Disusun Oleh:
Yohana Aprilia Manurung
102121020
Pembimbing:
dr. Arie Budi Satria Sp.An
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Advanced Cardiac Life Support”. Penyusunan tugas ini
dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang diberikan
pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Arie Budi Satria Sp.An
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ilmu anestesi serta dalam
penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun materi.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Resusitasi serebral adalah tujuan yang paling penting dari seluruh upaya
resusitasi dan agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian yang tidak
terputus mulai dari bantuan hidup dasar dan intermediat (BLS dan ILS) dan
berakhir dengan bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Waktu sama dengan
keadaan kritis dan interval waktu antara pingsannya korban dan mulainya upaya
resusitasi oleh penolong menentukan hasil dari semua upaya resusitasi. Setiap
masyarakat seharusnya melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup yang mencakup resusitasi kardiopulmoner dini (CPR),
defibrilasi dini dan ACLS dini.9,2
Banyak upaya resusitasi tidak akan berhasil; penolong harus mengetahui
kapan harus berhenti dan yang lebih penting lagi kapan untuk tidak memulainya.
Rencana lanjutan sama pentingnya dan setiap percobaan resusitasi memiliki
struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap. 2Di dalam
lingkungan masyarakat dan juga rumah sakit kita, tingkat kesadaran tentang
protokol resusitasi sangat buruk dan kami berharap dengan mereview pedoman-
pedoman tersebut kita dapat merumuskan strategi- strategi resusitasi dalam
masyarakat kita dan dengan penuh harapan melaksanakannya dalam waktu dekat
mendatang.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
pengklasifikasian berbagai macam intervensi atas dasar efek klinis yang terbukti
pada percobaan klinis yang baik.
ACLS di Indonesia didirikan pada tahun 1957, oleh alm Dr. Gan Tjong Bing,
sebelum didirikan di Indonesia ACLS dibawa oleh AHA atau di sebut American
Heart Asociaction, karena berbagai macam faktor seperti akomodasi, biaya
transportasi, dll untuk ke AHA yang mengadakan pelatihan ACLS di Amerika
maka ACLS dididirkan oleh alm. Dr. Gan Tjong Bing ke Indonesia.
Pada tahun 1997 PerKI yang didirikan oleh alm. Dr Gan Tjong ini memulai
program pelatihan bantuan hidup jantung dasar ( Basic Cardiac life support) dan
bantuan hidup jantung hidup lanjut (advanced cardiac life support), sebelum
melakukan pelatihan ini PerKI mengumpulkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana.
Alasan terbentuknya atau dicetuskan nya ACLS di Indonesia karena alm. Dr
Gan Tjong bing selaku pendiri PerKI memperkirakan bahwa masalah kesehatan
jantung dan pembuluh darah di indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya.
Dan agar para dokter dapat menangani setiap penyakit jantung yang menjadi
masalah kematian nomor 1 di indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyadari bahwa upaya ini tidak mungkin
dilakukan semata-mata oleh para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah
(kardiologis). Sejak tahun 1997 PERKI telah mulai melancarkan program pelatihan
bantuan Hidup Jantung Dasar (Basic Cardiac Life Support) dan Bantuan Hidup
Jantung Lanjut ( Advanced Cardac Life Support ), dengan terlebih dahulu
menyiapkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana. Pengembangan program ini ternyata
memerlukan dana yang besar.
