Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

RESUSITASI JANTUNG PARU

Pembimbing:
dr. Maria Edith Sulistio, Sp.An

Disusun Oleh:
Bianca Pinky
201506010115

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA
RS ST. CAROLUS
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga referat mengenai “Resusitasi Jantung Paru” dapat terselesaikan
sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Edith Sulistio, Sp.An atas waktu
dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
karena itu, penulis mohon maaf apa bila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini
dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di kemudian
hari. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah pengetahuan
mengenai resusitasi jantung paru.

Jakarta, 12 Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………..………...i
KATA PENGANTAR…………...…………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iii
BAB I LATAR BELAKANG…………………………………….………….1
1.1. Latar Belakang……………………………………………..……1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….......2
2.1. Etiologi………………………………………………….…….......2
2.2. Bantuan Hidup Dasar (BHD)………………………………..……3
2.2.1. Kompresi Dada………………………………………….8
2.2.2. Tata Laksana Jalan Napas……………………………...10
2.2.3. Defibrilasi dengan Automated External Defibrilator
(AED)………………………………………………...15
2.3. Gangguan Irama Jantung………………………………………...16
2.3.1. VT dan VF……………………………………………..17
2.3.2. Asistol dan PEA……………………………………….18
2.3.3. Bradikardia…………………………………………….19
2.3.4. Takikardia……………………………………………..20
2.4. Perawatan Pasca Resusitasi……………………………………...21
2.5. Resusitasi pada Keadaan Khusus………………………………...22
2.5.1. Tenggelam……………………………………………..22
2.5.2. Hipotermia…………………………………………….23
2.5.3. Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing……………...23
BAB II KESIMPULAN……………………………………………………..25
3.1. Kesimpulan……………………………………………………..25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….26

iii
BAB I
LATAR BELAKANG
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sebuah rangkaian tindakan yang
membantu oksigenasi dan sirkulasi ke seluruh tubuh saat terjadi henti jantung. 1 RJP
telah dikembangkan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, dimana RJP dilakukan dengan
cara pemberian ventilasi mouth-to-mouth dan kompresi dada pada pasien yang
kehilangan denyut nadi. Sejak saat itu, teknik RJP yang lebih baik terus dikembangkan.
Pada saat ini, RJP dikenal dengan istilah bantuan hidup dasar (BHD). 2 Pedoman RJP
yang digunakan secarah luas di seluruh dunia adalah pedoman yang dipublikasikan
oleh American Heart Association (AHA) setiap lima tahun.1
Walau pun penanganan darurat pada penyakit jantung saat ini terus
berkembang, henti jantung tetap menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. 1
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diperkirakan sebanyak 17,4
juta orang meninggal (29,1% dari kematian total) karena penyakit jantung dan
pembuluh darah. Dari 17,4 juta kematian tersebut, diperkirakan sebanyak 7,2 juta
diakibatkan oleh penyakit jantung koroner. Pada tahun 2030, WHO memperkirakan
akan terjadi 23,6 juta kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. 3 Setiap
tahunnya, hampir 350.000 orang Amerika meninggal karena penyakit jantung.
Penyebab henti jantung paling sering pada populasi dewasa adalah ventrikular fibrilasi
(VF).1 Menurut Kementrian Kesehatan, prevalensi penyakit jantung di Indonesia juga
semakin meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
penyakit jantung menjadi salah satu penyebab utama kematian. Kematian akibat
penyakit jantung, hipertensi, dan stroke mencapai 31,9%.4
Sebanyak 70% kasus henti jantung terjadi di rumah, dan survival rate henti
jantung kurang dari 12%, tetapi mulai melakukan RJP secepatnya dengan teknik yang
benar dapat meningkatkan survival rate tersebut 2-3 kali lipat, sedangkan tidak
melakukan RJP atau RJP dengan kualitas buruk mengakibatkan keluaran tidak baik.5
Dengan demikian, menjadi penting bagi dokter untuk mengetahui dan terlatih dalam
melakukan RJP guna meningkatkan survival rate pada henti jantung.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
Henti jantung mendadak masih merupakan penyebab kematian utama
di Amerika Serikat. Sebanyak 70% henti jantung di luar rumah sakit (out-of-
hospital-cardiac arrest/OHCA) teradi di rumah, dimana 50% di antaranya
terjadi tanpa saksi. Angka keberhasilan lepas rawat dari rumah sakit hanya
10,8% pada pasien dewasa dengan OHCA nontrauma yang menerima usaha
resusitasi dari tim medis. In-hospital-cardiac arrest/IHCA memiliki keluaran
yang lebih baik, 22,3-25,5% pasien IHCA dewasa berhasil lepas rawat dari
rumah sakit.6
Keadaan henti jantung ditandai dengan berhentinya aktivitas jantung
secara tiba-tiba disertai dengan kegagalan hemodinamik, hal ini sering kali
diakibatkan oleh ventrikular takikardia (VT) atau ventrikular fibrilasi (VF).
Kejadian tersebut biasanya terjadi pada pasien dengan kelainan jantung
struktural terutama penyakit jantung koroner (yang mungkin belum
terdiagnosis sebelumnya). Kelainan jantung yang mendasari munculnya
aritmia yang pada akhirnya mengakibatkan henti jantung dan kematian
mendadak sangat bervariasi dan hubungannya dengan kematian mendadak
masih belum dimengerti secara menyeluruh. Maka dari itu, identifikasi faktor
risiko pada pasien yang mungkin mengakibatkan aritmia fatal dan kematian
mendadak sangat penting untuk dilakukan.7

