetes control gula
darah merupakan hal penting dalam rehabilitasi saraf.
Stroke
Gejala
Kelemahan anggota gerak merupakan kelainan yang sering ditemukan pada penderita stroke. Kelainan lain
juga sering ditemukan adalah gangguan bicara, menelan, afasia, gangguan kognitif, hilangnya fungsi
sensorik, dan gangguan penglihatan. Peningkatan tonus otot, kelemahan, depresi, dan nyeri merupakan
gejala yang dapat timbul setelah stroke terjadi.
Pemeriksaan Fisik
Diperlukan pemeriksaan neurologis yang menyeluruh. Pemeriksaan ini meliputi :
Pemeriksaan kesadaran dengan Glasgow Coma scale
Evaluasi status mental dengan minimental state evaluation
Uji fungsi kognisi dengan Rancho Los Amigos Cognitive Scale
Pemeriksaan Saraf cranial
Pemeriksaan sensibilitas superficial dan dalam, propioseptif, diskriminasi 2 titik, monofilament tes.
Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Pemeriksaan kekuatan dan tonus otot
Pemeriksaan kordinasi motorik
Uji keseimbangan statis dan dinamis
Uji fungsi lokomator
Pemeriksaan reflex fisiologis/ reflek tendon dalam
Pemeriksaan reflex patologis (Babinsky,dll)
Uji funsi komunikasi
Uji fungsi menelan
Uji fungsi berkemih
Uji fungsi defekasi
Uji kemampuan fungsional dan perawatan diri
Uji pola jalan
Keterbatasan Fungsional
Gangguan gerak
Gangguan keseimbangan
Gangguan sensibilitas
Gangguan menelan
Gangguan kognitif (memori,perhatian, persepsi ruangan)
Gangguan komunikasi
Gangguan fungsi seksual
Gangguan berkemih
Gangguan defekasi
Gangguan psikis
Gangguan fungsional dan perawatan diri
Pemeriksaan Penunjang
Mengoptimalkan kemampuan fungsi dengan memodifikasi sehingga insane pasca stroke mampu
beradaptasi, mandiri dengan kualitas hidup yang sesuai.
Tata Laksana
Rehabilitasi
Rehabilitasi stroke adalah pengelolaan medis dan rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas yang
diakibatkan stroke memulai pendekatan neurorehabilitasi. Program rehabilitasi perlu disusun sesuai dengan
tingkat keparahan akibat serangan stroke. Rehabilitasi stroke fase akut dilaksanakan selama pasien dirawat
inap. Pada kondisi medis dan neurologis stabil(fase subakut), pasien bisa dilakukan rehabilitasi rawat inap
maupun rawatjalan/home care. Sedangkan fase kronik/lanjut rehabilitasi dilakukan dengan rawat jalan.
Program rehabilitasi multidisiplin secara komprehensif dimulai dari fase akut secara inter maupun intra
disiplin dengan spesialislain.
Latihan (exercise)
Program latihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsi dengan penekanan pada
peningkatan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (ADL). Intruksi mengenai teknik-
teknik kompensasi dan edukasi yang dibutuhkan pasien diajarkan juga terhadap keluarga atau
caregiver penting untuk mempersiapkan kembalinya pasien ke rumah. Bukti-bukti menunjukan
bahwa terapi fisik bermanfaat terhadap reorganisasi korteks pasca stroke, yang diiringi dengan
perbaikan pada control motorik dan kapasitas fungsinya.
Disfagia
Penanganan desfagia neurogenik tergantung pada fasenya, meliputi penggunaan selang nasogastrik,
modifikasi diet (mis; cairan kental, makana dihaluskan), dan terapi menelan (mis;penggunaan tehnik
kompensasi seperti mengangkat dagu saat menelan).
Komunikasi
Gangguan komunikasi bisa berupa afasia, disartria, dan lain-lain. Tindakan rehabilitasi diberikan
sesuai dengan penilaian kelainan yang terdapat pada pasien.
Kognisi
Stroke sering kali mempengaruhi kemampuan kognisi pasien. Perubahan dalam memori, perhatian
insight, dan kemampuan penyelesaian masalah sering ditemukan pada pasien dengan stroke.
Penentuan tingkatan dari gangguan kognisi dapat ditentukan dengan Rachoo Los Amigos Scale dan
minimental. Edukasi dan latihan keluarga merupakan komponen penting dalam rehabilitasi kognitif.
Pengenalan dan penatalaksanaan depresi paksa stroke merupakan hal yang sangat penting, karena
depresi dapat menyebabkan penurunan kognitif paksa stroke.
Ortotis
Ortotis dapat membantu kegiatan mobilisasi penderita stroke. Ortosis dapat membantu kompensasi
pada gangguan dorsofleksi pergelangan kaki, mengontrol pergerakan kaki, spastisitas dan stabilisasi
sendi lutut.
Bantuan Ambulasi dan Kursi Roda
Adanya hemiparesis pada penderita stroke menyebabkan banyak penderita stroke membutuhkan alat
bantu untuk ambulasi, seperti tongkat, tongkat kaki empat, hemi-walker, atau pada beberapa kasus
dapat menggunakan walker konvensional. Pada kondisi yang berat kursi roda dibutuhkan untuk
ambulasi pasien. Pada penderita stroke one-side arm wheelchair berguna karena dapat mengontrol
kedua roda hanya dari satu sisi.
Sublusasi Bahu
Subluksasi bahu umum terjadi pada kasus hemiplegia pasca stroke. Menopang lengan
denganmenggunakan penopang lengan (arm board) dan penggunaan shoulder sling/cuff dapat
mencegah dan memperbaiki subluksasi tersebut. Pada nyeri bahu Stimulasi listrik bermanfaat untuk
mengurangi nyeri bahu.
Komplikasi
Spastisitas
Nyeri
Subluksasi bahu, frozen shoulder
Ulcus decubitus
Infeksi saluran kemih
Komplikasi medikamentosa
Gangguan fungsi menelan
Kontraktur
Penyakit sendi
Osteoporosis
Gangguan vascular dan kardiorespirasi
Pasien Dengan Parkison
Prevalensi penyakit Parkison ini mencapai 110 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki mempunyai insedinsi
yang sedikit lebih tinggi. Onset penyakit ini rata-rata terjadi pada usia 62 tahun. Secara klinis, penyakit ini
mengalami perburukan secara perlahan dalam waktu 10-15 tahun. Oleh karena itu , tergantung pada usia
onsetnya, penderita dapat meninggal akibat penyebab lain yang tidak berkaitan dengan Parkison ataupun
akibat enfeksi yang disebabkan oleh imobilitas pada stdium akhir penyakit Parkison tersebut.
Manifestasi Klinis
Nyeri dapat menjadi keluhan awal
Rasa nyeri tumpul yang awalnya dirasakan pada tungkai mungkin pertama kali dihubungkan dengan
bursitis atau arthritis.
Tremor saat istirahat
Tremor ini dapat dihilangkan baik dengan gerakan yang bertujuan atautidur dan ditimbulkan oleh rasa
takut.
Rigiditas
Rigiditas bisa menimbulkan persepsi adanya kekakuan.Rigiditas terjadi karena tonus otot yang
meningkatkan yang bersifat cogwhell phenomena.Kekakuan menimbulkan persepsi bahwa penderita
bergerak lambat.
Bradikinesia
Gerakan yang lambat pada seluruh otot lurik
Kesulitan gerak ini tampak jelas saat memulai dan mengakhiri suatu gerakan
Tulisan tangan menjadi lebih kecil dan sulit dibaca
Perkataan pasien semakin susah dimengerti,terutama melalui telepon
Hipofonia
Depresi,juga dapat terlihat selama perjalanan penyakit
Pemeriksaan Fisik
Stadium Parkinson dinilai dengan Hoehn and Yahr
Uji keseimbangan statis dan dinamis
Uji kontrol postur
Uji fungsi bergerak
Uji motorik halus
Uji fungsi lokomotor
Uji pola jalan
Uji fungsi kardiorespirasi
Uji fungsi menelan
Pemeriksaan Penunjang
Penyakit Parkinson adalah suatu diagnosis klinis.
Pemeriksaan laboratorium konvensional tidak dibutuhkan untuk diagnosis ataupun tatalaksana
Parkinson.
CT-scan MRI otak tidak dapat menunjukkan abnormalitas yang konsisten.
PET-scan dengan penggunaan 6-[ ]fluorolevodopa dapat menunjukkan berkurangnya radioisotope di
striata.Namun,PET-scan belum dapat dianggap sebagai alat diagnostic Parkinson.
Tujuan tatalaksana
Untuk memperbaiki fleksibilitas dan mobilitas dan mencegah perburukan ke stadium yang lebih lanjut.
Tatalaksana
Rehabilitasi
Dalam perjalanan penyakit gejala Parkinson memburuk secara gradual,pasien dapat mendapat manfaat dari
terapi fisik berkala.Latihan berjalan penting diterapkan karena sangat membantu dalam mencegah jatuh
dan trauma.Latihan berjalan umumnya melath pasien agar dapat mengambil langkah yang lebih jauh dan
menapakkan kakinya pada setiap langkah.Metode lainnya adalah menggunakan isyarat visual untuk
mempertahankan ukuran regular dari setiap langkahnya,misalnya dengan menempelkan beberapa selotip
dilantai dengan interval yang teratur.Pada tahap yang lebih progresif,dapat terjadi episode diam (frozen
gait),dimana kaki tampak terperangkap di lantai.Episode diamt tersebut dapat diatasi dengan beberapa
teknik,misalnya membayangkan seseorang melangkah melewati suatu garis khayalan sambil dihitung
dengan irama yang teratur,atau dengan berbaris teratur.
Terapi okupasi terutama membantu dalam penggunaan alat-alat adaptif atau membantu menciptakan
rutinitas-rutinitas baru sehingga memungknkan pasien-pasien Parkinson untuk melanjutkan aktivitasnya
secara mandiri.
Latihan bicara diberikan pada pasien yang mengalami kesulitan berkomunikasi baik disartia maupun
hipofonia.Evakuasi dan terapi menelan juga membantu pengobatan disfagia.NGTdigunakan pada pasien
Parkinson dengan disfagia,dimana pemberian obat dosisnya disesuaikan.
Keuntungan yang diperoleh dari terapi rehabilitasi lebih dari sekedar paerbaikan fungsi motorik.Dari segi
fisik termasuk perbaikan kekuatan dan tonus otot serta mempertahankan rentang gerakan sendi yang
edekuat.Sedangkan keuntungan psikologis yang didapat adalah pasien dilibatkan secara aktif dalam terapi
dan memberikan perasaan mampu mengatasi efek penyakitnya.Terapi fisik dan okupasi tersebut
difokuskan pada mobilitas,prnggunaan alat-alat adaptasi,lingkungan demi patient safety baik dirumah dan
tempat kerja.
Komplikasi
Komplikasi penyakit:
- Depresi (masih diperdebatkan)
- Komplikasi saluran cerna,yaitu disfagia akibat kurangnya control M.masseter dan otot-otot
orofaring
Komplikasi terapi:
- Withdrawal,dapat disertai perasaan cemas,disforia,atau panic
- Diskinesia yang diinduksi akibat penggunaan Levodopa
Vertigo
Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi
diruangan. Keseimbangan diatur oleh integrasi berbagai system. Yang paling banyak peranannya ialah
sitem vestibular, system visual dan sitem somatosensorik (propioseptif)
Bentuk keseimbangan yang sering dijumpai ialah.
- Disekuilibrium (rasa tidak seimbang)
- Kepala terasa ringan , enteng
- Merasa seolah-olah hamper pingsan,”hilang”, sinkop,”blackout”
- Vertigo (halusinasi gerakan, rasa bergerak)
- Nistagmus
b. Sedangkan vertigo servikogenik akibat adanya gangguan musculoskeletal pada daerah servikal.
Gejala vertigo servikogenik:
- Sensasi gerak, sering merasa dirinya berputar atau sekelilingnya berputar
- Sensasi mengambang, terayun-ayun, miring, atau melayang
- Kadang disertai mual, sensitivitas visulal motor, dan telinga seperti terasa penuh
- Nyeri servikal atau kepala dapat mengganggu tidur dan aktivitas fungsional
- Parestesia pada daerah dermatom servikal atas, pada pasien dengan radikulitis servikal
2. Sentral
Adanya lesi atau gangguan pada pusat keseimbangan susunan saraf (batang otak, serebelum, atau
otak sendiri) pusat yang memberikan gejala yang lebih ringan dari pada penyebab perifer. Biasanya
diikuti defisit neurologis seperti gangguan berbicara, diplopia, nistagmus vetikal/torsional. Terjadi
gangguan keseimbangan hebat sehingga pasien tidak dapat berdiri apalagi berjalan.
Lesi sentral dapat disebabkan oleh adanya infrk, haemoragik, tumor, epilepsy, servical spine
disorder,lateral medullary syndrome, multiple sclerosis, Parkinson, dan disfungsi serebral.
3. Kondisi sistemik
Kadang-kadang berhubungan dengan diabetic neuropati dan penyakit autoimun.
Gejala umum
- Sensasi berputar saat statis bersama-sama dengan mual, muntah, gangguan keseimbangan, dan
berkeringat banyak
- Penglihatan kabur
- Kesulitan berbicara
- Pendengaran berkurang
- Seiring bertambahnya usia biasanya terdapat degenerasi organ keseimbangan yaitu ampula dan
otolit
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan mata : nistagmus
Pemeriksaan keseimbangan tubuh :
- Tes Romberg yang dipertajam
Tes melangkah ditempat (steping test)
Pemeriksaan koordinasi:
- Tes tunjuk hidung dan jari (past pointing/salah tunjuk)
- Tes tunjuk jari kanan-kiri
- heel shin test
Pemeriksaan neurologic lain:
- Nervus kranialis, kekuatan otot, sensibilitas, propioseptif
Pemeriksaan musculoskeletal
- Palpasi dan ROM facet joint daerah servikal untuk menentukan gangguan mekanik.
Pasien dengan nyeri kepala servikal dan gangguan keseimbangan mempunyai keterbatasan gerak
saat fleksi dan ekstensi, nyeri akibat gangguan sendi servikal dan kaku otot.
- Myofascial trigger point sebaiknya dicari di daerah otot-otot sternoc leidomastoideus,
paraservikal, levator scapula, upper trapezius, dan suboksipital.
Pemeriksaan otologik
- Garputala tuli persepi / konduksi
- Audiometri
- Hall pike test
Tes kalori
Elektronistragmografi, EEG, BAEP
Posturografi (6 tahap)
MRI, CT-Scan
Pemeriksaan Fisik Umum
- Fungsi kardiovaskuler, endokrin
Keterbatasan Fungsi
Kesulitan saat berjalan dan menjaga keseimbangan, sehingga pasien menjadi tidak percaya diri saat
melakukan aktifitas seperti menyetir karena rotasi servikal memicu gejala. Pekerjaan yang
membutuhkan keseimbangan dan koordinasi sebaiknya dibatasi. Cemas yang sering terjadi pada
gangguan keseimbangan juga memicu diabilitas sekunder.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
EEG, EMG, EKG
Radiologi
Fhoto Rontgen : adanya gambaran osteoarthritis dan instabilitas servikal
MRI : bila curiga adanya spondylosis sevikal
Tata laksana
A. Vertigo servikogenik
- Mengurangi spasme otot leher dan bahu
- Menjaga lingkup gerak sendi servikal dan sendi bahu
- Memperbaiki postur dan fungsi dengan menggukan modalitas dan terapi latihan.
- Terapi: myofasial trigger point
- Latihan vestibular
- - Kontrol postur guna memperbaiki postur, ergonomic dan aktivitas fungsi sehari-hari
B. Vertigo vestibular
Terapi kausal,
Mencari penyebab terjadinya vertigo merupakan terapi pilihan utama.
Terapi Simtomatik, ditunjukan pada 2 gejala utama :
- Vertigo : berputar, melayang
- Gejala otonom : mual, muntah
Terapi Rehabilitatif
- Untuk menimbulkan dan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien
gangguan vestibular
- Latihan vestibular / vestibular Exercise
Latihan Vestibular
- Metode brand – Daroff : untuk penderita PBBV (Benign Paroxysmal Position Vertigo)
- Latihan Visual_Vestibular
1. Pasien berbaring :
a. Melirik ke atas – bawah – kanan – kiri
b. Gerak kepala fleksi – ekstensi
2. Pasien duduk :
a. Gerak kepala ke atas – bawah cepat
b. Menatap ke kiri atas – ke kanan atas bergantian
c. Ambil benda di lantai
- Epplye maneuver/ Canalit repotitioning
- Semont maneuver / Liberatory maneuver
Latihan Berjalan
Sesuai kondisi
Komplikasi
Komplikasi yang sering seperti inaktivitas, sindroma dekondisioning, jatuh, takut untuk keluar rumah,
cemas dan depresi, nyeri leher kronis dan pusing terus menerus meskipun telah diberikan
pengobatan.
Tumor Medula Spinalis
Gejala
Gejala tumor spinalis tergantung pada level medula spinalisnya dan lokasi neuroanatomis ekstradural atau
intradural. Gejala yang timbul tergantung level medulla spinalis, vertebra, maupun saraf spinal perifer yang
terkena baik motorik , sensorik dan otonomik.
Adanya inkontinesia dan sadlle anastesia adalah gejala yang timbul akibat kompresi medulla spinalis oleh
tumor. Gejala lainnya adalah paraparese, paraplegi, gangguan sensibilitas dan onsetnya berlangsung cepat.
Kompresi medulla spinalis biasanya ditemukan pada metastasin akibat keganasan. Nyeri punggung adalah
symptom utama dari pasien dengan kompresi medulla spinalis akibat metastasis.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : CSF
MRI
Bone scanning
Myelogram
Pemeriksaan histology jaringan tumor
Tata laksan
Steroid, diberikan jika terdapat kompresi pada madula spinalis. Obat ini tidakberpengaruh kepada
massa tumor itu sendiri,tetapi untuk mengurangi reaksi inflamasi di sekitarnya,oleh karenanya
mengurangivolume keseluruhan dari massa yang menekan medulla spinalis.
Radioterapi
Pembedahan kadang-kadang memungkinkan
Tatalaksana Rehabilitasi
Proses rehabilitasidibagi dalam 3 fase:
1. Fase Akut
Dilaksanakan saat rawat inap.Tujuan rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit
neurologis dan mencegah komplikasi tirah baring
Program:
Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronkial
Mencegah dekubitus
Mencegah komplikasi kardiovaskuler
Mencegah kontraktur dan deformitas
Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius
2. Fase Pemulihan
Dilaksanakan saat rawat inap,merupakan proses rehabilitasi aktif.Tujuan rehabilitasi untuk mengatasi
masalah disabilitas dan handicap yang ditimbulkan akibat cedera,memaksimalkan fungsi yang ada
untuk kemandirian,meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah komplikasi sekunder.
Program:
Terapi latihan mobilitas dan transfer
Pemberian ortosis (spinal dan splint tangan)
Terapi latihan persiapan ambulasi
Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
Terapi latihan perawatan diri
Terapi latihan control miksi dan defekasi
Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
Teapi support (kelompok)
3. Fase Lanjut
Dilaksanakan saat rawat jalan,dilakukan seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap.Tujuan
rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup,mempertahankan kemampuan fungsional dan
memiliki produktivitas sesuai kemampuan.
Program:
Resosialisasi
Rujukan untuk vocational training
Konseling keluarga
Meningitis
Gejala
Gejala tumor spinal tergantung pada level medula spinalisnya dan lokasi neuroanatomis ekstradural atau
intradural. Gejala yang timbul tergantung pada level medula spinalis, vertebra, maupun saraf spinal perifer
yang terkena baik motorik, sensorik dan otonomik.
Adanya inkontinesia dan sadlle anastesia adalah gejala yang timbul akibat kompresi medula spinalis oleh
tumor. Gejala lainnya adalah paraparese, paraplegi, gangguan sensibilitas dab onsetnya berlangsung cepat.
Kompresi medula spinalis biasanya ditemukan pada metastasis akibat keganasan. Nyeri punggung adalah
simptom utama dari pasien dengan kompresi medula spinalus akibat metastasis.
Pemerikasaan Penunjang
Laboratorium : CSF
MRI
Bone scanning
Myelogram
Pemeriksaan histologi jaringan tumor
Tata laksana
Steroid, diberikan jika terdapat kompresi pada medula spinalis. Obat ini tidak berpengaruh kepada
massa tumor itu sendiri, tetapi untuk mengurangi reaksi inflamasi di sekitarnya , oleh karenanya
mengurangi massa volume keseluruhan dari massa yang menekan medula spinalis.
Radioterapi
Pembedahan kadang-kadang memungkinkan
Tatalaksana Rehabilitasi
Proses rehabilitasi dibagi dalam 3 fase :
1. Fase Akut
Dilaksanakan saat rawat inap. Tujuan rehabilitasi untuk mencegah atau meminimalkan defisit neurologis
dan mencegah komplikasi tirah baring.
Program
Mencegah kegagalan kardiorespirasi akibat retensi sekresi bronkial
Mencegah dekubitus
Mencegah komplikasi kardiosvaskuler
Mencegah kontraktur dan deformitas
Mencegah distensi kandung kemih dan infeksi traktus urinarius
2. Fase Pemulihan
Dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabiltasi aktif . tujuan rehabilitasi untuk mengatasi
masalah disabilitas dan handicap yang ditimbulkan akibat cedera, memaksimalkan fungsi yang ada
untuk kemandirian, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan mencegah komplikasi sekunder.
Program :
Terapi latihan mobilisasi dan transfer
Pemberian ortosis (spinal.tungkai dan splint tangan)
Terapi latihan persiapan ambulasi
Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
Terapi latihan perawatan diri
Terapi latihan kontrol miksi dan defakasi
Terapi latihan kebugaran dan prevokasional
Terapi support (kelompok)
3. Fase Lanjut
Dilaksanakan saat rawat jalan, dilakukan seumur hidup pada pasien dengan kecacatan menetap. Tujuan
rehabilitasi untuk meingkatkan kualitas hidup, mempertahankan kemampuan fungsional dan memiliki
produktivitas sesuai kemampuan.
Program :
Resosialisasi
Rujukan untuk vocational training
Konseling keluarga
Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Sabharwal S, Wierbicky J, Nesathurai S. Spinal Cord Injury. In: Frontera WR, editor. Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia ; 2008 .p 859-85
3. Bryce T.N Ragnarsson K.T, Stein A.B Biering-Sorensen F. .Spinal Cord Injury. In: Braddom RL et. al.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 1293-346
4. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007●
Meningitis
Gejala
Gejala yang paling umum adalah sakit kepala dan kuku kuduk, bersamaan dengan demam, Confusion,
penurunan/perubahan kesadaran, mual, muntah-muntah, photofobia, malaise, myalgia, diare, rash (terutama
jika penyebabnya meningokokus). Pada anak-anak terdapat irritability dan drowsiness.
Gejala klinis
Gejala klinis pada orang dewasa adalah sakit kepala luar biasa (90% pada meningitis bakteri) dan adanya
nuchal rigidity.
Triad diagnostic dari meningitis:
- Nuchal rigidity
- Sudden high fever
- Perubahan status mental
- Photophobia, fonophobia
Gejala diatas tidak ditemui pada anak-anak, irritable dan bulging dari fontanella, lack vein, cold extremity
dan abnormal skin colour.
Meningitis yang disebabkan meningococcus biasanya didahului oleh petechiae rash.
Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan khusu : adanya kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinksy yang positif.
- Tanda-tanda tekanann intracranial meningkat : penurunan kesadaran, papill edema, dan padabayi sampai
umur 6 bulan tampak fontanella menggembung.
- Meningkatnya lingkar kepala dapat terjadi pada bayi dengan hidrosefalus.
Keterbatasan gfungsional
- Gangguan kognitif
- Gangguan pendengaran (10%)
- Retardasi mental (5%)
- Gangguan penglihatan (kebutaan)
- Deficit neurologis permanen (5%)
Komplikasi
- Sepsis
- Systemic inflammatory response syndrome : tekanan darah turun, denyut jantung cepat, suhu tinggi/
rendahabnormal, nafas cepat
- DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
- Gangren (bila penyebab infeksi : meningokokus)
- Pada infeksi meningokokus atau pnemokokus dapat menyebabkan pendarahan kelenjar adrenal yang
menyebabkan sindrom Waterhouse-Friderichsen
- Peningkatan tekanan intracranial
- Herniasi
- Hidrosefalus
- Kejang
- Kelainan saraf kranial
- Ensefalitis
- Vaskulitis
- Trombosis vena serebral
- Epilepsi
Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : darah, cairan serebrospinal
- Virus-specific PCR, titer antibody, dan kultur (jika penyebab virus)
- CT scan
- MRI
Tata laksana
Rehabilitasi fase akut : (dilaksanakan saat rawat inap)
Tujuan Rehabilitasi :
- Mencegah atau meminimalkan defisit neurologis
- Nencegah efek tirah baring lama
Program rehabilitasi :
- Cegah kegagalan respirasi akibat retensi sputum
- Cegah ulkus decubitus
- Cegah komplikasi kardiovaskuler
- Cegah kekakuan sendi
- Cegah distensi baldder dan infeksi traktus urinarius
Rehabilitasi fase pemulihan (dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabilitasi aktif) :
Tujuan rehabilitasi :
- Mencegah masalah disabilitas dan handicap yang timbul
- Memaksimal fungsi yang ada untuk kemandirian
- Meningkatkan kebugaran kardiopulmoner
- Mencegah komplikasi sekunder
Program rehablilitasi :
- Terapi latihan fungsi luhur kognitif : arousal, atensi, fungsi eksekutif, inisiasi, bahasa dan
komunikasi, memori, persepsi serta visuopasial
- Terapi perilaku dan psikoterapi untuk mengatasi emosi dan depresi
- Terapi latihan oromotor dan fungsi menelan
- Terapi latihan control miksi dan atau defekasi
- Terapi latihan persiapan mobilisasi dan transfer
- Terapi latihan keseimbangan
- Terapi latihan persiapan ambulasi
- Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
- Splint tangan dan alat bantu adaptif bila diperlukan
- Ortosis tungkai (AFO, KAFO) bila diperlukan
- Latihan jalan dengan atau tanpa ortosis tungkai, dengan atau tanpa alat bantu (crutches, candian,
walker)
- Terapi latihan kebugaran
- Terapi latihan prevokasional
- Aktivitas hobi dan olahraga yang sesuai
- Edukasi : persiapan kembali ke rumah, problema seksual dan family planning
- Terapi suportif (kelompok) : pemahaman mengenai kecacatan
Rehabilitasi fase lanjut (dilakasanakan dalam rawat jalan, lamanya seumur hidup untuk kecacatan
menetap) :
Tujuan rehabilitasi :
- Resosialisasi (diantaranya mengembalikan ke tempat kerja atau menyiapkan untuk kemampuan
bekerja )
- Mempertahankan kemampuan fungsional
- Meningkatkan kualitas hidup
Program rehabilitasi :
- Resosialisasi
- Rujukan untuk vocational training
- Kenseling keluarga
- Program latihan di rumah
- Follow up
Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Koppel BS. Bacterial, fungal, & parasitic infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current
Diagnosis & Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007. P 403-48.
3. Sevigny J. Frontera J. Viral infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current Diagnosis &
Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007; p 449-61.
4. Roos KL, Tyler KL, Meningitis, encephalitis, brain abscess, and empyema. In : Hauser SL editor.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw Hill. 2006; p 423-55.
5. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007.
Ensafalitis
Batasan
Ensafalitis adalah suatu peradang otak akut. Ensafalitis disertai meningitis disebut meningoensefalitis.
Penyebab :
Infeksi :
- Virus : rabies, herpes, polio, measles
- Bakteri
Komplikasi atau infeksi sekunder dari sifilis
Infestasi : parasite/protozoa (toxoplasmosis, malaria, amoeba)
Compromised immune systems
Lyme disease, bartonella henselae
Jamur (kriptokokus) pada pasien immunocompromised
Gejala
- Sakit kepala
- Demam
- Confusion
- Drowsyness (mengantuk)
- Gangguan kesadaran : dari lethargy sampai koma
- Fatigue
- Kejang
- Tremor
- Halusinasi
- Agitasi
- Gangguan kepribadian
- Gangguan perilaku
- Gangguan memory
- Gangguan neurologis : afasia, ataxia, hemiparesis, gerakan involunter (mioklinik, tremor), deficit nervus
kranialis
Pemeriksaan fisik
- Gangguan kesadaran, drowsiness/mengantuk, kadang-kadang kejang, kaku kuduk
- Tanda Kernig dan Brudzinsky positif jika terdapat meningoensefalitis
Keterbatasan fungsional
- Kesulitan dalam berjalan dan melakukan aktivitas harian
- Gangguan kognitif
- Gangguan menelan
- Gangguan komunikasi karena afasia atau disartria
- Inkontinensia urin
- Gangguan depresi
Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : darah, cairan cerebrospinal, serologi (PCR)
- Pungsi lumbal : pemeriksaan LCS terdapat peningkatan protein dan sel darah putih dengan glukosa
normal.
- CT scan
- MRI
- EEG
Tata laksana
Rehabilitasi fase akut : (dilaksanakan saat rawat inap)
Tujuan rehabilitasi :
- Mencegah atau meminimalkan deficit neurologis
- Mencegah komplikasi tiring baring
Program rehabilitasi :
- Cegah kegagalan respirasi akibat retensi sputum
- Cegah ulkus decubitus
- Cegah komplikasi kardiovaskuler
- Cegah kekakuan sendi
- Cegah distensi bladder dan infeksi traktus urinarius
Rehabilitasi fase pemulihan (dilaksanakan saat rawat inap, merupakan proses rehabilitasi aktif):
Tujuan rehabilitasi :
- Mengatasi masalah disabilitas dan handicap yang timbul
- Memaksimalkan fungsi yang ada untuk kemandirian
- Meningkatkan kebugaran kardiopulmoner
- Mencegah komplikasi sekunder
Program rehabilitasi :
- Terapi latihan fungsi luhur kognitif : arousal, atensi, fungsi eksekutif, inisiasi, bahasa dan
komunikasi, memori, persepsi serta visuopasial
- Terapi perilaku dan psikoterapi untuk mengatasi emosi dan depresi
- Terapi latihan oromotor dan fungsi menelan
- Terapi latihan control miksi dan atau defekasi
- Terapi latihan persiapan mobilisasi dan transfer
- Terapi latihan keseimbangan
- Terapi latihan persiapan ambulasi
- Terapi latihan persiapan kemandirian aktivitas sehari-hari
- Splint tangan dan alat bantu adaptif bila diperlukan
- Ortosis tungkai (AFO, KAFO) bila diperlukan
- Latihan jalan dengan atau tanpa ortosis tungkai, dengan atau tanpa alat bantu (crutches, candian,
walker)
- Terapi latihan kebugaran
- Terapi latihan prevokasional
- Aktivitas hobi dan olahraga yang sesuai
- Edukasi : persiapan kembali ke rumah, problema seksual dan family planning
- Terapi suportif (kelompok) : pemahaman mengenai kecacatan
Rehabilitasi fase lanjut (dilakasanakan dalam rawat jalan, lamanya seumur hidup untuk kecacatan
menetap) :
Tujuan rehabilitasi :
- Resosialisasi (diantaranya mengembalikan ke tempat kerja atau menyiapkan untuk kemampuan
bekerja )
- Mempertahankan kemampuan fungsional
- Meningkatkan kualitas hidup
Program rehabilitasi :
- Resosialisasi
- Rujukan untuk vocational training
- Kenseling keluarga
- Program latihan di rumah
- Follow up
Komplikasi
Kejang
Terlibatnya jaras hipotalamus-hipofisis dapat menyebabkan gangguan regulasi suhu, diabetes insipidus,
SIADH (Syndrome of inappropriate.Antidiuretic Hormone Secretion)
Daftar Pustaka
1. Pansky B, Allen DJ, Colin Budd G. Review of Neuroscience. 2nd ed. Macmillan Publishing Company.
1988.
2. Sevigny J. Frontera J. Viral infections of the nerveous system. In : Brust JCM. Current Diagnosis &
Treatment in Neurology. A Lange medical book. Mc Graw Hill. 2007; p 449-61.
3. Roos KL, Tyler KL, Meningitis, encephalitis, brain abscess, and empyema. In : Hauser SL editor.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw Hill. 2006; p 423-55.
4. Standar Pelayanan Medik – PERDOSRI 2007.
Bell’s Palsy
Definisi
Bell’s palsy adalah facial paralisis karena disfungsi dari nervus fasiaalis perifer yang menyebabkan
kelumpuhan otot-otot wajah. Dapat disebabkan oleh inflamasi yang menyebabkan edema nervus fasialis.
Suatu proses non-supuratif, neo-plasmatik, non-degeneratif primer pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang akut dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan.
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga terjadi pembengkakan pada saraf wajah sebagai reaksi terhadap
infeksi virus, penekanan atau berkurangnya aliran darah.
Patofisiologi
Adapun etiologi Bell’s palsy, proses yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy
adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan
pertama adalah endothelium dari kapiler dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi
kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan alirah darah
sehingga terjadi hipoksia yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya
enzim proteolitik, terbentuknya peptide-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai
hancurnya nucleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
Gejala
Terjadi secara tiba-tiba
Terjadi kelemahan otot wajah (kelemahan otot wajah yang terjadi bisa ringan sampai berat tetapi,
biasanya oada satu sisi wajah)
Merasakan nyeri dibelakang telinga
Mati rasa, atau merasakan ada beban berat di daerah wajah, meskipun sebetulnya sensasi di wajah
adalah normal
Karena bersifat perifer, maka penderita mengalami kesulitan dalam menutup mata pada sisi yang
terkena, mempengaruhi sekresi air liur, air mata dan mempengaruhi rasa pengecapan dilidah.
Anamnesa
Rasa nyeri.
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar
ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialamai oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes,
dan lain-lain.
Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis paresis N.VII tipe perifer yaitu gerakan volunter dari :
Mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Mengembangkan cuping hidung
Tersenyum
Bersiul
Mengencangkan kedua bibir
Prognosis
Prognosis bell’s palsy baik
Diferensial diagnosis
Tumor pada serebelopontin angle yang menekan saraf fasialis
Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misal sindroma Ramsay Hunt)
Infeksi telinga tengah atau sinus mastoideus
Patah tulang pada dasar tengkorak
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengeklusikan bell’s palsy dari diferential diagnosis diatas dapat ditentukan dari riwayat perjalanan
penyakit, hasil pemeriksaan Rontgen, CT-scan, MRI dan elektrifisiologi.
Terapi Rehabilitasi
Terapi medikementosa oral (golongan kortikosteroid)
Terapi non medikamentosa:
- Untuk mengurangi nyeri pemberian modalitas panas pada sisi wajah yang terkena.
