Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEGAWATDARURAATAN CARDIAC ARRES ( HENTI JANTUNG )


DENGAN PENATALAKSANAAN RESUSITASI JANTUNG PARU
(RJP)

DI SUSUN
OLEH :

NAMA : HARIYANI
NIM : BK2111144

STIKES GRAHA EDUKASI MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGAANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "kegawatdaruraatan cardiac arres (henti
jantung) dengan penatalaksanaan resusitasi jantung paru (RJP )" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Basic Life Support. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Resusitasi Jantung Paru paad ibu hamil,
bayi dan anak bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassaar, 23 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan...................................................................................... 3
C. Manfaat Penulisan.................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Cardiac Arres (Henti Jantung).............................................. 4


B. Pengertian Resusitasi Jantung Paru......................................................... 5
C. Etiologi Henti Jantung............................................................................. 6
D. Manifestasi Klinis Henti Jantung............................................................ 7
E. Penatalaksanaan Henti Jantung............................................................... 7
F. Konsep Basic Life Support..................................................................... 8
G. Konsep Resusitasi Jantung Paru Yang Berkualitas................................. 11
H. Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Resusitasi Jantung Paru.................. 12
I. Langkah-Langkah RJP pada Ibu Hamil, Bayi dan Anak........................ 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................. 22
B. Saran........................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian yang tiba-tiba menuntut tindakan


segera yang mungkin karena epidemi, kejadian alam, untuk bencana teknologi,
perselisihan atau kejadian yang disebabkan oleh manusia (WHO, 2012 dalam Putri dkk,
2019). Kondisi gawat darurat dapat terjadi akibat dari trauma atau non trauma yang
mengakibatkan henti nafas, henti jantung, kerusakan organ dan atau perdarahan.
Kegawatdaruratan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja, biasanya berlangsung
secara cepat dan tiba-tiba sehingga tak seorangpun dapat memprediksikan. Oleh sebab
itu, pelayanan kedaruratan medik yang tepat dan segera sangat dibutuhkan agar kondisi
kegawatdaruratan dapat diatasi. Dengan pemahaman yang utuh tentang konsep dasar
gawat darurat, maka angka kematian dan kecacatan dapat ditekan serendah mungkin
(Sudiharto, 2013 dalam Putri dkk, 2019).

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah


kematian biologis dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan napas
(kematian klinis) ke fungsi yang optimal (Muttaqin, 2009). RJP terdiri dari pemberian
bantuan sirkulasi dan napas, dan merupakan terapi umum, diterapkan pada hampir semua
kasus henti jantung atau napas. kompresi dan ventilasi merupakan tindakan yang efektif
dalam melakukan RJP. Orang awam dan orang terlatih dalam bidang kesehatanpun dapat
melakukan tindakan RJP (Kaliammah, 2013 ).

Angka kematian dunia akibat penyakit jantung koroner berkisar 7,4 juta pada tahun
2012 (WHO, 2015). Penyakit jantung koroner (PJK) atau disebut penyakit arteri koroner
dapat menyebabkan masalah listrik yang menyebabkan SCA ( Sudden Cardiac Arrest)
(National Heart Lung and Blood Institute, 2011). Sebagian besar kasus henti jantung
disebabkan oleh penyakit arteri koroner (Mayo Clinic, 2012).

Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh


Balitbangkes pada tahun 2013 bahwa prevalensi nasional penyakit jantung koroner
sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi untuk kejadian henti jantung belum didapatkan.
Namun hasil riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan data bahwa kematian yang

iii
disebabkan oleh penyakit jantung mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3
tahun. Sedangkan data yang diperoleh WHO pada tahun 2002 di Indonesia sudah terjadi
220 372 kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung yang memiliki resiko
tinggi henti jantung mendadak (WHO, 2014).

Upaya untuk mengurangi angka kematian akibat henti jantung, maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang tepat dalam penanganan pasien henti jantung. Salah satu
penanganan yang dikembangkan adalah resusitasi jantung paru. Hingga saat ini RJP
merupakan penatalaksanaan yang sangat vital dalam kasus henti jantung. American
Heart Asociation menyebutkan bahwa kejadian henti jantung dapat terjadi dimana saja,
penanganan RJP pada saat kejadian dapat membantu mengurangi resiko kematian. Henti
jantung dapat sangat mematikan, namun ketika RJP dan defibrilasi dapat diberikan
secepatnya, dalam banyak kasus jantung dapat bedenyut kembali (AHA,2015).

Menurut World Health Organization (WHO), Cardiovaskuler diseases (CVDs)


merupakan penyebab nomor satu kematian secara global, disebutkan juga lebih banyak
orang meninggal setiap tahunnya akibat CVDs dibandingkan penyakit lain. Diperkirakan
17,9 juta orang meninggal karena CVDs pada tahun 2016, mewakili 31% dari semua
kematian global. Dari kematian ini, 85% disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.
CVD sendiri merupakan penyebab awal terjadinya cardiac arrest (henti jantung).Cardiac
arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba guna mempertahankan
sirkulasi normal darah yang berfungsi untuk menyuplai oksigen ke otak dan organ vital
lainnya, yang ditandai dengan tidak ditemukan adanya denyut nadi akibat ketidakmapuan
jantung untuk dapat berkontraksi dengan baik. Kematian pada cardiac arrest terjadi
ketika jantung secara tibatiba berhenti bekerja dengan benar(Muthmainnah, 2019).

Henti jantung membutuhkan intervensi atau tindakan darurat yang cepat dan tepat
karena dapat terjadi pada semua kelompok umur. Intervensi penyelamatan jiwa sangatlah
penting untuk mencegah kematian akibat henti jantung (Kose dkk, 2019). Tindakan yang
dapat digunakan sebagai intervensi 3 penanganan kegawatdaruratan yang dapat
dilakukan oleh masyarakat dari kalangan manapun adalah Basic Life Support (BLS) atau
Bantuan Hidup Dasar (BHD). Berdasarkan penelitian BLS akan memberikan hasil yang
baik jika dilakukan dalam waktu 5 menit pertama saat korban mengalami henti jantung
dan henti nafas. Tindakan bantuan hidup dasar secara definisi merupakan layanan yang

iv
dilakukan terhadap korban yang mengancam jiwa sampai korban tersebut mendapat
pelayanan kesehatan yang paripurna (Endiyono, 2018).