2
2.2. Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan dasar untuk menyelamatkan


nyawa saat terjadi henti jantung mendadak. Aktivasi sistem respon
kegawatdaruratan, lakukan RJP segera, dan defibrilasi dengan automated
external defibrilator (AED) merupakan aspek penting dalam BHD. Penilaian
dan respon awal pada serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai
bagian dari BHD.7

Urutan BHD dapat dilihat pada Algoritma Henti Jantung Dewasa


(Gambar 2.1), pada saat penolong sampai di tempat kejadian, penolong harus
memastikan bahwa lingkungan tersebut aman. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengamati lokasi dan lingkungan sekitar pasien tidak ada bahaya fisik
yang mengancam, seperti bahaya toksik atau listrik. Selanjutnya, langkah
awal tata laksana henti jantung adalah pengenalan awal. Jika terdapat pasien
dengan nadi dan pernapasan normal, maka monitor pasien secara ketat dan
aktifkan sistem respon kegawatdaruratan. Jika didapatkan denyut nadi tetapi
pernapasan tidak normal, maka berikan bantuan napas, satu kali setiap 5-6
detik atau 10-12 kali per menit, lalu aktivasi sistem respon kegawatdaruratan
(jika belum dilakukan) setelah 2 menit. Teruskan pemberian bantuan napas
dan periksa nadi setiap dua menit. Jika tidak didapatkan denyut nadi, maka
lakukan RJP. Jika kemungkinan henti napas tersebut disebabkan oleh
overdosis opioid, maka nalokson dapat diberikan jika tersedia. Apa bila tidak
didapatkan denyut nadi dan pernapasan tidak normal (gasping), penolong
harus melakukan RJP dan AED secepatnya.6

3
Gambar 2.1. Algoritma Henti Jantung Dewasa BHD
Sejak 2010, tata laksana jalan napas definitif menjadi lebih sekunder
dibandingkan dengan kompresi dada. Saat ini, mnemonic lama ABC (airway,
breathing, dan circulation) telah digantikan oleh CAB (circulation, airway,
breathing). Hal ini dikarenakan inisiasi kompresi dada kualitas tinggi
meningkatkan kemungkinan return of spontaneous circulation (ROSC). Tata
laksana jalan napas tetap dilakukan, tetapi harus dengan cepat, efisien, dan
interupsi kompresi dada yang minimal.2

4
RJP pada bayi dan anak memiliki prinsip yang sama dengan RJP
dewasa. Sebagian besar keadaan henti jantung pada anak disebabkan oleh
hipoksemia arterial dan gangguan sistem respirasi, oleh karena itu, tata
laksana jalan napas sangat penting untuk mencapai resusitasi pediatrik yang
berhasil. Hal ini sangat berbeda dengan henti jantung dewasa, dimana lebih
sering disebabkan oleh VT/VF akibat dari iskemia myokard. Walau pun
terdapat perbedaan penyebab, BHD pediatrik tetap mengikuti algoritma
dewasa, yaitu CAB, tetapi RJP konvensional (kompresi dan ventilasi) lebih
dipilih dibandingkan dengan hanya kompresi. Jika penolong hanya satu orang,
rasio kompresi-ventilasi adalah 30:2 dan rasio 15:2 diberikan apa bila terdapat
dua penolong, Tata laksana jalan napas pediatrik memiliki perbedaan, sebab
anak memiliki lidah dan epiglotis yang lebih besar, oleh karena itu
laringoskopi dengan bilah tajam lebih terpilih pada anak. 2