Pemanasan superfisial dengan infra reds, pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau
Microwave Diathermy dengan memperhatikan indikasi dan kontraindikasi.
- Latihan reedukasi otot-otot wajah.
Latihan gerak volunter otot wajah dengan massage wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengakat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut,
tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan di depan kaca untuk feedback dengan konsentrasi penuh).
- Pemberian Modalitas listrik untuk mencegah atrofi dan memperkuat otot.
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah / memperlambat terjadi
atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi otot, melatih fungsi otot,
meningkatkan sirkulasi, meregangkan serta mencegah perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah
onset.
Perawatan Mata
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu berpergian siang hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
Program Rumah
Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit bila sudah melewati stadium akut.
Massage wajah yang sakit kea rah atas dengan menggunan tangan dari sisi wajah yang sehat.
Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan ,
mengunyah permen karet.
Daftar Pustaka
1. Sidharta P. Bell’s Palsy. Dalam Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. astroasmoro S,
Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GD. Dian Rakyat Jakarta ; 2007.
2. Dillingham TR. Electrodiagnostic Medicine II: Clinical Evaluation anda Findings . In: Braddoom RL. et
al. Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p.209
3. Committee of Physical Therapy Protocols Office of Physical Therapy Affairs Ministry of Health –
Physical Therapy Management Facial nerve Paralysis. Kuwait; 2007.
4. Teixeira LJ. Physical for Bell’s Palsy (idiopathic facial for paralysis). The Cochrane Collaboration .
Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 2008.
CARPAL TUNNEL SYNDROME
Gejala
- Gejala klasik CTS adalah baal dan paresthesia pada digiti I, II, III, dan setengah lateral digiti IV. Gejala
awal berupa terbangun pada malam hari denga rasa baal atau nyeri pada jari-jari. Gejala pada siang hari
biasanya disebabkan oleh aktivitas yang memposisikan pergelangan tangan pada fleksi atau ekstensi
berlebihan atau gerakan repetitif yang berlebihan.
- Gejala nyeri pada sisi volar pergelangan tangan dan pegal pada forearm juga dapat ditemukan. Gejala
berkurang dengan mengibas-ngibaskan tangan (flick sign).
- Gangguan otonom dapat dideskripsikan sebagai adanya edema pada tangan, kulit kering dan dingin.
- Pada tahap yang lebih lanjut, rasa baal dirasakan konstan dan gangguan motorik tampak lebih jelas,
dengan keluhan kelemahan yang berhubungan dengan prehensi tangan. Dilaporkan sering menjatuhkan
benda yang digenggam.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi kedua tangan, dibandingkan sisi yang sakit dan sehat, perhatikan asimetris eminentia thenar
dan hypothenar. Kelamahan pada otot thenar dapat dites dengan dynamometer atau secara klinis dengan
memberikan tahanan pada gerakan abduksi digiti I.
Pemeriksaan sensoris diskriminasi 2 titik merupakan pemeriksaan bedside yang paling sensitive. Tes
khusus yang sering dilakukan adalah tes Phalen (sensitivitas 68%; spesifitas 73%), Tinel (50%;77%)
dan tes kompresi saraf (64%;83%).
- Tes Phalen dilakukan dengan fleksi pada pergelangan tanagan sebesar 90 selama 1 menit, hasil
positif akan menimbulkan gejala CTS. Tes reverse phalen dilakukan dengan cara serupa dan ekstensi.
- Tes Tinel dilakukan dengan mengetuk pergelangan tangan bagian volar, distal dari wrist crease.
Hasil positif bila terjadi gangguan sensoris yang menjalar menjalar ke daerah inervasi nervus
medianus.
- Tes kompresi saraf dilakukan dengan memberika penekanan dengan kedua ibu jari pada daerah
carpal tunnel selama 1 menit.
Diskriminasi 2 titik adalah tes yang spesifik tapi tidak sensitive.
Atrofi dan tes kekuatan otot abductor pollicis brevis terbukti sebagai tes yang spesifik, tapi tidak
sensitif.
Keterbatasan Fungsional
- Sering terbangun saat tidur di malam hari.
- Kesulitan melakaukan repetitif seperti mengetik, mengemudi kendaraan bermotor.
- Kesulitan menggenggam benda
- Kesulitan mengikat tali sepatu, mengancingkan baju dan memasukkan kunci ke lubang kunci.
Pemeriksaan Penunjang
- Elektrofisiologi: EMG dan kecepatan Hantar Saraf
- Ultrasound muskulosletal
- Radiologi pergelangan tangan
- Laboratorium, untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan endokrin dan reumatologi
Tujuan tatalaksana
- Mengurangi nyeri, kesemutan
- Meningkatkan kekuatan otot
- Mengoptimalkan kemampuan fungsi tangan
Tatalaksana
Terapi Konservatif/Rehabilitasi
Medikamentosa steroid sesuai indikasi (baik oral mapun injeksi). Pemberian oral dapat berupa
prednisone 1x20 mg pada minggu pertama dan 1x10 mg pada minggu kedua atau Prednisolone 1x25
mg selama 10 hari.
Modifikasi pekerjaan sementara waktu termasuk modifikasi postur.
Tendon and nerve gliding exercise
Modalitas :
- Low Level Laser Therapy (LLLT) pada daerah carpal tunel. LLLT dapat mengurangi nyeri,
meningkatkan ROM aktif dan memperbaiki toleransi aktivitas fungsional.
- Pulsed Ultrasound (25% duty cycle), 1 MHz, 1,0 W/cm2 selama 15 menit.
Ortotik. Penggunaan splint pada posisi netral pada malam hari dapat mengurangi gejala CTS.
Penggunaan full-time, bila dapat dilakukan dapat memberikan perbaikan gejala dan elektrofisiologi
yang lebih baik. Perbaikan maksimal terjadi pada 2-3 minggu.
Selama periode istirahat, dilakukan streching fleksi dan ektensi pergelangan tangan dan forearm
dengan dibantu oleh tangan yang sehat (tendon & nerve gliding exercise.) Latihan strengthening
dapatdilakukan, namun hindari strengthening yang agresif.
Semua tindakan diatas disesuaikan dengan derajat keparahan dan hasil pemeriksaan kemampuan
fungsional (Functional Status Scale (FSS) dan Symptom Severity Scale (SSS).
Komplikasi
Gangguan sensoris dan motorik kronik, kerusakan saraf permanen.
Daftar Pustaka
1. Zhao M, Burke D. Median Neuropathy (Carpal tunnel Syndrome). ln Frontera WR, editor.
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation.2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008
.p 173-7
2. Richardson JK, Craig A. Rehabilitation of Patients with Neuropathies. ln Braddom RL et al.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia; 2011. p 1084-5
3. Dellagata EM, Nolan Jr TP. Electromagnetic Waves: Laser, Diathermy, and Pulsed Electromagnetic
Fields. ln: Michlovitz SL et al. Modalities for Therapeutic lntervention. 5ed. F.A Davis Company.
philadelphia; 2012. p. 147-8
4. Nadler SF, Schuler S, Nadler JS. Cumulative Trauma Disorders. ln: Delisa JL et al. Physical
Medicine and Rehabilitation Principles and Practice.4th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia ; 2005. p. 623-4
5. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicine and Clinical
Neuromuscular Physiology. ln Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.
4th ed. Demos Medical Publishing. NewYork ; 2005. p. 401-2. ●
Guillain Barre Syndrome
Gejala
Kelemahan yang bersifat simetris mengenai anggota gerak bawah dan berprogress dengan cepat
secara assending, disertai atau tidak disertai disestesia (numbness or tingling) naik mengenai otot-otot
alat gerak atas dan otot wajah. Bila mengenai nervus kranialis bisa terjadi parese bulbar, orofaringeal
disfagia dan gangguan respirasi (30% membutuhkan ventilator). Gangguan sensansi berupa gangguan
propioseptif. Pada kasus-kasus berat terjadi gangguan fungsi otonom yaitu : fluktuasi tekanan darah,
hipotensi
ortostatik, dan kardiak aritmia
- Parastesia dimulai dari ujung jari-jari kaki simetris.
- Parastesia dapat berupa nyeri pada punggung atau tungkai
- Parastesis diikuti dengan kelemahan distal (tungkai bawah) dan ascending ke proksimal
secara simetris secara Progresif
- Kelemahan dapat berlangsung selama beberapa hari sampai 4 minggu
- Kelemahan dapat mengenai semua otot tubuh, termasuk otot-otot respirasi
- Sering didahului oleh infeksi virus, imunisasi, atau prosedur pembedahan
Pemeriksaan Fisik
- Abnormalitas sensori yang bersifat ascending secara simetris
- Kelemahan simetris bersifat ascending
- Hilangnya deep tendon reflex
- Gangguan sistem autonom dan adanya gangguan respirasi (gangguan saraf perifer yang mengenai
diafragma dan otot-otot intercostalis)
- Keterlibatan nervus kranialis
Keterbatasan fungsional
- Kesulitan mobilisasi dan melakukan aktivitas sehari-hari
- Gangguan menelan
- Gangguan respirasi
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (cairan CSF) : peningkatan protein (100-1000mg/dl), tidak adanya pleiositosis.
EKG akibat sistem otonomik terganggu
Elektrofisiologi :
- KHS: dista latensi yang memanjang, perlambatan hantaran konduksi, conduction block, prolong
F wave dan H reflex, abnormal SNAP, abnormal CMAP peningkatan dispersi temportal
- EMG: normal pada fase akut, bisa terjadi penurunan firing motor unit pada usaha maksimal
atau recruitment motor unit menurun
- lndeks Barthel
Komplikasi
Gagal pernafasan
Kontraktur
lnfeksi saluran kemih
Autonomik disfungsi
Prognosis
Delapan puluh persen terjadi pemulihan yang komplit dalam waktu beberapa bulan sampai dengan 1
tahun,
5-10% juga terjadi pemulihan tetapi dengan disabilitas berat,
4% meninggal,
5-10% terjadi eksaserbasi dimana akhirnya di kategorikan sebagai kronik inflammatory demyelinating
polyneuropaty (CIDP).
Prognosis buruk:
- Bila usia >40 tahun
- Didahului diare
- Membutuhkan ventilator
- adanya titer antiGM tinggi
- kekuatan otot anggota gerak atas yang rendah
Daftar Pustaka
1. Craig A. Richardson JK. Rehabilitation of Patinets With Neuropathies. ln: Braddom RL et al' Physical
Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 1072-4
2. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicine and Clinical
Neuromuscular Physiology. ln: Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.4th
ed. Demos Medical Publishing. New York ; 2005 .p. 385.
Myasthenia Gravis
Manfestasi myasthenia dapat bervariasi dan melibatkan otot-otot penggerak bola mata, otot wajah,
orofaring, otot-otot aksial dan tungkai. Reflek fisiologis, fungsi otot polos dan sensibilitas superfisial atau
kulit masih utuh. Diagnosis klinis myasthenia ditegakkan dengan pemerikaan serologis yang menunjukkan
adanya antibodi AChR dan respons dekremental elektrofisiologis terhadap stimulasi saraf 2-3 Hz berulang
pada otot-otot proksimal.
Terapi Rehabilitasi
Inspiratory muscle therapy:
- Diafragmatic breathing
- Pursued lip breathing
Latihan harus diselingi dengan periode istirahat.
Elektrikal stimulasi sebanyak 5 kali (inisial: 3 Hertz) dilakukan selang-seling setiap 1-4 menit setelah
latihan
Jika piasien tidak dapat melakukan latihan secara volunteer maka diberikan repetitive stimulation
dengan frekuensi tinggi (rating: 30-50 Hz)
Daftar Pustaka
1. Dilingham TR. Electrodiagnostic Medicine ll: Clinical Evaluation and Findings. ln: Braddom RL et
al. Phisycal Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia ; 2011. p. 218-9
2. Robison LR. Electrodiagnostic Evaluation of the Peripheral Nervous System. ln: DeLisa JL et al.
Physical Medicine and Rehabilitation Principles and Practice. 4 th ed. Lippincott Williams
and Wilkins. Philadelphia; 2005. p 102
Motor Neuron Disease
Gejala
- Sindrom upper motor neuron: spastisitas, kehilangan deksteritas, kekakuan (stiffness), kelemahan akibat
spastisitas dan kehilangan kontrol motorik volunter.
- Sindrom lower motor neuron: kelemahan, fasikulasi, atrofi otot dan kram pada otot.
- Gejala bulbar: disartria, disfagia, ngeces (drooling), aspirasi dan afek pseudobulbar (tertawa atau
menangis yang tidak sesuai dengan mood).
- Gagal napas dan gejala konstitusional seperti kehilangan berat badan dan fatique dapat juga ditemukan.
- Gejala kognitif seperti gangguan perilaku atau fungsi eksekutif dan demensia frontotemporal terjadi
pada minoritas pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis
- Tanda-tanda disfungsi upper dan atau lower motor neuron
- Status mental, fungsi nervus kranial non motorik, pemeriksaan sensoris dan pemeriksaan serebellar
biasanya normal
- Gold standart untuk diagnosis upper motor neuron adalah ditemukannya refleks patologis
seperti Babinsky sign, Hoffmann sign dan brisk jaw jerk.
- Hiperrefleks atau hiporefleks, tergantung pada proses penyakit dan dominansi keterlibatan upper atau
lower motor neuron.
- Tanda-tanda lower motor neuron seperti kelemahan otot, atrofi (otot intrinsik tangan), hipotonis,
hiporefleks dan fasikulasi.
- Pemeriksaan lidah dapat ditemukan atrofi dan fasikulasi.
Pemeriksaan musculoskeletal
- Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan evaluasi sendi atau struktur jaringan lunak, kekuatan otot.
- Evaluasi sistem kardiovaskular dan pulmonal seperti menghitung Forced Vital Capacity (FVC) dengan
menggunakan hand held spirometry.
Keterbatasan Fungsional
Efek langsung dan tidak langsung dari kelemahan otot. Gangguan mobilisasi dan kesulitan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan. Kelemahan otot bulbar akan menimbulkan disartria dan
disfagia. Depresi, fatique dan nyeri muskuloskeletal dapat menimbulkan keterbatasan fungsi lebih lanjut.
Pemeriksaan Penunjang
MRI
Pemeriksaan Iaboratorium dilakukan untuk melihat kesehatan pasien secara umum dan menyingkirkan,
kemungkinan penyakit yang bisa diobati. Pemeriksaan yang lebih spesifik disesuaikan dengan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Elektrodiagnostik
Neuroimaging dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan kondisi yang menyerupai
ALS. Setiap pasien harus menjalani tes elektrodiagnostik, kriteria El Escorial revisi digunakan untuk
mendiagnosis ALS, terdapat 5 kategori: definite, probable, probable dengan dukungan hasil laboratorium,
possible dan suspected. Sistem motorik dibagi menjadi 4 regio: bulbar, cervical, thoracic, dan lumbosacral.
Bukti keterlibatan upper dan lower motor neuron dicari pada tiap regio. Kategori diagnosis tergantung pada
seberapa banyak regio yang memiliki kelainan upper dan lower motor.
Tujuan tatalaksana
Tujuan rehabilitasi:
Tahap awal: mencegah maupun memperlambat komplikasi karena terjadinya kelemahan otot
Tahap lanjut: mempertahankan fungsi dan mengkompensasi kelemahan otot
Terapi Konservatif
Medikamentosa
- Dapat diberikan antiglutamat agent, vitamin dan suplemen (antioksidan) dengan dosis 1000 to 3000 mg
vitamin C, 400 IU vitamin E, dan maksimal 1200 mg coenzyme Q10.
- Spastisitas: Baclofen atau tizanidine.
- Bilamana ada depresi dapat diberikan antidepresan trisiklik.
Rehabilitasi
Latihan fisik pada tahap awal terdiri dari latihan fleksibilitas (stretching dan ROM), strengthening dan
aerobic. Latihan penguatan diafragma dengan inspiratory muscle exercise 5-10 menit, 3x/hari.
Pada ALS tahap lanjut, rehabilitasi berfokus pada latihan untuk mempertahankan mobilisasi independen
dan fungsi selama mungkin. Intervensi mobilisasi meliputi meliputi cane, walker, braces, wheelchair.
Perlengkapan rumah tangga seperti dressing aids, grab bars, raised toilet seats, shower benches dan lifts,
modifikasi (ramps, wide doorways), penggunaan splint tangan dan adaptasi kendaraan bermotor seperti:
hand controls, enviromental control units dan voice-activited software.
Spastisitas hanya diterapi bila mengganggu fungsi. Teknik non farmakologi meliputi latihan stretching,
teknik positioning yang dapat menurunkan tonus otot dan positional splinting. Farmakologis dengan
menggunakan Baclofen, dosis awal 5-10 mg 3x/hari, dosis maksimum 160 mg.
Penanganan kontraktur dengan latihan berdiri dan berjalan setiap hari, ROM aktif dan pasif setiap hari,
positioning ekstremitas ke posisi ekstensi pada posisi istirahat dan penggunaan supportive splinting.
Pada pasien dengan gangguan menelan dilakukan evaluasi gangguan menelan baik secara klinis maupun
FEES. Pada pasien dengan gangguan menelan sedang, dapat diajarkan teknik kompensasi untuk
mengurangi risiko aspirasi dan tersedak, modifikasi konsistensi makanan. Indikasi pemasangan NGT
meliputi pneumonia aspirasi, kehilangan 10% berat badan dan waktu makan yang sangat lama sehingga
mempengaruhi kualitas hidup.
Disartria ringan atau sedang dapat ditangani dengan mengajarkan pasien strategi adaptif seperti
overartikulasi dan memperlambat kecepatan bicara. Pada pasien dengan hypernasal speech yang
disebabkan oleh kelemahan palatal dan disfungsi lower motor neuron primer, dapat diajarkan palatal lift
atau prostetik augmentasi untuk memperbaiki kejernihan suara.
Penggunaan ortosis, sesuai dengan impairment yang ditemukan pada pasien, yang diberikan dengan tujuan
mempermudah pasien melakukan ADL (yang sering digunakan AFO, KAFO, wheelchair).
Okupasi terapi dapat melatih pasien agar tetap menjalankan ADL semandiri mungkin, melalui cara
konservasi energy, alat bantu untuk berpakaian (buttoners, sock pullers, reachers, velcro fasteners for
clothes) modifikasi alat lainnya (built-up handles, universal cuffs, plate guards). Hand splint dapat
digunakan mengoptimalkan fungsi tangan.
Kemampuan pengembangan rongga dada harus diperiksa secara rutin untuk mengetahui terjadinya
gangguan pernafasan. Bilamana terjadi gangguan pernafasan akibat kelemahan otot-otot pernafasan maka
elektrostimulasi neuromuskular dapat diberikan.
Daftar Pustaka
1. Krivickas L.5. Motor Neuron Disesase. ln: Frontera WR, editor. Essentials of Physical Medicine and
Rehabilitation, 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia; 2008 .p 705-12.
2. Joyce N, Carter GT. Motor Neuron Disease. ln: Braddom RL et al. Physical Medicine and
Rehabilitation.4th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia; 2011. p. 1041-63
3. Krivickas LS, Carter GT. Motor Neuron Disease. ln: Delisa JL et al. Physical Medicine and
Rehabilitation Principles and Practice, 4th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia; 2005. p.
931-56
4. Freeman TL, Johnson EW, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic Medicineand Clinical
Neuromuscular Physiology. ln: Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.4 th
ed, Demos Medical Publishing. New York; 2005. p. 404-7
5. Koller H, Hartung HP. Neuromuscular rehabilitation: diseases of the motor neuron, peripheral nerve
and neuromuscular junction. ln: Seizer ME et al. Textbook of Neural Repair and Rehabititation Volume
ll Medical Neurorehabilitation. Cambridge: Cambridge University Press. 2006. p. 659-64
MUSKULOSKELETAL
De Quervain Tenosynovitis
Gejala
Keluhan nyeri pada pergelangan tangan ketika menggenggam dan mengekstensikan jari, atau
digambarkan sebagai nyeri pada penekanan di area tersebut, yang persisten selama beberapa
minggu atau bulan.
Keluhan lainnya dapat berupa kekakuan atau nyeri seperti neuralgia, namun sangat jarang terjadi
parestesia pada area distribusi N.Radialis. Biasanya terdapat riwayat penggunaan pergelangan tangan
dan jari-jari yang berlebihan dan berulang pada pekerjaan rumah tangga dan hobi, misalnya bermain
piano, menjahit, merajut, mengetik, bowling, golf, dll.
Pemeriksaan fisik
Nyeri tekan dan bengkak pada area sekitar prosesus Styloideus radii
Tes Finkelstein yang positif
Penurunan kekuatan menggenggam dan menjimpit karena nyeri atau "disuse" sekunder karena nyeri
Keterbatasan Fungsional
Hendaya fungsional ibu jari akibat penjepitan mekanik atau nyeri.
Aktivitas sehari-hari yang terganggu adalah berpakaian, mengancingkan baju, hobi seperti bowling,
golf, merajut, dan menjahit.
Pekerja pabrik yang banyak menjalankan aktivitas menarik atau mendorong secara berulang berada
pada resiko terkena penyakit ini.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos pergelangan tangan untuk menyingkirkan penyebab lain
Perbaikan gejala setelah injeksi anestetik local pada kompartemen pertama
Bone scan : jika penemuan klinik tidak menunjang diagnosis
USG Muskuloskeletal: adanya gambaran cairan hipoechoic yang meregangkan selubung tendon
dengan ganbaran inflamasi pada tendon
Diagnosis Banding
Carpal joint arthritis
Triscaphoid arthritis
Intersection syndrome
Radial nerve injury
Ganglion cyst
Cervical radiculopathy
Scaphoid fracture
Carpal tunnel syndrome
Radioscaphoid arthritis
Kienbock disease
Extensor pollicis longus tenosynovitis
Tatalaksana
Mengurangi nyeri
Meningkatkan fungsi
Tatalaksana
Immobilisasi dengan thumb spica splint
Obat-obatan: NSAIDS
Modalitas fisik: terapi menggunakan es, terapi panas, TENS, US (ultrasound) diathermy, dan
iontophoresis.
Friction massage
Terapi latihan :Latihan aktif
lnjeksi anestetiklokal dan kortikosteroid
Tindakan bedah
Potensi komplikasi
Efek samping NSAIDS pada lambung, hepar, dan ginjal
Efek samping injeksi : nyeri pasca injeksi, parestesia radialis sementara, reaksivasovagal, atrofi lemak
subkutan,
Efek samping injeksi steroid : resiko perdarahan, kelemahan tendon, dapat terjadi ruptur tendon
Komplikasi tindakan bedah : cedera N.Radialis, pelepasan retinaculum yang tidak sempurna, dan
subluksasi tendon
Daftar Pustaka
1. O'Neil CJ. De Quervain Tenosynovitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo T (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 129-32
2. Chio P. Borg-Stein J. Cumulative Trauma Disorders. In : Delisa JA (ed) Delisa’s Physical Medicine
and Rehabilitation, fifth edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia; 2010: p. 923-36●
CEDERA MENISKUS SENDI LUTUT
(MENISCAL INJURIES, CARTILAGE TEARS, LOCKED KNEE)
Definisi
Cedera pada jaringan fibrokartilagenus yang melapisi kedua permukaan tulang yang bersendi, yaitu
antara femur dan tibia. Fungsi utama meniscus adalah untuk mendistribusikan beban yang diterima lutut
dan
meningkatkan stabilitas.
Gejala
adanya pengalaman sensasi "pop" atau "snap" pada saat terjadinya cedera
nyeri pada saat aktivitas yang membutuhkan gerakan memfleksikan lutut biasanya
terjadi kondisi lutut terkunci secara mekanik
jika terjadi lutut terkunci secara mekanik dan hilangnya kemampuan ekstensi lutut penuh atau curiga
"bucket handle tear"
pembengkakan sendi lutut t hari setelah cedera
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi pola jalan (gait): antalgic gait atau pemendekan fase stance dan ekstensi sendi lutut pada sisi
yang sakit
efusi sendi lutut pada sekitar separuh penderita cedera meniscus
atrofi otot quadriceps setelah cedera beberapa minggu
Nyeri sendi saat palpasi, terutama pada area posteromedial atau lateral
Tes "bounce-home" yang positif
Tes McMurray positif (58% kasus)
Tes Kompresi Apley positif (45% kasus)
(hasil pemeriksaan fisik kurang dapat diandalkan apabila terdapat cedera ligamen cruciatum anterior
secara bersamaan)
pemeriksaan neurologis termasuk sensasi dan reflex tendon dalam batas normal
Keterbatasan Fungsional
kesulitan dalam aktivitas yang membutuhkan gerakan memfleksikan lutut seperti menaiki tangga,
jongkok, kadang-kadang terjadi kesulitan pula dalam aktivitas jogging, berlari, atau berjalan.
pekerja yang berjongkok secara berulang kali dapat mengalami lutut terkunci secara mekanik dengan
hilangnya kemampuan untuk mengekstensikan sendi lutut secara penuh ketika bangkit
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sendi lutut : biasanya normal, untuk cedera meniscus degeneratil terdeteksi dengan foto
polos lutut anteroposterior dan lateral posisi berdiri (weight bearing)
MRI : untuk cedera meniskus non degeneratif
Arthroscopy
Diagnosis Banding
Cedera ligamen Cruciatum anterior atau posterior
Cedera ligamen Collateral medial
Osteoarthritis
Plica syndromes
Tendinitis Poplitea
Lesi osteokhondrotik
Nyeri patellofemoral
Sindrom penjepitan bantalan lemak
Arthritis inflamatori
Fraktur Fiseal
Tumor
Tujuan tatalaksana
mengurangi nyeridanpembengkakan
meningkatkan lingkup gerak sendi
mempercepat penyembuhan mencegah atrofi otot karena disuse
meningkatkan kekuatan dan endurans otot
tatalaksana
Fase akut
Istirahatkan, kompres dingin, penekanan/ balut tekan, dengan pembebanan berat badan sesuai
toleransi.
Pasien mungkin memerlukan tongkat ketiak (crutches) untuk sementara
Bidai lutut (knee splint)
Analgetik (acetaminophen, opioid, NSAIDs)
Arthrocentesis (dalam 24-48 jam pertama) untuk diagnosis dan terapi apabila terdapat efusi yang
signifikan
Rehabilitasi
Minggu I : tujuan untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan, dan meningkatkan lingkup gerak sendi,
kekuatan otot dan endurans. Dapat diberikan latihan.
Latihan aerobic conditioning : setelah dapat mentolerir latihan bersepeda statik atau aqua jogging
Jika kondisi makin membaik, kombinasi latihan 'bpen and closed kinetic chain" pada ketiga bidang
pergerakan dapat dilakukan bersama-sama peregangan anggota gerak bawah.
Semakin lanjut, aktivitas yang lebih bersifat fungsional mulai dilakukan
Terakhir, latihan plyometric dapat diperkenalkan secara bertahap, untuk kemudian kembali pada
aktivitas olah raga yang spesifik
Definisi
Nyeri yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah yaitu diantara iga terbawah sampai lipatan
gluteal.
Epidemiologi .
60-90 % insiden dalam seluruh hidup
5% insiden tahunan
Insiden pada pria sama dengan wanita
Pada usia 60 th: wanita Iebih banyak dari pria
Pada sekitar 50%-80% orang dewasa yang bekerja terjadi LBP tiap tahunnya
2. Non-mekanikal
Neoplasia (0,7%)
Infeksi (0,01%)
Osteomyelitis
Abses epidural
Abses paraspinal
Penyakit Pott
Artritis inflamatorik (0,3%)
Ankylosing spondylitis
Psoriatic spondylitis
SindromaReiter
Penyakit Paget tulang
Aktivitas sehari-hari Perlu perhatian khusus jika didapati hal-hal berikut (redflags):
Back pain pada anak <18th, atau dewasa >55 th
Riwayat trauma
Nyeri progresif pada malam hari
Riwayat keganasan
Riwayat pengobatan dengan steroid
Drug abuse, HIV infection
Penurunan berat badan (Weight loss)
Penyakit sistemik
Lingkup gerak senditerbatas dan persisten
Nyeri yang intens dengan gerakan minimal
lncontinensia
Kelemahan motoric
Pemeriksaan fisik
Observasi
- Postur: anterior, posterior, lateral
- Deformitas tulang belakang
- Kulit: psoriasis, atau penyakit vaskular yang menimbulkan nyeri
- Pola jalan
Palpasi
- Tulang
- otot: trigger point, spasme, tonus
Gerakan
- ROM Spine: forward flexion, extension, side bending, rotasi
- Ekstremitas
Tes Neurologi;
- MMT: miotom Ll-S1
- Sensitifitas; dermatom L1-S1
- Reflex
- Keseimbangan dan koordinasi
Low Back Maneuver:
- SLR
- Kernig test
- Pelvic rock test
- Gaenslen sign
- Patrick-Contra Patrick
Keterbatasan fungsional
Lingkup gerak sendi
Transfer dan mobilisasi
Aktivitas kehidupaan sehari-hari
Bekerja
Pemeriksaan Penunjang
Neurofisiologi
- Elektromiografi (EMG),
- Needle EMG dan H-refleks
- Somatosensory Evoked Potensial (SEP)
Radiologik
- Foto polos
- Mielografi, Mielo-CT, CT-Scan, MRI
- Diskografi
Laboratorium
- LED, DL, UL
Tujuan tatalaksana
mengurangi nyeri
meningkatkan kekuatan otot-otot trunkus dan panggul
meningkatkan stabilitas lumbal
mengurangi spasme otot lumbal
Tatalaksana
Program Manajemen Konservatif Nyeri Punggung Bawah
Edukasi pasien, konseling (fisik, okupasi, vokasional, psikososial)
Terapiobat: parasetamol, OAINS, muscle relaxant dan antidepresan
Terapi suntikan: 1olo xylocaine, kortikosteroid --> trigger point injection
Modalitas fisik: cold packs (48jam pertama), hot packs, ultrasound, TENS
Orthosis: LSO bila perlu
Aktifitas fisik terkontrol, tirah baring lama
Terapi latihan:
- Peregangan lumbal & panggul + ROM exercise (+ heat/cold modalities)
- Penguatan ekstensor trunkus + panggul
- Latihan stabilisasi lumbal
Okupasi: body mechonics dan posture training
Manual medicine: manipulasi untuk mengurangi spasme
Daftar Pustaka
1. Abd OE. Low back Sprain or Strain. ln: Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds) Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 247-52
2. Barr KB Harrast MA. Low Back Pain. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 : 871-912 ●
TENSION TYPE HEADACHE (TTH)
Definisi
TTH merupakan suatu tipe sakit kepala yang bersifat bilateral, intensitasnya sedang/ moderat, dan
digambarkan seperti sensasi tertekan atau diremas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Berlangsung
bervariasi antara 30 menit sampai 7 hari.
Pemeriksaan fisik
Pasien yang mengalami TTH terlihat tidak nyaman tetapi secara keseluruhan tidak mengganggu kapasitas
fungsional.
Keterbatasan fungsional :
Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari karena nyeri
Tujuan tatalaksana
Mengurangi nyeri
Tatalaksana
Modifikasi gaya hidup, termasuk tidur yang teratur dan cukup
Terapi non farmakologis, termasuk biofeedback (suhu atau EMG). Terapi fisik yang terfokus pada
peregangan, penguatan dan pengembangan program latihan daripada modalitas pasif.
Terapi akut terdiri dari obat-obatan NSAID dan kombinasi isomepthene (midrin). Sedatif potensial
atau opioid atau komponen yang mengandung barbiturate harus dihindari.
Terapi profilaksis, terdiri dari obat-obatan NSAID antidepresan trisiklik dan sodium valproat.
efek samping
komplikasi yang mungkin adalah reaksi alergiterhadap obat-obatan.
Deftar Pustaka
1. Loder E. Headaches. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essential of Physical Medicine
and Rehabilitation, 2nd ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 519-24
2. Hong CZ. Muscle Pain Syndromes. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 971-1001●
FROZEN SHOULDER
Definisi
suatu penyakit yang idiopatik, progresif, yang menyebabkan keterbatasan ROM aktif maupun pasif
onsetnya tiba-tiba dan melewati 3 fase, biasanya berlangsung 1-2 tahun. Fasenya yaitu; fase sangat nyeri,
fase beku atau adhesif, dan fase resolusi.
Gambaran Patologis
Fase sangat nyeri ditandai adanya sinovitis yang berlanjut menjadi penebalan kapsular (terutama pada
bagian anterior dan posterior kapsul) dan disertai penurunan cairan synovial
Fase adhesive ; fibrosis yang terjadi pada kapsul semakin berat dan penebalan pada tendon rotator
cuff. sendi glenohumeral makin menyempit dan terjadi obliterasi.
Fase resolusi ; perubahan lebih berat disertai inflamasi kronis yang pada akhirnya terjadi hilangnya
celah sendi.
Gejala
Fase sangat nyeri; nyeri progresif, bertambah berat saat malam haridan setelah aktivitas leher
Fase adhesive ; nyeri berkurang, menurunnya ROM di setiap bidang, terjadi kekakuan pada ROM aktif
dan pasif.
Fase resolusi ; ditandai peningkatan secara bertahap ROM normal tanpa nyeri.
Pemeriksaan fisik
Pada fase sangat nyeri terjadi penurunan ROM aktif dan pasif. Tiap gerakan menyebabkan nyeri, terutama
external rotasi dan abduksi.
Keterbatasan fungsional
Gangguan tidur karena nyeri atau ketidakmampuan untuk tidur pada sisi yang nyeri
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya mengancingkan bra di punggung,
menautkan ikat pinggang, menjangkau sabuk pengaman, menyisir rambut)
Terbatasnya aktivitas yang berkaitan dengan gerakan di atas kepala
Terbatasnya aktivitasnya rekreasi, misalnya melempar bola, gerakan crowlstroke saat berenang
Tujuan tatalaksana
mengurangi nyeri dan inflamasi disertai peningkatan ROM di semua bidang.
Tatalaksana
Pada awal nyeri dan inflamasi ditangani dengan pemberian es dan obat-obatan anti inflamasi serta
modifikasi aktivitas.
Perbaikan ROM sangat penting, dengan latihan pendulum, peregangan melewati kepala dan abduksi
silang pada sisi yang terkena.
Setelah terjadi perbaikan, latihan yang lebih rinci harus diajarkan kepada pasien.
Prosedur
1. Terapi konservatif : prosedur dilakukan bersamaan dengan sesi terapi fisik dan modalitas untuk
menurunkan nyeri. Modalitasnya termasuk pemberian es pasca terapi, TENS, US, dan iontophoresis.
2. Terapi lnjeksi : lnjeksi glenohumeral dengan saline atau lidokain (untuk melisis-/ lepas-kan adhesi
dan untuk meregangkan kapsul)
3. Terapi bedah : tindakan bedah yang dilakukan jika terapi konservatif gagal, yang sering digunakan
yaitu Manipulasi di bawah anestesi.