Basic Life Support (BLS) adalah suatu tindakan pada saat pasien ditemukan dalam
keadaan tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar, atau tidak bernafas, maka periksa respon
pasien. Bila pasien tidak merespon, aktifkan sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan
hidup dasar (W.Sudoyo dkk., 2015). Pada kasus henti jantung, bantuan hidup dasar yang
dilakukan adalah Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) atau yang biasa disebut
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yaitu sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk
mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan
henti nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas
(Hardisman, 2014 dalam Ngirarung dkk., 2017). Bantuan Hidup Dasar dalam hal ini
yaitu tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan penentu penting dalam
kelangsungan hidup korban henti jantung. Hal ini berarti membutuhkan peningkatan
jumlah bystander BHD di lingkungan masyarakat (AHA, 2010 dalam Ngirarung dkk,
2017).

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian cardiac arres (Henti Jantung)
2. Untuk mengetahui pengertian Resusitasi Jantung Paru (RJP)
3. Untuk mengetahui etiologi cardiac arres (Henti Jantung)
4. Untuk mengetahui manifestasi Klinis cardiac arres (Henti Jantung)
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan cardiac arres (Henti Jantung)
6. Untuk mengetahui Konsep Basic Life Support
7. Untuk mengetahui Konsep Resusitasi Jantung Paru yang berkualitas
8. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi resusitasi jantung paru
9. Untuk mengetahui Langkah-langkah resusitasi jantung paru pada ibu hamil, bayi dan
anak

C. Manfaat Penulisan
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat mengetahui atau mengidentifikasi
pengetahuan dengan keterampilan tenaga kesehatan dalam penanganan kasus gawat
darurat menggunakan prinsip RJP.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian cardiac arres (Henti Jantung)


Cardiac arrest atau yang biasa dikenal henti jantung merupakan suatu kondisi
dimana terjadinya kegagalan organ jantung untuk mencapai curah jantung yang adekuat,
yang disebabkan oleh terjadinya asistole (tidak adanya detak jantung) maupun disritmia
(Park et al., 2020). Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa henti jantung dapat juga
dikatakan sebagai henti sirkulasi. Karena dalam (Ngurah & Putra, 2019) menyebutkan
bahwa henti jantung terjadi ketika jantung telah berhenti berdetak yang menyebabkan
terhentinya alirah darah di tubuh sehingga mengakibatkan tidak teralirkannya oksigen ke
seluruh tubuh. Tidak ada pasokan oksigen dalam tubuh akan berdampak fatal, yaitu
kerusakan otak. Menurut (Irianti, Irianto, & Anisa Nuraisa Jausal, 2018) Cardiac arrest
atau henti jantung adalah keadaan hilangnya fungsi jantung yang tiba tiba yang ditandai
dengan terjadinya henti napas dan henti jantung.
Apnea atau henti napas merupakan suatu kondisi berhentinya proses pernapasan
dalam waktu singkat (beberapa detik hingga satu atau dua menit) tetapi dapat juga terjadi
dalam jangka panjang.
Bernapas merupakan suatu aktivitas biologis yang dikendalikan secara otonom oleh
pusat pernapasan yang terletak pada batang otak (kumpulan dari saraf yang
menghubungkan otak dengan tulang belakang).Pusat pernapasan mengirimkan sinyal
yang akan meregulasi kontraksi diafragma dan dada, dengan mengendalikan kecepatan
dan banyaknya udara yang dapat dihirup. Kegagalan pusat pernapasan untuk mengatur
pernapasan normal disebut apnea. Kondisi ini dapat terjadi pada bayi, khususnya yang
terlahir prematur dan dapat dideteksi dengan alarm apnea. Apnea juga dapat terjadi pada
seseorang yang memiliki kerusakan pada batang otak dan dapat diikuti
dengan stroke. Pada apnea obstruktif, pernapasan dicegah dengan adanya penghalang
dalam jalur pernapasan. Hal ini sering terjadi pada saat tidur sehingga sering
disebut sleep apnea, yang akan menghalangi jalur pernapasan bagian atas selama tidur.

vi
B. Pengertian Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Resusitasi jantung paru merupakan pertolongan medis untuk mengembalikan


kemampuan napas dan sirkulasi darah yang terhenti karena kondisi atau situasi tertentu.
Tindakan ini perlu dilakukan secara cepat dan tepat sebagai langkah awal
menyelamatkan nyawa seseorang. Resusitasi jantung paru (RJP) atau disebut
juga CPR merupakan upaya pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti
napas dan henti jantung karena berbagai alasan, seperti serangan jantung, kecelakaan,
atau tenggelam.

Tindakan ini perlu dilakukan sesegera mungkin, sebab aliran darah dan sistem
pernapasan yang terhenti bisa menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian hanya
dalam waktu 4–6 menit.

Resusitasi jantung paru/RJP adalah prosedur penyelamatan darurat yang


dilakukan saat terjadinya henti jantung henti napas. RJP bayi adalah usia di bawah 1
tahun, tidak termasuk neonatus (usia 0-28 hari). Sedangkan yang dimaksud dengan anak
adalah usia 1 tahun sampai awal masa pubertas (usia sekitar 12 tahun). Sejak pubertas
anak disebut sebagai remaja, guideline resusitasi yang diterapkan adalah guideline
resusitasi dewasa.
RJP yang dilakukan dengan segera dapat meningkatkan harapan hidup. Penyebab
terjadinya henti jantung pada bayi dan anak berbeda dengan dewasa, jarang disebabkan
oleh penyakit jantung. Sebagian besar terjadi karena perburukan progresif fungsi
napas/hipoksia) dan kegagalan sirkulasi/syok. Oleh karena itu, pemberian bantuan napas
atau ventilasi memiliki peran penting dalam tatalaksana kegawatdaruratan pada bayi dan
anak. Kombinasi bantuan ventilasi dan kompresi dada memiliki luaran yang lebih baik
dari pada kompresi dada saja.