5
Gambar 2.2. Algoritma Henti Jantung Pediatrik BHD

6
Tabel 2.1. Perbandingan Teknik Resusitasi antara Dewasa, Anak, dan Bayi

7
2.2.1. Kompresi Dada

Kompresi dada adalah komponen utama dari RJP yang


efektif.6 Untuk memulai kompresi dada, pasien diposisikan supine
pada permukaan yang keras, penolong dapat berlutut di sebelah dada
pasien (di luar rumah sakit) atau berdiri di samping tempat tidur
pasien (di dalam rumah sakit). Telapak tangan diletakkan pada
sepertiga bawah sternum.8

Karakteristik kompresi dada yang berkualitas ditentukan oleh


frekuensi, kedalaman, recoil dinding dada, serta interupsi yang
minimal. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa
frekuensi kompresi berpengaruh terhadap ROSC dan survival rate
setelah pasien pulang, dan dinyatakan bahwa frekuensi kompresi
sebanyak 100-120 kali per menit memiliki survival rate yang lebih
baik. Selain itu kompresi dada juga berpengaruh secara langsung
terhadap kedalaman kompresi, dimana kecepatan yang melebihi 120
kali kompresi per menit akan mengurangi kedalaman kompresi.
Kedalaman kompresi yang optimal adalah 5-6 cm (2-2,4 inchi).
Kedalaman kompresi berpengaruh terhadap tekanan intratoraks yang
menghasilkan aliran darah dari jantung ke sirkulasi sistemik. Pada
kedalaman kompresi yang melebihi 6 cm memiliki risiko cedera yang
lebih tinggi.6

Recoil dinding dada komplit menghasilkam tekanan negatif


intratoraks yang menghasilkan aliran balik vena dan aliran darah
kardipolmoner. Menahan dinding dada di antara kompresi akan
menghalangi recoil. Recoil inkomplit dapat meningkatkan tekanan
intratoraks yang menurunkan aliran balik vena, perfusi arteri
koroner, aliran darah myokardial, dan mengurangi hemodinamik,
hal-hal tersebut akan mempengaruhi hasil resusitasi. Oleh karena itu,

8
penting untuk tidak bersandar/menahan dinding dada di antara
kompresi.6

Mininalisir interupsi pada kompresi dada merupakan poin


yang penting. Interupsi kompresi dada dapat berupa tindakan sengaja
(analisis ritme jantung dan ventilasi) mau pun tidak sengaja. Interupsi
kompresi dada yang minimal memiliki kemungkinan ROSC yang
lebih besar. Oleh karena itu, AHA merekomenasikan agar durasi
sebelum dan sesudah kejut jantung sesingkat mungkin mungkin, dan
jeda kompresi kurang dari 10 detik untuk pemberian bantuan napas
sebanyak dua kali. AHA merekomendasikan agar fraksi kompresi
dada setinggi mungkin dengan target paling sedikit 60%.6

Kelelahan penolong dapat menjadi salah satu penyebab


kecepatan atau kedalaman kompresi. Kelelahan signifikan dan
kompresi yang dangkal sangat sering terjadi setelah satu menit RJP
dan penolong biasanya tidak menyadari hal tersebut hingga lebih dari
lima menit. Ketika terdapat dua atau lebih penolong, sebaiknya
dilakukan pergantian kompresi dada setiap dua menit (setelah lima
siklus kompresi dan ventilasi dengan rasio 30:2). Untuk
meminimalisir interupsi, pergantian tersebut dapat dilakukan
sekaligus saat intervensi (pemberian kejut) dan jeda pergantian
diusahakan untuk terjadi dalam waktu kurang dari lima detik. 8

Interupsi terhadap kompresi dada untuk mempalpasi adanya


denyut nadi atau untuk memeriksa terjadinya ROSC dapat
mempengaruhi perfusi organ vital. AHA merekomendasikan agar
penolong awam tidak menghentikan kompresi untuk memeriksa nadi
mau pun ROSC, melainkan terus melakukan RJP hingga AED
didapatkan, korban bangun, atau bantuan medis datang. Tenaga
medis harus melakukan kompresi dada dengan interupsi seminimal
mungkin dan membatasi agar interupsi tidak terjadi lebih dari 10

9
detik, kecuali pada intervensi spesifik, seperti pemasangan advanced
airway dan penggunaan defibrilator.8