Efek samping
Efek samping dari terapi konservatif jarang terjadi, tetapi kadang berhubungan dengan obat-obatan
NSAID dan analgetik, yaitu perdarahan GIT, gastritis, hepatitis toksik, dan gagal ginjal. Pada pasien CHF
dan hipertensi yang telah terjadi retensi cairan harus berhati-hati dengan penggunaan obat NSAID.
Pada pasien yang dilakukan blok saraf suprascapular, harus dicegah injeki ke intraneural atau intravascular.
Komplikasi pasca bedah yang dapatterjadiadalah fraktur humerus ketika dilakukan manipulasi di bawah
anestesi.
Daftar Pustaka
1. Krabak BJ, Banks NL. Adhesive Capsulitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 49-
54
2. Finnoff JT. Musculoskeletal Disorders of Upper Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders Publishing, Philadelphia; 2011: 817-42 ●
CEDERA LIGAMEN BAHU
Definisi
Cedera pada kompleks acromioclavikular dibagi menjadi VI tingkatan (tabel 9-1)
Gejala
Pasien biasanya mengalami riwayat trauma pada bahu atau sendi acromioklavikular. Pasien
melakukan olahraga seperti sepakbola, ski menuruni bukit.
Pasien mencari pertolongan karena merasakan nyeri pada bagian anterior bahu. Nyeri menjalar sampai
ke dasar leher dan trapezius atau otot deltoid atau sampai ke lengan dengan pola radikular.
Pasien mengeluhkan nyeri yang terjadi pada saat gerakan menyilangkan lengan melewati dada (seperti
hendak mengambil sesuatu dari saku baju) atau ketika gerakan lengan ke belakang (seperti memakai
kaos). Nyeri juga terjadi saat fleksi bahu (meraih sesuatu melewati kepala) atau ketika lengan
diadduksikan melewati dada.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang tepat untuk cedera acromioklavikular termasuk pemeriksaan pada leher dan bahu
untuk memeliminasikan kemungkinan radikulopati atau referred pain.
Pada inspeksi, dapat dilihat daerah yang meninggi pada sendi acromioklvikular. lni disebabkan depresi
dari scapula terhadap klavikula atau karena edema pada sendi itu sendiri. Daerah ini biasanya terasa
nyeri saat ditekan. Pada ROM aktif, pasien mengeluhkan nyeri pada saat fleksi behu yang ekstrim.
Nyeri semakin bertambah saat bahu semakin difkelsikan, baik secara aktif maupun pasif. Nyeri
biasanya menghilang saat dilakukan MMT yang isometric pada otot rotator cuff.
Tes khusus yang dapat dilakukan antara lain ; tes adduksi menyilang tubuh, tes kompresi aktif, tes
ekstensi tahanan acromioklavikular, tanda Paxinos.
Keterbatasan fungsional
Keterbatasan aktivitas menjangkau ke atas, menjangkau arah menyilang badan, membawa barang
berat karena nyeri
Kesulitan memakai baju, menyisir rambut, menjinjing tas atau keranjang belanjaan.
Keterbatasan aktivitas rekreasi, yang berkaitan dengan melempar
Dapat terjadi gangguan tidur karena nyeri
Tujuan tatalaksana
mengurangi nyeri dan inflamasi disertai peningkatan ROM di semua bidang.
Tatalaksana
Terapi awal tergantung pada tingkat cedera dan aktivitas pasien serta tujuannya.
Cedera tipe I dan II ditangani tanpa operasi
Terapi awal untuk semua fase yang tidak memerlukan operasi (tipe I, II, III) termasuk istirahat, es, dan
sling/ brace selama 1 - 6 minggu (rata-rata 2-3 minggu). Analgesik non narkotik yang tersedia bebas
tanpa resep biasanya cukup. Obat-obatan NSAID dapat dipergunakan untuk nyeri dan inflamasi.
lnjeksi ke dalam sendi dapat juga dilakukan pada fase awal untuk control nyeri yang segera dan juga
untuk konfirmasi diagnosis.
Rehabilitasi
Modalitas untuk mengontrol nyeri termasuk aplikasi es, ultrasound diathermy yang dapat diberikan
sebagai phonophoresis dengan lidokain 10%, terapi dengan arus interferensial.
Terapi latihan termasuk Latihan Codman dan Pendulum yang dapat membantu untuk gerak sendi
(ROM) aktif atau aktif-asisted.
Ketika nyeri sudah tidak ada dan ROM sudah penuh, dapat dilakukan program penguatan otot bahu,
menggunakan dumbbell ringan 1 - 5 pounds.
Prosedur
pada pasien dengan cedera tipe I atau tipe II yang ringan dapat dilakukan injeksi untuk mengembalikan
mereka ke aktivitas awalnya selama memiliki ROM yang penuh dan kekuatan yang simetris.
lnjeksi intraartikular dengan kombinasi anestesi lokal dan kortikosteroid dapat mengurangi nyeri dengan
cepat dan lebih lama berkurang nyerinya.
lnjeksi ke dalam sendi juga dapat dilakukan untuk cedera tipe yang lebih tinggi untuk meringankan gejala
dengan lebih cepat. Tetapi terapi tersebut bukan merupakan pengganti istirahat (pada cedera tipe II atau
lebih tinggi), 1 minggu menghindarkan kegiatan yang provokatif setelah injeksisangat dianjurkan.
posisi pasien berbaring atau duduk dengan bahu diganjal dengan bantal, injeksi sendi acromioklavikular
pada kondisi steril menggunakan 25-gauge, 1,5 inci jarum disposabel dan anestesi local atau kombinasi
anestesi dan kortikosteroid. Biasanya 1 - 3 ml cairan di injeksikan (contoh 1 ml lidokain 1% dicampur ml
betametason). Harus diingat bahwa sendi acromioklavikular kecil dan dekat dengan permukaan.
perawatan pasca injeksi termasuk pemberian es lokal selama 10-15 menit dan instruksi pada pasien untuk
menghindari gerakan/ aktivitas yang memperparah selama 1 minggu.
Tindakan Bedah
Cedera tipe IV, V, dan VI merupakan bentuk dislokasi pada sendi acromioklavikular. Tujuan dari semua
tindakan bedah adalah untuk menciptakan sendiyang stabil dan bebas nyeri.
Efek samping
Efek samping dari obat-obatan analgetik dan NSAID telah diketahui, antara lain dapat mempengaruhi
lambung, ginjal dan hepar. lnhibitor COX-2 memiliki efek ke lambung yang lebih sedikit, tetapi resiko
kardiovaskular harus diperhatikan. lnjeksi yang menggunakan jarum yang terlalu panjang dapat sampai ke
ruang sub acromial, sehingga dapat menyebabkan kekeliruan diagnostik dan juga infeksi (jarang).
Komplikasi langsung pada tindakan bedah adalah infeksi, nyeri, kerusakan/ luka pada kulit, dan jaringan
parut hipertropik. Setelah tindakan bedah dapat terjadi deformitas, kegagalan atau migrasi, atau limitasi
pada gerakan. Nyeri dapat terjadi karena reseksi yang tidak tepat, kelemahan atau instabilitas sendi.
Rekalsifikasi setelah reseksi sendi acromioklavikular dapat menyebabkan nyeri dan memerlukan revisi
pada reseksi klavikula distal.
Daftar Pustaka
1. Rizzo TD. Acromioclavicular lnjuries. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 41-8
2. Finnoff JT. Musculoskeletal Disorders of Upper Limb. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 817-42
3. Klaiman MD Fink K. Upper Extremity Soft Tissues lnjuries. ln : Frontera WR, Delisa JA (eds).
DeLisa's Physical Medicine & Rehabilitation fifth edition, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia; 2010: 907-22
JEBAKAN SARAF MEDIAN
(MEDIAN NEUROPATHY =
CARPAL TUNNEL SYNDROME )
Definisi
Terperangkapnya saraf medianus pada pergelangan tangan, merupakan penyebab tersering neuropati pada
ekstremitas atas. Memberikan gejala kesemutan, rasa baal, nyeri, pembengkakan dan pada kasus yang
lebih lanjut terjadi atrofi otot dan kelemahan area yg dipersarafi saraf medianus. Biasanya bilateral
walaupun tangan yang dominan terjadi lebih berat.
Terkena pada 3 ½ jari tangan, gejala timbul pertama saat malam hari. Pada fase lanjut terlihat kelemahan
motorik pada bagian thenar.
Wanita lebih sering terkena daripada pria, dengan prevalensi 5,8% pada wanita dan 0,6% pada pria. Dan
sering pada usia 30-60 tahun.
Gejala
Kebas/baal (Numbness) dan kesemutan pada 3½ jari tangan bagian radial.
Terbangun pada malam hari karena nyeri dan baal (numbness)
Gejala timbul saat aktifitas dengan pergelangan tangan posisi fleksi atau ekstensi atau saat melakukan
gerakan yang berulang
Nyeri pada bagian volar pergelangan tangan dan lengan bawah (forearm)
Gejala berkurang dengan menggoyangkan tangan
Bengkak pada tangan, sehingga sulit menggunakan perhiasan atau jam tangan
Kulit kering, tangan terasa / teraba dingin
Kelainan motorik, sering menjatuhkan barang karena kelemahan tangan.
Pemeriksaan fisik
Observasi tangan, membandingkannya dengan tangan yang tidak sakit. Perhatikan otot thenar dan
hipothenar pada tangan yang sama, akan terlihat lebih asimetris.
Memeriksa kelemahan otot intrinsic thenar dengan dynamometer atau dengan mengabduksikan ibu
jari yang kemudian diberi tahanan.
Two-point discrimination untuk membandingkan distribusi sensoris saraf medianus dengan ulnaris
Tes khusus:
- Phalen test / Prayer test
- Tineltest
-
Keterbatasan fungsional
Sulit tidur karena terbangun saat munculnya gejala
Kesulitan dalam melakukan gerakan berulang (menyetir mobil, menggunakan keyboard komputer)
Gejala lanjut karena kelemahan eminensia thenar adalah kesulitan dalam menggenggam Kesulitan
menalikan sepatu, mengkancingkan baju dan membuka kunci.
Pemeriksaan penuniang
EMG dan gambaran konduksi saraf (‘gold standard’)
Ultrasonografi muskuloskeletal
Dengan injeksi kortikosteroid (jika gejala menghilang maka dipastikan itu CTS)
Rontgen pergelangan tangan
Pemeriksaan darah (GDS, GDPB eritrosit, fungsi tiroid, faktor rematoid)
Diagnosis banding
Radikulopati cervical pada distribusi C5-T1
Pleksopati brakhial
Neuropati median proksimal
Neuropati ulnar atau radial
Neuropati generalisata
Artritis sendi carpal metakarpal ibu jari
De Quervain syndrome
Tendinitis fleksor carpi radialis
Raynaud phenomenon
Hand-arm vibration syndrome
Artritis pergelangan tangan
Gout
Tujuan Tatalaksana
Mengontrol nyeri
Mengurangi bengkak (jebakan)
Menstabilisasi sendi
Mencegah atrofi otot thenar
Penatalaksanaan
Splint malam hari pada posisi netral, dapat mengurangi gejala
Penggunaan splint sepanjang hari, memberikan hasil yang lebih baik
lstirahat dan meningkatkan ergonomis.
NSAIDs
Oral steroid (prednisone 2Omg/hari selama 1 minggu pertama dan 10 mg/hari selama minggu ke-2
atau prednisolon 25mg/hari selama 10 hari)
Mengistirahatkan pergelangan tangan, mengurangi aktivitas yang membutuhkan gerakan berulang.
Menggunakan kompres dingin untuk mengurangi gejala
Ultrasound diathermy phonophoresis
Memperbaiki posisi tubuh saat melakukan suatu pekerjaan.
Peregangan fleksi dan ekstensi pada pergelangan tangan dan forearm dibantu dengan tangan yang
tidak sakit.
Latihan penguatan dihindari sampai gejala sudah teratasi.
Prosedur
Injeksi kortikosteroid ke dalam terowongan carpal 1 ml steroid (triamcinolone, 4O mg/ml)
Terapi bedah
Jika terapi konservatif gagal
Adanya atrofi atau kelemahan otot
Komplikasi
Penyakit:
- Gangguan sensorik yang kronik
- lmpairmen motorik
- Kerusakan saraf permanen
Terapi:
- Efek samping obat
- Komplikasi tindakan bedah
Daftar Pustaka
1. Vallarino R, Santiago FH. Median Neuropathy. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition. Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 173-
8
2. Lucheti R, Amadio P. Carpal Tunnel Syndrome. Springer. New York. 2007.p 122-43
NEUROPATHY ULNAR
(WRIST/ PERGELANGAN TANGAN)
DEfinisi
Jebakan saraf ulnaris dapat ditemukan pada pergelangan tangan di dalam terowongan yang dibentuk oleh
tulang pisiformis dan hamatum beserta hooknya (pisohamate hiotus), yang kemudian berhubungan dengan
aponeurosis yang membentuk atap dari kanal Guyon.
Sering terjadi pada pengendara sepeda dan orang-orang yang menggunakan tongkat yang tidak tepat, juga
pada pekerjaan menggunakan alat dengan lama dan berulang (tang, obeng)
Gejala
Bervariasi tergantung bagian mana pada saraf ulnaris yang terkena dan percabangan terminalnya.
Penting untuk membedakan gejala terjebaknya saraf ulnaris pada siku dan pada pergelangan tangan
karena keduanya memberikan gejala yang sama. Pergelangan tangan :
- Distribusi sensorik pada kutaneus dorsal ulna.
- Fungsi fleksor carpi ulnaris dan dua medial head dari fleksor digitorum profundus.
Pada siku dan pergelangan tangan :
- Kelemahan dan atrofi otot intrinsik
- Numbness pada jari ke lV dan V
- Nyeri pada tangan
- Pada kasus yang berat, berkurangnya fungsi.
Pemeriksaan fisik
Periksa distribusi motorik dan sensorik yang diinervasi saraf ulnaris
Lesi di cabang motorik, terjadi kelemahan dan atrofi pada interossei, adductor policis, lumbrikalis IV
dan V dan fleksor policis brevis deep head.
Pemeriksaan sensorik didapatkan penurunan sensasi bagian volar dari eminensia hipothenar
dan jari ke IV dan V.
Ulnar claw ( hiperekstensi sendi MCP jari lV dan V dengan fleksi sendi interfalang)
Froment paper sign
Berkurangnya kekuatan menggeggam
Keterbatasan fungsional
Berkurangnya sensasi, kelemahan dan nyeriyang mempengaruhi pergerakan tangan dan deksteritas.
Lesi yang mengenai serabut motorik secara fungsional memberikan gejala yang lebih berat daripada
serabut sensorik.
Kesulitan memegang benda dan melakukan AKS
Pemeriksaan penunjang
Radiografi polos ( melihat fraktur hamate atau tulang karpal lainnya, MCP, distal radius)
MRI
CT-angiografi
Ultrasonografi muskuloskeletal
EMG
Diagnosis banding
Neuropati ulnar di siku (atau tempat lain)
Thoracic outlet syndrome (biasanya lower trunk atau medial cord)
Cervical radikulopati di C8-T1
Motor neuron disease
Superior sulkus tumor
Camptodactily
Tujuan tatalaksana
Mengurangi nyeri
Memaksimalkan fungsi ROM
Meningkatkan kekuatan otot
Tatalaksana
lstirahat dan menghindari trauma (terutama pekerjaan yang berulang)
Penyesuaian postur dan ergonomik
NSAIDs
Analgetik
Low-dose tricyclic antidepressants (untuk nyeri dan membantu tidur)
Antiepileptic (untuk neuropatik pain syndrome)
Splint Pergelangan tangan (terutama malam hari).
Penggunaan padding , shock-absorbent gloves untuk pekerja.
Memaksimalkan fungsi ROM dan kekuatan otot interosseidan lumbrikalis.
Program latihan di rumah (Home exercise)
Static splint dengan ulnar gutter.
Pada kasus yang berat, penggunaan ortosis statik atau dinamik
Kelemahan pada ulnar claw deformity dapat dikoreksi dengan meningkatkan grasp menggunakan
dorsol MCP block (lumbricalbar) pada jari ke lV dan V dengan soft strap di bagian palmar (telapak
tangan).
Prosedur
Injeksi pada kanal Guyon dengan campuran kortikosteroid dengan lidocaine 1% atau 2% total tidak lebih
dari 1 ml. Perawatan pasca injeksi dengan kompres dingin setelahnya selama 5-10 menit, dan
mengistirahatkan tangannya selama 48 jam.
Tindakan bedah
Jika terdapat fraktur pada hook dari hamate atau pisiformis atau tortuous ulnar arteri yang
menyebabkan kelainan neurologis.
Adanya kista ganglion dan pisohamate arthritis
Komplikasi
Penyakit:
- kelemahan dan atrofi yang berat sehingga sulit melakukan pekerjaan yang sederhana
- Nyerikronik
- Depresi dan ketergantungan obat.
Terapi: i83
- Efeksamping obat
- Komplikasi tindakan bedah (infeksi, kekambuhan, kompleks regional pain syndrome)
Daftar Pustaka
1. Vallarino R, Santiago FH. Ulnar Neuropathy (wrist). ln : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essential of Physical medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008 :187-92
2. Thomas MA, Therathil M. Peripheral Neuropathy. ln : Frontera WR, DeLisa JA (eds). Delisa's
Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice 5th ed. Lippincort William & Willis,
Philadelphia: 2010. P741-56
OSTEOARTRITIS (OA) CERVICAL
Definisi
Merupakan perubahan degenerative yang terjadi pada tulang servikal (diskus, corpus vertebra, sendi
Luschka dan sendi facet). Penyakit ini memiliki insiden tahunan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
dan puncaknya sekitar 50-54 tahun. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah multifactor. Genetik,
proses menua (aging), dan faktor gesekan mungkin semuanya memainkan peranan penting.
Diyakini bahwa degenerasi dari diskus mengakibatkan distribusi beban menjadi abnormal, dan selanjutnya
mengarah pada serangkaian perubahan struktur dari komponen tulang belakang. Segmen C5-7, biasanya
menunjukkan perubahan degenerative lebih cepat dan lebih parah dibanding segmen C1-4.
Geiala Klinis
Nyeri leher (axial pain) dan keterbatasan gerak (terutama saat hiperekstensi & fleksi lateral) Kekakuan
dan spasme otot paraspinal
Nyeri radikular sesuai dengan radiks (akar) saraf yang terlibat dan mengikuti distribusi dermatom
Nyeri menjalar ke kepala area Nuchae ataupun Occipital (degenerative sendi servikal atas)
Nyeri menjalar ke regio upper trapezius (degeneratif sendi servikal bawah)
Kelemahan otot mengikuti distribusi miotom
Paraestesia/hypestesia sesuai dengan distribusi dermatom
Nyeri otot trapezius, paraspinal dan interscapula juga bisa didapatkan.
Pemeriksaan Fisik
lnspeksi : keabnormalan postur tulang servikal, lengkung lordosis servikal berkurang,
ketidaksimetrisan postur tampak anterior & posterior.
Palpasi : Nyeri tekan prosesus spinosus, spasme otot paraspinal servikal. Nyeri tekan area Nuchae/
mastoid juga bisa terjadi. Didapatkan fibrosis pada otot jika telah kronis.
Gerak : Keterbatasan lingkup gerak sendi (ROM) servikal (pada satu ataupun beberapa segmen dan
bidang), nyeri gerak pada berbagai bidang (fleksi, ekstensidan rotasi).
Tes Provokasi :
- Tanda Sprulling (kompresi axial posisi fleksi lateral : positif jika terjadi nyeri radikular
- Gerakan rotasi disertai ekstensi : positif jika terjadi nyeri radikular
- Gerakan peregangan berlebihan ke arah fleksi : positif jika terjadi nyeri paraspinal, maupun
kesemutan
- Gerakan fleksi & kontralteral lateral fleksi : positif jika nyerinya berkurang
- Gerakan fleksi siku & abduksi bahu ipsilateral : positif jika nyeri berkurang
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos servikal ; terlihat osteofit, spondilotik, degenerasi diskus, hipertrofi vertebra (AP, Lateral),
terlihat foramina intervertebra dan neural foramina (Oblique)
MRI : melihat kelainan pada jaringan lunak (soft tissue), hiperintensitas pada T2-weighted
USG Doppler: melihat aliran A.vertebralis
Elektrodiagnostik: menjelaskan lokasi lesi saraf
Diagnosis Banding
Rotator cuff tendinitis
Rototor cuff tear
Neuropoti perifer
Carpal Tunnel Syndrome
Tumor vertebra, lnfeksi spinal
Plexopati brachial
Thoracic outlet syndrome.
Komplikasi
Nyeri kronik & deficit nerologis permanen
Stenosis kanalis spinalis
Kompresi A.vertebralis menyebabkan gangguan keseimbangan, pusing (dizziness), postural sway
Gangguan AKS
Tujuan tatalaksana
Memperbaiki postur
Mengoptimalkan ROM
Mengurangi nyeri
Tatalaksana
NSAID (termasuk COX-2 inhibitor)
Analgetik
Tricyclic ontidepressonts (amitriptyline, nortriptyline)
Musle relaxants (eperisone, diazepam, chlorazoxasone, cyclobenzaprine)
Tambahan acetaminophen, hydroxyzine sebagai penghilang rasa nyeri
Injeksi steroid melaluiepidural (4-6 bulan perjalanan penyakit)
Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body mechonics, home
exercise.
Modalitas : ice, elektroterapi, panas (heat), TENS, traksi manual/ mekanikal servikal
Ortosis : - Soft Cervical Collar (awal & intermitten)
- Bantal servikal khusus
- Terapi Latihan (Therapeutic exercise)
Alat bantu kegiatan/pekerjaan sehari-hari (monitor computer ergonomis dalam posisi servikal netral
alat menulis, dll)
Tindakan bedah : Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama satu (1) tahun.
Daftar Pustaka
1. Fast A, Segal M. Cervical Degenerative Disease. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2th ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :
11-6
2. Stitik TP, Kim JH, Stiskal D, Foye P. Osteoarthritis. ln: Frontera WR, Delisa JA (eds). Delisa's
Physical Medicine & Rehabilitation, 5th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia: 2010. p 781-
810
3. McKenzie R. The Cervical And Thoracic Spine Mechanical Diagnosis And Therapy. Spinal
Publications Ltd. Philadelphia. 1990. P 65-78
SPONDYLOLISTHESIS
Definisi
Merupakan tergelincirnya corpus vertebra bagian atas terhadap vertebra di bawahnya. Tergelincirnya
vertebra akan dicegah oleh segmen posterior vertebra, sehingga adanya spondylolisthesis menunjukkan
kegagalan struktural segmen posterior vertebra. Sering terjadi pada vertebra L5-S1, dan L4-L5 karena
proses degeneratif. Dapat juga terjadi pada vertebra Servikal.
Klasifikasi
Berdasarkan etiologi
Displastik
Isthmus
Degeneratif
Traumatik
Patologis
Berdasarkan pergeseran segmen sudut posterior corpus vertebra atas terhadap corpus vertebra bawah
Grade I ≤ 25%
Grade II 26% - 50%
Grade III 51% - 75%
Grade IV > 75%
Gejala Klinis
Low back pain, dengan nyeri tumpul, nyeri pada punggung, bokong, dan posterior paha.
Nyeri menjalar ke tungkai bawah, bisa dikaitkan dengan iritasi radiks saraf
Pemeriksaan Fisik
lnspeksi : kelainan pola gait (waddle dengan hip fleksi, stride length memendek, base of support
melebar
Palpasi : nyeri radikular pada proc.spinosus diatas slip (khas untuk L4), spasme otot paraspinal, otot
hamstring
Gerak (Movement) : Nyerigerak, keterbatasan ROM togok (trunk)
Tes khusus (special): SLR (+) jika terjadi iritasi radiks
Gangguan motorik dan sensorik
Keterbatasan fungsional
Nyeri gerak saat membungkuk (bending), menyetir.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos lumbosacral : terlihat gambaran Scottie dog's neck/collar (Oblique), tampak pergeseran
vertebra sesuai derajat keparahan (AP, Lateral)
CT Scan & MRI : melihat kompresi radiks saraf pada foramina saraf, stenosis spinal.
USG Doppler: melihat aliran A.vertebralis
Elektro diagnostik: menjelaskan lokasi lesi saraf
Diagnosis Banding
Low back pain karena degenerative
Herniasi diskus lumbar
Radikulopati lumbal
Stenosis spinal
Fraktur kompresi vertebra
Tumor, Lumbar sprain & strain.
Tujuan tatalaksana
Mengurangi nyeri
Meningkatkan fleksibilitas
Tatalaksana
NSAID (termasuk COX-2 inhibitor)
Analgetik, tricyclic antidepressants, Musle relaxants (relaksan otot)
lnjeksi Epidural
Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body mechanics, memodifikasi
aktivitas, home exercise
Terapi latihan :
Latihan Peregangan (Stretching exercise) (peregangan untuk mengurangi keterbatasan mobilitas
togok (trunk), meregangkan otot fleksor panggul (hip), otot hamstrings & quadriceps)
Latihan Penguatan (Strengthening exercise) otot-otot (otot punggung & otot abdomen untuk
mengurangi keluhan dari instabilitas lumbal)
Modalitas: seperti US (Ultrosound diathermy), ES (Electrical Stimulation).
Ortosis (Brace anti lordotik) selama 23 jam/hr
Alat bantu kegiatan/pekerjaan sehari-hari
Tindakan bedah : Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama satu (1) tahun.
Komplikasi
Stenosis spinal
Kompresi saraf spinalis
Daftar Pustaka
1. Paul SM. Scoliosis and Other Spinal Deformities. In : Frontera WR, Delisa JA (eds). Delisal physical
Medicine & Rehabilitation, 5th ed. Lippincort William & Wilkins, Philadelphia: 2010.p 883-906
2. Barr KP, Harrast MA. Low Back Pain. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation,
fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011 871-912
CERVICAL SYNDROME
Definisi
Sekumpulan gejala berupa nyeri tengkuk, nyeri yang menjalar, rasa kesemutan yang menjalar, spasme otot
yang disebabkan karena perubahan struktural kolumna vertebra servikalis akibat perubahan degeneratif
pada diskus intervertebralis, atau pada ligamentum flavum. Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa
hal seperti : proses infeksi, perubahan degeneratif, trauma, tumor dan kelainan sistemik. Salah satu
penyebab nyeri servikal adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur
anatomi tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. 34% dari populasi mengalami nyeri
servikal, 14% diantaranya mengalami lebih dari 6 bulan. Lebih sering pada populasi usia diatas 50 tahun.
Gejala Klinis
Nyeri ditengkuk
Nyeri menjalar sampai ke lengan
Kesemutan
Keterbatasan gerak
Pemeriksaan Fisik
lnspeksi : posisi kepala tertekuk menjauhi sisi yang sakit
Palpasi : Nyeri tekan, kekakuan, spasme otot
Movement : Nyeri gerak (+)
Tes sensorik & motorik
Spesial Tes : Spurling (+), Distraksi (+)
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos servikal : penting untuk mendeteksi adanya subluksasi, fraktur, maupun proses
degeneratif.
CT SCAN : dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang servikal dan sangat membantu
bila ada proses akut.
MRI : sebagai pemeriksaan penunjang pilihan untuk regio servikal. Dapat mendeteksi kelainan pada
ligamentum, diskus, medula spinalis, radiks saraf dan tulang vertebra.
EMG : membantu mengetahui apakah gangguan neurogenik atau tidak, menentukan level dari iritasi
radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks.
Diagnosis
Neurologi
- Myelopati servikal
- Tumor (spinal, Pancoast)
- Syringomelia
- Motor neuron disease
- Herpes zozter
- Brachial plexopahty
- Peripheral nerve entrapment (median, ulnar, radial)
Muskuloskeletal
- Shoulder disease
- Spondylosis servikal
- Nyeri myofacial
- Penyakit inflamasi
- lnfeksi
- Tumor
- Tendinitis
Lain-lain
- lskemia jantung
Tujuan tatalaksana
Mengurangi nyeri
Mengoptimalkan ROM
Meningkatkan fungsi
Memperbaiki postur
Menjaga stabilitas sendi
Tatalaksana
Farmakologis
Analgetik
NSAID
Muscle relaksan
Vtamin B12
Non Farmakologis
Non operatif
- Edukasi pasien meliputi penjelasan penyakit, resiko penyakit, proper body, memodifikasi aktivitas /
pembatasan aktivitas, home exercise
- Modalitas terapi panas seperti Diathermy (Shortwave, Microwave, Ultrasound) atau dingin untuk
mengurangi spasme; TENS untuk mengatasi nyeri, Traksi Servikal apabila tidak ada kontraindikasi
- Terapi latihan terdiri dari latihan peregangan (streching), dan latihan penguatan otot (Strengthening
exercise)
- Ortosis Servikal berupa Soft Cervical Collar untuk immobilisasi leher & mengurangi kompresi
radiks saraf (24 jam/hari selama seminggu, selanjutnya pemakaian jika beraktivitas saja mulai pada
minggu kedua)
Tindakan bedah: Jika terapi konservatif tidak ada perubahan yang berarti selama 6 bulan.
Komplikasi
Kelemahan saraf progresif
Nyeri radikular servikal residual
Sindrom nyeri kronik
Disabilitas
Mielopati
Daftar Pustaka
1. DePalma MJ, Slipman CW. Common Neck Problem. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 787-816
2. Lipetz JS, Lipetz DI. Disorders of the Cervical Spine. In : Frontera WR, DeLisa JA (eds). Delisa’s
Physical Medicine & Rehabilitation,5th ed. Lippincort William &Wilkins Philadelphia: 2010. p 811-36
3. McKenzie R. The Cervical And Thoracic Spine Mechanical Diagnosis And Therapy. Spinal
Publications Ltd. New York. 1990. P. 608-71
OSTEOPOROSIS
Definisi
Osteoporosis adalah suatu kelainan tulang yang ditandai dengan penurunan kekuatan. tulang sehingga
meningkatkan predisposisi seseorang terhadap risiko fraktur.
Menurut kriteria World Health Organization,diagnosis osteoporosis didasarkan pada pengukuran kepadatan
mineral tulang (BMD=bone mineral density) dan kandungan mineral tulang (BMC= bone mineral
content):
Normal : nilai BMD atau BMC >- 1 SD
Massa tulang rendah (osteopenia) : nilai BMD atau BMC -1 s/d -2,5 SD
Osteoporosis: nilai BMD atau BMC >-2,5 SD
Osteoporosis berat (established osteoporosis): nilai BMD atau BMC >-2,5 SD dengan adanya satu atau
lebih fraktur.
Gejala
Osteoporosis adalah silent disease sampai terjadi fraktur.
Rasa sakit dan deformitas biasanya didapatkan di lokasi fraktur.
Fraktur vertebra sering terjadi dengan trauma kecil, seperti batuk, mengangkat, atau membungkuk.
Nyeri punggung akut mungkin berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra dengan nyeri lokal ke
daerah fraktur atau sesuai distribusi radikuler.
Nyeri punggung akut atau kronis pada pasien osteoporosis dengan riwayat fraktur vertebra mungkin
berhubungan dengan fraktur baru, kejang otot, atau sebab lain.
Pada fraktur vertebra dapat ditemukan kyphosis yang progresil sesak nafas, dispepsia-mungkin
berkembang karena penyempitan rongga perut.
Penyebab
Berkaitan dengan usia : kondisi post menopause, proses penuaan
Berkaitan dengan endokrin : hipogonadisme, hipertiroid, hiperparatiroidisme, kelebihan hormon adrenal
kortikal, diabetes mellitus tipe 2
Genetika : osteogenesis imperfect, Ehlers-Danlos Syndrom, Homocystinuria,
Imobilisasi
Kelainan hematologi : Multiple myeloma, mastositosis sistemik, Thalassemia
Obat-obatan : glukokortikoid, hormon tiroid, Cyclosporine, obat anticonvulsant, Aromatase inhibitor,
terapi defisiensi androgen (pria)
Miscellaneous : rheumatoid arthritis
Faktor Risiko
Usia lanjut
Perempuan
Berat badan kurang
Ras Kaukasia dan Asia
Defisiensi estrogen
Riwayat fraktur sebelumnya
Gaya hidup tidak aktif
lntake kalsium rendah
Merokok
Alkoholisme
Obat-obatan seperti glukokortikoid, hormon tiroid yang berlebihan, siklosporin, obat anti kejang,
inhibitor aromatase, terapi defisiensi androgen pada pria.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pasien osteoporosis, penting untuk mendiagnosa penyebab yang bisa diobati dan
bersifat reversibel, dan menilaifaktor resiko terjadinya fraktur osteoporosis.
Didapatkan temuan sugestif dari penyebab sekunder osteoporosis (misalnya, hipertiroidisme dan
sindrom Cushing).
Pemeriksaan daerah yang sebelumnya mengalami fraktur (misalnya, vertebra, hip, dan pergelangan
tangan) untuk menilai deformitas dan keterbatasan fungsi.
Pengukuran tinggi badan harus dilakukan dan dievaluasi ulang pada kunjungan berikutnya
Keterbatasan Fungsional
Pada fraktur vertebra, keterbatasan fungsional awal berhubungan dengan nyeri akut dan kesulitan
mobilisasi.
Keterbatasan kronis berhubungan dengan berkurangnya tinggi badan, nyeri punggung kronis, kesulitan
dalam mobilisasi, distensi perut, dan sesak nafas.
Keterbatasan fungsional setelah fraktur hip terkait dengan fungsi mobilisasi, kebutuhan jangka
panjang penggunaan alat bantu, dan menurunnya kemandirian. 50% orang dengan fraktur hip
membutuhkan alat bantu permanen.
Fraktur pergelangan tangan biasanya sembuh sepenuhnya, tetapi beberapa orang mengalami nyeri
kronis, deformitas, dan keterbatasan fungsional.
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran kepadatan tulang adalah standar untuk penilaian risiko, diagnosis, dan observasi pasien
dengan osteoporosis.
Teknik yang tersedia meliputi foton tunggal absorptiometri, dual-energi x-ray absorptiometry,
kuantitatif computed tomography, dan ultrasonografi kuantitatif.
Pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis banding osteoporosis dan untuk
menyingkirkan osteomalasia, meliputi darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, protein urin, dan
konsentrasi hormon thyroid-stimulating.