vii
Terdapat perbedaan anatomi jalan napas antara anak dan dewasa, antara lain lidah
bayi berukuran relatif lebih besar dibanding mulut/orofaring sehingga memiliki tendensi
untuk kolaps dan obstruksi jalan napas. Kepala bayi memiliki oksiput menonjol yang
mengakibatkan posisi sniffing saat berbaring telentang, sehingga jalan napas bisa lebih
terbuka dengan meletakkan penyangga pada bahu. Epiglotis bayi dan anak lunak,
pendek, sempit, dan membentuk sudut dengan sumbu trakea sehingga menyulitkan
pengontrolan epiglottis saat melakukan intubasi. Proyeksi laring pada anak terletak pada
vertebra servikalis ke-3 dan ke-4, lebih tinggi dari dewasa.
Saat ini tindakan resusitasi dengan urutan C-A-B, yaitu compression/kompresi
dada, airway/jalan napas, dan breathing/pernapasan, diperkenalkan pada
tindakan resusitasi dewasa. Urutan C-A-B bertujuan untuk menyelamatkan jantung dan
terbukti lebih baik dibanding urutan A-B-C. Meskipun belum ada penelitian pada bayi
dan anak, tindakan resusitasi dengan urutan C-A-B juga dilakukan pada bayi dan anak
karena menunda kompresi dada dan menunggu pemeriksaan nadi dapat memperburuk
luaran resusitasi.

C. Etiologi Cardiac Arrest/ Henti Jantung


Dalam (Andrianto, 2020) menjabarkan henti jantung disebabkan karena
adanya gangguan pada kelistrikan jantung yang menyebabkan keadaan-keadaan
mengancam jiwa misalnya seperti aritmia maligna atau adanya masalah pada irama
jantung. Selain itu, cardiac arrest atau henti jantung juga dapat dipicu oleh kelainan
yang reversible, seperti hipoksia, 8 hipovelemia, hiportemia, tension pneumothorax,
tamponade cardiac, dan hydrogen ion (asidosis).
Menurut (Muttaqin, 2012) terdapat beberapa penyabab lain dari henti jantung,
yaitu:
a. Disebabkan karena pernafasan Pemutusan pemasokan oksigen di otak dan
seluruh organ dapat dikatakan sebagai penyebab ataupun konsekuensi dari
henti jantung. Secara medis, keadaan kurangnya oksigen dalam otak disebut
hipoksia yang sebabkan adanya gangguan fungsi respirasi atau gangguan
pertukaran gas di paru. Hipoksia dapat terjadi akibat gangguan jalan napas,
misalnya ada sumbatan pada pangkal lidah di hipofaring pada orang yang
kesadarannya menurun, atau hipoksia juga dapat terjadi pada kasus sumbatan
napas yang dikarena aspirasi isi lambung dan/atau cairan lambung. Selain itu,

viii
dapat pula disebabkan oleh depresi pernafasan atau keracunan, kelebihan obat,
bahkan kelumpuhan otototo pernafasan.
b. Sirkulasi Syok hipovolemik yang terjadi karena pendarahan dapat menjadi
penyebab henti jantung. Ketika syok hipovolemik terjadi, tubuh kekurangan
plasma dan cairan vascular, hal tersebut mengakibatkan penurunan transport
oksigen ke organ-organ sehingga dapat mengakibatkan henti jantung. Selain
itu, reaksi anafilatik terhadap obat juga dapat menjadi penyebab henti jantung.

D. Manifestasi Klinis Cardiac Arrest/ Henti Jantung

Adapun manifestasi klinis atau tanda-tanda pasien mengalami cardiac arrest atau
henti jantung menurut (Andrianto, 2020) adalah sebagai berikut.

a. Pada pasien tidak teraba nadi di arteri besar (karotis, radialis maupun femoralis)
b. Pernafasan pasien tidak normal, pada beberapa kasus tidak normalnya pernafasan
dapat terjadi meskipun jalan nafas sudah paten
c. Pasien tidak berespon terhadap rangsangan verbal maupun rangsangan nyeri.

E. Penatalaksanaan Cardiac Arrest/ Henti Jantung


Penatalaksaan henti jantung perlu dilaksanakan secepatnya. Berdasarkan
rekomendasi (AHA, 2020) mengenai alur penanganan pasien henti jantung yang disebut
chain of survival atau “Rantai Bertahan Hidup”, dimana tiap rantai ini saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Rantai Bertahan Hidup ini terdiri dari dua tipe,
yaitu In Hospital Cardiac Arrest (IHCA) atau kejadian henti jantung di rumah sakit, dan
Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) atau kejadian henti jantung diluar rumah sakit.
Penatalaksanaan henti jantung dengan menggunakan prinsip IHCA dimulai dari
pengenalan awal dan pencegahan, segera mengaktifkan emergency response atau sistem
tanggap darurat, pemberian RJP berkualitas, melakukan defibrilasi, jika pasien sudah
kembali normal diberikan perawatan pasca henti jantung dan pemulihan (AHA, 2020).
Sedangkan penatalaksanaan henti jantung dengan menggunakan prinsip OHCA dimulai
dengan segera 10 mengaktifkan emergency response atau sistem tanggap darurat,
pemberian RJP berkualitas tinggi, melakukan defibrilasi, saat dirujuk kerumah sakit
diberikan resusitasi lanjutan, jika pasien sudah normal diberikan perawatan pasca henti
jantung dan pemulihan (AHA, 2020).

ix
F. Konsep Basic Life Support (BLS)
1. Pengertian Basic Life Support
Pengertian Basic Life Support adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa
ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar BLS meliputi penanganan langsung
terhadap sudden cardiac arrest (SCA) dan sistem tanggap darurat, cardiopulmonary
resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat
dengan (AED) automated external defibrillator (Berg, et al 2010)
Bantuan hidup dasar atau Basic Life Support merupakan sekumpulan
intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital
organ pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian
kompresi dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014). Menurut Krisanty (2009)
bantuan hidup dasar adalah memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan
ventilasi pada pasien henti jantung atau henti nafas melalui RJP/ CPR.
Menurut AHA Guidelines tahun 2015, tindakan BHD ini dapat disingkat
teknik ABC pada prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) yaitu:
 A (Airway): Menjaga jalan nafas tetap terbuka
 B (Breathing): Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
 C (Circulation): Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.

x
2. Tujuan Basic Life Support

Adapun tujuan Basic Life Support menurut (AHA, 2015) antara lain:

a. Mengurangi tingkat morbiditas dan kematian dengan mengurangi penderitaan.


b. Mencegah penyakit lebih lanjut atau cedera.
c. Mendorong pemulihan

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif
pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi
buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan
sendiri secara normal 15 (Latief & Kartini 2009). Sedangkan menurut Alkatri
(2007), tujuan utama dari bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan oksigenasi
darurat untuk mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-
oksigenasi ke jaringan tubuh.