2.2.2. Tata Laksana Jalan Napas


Terdapat perubahan yang signifikan pada pedoman BHD
AHA 2010, yang merekomendasikan inisiasi kompresi dada sebelum
ventilasi. Perubahan ini mencerminkan bukti pentingnya kompresi
dada yang terus berkembang dan realita bahwa pemasangan alat
bantu napas yang memerlukan waktu. Pola pikir ABC akan
memperkuat pikiran bahwa kompresi dada harus menunggu sampai
ventilasi dimulai. Penekanan gagasan baru mengenai CAB
membantu memperjelas bahwa tata laksana jalan napas harus
dilakukan dengan cepat dan efisien, sehingga interupsi kompresi
dada dapat diminimalisir dan kompresi dada harus dijadikan prioritas
utama pada resusitasi orang dewasa.8
Rasio kompresi-ventilasi untuk orang dewasa adalah 30:2,
rasio ini berdasarkan konsensus para ahli dan berbagai laporan kasus.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan rasio kompresi-
ventilasi yang terbaik (dalam hal survival rate dan dampak
neurologis) dan mengkoordinasikan kompresi dada dan ventilasi
pada RJP. Setelah adnaced airway telah terpasang, pada RJP dengan
dua penolong, usaha untuk sinkronisasi ventilasi dengan kompresi
tidak diperlukan lagi. Ventilasi dapat diberikan setiap 6-8 detik dan
kompresi dada terus dilakukan dengan kecepatan minimal 100 kali
per menit.8
Untuk membuka jalan napas, penolong dapat menggunakan
manuver head tilt-chin lift. Sedangkan pada pasien trauma yang
dicurigai adanya cedera servikal, manuver jaw thrust dapat
dilakukan. Oleh karena mempertahankan jalan napas dan pemberian
ventilasi adekuat adalah prioritas dalam RJP, maka manuver head

10
tilt-chin lift dapat dilakukan apa bila jaw thrust tidak dapat
membukjalan napas secara adekuat.8

Gambar 2.3. Head Tilt, Chin Lift, Jaw Thrust


Pada saat RJP, curah jantung hanya mencapai 25-33% curah
jantung normal, hal ini mengakibatkan pengambilan oksigen dari
paru dan penghantaran karbondioksida ke paru juga berkurang,
sehingga pemberian minute ventilation yang lebih rendah dari pada
keadaan normal telah cukup untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi yang efektif. Oleh karena itu, volume tidal sebanyak 500-
600 mL (6-7 mL/kg) cukup untuk menghasilkan pengembangan dada
yang terlihat. Pemberian ventilasi berlebihan tidak diperlukan, oleh
karena dapat menyebabkan inflasi gaster yang dapat mengakibatkan
regurgitasi dan aspirasi. Pemberian ventilasi yang terlalu berlebihan
juga dapat menyebabkan tekanan intratoraks yang terlalu tinggi dan
mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena ke jantung, sehingga
curah jantung berkurang dan survival rate menurun.8
Saat dilakukan RJP, tujuan utama pemberian bantuan napas
adalah untuk mempertahankan oksigenasi dan tujuan sekundernya
adalah mengeliminasi CO2. Tetapi, konsentrasi oksigen, volume tidal
dan frekuensi napas yang optimal untuk mencapai tujuan tersebut
belum diketahui dengan baik. Menit pertama pada henti jantung
karena VF, bantuan usaha napas tidak sepenting kompresi dada

11
karena konten oksigen dalam darah arteri yang tidak bersirkulasi
tetap sama sampai RJP dimulai, kadar oksigen tersebut akan tetap
adekuat hingga beberapa menit pertama. Pada pasien dengan henti
jantung yang telah berlangsung lama, ventilasi dan kompresi dada
sama pentingnya sebab, oksigen di dalam paru telah habis. Ventilasi
dan kompresi juga penting untuk pasien dengan asfiksia, seperti pada
anak dan korban tenggelam, sebab pasien-pasien tersebut berada
dalam keadaan hipksemia pada saat henti jantung. 8
Beberapa metode ventilasi, yaitu:9
a) Bantuan napas mouth-to-mouth
Untuk memberikan bantuan napas mouth-to-mouth,
buka jalan napas pasien, tutup hidung pasien, dan buat
penutup mouth-to-mouth yang kedap udara. Berikan satu
napas dalam satu detik dengan menarik napas seperti biasa
(bukan napas dalam), lalu berikan lagi bantuan napas kedua
dalam satu detik. Pada setiap pemberian napas,
pengembangan dada harus terlihat.
b) Bantuan napas mouth-to-barrier
Sebagian besar penolong menyatakan bahwa mereka
ragu apa bila harus memberikan bantuan napas mouth-to-
mouth dan menginginkan adanya pembatas. Risiko transmisi
penyakit melalui mulut sangat rendah, oleh karena itu masuk
akal untuk memulai bantuan napas dengan mau pun tanpa
pembatas.
c) Ventilasi mouth-to nose dan mouth-to-stoma
Pemberian bantuan napas mouth-to-nose
direkomendasikan apa bila kondisi mulut pasien tidak
mungkin untuk dilakukan (mulut terluka, tidak bisa dibuka,
penutupan mouth-to-mouth tidak dapat dicapai). Pemberian
bantuan napas mouth-to-stoma dapat dilakukan pada pasien