4
2.3 KLASIFIKASI ACLS3
Klasifikasi rekomendasi untuk intervensi terapi10
2.4 BANTUAN HIDUP DASAR DAN INTERMEDIAT DEWASA (BLS DAN ILS)
Pada prinsipnya ACLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan
juga prinsip ini menjadi prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh
dunia. Survey ini merupakan komponen pertama dan yang paling penting dari setiap
upaya resusitasi. Langkah pertama adalah untuk memastikan korban dan juga
penolong aman dari berbagai faktor lingkungan di sekitarnya, misalnya pada tempat
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penolong kemudian menilai respon korban;
penolong harus selalu menganggap korban mengalami henti jantung atau paru atau
keduanya kecuali jika terbukti tidak demikian. Pada kasus trauma penolong harus
memikirkan kemungkinan adanya cedera servikal dan memastikan leher korban
distabilisasi sehingga tidak memperburuk cedera; penolong harus memposisikan
dirinya, berlutut di samping korban sejajar dengan bahunya. Menurut ketentuan
bantuan hidup dasar, menggunakan bantuan pernapasan mulut ke mulut bersamaan
dengan kompresi dada; bagaimanapun, yang tadinya disamping secara teknik sulit
dilakukan juga tidak selalu dapat diterima secara estestis oleh bystander yang ada di
sekitar korban henti jantung. Sejumlah penelitian terhadap binatang telah
5
menunjukkan bahwa walaupun penolong memberikan bantuan pernapasan
dikombinasikan dengan kompresi dada meningkatkan saturasi oksigen danpH darah
arteri jika dibandingkan dengan kompresi dada saja, tidak ada perbaikan menyeluruh
dalam kelangsungan hidup korban. Keseluruhan konsensus pada kasus henti jantung
di luar rumah sakit adalah bahwa kompresi dada saja yang dilakukan oleh penolong
awam sama efektifnya jika dikombinasikan dengan pernapasan mulut ke
mulut.11,12,13,14,15
Dalam aturan rumah sakit, protokol-protokol baru untuk resusitasi
kardiopulmoner telah dikembangkan untuk meningkatkan perfusi ke jantung dan
otak saat sirkulasi berhenti. Termasuk di dalamnya interposed abdominal
compression (IAC- CPR),16 phased thoracic-abdominal compression decompression
(PTACD- CPR) atau life stick CPR17,18,19 dan kompresi- dekompresi aktif (ACD-
CPR).20,21 Teknik- teknik tersebut memerlukan pelatihan dan peralatan lanjut dan
terdapat bukti hasil resusitasi yang lebih baik dengan teknik- teknik tersebut. Pijat
jantung terbuka mungkin bermanfaat di rumah sakit jika dilakukan segera setelah
henti jantung terjadi; akan tetapi, teknik ini memerlukan personil yang sangat terlatih
baik pada waktu terjadinya henti jantung dan juga setelah kembalinya sirkulasi.
Dalam kasus tamponade jantung, emboli paru, dan cedera tembus dada, pijat jantung
terbuka memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa. Operasi bypass jantung- paru
gawat darurat melalui pembuluh darah femoralis dan pijat jantung langsung minimal
invasif melalui insisi 2 cm dan sebuah alat yang menyerupai tongkat tampaknya
menjanjikan dalam beberapa situasi klinis.22,23,24
Di antara semua intervensi resusitasi untuk meningkatkan survival pasien dari
VF/ pulseless VT, defibrilasi adalah intervensi yang paling berguna.1 Defibrilator
yang menggunakan bentuk gelombang monofasik (arusnya bergerak hanya pada arah
positif) digunakan di berbagai belahan dunia sejak 40 tahun terakhir.8,25 Defibrilasi
bifasik (arus polar dibalikkan di pertengahan sepanjang pengosongan) telah diteliti
sejak awal 1980-an dan penggunaannya meningkat dengan cepat, seperti halnya alat
ini memerlukan energi yang sedikit, juga kurang mencederai miokardium dan selalu
dikaitkan dengan angka kesuksesan tindakan defibrilasi yang lebih tinggi pada henti
jantung yang terjadi di luar rumah sakit.1,5,6 Ketahanan hidup setelah mengalami
henti jantung dengan fibrilasi ventrikel menurun 7- 10% setiap menit jika tanpa
6
tindakan defibrilasi. Pada 4 menit pertama, cedera organ irreversibel terjadi, dan
pada 12 menit angka survival menurun 2- 5%.10 Oleh karena itu, rumah sakit perlu
untuk membuat program- program untuk mencapai defibrilasi lebih awal (kelas 1).2
Defibrilator eksternal otomatis direkomendasikan untuk tempat-tempat publik
dengan probabilitas tinggi terjadinya henti jantung, minimal terjadi satu kasus henti
jantung dalam lima tahun (kelas 2b),2,10 VF/ pulseless VT dapat didefibrilasi
dengan kejut monofasik (200j- 300j- 360j) atau kejut bifasik (150j-150j-150j); upaya
terbaru menunjukkan bahwa penting untuk mengulangi CPR setelah defibrilasi jika
defibrilasi menghasilkan irama tanpa denyut nadi. Terdapat juga konsensus yang
berkembang menyatakan bahwa korban VF yang tidak mendapatkan defibrilasi
bahkan 5 menit setelah kejadian, harus mendapatkan terapi perfusi (CPR) sebelum
defibrilasi.