3. Indikasi Basic Life Support


Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung didalam bantuan
hidup dasar sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest karena
fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah sakit dengan
fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi,
overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest (Alkatri, 2007).
a. Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena
kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan tersebut
bias disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau penyakit sekunder non
jantung. Henti jantung adalah bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak
beredar dan oksigen tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik
(Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik.
Faktor intrinsik berupa penyakit kardiovaskular seperti asistol, fibrilasi ventrikel
dan disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik adalah kekurangan oksigen akut
(henti nafas sentral/perifer, sumbatan jalan nafas dan inhalasi asap); kelebihan
16 dosis obat (digitas, kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin
dan isoprenalin); gangguan asam basa/elektrolit (hipo / hiperkalemia,
hipo/hipermagnesia, hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok listrik,

xi
tenggelam dan cedera kilat petir); refleks vagal; anestesi dan pembedahan
(Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (a. karotis, a.
femoralis, a. radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tidak bereaksi dengan
rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar (Latief & Kartini 2009).
b. Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti napas adalah berhentinya pernafasaan spontan disebabkan karena
gangguan jalan nafas persial maupun total atau karena gangguan dipusat
pernafasaan. Tanda dan gejala henti napas berupa hiperkarbia yaitu penurunan
kesadaran, hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir,
serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lain (Latief & Kartini 2009).
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Jika henti napas mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti
jantung yang mungkin menjadi fatal (Latief & Kartini 2009)
c. Tidak sadarkan diri
4. Rantai keselamatan dan Langkah-Langkah Basic Life Support
Rantai keselamatan dan langkah-langkah Basic Life Support menurut AHA
(2015) antara lain:

xii
G. Konsep Resusitasi Jantung Paru yang berkualitas
Resusitasi jantung paru yaitu suatu tindakan pertolongan pertama yang diberikan
pada korban dengan keadaan henti napas maupun henti jantung disebut bantuan hidup
dasar. Tindakan yang dilakukan dalam bantuan hidup dasar merupakan tindakan
pemberikan napas buatan dan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien (Wiliastuti,
Anna, & Mirwanti, 2018).
Resusitasi (resuscitation) yang berarti “menghidupkan kembali” merupakan sebuah
usaha yang dilakukan untuk mencegah timbulnya 11 episode henti jantung yang
berakibatkan kematian. Jika penanganan tidak segera dilaksanakan pasien dengan
kondisi henti jantung dapat mengalami kematian dalam waktu yang sangat singkat
(sekitar 4-6 menit) (Andrianto, 2020). Salah satu penatalaksanaan henti jantung dapat
berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP). Tindakan yang menjadi salah satu terapi segera
untuk kasus henti jantung dan dapat diterapkan pada semua kasus henti napas maupun
jantung ini terdiri dari pemberian bantuan napas dan sirkulasi pada pasien.
Dalam (Rilantono, 2012) memaparkan prinsip utama yang mendasari Resusitasi
Jantung Paru (RJP) yaitu:
a. Ketepatan.
Tujuan dari terapi ini adalah mengembalikan pasien pada kehidupan yang
berkualitas, maka dari itu sebuah ketepatan dalam pemberian RJP sangat penting.
Jika tidak memungkinkannya menghasilkan RJP yang berkualitas, maka
pertimbangkan untuk tidak perlu dilakukannya RJP. Pada banyak kasus, terdapat
label untuk tidak mengharuskan dilakukannya resusitasi (do not resuscitate/ DNR),
hal tersebut boleh dilakukan berdasarkan keadaan sebagai berikut:
 Kemungkinan untuk berhasil kecil (berhubungan dengan usia dan
penyakit).
 Permintaan pasien maupun keluarga/kerabat pasien.
 Kemungkinan untuk mengembalikan pasien ke hidup yang berkualitas
berlangsung lama (Rilantono, 2012).
b. Kecepatan.
Pasien dengan keadaan henti jantung memiliki waktu yang singkat. Jika
penanganan tidak segera dilaksanakan pasien dengan kondisi henti jantung dapat
mengalami kematian dalam waktu sekitar 4-6 menit (Andrianto, 2020). Maka dari
itu, kecepatan merupakan salah satu hal yang sangat penting diperhatikan saat RJP

xiii
setelah ketepatan. Karena, jika penolong terlambat beberapa detik saja,
kemungkinan terburuknya adalah pasien tersebut akan berujung kematian.

H. Faktor-faktor yang mempengaruhi Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Pemberian Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien henti jantung
merupakan sebuah kunci utama untuk mengembalikan hidup pasien. Pelaksanaan RJP
tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksaan RJP yang
berkualitas untuk pasien dengan cardiac arrest atau henti jantung. Menurut (Kaminska et
al., 2018) faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan RJP yang buruk adalah kurang
optimalnya pelatihan yang diberikan, kurangnya standarisasi, 16 serta pelatihan yang
jarang dilakukan. Pelatihan merupakan hal penting dalam pelaksanaan RJP yang
berkualitas, karena dengan dilakukannya pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan
serta kualitas RJP yang diberikan (Kaminska et al., 2018). Dalam penelitian (Ardiansyah
et al., 2019) menjabarkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian kompresi
dada atau RJP adalah sebagai berikut:
1. Usia
Kelompok usia dibawah 35 tahun lebih berpotensi mampu untuk melakukan
RJP yang berkualitas selama 5 siklus. Dalam penelitian (Ardiansyah et al., 2019 ini
juga menyebutkan bahwa usia < 35 tahun memiliki performa yang lebih berkualitas
dibandingkan usia 35-60 tahun. Hal ini didasari oleh teori yang menjelaskan bahwa
usia 25 tahun mampu mengambil volume oksigen maksimal normal sebesar 47,7
ml/kg/menit. Namun, volume oksigen ini akan menurun sekitar 10 mg/kg/menit
pada usia 35 tahun keatas, sehingga ketahanan tubuh selama beraktivitas akan
menurun pula (Ardiansyah et al., 2019).
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mampu lebih efektif dalam melakukan
RJP yang berkualitas daripada perempuan. Laki-laki memiliki peluang untuk
melakukan kompresi dada yang berkualitas 3,85 kali lebih besar daripada
perempuan (Ardiansyah et al., 2019). Terdapatnya hormon testosteron pada laki-laki
mampu menstimulasi produksi eritropoitin pada ginjal dan akan memproduksi sel
darah merah, selain itu tingginya proposi kadar hemoglobin laki-laki yang
menyebabkan laki-laki mampu lebih 17 maksimal dalam pengambilan volume
oksigen, sehingga mampu melakukan aktivitas lebih baik daripada perempuan
(Ardiansyah et al., 2019).

xiv
3. Index Massa Tubuh
Dalam (Syukra Alhamda & Yustina Sriani, SKM., 2015) penggunaan Indeks
Massa Tubuh atau IMT hanya dilakukan pada orang dewasa yang berumur > 18
tahun, pengukuran ini tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan
olahragawan. Adapun pengukuran IMT ini menggunakan rumus berikut:
Berat badan (kg)
IMT =
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Menurut WHO dalam buku (Syukra Alhamda & Yustina Sriani, SKM., 2015)
menyebutkan bahwa hasil IMT memiliki 4 klasifikasi, yaitu <18,5 merupakan berat
badan kurang (Underweight), rentang 18,5-22,9 merupakan kategori berat badan
normal, rentang 23-24,9 merupakan kategori kelebihan berat badan (Overweight)
dengan risiko, dan rentang 25-29,9 termasuk dalam kategori obesitas.
Index Massa Tubuh (IMT) berbanding terbalik dengan status ketahanan
kardiorespirasi, semakin tinggi IMT, semakin rendah status ketahanan
kardiorespirasi. Jika status kardiorespirasi rendah maka seorang individu akan cepat
kelelahan. Dapat disimpulkan bahwa IMT memiliki hubungan dengan pemberian
RJP berkualitas (Ardiansyah et al., 2019).
4. Kelelahan
Dalam banyak penelitian menyebutkan bahwa pemberian RJP pada pasien
menyebabkan kelelahan. Jika seorang individu kelelahan maka kecepatan dan
kedalaman dalam pemberian RJP sudah tidak dapat dikatakan adekuat (Ardiansyah
et al., 2019). Hal ini didasarkan oleh teori yang menjelaskan bahwa jika kontraksi
otot dilakukan lebih dari 5-10 detik maka beresiko terjadinya proses glikolisis
anaerob yang sumber utamanya adalah glikogen. Ketika glikogen pecah, maka
terjadinya peningkatan kadar asam laktat yang menyebabkan individu mengalami
kelelahan (Ardiansyah et al., 2019).
5. Frekuensi Pelatihan dan Faktor Pengetahuan
Ketika individu mengikuti sebuah pelatihan, maka adanya perubahan perilaku
dan pengetahuan pada individu tersebut. Individu yang melalukan pelatihan berulang
secara aktif akan meningkatkan kepercayaan diri, kemauan untuk menolong dan
kemampuan/ skill dalam melakukan RJP yang berkualitas. Selain itu, faktor
pengetahuan juga sangat mempengaruhi dalam pemberian RJP yang berkualitas.
Dengan adanya peningkatan pengetahuan atau memiliki pengetahuan yang lebih

xv
maka akan meningkatkan performa dalam pemberian RJP yang berkualitas
(Ardiansyah et al., 2019).
6. Rajin Olahraga
Otot punggung dan perut bergerak lebih ekstra daripada otot yang lainnya
dalam pemberian RJP yang berkualitas. Dalam penelitian (Lin et al., 2016)
menyebutkan bahwa ketika seorang individu sering menggunakan otot-otot di
tubuhnya dalam artian rutin berolahraga maka otot-otot ditubuhnya lebih kuat
daripada individu yang jarang berolahraga.
I. Langkah-langkah resusitasi Jantung paru (RJP) pada ibu hamil, bayi dan anak.

1. RJP pada ibu hamil


CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau dikenal juga dengan sebutan RJP
(resusitasi jantung paru) adalah proses medis dasar atau pertolongan pertama yang
digunakan dalam kasus serangan jantung dan kondisi lain untuk memastikan darah
terus mengalir ke organ vital.
Ini tentu juga meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup korban sampai
bantuan medis yang tepat diberikan. RJP dilakukan dengan rasio 30:2 (30 kompresi
dada plus dua napas bantuan).
Rahim wanita hamil dapat membuat sulit untuk memberikan pompa dada yang
tepat.  Pada saat yang sama, perawatan juga perlu dilakukan untuk melindungi rahim
dari bahaya, dengan menggesernya ke kiri wanita. Asalkan diberikan dengan cara
yang tepat, RJP benar-benar aman diberikan kepada wanita hamil.
Sebelum bergegas dengan RJP, periksa nadi dan evaluasi pernapasannya.
Cobalah untuk berteriak dan mencari bantuan yang mungkin kamu dapatkan. Selain
itu, terus berbicara dengan wanita itu dan biarkan dia tetap sadar seraya memanggil
ambulans.

Berikut uraian langkah-langkah memberikan RJP kepada wanita hamil :

a. Baringkan wanita tersebut dengan posisi telentang pada permukaan yang datar
dan keras seperti lantai. Jika memungkinkan, letakkan bantal, handuk atau benda
serupa di bawah pinggul kanan mereka untuk memiringkan pinggul sekitar 15
sampai 30 derajat. Biarkan bahu mereka tetap rata dengan permukaan.
b. Berlutut di samping mereka.

xvi
c. Tempatkan tumit satu tangan di bagian bawah tulang dada. Letakkan tangan
kamu yang lain di atas.
d. Luruskan lengan dan posisikan diri kamu di atas dada korban.
e. Gunakan beban tubuh kamu untuk menekan lurus ke bawah ke dadanya dengan
kedalaman dada, yang umumnya lebih dari lima sentimeter.
f. Lepaskan tekanan. Biarkan dada mundur penuh dengan mengangkat tangan
sedikit dari dada di antara setiap kompresi. Menekan dan melepaskan terdiri dari
satu kompresi. Waktu yang dihabiskan untuk kompresi dada dan fase pelepasan
harus sama.
g. Lakukan kompresi dengan kecepatan 100-120 denyut per menit. Atau, setelah 30
kompresi dada dengan keras dan cepat, berikan dua napas bantuan. Pastikan
menjaga kecepatan dengan tepat! Menghitung dengan keras akan sangat
membantu.
h. Terus ulangi proses ini dan lakukan lima siklus CPR dalam waktu sekitar dua
menit sampai AED atau layanan medis darurat tiba

Cara memberikan napas buatan

a. Pastikan kepala dimiringkan ke belakang dan dagu diangkat dengan meletakkan


satu tangan di dahi dan tangan lainnya di bawah dagu untuk memiringkan kepala
ke belakang.
b. Gunakan jari telunjuk dan ibu jari untuk mencubit bagian lunak hidung korban.
Gunakan tangan kamu yang lain untuk membuka mulut korban.
c. Ambil napas dan tutup mulut korban dengan mulut kamu rapat-rapat. Tiup
dengan kecepatan tetap selama sekitar 1 detik, dan cari dada untuk mengembang.
Sekarang cari dada jatuh. Ulangi dan berikan napas bantuan kedua.

Jika dada tidak naik, pastikan:

 Korban diposisikan dengan benar.


 Jalan napas tidak terhalang oleh benda asing. Jika ada, keluarkan!
 Jepit hidung dengan benar untu mencegah udara keluar. 

RJP memang dapat bermanfaat bagi korban bila diberikan oleh orang yang
tepat dengan cara yang tepat. Namun, pemberian RJP yang tidak tepat dapat semakin

xvii
meningkatkan tingkat fatalitas bagi korban. Oleh sebab itu, RJP pada dasarnya hanya
boleh diberikan oleh orang yang sudah menerima pelatihan dan sertifikasi yang tepat. 

2. RJP Pada Bayi dan Anak


Teknik resusitasi bayi dan anak saat awal adalah melakukan penilaian kondisi
anak secara cepat dengan menggunakan segitiga penilaian pediatrik, atau pediatric
assessment triangle/PAT. Dari PAT ini kita dapat mengenali kondisi distress napas,
gagal nafas, syok, henti napas dan henti jantung, disfungsi otak dan abnormalitas
sistemik lainnya. PAT terdiri atas 3 elemen, yaitu:
a. penampilan anak: tonus, interaksi anak dengan lingkungan, kenyamanan, arah
pandangan anak, suara/tangisan anak
b. upaya napas anak: suara napas abnormal, posisi tubuh abnormal, retraksi, dan
napas cuping hidung
c. kondisi sirkulasi: pucat, mottling, sianosis, perdarahan

Selanjutnya dilakukan primary assessment , secondary assessment, dan tertiary


assessment.
1) Primary Assessment
Pada penilaian primer ini dilakukan penilaian:
 Airway: patensi jalan napas
 Breathing: usaha napas, napas cuping hidung, retraksi
 Circulation: evaluasi nadi, tensi, warna kulit, suhu badan, capillary refill
time/CRT
 Disability: nilai status neurologis dengan metode alert, verbal response to pain,
unresponsive/AVPU, atau Glasgow coma scale/GCS
 Exposure
2) Secondary Assessment
Setelah selesai melakukan primary assessment dan manajemen dari
masalah yang mengancam nyawa, lakukan secondary assessment yang
menghimpun anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih detail meliputi gejala
dan tanda yang dikeluhkan, adanya alergi, pengobatan yang diberikan, riwayat
kesehatan sebelumnya, waktu makan terakhir, dan kejadian yang menyebabkan
kondisinya saat ini.

xviii
3) Tertiary Assessment
Meliputi pemeriksaan penunjang diagnostik, seperti pemeriksaan
laboratorium seperti gula darah dan analisa gas darah, pemeriksaan radiologi, dan
sebagainya, untuk mengidentifikasi penyakit dan kondisi anak.

Persiapan Pasien
Pastikan lingkungan aman untuk penolong dan anak. Nilai kesadaran anak
dengan cara menilai respon yaitu dengan cara memanggil, menepuk pundak, atau
menggoyangkan badan anak.
Penilaian denyut nadi anak dibawah usia 1 tahun yang paling tepat adalah
dengan meraba arteri brakialis. Pemeriksaan denyut nadi anak diatas 1 tahun pada
nadi karotis.

Peralatan
Alat yang diperlukan untuk melakukan RJP pada bayi dan anak adalah:
a. Bag-valve mask untuk memberikan ventilasi yang efektif dan aman
b. Defibrillator, dibutuhkan dalam memberikan bantuan hidup lanjut bila ada irama
jantung yang dapat dilakukan shock
c. Laringoskop
d. Endotrakeal tube, supraglottic airway devices, laryngeal mask airway/LMA
e. Tabung oksigen, suction
f. Alat monitor detak dan irama jantung seperti stetoskop, monitor EKG
g. Monitor saturasi dan EtCO2 (end-tidal carbon dioxide)

Pada keadaan kritis, mengukur berat badan bayi dan anak seringkali tidak
memungkinkan. Untuk itu dapat digunakan Broselow tape, yaitu suatu grafik yang
dapat memprediksi berat badan bayi dan anak berdasarkan panjang atau tinggi
badannya. Broselow tape adalah perangkat penting dalam keadaan darurat untuk
membantu menghitung dosis obat yang tepat, menentukan jumlah pemberian cairan
yang akurat, dan memilih ukuran peralatan yang benar, seperti ukuran laringoskopi
atau endotrakeal tube.
Posisi Pasien
Posisi pasien yang akan dilakukan resusitasi jantung paru adalah posisi
telentang, pada permukaan yang datar dan keras, agar kompresi jantung dapat
xix
optimal. Pada bayi, teknik kompresi dapat menggunakan 2 ibu jari (jari telunjuk dan
jari tengah). Pada anak usia ≤8 tahun dapat menggunakan teknik 1 tangan, dan pada
anak usia >8 tahun dapat menggunakan teknik 2 tangan. Petugas kesehatan yang
melakukan kompresi dada harus berada dalam posisi yang cukup tinggi untuk
mencapai regangan lengan yang cukup sehingga dapat menggunakan berat badannya
secara adekuat untuk mengkompresi dada. Pada bayi, digunakan kekuatan jari tangan
untuk mengkompresi dada secara adekuat.
Prosedural
Prosedur RJP bayi dan anak berdasarkan European Resuscitation
Council (ERC) dilakukan dengan urutan A-B-C. Sedangkan berdasarkan American
Heart Association (AHA) dengan urutan C-A-B. Dimana A yaitu airway/jalan napas,
B untuk breathing/pernapasan, sedangkan C adalah circulation/kompresi dada.

Pediatric Advance Life Support menurut ERC 2015


Resusitasi dasar pada bayi dan anak menurut ERC sebagai berikut:
a) Bila pasien tidak sadar/tidak berespon, panggil bantuan, lalu buka jalan nafas
b) Bila anak tidak bernafas dengan normal, lakukan 5 bantuan nafas
c) Bila tidak ada tanda kehidupan, lakukan 15x kompresi dada, kemudian lakukan
2 bantuan nafas diikuti 15x kompresi dada
d) Panggil tim henti jantung (cardiac arrest team) atau Pediatric advance life
support team setelah 1 menit melakukan RJP

Pediatric Advance Life Support menurut ERC 2015


Resusitasi tingkat lanjut pada bayi dan anak menurut ERC adalah:
a) Bila anak tidak berespon, tidak bernafas, atau gasping, panggil tim resusitas
b) Lakukan RJP diawali dengan 5 bantuan nafas/initial breaths dilanjutkan
kompresi dada. Rasio yang diberikan adalah 15x kompresi disertai 2x bantuan
napas (15:2)
c) Pasang monitor/defibrillator. Minimalkan interupsi dalam melakukan RJP
d) Tentukan atau baca irama yang muncul pada layar monitor defibrillator. Bila
irama shockable (VF/VT tanpa nadi) lakukan shock 4J/kgBB, lanjutkan RJP
dengan minimal interupsi. Pada siklus ke-3 dan ke-5, pertimbangkan
pemberian amiodaron

xx
e) Bila irama non-shockable (PEA/asistol), lakukan RJP selama 2 menit dengan
minimal interupsi
f) Bila sirkulasi spontan kembali (ROSC/Return of spontaneous circulation),
lakukan tatalaksana post henti jantung, yaitu kontrol oksigenasi dan ventilasi,
investigasi, atasi penyebab henti jantung, dan kontrol suhu/temperatur

Pediatric Cardiac Arrest Resuscitation berdasarkan AHA 2015


Resusitasi pada bayi dan anak yang mengalami henti jantung, menurut AHA
adalah sebagai berikut:

a) Bila ada henti jantung, mulai RJP, beri oksigen, pasang monitor/defibrillator


b) Bila irama shockable (VF/VT tanpa nadi), berikan kejut listrik 2 J/kgBB.
Dilanjutkan RJP selama 2 menit sambil mencari akses intravena atau intraoseus
c) Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, berikan kejut listrik kedua dengan
4 J/kgBB. Dilanjutkan RJP selama 2 menit. Beri epinefrin tiap 3-5 menit
(epinefrin 1:10.000 sebanyak 0,1 ml/kgBB intravena atau intraoseus).
Pertimbangkan intubasi (advanced airway)
d) Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, beri kejut listrik ≥4 J/kgBB
maksimal 10 J/kgBB (dosis dewasa). Lanjutkan RJP selama 2 menit. Masukkan
amiodaron atau lidokain. Tatalaksana penyebab henti jantung
e) Evaluasi irama jantung, bila masih shockable, beri kejut listrik, lanjut RJP, dan
masukkan epinefrin tiap 3-5 menit
f) Bila irama jantung non-shockable (PEA/asistol), lakukan RJP 2 menit, cari akses
IV/IO, beri epinefrin tiap 3-5 menit, pertimbangkan intubasi
g) Bila sirkulasi spontan kembali (ROSC/Return of spontaneous circulation),
lakukan tatalaksana post henti jantung

Prosedur Airway/Jalan Napas
Buka jalan napas dengan head tilt dan chin lift. Jangan tekan jaringan di
bawah dagu karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Bila
masih sulit membuka jalan napas, coba jaw thrust dengan cara tempatkan 2 jari kedua
tangan pada tiap sisi mandibula anak dan dorong rahang ke bawah. Bila curiga adanya

xxi
cedera leher, membuka jalan napas dengan jaw thrust saja tanpa head tilt. Bila jalan
napas tidak terbuka optimal, tambahkan head tilt sedikit sampai jalan napas terbuka.
Dengan hati-hati singkirkan bila ada penyebab obstruksi jalan napas.

Prosedur Breathing/Pernapasan
Pertahankan jalan napas tetap terbuka, kemudian look listen and feel (lihat,
dengar, rasakan) pernapasan normal dengan meletakkan wajah penolong mendekati
wajah anak sambil melihat dinding dada anak. Lihat pengembangan dada, dengarkan
suara napas pada mulut dan hidung anak, lalu rasakan pergerakan udara pada pipi
penolong. Lakukan look listen and feel tidak lebih dari 10 detik. Bila ragu bernapas
normal atau tidak, anggap sebagai tidak normal. Bila napas tidak normal atau tidak
ada napas, beri 5 initial rescue breaths.

Prosedur Circulation/Sirkulasi (Kompresi Dada)


Selama tidak lebih dari 10 detik cari denyut nadi bayi atau anak. Namun
biasanya pada bayi, pemeriksaan denyut nadi tidak dapat diandalkan sehingga
sebaiknya nilai anak dari kondisi umum anak. Bila tidak ada tanda kehidupan,
lakukan kompresi dada. Untuk bayi dan anak, kompresi dilakukan pada setengah
bawah sternum. Kompresi harus menekan setidaknya sepertiga diameter anterior-
posterior dada. Beri kesempatan dinding dada untuk mengembang sempurna
(complete recoil). Lakukan kompresi dengan kecepatan 100-120x per menit. Setelah
15 kompresi, berikan dua bantuan napas yang efektif. Lanjutkan kompresi dan napas
dengan perbandingan 15:2

Automated External Defibrillator (AED)


Automated External Defibrillator (AED) adalah defibrillator portable yang
tersedia di beberapa tempat umum. AED dapat membedakan irama
jantung shockable (ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi) dengan irama jantung non-
shockable (pulseless electrical activity, atau asistol). AHA merekomendasikan
penggunaan AED dalam bantuan hidup dasar pada keadaan henti jantung mendadak
yang disaksikan, karena kondisi tersebut umumnya disebabkan oleh penyakit jantung.
Pada anak usia >8 tahun dapat digunakan AED untuk dewasa, dan pada anak ≤8 tahun
menggunakan AED untuk anak.[2,5]

xxii
Manual External Defibrillator
Manual External Defibrillator adalah defibrillator manual yang sering dipakai
di Rumah Sakit. Defibrillator biasanya memiliki tiga mode operasi dasar, yaitu 
defibrilasi eksternal, defibrilasi internal, dan synchronized cardioversion (kardioversi
tersinkronisasi).  Mode defibrilasi eksternal digunakan pada kasus ventrikel fibrilasi
atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Kejut listrik diberikan 4 J/kg, bila hasil
perhitungan tidak sesuai dengan yang tertera pada defibrilator, bulatkan ke atas,
maksimal 10 J/kg. Sesuaikan paddle yang digunakan dengan usia dan berat badan
anak. Gunakan paddle anak untuk anak berusia kurang dari 1 tahun atau berat badan
kurang dari 10 kg.
Mode synchronized cardioversion digunakan pada kasus supraventrikular
takikardi/SVT tidak stabil. Kardioversi diberikan sebesar 1 J/kg, bila tidak efektif
dapat dinaikkan hingga 2 J/kg. Kardioversi diberikan dengan
menempatkan paddle pada sternum dan apex jantung anak. Bila anak terlalu
kecil, paddle dapat ditempatkan pada sternum dan punggung sehingga jantung berada
diantara paddle. Kardioversi untuk SVT diberikan berbarengan dengan munculnya
gelombang R pada layar monitor, atau disinkronkan dengan gelombang R.
Follow Up
Perawatan pasca resusitasi bayi dan anak adalah mencegah demam pada anak-
anak yang mengalami kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous
circulation/ROSC). Manajemen suhu tertarget untuk anak-anak pasca ROSC, adalah:
 Sebaiknya suhu tubuh normotermia atau hipotermia ringan
 Hindari hipertermi (suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat C) dan hipotermia berat
(suhu tubuh kurang dari 32 derajat Celcius)
Tidak ada satu prediktor kapan harus menghentikan resusitasi. Lakukan RJP
sampai anak menunjukkan tanda kehidupan (bangun, bergerak, buka mata, napas
normal), tenaga kesehatan datang, atau penolong kelelahan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah
kematian biologis dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan napas

xxiii
(kematian klinis) ke fungsi yang optimal (Muttaqin, 2009). RJP terdiri dari pemberian
bantuan sirkulasi dan napas, dan merupakan terapi umum, diterapkan pada hampir
semua kasus henti jantung atau napas. kompresi dan ventilasi merupakan tindakan
yang efektif dalam melakukan RJP.
Resusitasi jantung paru merupakan pertolongan medis untuk mengembalikan
kemampuan napas dan sirkulasi darah yang terhenti karena kondisi atau situasi
tertentu. Tindakan ini perlu dilakukan secara cepat dan tepat sebagai langkah awal
menyelamatkan nyawa seseorang. Resusitasi jantung paru (RJP) atau disebut
juga CPR merupakan upaya pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti
napas dan henti jantung karena berbagai alasan, seperti serangan jantung, kecelakaan,
atau tenggelam.
Resusitasi (resuscitation) yang berarti “menghidupkan kembali” merupakan
sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah timbulnya 11 episode henti jantung
yang berakibatkan kematian. Jika penanganan tidak segera dilaksanakan pasien
dengan kondisi henti jantung dapat mengalami kematian dalam waktu yang sangat
singkat (sekitar 4-6 menit) (Andrianto, 2020). Salah satu penatalaksanaan henti
jantung dapat berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP). Tindakan yang menjadi salah
satu terapi segera untuk kasus henti jantung dan dapat diterapkan pada semua kasus
henti napas maupun jantung ini terdiri dari pemberian bantuan napas dan sirkulasi
pada pasien.
Rahim wanita hamil dapat membuat sulit untuk memberikan pompa dada yang
tepat.  Pada saat yang sama, perawatan juga perlu dilakukan untuk melindungi rahim
dari bahaya, dengan menggesernya ke kiri wanita. Asalkan diberikan dengan cara
yang tepat, RJP benar-benar aman diberikan kepada wanita hamil.
Teknik resusitasi bayi dan anak saat awal adalah melakukan penilaian kondisi
anak secara cepat dengan menggunakan segitiga penilaian pediatrik, atau pediatric
assessment triangle/PAT. Dari PAT ini kita dapat mengenali kondisi distress napas,
gagal nafas, syok, henti napas dan henti jantung, disfungsi otak dan abnormalitas
sistemik lainnya. PAT terdiri atas 3 elemen, yaitu:
d. penampilan anak: tonus, interaksi anak dengan lingkungan, kenyamanan, arah
pandangan anak, suara/tangisan anak
e. upaya napas anak: suara napas abnormal, posisi tubuh abnormal, retraksi, dan
napas cuping hidung
f. kondisi sirkulasi: pucat, mottling, sianosis, perdarahan

xxiv
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan dari hasil literature review di atas
yaitu pemberian pelatihan RJP sangat penting diberikan kepada semua lapisan
masyarakat. Pemberian pelatihan RJP pada setiap lapisan masyarakat merupakan
salah satu bagian integral untuk peningkatan jumlah by-stander RJP. Khusus pada
masyarakat yang belum terlatih disarankan agar keterampilan yang diajarkan hanya
berfokus pada kompresi dada saja tanpa melakukan bantuan nafas. Agar tidak terjadi
penurunan tingkat keterampilan maka dibutuhkan pelatihan dengan waktu yang tidak
singkat, harus dilakukan pengulangan dan latihan dengan interval waktu 6-12 bulan
untuk menjaga keterampilan RJP yang dimiliki tetap baik

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unissula.ac.id/7342/4/BAB%201.pdf
https://eprints.umm.ac.id/76521/2/BAB%20I.pdf
http://siat.ung.ac.id/files/wisuda/2018-1-1-14201-841414006-bab1-27072018113449.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4443/2/BAB%20I%20Latar%20Belakang.pdf
http://repository.ump.ac.id/681/3/ANI%20RIYANI%20BAB%20II.pdf

xxv

Anda mungkin juga menyukai