12
dengan stoma trakea. Alternatif lain untuk membuat
penutupan pada sekitar stoma adalah dengan sungkup waja
pediatrik, tetapi belum ada bukti mengenai keamanan,
efektivitas, atau pun kemungkinan dikerjakannya ventilasi -
mouth-to-stoma.
d) Bag and mask ventilation (BMV)
Ventilasi dengan BMV merupakan sebuah keahlian yang
memerlukan latihan agar kompeten. Metode BMV tidak
direkomendasikan untuk penolong yang sendiri. Metode ini
paling efektif dilakukan oleh dua penolong yang terlatih dan
berpengalaman, dimana satu orang membuka jalan napas dan
memasang sungkup wajah, satu orang lagi menekan bag
ventilasi. Kedua penolong harus memperhatikan adanya
pengembangan dada.

Gambar 2.4. Bag Mask Ventilation (BMV)

13
e) Ventilasi dengan advanced airway
Saat advanced airway, yaitu endotracheal tube (ETT),
laryngeal mask airway (LMA), dan combitube telah
terpasang, pemberian napas dilakukan setiap 6-8 detik (8-10
napas per menit) tanpa melakukan jeda pada kompresi dada.
Pembaharuan guideline AHA 2019 menyatakan bahwa, apa
bila ingin dilakukan pemasangan advanced airway,
supraglottic airway (SGA) dapat dipilih jika penolong kurang
handal dalam memasang ETT.

Gambar 2.5. endotracheal tube (ETT), laryngeal mask airway (LMA), dan combitube

14
2.2.3. Defibrilasi dengan Automated External Defibrilator (AED)
Literatur AHA menyatakan bahwa VF adalah penyebab henti
jantung yang paling sering dan survival rate tinggi apa bila defibrilasi
yang dilakukan dalam waktu singkat (3-5 menit), maka dari itu
defibrilator dipasang sesegera dan secepat mungkin apa bila
tersedia.6 Elektroda dipasang pada batas bahu kanan di bawah
klavikula dan sebelah kiri puting pada linea mid aksilaris kiri. Jumlah
energi yang diberikan bergantung pada jenis defibrilator yang
digunakan.2

Gambar 2.6. Lokasi Pemasangan Elektroda


Terdapat dua tipe defibrilator, yaitu monofasik dan bifasik.
Defibrilator monofasik memberikan aliran energi unidireksional,
sedangkan defibrilator bifasik memberikan aliran energi
bidireksional. Berdasarkan beberapa penelitian, aliran energi
bidireksi memiliki tingkat keberhasilan mengatasi VT dan VF yang
lebih tinggi. Defibrilator bifasik memerlukan energi kejut yang lebih

15
sedikit (120-200J) dibandingkan dengan defibrilator monofasik
(360J).2 Jeda akibat interupsi penggunaan AED harus sesingkat
mungkin, oleh karena itu apa bila terdapat dua penolong, salah satu
penolong harus tetap memberikan kompresi dada pada saat penolong
lain mengaktifkan respon kegawatdaruratan dan menyiapkan AED,
serta kompresi harus dilakukan sampai alat siap memberikan kejut
dan segera dilanjutkan setelah defibrilasi selesai dilakukan.6
2.3. Gangguan Irama Jantung
Aritmia jantung yang menyebabkan henti jantung tanpa denyut nadi
adalah VF, VT, pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Gangguan
irama yang dapat dilakukan defibrilasi adalah VF dan VT. Pemberian obat
memiliki kepentingan yang lebih sekunder, karena efikasi farmakologi obat-
obatan sulit dinilai dan dibuktikan. Setelah kompresi dada dan defibrilasi telah
dilakukan, penolong dapat memasang akses intravena untuk pemberian obat
sambil tetap melakukan kompresi dan ventilasi. 2