Jika tidak berespon Cek kemamampuan Goyang-goyangkan dan berteriak pada korban
berespon
7
2.4.2 Survei ABCD Sekunder
Setelah melaksanakan survei ABCD primer, penolong dapat meneruskan ke
survey ABCD sekunder bagi pasien yang memenuhi syarat. Setiap langkah
memerlukan dua tindakan: penilaian dan pengelolaaan, dan dengan kedua
tindakan tersebut penolong tidak akan pernah kehilangan pengamatannya tentang
kebutuhan akan evaluasi dan perawatan pasien. Jika penilaian memperlihatkan
masalah yang mengancam jiwa, penolong tidak boleh melangkah lebih lanjut
sampai masalah tersebut terselesaikan. Pendekatan ini membantu dalam
menangani semua kasus gawat darurat yang mengancam jiwa.2 Empat komponen
utama survey ABCD sekunder adalah sebagai berikut:
1. Jalan Nafas
Penolong haruslah menyediakan jalan napas tahap lanjut; hanya orang-
orang yang melakukan 6-12 kali intubasi setiap tahun yang boleh melakukan
percobaan intubasi. Penolong yang minim pengalaman harus menggunakan
laryngeal mask airway (LMA) atau Esophageal-Tracheal Combitube.2,10
Intubasi endotrakeal harus diselesaikan dalam 30 detik; jika tidak berhasil,
penolong harus melanjutkan ventilasi bag-Mask.
2. Pernafasan
Sekarang ini telah diperintahkan untuk memastikan posisi pipa yang benar di
dalam trakea dengan melakukan auskultasi pada 5 titik dan juga dengan teknik-
teknik sekunder yang mencakup indikator tidal akhir CO2 dan alat detektor
esofagus (kelas 2a). Setelah memastikan posisi pipa benar, penolong harus
memfiksasi pipa dengan menggunakan tali, plester atau gagang pipa (kelas 2b).
3. Sirkulasi
Langkah selanjutnya adalah untuk mendapatkan akses intravena, menentukan
irama jantung, dan memberikan obat- obat yang sesuai.
4. Diagnosis Banding
Penolong harus mencari, menemukan, dan mengobati penyebab- penyebab
yang reversibel.2,10
8
Setelah sirkulasi berhasil kembali, penting untuk memakai strategi
perlindungan organ tubuh karena semua organ terutama otak dan jantung sensitif
terhadap kehilangan oksigen dan nutrisi yang terjadi selama dan setelah henti
sirkulasi dan yang ditimbulkan oleh cedera reperfusi. Kematian sering terjadi
berkaitan dengan kegagalan jantung dan neurologik dan banyak dari kematian
tersebut terjadi dalam 48 jam pertama setelah resusitasi. 27 Strategi perlindungan
organ vital dapat meningkatkan hasil resusitasi mencakup penggunaan defibrilator
energi rendah, penggunaan vasopresor yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen
miokardium, hipotermi,17,28 penggunaan ionotropik (Dobutamin), metabolik
(glukosa-insulin-kalium), dan mekanik (pompa balon intra-aorta, bypass jantung-
paru, pijat jantung minimal invasif), bantuan sirkulasi; penggunaan pembuka saluran
kalium, penghambat pertukaran natrium/ hidrogen, penghambat calpain (Cariporide),
antioksidan dan pengaturan ekspresi gen yang juga sedang dievaluasi. Telah terdapat
sedikitnya dua percobaan acak terpublikasi pada manusia yang telah membandingkan
dua kelompok pasien post henti jantung VF yang berespon terhadap resusitasi
dengan kembalinya sirkulasi spontan;29,30 kedua kelompok tersebut diacak untuk
mendapatkan keadaan normotermia dan hipotermia ringan (32- 34oC). Hasilnya
ditentukan sesuai dengan pemulihan neurologik yang baik untuk membolehkan
mengeluarkan pasien. Kelompok yang mendapatkan keadaan hipotermia ringan
didapatkan memiliki keluaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan mereka
yang mendapatkan keadaan normotermia.
9
2. Bradikardi yang tidak stabil
Irama jantung yang tidak stabil adalah salah satu yang dapat menyebabkan
bahaya hemodinamik (kegagalan, penurunan derajat kesadaran, nyeri dada
persisten atau VPC’S berkelanjutan pada keadaan kemungkinan hipotensi infark
miokard akut), gagal jantung kongestif.
3. Irama jantung yang tidak mematikan
a.Bradikardi stabil.
b.Fibrilasi/ flutter atrium stabil.
c.Takikardi kompleks sempit stabil.
d.Takikardi kompleks lebar stabil; tipe tidak diketahui.
e.VT stabil.
10
ALGORITMA UNTUK IRAMA JANTUNG YANG
MEMATIKAN2
Perhatikan 5H dan 5T
2.6.1 Takikardi
11
Secara klinis penolong harus mengetahui apakah pasien stabil atau tidak;
penting juga untuk mengelompokkan apakah takikardinya kompleks sempit atau
lebar karena hal tersebut yang menuntun pilihan terapi obat.
Jika pasien tidak stabil, penolong harus menstabilkan denyut jantung sebagai
penyebab dari gejala (hampir selalu denyut jantung lebih dari 150). Langkah
berikutnya adalah untuk mengkardioversi irama tidak stabil tersebut. Defibrilator
modern/ kardioverter dapat menghasilkan kejut yang tidak sinkron maupun kejut
yang sinkron; pada awalnya kejut listrik dapat menurun dimana saja di siklus
jantung, sementara sebagai akhirnya kejut dihasilkan secara sinkron dengan puncak
kompleks QRS. Kejut listrik tersinkronisasi mennghindarkan dihasilkannya kejut
sepanjang repolarisasi jantung, periode yang rentan selama kejutan dapat memicu
fibrilasi ventrikel. Rekomendasi ACLS adalah untuk mensinkronkan pasien dengan
takikardi stabil dan pasien dengan takikardi tidak stabil yang sangat tidak stabil, yang
penundaan sebentar saja dapat mengakibatkan kemunduran klinis yang lebih lanjut.
Sebaliknya, untuk menghindari penundaan yang berbahaya, pasien yang sangat tidak
stabil, seperti mereka yang dalam syok berat atau pulseles VT, harus mendapatkan
kejut listrik yang tidak sinkron. Jika, kejut yang tidak sinkron menimbulkan VF,
defibrilasi harus dilakukan dengan segera.
Untuk kardioversi tersinkronisasi, langkah pertama adalah menyiapkan
peralatan; monitor saturasi oksigen, jalur intravena dan peralatan intubasi harus
tersedia dan jika mungkin pasien harus dipremedikasi dengan midazolam±fentanil di
bawah supervise dari seorang ahli anestesi. Langkah selanjutnya adalah memberikan
kejut DC tersinkronisasi pada VT monomorfik dengan denyut nadi, paroxysmal
supraventricular tachycardia (PSVT), fibrilasi atrium (AF), atrial flutter dengan kejut
monofasik 100-200-300-360J atau setara dengan kejut bifasik 70-120-150-170J. Jika
pasien tidak stabil, penolong harus melanjutkan untuk kardioversi segera. Jika pasien
stabil penolong kemudian mengelompokkan jenis aritmianya dan melanjutkan
dengan algoritma individual.
Takikardi kompleks sempit yang stabil diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam
PSVT, takikardi atrium multifocal (MAT) dan takikardi junctional. Membedakannya
penting karena PSVT disebabkan oleh fenomena re-entri ketika yang lain sebagai
12
tambahan takikardi atrium ektopik biasanya disebabkan oleh fokus otomatis atau
fokus yang mudah terangsang dan tidak berespon dengan kardioversi.
Pada VT, perhatian diberikan pada apakah pasien stabil atau tidak, morfologi
(monomorfik atau polimorfik), fraksi ejeksi dan interval QT. Ketika QT normal, VT
disebabkan karena iskemia atau ketidakseimbangan elektrolit; penolong harus
menangani iskemia, dan melakukan koreksi elektrolit.Pada korban dengan interval
QT yang memanjang (Torsades), penolong harus mengoreksi elektrolit, coba
magnesium, menambah kecepatan pacing, isoprotrenol, fenitoin atau lidokain.
Fibrilasi atrium/ atrial flutter diterapi dalam tahap biasa yang bergantung pada
beberapa faktor; jika pasien tidak stabil, penolong melakukan satu kali kardioversi,
jika pasien stabil, kontrol denyut jantung menjadi prioritas diikuti dengan konversi
irama jantung jika dianggap perlu dan/atau sesuai.
Kardioversi DC Kardioversi DC
Prokainamid Amiodaron
*Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada
percobaan pertama kardioversi
13
PROTOKOL FIBRILASI ATRIUM/ ATRIAL FLUTTER2
14
2.6.2 Bradikardi
Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut,
khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik
menyebabkan bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan
hipovolemia dan pasien seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan
menggunakan normal saline (250-500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini
dapat menyelamatkan jiwa. Atropin adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal
dari banyak kasus bradikardi; obat ini bekerja dengan menghalangi fungsi nervus
vagus. Akan tetapi area jantung yang tidak dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan
berespon terhadap atropin; oleh karena itu atropin tidak diindikasikan pada blok
jantung derajat III atau Mobitz tipe II. Penggunaannya dapat mempercepat denyut
atrial dan menghasilkan peningkatan blok nodus AV.
15
ALGORITMA UNTUK BRADIKARDI :
BRADIKARDI, (2)
(ABSOLUT/ RELATIF*)
17
2.6.4 Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31
a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin
dan beta- bloker jika tidak ada kontraindikasi.
b. Pemeriksaan EKG 12-lead pre- rumah sakit (kelas 2a)
meningkatkan diagnosis dan mengurangi waktu di rumah sakit
untuk penanganan.
c. Penggunaan daftar indikasi dan kontraindikasi pre-rumah sakit,
dapat memperpendek waktu agar digunakan untuk reperfusi.
18
segmen ST, marker positif dan iskemia refrakter; obat- obatan tersebut
juga direkomendasikan untuk pasien yang menjalani PCI.
a. Enoxaparin, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) lebih
unggul daripada unfractionated heparin (UFH) dan mudah untuk
diberikan tanpa adanya angina berulang (rebound angina).
b. Penggunaan terapi dengan tiga anti-trombotik (aspirin dan
klopidogrel*, penghambat GP IIb/IIIa dan UFH/LMWH)
merupakan terapi yang paling efektif untuk IMA dengan depresi
segmen ST dan angina tidak stabil.
19
h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan)
tampaknya tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada
pasien-pasien henti jantung.35
i. Recombinant tissue plasminogen activator (rtpa) memperbaiki
keluaran neurologik saat diberikan pada pasien- pasien stroke yang
memenuhi syarat dalam 3 jam setelah onset (kelas 1).34
C. Sodium Bikarbonat2
a. Kelas 1: Pada keadaan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya.
20
BAB III
KESIMPULAN
a. Resusitasi serebral merupakan tujuan ACLS yang paling penting, kecuali jika
ventilasi dan sirkulasi spontan dimulai dengan cepat, resusitasi yang berhasil
tidak dapat terwujud.
b. Jangan pernah melupakan pasien, tangani pasien bukan aritmianya; para petugas
kegawatdaruratan harus secara konstan meninjau kembali resusitasi daripada
fokus pada satu usaha resusitasi.
c. Agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian tidak terputus yang
dimulai dengan BLS dan diakhiri dengan ACLS; keduanya disatukan oleh ILS
(bantuan hidup intermediat) yang mencakup penggunaan defibrilator eksternal
otomatis (AED’s) dan beberapa peralatan jalan napas lanjut dengan berbagai
variasi dari personel rumah sakit.
21
meempertahankan keadaan pasien setelah kembalinya sirkulasi dan
memberitahukan kepada keluarga pasien tentang hasil terapi yang diharapkan.
i. Resusitasi yang baik membutuhkan pemikiran yang hati- hati tentang kapan
upaya resusitasi dihentikan dan bahkan yang lebih penting, kapan resusitasi
tidak dimulai. Kita tidak boleh meresusitasi pasien ketika penyakitnya telah
berada pada tahap akhir dan kehidupan berhenti; kita juga tidak boleh
meresusitasi pasien jika bertentangan dengan keinginannya.
k. Life stick resuscitation dapat dilakukan dan aman serta mungkin bermanfaat
pada pasien asistol atau PEA.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22:
259-99.
2. Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.
3. Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-
86.
4. Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.
5. Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy
canine internal fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.
6. Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and
biphasic waveforms. Circulation 1995; 92:1634-43.
7. Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343:
1210-7.
8. Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation
9. 100 kg calf with one cycle of bidirectional rectangular, wave stimuli. Trans
Biomed Eng 1983; 30: 415-22.
10. Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5):
1832-47.
11. M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.
12. Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth
ventilation. N Engl J Med 2000; 342(21);1546-53
13. Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.
14. Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.
15. Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann
Intern Med 1979; 90:737-40.
16. Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and
surrounding areas. Resuscitation 1998; 38:157-167.
17. Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation
in CPR. Ann Emerg Med 1984; 22: 499-506.
18. Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after
arrest in dogs. J Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.
19. Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and
decompression CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care
Med 2000; 28: 1107-1112.
20. Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression
Vs Conventional CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104:
768-7.
21. Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active
compression decompression for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med
1999; 314: 1993-99.
22. Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest.
Circulation 1996; 94: 1-9.
23. Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983;
23: 453-60.
24. Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.