Tujuan tatalaksana
Mencegah terjadinya fraktur
Stabilitas massa tulang atau peningkatan massa tulang
Mengurangi gejala dari fraktur dan deformitas
Mengoptimalkan fungsi fisik
Tatalaksana
Farmakologis
Kalsium : 1200-1500 mg / hari
Vitamin D 800 sampai 1000 IU per hari
Terapi sulih hormon (hormon replacement therapy)
Kalsitonin (Miacalcin nasal spray) 200 unit 1x 1hari
Teriparatide (Forteo) 20 Ug subkutan setiap hari selama 2 tahun
Bifosfonat (Alendronate, Risendronate, lbandronate, dll) harus diberikan pada waktu perut kosong
dengan segelas penuh air putih untuk memaksimalkan penyerapan, dan pasien tidak boleh berbaring
selama setidaknya 60 menit untuk menghindari efek samping esophagitis. Pasien dengan riwayat
refluks tidak boleh diberikan obat-obat ini.
Nonfarmakologis
Diet makanan tinggi kalsium, seperti susu dan produk susu, khususnya yogurt.
Stop merokok
Pencegahan jatuh
Rehabilitasi
Upaya rehabilitasi osteoporosis harus dimulai jauh sebelum terjadi fraktur.
Evaluasi kondisi rumah pasien untuk memastikan aman dan mengurangi risiko jatuh.
Peralatan khusus, seperti parallel bar di kamar mandi, alat bantu jalan (tongkat atau walker)
Latihan untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan, yang dapat membantu
mencegah jatuh, dan meningkatkan kepadatan tulang.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah dan stabilisasi adalah pengobatan terpilih untuk fraktur hip dan beberapa fraktur lain.
Daftar Pustaka
1. David M. Slovik, Jonas Sokolof, DO. Osteoporosis. ln: FronteraWR, SilverJK, RizzoTD (eds).
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation 2th ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :
753-60
2. Sinaki M. Osteoporosis. In : Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition,
Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 913-34
PLANTAR FACIITIS
Definisi
Plantar fasciitis adalah overuse injury akibat robekan mikro (microtears) yang berulang pada fascia
Plantaris. Secara klasik digambarkan sebagai reaksi peradangan lokal, meskipun penelitian terbaru telah
menunjukkan ketiadaan relative dari sel-sel inflamasi di jaringan yang terluka, hal ini menunjukkan lebih
dari sekedar proses degeneratif, oleh karena itu, dianjurkan memakai istilah tendinosis dan fasciosis.
Plantar fasciitis adalah salah satu cedera yang paling umum dijumpai pada pelari. Kondisi ini biasanya
dipicu oleh perubahan dalam program pelatihan atlet. Perubahan tersebut dapat mencakup peningkatan
intensitas atau frekuensi, penurunan waktu pemulihan, atau perubahan medan atau permukaan berjalan.
Pada non athlete, kondisi ini dipicu oleh peningkatan frekuensi berjalan, berdiri, atau memanjat tangga.
Ada korelasi antara plantar fasciitis dengan profesi yang membutuhkan berdiri terlalu lama (misalnya,
polisi dan penata rambut).
Faktor risiko seperti pes planus (kaki datar), pes cavus dengan arcus yang tinggi dan rigid, pronasi yang
berlebihan, obesitas, kontraktur tendon Achilles, dan alas kaki yang kurang baik (biasanya bantalan tumit
yang longgar dan arcus suport yang tidak adekuat) dapat berkontribusi pada perkembangan kondisi ini.
Gejala Klinis
Nyeri yang tajam, nyeri seperti terkena pisau pada daerah plantar tumit di dasar insersi fasia ke
calcaneus.
Nyeri umumnya memburuk dengan berdiri atau pada saat langkah awal, saat bangkit ke posisi berdiri
atau setelah lama duduk.
Keluhan mati rasa, parestesia, atau kelemahan adalah atipikal untuk plantar fasciitis, karena itu,
jika keluhan-keluhan itu ada, dokter harus mencurigai adanya cedera saraf yang mendasarinya.
Pemeriksaan Fisik
Palpasi menunjukkan adanya nyeri (tenderness) pada daerah munculnya fascia di tuberkulum
kalkanealis medial, tapi tendernes dapat juga di sepanjang plantar fascia.
Keterbatasan ROM saat dorsofleksi akibat plantar fascia yang mengalami kekakuan serta kekakuan
tendon achilles.
Dorsofleksi dapat diuji dengan ekstensi lutut (knee straight) (gastrocnemius pada peregangan) dan
dengan fleksi lutut (lutut ditekuk) (gastrocnemius rileks, soleus diregangkan / stretched) untuk
membedakan ketegangan (tightness) dari otot-otot gastrocnemius dan soleus. Pemeriksaan neurologis
harus dapat menggambarkan kekuatan otot normal, sensasi, dan refleks tendon dalam, kecuali jika ada
neuropati.
Keterbatasan Fungsional
Tergantung pada beratnya penyakit
Pasien mungkin mengeluhkan hanya ketika berjalan jauh atau pada kasus yang parah pasien mengalami
keterbatasan dalam aktifitas jalan sehari-hari
profesi yang membutuhkan banyak berjalan atau berdiri (misalnya, pekerja pos, perawat, atau pelayan)
memerlukan modifikasi pekerjaan dan penggunaan splinting atau casting selama fase awal pengobatan
Diagnosis
Radiologi : adanya heel spur.
Elektrodiagnostik (elektromiografi) mungkin dapat membantu dalam mengesampingkan kemungkinan
entropment saraf.
MRI dan USG Muskuloskeletal dapat membantu sebelum intervensi bedah dipertimbangkan dapat
menunjukkan pembengkakan di dalam fascia.
Diagnosis Banding
Inflamasi
- Juvenile rheumatoid arthritis
- Rheumatoid arthritis
- Ankylosing spondylitis
- Reiter's syndrome
Metabolik
- Migratory osteoporosis
- Osteomalacia
Degeneratif
- Osteoarthritis
- Atrophy of the heel fat pad
Nerve entrapment
- Tarsal tunnel syndrome
- Entrapment of the medial calcaneal branch of the posterior tibial nerve
Diagnosa lain
- Tumors
- Vascular compromise
- Infection
Tujuan tatalaksana
mengurangi nyeri dan memperbaiki biomekanik kaki yang salah.
Tatalaksana
Pasien menghindari aktivitas yang memberatkan, tidak memakai sepatu hak tinggi, alas kaki yg keras.
Kompres es
Elevasi : Menjaga kaki diangkat sambil duduk atau berbaring untuk membantu mengurangi peradangan
local dan pembengkakan
Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS / NSAID)
Pemakaian alas kaki terutama pada saat berdiri lama.
Latihan peregangan dan latihan penguatan tungkai bawah, paha, pinggul, dan punggung. Latihan
peregangan selama 30 detik 10 kali per hari.
Penguatan otot-otot intrinsik kaki dapat dicapai dengan meletakkan handuk di lantai dan meminta
pasien membuat sampai handuk menjadi bola dan kemudian membukanya lagi dengan meregangkan
dan memperpanjang jari kaki.
Latihan aerobik untuk meminimalkan efek dekondisi (deconditioning) dengan berjalan atau berenang di
kolam renang maupun bersepeda dengan resistensi yang rendah.
Modalitas: Ultrasound (US) Diathermy
Pembidaian (Splinting) pada malam hari pada bagian posterior mungkin terbukti efektif dalam kasus-
kasus resisten --> posisi kaki dorsofleksi maksimum setiap malam dan dikenakan sepanjang malam
selama 2 sampai 3 minggu.
Dalam kasus-kasus refrakter injeksi steroid lokal dapat diberikan: kombinasi 10-20 mg triamsinolon
(Kenalog) dan 4 mL lidocaine 1%.
Pembedahan dapat diindikasikan pada pasien dengan kecacatan yang signifikan dan nyeri terus
menerus yang dengan tindakan konservatif gagal.
Komplikasi
Kerusakan dan degenerasifascia yang menetap / irreversible
Pemberian kortikosteroid walaupun efektif tetapi mempunyai efek samping dapat menyebabkan atrofi
lapisan lemak atau rupturnya fascia plantaris NSAID dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal -->
hindari pemakaian jangka panjang. Tindakan bedah dapat beresiko infeksi atau ruptur fascia.
Daftar Pustaka
1. Slovik DM, Sokolof. Plantar Fasciitis. ln : Frontera WR, Silver JK, Rizzo TD (eds). Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation 2nd ed. Saunders publishing, Philadephia; 2008 :469-474
2. Hansen PA, Willick SE. Musculoskeletal Disorders of the Lower Limb. In : Braddom RL (ed).
Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition, Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011:
843-870
Kaki Diabetik
Definisi
Perubahanpatologispadaekstremitasbawahsebagaiakibatkomplikasi diabetes yang
tidakterkontrol.
Gejala
Neuropati
Neuropatisensori : sensasinyeri, tekandansuhutidakada (negative)
ataumenurun
Neuropatiotonom : produksikeringatmenurunmenyebabkan kaki
keringdanpecah 2 sehinggaterjadiluka
Neuropati motoric : atropiotot, kelemahanotot kaki danketerbatasan ROM,
dapatmengakibatkandeformitasfleksi (claw toes) sehinggatekananpada
metatarsal &ujungjariyangmeningkatdanperubahanbiomekanik, terjadikallus
yang dapatterjadiinsfeksi, ulkusdan osteomyelitis, yang
dapatberakhirdenganamputasi
Kelainanpembuluhdarahperifer :
Berkurangnyaalirandarahke kaki olehkarena arteriosclerosis pd DM adalah 2,3 x yang
selanjutnyamenghambatpenyembuhanlukadanterjadi gangrene
Anamnesa
Identitas, faktorresiko yang adakaitanyadenganterjadinyaulkus,
gejala/keluhanneuropati, riwayatulkussebelumnya.
Informasitentanglingkungandanpekerjaanpasien
Keadaanpsikososial
PemeriksaanFisik
Inspeksi : apakahadamaserasi, paronchia, kalus, kulitkering, deformitas Claw toes,
hammer toes, dll
Pemeriksaansensoris : sensasirabaringan, pinprick, rasa panasdingin, Semmes
Weinstein monofilament
Pemeriksaanvaskularisasi kaki : denganmerabapulsasi a. popliteal dan a.
dorsalispedis, Ultrasound dppler, Angiografi Ankle brachial index (ABI)
Pemeriksaan musculoskeletal
Refleks tendon Achilles dan patella
Lingkupgeraksendi kaki dantungkai
Kekuatanotot kaki dantungkai
Diagnosis
KategoriresikodankedalamanlukaberdasarkanklasifikasiWagner :
Grade 0 : kulittidakadaluka / deformitas
Grade 1 : ulkussuperfisialis, terlokalisir
Grade 2 : ulkusdalamsampai tendon, ligament dansendi
Grade 3 : osteomyelitis
Grade 4 : gangrenpadabagiandepan kaki
Grade 5 : gangrenpadaseluruh kaki
Ketebatasanfungsional
DROP FOOT
Definisi
Drop foot adalahketidakmam;uan kaki danjari kaki untukmelakukandorsofleksi. Penyebab drop foot
dapatdiketegorikandalamtigakategoriutamayaitukelainansaraf, kelainanotot, ataukelainananatomi
yang menyebabkankonpresisaraf. Dapatjugakarenagabunganbeberapapenyebab. Drop foot
bisajugaolehkarenacederalokalataumerupakangejaladarisuatupenyakit.
Etiologi
Kelainankongenital
Cerebral palsy adalahkelainan yang padaumumnyadapatmeyebabkan drop foot. Kelainan
yang berhubungandenganperkembangantulangbelakangsepertispina bifida,
dapatjugamengakibatkan drop foot.
Trauma
Trauma yang menyebabkanrobeknya tendon ataubagian-bagian yang
bertanggungjawabterhadapgerakandorsofleksi kaki danjari kaki.
Kompreasi / entrapment (jebakan) saraf
Penyebab paling umumadalahkompresisaraf peroneus, bersifat unilateral,
biasanyaolehkarenapemasanganortosis yang tidaktepatataupenyebab yang
tidakdiketahui.Adanyatulang assessor yang disebut fibula yang
terletakdibelakanglututseringsebagaipenyebabkompresisaraf peroneus.
Pascabedah; misalnyapadatindakan knee arthroplasty.
Compartment syndrome
Terjadinyaperubahan vascular
danneurologisolehkarenapeningkatantekananolehkarenakompresi yang
bisabersifatakutataukronis.
Kelainanneurologis.
Neuroma, kompresidiskus, spinal stenosis danartritis yang mengenaiakarsarafpada L5
akanmenyebabkandrp foot. Penyakitsistemikseperti ALS, GBS, Miastenia Gravis, Lambert-
Eaton dan myositis dapatjugamenyebabkan drop foot di sampinggejalaneurologis yang
lainnya.
Kebiasaan
Kebiasaanmenyilangkansalahsatu kaki (crossing one’s legs)
menyebabkankompresipadaaspek lateral, ataubagianluar kaki yang
dapatmengakibatkankerusakanpadasarafperoneal.
Penyakit metabolic
Semuapenyakit yang dapatmengakibatkanpolineuropatidapatmenyebabkan drop foot
Seperti diabetes mellitus dandefisiensi vitamin B12, sarkoidosis
Kanker
KankerdarahsepertiMacroglobulinemiaWaldenstromdan leukemia
dapatmenyebabkankelumpuhansaraf
Infeksi
Definisi
Arthoplastymelibatkanrekonstruksiataumodifikasiataupenggantiansendi (dalamhalinilutut)
dengankomponensendi yang artifisial.Dilakukanpadalutut yang terkenapenyakit, rusak, atausendi yang
mengalamiankilosis.
Gejala
PemeriksaanFisik
AdanyaHipertrofidarisendi
Nyeritekanpadabatassendi
Berkurangnyagerakan AROM dan PROM
Krepitus
Efusi
Adanyabekaslukajahirpascabedah
Eritem, hiperpatia, atauallodinia
MMT padaotot quadriceps dan hamstring
Pemeriksaanpenunjang
Keterbatasanfungsional
Keterbatasanpadagerakanfleksi
Pengurangankekuatanlutut
Nyeripascabedah
Tujuantatalaksana
Menguranginyeri,
Meningkatkanfungsi musculoskeletal
Perlindungansendi
Mencegahregangan yang berlebihanpadasendibaru
Definisi
Gejala
PemeriksaanFisik
Antalgic gait
Berkurang ROM dan MMT
Trendelenburg sign
Nyeripadaakhir ROM, atausaatmenaikitangga
Pemeriksaanpenunjang
Fotopolosradiologi
Scan tulang
MRI
USG Doppler
PemeriksaanLaboratorium
Keterbatasanfungsional
Kesulitanberjalandanmobilisasi
Kesulitandariposisidudukkeberdiri
Kesulitan AKS danbekerja
Tujuantatalaksana
Menguranginyeri,
Meningkatkanfungsi musculoskeletal
Perlindungansendi
Mencegahregangan yang berlebihanpadasendibaru
Rheumatoid Arthritis
Definisi
Gejala
PemeriksaanFisik
Padatangan :
Pembengkakanpadaproksimalinterfalang (PIP)
Subluksasimetacarpofalangeal (MCP) dengandeviasi ulnar padajari-jari
Boutonniere (fleksiPIP danhiperekstensi DIP)
Inflamasipadasarung tendon synovial (tenosynovitis)
padapemeriksaandidapatkangerakanpasiflebihbaikdaripadaaktif
Cedera Tendon TanganRuptur Tendon Ekstensor
Definisi
Merupakancederapadamekanismeekstensordarijari-
jari.Lebihseringterjadidaripadacederafleksorkarenaletaknya yang
lebihsuperficialis.Dapatberakibatketidakmampuanmengekstensikanjari-jarikarena tendon itusendiri,
extensor lag, kekakuansendi, dannyeri.
Klasifikasizona
Terjadi pada pekerjaan yang sering memindahglkan barang, menggunakan pisau, atau mencuci piring,
orang-orang dengan rheumatoid artritis dan atlit. Sering terkena pada fleksor digitorum produndus jari
manis. Regio potensial terjadinya dibagi menjadi 5 zona
Klasifikasi zona
Zona I : basis insersio tendon pada phalangs distal sampai phalangts media
Zona II : bagian tengah phalangs medial sampai lipatan palmar distal
Zona III : lipatan palmar distal sampai bagian distal dari ligamentum tranversal carpal
Zona IV : ligamentum transversal carval
Zona V : lipatan pergelangan tangan sampai musculotendineus junction dari tendon fleksor
Gejala
Ketidakmampuan untuk fleksi. Berkurangnya sensasi karena kelainan pada neurovascular bundle.
Pemeriksaan fisik
Keterbatasan fungsional
Valgus adalah keadaan dimana kaki membentuk lengkungan menjauhi garis tengah tubuh (o). Varus,
adalah keadaan dimana kai terlipat di garis tengah tubuh (x)
Gejala
Varus :
Valgus :
Normal pada usia 3-5 tahun, dan aka nada perbaikan setelah usia 6 tahun
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang
Foto polos AP dari anggota gerak bawah dengan lutut menghadap ke depan --> sudut
metafiseal-diafisis normalnya dibawah 11 derajat
Diagnosis banding
Blount disease
Rickets
Displasia skeletal
Tujuan tatalaksana
Tatalaksana
Daftar Pustaka
Etiologi
Grading
Dinilai dengan mengambil garis pada pertengahan tumit, normalnya berakhir pada jari ke 2
- Mild : berakhirpada jari ke 3
- Moderate : berakhir antara jari ke 3-4
- Severe : berakhir antara jari ke4-5
Tatalaksana
Tumitnya dapat diregangkan (stretching) secara pasif setiap mengganti popok / diaper
Gunakan serial casting dan sepatu dengan straight / reverse last untuk mengoreksi deformitas
Observasi : biasanya akan membaik secara spontan pada 90-95% pasien (nilai sampai umur 12-
18 bulan)
Adduksi pada midfoot ketika berjalan biasa pada anak sampai berusia 24 bulan, terutama untuk
meningkatkan aktifitas otot abductor halluces. Adduksi yang dinamis pada ibu jari ini terjadi
pada saat keseimbangan (balance) dan stabilitas berkembang
Perbaikan spontan dapat terjadi walau tanpa terapi. Tindakan bedah jarang diperlukan.
B. Femoral Anteversion
Kondisi rotasi internal hip ≥ 700 derajat dan anteversion ≤ 450
Gejala
Diagnosis
Definisi
Gangguan postur adalah gangguan pada posisi atau sikap tubuh, berhubungan dengan kegiatan spesifik
atau cara seseorang berdiri. Gangguan kesegarisan tubuh pada saat berdiri ataupun duduk.
Berhubungan dengan posisi keseimbangan antara otot dan sendi.
Penyebab
Hendaya mobilitas pada otot fleksor hip (iliopsoas, tensor fascia lata, rectus femoris)
Hendaya otot ekstensor lumbal (erector spinae)
Regangan dan lemahnya otot abdominal (rectus femoris, internal dan eksternal obliques, dan
transverses abdominis)
Iritasi synovial dan inflamasi sendi
Kehamilan
Obesitas
Kelemahan otot abdominal
Gejala-gejala
Anamnesis :
Pemeriksaan Fisik
Lumbar radiculopathy merujuk kepada suatu proses patologis yang mengenai akar saraf.
Lumbar radikulitis merujuk kepada suatu inflamasi dari akar saraf
Lumbar radiculopathy sering disebabkan oleh herniated lumbar disc.
Kasus ini sering asimptomatik
Penyebab
Trauma
Kanker
Infeksi
HIV
Diabetes
Gejala
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Keterbatasan Fungsional
Skoliosis berasal dari kata Yunani Skoliosis yang berarti bent, twisted, atau curved
Kyphosis berasal dari kata Yunani Kuphos yang berarti bent forward atau humped
Kyphosis adalah normal pada spina torasik
Lordosis berasal dari kata Lordos yang berarti excessive posterior bending
Lordosis adalah normal pada spina servikal dan lumbal
The Scoliosis Research Society mendifinisikan scoliosis sebagai beberapa kurva / lengkung yang
lebih besar dari atau sama dengan 10 derajat, dengan atau tanpa rotatory component
Epidemiologi
Prevalensi dari scoliosis idiopatik dilaporkan antara 0.3% sampai 2% dari populasi
Insidens dari scoliosis degenerative dilaporkan sebanyak 6% pada orang usia lebih dari 50 tahun
dan 36% pada orang usia di atas 50 tahun dengan osteoporosis
Schuermann’s disease biasanya disebabkan oleh thoracic kyphosis patologis dengan prevalensi
antara 0.4% dan 8.3% dari populasi
Penyebab
Idiopatik
Neuromuskuler
Disfungsi ligament atau tulang
Traumatik atau post traumatic
Infeksi atau neoplastic
Degeneratif
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Gejala
PemeriksaanFisik
Osteoartritismengubahkeseimbanganantaradegradasidansintesistulangrawan articular
dantulangsubchondral.Osteoartritislututdapatmunculdari factor mekanikdanidopatik. Osteoarthritis
lututdapatmelibatkansalahsatuatausemuadaritigakompatemenlutututama: medial, patellofemoral, atau
lateral. Kompartemen medial paling seringterlibatdanseringmenyebabkanruntuhnyaruang medial
sendidandengandemikianmenyebabkandeformitas genu varum (bowleg).Keterlibatankompartemen
lateral dapatmenyebabkandeformitas genu valgum (knock-knee).
Penyakitterisolasidarisendipatellofemoralterjadisampaisepersepuluhdaripasiendengan osteoarthritis
lutut.Arthritis dalamsatukompartemendapat, melaluiperubahanpola stress biomekanik,
akhirnyamengarahpadaketerlibatankompartemenlainnya.
GejalaKlinis
PemeriksaanFisik
Inspeksi Hipertrofi
Varusdeformitasdariketerlibatankompartemen
medial preferensial
Palpasi Peningkatan temperature
Efusisendi
Nyeritekansendi
LGS Nyerisaatfleksilutut
LOWER LIMB AMPUTATIONS
Definisi
Amputasi karena kondisi pembuluh darah bertanggung jawab terhadap sebagian besar (82%) penyebab
hilangnya ekstremitas bawah. Lebih dari setengah dari amputasi dysvascular (53,6%) berada pada tingkat
transfemorol (25,8%) dan transtibial (27,6%); dan 31% melibatkan jari kaki. Sebagian besar amputasi
terjadi pada orang berusia 60 tahun lebih. Trauma adalah penyebab berikut yang paling umum dari
amputasi ekstremitas bawah (22%), diikuti oleh tumor (5%). Namun, pada anak usia 10 sampai 20 tahun,
tumor adalah penyebab paling umum dari amputasi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Amputasi
pria melebihi jumlah wanita yaitu 2.1:1 diamputasi pada penyakit dan 7.2:1 pada trauma.
Gejala Klinis
Hilang semua atau sebagian anggota badannya
Sensasi phantom limb, nyeri phantom, nyeri stump, dan rasa sakit akibat operasi
Pemeriksaan Fisik
Penyembuhan luka, lingkup gerak sendi, kekuatan otot, dan integritas insisional harus dievaluasi pada
sisa ekstremitas
Kekuatan ekstremitas atas harus dinilai untuk menentukan kemampuan penggunaan alat bantu.
Kaki yang normal dinilai untuk potensi kerusakan
Pemeriksaan stump untuk memeriksa bekas insisi, eritema, daerah nekrosis, dan neuroma
Amputasi Transtibial (below knee) dan Syme
- Evaluasi ROM pada lutut dalam keadaan fleksi dan ekstensi
- Kekuatan otot ekstensor lutut harus lebih dari 4/5 untuk ambulasi sukses dengan prosthesis
- kontraktur fleksi lutut 10 sampai 18 derajat dapat diakomodasi dengan prostesis transtibial.
- Kontraktur lebih dari 20 derajat memerlukan ambulasi dengan bent socket, weight bearing melalui
lutut
Amputasi Transfemoral (above knee)
- ROM harus mencakup fleksi, ekstensi, adduksi, dan abduksi pinggul.
- Prostesis transfemoral dapat mengakomodasi kontraktur fleksi hip sampai 20 derajat, bila lebih dapat
membuat fitting prostetik dan ambulasi sulit.
- Kekuatan harus bernilai 4/5 atau lebih pada fleksi-ekstensi dan abduksi pinggul
- Evaluasi gait dengan prosthesis
Keterbatasan Fungsional
Sangat tergantung pada status premorbid pasien
Ambulasi dengan walker atau crutches memerlukan sekitar 60% peningkatan energi daripada ambulasi
normal
Peningkatan Energy Expenditure saat ambulasi 38%-60% pada amputasi below-knee dan 52%-116%
pada amputasi above-knee
Keterbatasan akibat nyeri seperti ketidakmampuan berpartisipasi dalam ADL
Umumnya phantom sensation tidak menyebabkan masalah namun phantom pain dapat mengganggu
partisipasi pasien pada rehabilitasi pre-prostetik dan prostetik
Stump atau residual limb pain dapat menggangu proses latihan gait
Depresi klinis didapatkan sekitar 18%-35% dari pasien
Pemeriksaaan Penunjang
EMG dan nerve conduction studies untuk menyingkirkan kelainan radikulopati atau penyakit lainnya
pada phantom limb
Radiografi polos untuk menilai bone overgrowth pada pasien muda
Diagnosis Banding
Residual Limb Pain
Edema
Neuroma
Incision
- Post surgical
- lnfeksi
- Bone Overgrowth
lskemia
Phantom Pain
Sympathetic Pain
Radikulopati
Tujuan tatalaksana
Mengurangi edema, maturasi stump, penyembuhan luka, mencegah kontraktur dan mengendalikan nyeri
Kemandirian fungsional dan self-care
Tatalaksana
Awal
Kontrol edema
Membantu penyembuhan luka dan membentuk stump hingga matur
Menghindari penempatan bantal dibawah lutut dan menganjurkan berbaring prone pada amputasi
transtibial
Posisikan pinggul dalam adduksi, menghindari penempatan bantal dibawah stump dan menganjurkan
berbaring prone pada amputasi transfemoral
Mengedukasi pasien bahwa phantom sensation adalah reaksi yang normal dan menganjurkan
penggunaan sisa tungkai dan massase stump untuk mengatasinya
Tidak ada pengobatan definitive untuk phantom pain namun dapat dengan medikasi analgesik narkotik
dan non-narkotik; OAINS; anti konvulsan seperti gabapentin, duloxetine dan pregabaline; serta
antidepresan trisiklik
Rehabilitasi
Latihan prostetik setelah stump matur / matang
Okupasiterapi untuk mengidentifikasikan assistive device yang diperlukan dan mendorong kemandirian
Tindakan bedah
Diindikasikan bila residual limb memerlukan revisi luka atau amputasi yang lebih tinggi
Hamstring release memiliki peran yang terbatas atau malah tidak sama sekali karena dapat mengganggu
kemampuan berjalan
Hanya ada sedikit data tentang dorsal root entry zone ablation, dorsal rhizotomy, dorsal column
tractotomy, thalamotomy, atou cortical resection untuk tatalaksana phantom pain
Bone overgrowth
Anamnesis
Nyeri daerah siku di bawah regio epikondilitis lateral atau medial
Dapat disertai nyeri menjalar ke proksimal atau distal
Nyeri pada saat gerakan pergelangan tangan
Kadang ada keluhan bengkak pada siku
Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan pada daerah origo otot ekstensor atau fleksor pergelangan tangan (wrist)
Pada tennis elbow, nyeri meningkat saat ekstensi pergelangan tangan melawan tekanan terutama bila
siku pada posisi ekstensi, lengan bawah pronasi, pergelangan tangan deviasi ke radial dan tangan
menggenggam
Pada golfer elbow, nyeri meningkat saat fleksi pergelangan tangan melawan tahanan
Tatalaksana
Fase I
Aplikasi dingin
Antiinflamasi
Pemberian modalitas (TENS/ Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) / LASER
Latihan conditioning (sisi yang sehat)
Pemberian bidai
Bila masa akut lewat diberi modalitas (terapi panas lokal)
Fase II
Gentle stretching pergelangan tangan
Latihan fleksibilitas pergelangan tangan
Latihan penguatan otot ekstensor pergelangan tangan & abduksi tangan (Isometrik dan isotonik)
Latihan penguatan dan mobilitas bahu dan lengan
Bila nyeri menetap dapat diberikan injeksi steroid lokat dengan istirahat l -2 minggu
Fase III
Latihan peregangan dan penguatan otot pergelangan tangan
Persiapan untuk kembali berolah raga
Komplikasi
Nyeri kronik
Kontraktur sendi siku
Kerusakan nervus ulnaris
Efek samping medikamentosa
Efek samping injeksi kortikosteroid: nekrosis jaringan, ruptur tendon, depigmentasi atau atrofi kulit,
infeksi
Daftar Pustaka
1. Weiss LD. Weiss JM. Epicondylitis. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 105-8
2. Diclpff-Hoffman S. Foster D. Rehabilitation of Elbow lnjuries. In: Prentice WE (ed). Rehabilitation
Technique in Sport Medicine 2nd ed. Mosby. Baltimore; 1994: 338-57.
3. Tulaar ABM. Cedera Bahu : Assesmen. Dalam : Pelatihan Rehabilitasi Medik Sports (Olahraga).
Denpasar. 25-28 Maret 2003.
4. The Nicholas lnstitute of Sports Medicine and Athletic Trauma. Treatment for Epicondylitis. Copyright
@1996-2002
ANKLE SPRAIN
Anamnesis
Nyeri diatas ligamen yang cedera
Bengkak pada pergelangan kaki
Kesulitan berjalan karena nyeri
Bunyi "pop" pada saat terjadi cedera
Mengalami riwayat ankle sprain sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
Pembengkakan dan ekimosis di sekeliling pergelangan kaki
Tes khusus : talar tilt test dan anterior drawer test untuk kaki
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos ankle AP/Lateral (pada cedera grade ll dan lll)
Tatalaksana
1 - 3 minggu
RICE (Rest, lce, Compression, Elevation)
Controlled-mobilization (plantar & dorsifleksi ankle terbatas)
Latihan ketahanan kardiorespirasi (non weight bearing)
Latihan peregangan achilles sesuai toleransi
3 - 4 minggu
Latihan lingkup gerak sendi pergelangan kaki bertahap
Latihan ketahanan kardiorespirasi (non weight bearing)
Latihan peregangan achilles sesuai toleransi
Komplikasi
Nyeri kronik berat
Instabilitas mekanik dan fungsional
Efek samping medikamentosa
Daftar Pustaka
1. Krabak BJ, Baima J. Ankle Sprain. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;2008 : 421-6
2. Putra HL. Cedera Kakidan Pergelangan Kaki: Asesmen. Pelatihan Rehabilitasi Medik Cedera Olah
Raga. Denpasar. 25-28 Maret 2003.
3. Peterson L. Renstrom P. Ankle Joint lnjuries. In : Sport lnjuries. Their Prevention and Treatment.
Martin Dunitz Ltd. Singapore-London. 1988: 341-43.
CEDERA LIGAMEN KRUSIATUM ANTERIOR
Anamnesis
Terdengar bunyi pop/snap daerah lutut saat tungkai bawah mengalami hiperekstensi/rotasi dan sense giving
away (rasa gamang) untuk melakukan aktivitas olah raga terutama melompat, berlari yang menimbulkan
kurangnya rasa percaya diri atlit
Nyeri dan bengkak 2-3 jam setelah cedera
Jalan menjadi pincang, sehingga atlit tidak bisa melanjutkan pertandingan
Rasa terkunci pada lutut dan gerakan terbatas, harus dicurigai robekan meniskus
Pemeriksaan Fisik
Drawer test
Lachman test (grade 1,2,3)
Pivot shift test
Uji khusus lain yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain adalah:
Posterior cruciate ligament test
Medial/lateral collateral ligament test
Mc Murray test
Appley's compression/grinding and distraction test
Pemeriksaan Penunjang
Foto lutut, untuk menyingkirkan adanya fraktur osteochondral pada kondilus lateralis os femur
Tatalaksana
Tatalaksana
dibagi menjadi : operatif dan konservatif
lndikasi konservatif
Absolut
Menolak untuk tindakan operatif
Mengancam kehidupan
Luka terkontaminasi atau infeksi
pasien tidak mampu melakukan program rehabititasi medik sesudah dilakukan tindakan operatif
lnstabilitas otot adekuat
Relatif
Anterior drawer sign (+) dengan pivot shift sign lemah
Pasien > 40 tahun dengan ambisi sebagai atlit tidak ada
Ruptur ligamen krusiatum pada anak
Cedera terjadi > 14 hari
Tatalaksana Konservatif
Minggu ke 1-2
RICE (Rest, lce, Compression, Elevation)
Latihan lingkup gerak sendi lutut (pasif)
Latihan penguatan otot gastroknemius dan hamstring (isometric)
Terapi modalitas (elektro stimulasi)
Minggu ke 2-8
Open chain exercise
Closed chain exercise
Minggu ke 8 bulan ke 12
Proprioception training
Plyometric training
Latihan ketahanan kardiorespirasi
Kembali ke aktivitas olah raga
Minggu ke 2-20
Open chain exercise
Close chain exercise
Ergocyle exercise
Aquatic exercise
Proprioceptiontraining
Isokinetic training (Cybex)
Walking training
Minggu ke 21-27/40
Power training
Running upward dan down word
Functional test (EN-Tree test)
Plyometric exercise
Tindak Lanjut:
Syarat kembali ke aktifitas olah raga prestasi:
Minimum 9 bulan pasca operatif
Tidak ada pembengkakan sendi
ROM sendi lutut penuh
Tidak ada nyeri
Tes isokinetik quadriceps : 85% dibandingkan tungkai yang sehat
Tes isokinetik hamstring : 90% dibandingkan tungkai yang sehat
Tes fungsional : 80% dibandingkan tungkai yang sehat
Komplikasi
Keterbatasan ROM/Arthrofibrosis
Patella femoral pain
Robekan meniskus
Daftar Pustaka
1. De Palma’s Connoly JF. lnjuries of the Soft Tissues and Bone Element of the Knee Joint. ln : The
Management of Fractures and Dislocations. Philadelphia, 1981. 1589-91.
2. Magee DJ. The Knee in Orthopedic Physical Assesment. Philadelphia. 1987. 227-89.
3. Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities. Appleton Century Croft. New York.
1967. 185-95.
4. lnklaar H. Revalidatie Protocol VKB Plastik. Sport Medisch Centrum.2000
5. Tamin TZ. Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Anterior Cruciate Ligament lnjury (ACL) Sport Medical
Rehabilitation Training. Jakarta. 2001
CEDERA MENISKUS
Cedera meniskus dapat terjadi akibat cedera akut ataupun dari degenerasi bertahap akibat pertambahan
usia. Robekan vertikal cenderung terjadi secara akut pada individu usia 20 hingga 30 tahun dan biasanya
terletak di dua pertiga posterior meniskus. Olahraga yang sering terkait dengan cedera meniskus adalah
sepak bola, basket, bisbol, gulat, ski, rugby dan lacrosse. Cedera terjadi ketika beban aksial ditransmisikan
saat posisi lutut fleksi atau ekstensi dibarengi dengan rotasi. Robekan degeneratif biasanya horisontal dan
dapat terjadi pada orang yang lebih tua seiring dengan perubahan degeneratif sendi.
Anamnesis
Adanya pop atau snap pada saat cedera
Nyeri saat fleksi lutut
Hemarthrosis lutut bila mengenai bagian perifer meniskus
Bengkak pada lutut akibat efusi reaktif
Pada robekan meniskus degenerative seringkali tidak berhubungan dengan trauma. Mekanisme cedera
dapat terjadi pada aktivitas sehari-hari seperti saat bangkit dari duduk dan berputar saat kaki menjejak
lantai. Pasien juga sering melaporkan adanya bengkak berulang terutama setelah aktivitas.
Pemeriksaan Fisik
Pola jalan yang berubah karena nyeri.
Efusi lutut
Atrofi otot quadrisep dapat terjadi beberapa minggu setetah cedera
Nyeri tekan pada palpasi sepanjang garis sendi, terutama posteromedial atau lateral
Uji khusus:
- Bounce home yaitu nyeri saat, lutut di-ektensikan secara pasif
- Tes McMurray
Keterbatasan fungsional
Kesulitan untuk gerakan fleksi lutut seperti saat naik tangga, jongkok atau saat penggunaan toilet
Jogging, berlari dan berjalan akan terganggu bila komponen rotasi juga terlibat.
Tatalaksana
Fase inisial
Imobilisasi
Aplikas dingin
Kompresi
Menumpu berat badan parsial dengan penggunaan crutches bilateral
Splint lutut
Analgetik seperti asetaminofen atau opioid untuk mengurangi nyeri
obat-obat anti inflamasi non steroid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi
Arthrocentesis dapat dilakukan baik untuk diagnosis atau terapi bila terjadi efusi yang signifikan.
Rehabilitasi
Beberapa lesi meniskus mengalami resolusi gejala secara gradual dalam periode 6 minggu, mungkin
akan memiliki fungsi normalnya dalam 3 bulan. Jenis robekan yang dapat ditangani dan
intervensi bedah yaitu robekan longituainat dengan ketebaran parsial, robekan perifer tanpa
penuh ukuran kecil (<5mm), atau robekan degeneratif.
secara umum hanya cedera meniskus dengan gejala menetap yang harus dirujuk untuk intervensi bedah.
Pasien dengan menisektomi ataupun yang tidak mendapatkan intervensi bedah mendapatkan protokol
rehabilitasi yang serupa, yaitu:
- Partial weight bearing dengan bilateral crutches
- Latihan penguatan isometrik atau kombinasi dengan stimulasi elektrik untuk mencegah atrofi
quadrisep.
- Latihan aerobik Kombinasi latihan open dan closed kinetik chain pada tiga bidang (sagital, coronal
dan transversal)
- Latihan peregangan ekstremitas bawah
- Bracing
- Mulai dikenalkan aktivitas fungsional
- Latihan proprioseptif dan latihan keseimbangan
- Latihan plyometric
- Secara bertahap kembali ke aktivitas olahraga spesifik
Komplikasi
Pemakaian analgetik seperti asetaminofen dan NSAID dapat menyebabkan efek samping pada sistem
pencernaan, hepatik, dan ginjal. Terapi yang terlalu agresif dapat mamperburuk robekan atau gagalnya
penyembuhan meniscus. Kebalikannya jika program rehabilitasi terlalu konservatif dapat menyebabkan
hilangnya kekuatan disertai atrofi otot. Jika operasi menyebabkan hilangnya kartilago secara signifikan,
akan menjadi faktor predisposisi terjadinya OA. Selain itu operasi juga menyebabkan trauma pada N.
Saphenus dan infeksi.
Daftar Pustaka
1. Lento B Akuthota V. Meniscal lnjuries. In : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (ed) Essential of
Physical medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008: 359-66
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia:
WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
TOTAL KNEE REPLACEMENT
TKA adalah prosedur yang banyak dilakukan untuk artropati lutut; secara konsisten dapat meredakan rasa
sakit, meningkatkan fungsi, dan meningkatkan kualitas hidup. Diagnosa yang paling sering dikaitkan
dengan TKA ini adalah osteoarthrosis dan gangguan serupa (90%), diikuti oleh rheumatoid arthritis dan
polyarthropathies inflamasi lainnya (3,4%). Lutut adalah sendi yang paling sering diganti dalam prosedur
artroplasti. Kelompok usia yang paling umum untuk penggantian lutut total adalah 65-84 tahun. Perempuan
di rentang usia ini lebih mungkin untuk menjalani TKA dari pada pria.
Anamnesis
Nyeri lutut refrakter
Kekakuan
Deformitas
Ketidakstabilan
Nyeri pasca bedah
Gangguan dan radang pada jaringan lunak periarticular
Penurunan rasa posisi (propriosepsi)
Pemeriksaan Fisik
Hipertrofi sendi
Nyeri tekan sepanjang garis sendi
Penurunan lingkup gerak sendi
Deformitas valgus sering terjadi pada osteoarthrosis, deformitas varus lebih sering terjadi pada
rheumatoid arthritis.
Kelemahan ligamen lebih sering ditemui dalam rheumatoid arthritis dibandingkan dengan osteoarthritis.
Efusi sendi
Bursitis suprapetellar atau pes anserinus
Peningkatan suhu dan eritema
Tatalaksana
Awal
Profilaksis trombosis vena dalam
Warfarin, heparin berat molekul rendah, faktor pembekuan X, dan inhibitor thrombin, kompresi
pneumatik untuk ekstremitas bawah merupakan cara pencegahan efektif untuk trombosis vena dalam
Manajemen Nyeri pasca Bedah (Postoperatif)
Dalam 48 hingga 72 jam pertama, pasien diberikan analgetik melalui jalur intravena atau epidural.
Tergantung pada klinisi dan pasien, maka dapat dipilih opioid dengan dosis bertahap atau dosis tetap.
Opioid dapat dititrasi untuk mencapai keseimbangan antara efek analgetik dengan efek sampingnya.
Bengkak Pasca bedah (Postoperatif)
Penggunaan stocking kompresi elastis setinggi paha, mesin continuous passive motion (CPM), dan bila
memungkinkan aplikasi cryotherapy lokal untuk mengatasi bengkak.
Rehabilitasi
Pasca bedah hari ke-0
- Latihan pernapasan dalam
- lnsentif spirometri
- Penguatan Quadriceps dan gluteal
- Straight leg raise
- Abduksi panggul (hip)
- Ankle pumping
- Mobilisasi duduk di kursi
- Edukasi tentang penggunaan mesin continuous passive motion
Komplikasi
Komplikasi lokal : DVT dan Peroneal Nerve Palsy
Komplikasi patellar : subluksasi dan dislokasi
Gerakan yang inadekuat
Instabilitas
lnfeksi Loosening
Daftar pustaka
1. Kaplan RJ. Total Knee Replacement. In : Frontera WE, Silver JK, Rizzo TD (eds), Essential of Physical
medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008: 359-66
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia:
WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
TENDINITIS ROTATOR CUFF
Manifestasi Klinik
Nyeri pada bahu bagian posterolateral dan dapat menjalar sampai otot deltoid.
Nyeri tumpul dan terutama pada malam hari
Nyeri bertambah pada saat melakukan aktivitas (abduksi bahu >90o)
Nyeri bertambah berat pada gerakan kontraksi eksentrik dan pada saat tidur miring kesisi yang sakit
Pemeriksaan fisik
Gerakan scapulothorakal yang abnormal
Nyeri pada tuberositas mayor humeri, bursa subacromial, atau caput longum biseps
Nyeri pada saat internal rotasi bahu (bahu abduksi 90o, siku fleksi 90o)
Tes drop arm
lmpingement sign
Tes apprehension
Tes relokasi
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen bahu
MRl jika pasien tidak berhasil dengan terapi konservatif
EMG (menyingkirkan radikulopati servikal)
Injeksi anestesi subacromial
Tatalaksana
Konservatif
Kontrol nyeri dan pengurangan inflamasi
Normalisasi kekuatan otot dan kontrol otot dinamis
Stabilisasi sendi dan propioseptif
Olahraga atau latihan spesifik
Tindakan Bedah
Dapat dipertimbangkan jika pasien gagal dengan terapi non operasi (3-6 bulan). Tindakan operasi termasuk
diantaranya dekompresi subacromial dengan arthroskopi atau dengan pembedahan terbuka (jarang), untuk
mendebridement tendon dan mengeksplorasi perubahan patologis yang terjadi.
Komplikasi
Pada terapi non operasi efek samping yang terjadi minimal. Pemberian NSAID yang menyebabkan
gastritis, ulkus, gangguan ginjal dan bronkospasme). lnjeki dapat menyebabkan tendon.
Daftar pustaka
1. Malanga GA, Bowen JE. Rotator Cuff Tendinitis. ln : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds)
Essentials Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008 : 71-6
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
loong Printing Industries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadelphia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers. 1998.
TENDINITIS ACHILLES
Manifestasi KIinik
Nyeri dan nyeri tekan pada area tendon Achilles terutama saat beraktivitas
Nyeri biasanya muncul di daerah apex tendon Achilles
Didapati riwayat trauma
Ada penonjolan tulang menunjukkan adanya ruptur tendon komplit atau parsial
Pemeriksaan Fisik
Terdapat nyeri tekan dan bengkak yang terlokalisasi didaerah Achilles
Nyeri tekan yang tajam pada saat palpasi
Teraba tegang pada tendon Achilles, dengan kaki dorsoflexi < 90o
Abnormal foot posture (pes planus atau cavus)
Tegang pada otot hamstring
Kelemahan otot panggul dan ekstremitas bawah
Pemeriksaan neurologis
Thompson test yaitu menekan bagian belakang betis dengan hasil positif berupa plantar flexi untuk
membedakan dengan rupture tendon
Keterbatasan fungsional
Kegiatan-kegiatan yang berupa weight-bearing biasanya terbatas
Gerakan menyilang biasanya tidak mampu dilakukan
Tata Laksana
Untuk fase akut tujuan utamanya untuk mengurangi nyeri dan inflamasi dengan kompres dingin dan
obat-obatan anti inflamasi/analgetik
Elevasi kaki (0.5 inchi)
Terapifisik dan latihan
Ultrasound diathermy
Ionthoporesis
Phonoporesis
Tidak boleh dilakukan ES
Jika penanganan rehabilitasi gagal dapat dilakukan tindakan operatif
Komplikasi
Kelemahan otot dan rupture komplit dari tendon
Nyeri kronik
Abnormal gait
Daftar pustaka
1. Stretanski MF. Achilles Tendinitis. In : Frontera WR, Silver Jk, RizzoTD (eds) Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 407-10
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed.
Philadephia : WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB,VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
BURSITIS PADA LUTUT
Manifestasi Klinik
Nyeri lokal
Nyeri tekan
Pembengkakan pada sisi yang terkena.
Rasa sakit memburuk dengan gerakan fleksi dan biasanya muncul malam hari atau setelah aktivitas.
Nyeri terasa lebih menonjol dan dapat disertai kekakuan saat berjalan pada pagi hari.
Pemeriksaan Fisik
Antalgic gait, dengan pemendekan pada fase stance di sisi yang sakit.
Nyeri tekan saat palpasi berhubungan dengan bursa yang terkena, dapat ditemukan kemerahan dan
peningkatan temperature.
Jika bursa menempel pada sendi lutut, dapat terjadi efusi.
Keterbatasan ROM
Pemeriksaan neurologis tampak normal
Keterbatasan fungsional
Pasien kesulitan berjalan lama.
Penurunan keseimbangan sering terjadi pada pasien usia lanjut, kadang-kadang diperlukan alat bantu
(contoh: walker, crutches, cone, atau wheelchair).
Jika terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi, pasien memiliki kesulitan menekuk lutut, misalnya untuk
menyetir mobil atau duduk.
Pasien juga mengalami kesulitan untuk membungkuk, berlutut, merangkak, atau mendaki yang akan
mempengaruhi pekerjaan dan kegiatan rekreasi.
Pemeriksaan Penunjang
Aspirasi jarang diperlukan tapi dapat dilakukan jika dicurigai terjadi infeksi.
Pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain tapi mungkin
menunjukkan exostosis di daerah sekitar bursa. Rencana pemeriksaan radiologi seharusnya dilakukan
jika dicurigai terdapat tumor tulang, terutama pasien mengeluh nyeri pada malam hari.
Pemeriksaan Ultrasonografi muskuloskeletal untuk melihat peradangan pada bursal sac dan dapat
ditambah dengan menggunakan campuran udara-steroid-saline sebagai medium kontras.
Arthography jarang dilakukan.
Magnetic resononce imaging (MRl) diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis tumor atau tumor ganas
dan dapat menunjukkan infiltrasi cairan pada bursa.
Tata Laksana
Tatalaksana awal
Mengurangi aktivitas
Pemberian kompres es dapat membantu mengurangi nyeri dan inflamasi
Heat therapy untuk bursitis kronik (moistened warm compress, MWD, atau electric heating pad, sambil
diobservasi untuk mencegah terjadi luka bakar dan komplikasi lain
NSAIDs dapat diberikan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi
Rehabilitasi
Orthosis untuk mencegah nyeri gerak dan inflamasi. Shoe insert unilateral atau bilateral, dapat
diberikan tergantung pada proses patologis, berperan untuk perubahan biomekanik ekstremitas bawah
Stretching quadriseps, hamstring, iliotibial, dan otot-otot adduktor panggul jika terdapat kekakuan.
Latihan kekuatan otot diperlukan pada bursitis lutut kronik disebabkan kelemahan akibat gangguan pola
jalan.
Edukasi untuk melindungi lutut dari trauma (mencegah membungkuk atau menggunakan knee pad)
Prosedur
lnjeksi kortikosteroid intrabursal diberikan jika tidak ada respon pada manajemen konservatif atau jika
pasien menunjukkan keterbatasan fungsi yang bermakna. Diagnosis lain harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan gejala yang sulit disembuhkan. Pasien dianjurkan menghindari aktivitas pada daerah yang
diinjeksi kira-kira 2 minggu untuk membantu retensi kortikosteroid pada bursa dan mencegah
penyerapan sistemik.
Tindakan Bedah
Eksisi pada bursa dapat dipertimbangkan jika tidak memberikan respon pada terapi konservatif.
Komplikasi
Nyeri kronik
Dekonditioning
Disuse muscle atrophy
Kontraktur Fleksi lutut
Komplikasi obat : hipersensitivitas dan perdarahan lama, NSAID dapat menyebabkan gangguan
lambung, ginjal, dan hepar.
Penggunaan terapi es dapat menyebabkan hipersensitivitas dan vasokonstriksi pada pasien Raynaud
disease dan peripheral vascular disease
Pemakaian terapi panas dapat menghasilkan luka bakar, sedasi, dan skin discoloration.
Injeksi dapat berakibat hipersensitivitas obat, abses, infeksi, nerve injury, ruptur, dan lipoatropy.
Daftar pustaka
1. Hanada Ed, Keplinger FS, Gupta N. Knee Bursitis. In : Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds)
Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia;
2008: 355-358
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries:Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia :
Lippincot Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed.
Philadephia : WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB,VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
INSTABILITAS GLENOHUMERAL
Klasifikasi:
1. Berdasarkan penyebab
a. Trauma langsung
b. Trauma repetitif
c. Spontan pada orang dengan laksitas ligamen berlebih
2. Berdasarkan Arah Pergeseran
a. Anterior
b. Posterior
c. Multidirectional
3. Berdasarkan frekuensi
Manifestasi Klinik
Nyeri saat diam ataupun bergerak merupakan gejala awal.
Perasaan sendi bergeser, kelemahan saat melakukan gerakan diatas kepala juga sering dikeluhkan
Pemeriksaan fisik
Inspeksi dilakukan dari segala arah (anterior, posterior, dan lateral). Deformitas, atrofi otot sekitar,
asimetri bahu dan winging scapulae.
Palpasi pada jaringan lunak dan tulang dilalkukan secara sistematis meliputi otot-otot rotator tendon otot
biceps, dan region subacromion.
Dilakukan pemeriksaan lingkup gerak sendi aktif dan pasif.
Pemeriksaan kekuatan otot ditujukan untuk menilai adakah kelemahan pada otot-otot spesifik seperti
rotator cuff dan otot stabilisator scapula.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan termasuk manuver load and shift untuk menilai pergesaran arah
anterior dan posterior; sulcus sign untuk menilai laksitas caput humeri inferior; dan tes komp O'Brien
untuk menilai robekan pada labrum superior.
Keterbatasan fungsional
Berkurangnya gerakan sendi, kelemahan otot, dan nyeri berakibat pada kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari
Pada atlet akan menimbulkan berkurangnya kecepatan dan control
Kesulitan mengangkat benda ke atas kepala
Pemeriksaan penunjang
Radiografi standar
Artrografi, CT-artrografi, MRI
Tatalaksana
Tatalaksana awal
lstirahat, kompres dingin, dan analgesik atau anti-inflamasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa
nyeri, pencegahan trauma lanjutan dan persiapan program rehabilitasi.
Rehabilitasi
Harus dimulai segera setelah trauma terjadi. Tujuannya adalah mengurangi nyeri, mengembalikan lingkup
gerak, memperkuat otot, menghasilkan keseimbangan otot, dan dapat melakukan aktivitas harian dengan
normal.
Fase akur (1-2 minggu)
Program terfokus untuk menangani trauma jaringan dan pengurangan gejala. Tujuan dari fase ini adah
memfasilitasi penyembuhan luka sekaligus mengurangi nyeri dan inflamasi, pencegahan atrofi otot, dan
mempertahankan kebugaran.
Fase pemulihan (2-6 minggu)
Fase ini ditujukan untuk mengembalikan lingkup gerak sendi yang normal dengan cara meningkatkan
kekuatan, keseimbangan, dan kontrol gerakan otot.
Fase fungsional (6 minggu-6 bulan)
Fase ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot ekstrimitas atas serta
meningkatkan kontrol neuromuskuler. Program inijuga harus dapat mencegah trauma berulang.
Prosedur
Injeksi anestetik atau kortikosteroid pada regio subacromion dapat membantu mengurangi gejala yang
tidak dapat diminimalisir dengan program rehabilitasi saja.
Tatalaksana bedah
Pembedahan artroskopik perlu dipertimbangkan pada kejadian instabilitas glenohumeral yang berulang
terutama pada atlit lempar jauh.
Komplikasi
Trauma ulangan
Kerusakan saraf
Nyeri daerah bahu
Kelemahan rotator cuff dan otot scapula
Efek samping medikamentosa
Komplikasi bedah
Daftar pustaka
1. Micheo WF, Ramos E. Glenohumeral lnstability. ln: Frontera WR, Silver Jk, Rizzo TD (eds) Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 63-
70
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill,2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries : Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
COLLATERAL LIGAMENT SPRAIN
Klasifikasi
Berdasarkan cedera ligamen :
Grade I : nyeri tekan terlokalisir, tanpa laxitas jelas/bermakna
Grade II : nyeri tekan menyeluruh tanpa laxitas jelas/bermakna
Grade lll : terhentinya gerak ligamen lengkap dengan celah sendi > 10 mm pada kondisi stres ligamen
(ligamen diregangkan berlebihan)
Manifestasi Klinis
Nyeri lateral dan medial lutut adalah keluhan tersering. Nyeri yang muncul juga disertai dengan sensasi
knee locking.
Didapatkan spasme hamstring atau cedera meniscus
Dapat juga terjadi kerusakan jaringan neurovaskular.
Kekuatan otot di bawah lutut yang berkurang juga sering dikeluhkan.
Pemeriksaan Fisik
lnspeksi : Deformitas valgus /varus,tanda radang
Palpasi : Nyeri tekan, bengkak, kerusakan jaringan sekitar, efusi dapat terjadi.
Gerakan : Nyeri gerak, instabilitas sendi
Tes khusus :
- Tes Abduction stress pada 30o menunjukkan cedera ligamen collateral medial
- Tes Adduction stress pada 30o menunjukkan cedera ligamen collateral lateral
- Tes Eksternal rotasi recurvatum
Keterbatasan fungsional
Nyeri selama berdiri lama atau pada posisi hiperekstensi lutut.
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos : mendeteksi adanya avulsi dan fraktur tibial plateau.
MRI : melihat kerusakan ligamen
USG Muskuloskeletal dapat menggambarkan kondisi ligament
Tatalaksana
Awal
Prinsip dasar pada fase awal adalah PRICE (protect, rest, ice, compression, elevation). Pada grade 2 dan
grade 3 mungkin membutuhkan tongkat ketiak atau knee brace dengan hinge joint stop 20o-60o untuk
mendapatkan efek bantuan lutut agar stabil. Pemakaian obat NSAID sebagai anti nyeri pada fase akut dari
cedera.
Rehabilitasi
Tujuan dari rehabilitasi pada lutut dengan cedera ligamen collateral adalah untuk mengembalikan lingkup
gerak sendi, meningkatkan stabilitas, dan membebaskan aktivitas dari nyeri. Latihan kontraksi isometrik
otot quadriceps dan stimulasi listrik dapat dimulai 24-48jam setelah cedera untuk mengurangi bengkak
pada jaringan sekitar dan atrofi otot. Latihan ROM dan stretching dapat dimulai pada hari pertama. Latihan
aerobik dapat diberikan dengan menggunakan ergometer, sepeda statis, renang (latihan akuatik dengan
menggerak-gerakkan kaki). Rehabilitsi pada fase selanjutnya yaitu dengan meningkatkan aktivitas
olahraga spesifik. Mengkombinasi latihan closed dan open kinetic chain. Biasanya pasien yang mengalami
cedera ligamen collateral ringan dapat kembali ke aktivitasnya setelah 3-4 minggu. Pasien dengan cedera
ligamen collateral sedang hingga berat dapat kembali beraktivitas setelah 8-12 minggu. Sedangkan
rehabilitasi pada pasien dengan pasca operasi perbaikan ligamen dilakukan latihan weight bearing segera,
pemeliharaan ROM, dan kembali ke aktivitas sehari-hari.
Tindakan Bedah
Dilakukan pada cedera ligamen Grade 3
Komplikasi
Instabilitas kronik lutut
Osteoartritis
Pellegrini-Stieda disease
Daftar Pustaka
1. Akuthota V Lento P. Collateral Ligament Sprain. ln : Frontera WR, Silver )k,Rizzo TD (eds) Essentials
of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Philadephia; 2008 : 319-
24
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries : Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia: Lipincott-Raven
Publishers, 1998
ROBEKAN LIGAMEN KRUSIATUM POSTERIOR
secara umum, robekan PCL terjadi pada trauma lutut yang sedang dalam posisi fleksi. Tetapi dapat juga
diakibatkan saat posisi lutut hiperekstensi dan rotasi lutut pada kaki yang menapak kuat atau pada
hiperfleksi paksa. Cedera PCL umumnya terjadi dengan tambahan cedera lainnya (misalnya, robekan
ACL, robekan ligamen kolateral, dan cedera meniskus).
Gejala sisa jangka panjang dari ketidakstabilan posterior lutut dapat menyebabkan arthritis degeneratif.
Angka kejadian cedera PCL lebih banyak pada pria.
catatan: Kelas I hingga lll adalah cedera yang terisolasi; kelas lV adalah cedera gabungan. ACL ligamen
krusiatum anterior; ligamen kolateral lateral; MCL, ligamen kolateral medial, PCL, ligamen krusiatum
posterior.
Manifestasi Klinik
Penting untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme terjadinya cedera. Biasanya, pasien melaporkan
bahwa mereka terjatuh dengan lutut fleksi atau mengalami benturan pada lutut bagian anterior ketika
tertekuk (misalnya, pada dashboard mobil). Beberapa pasien mungkin ingat merasa atau mendengar bunyi
“pop” pada saat cedera.
Pasien dapat melaporkan nyeri di sepanjang daerah medial dan patellofemoral dari lutut, ketidakstabilan,
dan ketidakmampuan untuk menanggung berat badan dan berjalan. Pembengkakan dapat berkisar dari tidak
signifikan sampai bengkak hebat.
Pemeriksaan Fisik
Pada cedera akut, mungkin terlihat adanya kontusio dari anteriortibia, dan ekimosis poplitea.
Pembengkakan dan efusi mungkin tidak ditemukan. Temuan pemeriksaan neurologis harus normal, dengan
kemungkinan pengecualian kelemahan jelas dengan pengujian kekuatan sebagai akibat dari rasa sakit.
Keterbatasan fungsional
Nyeri
Kesulitan berjalan
Pemeriksaan Penunjang
Arthrometer KT-1000 sangat spesifik dalam mendeteksi robekan PCL grade ll dan lll.
Stress radiographs ditempat di mana MRl tidak tersedia.
Foto polos harus dilakukan untuk menyingkirkan patah tulang, termasuk avulsi PCL (tunnel view yang
terbaik untuk memvisualisasikan ini).
MRI sangat spesifik dan sensitif dalam penilaian cedera PCL, terutama ketika tehnik fat suppression dan
"fast spin" terbaru digunakan.
Artroskopi diagnostik memungkinkan visualisasi langsung dari PCL tersebut.
Tata Laksana
Awal
Protection, rest, ice, compression, dan elevation (PRICE)
NSAIDs
lmmobilisasi dalam posisi ekstensi dengan Velcro knee immobilizer
Tongkat ketiak bila perlu
Rehabilitasi
Rehabilitasi dimulai setelah tanda dan gejala cedera akut sudah reda (7-10 hari). Lingkup gerak dan latihan
ketahanan quadriceps dimulai sementara kelemahan tibialis posterior dicegah.
Latihan sepeda stationer dapat dimulai segera setelah fase akut
Setelah 3 bulan, closed-chain kinematictherapy dapat dimulai
Bracing dalam posisi ekstensi
Passive-exercise untuk fleksi lutut
Setelah 9-12 bulan, dapat kembali ke aktivitas semula
Prosedur
Arthrocentesis dilakukan untuk hemarthrosis.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah dilakukan bila tindakan konservatif tidak menampakkan hasil.
Komplikasi Penyakit
Nyeri
Keterbatasan fungsi dan aktivitas
Artritis degeneratif
Efek samping medikamentosa.
Bracing lama atau imobilisasi dapat menyebabkan kelemahan otot yang signifikan dan atrofi.
Risiko operasi
Daftar pustaka
1. Curtis C, Bienkowski P, Micheli U. Posterior Cruciate Ligament Sprain. ln : Frontera WR, Silver Jk,
Rizzo TD (eds) Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation, second edition, Saunders
publishing, Philadephia; 2008 : 381-6
2. Brukner P, Khan K. Clinical Sports Medicine. Sydney: Mc Graw Hill, 2000.
3. Peterson L, Renstrom R. Sports lnjuries: Their Prevention and treatment. Singapore: Kyodo Shing
Loong Printing lndustries, 1986.
4. McKeag DB, Moeller Jl, editor. ACSM'S Primary Care Sports Medicine. 2nd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins, 2007.
5. Andrews JR, Harrelson GL, Wilk KE. Physical Rehabilitation of the lnjured Athlete. 3 rd ed. Philadephia
: WB Saunders, 2004.
6. Safran MR, McKeag DB, VanCamp SP. Manual of Sports Medicine. Philadelpia : Lipincott-Raven
Publishers, 1998.
KARDIRESPIRASI III
MCI
Ada beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya miokardial infark:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah, contoh : usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga
2. Faktor resiko yang dapat dirubah seperti : hiperkolesterolemia, hipertensi, merokok, diabetes
mellitus, obesitas, stress dan lain-lain
Rehabilitasi jantung adalah sejumlah kegiatan yang dibutuhkan untuk menjamin pasien penyakit jantung
pada kondisi fisik, mental, social yang optimal sehingga mereka dapat dengan usaha mereka sendiri
memperoleh kembali kehidupan seoptimal mungkin di masyarakat dan menjalani hidup secara
aktif.
Konsep rehabilitasi jantung pasca MCI adalah pencegahan sekunder (secondary prevention)
Anamnesis
Nyeri dada khas menjalar ke punggung, leher dan lengan bagian kiri
Sesak nafas
Cepat lelah
Palpitasi (berdebar-debar)
Sinkop
Pemeriksaan Fisik
Status generalis : tanda vital T.N.R
lnspeksi : tampak iktus cordis
Palpasi : tidak teraba iktus cordis
Perkusi : pembesaran pinggang jantung
Auskultasi : Bunyi jantung (marmur, gallop)
Pemeriksaan Penunjang
EKG, laboratorium, rontgen
Kriteria Diagnosis
Dua dari 3 kriteria dibawah ini :
Nyeri dada khas 20 menit
Abnormalitas EKG (perubahan ST-T)
Abnormalitas enzim jantung (CK-CKMB)
Tatalaksana
Tujuan rehabilitasi jantung pasca MCI adalah mengembalikan kondisi fisik, mental dan sosial untuk
menjalani hidup dengan aktif.
Tujuan jangka pendek mengembalikan kondisi (reconditioning), mobilisasi dini, mengurangi efek
fisik dan psikologis akibat tirah baring, meningkatkan fungsi kardiovaskular, meningkatkan daya tahan
dan kapasitas kerja fisik, mengontrol keluhan-keluhan kardiak
Tujuan jangka panjang mengindentifikasi dan memperbaiki faktor resiko, menstabilkan proses
atherosclerosis, meningkatkan status psikologis penderita, dan mempersiapkan penderita untuk kembali
kerja dan berperan aktif dalam keluarga dan lingkungan sosial.
Program
Stratifikasi resiko: ringan, sedang, berat
Exercise
- Senam Calistenik Stretching,
- Ergocycle exercise : 25 watt/ 10 menit dilanjutkan latihan jalan aerobik 2,5 - 3 km/30 meriit
Relaksasi
Konseling dan edukasi
Akhir fase ll dilakukan treadmill test
Program
Melanjutkan fase ll
Exercise :
- Senam Kalistenii stretching
- Ergocycle exercise 50 watt /10 menit dilanjutkan latihan jalan erobik 3 - 4 km/ 30 menit
Relaksasi
Konseling dan edukasi
Akhir fase lll dilakukan treadmill test
Komplikasi
Aritmia
Supraventricular Tachicardy
Gagal jantung kiri yang berat
Syok kardiogenik
Daftar Pustaka
1. Wenger NK. Hospital Exercise Rehabilitaion After Myocardinal lnfarction and Myocardial
Revascularization of The Coronary Patient, Churchill Livingtine 1992, 351 - 63
2. Braunwald, Acute Myocardial lnfarction, in Heart Disease, Sixth Edition,W.B Saunders Company 2001
: 1178 - 93
3. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs Third Edition Americar
Association of Cardiovascular & Pulmonary, Rehabilitaion 1999: 19.21.45
GAGAL JANTUNG KRONIK STABIL
(CHF KRONIK STABIL)
Batasan
Gagal jantung (CHF) adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompakan darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun aliran darah balik cukup.
Goal
Menurunkan morbiditas dan mortalitas
Menurunkan rehospitalisasi (perawatan kembali).
Anamnesis
Sesak napas
Cepat lelah
Edema perifer
Takikardi
Pemeriksaan fisik
Status generalis : tanda vital tensi, nadi, respirasi, suhu
Inspeks : keadaan umum saat istirahat dan selama aktifitas jalan
Palpasi : Pulsasi jantung (ictus cordis), v. Jugolaris, pembesaran hepar dan lien
(hepatosplenomegali)
Perkusi : Pembesaran pinggang jantung
Auskultasi : bunyi jantung (murmur, gallop)
Pemeriksaan Penunjang
RontgenThorax
Hasil EKG
Hasi Ekokardiograf
Hasil Laboratorium
Kriteria diagnosis
Gambaran klinis : sesak nafas, cepat lelah, edema perifer
Pemeriksaan penunjang : Ro, EKG, Ekokardiografi
Tata laksana
Tujuan rehabilitasi jantung CHF Kronik adalah
Memperbaiki Performa fisik
Memperbaiki keluhan sesak nafas
Meningkatkan kemampuan aktivitas
Meningkatkan toleransi latihan
Menurunkan mortalitas dan morbiditas
Program rehabiltasi jantung CHF Kronik stabil :
1. Perawatan RS
Mobilisasi sesuai aktivitas fungsional klas :
- Fc 1 : > 6 Mets
- Fc 2 : 5-6 Mets
- Fc 3 : 3-4 Mets
- Fc 4 : 1-2 Mets
Latihan ROM ke empat extremitas secara aktif
2. Pasca Perawatan RS
Fase initial :
- Awal latihan dilakukan uji jalan 6 menit
- Latihan aerobik jalan intensitas rendah (low intensity exercise)
- Latihan ergocycle 50 - 60 % HR Max
- Latihan relaksasi
- Goal :
Meningkatkan fungsional klas menurut NYHA
Lamanya 4-6 minggu
Fase Progresif
- Latihan erobik jalan ditingkatkan
- Latihan ergocycle 60 -70 % HR Max
- Latihan relaksasi
- Goal:
Meningkatkan fungsional klas NYHA
Lamanya 6-26 minggu
Fase Pemeliharaan
- Latihan erobik jalan sesuai dengan fase progresi
- Latihan ergocycle sesuaidengan fase progresi
- Latihan relakasi
- Goal:
Mempertahankan dan meningkatkan ketahanan erobik dan toleransi latihan
Lamanya sampai 52 minggu.
Daftar Pustaka
1. Guidelines for Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention Programs Third Edition American
Association of Cardiovascular & Pulmonary Rehabilitaion 1999: 19.21.45
PENYAKIT PARU RESTRIKTIF
Definisi
Penyakit Paru Restriktif adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik pada penurunan volune paru
yang disebabkan oleh adanya perubahan pada jaringan parenkim paru atau karena adanya proses penyakit
pada pleura, dinding dada atau komponen neuromuskular.
Beberapa kapasitas paru mengalami penurunan kapasitas yaitu kapasitas total paru, kapasitas vital atau
kapasitas paru istirahat.
Klasifikasi
1. Penyakit paru intrinsik atau penyakit pada parenkim paru.
Penyakit tersebut menyebabkan peradangan atau terbentuknya jaringan parut pada jaringan paru
(interstitial lung disease), atau menyebabkan terisinya ruang udara pada paru oleh eksudat dan debris
(pneumonitis).
2. Penyakit ekstrinsik atau jaringan ekstra parenkim, yaitu pada dinding dada, pleura, otot respirasi
Kelainan pada semua struktur tersebut dapat menyebabkan restriksi jaringan paru, kelemahan fungsi
ventilasi dan gagal nafas (Misalnya, penyakit-penyakit dinding dada diluar otot. atau adanya kelainan
neuromuskular).
Anamnesis
Keluhan utama
Riwayat masalah
Riwayat fungsi mencakup kemampuan berjalan dan naik tangga
Riwayat psikososial
Obat/alergi
Riwayat medik/operasi
Riwayat keluarga
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan umum
Penilaian fungsi
Penilaian musculoskeletal
- Penilaian neurologis
- Pola nafas serta penggunaan otot-otot pernafasan tambahan
- Kemampuan ekspektorasi, batuk efektif, peak flow meter
- Skala sesak
- Kekuatan otot respirasi
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Foto Thoraks
Spirometri
Keterbatasan fungsional
Pemeriksaan AKS
Gangguan mobilisasi
Asesmen luaran
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan pemandu untuk pemberian intervensi atau program.
Diperlukan suatu tolok ukur untuk menilai keberhasilan suatu program. menganjurkan penggunaan
outcome ossessment dengan kelompok uji laboratorium untuk penampilan, uji lapangan, sesak dalam
bentuk skala, kuesioner kualitas hidup dan kuesioner penilaian status fungsional. Menggunakan beberapa
hal berikut:
Tatalaksana
Edukasi
Nutrisi
Asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru. Gejala penyakit paru
restriktifi seperti kesulitan bernapas, kelelahan, dan sebagainya. dapat berkontribusi terhadap
berkurangnya asupan makanan. Penurunan yang berkepanjangan dalam asupan makanan dapat
menyebabkan kekurangan gizi dan kehilangan berat badan yang signifikan
Psikososial
Depresi dan anxietas adalah dua komorbiditi utama yang berhubungan dengan penyakit paru restraksi,
seiring dengan penurunan drastis keterbatasan aktifitas fungsional, dan panik diasosiasikan dengan
serangan dyspnea yang berat. Antidepresan dan medikasi dengan antianxiolitik biasa digunakan sebagai
pengobatan penunjang saat konseling.
Terapi fisik dada (Chest Physical Therapy)
Terapi fisik dada dapat didefinisikan sebagai teknik terapi yang diterapkankan pada dinding dada dari
luar, dalam memfasilitasi pembersihan sekret/mukus pada saluran pernapasan, meningkatkan fungsi
pernapasan dan mengurangi komplikasi yang terjadi, seperti terjadinya air trapping sampai terjadi
hyperinflation yang akan menyebabkan perburukan keadaan umum pasien.
Terapi fisik dada meliputi:
Latihan batuk efektif dengan metode huffing-coughing
Postural drainage
Bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen paru dengan mengandalkan gaya
gravitasi.
Perkusi
Vibrasi
Therapeutic Exercise
Exercise untuk mengatasi sesak nafas tergabung pada active cycle of breathing yang terdiri dari: pursed
lip breathing, diaphragmatic breathing dan huffing. Latihan ini diberikan sesuai dengan derajat beratnya.
Latihan atau exercise mencakup : relaksasi, latihan otot terisolasi (hairmyers), dan latihan aerobik.
Daftar Pustaka
1. Sharma Sat. Restrictive Lung Disease. Article. available from : http://emedicine.medsape.com
2. Nusdwinuringtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta : Departemen Rehabilitasi Medik
RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 2006. p.49
3. Kohlam, Virginia C, Stulbarg, Michael S. Dyspenea : Assessment and management in Hodgkin, John
E: Pulmonary Rehabilitation. Guidelines to Succes; Lippincoat Williams & Wilkins 2000 3rd ed. p.57-89
4. Kendrick KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg scale in assessing the degree
of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of Emergency Nursing. Volume 26, lssue 3 ,
Pages 216-222, June 2000
5. Nusdwinuringtyas N, Laksmi W & Bachtiar A. Healthy adults maximum oxygen uptake rediction from
a six minute walking test. Medica! Journal lndonesia, Edisi Juli-September 2011, Vol 20 No 3
6. Mador MJ, Bozkanat E. Skeletal muscle dysfunction in chronic obstructive pulmonary disease. Respir
Res 2001, 2:216-224
7. Nusdwinuringtyas N, kumpulan Makalah rehabilitasi respirasi. In Nusdwinuringtyas N. Exercise
training in Chronic pulmonary Disease. Paper Presented at Satellite Symposia 5 : Improving Quality of
life in COPD and other Chronic Repiratory Disease”. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Ciptomangunkusumo, 2006. p61-73
8. Delisa JA, Physical Medicine and Rehabilitation. In : Delisa, Joel A, et al. Rehabilitation of the Patient
with Respiratory Dysfunction. 4th ed. Lippincott William& Willkins; 2005. 1844-1867
9. Alba A, Chan L. pulmonary Rehabilitation In: Braddo, RL. Physical medicine and Rehabilitation. 3th
ed. Saunders, Philadeplhia. 2007. P.732-742.
10. Huge BS. Women’s Health: Obstetrics and Pelvic Floor In: Kisner C, Coldby, LA Therapeutic
Exercise. F.A. Davis Company, Philadelphia, 2007. P.799-822
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
Gangguan saluran pernafasan ini memiliki karakteristik pada kapasitas paru. Beberapa volume meningkat
yaitu VR (volume residu) & KPT (kapasitas paru total); KV (kapasitas vital) dapat turun atau normal,
sedangkan VEP1/KVP <75%. Gambaran Flow volume loop pada ekspirasi akan melandai/cekung.1
Outcome Assessment
skala Borg,
Uji jalan enam menit,
Uji sepeda statis dengan metoda incremental,
St George Respiratory Questionare (SGRQ).8
Tatalaksana Terapi
Farmakologi : pemberian bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik dan antibiotik.
Non farmakologi : edukasi, nutrisi, dan psikososial.
Terapi dada (chest therapy), modalitas, latihan misal : latihan terapeutik, latihan otot-otot pernapasan
dengan incentive spirometry dan juga dengan inhalasi (nebulizer).14
Terapi fisik dada meliputi batuk, postural drainage, perkusi, vibrasi, osilasi frekuensi tinggi, suction
nasotracheal, dan exercise.
Terapifisik dada ini tidak diberikan pada pasien pasca operasi atau dengan riwayat kelainan pembuluh
darah/aneurisma.
huffing : tekniknya dengan bernafas, pasien mengatakan "ha" dengan tegas dan berulang kali.16
Postural drainage bertujuan untuk mengeluarkan mukus dari seluruh segmen paru dengan mengandalkan
gaya gravitasi.
Exercise / latihan
Exercise untuk mengatasi sesak nafas tergabung pada active cycle of breathing yang terdiri dari pursed
lip breathing, diaphragmatic breathing dan huffing23
Latihan atau exercise mencakup relaksasi, latihan otot terisolasi (Hairmyers), hingga latihan aerobik.24
Terapi Inhalasi
Terapi inhalasi yang menggunakan alat nebulizer
Obat-obatan yang dapat digunakan melalui inhalasi adalah golongan bronkodilator (antikolergik,
adrenergic), kortkosteroid dan mukolitik.30
Modalitas
Modalitas electrical stimulasi sebagai suatu terapi untuk mempertahankan kekuatan otot Quadricep femoris
sudah direkomendasikan oleh ATS/ERS terhadap rehabilitasi paru.32
Nutrisi
Asupan nutrisi penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan paru.
Dukungan psikososial
Depresidan anxietas
Antidepresan dan medikasi dengan antianxiolitik biasa digunakan sebagai pengobatan penunjang saat
konseling35
Daftar Pustaka
1. West JB. Ventilation. ln: West JB, editor. Respiratory physiology. 7th ed. Baltimore: William and
Wilkins; 2008. p.13-30.
2. Global lnitiative for Asthma (GINA). Diagnosis and classification. ln: Global strategy for asthma
management and prevention. NHLBI publication 2010.
3. Donohue FJ, Sheth K. Asthma and COPD. Management strategies for the primary care provider. 2008.
4. Global lnitiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. National lnstitutes of Health.
National Heart, Lung and Blood lnstitute, Update 2009.
5. Tsang KW, Tipoe GL. Bronchiectasis: not an orphan disease in the east. lnt. J Tuberc Lung Dis. 2004;
8 (6): 691-702.
6. King Pf,, Daviskas E. Pathogenesis and diagnosis of bronchiectasis. ERS. 2010; 6:342-51.
7. Nusdwinuringtyas N. Bahan tutorial dasar-dasar rehabilitasi respirasi. Unpublished.
8. Nusdwinuringtyas N. Panduan tindakan rehabilitasi respirasi. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik
RS Dr. Cipto Mangunkusumo; 2006. p.49.
9. Kohlam, Virginia C, Stulbarg, Michael S. Dyspenea: Assessment and management in Hodgkin, John E:
Pulmonary Rehabilitation. Guidelines to Succes. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 57-
89.
10. Kendrick KR, Baxi SC, Smith RM. Usefulness of the modified 0-10 Borg scale in assessing the
degree of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of Emergency Nursing. 2000 June; 26
(3):216-222.
11. Nusdwinuringtyas N, Laksmi W & Bachtiar A. Healthy adults maximum oxygen uptake prediction
from a six minute walking test. Medical Journal lndonesia. 2011 Juli-September ; 20 (3).
12. Mador MJ, Bozkanat E. Skeletal muscle dysfunction in chronic obstructive putlonary disease.
Respir Res. 2001; 2:216-224.
13. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. ln Nusdwinuringtyas, N. lmproving
Quality of life in COPD and other Chronic Respiratory. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Cipto Mangunkusumo; 2006. p.61.
14. Abdool-Gaffar MS, Ambaram. A Guideline for the management of chronic obstructive pulmonary
disease-2011 update. SAMJ.2011 January; 101 (1).
15. Alba A, Chan L. Pulmonary Rehabilitation. In: Braddom RL. Physical and Rehabilitation. 3th ed.
Philadelphia: Saunders; 2007. p.732 - 142.
16. Huge BS' Women's Health: Obstetrics and Pelvic Floor ln: Kisner C, Colby LA Therapeutic
Exercise. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007.p.799 - 822.
17. Delisa JA. Physical medicine and rehabilitation. ln: Delisa, Joet A, et al. Rehabilitation of the
patient with Respiratory Dysfunction. 4th ed. Lippincott william & willkins; 2005. p.1844-1867.
18. Mackenzie CF, et al. Chest physiotherapy in the intensive care unit. ln: Nancy Ciesla. Postural
Drainage, positioning, and breathing exercise. 1st ed, Baltimore William and Willkins; 1981. p. 55-80
19. Kisner C, Colby LA. Management of pulmonary conditions. ln: Carolyn Kisner. Therapeutic
Exercise Foundation and Technique. 4th ed. Philadelphia: FA Davis Company; 2002. p.738-774.
20. Rochester & Carolyn L. The basis of exercise limitation in COPD. ln: Ambrosino N, Goldstein
Ventilatory support for chronic respiratory failure. lnforma Healthcare; 2008. p. 145.
21. Macintyer NR. Pulmonary Rehabilitation. ln: R Dean, Macintyre NR, Mishoe SC. Respiratory are:
Principles and Practice. Sudburry, MA: Jones & Barlett Learning; 201 1. p.549 - 557.
22. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. ln Nusdwinuringtyas, N. Chest
physical Therapy in The Rehabilitation of Lung Function. Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS
Dr. Cipto Mangunkusumo; 2006. p. 18.
23. Dean, Macintyre NR, Mishoe SC. Sputum collection, airway clearance and lung expansion
therapy. ln: Respiratory Care: Principles and Practice. Sudburry, MA: Jones & Barlett Learning; 2011.
p.352-373.
24. Nusdwinuringtyas N. Kumpulan makalah rehabilitasi respirasi. In Nusdwinuringtyas N. Exercise
Training in Chronic Pulmonary Disease. Paper presented at Satellite Symposia 5: "lmproving Quality of
Life in COPD and Other Chronic Respiratory Disease". Jakarta: Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr.
Cipto Mangunkusumo; 2006. p. 61 -73.
25. Sarmento A. lnspiratory muscle training in patient with COPD. AMJ of Respiratory & Critical Care
Medicine. 2OO2: 1491-97.
26. Basoglu OK, Atsever A, & Bacakoglu F. The efficacy of incentive spirometry in patients with
COPD. Respirology Journal. 2005 June: 10 (3): 349-53.
27. Tambunan T. Pengaruh latihan pernapasan incentive spirometry terhadap kemampuan inspirasi
maksimal dan kualitas hidup pada penderita penyakit paru obstruksi. [Tesis]. Jakarta: Program Studi
Ilmu Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006
28. Troosters T, Casaburi R, Gosselink R, Decramer M. Pulmonary Rehabilitation in Chronic
Obstructive. Pulmonary Disease Am J Respir Crit Care Med. 2005; 172: 19-38.
29. Raul JL. Administration of aerosolized agents. Respiratory care Pharmacology. 6th Edition.
Georgia: Mosby; 2002. p.36.
30. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 113-131.
31. Nici L, Donner C, Wouters E, Zuwallack R, Ambrosino N, Bourbeau J, et al. American thoracic
society/ european respiratory society statement on pulmonary rehabilitation. Am J Respiratory Critical
Care Medicine. 2006; 173: 1390-413.
32. Barus AP. Pengaruh electrical stimulation terhadap kekuatan otot quadriceps femoris pada
penderita penyakit paru obstruksi pasca dan eksaserbasi akut. [Tesis]. Jakarta: Program Studi llmu
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia. 2006
33. CockburnT, Johnson J. Nutritional Management of COPD: Guide for Health Professionals. CDM
Dietitian, Saskatoon Health Region. 2009
34. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success
3rd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 247-260.
35. Hodgkin JE, Celli BR, and Connors GL. Pulmonary rehabilitation guidelines to success 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 113-131.
Miopati
Definisi
Miopati adalah kelainan pada saraf tepi yang mengenai level otot. Miopati dapat disebabkan oleh
berbagai hal dan memiliki perjalanan yang bervarisasi pula. Bisa terdiri atas akut, subakut dan kronik.
Miopati mengenai grup otot proksimal atau distal, sebagian menyebabkan kelainan otot jantung
(kardiomiopati).
Banyak kelainan miopati merupakan kelainan genetik autosomal dominan.
Anamnesis
Tingkat tumbuh kembang menurut milestone
Kelemahan otot dari proksimal (tanda utama), hip dan tungkai atas, pasien mengalami
kesulitan berdiri. Kesulitan berdiri dan naik turun tangga. Drop foot dan instabilitas pergelangan
kaki.
Kelelahan otot (otot-otot lengan atas, terutama saat melakukan kegiatan yang overheod, menyisir
rambut, gosok gigi, dll)
Kelainan pola jalan (serta kesulitan apa yang dialami saat berjalan, naik tangga, dll)
Kelainan postur
Riwayat ambulasi pasien
Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Pemeriksakan fungsi mobilisasi (saat anak dari duduk ke berdiri Gower monuver,berjalan Gait
waddling
Pemeriksaan postur (termasuk pemeriksaan skoliosis)
Pemeriksaan muskuloskeletal (deformitas, atrofi/hipertrofi otot, tonus otot, kekuatan otot,
lingkup gerak sendi,dll)
Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler dan respirasi
Keterbatasan fungsional
Gangguan aktivitas kehidupan sehari- hari
Kelelahan karena gangguan fungsi kardiovaskuler dan respirasi
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Creatinine phosphokinase (CPK)--> meningkat 10-100x normal.
Pemeriksaan DNA (apakah terdapat mutasi dari gen yang menyebabkan tipe
khusus dystrophie)
Biopsi otot
EMG
FotoThoraks
EKG atau ECHO
a Foto seri skoliosis
Test lQ
Tujuan Tatalaksana
Menigkatkan atau mempertahankan status gizi anak.
Membantu mempertahankan kekuatan otot
Meningkatkan ketahanan kardiorespirasi
Kemandirian dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari mandiri sesuai usia dan
perjalanan penyakit
Anak tetap dapat bersekolah dan bermain
Mencegah komplikasi
Kontraktur
Skoliosis
Fungsi respirasi (misalnya : aspirasi, atelektasis)
Tatalaksana
Pengaturan dietTKTP
Latihan penguatan otot
Latihan aerobik submaximal, contohnya : berenang
Positioning yang optimal, latihan lingkup gerak sendi, latihan peregangan sendi, latihan berdiri
dan berjalan
Latihan mempertahankan atau meningkatkan kemampuan melakukan AKS
Ortosis : Ankle Foot Orthosis, Knee Ankle Foot Orthosis, spinal brace untuk skoliosis
Edukasi keluarga mengenai AKS anak ( mungkin anak akan membutuhkan bantuan dalam AKS
nya)
Edukasi pentingnya anak tetap bersekolah dan bermain dengan teman-temannya.
Komplikasi
Penurunan fungsi respirasi
Kardiomiopati
Kontraktur
Malnutrisi
Skoliosis
Daftar Pustaka
1. McDonald CM. Neuromuscular diseases. In : Alexander MA, Matthews DJ (eds) Pediatric
rehabilitation principles and practice, fourth edition, Demos Publishing, NewYork;2010 :277-334
2. Emery AEH. Muscular DystrophiesThe Facts, Oxford university press, NewYork; 1994:14-20
3. Borg K, Ensrud E. Myopathies. ln : FronteraWE, SilverJK, RizzoTD (eds) Essential of Physical
medicine and rehabilitation, second edition, Saunders publishing, Phitadephia;2008 :729-32
4. Han JJ, Kilmer DD. Myopathy. !n : Delisa JA (ed) Delisat Physical Medicine and Rehabilitaion e,
fifth edition, Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia; 20 I 0:757-80.
KESULITAN BELAJAR
Faktor predisposisi
1. Faktor biologis (belum pasti)
a. Faktor medis :gangguan neurologis misalnya palsi serebral, spina bifida, epilepsi, trauma
kapitis, infeksi sistem saraf pusat, paparan radiasi.
b. Gangguan penyakit kronis : asma, alergi, DM, kelainan endokrin, kelainan jantung.
2. Faktor prilaku sosial dan lingkungan
a. Kondisi sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga inti
b. Norma budaya
c. lnteraksi keluarga, sikap orang tua terhadap pendidikan manajemen praktis terhadap anak
d. Sikap anak: senang sekolah, konsep diri, kognitif, temperamen
e. Harapan anak sesuai/ tidak dengan kapasitas untuk merealisasikan.
Gejala
Kesulitan bekerjasama dalam kelompok
Kesulitan membedakan ukuran, bentuk dan warna
Kesulitan konsep waktu
Penyimpangan dalam konsep bentuk tubuh
Kesulitan dalam membaca dan menulis
Sikap yang kaku
Gangguan koordinasi visual-motor
Hiperaktifitas
Kesulitan untuk mengkopi secara tepat saat diberikan suatu contoh
Lambat dalam menyelesaikan tugas
Gangguan keterampilan pengorganisasian
Kesulitan memahami instruksi
Kesulitan dalam berpikir abstrak dan problem solving
Pemikiran yang tidak teroganisir
Kadang-kadang terobsesiterhadap suatu topik atau ide
Gangguan memori jangka pendek atau jangka panjang
Perilaku impulsil, kehilangan pemikiran reflektif Toleransi yang rendah terhadap frustasi
Gerakan yang berlebihan saat tidur
Kesulitan dalam pergaulan
Eksitasi berlebihan dalam grup bermain
Kesulitan membuat Pertimbangan
Afek yang kadang tidak pantas, tidak selektif dan kadang berlebihan dalam menunjukkan afeksi
Keterlambatan dalam perkembangan milestones (motor, bahasa)
Perilaku yang tidak sesuai dengan situasi
Kegagalan untuk memahami konsekuensi perbuatannya
Mudah dipengaruhi dan diarahkan oleh pemimpinnya
Variasidan respons dalam mood
Kesulitan menyesuaikan pada perubahan di lingkungan
Kesulitan membuat keputusan
Kesulitan konsentrasi, mudah dialihkan
Kesulitan dalam dominansi tangan
Kesulitan dalam tugas yang beruntun
Pemeriksaan Fisik
Fungsi sensori persepsi
Fungsi kognitif dan praksis
Keterbatasan fungsional
Membaca
Mengeja
Tulisan tangan
lntegrasivisualmotor
Matematika
Tuiuan tatalaksana
Menghilangkan atau mengurangi gejala yang ada
Mengembangkan potensi untuk mencapai kemampuan sesuai dengan tingkat perkembangan usia
Dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari sesuai dengan usia
Tatalaksana
Terapi diberikan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi anak dan tingkat perkembangan apa
yang telah dicapai anak
Terapi disini dapat berarti dapat berarti latihan fisik, mental emosional, pemberian obat-obatan,
diet, tergantung kondisi anak. Hasil terapi tidak dapat dinikmati seketika, memerlukan waktu.
Kesempatan yang sama harus diberikan pada anak dengan kesulitan belajar untuk bermain,
merawat diri sendiri, bersekolah, mengikuti aktifitas keluarga dan bepergian.
Keluaran
Refleks primitif terintegrasi dan reflex protektif dan keseimbangan dipergunakan dengan baik
Tonus otot normal
Kemampuan gross motor dan fine motor sesuai usia
Kemampuan koordinasidan desteritas sesuai usia
Kemampuan konsentrasi dan atensi yang meningkat
Meningkatnya kemampuan sosial
Kemampuan akademik dan bermain meningkat
Kemampuan bersenang-senang dan bermain yang meningkat
Daftar Pustaka
1. Rogers SL, Gordon CY Schanzenbacher KE, Smith JC. Common Diagnosis in Pediatric
Occupational Therapy Practice. ln : Smith JC (ed) Occupational Therapy for Children, fourth
edition, Mosby Inc, Missouri; 2001 : 136-87.
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IVTR, fourth edition-text
revision, American Psychiatric Association, USA; 2000
3. National joint committee on learning disability.WETA;2010{update 2010 2010; cited 2012 15
march}; available from : http://ldonline.org/pdfs/njcld/NJCDDefinitionoflD.pdf
4. Learning disability. Child development institute. LLC. 2012 [update 2012; cited 2012 15 march]
available from http://childdevelopmentinfo.com/learning_disability.shtm
PENYAKIT BLOUNT
Definisi
Penyakit Blount adalah gangguan perkembangan tulang proksimal tibia aspek medial yang dapat
mengakibatkan deformitas progresif berupa varus angulasi serta rotasi abnormal pada tungkai bawah.
Epidemiologi
Prevelansi penyakit Blount bentuk infantile di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 0,007 atau
kurang dari 1% sedangkan prevelansi penyakit Blount bentuk dewasa mencapai 2,5%.
Anamnesis
Keluhan bentuk kaki O
Riwayat mulai berjalan lebih awal biasanya pada usia 9-19 bulan
Riwayat obesitas
Riwayat keluarga dengan penyakit Blount
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi konvensional proyeksiAP/lateralfe moral-tibial dalam posisi berdiri
MRI
CT scan 3D
Diagnosis Penyakit Blount ditegakkan bila sudut metaphysical-diaphysis (MDA= metaphysic-
diaphysis angle) pada proksimal tibia >16o atau perbandingan MDA femur dan MDA tibial
kurang dari 1
Apabila sudut MDA proksimal tibia 11-15o disebut genu varum fisiologis.
Tuiuan tatalaksana
. Memperbaiki alignment / kesegarisan dari tibia vara
Tatalaksana
Bracing pada pasien kurang dari 3 tahun atau Langenskiold staging I atau II
Lndikasi operasi :
deformitas tidak terkoreksi pada usia 4-5 tahun
sudut tibio-femoral > 15 o
sudut metaphyseal-diaphyseal > 16 o
tekanan pada medial tibia yang progresif
kelemahan ligament lutut
deformitas menetap atau meningkat menjadi staging lll atau lV
Daftar Pustaka
1. Raymond TM, Stuart LW.Lovel! & Winter's Pediatric Orthopaedics.6,hed. Philadelphia: Lippincot
Williams&Wilkins.2006:1158
2. Nunn, Rolinson, Scott. Blount Disease in Orthopaedic and Trauma.USA: Mosby Elsevier.2011:454
3. Matthew JD. Blount Disease.Update: Sep 25,2010,diunduh tanggal 3 JUli 2012 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1250420
4. Murphy KP, Colleen A. Wunderlich, Et all. Orthopaedic and Musculosketetal Conditions in
Alexander MA, Matthew JD.Pediatric Rehabilitation.Principal and Practice.4th ed. New York: Demos
Medical publisher.2010
HEMOFILIA
Definisi
Hemofilia adalah suatu penyakit atau gangguan perdarahan yang bersifat herediter akibat
kekurangan faktor pembekuan VIII atau IX.
Derajat keparahan hemofilia dibagi berdasarkan jumlah factor VIII. Hemofilia berat ditandai dengan
jumlah faktor VIII kurang dari 1%, pada hemofilia sedang terdapat 1-5% jumlah factor VIII dan
hemofilia ringan dengan jumlah factor VIII lebih dari 5%.
Hemofilia (A dan B) diturunkan secara sex(X)Jrnked recessive dan gen untuk faktor VIII dan IX terletak
pada ujung lengan panjang(q) kromosom X. Oleh karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa
sifat sedangkan laki-laki sebagai penderita
Epidemiologi
Angka kejadian hemofilia A sekitar 1 : 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 :25.000-30.000 orang.
Belum ada data mengenai kekerapan di lndonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta
penduduk Indonesia.
Anamnesis
Riwayat perdarahan berlebih pada operasi minor atau pada saat sirkumsisi
Kecenderungan terjadinya perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan timbulnya
kebiruan atau hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya hemartrosis
Adanya riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisik
Pola jalan dan postur
Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah.
Tanda perdarahan misalnya hematom, deformitas
Keterbatasan fungsional
Pemeriksaan Penunjang
Tujuan tatalaksana
Pada dasarnya terapi hemofilia adalah mengganti atau menambah faktor antihemofilia yang kurang.
Untuk hemofilia A diberikan transfusi kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII. Untuk hemofilia B
diberikan faktor IX setiap 24 jam.
Penatalaksanaan rehabilitasi pada perdarahan intra artikular tergantung pada stadium hemartrosis.
Tujuan tatalaksana untuk mengurangi nyeri dan mengurangi perdarahan, meningkatkan lingkup gerak
sendi dan meningkatkan kekuatan otot sekitar sendi
Tatalaksana
Pada fase akut sendi harus diistirahatkan pada posisi fungsional.
Pemberian modalitas dingin. Latihan isometrik dan latihan lingkup gerak sendi pasif.
Pada fase sub akut program rehabilitasi berupa program latihan dari isometrik, resistive isotonic
dan latihan lingkup gerak sendi aktif. Setelah kekuatan otot meningkat, latihan dapat dilanjutkan
dengan latihan isokinetik.
Pada fase kronik, program latihan hampir sama fase subakut. Latihan fleksibilitas dan
proprioseptif diberikan secara bertahap pada program rehabilitasi.
Hidroterapi untuk mengurangi tekanan pada sendi
Kontraindikasi
Olah raga dengan kontak langsung
Komplikasi
Arthropati sendi dan sinovitis
Daftar Pustaka
1. Gatot D, Moeslichan M. Pembekuan darah. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti E,
Abdulsalam M. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak Jakarta. Badan Penerbit IDAI.2006 :174-176
2. Rotty L. Hemofilia A dan B. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam FKUI. 2006: 759-762
3. Gurcay E, Eksioglu E,Ezer U, Cakir B, CakciA. A prosprective series of musculoskeletal system
rehabilitation of arthropathic joints in young male hemophilic patients. Rheumatollnt.2008.28:541-
545
4. Murphy KP, Colleen A. Wunderlich, Et all. Orthopaedic and Musculoskeletal Conditions in Alexander
MA, Matthew JD.Pediatric Rehabilitation.Principal and Practice.4th ed. New York Demos Medica!
Publisher. 2010.
LEUKIMIA
Definisi
Leukimia adalah kelainan darah yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel-sel darah yang belum
matang karena ketidakmampuan sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah yang sehat dan
berakumulasi sebagai sel-sel ganas dalam aliran darah serta menyebar ke organ tubuh lainnya.
Anamnesis
Nyeri di persendian (poliatralgia)
Kelelahan saat beraktivitas
Jenis aktivitas yang dilakukan
Adakah keterbatasan dalam melakukan aktivitas (bermain, sekolah)
Riwayat perdarahan (epistaksis, gusi berdarah)
Pemeriksaan Fisik
Pola jalan dan postur
Tanda-tanda anemis (wajah pucat, konjungtiva pucat)
Pemeriksaan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah.
Keterbatasan fungsional
1. Makan
2. Mengurus diri
3. Mandi
4. Berpakaian atas-bawah tubuh
5. Aktivitas sekitar BAB & BAK
6. Berjalan, berlari
7. Naik tangga
Tujuan tatalaksana
Meningkatkan ketahanan kardiorespirasi serta kualitas hidup
Menguranginyeri
Tatalaksana
Edukasi orangtua mengenai penyakit serta komplikasi yang ditimbulkan
Latihan lingkup gerak sendi serta penguatan otot
Terapi nyeri dengan modalitas yang aman:TENS
Komplikasi
Poliatralgia
Kelelahan
Daftar Pustaka
1. Halar EM, Bell KR. Contracture and Other Deletrious. ln: Delisa J. Rehabilitation Medicine,
Principles and Practices. Second ed. Philadelphia, Lippincott Co. 1993;8:681-9.
2. lrain K. Bums. ln: Garrison SJ. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation Basics.
Philadelphia. JB. Lippincott co. 1995; 9:95-7,102-3
3. Saleem S, Valbona C. lmmobilization. ln: Garrison 5. Handbook of Physical Medicine and
Rehabilitation Basics. Philadelphia. JB. LippincottCo. 1995; 188-9.
CEREVRAL PALSY
Epidemiologi
2 - 3 per 1000 kelahiran hidup
Penyebab
Prenatal : Kelainan kongenital, kelainan plasenta, infeksi, toksik
Neonatal : Prematuritas, BBLR, infeki, hipoksia, hiperbilirubinemia, perdarahan intrakranial
,partus lama.
Postnatal :Trauma, infeksi, toksik, perdarahan intracranial, tumor otak
Anamnesis
Disfungsi motorik halus dan kasar
Gangguan gerak, transfer, ambulasi
Gangguan AKS: makan, minum, berpakaian, toileting, berhias
Gangguan komunikasi
Gangguan psikososialdanvokasional
Pemeriksaan Fisik
Keterlambatan tahapan perkembangan
Gerak dan postur berupa spastik atau diskinetik
Pola jalan (crouch gait)
Evaluasi pendengaran
Evaluasi penglihatan
Pemeriksaan tonus dan spastisitas
Reflek primitive yang menetap
Evaluasi nervus kranialis
Evaluasi komunikasi
Berdasarkan fungsi kemampuan motorik menurut Gross Motor Function Classificotion System (GMFCS)
1. GMFCS I : anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan dan naik tangga tanpa bantuan
2. GMFCS ll : anak dapat berjalan di dalam dan di luar ruangan dan naik tangga dengan
berpegangan
3. GMFCS lll : dapat berjalan di dalam ruangan atau luar ruangan pada permukaan datar
dengan alat bantu
4. GMFCS lV : dapat berjalan dalam jarak pendek dengan alat bantu namun lebih sering
dengan menggunakan kursi roda di dalam dan di luar rumah
5. GMFCS V : tidak bisa mobilisasi
Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi kognitif
Radiologi konvensional
BERA
CT Scan
MRI
Laboratorium darah untuk mencari penyebab seperti infeksi TORCH, gangguan metabolik dan
kelainan genetik
Tujuan tatalaksana
1. Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikan keinginan, pikiran, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
2. Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
3. Mobilitas : kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
4. Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat latihan
dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi roda untuk
semua aktivitas
Tatalaksana
1. Edukasi
Edukasi keluarga dan lingkungan mengenai penanganan dalam hal interaksi keluarga dengan
penderita (bayi/anak), serta lingkungan yang sesuai untuk anak tersebut.
8. Operasi
Dilakukan oleh ahli bedah orthopedic pada kondisi:
Terjadi deformitas kontraktur yang mengganggu aktivitas vokasional dan perawatan diri
Komplikasi
Kontraktur - deformitas muskuloskeletal
Skoliosis
Subluksasi/dislokasi panggul
lnfeksi pernafasan
Obstipasi
Lnfeksi traktus urinarius
Daftar Pustaka
1. Mattews DJ,Wilson P. Cerebral Palsy. ln: MolnarGE (ed) Pediatric Rehabilitation 3rd ed.
Philadelphia. Hanley and Belfus lnc. 1999:1 93-213
2. Bleck EE. Orthopedic Managemen in Cerebral Palsy. Philadelphia. Stanford University
School of Medicine. Mac Keith Press, 1987:6-10
3. Erhardt RP. Cerebral Palsy. ln: Hopkins HL, Smith HD (ed)Willard and Spackman's
OccupationalTherapy 8th ed. Philadelphia. JB Lippincott company, 1993:430-443
4. Werner, David. Disabled Village Children 2nd ed. Palo Alto. The Hesperian Foundation,
1988.
PASCA MENINGITIS
Definisi
Radang/inflamasi pada selaput otak atau meningen
Rehabilitasi meningitis adalah rehabilitasi yang dilakukan pada penderita pasca meningitis/
gejala sisa akibat meningitis
Penyebab
Neonatus: Group B Streptococcus, Gram-negative bacteria, Listeria
Diatas usia neonatus:Streptococcus pneumoniae dan N. meningitides, Enterovirus, Borrelia
burgdorferi, Rickettsiae, Ehrlichia species, Fungus (pada immunocompromised), Mycobacteria
tuberculosis
Anamnesis
Awitan penyakit
Adanya gangguan pendengaran dan penglihatan
Kelemahan anggota gerak, separuh badan atau ke empat anggota gerak
Otot-otot yang kaku, gerakan yang tidak terkoordinI
Kejang kompleks
Gangguan motorik, transfer, ambulasi, kesulitan belajar, gangguan komunikasi, gangguan
psikososial dan vokasional
Adanya kemunduran perkembangan anak
Kesulitan belajar
Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital: tensi, suhu, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan
Penilaian status nutrisi
Pemeriksaan fungsi sensoris: penglihatan dan pendengaran, raba, proprioseptif, keseimbangan
Pemeriksaan motorik : koordinasi gerakan kasar, kontrol motor, praksis, koordinasi gerakan
halus / jarl - jari
Pemeriksaan neuromuskuloskletal : reflek fisiologis dan patologis, Iingkup gerak sendi, kekuatan
dan tonus otot, ketahanan otot, kontrol postural, integritas jaringan lunak
Pemeriksaan kognitif : orientasi, atensi, memori, belajar, bahasa, visuospasial
Penilaian tingkat intelektual
Keterbatasan fungsional
Kesulitan makan, komunikasi
Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
Gangguan interaksi social dan vokasional
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan visual dan auditori
CT scan
EEG
MRI
Tuiuan tatalaksana
Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikankeinginan, pikiran, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
Mobilitas : kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat
latihan dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi
roda untuk semua aktivitas
Tatalaksana
Edukasi terhadap diagnosis dan tatalaksana rehabilitasi
Latihan fisik untuk gangguan gerak, transfer dan ambulasi
Latihan adaptasi aktivitas kehidupan sehari-hari
Ortotik/prostetik untuk menunjang kemampuan motor
Latihan untuk gangguan komunikasi
Medikamentosa
Operasi ortopedi
Komplikasi
Kontraktur
Gangguan psikososial
Gangguan vokasional
Daftar pustaka
1. 1. Jones C. Meningitis . ln : Singer HS, Kossoff EH, Hartman AL, Crawford TO (eds) Treatment
of Pediatric Neurologic Disorders, Taylor&Francis, London; 2005 : 287 -9 1
2. Perfect JR et all. Ctinical Practice Guidelines for the Management of Cryptococcal Disease:
2010 Update by the lnfectious Diseases Society of America. ln : Clinical lnfectious Disease, 2010;
50: 291 -322.
PASCA ENSEFALITIS
Definisi
Encephalitis merupakan inflamasi pada parenkim otak
Rehabilitasi pada ensefalitis adalah rehabilitasi yang dilakukan terhadap penderita pasca
ensefalitis/ gejala sisa akibat ensefalitis.
Etiologi
Herpes virus, Virus campak, Arbo virus, Virus rabies
Bakteri, Rikketsia
Jamur dan Parasit
Anamnesis
Awitan PenYakit
Adanya gangguan pendengaran dan penglihatan
Kelemahan anggota gerak,separuh badan atau ke empat anggota gerak
Otot-otot yang kaku, gerakan yang tidak terkoordinasi
Kejang kompleks
Gangguan motorik, transfer, ambulasi, kesulitan belajar, gangguan komunikasi, gangguan
psikososial dan vokasional
Adanya kemunduran perkembangan anak
Kesulitan belajar
Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital: tensi, suhu, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan
Penilaian status nutrisi
Pemeriksaan fungsi sensoris: penglihatan dan pendengaran, raba proprioseptilf, keseimbangan
Pemeriksaan motorik : koordinasi gerakan kasar, kontrol motor, praksis, koordinasi gerakan
halus/ jari - jari
Pemeriksaan neuromuskuloskeletal : reflek fisiologis dan patologis, lingkup gerak sendi, kekuatan
dan tonus otot, ketahanan otot, kontrol postural, integritas jaringan lunak
Pemeriksaan kognitif : orientasi, atensi, memori, belajar, bahasa, visuospasial
Penilaian tingkat intelektual
Keterbatasan fungsional
Kesulitan makan, komunikasi
Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
Gangguan interaksi sosialdan vokasional
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan visual dan auditori
CT scan : defisit neurologis
EEG
MRI
Tujuan tatalaksana
Mampu berkomunikasi untuk dapat mengekspresikan keinginan, pikira, dan perasaannya secara
oral/ verbal dan non oral (melalui isyarat, tulisan atau simbol)
Mampu melaksanakan AKS, seperti merawat diri sendiri, aktivitas makan, defekasi/miksi, mandi,
berdandan, dan berpakaian
Mobilitas: kemandirian dalam ambulasi, kemandirian sebagian dalam ambulasi, ketergantungan
total dalam ambulasi
Berjalan di dalam rumah, menggunakan kursi roda di luar rumah, mampu berjalan di tempat
latihan dengan bantuan orang lain, dan dengan kursi roda pada lokasi lain, menggunakan kursi
roda untuk semua aktivitas
Tatalaksana
1. Edukasi terhadap diagnosis dan tatalaksana rehabilitasi
2. Latihan fisik untuk gangguan gerak, transfer dan ambulasi
3. Latihan adaptasiaktivitas kehidupan sehari-hari
4. Ortotik/prostetik untuk menunjang kemampuan motor
5. Latihan untuk gangguan komunikasi
6. Medikamentosa
7. Operasi ortopedi
Kompllkasi
Kontraktur
Gangguan psikososial
Gangguan vokasional
Daftar Pustaka
1. Goodwin F, Kennedy C. Treatment of Pediatric Neurological Disorders : Encephalitis. In : Singer
HS, Kossoff EH, Hartman AL, Crawford TO (eds) Treatment of Pediatric Neurologic Disorders,
Taylor&Francis, London;2005 :293-301
2. Tunkel AR et all.The Management of Encephalitis : Clinical Practise Guidelines by the
lnfectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Disease, 2008; 47 :303-21.
SINDROM DOWN
Definisi
Sindroma down atau yang dikenaldenganTrisomy 21 merupakan kelainan kromosom berupa
penambahan sebagian atau seluruh kromosom 21. Kelainan kromosom dapat berupa trisomi 21 (95% ),
translokasi (4%) dan mozaik (1%)
Sindroma down ditandai dengan adanya kombinasi kelainan mayor dan minor dari struktur dan fungsi
tubuhnya.
Karakteristik Umum
. Karakteristik Fisik
Berperawakan pendek
Kelainan jantung bawaan
Lnfeksi telinga dan infeksi pernafasan berulang
Gangguan pendengaran
Gangguan penglihatan
Kelainan gigi
Gangguan fungsi tiroid
Penyakit saluran nafas obstruktif
Tonus otot yang rendah
Laksitas ligamen
Profil wajah yang datar
Upward slanting eyes
Bentuk telinga yang abnormal
Hanya terdapat satu sendi pada jari kelingking
Lipatan tunggal yang membelah telapak tangan (simian crease)
Obesitas
KarakteristikPerkembangan
Keterlambatan perkembangan :
Kognitif
Motorik
Komunikasi
Kecakapan sosial
Kemampuan adaptif / menolong dirisendiri
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat prenatal
Riwayat kelahiran
Riwayat post natal
Riwayat perkembangan
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis : berat badan, tinggi badan, Iingkar kepala, tanda vital, wajah, leher, mata,
telinga, mulut dan gigi, iantung, paru-paru, abdomen
Gangguan bicara berupa:
Kesulitan dalam mengucapkan artikulasi dan fonologi.
Gangguan dalam kelancaran berbicara seperti gagap dan cluttering
Adanya developmental aphasia
Status Muskuloskeletal :
Pemeriksaan adanya defisit pertumbuhan linear (penurunan kecepatan pertambahan tinggi
badan, reduksi panjang tungkai, reduksi panjang metacarpal dan phalangeal)
Pemeriksaan tonus otot g hipotonia menyeluruh ( eher, trunk, ekstremitas )
Pemeriksaan laksitas ligamen (pes planus, instabilitas patella, skoliosis, instabilitas
atlantoaksial)
Pemeriksaan grip strength, isometric strength dan ankle strength
Pemeriksaan kognitif
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan skrining pada wanita hamil
Pemeriksaan analisis kromosom
lmplikasi Fungsional
Gangguan motorik
Gangguan kognitif
Gangguan komunikasi
Gangguan kecakapan sosial
Gangguan kemampuan adaptif / menolong dirisendiri
Tatalaksana
Edukasi kepada orang tua untuk:
1. Memahami masalah yang ada sehingga mereka dapat mengetahui kebutuhan anaknya.
2. Membantu anak merasa nyaman dengan kondisinya
3. Mengontrol lingkungan
lntervensi spesifik sesuaidengan karakteristik perkembangan (motorik, kognitif, komunikasi,
sosial,kemampuan adaptif /menolong diri sendiri )
lntervensi spesifik ( Behovioral and Educationol Approoches )
Sensori lntegrasi terapi, perceptual-motor intervensi, neurodevelopmental terapi,vestibular
stimulasi, play therapy dan pendekatan language-cognitive
lntervens iterhadap kondisi medis yang berhubungan dengan Sindroma Down
Pencegahan dan Pendidikan
Konseling genetik
Stimulasi perkembangan dirumah
Supporting group
Prognosa
Penyakit jantung bawaan adalah penyebab utama kematian dini. Banyak orang dengan tanda-tanda
sindrom Down menunjukkan demensia dan gejala penyakit Alzheimer pada usia 40 tahun.
Daftar Pustaka
1. Turk MA, Logan LR, Kanter D. Aging with Pediatric Onset Disability and Diseases. ln : Alexander
AM, Matthews DJ (eds) Pediatric Rehabilitation, fourth ed. Demos Medical, NewYork;2010: 425-
460
2. Selokowitz, M ahli bahasa Rini Surjadi mengenalSindroma Down.2001
3. Bertoti DB, Smith DE. Mental Retardation : Focus on Down Syndrome. ln :Tecklin JS. Pediatric
Physical Therapy, 4th ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia; 2008 : 365-86
4. Clinical Practice Guideline. Down Syndrome - Assessment and Intervention for Young Children
(Age0-3years).
CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CLUB FOOT)
Epidemiologi :0.5 : 1.000 kelahiran hidup dengan laki-laki mendominasi 2:1, dan bilateral sebesar 50%
Penyebab:
Faktor mekanik dalam uterus
Defek neuromuskuler
Defek primary germ-plasma
Terhentinya perkembangan janin
Anamnesis
Riwayat tumbuh kembang
Riwayat perkembangan motorik
Riwayat terapi sebelumnya : manipulasi, casting, operatif
Adakah gangguan dalam berkemih dan defekasi
Gangguan gerak, transfer, ambulasi
Gangguan psikososial
Pemeriksaan Fisik
Kaki bagian depan (fore-foot) dan tengah (mid-foot) inverse dan adduksi.
Kaki bagian belakang (hind-foot) equinus.
Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan dieversikan,
kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan posterior
lebih kuat serta dapat mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang.
Deformitas equinus
Adduksi dan varus hindfoot
Adduksi forefoot
Laki-laki
Hip dysplasia
Adakah abnormalitas neurologis/ kromosomal, tungkaiyang lebih kecil, benjolan dengan hairy
patch sepanjang tulang belakang (jarang).
Keterbatasan fungsional
Keterbatasan dalam fungsi transfer dan mobilisasi
Keterbatasan dalam aktivitas keseharian
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen: pedis, pergelangan kaki posisi AP dan Lateral. Pelvis
CT scan pedis, Spinal
Ultrasound dynamic pelvis dan ultrasound abdomen
Tujuan tatalaksana
Mencapai dan mempertahankan kesegarisan konsentrik yang normal dari sendi
talokalkaneonavikular, kalkaneokuboid dan pergelangan kaki yang tergeser.
Membentuk keseimbangan normal antara otot-otot evertor, lnvertor kaki dan dorso fleksi, plantar
fleksi kaki dan pergelangan kaki.
Menghasilkan kaki dengan fungsi dan daya tanggung beban yang norma!.
...
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan talipes equinovarus dibagi menjadi empat:
1. Peregangan manipulatif untuk memanjangkan jaringan lunak dan kulit yang terkontraksi
(Manipulative stretching), di ikuti dengan retensi dalam gips (retention in cast-splint).
Biasanya dilakukan selama 3 sampai5 minggu.
2. Reduksi terbuka pembukaan posteromedial, lateral, plantar dan subtalar.
3. Pemeliharaan reduksi dan restorasi mobilitas sendi kaki dan tungkai dengan splinting dan latihan
aktif dan pasif.
4. Penatalakanaan masalah, seperti kekambuhan deformital supinasi kaki bagian depan dan
metatarsus varus.
Komplikasi
Terapi konservatif mungkin dapat terjadi masalah pada kulit, dekubitus oleh karena gips, dan
koreksi yang tidak lengkap
lnfeksi dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi. lnfeksi dapat terjadi setelah operasi kaki
clubfoot.
Kaki bayi sangat kecil, strukturnya sangat sulit dilihat. Pembuluh darah dan saraf mungkin saja
rusak akibat operasi. Sebagian besar kaki bayi terbentuk oleh tulang rawan. Material ini dapat
rusak dan mengakibatkan deformitas dari kaki. Deformitas ini biasanya terkoreksi sendiri
dengan bertambahnya usia.
Daftar Pustaka
1. Murphy KP Wunderlich CA, Pico EL. Orthopedics and Musculoskeletal Conditions. ln:
Alexander MA, Matthews DJ (eds). Pediatric Rehabilitation :. Principles and Practice, fourth
edition, Demos Publishing, NewYork;2010:361-411
2. Neal AV. Common Orthopedic Conditions from Birth to Walking. In : Weiner, DS. Pediatric
Orthopedic for primary care physician. 1st ed. USA : Cambridge University Press. 2004. P 28-30.
GANGGUAN KOMUNIKSASI
Definisi
Merupakan hendaya dalam kemampuan untuk menerima, mengirim, mengolah dan memahami konsep
atau verbal, non verbal dan sistem lambang-lambang ataupun grafik. (ASHA, 1993)
Anamnesis
Riwayat tumbuh kembang (motorik kasar dan halus)
Jumlah bahasa yang digunakan dirumah/sekolah
Riwayat prenatal, perinatal (prematuritas) dan postnatal
Riwayat gangguan penglihatan dan pendengaran
Riwayat asupan makan dan oro-motor
Riwayat tarkeostomi dan intubasi
Gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, ada tidaknya kontak mata
Penyakit kronis atau gangguan saraf yang lain, riwayat gagal tumbuh
Adakah riwayat dalam keluarga dengan gangguan bicara dan bahasa, orang tua dengan hendaya
pendengaran atau keterbatasan kognisi ,.
Pemeriksaan fisik
Antropometri (berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala) dan tumbuh kembang
Kemampuan mendengar
Tingkat perkembangan bicara/ bahasa
Kemampuan dalam feeding dan oro-motor
Performa dalam bahasa reseptif dan ekspresif (syntax, semantik, pragmatik dan fonologi)
Tingkat perkembangan sosial
Kualitas/ resonansi suara (laju dan tipe pernafasan, suara sengau)
Ke-fasih-an (laju dan aliran bicara)
Tingkat kognisi
Keterbatasan fungsional
Pencapaian prestasi akademik tidak optimal
lnteraksi sosial tidak optimal
Pemeriksaan penunjang
Auditory Broinstem Response (ABR)
Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Brainstem Evoked Response Audiomtery (BERA)
Tujuan tatalaksana
Menghilangkan atau mengurangi gejala yang ada
Mengembangkan potensi untuk mencapai kemampuan sesuai dengan tingkat perkembangan usia
Dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari sesuai dengan usia
Tatalaksana
Penatalaksanaan Rehabilitasi hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor dibawah ini :
Usia kronologis dan tingkat perkembangan anak
Tipe dan derajat keparahan gangguan komunikasi
Defisit atau masalah medis yang lain
Kekuatan dan rasa keingintahuan anak
Terapi lain yang sudah/ sedang dijalani
Keinginan dan kemampuan keluarga untuk berpartisipasi
Bahasa yang digunakan oleh anak dan keluarga
Tidak ada disiplin tertentu yang dapat mencakup semua metoda pemeriksaan dan penyembuhan yang
dibutuhkan bagi anak dengan gangguan komunikasi . Para ahli yang mendalami bidang ini bekerja sama
meliputi dokter dari berbagai keahlian (Anak, Syaraf, Jiwa, Rehabilitasi), psikolog, terapi okupasi,
terapis wicara, fisioterapi, ahli gizi, guru dan tentu saja orang tua dan keluarga.
Terapi diberikan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi anak dan tingkat perkembangan apa yang telah
dicapai anak. Hasil terapi tidak dapat dinikmati seketika, memerlukan waktu.
Daftar pustaka
1. New York State Department of Health, Clinical practice guidelines : Communication
disorders, Assessment and intervention for young children (age 0-3 years), New York, 2009
2. Driver L, Ayyangar R, Tubbergen MV. Language Development in Disorders of Communication
and Oral Motor Function. ln :Alexander MA, Mattewa DJ (eds). Pediatric rehabilitation principles
and practice,4th edition, Demos medical, New York; 2010 : 53-78.
SUBLUKASI PANGGUL PADA PALSI SEREBRAL
Definisi
Subluksasi panggul (hip displacement) adalah adanya pergeseran kaput femoral dengan Migration
Percentoge (MP) antara 10% dan 99%.
Dislokasi panggul adalah pergeseran kaput femoral seluruhnya dari bawah acetabulum (MP = 100%)
Migrotion Percentage (MP) merupakan pengukuran atas banyaknya bagian kepala femur yang tidak
tertutup oleh acetabulum. lni merupakan persentase atas kepala femur pada sisi lateral ke garis Perkin
pada foto pelvis AP
Epidemiologi
15-20% dari total populasi anak dengan Palsi Serebral. Sekitar 1% pada Palsi Serebral spastik
hemiplegia, hingga 75% pada Palsi Serebral spastik quadriplegia.
Penyebab:
lmmobilisasi (Lack of weight bearing):
Seiring dengan waktu menyebabkan meningkatnya femoral anteversi sehingga menimbulkan
perubahan pada acetabulum dan femur
Asimetri aktivitas otot-otot di sekeliling panggul dapat disebabkan oleh spastisitas dan atau
ketidakseimbangan kekuatan otot.
Anamnesis
Keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman di panggul
Gangguan gerak, transfer dan ambulasi
Gangguan aktivitas hidup sehari-hari: terutama toileting (kebersihan perineal)
Pemeriksaan Fisik
Status generalis: termasuk kebersihan perineal, luka dekubitus
Postur: posisi duduk, scoliosis
Pola berjalan
GMFCS (Gross Motor Function Classification System)
Pemeriksaan muskoloskeletal di daerah panggul melingkupi:
Pemeriksaan Lingkup Gerak Sendi Pasif (abduksi dengan posisi panggul fleksi 90o, abduksi
dengan posisi panggul fleksi 0o, fleksi, ekstensi (Staheli), internal rotasi, external
rotasi,Thomas test, sudut leher femur (ongle femorol neck), sudut popliteal.
Kontraktur Dinamik pengukuran menggunakan Modified Tordieu Scale (otot adduktor dan
otot hamstring)
Pemeriksaan spastisitas dengan menggunakan Modified Ashworth Scale (otot fleksor dan
adduktor panggul, otot hamstring)
Pemeriksaan Penunjang
Foto Pelvic AP:
Foto ulangan dilakukan sesuaidengan ktasifikasiGMFCS
Dihitung nilaiMP:
o MP3 33% direkomendasikan sebagai batas untuk mulai dilakukan tindakan atau
pengawasan yang intensif.
o MP3 40%, nilai ini menjadi indikator dilakukannya tindakan operatif.
o MP 33-40%, terapi berdasarkan tampilan klinis dan progresivitas MP lebih lanjut.
Tujuan
Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti dislokasi hip, scoliosis, kontraktur.
Tatalaksana
Pemeriksaan berkala foto pelvis AP dan pemeriksaan fisik yang seksama sesuai dengan
klasifikasi GMFCS
Latihan peregangan otot: adduktor panggul, Hamstrings, otot fleksor panggul
Latihan penguatan otot: abduktor panggul, otot ekstensor panggul
Lingkup Gerak Sendi: Abduksi panggul dengan posisi panggul fleksi 90O, Abduksi panggul
dengan posisi panggul fleksi 0o, Fleksi panggul, Ekstensi panggul, lnternal rotasi panggul,
External rotasi panggul, Ekstensi lutut
Elektrikal stimulasi: abduktor panggul, otot ekstensor panggul
Penatalaksanaan spastisitas (diberikan jika spastisitas mengganggu fungsi, positioning, pola
berjalan, aktlvitas hidup sehari-hari, kenyamanan dan perawatan)
Botulinum toxin A
Oral:
o Baclofen dimulai dengan dosis 2,5-5 mg/hari ditingkatkan sampai 30mg/hari (untuk
anak usia 2-7 tahun) atau 60mg/hari (untuk anak usia 8 tahun ke atas)
o Diazepam dosis 0,12-0,8mg/KgBB/hari dalam dosis terbagi.
Daftar Pustaka
1. McMahon M, Pruitt D, Vargus-Adams J. Cerebral Palsy. ln : Alexander MA, Matthews DJ
Editor: Pediatric Rehabilitation Principles and Practice,4th Edition. demosMedical.
NewYork.2010
2. Pountney T, Green EM. Hip Dislocation in Cerebral Palsy. BMJ Volume 332. 2006
3. Morton RE, Scott & McClelland V, Henry A. Dislocation of the hips in children with bilateral
spastic cerebral palsy,1985-2000. Developmental Medicine & Child Neurology 2006,48:555-
558
3. Wynter M et al. Paket dari Beben Consensus Statement on Hip Surveilance for Children with
Cerebral Palsy: Australian Standards of Care.2008.
GERIATRI
SINDROMA DEKONDISI
Pengertlan
Adanya perubahan tekanan darah sistolik > 20 mmHg dan tekanan darah diastolik > 10 mmHg pada saat
melakukan perubahan posisi (posisi tidur ke duduk atau posisi duduk ke berdiri)
Manifestasi Klinik
Rasa tingling pada ekstremitas bawah, pusing, penurunan kesadaran,vertigo, denyut jantung meningkat
penurunan denyut nadi lebih dari 20 denyut per menit dibandingkan denyut nadi istirahat.
Kriteria Diagnosis
Penurunan tekanan darah sistolik sekurang-kurangnya 20 mmHg atau tekanan darah diastolik paling sedikit
10 mmHg dalam periode kurun waktu 3 menit setelah berdiri.
Tujuan Tatalaksana
Meningkatkan tekanan darah ortostatik, tanpa menyebabkan hipertensi berlebihan pada saat
berbaring
Meningkatkan durasi waktu berdiri
Meredakan gejala-gejala ortostatik
Meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan kegiatan-kegiatan aktivitas kehidupan
sehari- hari dalam posisi berdiri.
Tatalaksana:
Pada saat kejadian: pasien dikembalikan pada posisisemula.
B. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan Dekondisi Jantung pada Saat Istirahat
dan Aktif
Pengertian
Dampak dari imobilisasi juga mempengaruhi adaptasi kerja jantung dan pembuluh darah memenuhi
kebutuhan nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh.
Manifestasi Klinik
Peningkatan denyut jantung saat istirahat
Peningkatan denyut jantung yang berrebihan saat berolah raga
Menurunnya curah jantung maksimal saat berolah raga
Tujuan Tatalaksana
Meningkatkan ketahanan jantung saat berolah raga
Menstabilkan tekanan darah dan denyut jantung saat beristirahat
Tatalaksana
Mobilisasi dini dan aktifitas yang dilakukan secara perlahan dengan peningkatan intensitas secara
bertahap
Untuk pasien yang oleh karena kondisi tertentu tidak dapat dimobilisasi, perlu dilakukan
stimulasi elektrik pada otot
Manifestasi Klinik
Edema
Nyeri
Hiperemia
Distensivena
Kriteria Diagnosis:
Tanda Homan
Pemeriksaan Pcnunjang
Venografi dengan kontras (pemeriksaan yang standar dilakukan untuk mendiagnosis (DVT).
USG doppler
Venografi radionuclide
Tujuan Tatalaksana
Mencegah ekstensi local dari trombus
Mencegah emboli
Mencegah trombosis berulang
Meningkatkan kemampuan mobilisasi pasca operasi
Tatalaksana
Remobilisasi dan partisipasi dalam kegiatan aktivitas kehidupan sehari-hari dan kegiatan
mobilitas lainnya
- Dapat dianjurkan setetah 2 atau 3 hari jika portial thromboplastin time telah berada pada
kisaran terapetik
Pengertian
Komplikasi pada sistem respirasi dapat mencakup terbatasnya gerakan dinding dada pada posisi
berbaring, ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi, akumulasi sekresi dan malfungsi silia, serta
melemahnya otot-otot abdomen
Manifestasi Klinik
Pergerakan napas yang cepat dan dangkal
Gangguan pembersihan sekresi
Menurunnya efektifitas batuk
Demam
Sputum
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks
Kultur sputum/tenggorok bila perlu)
Tujuan Tatalaksana
Mengoptimalkan pembersihan sekresi sputum
Mengoptimalkan fungsi otot-otot pernapasan
Mengurangi lamanya efektivitas kerja perawatan
Mencegah komplikasi pulmoner
Tatalaksana
Sama dengan tindakan pencegahannya
Antibiotik (bila perlu)
E. Rehabilitasi pada Sindroma Dekondisi dengan Gangguan pada Sistem Saraf Pusat
Pengertian
Menurunnya input sensoris pada tirah baring lama menyebabkan kurangnya paparan terhadap
isyarat sosial dan urutan waktu (waktu siang dan malam, pergerakan di suatu ruangan) sehingga
mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, emosional dan intelektual.
Manifestasi Klinik
Perubahan afek (depresi, ansietas, dan rasa takut)
Delirium
Gangguan sensoris
Penurunan kapasitas intelektual
Tujuan Tatalaksana
Mempertahankan orientasi terhadap waktu, ruangan, dan orang sekitar
Mencegah isolasi sosial
Meningkatkan independensi
Tatalaksana
Terapiobat penyebab delirium
Hentikan obat yang menyebabkan perubahan status mental
Latihan orientasi waktu dan tempat secara berkala
Letakkan pasien ditempat yang tenang
Atur kunjungan keluarga dan teman, kalau perlu bawakan foto keluarga, musik, buku
Berikan aktifitas grup dan bawa pasien ke luar ruangan
Pasangkan alat bantu dengar dan kacamata kalau perlu
F. Rehabilitasi Pada Sindroma Dekondisi Dengan Gangguan Disuse Atrophy, Penurunan Kekuatan,
Massa Dan Ketahanan Otot
Pengertian
Gangguan metabolisme dan homeostasis sel otot sebagai akibat dari inaktifitas otot. Berkurangnya
kekuatan dan ketahanan otot merupakan akibat fungsional dari atrofi otot karena lama tidak digunakan
(disuse otrophy).
Manifestasi Klinik
Berkurangnya kekuatan otot
Berkurangnya massa otot
Kelemahan otot
Turunnya ketahanan otot
Toleransi bekerja turun
Gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari dan berjalan
dengan aman
Sering mengeluh nyeri punggung saat berbaring
Otot-otot yang rentan menjadi lemah: otot peronei, tibialis anterior, vastus lateralis, gluteals,
rectus abdominis, serratus anterior, rhomboids ,lower ond middle trapezius, short deep
cervicolflexors, scalenes and upper limb extensors
Tujuan Tatalaksana
Meningkatkan koordinasi gerakan ekstremitas
Meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari
Meningkatka ntoleransi dalam bekerja
Tatalaksana
Latihan fleksibilitas (peregangan setiap hari 30 menit)
Latihan kekuatan
Latihan isotonik atau isometrik di tempat tidur
- Lakukan maksimum 1 kali pengulangan untuk setiap grup otot
- Pilih intensitas awal dan lanjutan dari latihan antara 50-80% dari maksimum pengulangan
dilakukan 8-15 kali, 2 kali setiap sesi untuk setiap kelompok otot, 3 kali seminggu atau lebih
- Peningkatan secara progresif dalam hal intensitas dan durasi latihan sampai target tercapai
- Lakukan pada semua grup otot secara berurutan, dari ekstremitas atas dan bawah, otot
daerah punggung dan perut
- Latihan ketahanan pada otot tipe 1 dan 2, terutama otot soleus
- TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulotion)
- Lengthening dan shortening (exentric, concentric)
- Masase (5 menit efflurage dan friksi)
Pengertian
Berkurangnya lingkup gerak sendi sebagai akibat dari kurangnya pergerakan sendi dan beberapa factor
kontributori lainnya yang dapat berasal dari sendi itu sendiri maupun organ-organ disekitarnya.
Manifestasi Klinik
Posisi anggota gerak atau tubuh yang abnormal
Berkurangnya lingkup gerak sendi
Tujuan Tatalaksana
Mengurangi nyeri
Meningkatkan lingkup gerak sendi
Tatalaksana
Terapispastisitas:
- Motor point atau nerve blocks menggunakan phenol
- lnjeksi muskular dengan botulinum toksin A atau B
Tatalaksana nyeri
Latihan lingkup gerak sendi pasif dengan stretching terminal
Stretching lama dengan low passive tension dan heat (contoh ultrasound)
Splinting, casting yang progresif (contoh dinamik)
Pencegahan dan Edukasi
Pada orang sehat dengan gaya hidup sedentari dan usia tua:
- Latihan fleksibilitas, peregangan pada two-jointed muscles
- Yoga
- Pilates
Pada orang yang sudah mengalami kontraktur atau memiliki faktor risiko mengalami kontraktur:
- Latihan lingkup gerak sendi (aktif atau pasif ) dengan peregangan terminal
- Posisiyang benar saat berbaring, di kursi roda, saat menggunakan splinting atau casting
- Mobif isasi dini dan ambulasi (weight bearing)
- CPM (continuous passive motion)
- Latihan resistan pada opposing muscles
Pengertlan
Ditandaidengan osteopenia dimana terjadi hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari bagian kalkaneus
tulang panjang, epifisis, metafisis, dan tulang kortikal dekat kavitas sumsum tulang.
Manifestasi Klinik
Nyeri dan kelemahan
Atrofi otot dan kelemahan pada otot yang menempel pada tulang yang atrofi
Pemeriksaan Penunjang
DEXA (Dual-Energy X-Ray Absorptiometry): bila mungkin
WHO:
- Osteoporosis: BMD lebih dari atau sama dengan 2,5 SD di bawah rata-rata wanita 25 tahun
- Osteopeni: BMD 1 (T Score) sampai 2,5 SD di bawah rata-rata wanita 25 tahun
Tuiuan Tatalaksana
Meningkatkan volume dan kekuatan otot
Mencegah jatuh dan fraktur
Mencegah resorpsitulang dan meningkatkan densitas tulang
Meningkatkan kekuatan dan keseimbangan
Tatalaksana
Latihan kekuatan resistan secara progresif untuk otot ekstensor punggung, ekstensor dan
abduktor panggul, dan shoulder girdle
Latihan keseimbangan, postur dan long walks
Hindari latihan dengan pergerakan fleksi pada tulang belakang atau latihan high-impact pada
posisi fleksi untuk pasien dengan cedera tulang belakang atau osteoporosis tingkat lanjut
Controlled axial loading
Latihan weight-bearing (WB) dini untuk menstimulasi pembentukan tulang. Jumlah latihan WB
minimal yang dibutuhkan belum diketahui
Bila mungkin bifosfonat:
Alendronat 10mg setiap pagi, resedronat 5mg setiap pagi. Ke-2 obat tersebut harus diminum
pagi hari dengan perut kosong dengan 1 gelas air putih. Pasien harus dalam posisi tegak minimal
30 menit sebelum sarapan atau minum obat lain untuk mencegah erosi esofagus
Kalsium karbonat: 1000mg/hari untuk wanita pasca menopause karena penurunan absorbsi
gastrointestinal
Kecukupan vitamin D dalam makanan atau suplemen,400-800mglU/hari
Manifestasi Klinik
Konstipasi
Nafsu makan menurun
Penyerapan makanan menjadi lebih lambat
Nyeri lambung
Dan lain-lain
Tuiuan Tatalaksana
Bowel movement setiap 2 hari sekali
Mencegah konstipasi
Tatalaksana
Impaksi fecolit
Pengertian
Daerah kerusakan lokal pada kulit dan jaringan di bawahnya yang disebabkan oleh tekanan, geser,
gesekan, atau kombinasinya.
Manifestasi Klinik
Luka tekan
Edema
Bursitis subkutaneus
Kriteria Diagnosis
Derajat l: daerah yang tertekan berwarna kemerahan yang tidak menjadi putih saat ditekan, kulit
masih intak
Derajat 2: ulkus dekubitus dengan erosi, blister, bagian epidermis dan/atau dermis yang hilang
sebagian
Derajat 3: ulkus dekubitus dengan hilangnya seluruh lapisan kulit disertai kerusakan atau nekrosis
ari jaringan subkutan yang dapat meluas ke fasia dibawahnya
Derajat 4: ulkus dekubitus dengan nekrosis pada otot tulang, atau struktur penyagga lainnya
seperti endon atau kapsul sendi
Tujuan Tatalaksana
Memperbaiki sirkulasidarah ke jaringan
Mengurangi tekanan dan gesekan
Mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus
Mencegah komplikasi dari ulkus dekubitus
Tatalaksana
Terapi medikamentosa: penanganan infeksi, perawatan luka (lebih dari derajat 2), tindakan bedah,
debridement (derajat 3 atau lebih), topikal dressing
Terapi nonmedikamentosa: pengaturan posisidan penggunaan alat-alat bantu, memperbaiki
asupan nutrisi, perawatan luka.
Pengertian
Hormon yang dapat dipengaruhi oleh berkurangnya aktifitas fisik antara lain insulin dan steroid
adrenokortikal.
Manifestasi Klinik
Hiperglikemi
Hiperinsulinemia
Hiperparatiroid
Hiperkalsemi
Peningkatan ekskresi kortisol
Tuiuan Tatalaksana
Meningkatkan toleransi glukosa
Menstabilkan kadar hormon-hormon yang meningkat terkait dengan imobilisasi
Tatalaksana
Latihan isotonik, bukan isometrik, pada kelompok-kelompok otot besar
Pengertian
Gangguan pada sistem genitourinari oleh karena tirah baring dapat mencakup gangguan fungsi fisik
maupun metabolik.
Manifestasi Klinik
Batu saluran kemih
Infeksi saluran kemih
Hiperkalsiuria
Peningkatan ekskresi fosfor
Tujuan Tatalaksana
Mengurangi retensi urin
Mencegah komplikasi (batu saluran kemih dan infeksi saluran kemih)
Memperkuat otot-otot dasar panggul
Tatalaksana
Asidifikasi urin dengan Vitamin C
Antiseptik urin
lnhibitor urease untuk mengobati batu saluran kemih
Pembedahan atau litotripsi untuk membuang batu
Penggunaan antibiotik yang sesuai untuk infeksi
Daftar Pustaka
.
1. Hendry C.Tong, Christopher M. Brammer. Deconditioning and bedrest. Dalam : Christopher M.
Brammer M. Catherine Spires, penyunting. Manual of physical Medicine and Rehabilitation.
Philadelphia: Hanley & Belfus lnc;2002 h/221-29
2. Tan.Jackson C. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. Elsevier Mosby, 2nd
ed, 2006 / 457-63
3. Halar EM, Bell KR. Physical lnactivity: Physiological and Functional lmpairments and Their
Treatment. Dalam: Frontera WR, Delisa JA, et al. DeLisa's Physical Medicine and Rehabilitation.
Principles and Practice. 5th ed. Vol.ll. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters
Kluwer, 2010.
4. Downey Rl. Physiology of Bed Rest. Dalam: Downey JA, et al. The Physiological Basis of
Rehabilitation Medicine. 2nd ed. Boston. Butterworth-Heinemann, 1994.
5. Kahn SR, Shrier l, Kearon C. Physicalactivity in patients with deep vein thROMbosis: A
systematic review. ThROMbosis Research. 2008; 1 22: 7 63-77 3.
6. Braksey JG, Davis KA. Orthostatic Hypotension. Fam Physician. 2003; 68: 2393-8.
7. Figueroa JJ, Basford JR, Low PA. Preventing and treating orthostatic hypotension: As easy as A,
B, C. Cleve Clin J Med.2010;77 (5):298-306.
8. Grey JE, Enoch S, Harding KG. ABC of wound healing: Pressure ulcers. BMJ. 2006; 332:472-
475
9. Anders J, Heinemann A, Leffmann C, et al. Decubitus ulcers: Pathophysiology and primary
prevention. Dtsch Arztebl lnt. 201 0;107 (21):371-82.
DEMENSIA
Manifestasi Klinis
Gejala awal demensia bervariasi dan dapat sangat ringan sampai tidak bisa terdeteksi.
Perubahan dalam memori
- Mengulang-ngulang pertanyaan dan cerita yang sama
- Mudah lupa (forgetful)
- sering kehilangan barang-barang yang berharga (kunci, kacamata, dompet)
- Lupa terhadap tempat-tempat yang familiar
Perubahan orientasi
- Kesulitan mengingat hari, tanggal, bulan, tahun
- Kesulitan mengingat teman, alamat
Perubahan perilaku
- Gangguan dalam cara penilaian dan pertimbangan pada suatu hal
- Ketidak mampuan dalam membuat rencana atau mengorganisasikan sesuatu
- Deteriorasi hygiene dan penampilan
- Berperilaku tidak normal atau tidak seperti biasanya (menarik diri dari lingkungan)
Perubahan emosi
- Mudah marah dan mudah terjadi perubahan mood
- Tidak dapat menanganitekanan dan sering kali mengalami agitasi
- Menarik diri dari kehidupan sosial
- Kehilangan minat, motivasi, dan lain-lain
Perubahan pola berpikir
- Menjadi lebih fleksibelatau menjadi lebih kaku
- Kesulitan dalam mempelajarihal-hal baru
- Kesulitan dalam menemukan kata-kata untuk diucapkan
- Kesulitan dalam memuraitopik pembicaraan yang tain
Klasifikasi Demensia
Penyakit Alzheimer
Demensia vaskular
Demensia dengan Badan Lewy
Demensia frontotemporal
Pemeriksaan Fisik
Status neurologi
Status neuropsikologi: Mini Mental Stote Exominotion (MMSE)
Status psikiatri : pemeriksaan deteksi depresi
Status fungsional : AKS, AKS-instrumental (AKS-I), analisis aktivitas
Sedang
Sulit hidup mandiri dan membutuhkan supervisi
Berat
Kesulitan dalam melakukan AKS dan butuh supervise terus menerus
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Darah perifer lengkap (DPL), vitamin Bl2 dan folat
Radiografik : Computed Tomogrophy-scan (CT-scan) atau MRI kepala
Manajemen Behavior
Rujuk psikogeriatri
Tujuan Tatalaksana
Mampu berpartisipasi dalam akifitas fisik rutin dan latihan
Memperbaiki kondisi medis pasien
Mengurangi polifarmasi
Tatalaksana
Prinsip manajemen demensia
Mengoptimalkan status fungsional (mengkaji lingkungan, menganjurkan perubahan, jika
diperlukan)
- Hindaridari kondisiyang menimbulkan stress
- Gunakan alat bantu memori bila mungkin
- Anjurkan aktivitas fisik dan mental
Identifikasi adanya:
- Wandering
- Gangguan tingkah laku
- Depresi
- Agitasi atau agresivitas
- Inkontinensia
Kalau perlu rujuk ke psikogeriatri. Lakukan tatalaksana rehabilitasi medis untuk inkontinensia urin dan
alvi.
Daftar Pustaka
1. Robert LK, Joseph G.Q Itamar BA. Demensia. Dalam : Essential of Clinical Geriatrics, 2nd ed.
New York : McGraw HillCo; 1999. h.90-111
2. Carlsson CM, Gleason CE, Puglielli L, Asthana S. Dementia lncluding Alzheimer's Disease.
ln: Halter JB, Ouslander JG,Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard's Geriatric
Medicine and Gerontology. 6 ed. NewYork McGraw Hill 2009; 797-812
3. Dave J, Hecht M. Dementia. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD. Essentials of Physical
Medicine and Rehabilitation: Musculoskeletal Disorders, Pains and Rehabilitation. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier 2008; 665-762.
DEPRESI
Dicurigai depresi bila episode tersebut terjadi dalam periode minimal 2 minggu. Prevalensi depresi pada
usia lanjut adalah 5-65% baik dirumah sakit atau diluar rumah sakit.
Pada usia lanjut, penyebab depresi adalah karena penggunaan obat (polifarmasi), dan atau akibat kondisi
penyakit seperti stroke dan hipertiroidisme.Tingginya depresi pada usia lanjut, didasari pada teori
neurobiologi, teori psikodinamik, teori kognitif dan perilaku, dan teori psikoedukatif.
Kriteria Diagnosis
Adanya 5 atau lebih gejala berikut dengan salah satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan
minat atau kehilangan kesenangan :
Perasaan depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang secara subyektif dilaporkan
pasien (seperti rasa sedih atau hampa) atau diobservasi oleh orang lain (seperti mudah menangis)
Kehilangan minat atau kesenangan yang jelas dalam semua, atau hampir semua, aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS), hampir setiap hari (dilaporkan sendiri ataupun diobservasi orang
lain)
Penurunan berat badan yang bermakna tanpa diet atau peningkatan berat badan (lebih dari 5%)
atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap hari.
lnsomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari.
Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
Merasa tidak berguna atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (inappropriate) hampir
setiap hari.
Kemampuan berpikir atau berkonsentrasi menurun, atau ketidak mampuan dalam mengambil
keputusan.
Pikiran tentang kematian yang berulang atau ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus
atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh diri.
Anamnesis
Dilakukan dengan panduan kriteria diagnostik
Penelusuran tentang penyakit yang sedang diderita dan pengobatan yang sedang dilakukan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan rehabilitasi medik fungsional sesuai standar
Pemeriksaan Penunjang
Proses penapisan
- Geriatric Depression Scole (GDS)
- Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
- Mini Mental State Examinotion (MMSE)
Pemeriksaan penunjang terkait dengan penyakit primer, sesuai kebutuhan.
Tujuan Tatalaksana
Mengurangi rasa tertekan yang dihadapi oleh pasien
Meningkatkan partisipasi dalam Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) dan aktifitas fisik
lainnya di masyarakat
Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri terhadap diri sendiri
Tatalaksana i 245
Selalu waspada, bahwa setiap pasien dengan disabilitas, ada kecenderungan mengalami
depresi.
Pemberian terapi didasarkan pada penyebab depresi bekerjasama dengan dokter spesialis penyakit
jiwa
Program rehabilitasi pasien depresi merupakan bagian integraldari penatalaksanaan holistik
pasien geriatrik
Rehabilitasi aktifitas fungsional pasien akan berhasil baik bila depresi teratasi
Terapirehabilitasi:
- Pendekatan biologik
Tujuan :
o Perbaikan gejala depresi
o Medikamentosa (anti depresan, antianxietas, antipsikotik)
o Koreksi keadaan medik umum
- Pendekatanpsikososial
Tujuan : Memperbaiki faktor kepribadian individu dan lingkungan sosial, melalui pendekatan
:
o Terapi individu
o Terapi kelompok
o Terapi keluarga
- Pendekatan aktifitas fungsional
Tujuan : Pasien mandiridalam beraktifitas
o Prinsip awal : Pencegahan dan terapi dampak kecacatan terhadap penyakit primer.
o Program rehabilitasi aktifitas fungsional sesuai dengan target yang rasional. Bila perlu
lakukan program rehabilitasi bertahap
o Cognitive behavioral therapy
Pencegahan dan Pendidikan
Observasi setiap pasien usia Ianjut dengan risiko depresi
Awasi efek samping obat, kurangi obat yang menyebabkan depresi
Deteksi dan intervensi dini
Partisipasi aktif keluarga
Layanan day care di rumah sakit (day hospital) sebagai bagian dari layanan rawat jalan usia
lanjut
Daftar Pustaka
1. Kawas L. Evaluation of Cognition in the Elderly Rehabilitation Patient, dalam Felsenthal et
al. Rehabilitation of The Aging and Elderly Patient.Williams & Etilkins, 1994,pg 289-294
2. Ham Rl. Sloane : Primary Care Geriatrics, a case based approach. MosbyYear Book,2nd ed.
1992.pg 1 37 -59; 259-307 : 407 -27
3. Burns A. Lawlor Betal, Assessment Scales in Old Age Psychiatry. Martin Dunits l. td, 1999,pg
225-232 .
ACUTE CONFUSIONAL STATE (ACS)/ DELIRIUM
Sindroma delirium, terkadang disertai dengan gangguan kesadaran dari ringan sampai berat;
mispersepsi sensori; gangguan siklus tidur-bangun; disorientasi waktu, tempat, orang; gangguan
memori; sehingga mengganggu kemampuan kognisi pasien. Umumnya terjadi secara akut, proses dapat
hilang timbul. Pemulihan dapat terjadi dalam 1 hari atau setelah berhari-hari. Para usia lanjut adalah
kelompok yang rentan terhadap terjadinya delirium, sebagai efek samping dari beberapa kondisi,
seperti efek obat, demam, hypoxia, infeksi, gagal organ (ginjal, hati, paru, jantung) sepsis, infeksi saluran
kemih, nyeri.
Pada usia lanjut tipe delirium lebih sering dalam bentuk tipe hipokinetik-hipoalert dengan gejala :
letargi,kurang respon terhadap stimuli, berbeda dengan usia lebih muda, tipe delirium dalam bentuk
hiperkinetik dan hiperalert.
Kriteria Diagnosis
Menurut Confussion Assessment Method (CAM) :
Diagnosis delirium bila terdapat kriteria 1 dan 2, serta 1 diantara kriteria 3 dan 4:
1. Terdapat perubahan akut pada status perilaku/mental, dan bersifat hilang timbul.
2. Terdapat gangguan memfokuskan atensi, dan tak mampu melakukan penyesuaian terhadap topik
pembicaraan
3. Gangguan mengorganisir pola pikir, dalam bentuk berbicara dan bertindak yang tidak relevan
4. Gangguan kesadaran, termasuk kondisi abnormal seperti: letargi, stupor, hiper/hipokinetik,
hiper/ hipoalert
Anamnesis
Dilakukan dengan panduan kriteria diagnostik
Penelusuran tentang penyakit yang sedang diderita dan pengobatan yang sedang dilakukan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan fisik rehabilitasi medik-fungsional
Pemeriksaan Penunjang
Proses skrining (penapis)
- Delirium rating scale (DRS)
- Mini mentol state exomination (MMSE)
Pemeriksaan Electroencephalography(EEG)
Pemeriksaan CT Scan Kepala
Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan sesuai indikasi
- Darah lengkap
- Fungsi hepar, fungsi ginjal
- Analisa gas darah
- Glukosa
- Elektrolit
Tujuan Tatalaksana
Mengobati penyebab
Menghindari komplikasi dari tirah baring lama
Meningkatkan kapasitas fungsional
Tatalaksana
Atasi gejala dan penyebab ACS bekerjasama dengan spesialis terkait
Program rehabilitasi :
- Prinsip awal : pencegahan efek samping tirah baring lama
- Bila delirium teratasi, lanjutkan rehabilitasi aktifitas fungsi
- Lakukan uji kognisi (MMSE)
- Tetapkan target pencapaian rehabilitasi secara rasional
Daftar Pustaka
1. 1. Kawas L. Evaluation of Cognition in the Elderly Rehabilitation Patient, dalam Felsenthl et al.
Rehabilitation of the Aging and Elderly Patient.Williams & Eilkins, 1994,pg 289-294
2. Ham RJ, Sloane: Primary Care Geriatrics, a case based approach. Mosby Year Book,2nd
ed.1992.pg 137 -59; 259-307 ; 407 -27
3. Burns A, Lawlor Betal, Assessment Scales in Old Age Psychiatry. Martin Dunitz. Ltd, 1999, pg
1-32, pg 225-232.
INSTABILITAS DAN JATUH
Keseimbangan adalah suatu keadaan dimana tubuh dalam keadaan seimbang, dengan proyeksi pusat
gravitasi berada dalam dasar support dan jumlah dari semua gaya yang ada (resultan) sama dengan 0.
Kontrol postural adalah suatu keadaan (statis dan dinamis) dimana tubuh dapat mempertahankan
keseimbangan dari setiap bagian tubuhnya terhadap perubahan pusat gravitasi dengan energy
expenditure yang minimal.
Keseimbangan statis adalah kemampuan seseorang untuk memelihara keseimbangan pada suatu saat
tertentu untuk beberapa waktu.
Keseimbangan dinamis adalah kemampuan seseorang untuk memelihara keseimbangan pada saat
bergerak.
lnstabilitas, perubahan pola berjalan dan jatuh merupakan kejadian yang sering pada usia lanjut. Jatuh
merupakan penyebab utama morbiditas pada usia lanjut. Kejadian jatuh kemungkinan merupakan petanda
kelemahan pada usia lanjut, dan jatuh merupakan prediktor sekaligus penyebab mortalitas. Hampir
sepertiga populasi usia diatas 65 tahun mengalamijatuh sedikitnya sekali dalam setahun, dan 1 dari 40
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Manifestasi Klinis
Rasa takut jatuh (fear of falling), sehingga menurunkan rasa percaya diri dalam melakukan
aktifitas
lmobilitas, kelemahan otot, isolasi
Perubahan gaya berjalan (broad-based gait)
- Langkah yang pendek dan lambat
- Berkurangnya ayunan tangan
- Postur kifosis
- Fleksidari pinggang dan lutut
- Dasar support yang melebar
Gangguan fungsi lokomosi
Keragu-raguan dan kekakuan saat akan berputar
Kesulitan dalam memulailangkah
Risiko untuk jatuh ke arah depan
Otot yang rentan menjadi kaku: gastrocnemius dan soleus, tibialis posterior, short hip adductors,
hamstrings, rectus femoris, illiopsoas, tensor fascia latae, piriformis, spinal extensors, quadratus
lumborum, pectoralis major, upper trapezius, levator scapulae, sternocleidomastoid,
suboccipitalis, upper limb flexors.
Otot yang rentan menjadi lemah: peronei, tibialis anterior, vastus lateralis, gluteals, rectus
abdominis, serratus anterior, rhomboids, lower dan middle trapezius, short, deep cervical flexors,
scalenes, upper limb extensors.
Kriteria Diagnosis
Faktor risiko jatuh :
1. Faktor ekstrinsik
Berhubungan dengan keadaan lingkungan (lantai licin, cahaya kurang, rintangan/undakan,
penggunaan alat bantu gerak)
2. Faktor intrinsik
Gangguan visual : presbiopia, lapang pandang, pandangan malam hari
Gangguan saraf : vibrasi, proprioseptif, refleks, fungsi serebral reaction time memanjang
Gangguan muskuloskeletal: kekakuan, kekuatan otot menurun
Gangguan kardiovaskular : hipotensi ortostatik
Gangguan pola jalan : pada fase swing kaki tidak diangkat cukup tinggi, dasar support yang
melebar pada pria tua dan dasar support yang menyempit pada wanita tua
Gangguan auditori
Riwayat jatuh sebelumnya
Penggunaan medikamentosa : psikotropik, polifarmasi
Penyakit-penyakit lain : demensia, stroke, arthritis, diabetes, gangguan vestibular
Rasa takut jatuh
Masalah kaki
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mencari penyebab jatuh yang berhubungan dengan kondisi
kesehatan pasien, baik yang bersifat akut maupun kronis. Beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan
antara lain:
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan BMD sesuai indikasi.Dilakukan untuk mengurangi factor risiko trauma, seperti fraktur.
Pemeriksaan manuver yang perlu diperiksa untuk dapat menilai ada tidaknya gangguan kontrol balans,
di antaranya:
Keseimbangan saat duduk
Berdiri dari kursi
Keseimbangan berdiri yang cepat (pada 5 detik pertama)
Keseimbangan berdiri dalam waktu yang lama
Menahan dorongan didada
Keseimbangan berdiri saat mata ditutup
Keseimbangan saat berputar
Keseimbangan saat hendak duduk
Pemeriksaan laboratorlum
Sesuai indikasi :
Darah Perifer Lengkap (DPL)
Elektrolit darah
Bila mungkin
Nitrogen I Kreatinin l Gula Darah
Vitamin B 12
Fungsi tiroid
Tujuan Tatalaksana
Mengurangirisikojatuh
Meningkatkan kemampuan berjalan dengan baik dan meningkatkan kepercayaan diri dalam
inisiasi mobilisasi
Latihan keseimbangan (konvensional atau dengan Balance trainer)
Pengkajian klinis & faktor risiko Terlaksana
Riwayat jatuh sebelumnya Modifikasi lingkungan dan aktifitas
untuk
menurunkan kemungkinan jatuh
berulang
Penggunaan obat Review dan penggunaan obat diatur
Obat risiko tinggi (neuroleptik, anti oleh spesialis terkait
konvulsi, antiartimia)
Polifarmasi
Vision Pastikan penerangan cukup dan tidak
Ketajaman kurang dari20/60 silau
Persepsi dalam menurun Hindari pemakaian kaca mata
Sensitivitas kontras menurun multifokus waktu berjalan
Katarak Konsul SpKFR
Hipotensi ortostatik Diagnosis dan terapi penyakit yang
mendasari (bila mungkin) oleh
spesialis yang terkait
Review dan pengurangan jumlah
obat oleh spesialis terkait
Modifikasi restriksi garam, kalau
perlu rujuk spesialisterkait
Kecukupan cairan
Theurapeutic positioning
Pressure stocking
Keseimbangan dan pola jalan Diagnosis dan terapi penyakit yang
Gangguan keseimbangan (dari mendasari (bila mungkin) oleh
laporan dan observasi) spesialis terkait
Pemeriksaan get-up and go-test Meurunkan obat yang menyebabkan
gangguan keseimbangan (bila
mungkin) oleh spesialis terkait
Modifikasi lingkungan
Alat bantu jalan kalau perlu
Latihan untuk keseimbangan secara
progresif
Status Neurologis Diagnosis dan terapi penyakit yang
mendasari
(bila mungkin)
. Gangguan proprioseptit lnput proprioseptif (misal sepatu
. Gangguan fungsi kognisi khusus, hak rendah dan sole tipis)
. Kekuatan otot menurun Obat yang mengganggu fungsi
kognisi diturunkan oleh spesial
terkait
Faktor risiko lingkungan dikurangi
Latihan berjalan, keseimbangan, dan
penguatan otot
Tingkatan kewaspadaan pramurawat
tentang penurunan fungsi kognisi
Status Muskulokeletal Diagnosis dan terapi penyakit yang
Sinkop mendasari (bila mungkin)oleh
Aritma spesialis kulit
Latihan penguatan otot, latihan
lingkup gerak sendi, latihan berjalan
dan keseimbangan
Edukasi
Edukasi kepada lansia berisiko jatuh & keluarga tentang:
Perjalanan alamiah multifaktor terjadinya jatuh
Faktor risiko jatuh yang spesifik
Intervensi yang disarankan
Usia lanjut berisiko jatuh yang tinggal sendiri atau lebih banyak menghabiskan waktu sendirian,
harus tahu apa yang harus dilakukan bila jatuh dan tidak dapat bangkit kembali
Usia lanjut yang sehat belum pernah jatuh, tidak ada laporan atau memperlihatkan
gangguan keseimbangan, disarankan ikut Senam Kesehatan Jasmani (SKJ) lansia atau latihan
sejenisnya (terdapat komponen latihan penguatan otot dan latihan keseimbangan)
Bila ada gangguan fungsi kognitif disarankan ikut program day-hospital, day care center
Modifikasi lingkungan rumah
Bila mungkin dianjurkan pemeriksaan Bone Mas Density (BMD), terutama pada wanita usia 65
tahun atau lebih, lndex Masa Tubuh rendah, riwayat fraktur, perokok
Daftar Pustaka
1. Kane RL, Outslander JG, Abrass lB. lnstability and falls. Dalam : Essential of clinical geriatrics,
2nd ed. NewYork: McGraw HillCo; 1999. h.191-211
2. William Mcllroy, MD. Predicting & Preventing falls. Falls and Mobility Network Meeting.
Sunnybrook & Women's College Health Services Center 2001; November 5:. [Available online at:
http://sunnybrook.ca/research/content/?page=sri_proj_csia_collab_fmn_homel ]
3. Mary E.Tinetti, MD. Preventing Falls in Elderly Patients. Dalam : N. Engl. J. Med. 348;1, January
2,2003.
OSTEOARTRITIS
OA melibatkan semua struktur pada sendi, paling sering terlibat adalah tulang subkondral, cairan
sinovium, dan membran sinovium. Selain itu, OA juga ditandai dengan terjadinya perubahan tulang
hipertrofik; osteofit, remodeling tulang subkondral, dan pada kebanyakan kasus, inflamasi kronik dari
membran sinovium. Sendi yang terlibat biasanya sendi-sendi penopang berat badan, seperti tulang
panggul, lutut, sendi- sendi interfalang distal dan proksimal, dan persendian pada tulang belakang.
OA diklasifikasikan menjadi OA primer dan sekunder. OA primer umumnya tidak memiliki etiologi
yang jelas dan biasanya berhubungan dengan usia dan faktor mekanik dimana terjadi stress mekanikal
yang repetitif pada sendi normal, gejala dapat lokal ataupun sistemik. OA sekunder memiliki penyebab
yang dapat diketahui, seperti trauma inflamasi, metabolik, developmental, atau penyakit jaringan ikat.
Faktol risiko meliputi usia lanjut, obesitas, densitas tulang, dan faktor genetik.
Manifestasi Klinis
Gejala pada sendi yang dirasakan dapat berupa:
Nyeri
Kekakuan di pagi hari kurang dari 30 menit
Berkurangnya lingkup gerak sendi
Bengkak
Gejala-gejala ini dapat diperberat dengan aktifitas dan berkurang dengan istirahat. Jika nyeri terjadi saat
istirahat atau di malam hari, kemungkinan osteoartritis sudah menjadi berat atau sebagai petanda adanya
penyakit lain.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sendi
lnspeksidan Palpasi
- Pembesaran/penonjolan tulang
- Misalignment
- Tanda-tanda inflamasi
- Suhu kulit lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya
- Pembengkakan jaringan lunak
- Efusi sendi
Uji Lingkup Gerak Sendi
Berkurangnya ruang lingkup sendi
Locking saat ROM
Krepitus
Nyeri
Pemeriksaan neuromuskular
lnspeksidan Palpasi
- Atrofi otot periartikular
- Tanda-tanda inflamasi
Uji kekuatan otot pada sendi terkait
Uji Trendelenburg
- Kelemahan pada otot abduktor panggul
Uji keseimbangan
Uji ketahanan otot
Uji Kardiorespirasi
Uji Aktifitas fungsional
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen untuk konfirmasi diagnosis
- Penipisan ruang sendiyang asimetris
- Osteofit pada margin sendi
- Sklerosis kortikal
- Pembentukan kista subkondral
Magnetic Resonance lmoging (MRl) untuk menyingkirkan osteonekrosis awal jika OA tidak
terlihat pada foto rontgen pada kasus nyeri sendi
Analisa cairan sendi
- Untuk menyingkirkan penyakit deposisi kristal (seperti gout, pseudogout), artritis
inflamatorik, atau artritis infeksiosa
- Hitung leukosit biasanya kurang dari 2000 sel/mm3
- Jika eritrosit meningkat tinggi, curiga polimyalgia reumatika, penyakit inflamatorik lainnya,
keganasan, atau infeksi yang tidak jelas penyebabnya
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan American College of Rheumatology, kriteria diagnosis untuk OA lutut adalah:
Tanda klinis dan hasil laboratorium
- Nyeri lutut dengan paling sedikit 5 dari 9 kriteria berikut:
o Usia lebih dari 50 tahun
o Kekakuan kurang dari 30 menit
o Krepitus
o Nyeritulang
o Pembesaran tulang
o Suhu kulit tidak hangat o Laju endap darah (LED) kurang dari40mm/jam
o Faktor rematoid kurang dari 1,40
o Analisa cairan sendidengan tanda-tanda OA
Tanda klinis dan hasil radiologi
- Nyeri lutut dengan osteofit pada radiograf, dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria berikut:
o Usia lebih dari 50 tahun
o Kekakuan kurang dari 30 menit
o Krepitus
Atau
Berdasarkan American College of Rheumatologn kriteria diagnosis untuk OA tangan adatah jika
pada pemeriksaan fisik, terdapat:
Pembesaran jaringan padat pada 2 dari 10 sendi-sendi tertentu
Pembengkakan di kurang dari3 sendi Metacarpophalangeal (MCP)
Pembesaran jaringan padat pada setidaknya 2 sendi Distal interphalang (DlP). Jika sendi DIP
yang terlibat kurang dari 2, maka deformitas pada sekurang-kurangnya 1 dari 10 sendi tersebut
wajib ada untuk bisa menyimpulkan bahwa gejala disebabkan oleh OA
Tujuan Tatalaksana
Mencegah toksisitas obat
Mengurangi disabilitas fisik
Mengurangi nyeridan gejala lainnya
Memaksimalkan fungsifisik dan penyesuaian psikososial
Tatalaksana
Awal
4 Prinsip utama Tatalaksana OA:
Menghindaritoksisitasdariobat
Membatasi disabilitas fisik
Menghilangkan nyeridan gejala lainnya
- Obat-obatan lini pertama mencakup:
o Asetaminofen
o Obat-obat anti-inflamatorik nonsteroid
Obat-obatan lainnya:
o Capsaicin topikal
o Non-steroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)t opikal
o Kondroitin dan glukosamin
Memaksimalkan fungsi fisik dan penyesuaian psikososial
Rehabilitas
Rehabilitasi pada pasien geriatri dengan OA merupakan upaya dalam mengembalikan dan
mengoptimalkan fungsi yang tersisa untuk dapat mengurang keterbatasan fungsional yang disebabkan
oleh OA. Keterbatasan fungsional tersebut dapat meliputi; kesulitan dan melambatnya kecepatan berjalan,
kesulitan dalam menaiki tangga, transfer, meggunakan kamar mandi, mengenakan sepatu, dan lain-lain
terkait dengan mobilisasi.
B. lntervensi ortotik
Penggunaan sepatu yang menyelaraskan tinggi kaki
oBracing,taping, dan lain-lain
Prosedural
Injeksi asam hiuluronat intra-artikular setiap minggu selama 3-5 minggu, dan dapat diulang
sebanyak 2-4 kali setiap tahun.
Tindakan bedah
Konsultasi kepada dokter spesialis ortopedi untuk risiko dan keuntungan pembedahan
Pencegahan osteoartritis dituiukan untuk mengurangi/menghindari trauma pada sendi yang bersifat
repetitif.
Menjaga berat badan ideal
Olah raga teratur yang tidak membebani sendi, seperti berenang, bersepeda statis, tai chi
Lindungi sendi: postur tubuh seimbang dan gerak mekanik tubuh yang sesuai
Hindari stress berlebihan dan repetitif pada sendi
Mengerti bahasa tubuh "NYERl"
Hindari cedera pada sendi
Daftar Pustaka
1. Wilkins AN, Phillips EM. Osteoarthritis. ln: Frontera WR, Silver JK, RizzoTD. Essentials of
Physical Medicine and Rehabilitation. Muskuloskeletal Disorders, Pain, and Rehabilitation.2nd
ed. Philadelphia: Saunders 2008. p7a5-53
2. Stitik TB Foye PM, Stiska! D Nakser RR. Chapter 32. Osteoarthritis. ln: Delisa JA, Gans BM,
Walsh NE, BockenekWL, FronteralWR, Geiringer SR. Physical Medicine & Rehabilitation:
Principles and Practice.4th ed. Lippincott Williams & Wilkins 2005.
3. ShielWC, Stoppler MC. Osteoarthritis (OA or Degenerative Arthritis). MedicineNet.com
2011l; November 1 8:. [Available at http://www.medicinenet.com/osteoarthritis.htm].
4. Eustice C. 6 Tips for Osteoarthritis Prevention. About.com Guide 2010; November 20:.
[Available at http://osteoarthritis.about.com/od/jointprotection/a/OA-prevention.html].
GANGGUAN FUNGSI BERKEMIH
lnternational Continence Society telah mengklasifikasikan tiga tipe inkontinensia: lU stres, lU urge,
dan lU campuran. lU stres merupakan keluarnya urin secara tidak sengaja yang terjadi akibat adanya
dorongan atau upaya, atau pada saat batuk atau bersin.lU urge diartikan dengan keluarnya urine secara
tidak sengaja yang disertai dengan atau segera setelah didahului urgensi. lU campuran merupakan
keluarnya urine secara tidak sengaja baik karena adanya dorongan ataupun batuk, bersin serta urgensi.
Satu lagi type inkontinensia, yaitu inkontinensia overflow, yaitu suatu tipe inkontinensia karena
kandung kemih penuh, melebihi kapasitas volume kandung kemih, sehingga terjadi "kebocoran".
Manifestasi Klinis
lU urge
Saat pasien diminta untuk batuk, pasien tidak langsung pada saat itu juga mengalami inkontinensia,
seperti pada lU stres, melainkan inkontinensia terjadi sekitar 10-15 menit setelah batuk oleh karena
kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol. Urin dapat keluar pada saat pasien duduk,
berbaring, atau tidur (bertolak belakang dengan lU stres).
lU stres
Kebocoran urin terjadi bersamaan dengan meningkatnya tekanan intraabdomen oleh karena
batuk, bersin, tertawa atau saat berolah-raga. Gejala dapat jarang timbul dan biasanya volume urin
yang keluar hanya sedikit.
lU Campuran
Gejala yang muncul dapat berasaldari lU stres maupun lU urge.
lU Overflow
Diawali dengan retensio urin yang disusuldengan keluarnya urin tanpa terkontrol. Sering terjadi
pada penyakit susunan syaraf pusat, cedera medula spinalis ataupun sumbatan uretra, misalnya pada
hipertrofi prostat.
- Pemeriksaan:
o Pengukuran kekuatan otot dasar panggul metode digital
o Memeriksa tekanan, displacement, dan durasi kekuatan kontraksiotot dasar panggul,
menggunakan biofeedback
Uji batuk
- Untuk mendeteksi IU stres
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Untuk menyingkirkan adanya infeksl, hematuria atau glukosuria
Perineometer
o Mengukur perubahan manometrik tekanan vaginal/anal, dideteksi oleh sensor probe
o Sensitifitas tergantung alat
o Diukur kekuatan dan durasi kontraksi
o Berguna untuk diagnostik dan terapi (biofeedback)
o Pengaruh tekanan otot abdominal sulit disingkirkan
Biofeedback
o Terdiri dari: pressure dan EMG biofeedback
o Biofeedbock bermakna mendukung proses edukasi, motivasi, dan kepatuhan pasien
Catatan Harian Berkemih
Tujuan Tatalaksana
Meningkatkan kekuatan otot dasar panggul
Kemampuan miksi dengan pola normal
Mengobati penyakit yang mendasari
Mengurangi penggunaan garmen inkontinensia atau pad
Mengurangifrekuensi berkemih, menjadifrekuensi normal,8 kali berkemih per hari
Tatalaksana
Meningkatkan kapasitas kandung kemih
Meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan mengenaitanda-tanda kandung kemih yang penuh
Meningkakan kemampuan dalam merespon kontraksi kandung kemih dengan cara
menggunakan otot spingter luar untuk menahan keluarnya urin (melalui latihan otot dasar
panggul)
Tatalaksana rehabilitasi juga termasuk di dalam perawatan paliatif dimana rehabilitasi membantu
pasien untuk dapat menjalani sisa hidupnya dengan potensi semakimal mungkin dalam hal fisilk
psikologis, sosialdan spiritual.
Manifestasi Klinis
Anoreksia/kaheksia
Ansietas
Konstipasi
Delirium
Depresi
Dispneu
Kelelahan
Mual
Nyeri
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan umum
- Status nutrisi (pengukuran lndex Masa Tubuh)
- Mata
- Mulut, gigi geligi
- Telinga Hidung Tenggorokan (adanya infeksi, serumen)
- Leher
- Jantung
- Paru
- Abdomen
- Ekstremitas
Pemeriksaan khusus
- Pemeriksaanneurologis
- Pemeriksaanmuskuloskeletal
- Status lokalis (bila dicurigai terdapat trauma, deformitas atau kelainan lokalis lainnya)
- Dan lain-lain yang terkait
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah tepi lengkap dengan hitung jenis, urinalisis, gula darah
puasa dan sewaktu, fungsi ginjal, fungsi hati, albumin, elektrolit, dan lain-lain disesuaikan dengan
kasus
Rontgen Toraks
Visuol Analogue Scale (VAS)
Barthel Index
Penilaian kualitas hidup dengan Skala MOS 36, Sickness lmpact Profile (SlP), dan lain-lain
Tujuan Tatalaksana
Mengurangi nyeri dan gejala lainnya
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
Mempertahankan independensi
Pasien dapat hidup dalam kenyamanan dan dengan martabat yang tinggi sepanjang sisa hidupnya
Tatalaksana
Tatalaksana medis umum :
(Bekerja sama dengan sejawat spesialis penyakit dalam)
Atasi kondisi gawat-darurat sebagai prioritas apabila didapatkan
Oksigenasi atas indikasi (mulai dari kanulasi hingga bantuan ventilator mekanik, disesuaikan
dengan kondisi pasien)
Pemberian cairan intravena diikutidengan pemantauan balans caian ketat (target seimbang setiap
harinya)
Nutrisi (Kebutuhan kalori dihitung untuk masing-masing pasien. Suplementasi nutrisi diprioritaskan
per oral, bila terdapat inadekuasi dapat diberikan per enteral atau kombinasi parenteral)
Dukungan psikoterapi (bekerja sama dengan sejawat spesialis psikiatri)
Mobilisasi bertahap
Analgetik atas indikasi
Tatalaksana dukungan mental, sosial, spiritual oleh psikolog, psikiater, pekerja sosial, rohaniawan, dan
lainnya.
Pendidikan
Edukasi pada pasien dan keluarga dapat meliputi:
Prospek biologis pasien yang dapat digunakan semaksimal mungkin
Tujuan dan keuntungan dari setiap terapi yang dilakukan
Efek samping dari terapi
Edukasi kepada keluarga dan kerabat pasien untuk selalu memberikan dukungan mental, sosial dan
spiritual
Menegaskan dan memberikan pengertian dan pemahaman yang baik kepada pasien dan keluarga
bahwa kematian merupakan proses yang alami
Daftar Pustaka
1. Chevile AL. Palliative Care. ln: Delisa JA, Gans BM, Walsh NE, Bockenek WL, Frontera WR,
Geiringer SR, et al. Physical Medicine & Rehabilitation: Principles and Practice. 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins 2005; 531 -556.
2. Chun A, Morrison RS. Palliative Care. ln: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High
KB and Asthana S. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: The
McGraw-Hill 2009; 373-383.