16
Gambar 2.7. Algoritma Henti Jantung Dewasa

2.3.1. VT dan VF
Bila irama VT/VF didapatkan pada pasien henti jantung,
berikan satu kejut dan segera lanjutkan kompresi dada hingga dua
menit, lalu evaluasi ulang irama jantung. Jika irama VT/VF menetap,
lakukan defibrilasi dengan irama yang ditingkatkan hingga maksimal
sambil tetap melakukan RJP. Jika VT/VF masih menetap setelah
dilakukan 1 – 2 kali siklus RJP-defibrilasi, maka vasopresor dapat
diberikan. Pemberian vasopressor pertama adalah epinefrin sebangan

17
1 mg secara intravena (IV) dan dapat diberikan setiap 3-5 menit. Jika
pasien tetap mengalami VT/VF, amiodaron sebagai antiaritmia yang
dapat meingkatkan keumgkinan terjadinya ROSC. Amiodarone
diberikan dengan dosis 300 mg IV bolus, dapat ditambahkan 150 mg
IV bolus bila VT/VF persisten. Setiap kali dilakukan pemberian obat
secara intravena, diberikan bolus cairan sebanyak 20 mL. Apa bila
akses intravena/intraoseus tidak bisa didapatkan, maka beberapa obat
dapat diberikan melalui ETT dengan dosis 2-10 kali dosis IV yang
direkomendasikan. Sebelum diberikan melalui ETT, obat dilarutkan
terlebih dahulu dengan 5 – 10 mL air steril. 2
2.3.2. Asistol dan PEA
Asistol adalah tidak adanya aktivitas listrik jantung dan sering
kali merupakan kejadian terminal. Sebagian besar asistol merupakan
kejadian yang ireversibel. Sedangkan PEA merupakan irama jantung
yang memiliki karakteristik terdapat serangkaian aktivitas listrik
jantung tanpa denyut nadi. Sangat penting untuk mengidentifikasi
penyebab PEA yang reversibel, contohnya hipovolemia, hipoksemia,
dan lainnya. Apa bila penyebab telah ditemukan, maka tata laksana
penyebab harus segera dilakukan.9

Tabel 2.3. Kemungkinan Penyebab Henti Jantung Reversibel

18
2.3.3. Bradikardia
Bradikardia didefinisikan sebagai laju denyut jantung di
bawah 60 kali per menit, tetapi bradikardia menjadi simptomatik saat
denyut jantung di bawah 50 kali per menit. Panduan AHA
merekomendasikan agar bradikardia tidak perlu diintervensi, kecuali
saat pasien mengalami gejala akibat perfusi jaringan yang tidak
adekuat akibat denyut jantung yang lambat. Tanda dan gejala perfusi
yang tidak adekuat yaitu, hipotensi, perubahan status mental, tanda-
tanda syok, nyeri dada iskemik, dan tanda edema paru akut. Tata
laksana awal bradikardia adalah pemberian atropin selagi
mempersiapkan alat pacu jantung atau agen kronotropik (dopamin 2-
20 mcg/kg/menit atau epinefrin 2-10 mcg/kg/menit). Dosis awal
atropin adalah 0,5 mg IV, dosis ini dapat diulang setiap 3-5 menit
dengan dosis maksimal 3 mg.9

Gambar 2.8. Algoritma Bradikardia

19
2.3.4. Takikardia
Takikardia merupakan denyut jantung dengan kecepatan di
atas 100 kali per menit, tetapi takikardia baru akan menjadi
simptomatik bila denyut jantung melebihi 150 kali per menit, kecuali
terdapat kelainan ventrikular yang mendasari. Pada penanganan awal
takikardia, tentukan apakah pasien dalam kondisi tidak stabil (nyeri
dada iskemik, hipotensi, perubahan status mental, tanda syok, gejala
edema pulmonal akut). Hipoksemia merupakan penyebab takikardia
yang paling sering, oleh karena itu, evaluasi adanya tanda-tanda
peningkatan usaha napas pada pasien, seperti peningkatan laju napas,
retraksi, pernapasan abdominal paradoksikal, dan saturasi oksigen
rendah.9

Gambar 2.9. Algoritma Takikardia

20
2.4. Perawatan Pasca Resusitasi
Setelah berhasil melakukan resusitasi dan didapatkan ROSC, pasien
dirawat di unit perawatan intensif untuk pengobatan definitif dan suportif.
Perawatan pasca henti jantung termasuk memperbaiki fungsi kardiopulmoner
secara optimal agar perfusi organ yang adekuat dapat tercapai. Perawatan
pasca resusitasi memerlukan peralatan kompleks, bila kondisi henti jantung
terjadi pada lokasi yang tidak dilengkapi dengan perangkat perawatan
resusitasi, maka pasien harus dirujuk ke lokasi yang lebih lengkap. Obat-
obatan vasopresor dan inotropik sering kali dibutuhkan pada periode sesaat
setelah resusitasi oleh karena fungsi myokard yang belum baik dan
hemodinamik yang tidak stabil.2
Setelah ROSC, oksigenasi dan ventilasi harus tetap di evaluasi dan
dioptimalkan. Pemasangan advanced airway dapat dipertimbangkan bila
belum dilakukan, tetapi hiperventilasi harus dihindari. Target oksigenasi pada
pasien ROSC adalah saturasi lebih dari 94% dan ventilasi PaCO 2 adalah 35-
45 mmHg. Tata laksana dilakukan bila terdapat hipotensi, hindari tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau mean arteri pressure (MAP) kurang
dari 65 mmHg. Hal tersebut dapat dicapai dengan memberian cairan intravena
dan obat-obatan vasoaktif. Saat ini, belum ada rekomendasi mengenai target
tekanan darah arterial, curah jantung, saturasi oksigen vena, atau pun urine
output. Kemungkinan penyebab henti jantung dievaluasi dengan lengkap.
Lakukan elektrokardiografi (EKG), ekokardiogram, dan pemeriksaan enzim
jantung secara serial. EKG harus segera dilakukan secepat mungkin setelah
ROSC untuk mengevaluasi adanya ST elevasi. Jika ditemukan adanya ST
elevasi, angiografi koroner harus secepatnya dilakukan.2
Sebagai tambahan, pemulihan neurologis juga merupakan komponen
vital saat resusitasi dan pasca resusitasi. Elektroensefalogram (EEG) dapat
dilakukan untuk mengevaluasi bila terdapat kejang. Temperatur pasien ROSC
perlu dimonitor dengan ketat, hipertermia harus dihindari karena dapat
memperberat kerusakan akibat iskemia otak. AHA merekomendasikan

21
hipotermia terapeutik dengan suhu 32oC – 36oC untuk pasien pasca resusitasi.
Peningkatan konsentrasi gula darah setelah resusitasi pasca henti jantung
berkaitan erat dengan hasil neurologis, namun perbaikan kondisi neurologis
dengan kontrol gula darah yang ketat juga belum diverifikasi. Tetapi
bagaimana pun juga, kadar gula darah pasca resusitasi dengan ketat untuk
menghindari hipoglikemia dan hiperglikemia.2

Gambar 2.10. Perawatan Pasca Resusitasi

2.5. Resusitasi pada Kondisi Khusus


2.5.1. Tenggelam
Durasi dan tingkat keparahan hipoksia akibat tenggelam
merupakan satu-satunya penentu hasil resusitasi, oleh karena itu,
penolong harus melakukan RJP terutama pemberian bantuan napas
sesegera mungkin setelah korban dikeluarkan dari air. Dalam
menolong korban tenggelam, AHA merekomendasikan pemberian

22
RJP sebanyak lima siklus (2 menit) terlebih dahulu sebelum
mengaktifkan sistem respon kegawatdaruratan.
2.5.2. Hipotermia
Pada pasien tidak sadar dengan hipotermia, penilaian
pernapasan dan denyut jantung akan sulit, sebab pernapasan dan
denyut jantung akan menjadi sangat lambat. Bila pasien tidak sadar
dan tidak bernapas, maka lakukan protokol RJP henti jantung. Untuk
mencegah kehilangan panas tubuh yang lebih lanjut, lepaskan baju
korban yang basah, lindungi korban dari udara dingin atau hangatkan
korban, jika memungkinkan, berikan ventilasi dengan udara hangat
atau oksigen yang sudah dihumidifikasi.
2.5.3. Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing
Obstruksi jalan napas oleh benda asing jarang terjadi, tetapi
merupakan kejadian fatal yang dapat mengakibatkan kematian.
Obstruksi jalan napas orang dewasa sering kali terjadi ketika makan,
sedangkan pada anak juga sering terjadi saat makan atau bermain.
Kejadian tersedak pada umumnya terjadi saat terdapat orang lain
yang menyaksikan dan biasanya penolong dapat melakukan
intervensi saat korban masih responsif. 8
Benda asing dapat menyebabkan obstruksi jalan napas ringan
hingga berat. Penolong harus memberikan pertolongan saat korban
menunjukkan tanda tersedak, yaitu silent cough, sianosis, bunyi
napas stridor, dan tidak dapat berbicara atau pun bernapas dengan
beberapa cara. Korban biasanya akan mencengkram lehernya,
penolong harus segera bertanya “apakah anda tersedak?”, jika korban
mengangguk tanpa menjawab, maka kondisi ini menunjukkan bahwa
korban mengalami obstruksi napas berat, dan penolong harus segera
melakukan tindakan.8
Jika korban mengalami obstruksi napas ringan, korban akan
batuk keras, sebaiknya biarkan korban batuk dan jangan lakukan

23
intervensi. Usaha pertolongan dilakukan apa bila pasien responsif
mengalami tanda-tanda obstruksi napas berat, penolong dapat
melakukan back slaps, abdominal thrust, atau chest thrust. Bila
pasien tersedak menjadi tidak sadar, maka RJP segera dilakukan
sambil mengaktifkan sistem respon kegawatdaruratan. Setiap kali
jalan napas dibuka saat dilakukan ventilasi, periksa bagian dalam
mulut korban untuk memastikan adanya benda asing, bila ditemukan
benda asing, segera keluarkan.8

Gambar 2.11. Back slaps, abdominal thrust, dan chest thrust

24
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan

RJP adalah sebuah rangkaian tindakan yang membantu oksigenasi dan


sirkulasi ke seluruh tubuh saat terjadi henti jantung dan merupakan dasar
untuk menyelamatkan nyawa. Saat ini, rangkaian RJP dikerjakan dengan
urutan CAB (circulation, airway, breathing) dikarenakan inisiasi kompresi
dada kualitas tinggi meningkatkan kemungkinan ROSC. Kompresi dada
berkualitas dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali per menit, kedalaman 5-
6 cm (2-2,4 inchi), membiarkan recoil dinding dada, dan menghindari
interupsi. Tata laksana jalan napas tetap dilakukan, tetapi harus dengan cepat,
efisien, dan interupsi kompresi dada yang minimal. Rasio kompresi-ventilasi
untuk orang dewasa adalah 30:2, tetapi apa bila advanced airway telah
terpasang, maka pemberian ventilasi dilakukan setiap 6-8 detik tanpa interupsi
kompresi dada.

Aritmia jantung yang menyebabkan henti jantung adalah VF, VT, PEA,
dan asistol. Gangguan irama yang dapat dilakukan defibrilasi adalah VF dan
VT. Dalam melakukan defibrilasi, durasi interupsi harus dibuat sesingkat
mungkin dengan melakukan kompresi dada sampai tepat sebelum
memberikan kejut, setelah kejut sudah diberikan, kompresi dada segera
dilanjutkan.

Apa bila ROSC terjadi, pasien dirawat dalam unit perawatan intensif
untuk mendapatkan tata laksana definitif. Pemeriksaan secara lengkap dan
menyeluruh dilakukan untuk menemukan penyebab utama henti jantung dan
atasi penyebab.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Truong H, Low L, Kern K. Current Approaches to Cardiopulmonary
Resuscitation. Current Problems in Cardiology. 2015;40(7):275-313.
2. Pardo M, Miller R, Miller R. Basics of Anesthesia. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2018.
3. Penanganan Penyakit Jantung Harus Sesuai Ilmu Kedokteran Terkini dan
Mengutamakan Keselamatan Pasien. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia available at:
https://www.depkes.go.id/article/print/14112700011/penanganan-
penyakitjantung-harus-sesuai-ilmu-kedokteran-terkini-dan-
mengutamakankeselamatan-pasien.html
4. Heart Disease and Stroke Statistics. American Heart Association. Available at:
https://www.heart.org/en/about-us/heart-and-stroke-association-statistics
5. CPR is Key to Survival of Sudden Cardiac Arrest. American Heart Association.
Available at: https://www.heart.org/en/news/2018/07/12/cpr-is-key-to-
survival-of-sudden-cardiac-arrest
6. AHA Guidelines Update for CPR and ECC. Circulation 2015.
7. Podrid P. UpToDate. 2019. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/pathophysiology-and-etiology-of-sudden-
cardiac-arrest
8. AHA Guidelines for CPR and ECC. Circulation 2010.
9. Miller R, Cohen N. Miller's anesthesia. 9th ed. Philadelphia, Elsevier,
Saunders; 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai