Anda di halaman 1dari 27

PAPER

“ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT”

Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior


Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh:
Yohana Aprilia Manurung
102121020

Pembimbing:
dr. Arie Budi Satria Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN PROVINSI
SUMATERA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Advanced Cardiac Life Support”. Penyusunan tugas ini
dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang diberikan
pembimbing.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Arie Budi Satria Sp.An
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ilmu anestesi serta dalam
penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun materi.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... i

Kata Pengantar....................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................


2.1 Definisi ACLS........................................................................................ 2
2.2 Sejarah ACLS........................................................................................ 4
2.3 Klasifikasi ACLS................................................................................... 5
2.4 Bantuan hidup dasar dan Intermediat dewasa........................................ 6
2.4.1 Algoritma BLS dan ILS................................................................. 7
2.4.2 Survey ABCD Sekunder................................................................ 8
2.5 Tinjauan Irama Jantung.......................................................................... 9
2.6 Irama Jantung yang Mematikan............................................................. 10
2.6.1 Takikardi........................................................................................ 12
2.6.2 Bradikardi....................................................................................... 15
2.6.3 Sindrom Koroner Akut................................................................... 16
2.6.4 Rekomendasi Baru Untuk Sindrom Koroner Akut........................ 18
2.7 Farmakologi Resusitasi......................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Resusitasi serebral adalah tujuan yang paling penting dari seluruh upaya
resusitasi dan agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian yang tidak
terputus mulai dari bantuan hidup dasar dan intermediat (BLS dan ILS) dan
berakhir dengan bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Waktu sama dengan
keadaan kritis dan interval waktu antara pingsannya korban dan mulainya upaya
resusitasi oleh penolong menentukan hasil dari semua upaya resusitasi. Setiap
masyarakat seharusnya melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup yang mencakup resusitasi kardiopulmoner dini (CPR),
defibrilasi dini dan ACLS dini.9,2
Banyak upaya resusitasi tidak akan berhasil; penolong harus mengetahui
kapan harus berhenti dan yang lebih penting lagi kapan untuk tidak memulainya.
Rencana lanjutan sama pentingnya dan setiap percobaan resusitasi memiliki
struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap. 2Di dalam
lingkungan masyarakat dan juga rumah sakit kita, tingkat kesadaran tentang
protokol resusitasi sangat buruk dan kami berharap dengan mereview pedoman-
pedoman tersebut kita dapat merumuskan strategi- strategi resusitasi dalam
masyarakat kita dan dengan penuh harapan melaksanakannya dalam waktu dekat
mendatang.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ACLS


Advanced Cardiac Life Support (ACLS) / Bantuan Hidup Jantung Lanjut
sebagai suatu tindakan medik dalam mengatasi kedaruratan / kegawatan jantung
adalah suatu hal yang sangat penting dan sudah seharusnya dipahami dan dijalani
oleh setiap dokter dalam praktek sehari-hari . Untuk itu peningkatan pengetahuan
ACLS melalui suatu kursus/pelatihan menjadi sangat penting, mengingat
pengetahuan ACLS tidak selalu diajarkan dan/ atau di ujikan dalam kurikulum
pendidikan kedokteran dasar.1
Teresusitasi dari keadaan henti jantung- paru adalah salah satu bentuk hasil
intervensi yang paling efektif dalam ilmu kedokteran.1 Fibrilasi ventrikel tetap
merupakan irama jantung yang paling sering ditemukan pada saat henti jantung dan
yang mayoritas terjadi di luar rumah sakit. Resusitasi kardiopulmoner (CPR) yang
dilakukan di rumah atau di tempat umum hanya membantu 50% saja untuk
menghidupkan kembali jantung dan mengembalikan pernapasan, bahkan di
sebagian besar masyarakat yang berhasil. Bahkan setelah jantung berdenyut
kembali, hanya separuh dari korban henti jantung dengan ventrikel fibrilasi (VF)
yang masuk rumah sakit dapat bertahan hidup dan pulang ke rumah, dengan kata
lain 3 dari 4 percobaan tidak akan berhasil. 2 Keberhasilan kembalinya sirkulasi
pada henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di beberapa negara seperti
Amerika Serikat bervariasi dari 3- 33%; hanya 20% dari pasien- pasien tersebut
yang masih hidup untuk kemudian keluar dari rumah sakit dan hanya 50% pada
kasus seperti itu yang memiliki keluaran neurologis yang memuaskan.3,4
Terdapat sebuah konsensus yang berkembang tentang fakta bahwa
kembalinya sirkulasi spontan bukanlah akhir dari upaya resusitasi dan banyak
tindakan dibutuhkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang dan
keluaran neurologis. Resusitasi serebral adalah tujuan CPR yang paling penting dan
beberapa orang lebih senang menggunakan istilah resusitasi jantung paru dan otak
(CPCR). Tindakan resusitasi dimulai dengan bantuan hidup dasar, dilanjutkan
2
dengan bantuan hidup intermediat, dan berakhir dengan bantuan hidup jantung
lanjut (ACLS). Bantuan hidup intermediate, adalah istilah yang dibuat baru-baru ini
untuk menjembatani celah antara BLS dan ACLS; termasuk di dalamnya
penggunaan defibrilator eksternal otomatis (AED’S) dan beberapa alat bantu
pernapasan lanjutan oleh anggota penolong terlatih. ACLS mencakup penggunaan
peralatan dan teknik lanjut untuk membuat dan mempertahankan ventilasi dan juga
sirkulasi, mempertahankan akses intravena, terapi untuk pasien dengan henti
jantung dan paru, selain itu juga untuk mengobati pasien dengan sindrom koroner
akut (ACS) dan pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat. Meskipun penelitian
tentang ACLS telah berlangsung berpuluh tahun lamanya, kemampuan bertahan
hidup korban setelah mengalami henti jantung, bahkan di negara- negara barat,
tetap saja buruk. Berkaitan dengan adanya kendala etik, banyak dari penelitian
tersebut dilakukan pada hewan mamalia dan beberapa penelitian dengan hasil yang
memuaskan telah di uji cobakan pada manusia dengan protokol penelitian yang
didesain dengan baik dan tersusun teliti.1 Resusitasi oleh orang yang pertama kali
menemukan korban (responder) dan orang- orang yang ada di sekitar korban
(bystander) menjadi sasaran di negara- negara berkembang, dan penggunaan
defibrilator eksternal otomatis (yang dapat menganalisa irama jantung dan
merekomendasikan tindakan yang sesuai) baik oleh penolong awam maupun yang
terlatih sedang dianjurkan. Defibrilasi bifasik dan mungkin trifasik sedang
menggantikan defibrilasi monofasik konvensional sebagai prosedur yang telah
terbukti jelas sama atau lebih manjur dan lebih sedikit mencedera miokardium.
Waktu adalah kritis; interval waktu yang pendek sejak korban pingsan sampai
pertolongan menentukan seluruh keluaran pasien.9 Setiap masyarakat harus
berusaha untuk melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan memberikan komponen ACLS yang berkualitas tinggi.
Sayangnya di masyarakat kita dan juga di rumah sakit- rumah sakit kita terdapat
protokol-protokol resusitasi bermutu rendah. Tujuan kami adalah untuk mereview
pedoman- pedoman resusitasi sehingga kita dapat mengembangkan strategi- strategi
yang efektif untuk melaksanakannya dalam waktu dekat mendatang. Rekomendasi
baru berdasar pada review dari bukti- bukti dan opini konsensus serta pedoman dari
konferensi ACLS pada tahun 2000; Perhatian telah diberikan pada

3
pengklasifikasian berbagai macam intervensi atas dasar efek klinis yang terbukti
pada percobaan klinis yang baik.

2.2 Sejarah ACLS

ACLS di Indonesia didirikan pada tahun 1957, oleh alm Dr. Gan Tjong Bing,
sebelum didirikan di Indonesia ACLS dibawa oleh AHA atau di sebut American
Heart Asociaction, karena berbagai macam faktor seperti akomodasi, biaya
transportasi, dll untuk ke AHA yang mengadakan pelatihan ACLS di Amerika
maka ACLS dididirkan oleh alm. Dr. Gan Tjong Bing ke Indonesia.
Pada tahun 1997 PerKI yang didirikan oleh alm. Dr Gan Tjong ini memulai
program pelatihan bantuan hidup jantung dasar ( Basic Cardiac life support) dan
bantuan hidup jantung hidup lanjut (advanced cardiac life support), sebelum
melakukan pelatihan ini PerKI mengumpulkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana.
Alasan terbentuknya atau dicetuskan nya ACLS di Indonesia karena alm. Dr
Gan Tjong bing selaku pendiri PerKI memperkirakan bahwa masalah kesehatan
jantung dan pembuluh darah di indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya.
Dan agar para dokter dapat menangani setiap penyakit jantung yang menjadi
masalah kematian nomor 1 di indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) menyadari bahwa upaya ini tidak mungkin
dilakukan semata-mata oleh para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah
(kardiologis). Sejak tahun 1997 PERKI telah mulai melancarkan program pelatihan
bantuan Hidup Jantung Dasar (Basic Cardiac Life Support) dan Bantuan Hidup
Jantung Lanjut ( Advanced Cardac Life Support ), dengan terlebih dahulu
menyiapkan tenaga-tenaga pelatih dan sarana. Pengembangan program ini ternyata
memerlukan dana yang besar.

4
2.3 KLASIFIKASI ACLS3
Klasifikasi rekomendasi untuk intervensi terapi10

Kelas Intervensi klinis


Bukti pendukung
1 Selalu bermanfaat
Minimal satu percobaan klinis acak
Penelitian multipel dengan hasil Bermanfaat dan
aman
2a yang positif
Bukti bersifat umum tapi hasil tidak selalu Dalam standar

positif perawatan klinis


Tidak dapat Tidak konsisten Tidak meyakinkan
2b
digolongkan
Penelitian menegaskan Berbahaya
3 berbahaya

2.4 BANTUAN HIDUP DASAR DAN INTERMEDIAT DEWASA (BLS DAN ILS)
Pada prinsipnya ACLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan
juga prinsip ini menjadi prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh
dunia. Survey ini merupakan komponen pertama dan yang paling penting dari setiap
upaya resusitasi. Langkah pertama adalah untuk memastikan korban dan juga
penolong aman dari berbagai faktor lingkungan di sekitarnya, misalnya pada tempat
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penolong kemudian menilai respon korban;
penolong harus selalu menganggap korban mengalami henti jantung atau paru atau
keduanya kecuali jika terbukti tidak demikian. Pada kasus trauma penolong harus
memikirkan kemungkinan adanya cedera servikal dan memastikan leher korban
distabilisasi sehingga tidak memperburuk cedera; penolong harus memposisikan
dirinya, berlutut di samping korban sejajar dengan bahunya. Menurut ketentuan
bantuan hidup dasar, menggunakan bantuan pernapasan mulut ke mulut bersamaan
dengan kompresi dada; bagaimanapun, yang tadinya disamping secara teknik sulit
dilakukan juga tidak selalu dapat diterima secara estestis oleh bystander yang ada di
sekitar korban henti jantung. Sejumlah penelitian terhadap binatang telah

5
menunjukkan bahwa walaupun penolong memberikan bantuan pernapasan
dikombinasikan dengan kompresi dada meningkatkan saturasi oksigen danpH darah
arteri jika dibandingkan dengan kompresi dada saja, tidak ada perbaikan menyeluruh
dalam kelangsungan hidup korban. Keseluruhan konsensus pada kasus henti jantung
di luar rumah sakit adalah bahwa kompresi dada saja yang dilakukan oleh penolong
awam sama efektifnya jika dikombinasikan dengan pernapasan mulut ke
mulut.11,12,13,14,15
Dalam aturan rumah sakit, protokol-protokol baru untuk resusitasi
kardiopulmoner telah dikembangkan untuk meningkatkan perfusi ke jantung dan
otak saat sirkulasi berhenti. Termasuk di dalamnya interposed abdominal
compression (IAC- CPR),16 phased thoracic-abdominal compression decompression
(PTACD- CPR) atau life stick CPR17,18,19 dan kompresi- dekompresi aktif (ACD-
CPR).20,21 Teknik- teknik tersebut memerlukan pelatihan dan peralatan lanjut dan
terdapat bukti hasil resusitasi yang lebih baik dengan teknik- teknik tersebut. Pijat
jantung terbuka mungkin bermanfaat di rumah sakit jika dilakukan segera setelah
henti jantung terjadi; akan tetapi, teknik ini memerlukan personil yang sangat terlatih
baik pada waktu terjadinya henti jantung dan juga setelah kembalinya sirkulasi.
Dalam kasus tamponade jantung, emboli paru, dan cedera tembus dada, pijat jantung
terbuka memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa. Operasi bypass jantung- paru
gawat darurat melalui pembuluh darah femoralis dan pijat jantung langsung minimal
invasif melalui insisi 2 cm dan sebuah alat yang menyerupai tongkat tampaknya
menjanjikan dalam beberapa situasi klinis.22,23,24
Di antara semua intervensi resusitasi untuk meningkatkan survival pasien dari
VF/ pulseless VT, defibrilasi adalah intervensi yang paling berguna.1 Defibrilator
yang menggunakan bentuk gelombang monofasik (arusnya bergerak hanya pada arah
positif) digunakan di berbagai belahan dunia sejak 40 tahun terakhir.8,25 Defibrilasi
bifasik (arus polar dibalikkan di pertengahan sepanjang pengosongan) telah diteliti
sejak awal 1980-an dan penggunaannya meningkat dengan cepat, seperti halnya alat
ini memerlukan energi yang sedikit, juga kurang mencederai miokardium dan selalu
dikaitkan dengan angka kesuksesan tindakan defibrilasi yang lebih tinggi pada henti
jantung yang terjadi di luar rumah sakit.1,5,6 Ketahanan hidup setelah mengalami
henti jantung dengan fibrilasi ventrikel menurun 7- 10% setiap menit jika tanpa

6
tindakan defibrilasi. Pada 4 menit pertama, cedera organ irreversibel terjadi, dan
pada 12 menit angka survival menurun 2- 5%.10 Oleh karena itu, rumah sakit perlu
untuk membuat program- program untuk mencapai defibrilasi lebih awal (kelas 1).2
Defibrilator eksternal otomatis direkomendasikan untuk tempat-tempat publik
dengan probabilitas tinggi terjadinya henti jantung, minimal terjadi satu kasus henti
jantung dalam lima tahun (kelas 2b),2,10 VF/ pulseless VT dapat didefibrilasi
dengan kejut monofasik (200j- 300j- 360j) atau kejut bifasik (150j-150j-150j); upaya
terbaru menunjukkan bahwa penting untuk mengulangi CPR setelah defibrilasi jika
defibrilasi menghasilkan irama tanpa denyut nadi. Terdapat juga konsensus yang
berkembang menyatakan bahwa korban VF yang tidak mendapatkan defibrilasi
bahkan 5 menit setelah kejadian, harus mendapatkan terapi perfusi (CPR) sebelum
defibrilasi.

2.4.1 ALGORITMA BLS DAN ILS DEWASA

ALGORITMA BLS DAN ILS DEWASA ($)

Jika tidak berespon Cek kemamampuan Goyang-goyangkan dan berteriak pada korban
berespon

Buka jalan napas Head tilt/Chin lift*

Cek pernapasan Lihat, dengar, dan rasakan**

Berikan bantu napas


jika apneu ****

Cek tanda- tanda


sirkulasi ***

Tanda- tanda Tanda- tanda


sirkulasi ada, sirkulasi tidak
lanjutkan pemberian ada *****, lakukan
bantu napas setiap 5 kompresi dada 100x
menit permenit

7
2.4.2 Survei ABCD Sekunder
Setelah melaksanakan survei ABCD primer, penolong dapat meneruskan ke
survey ABCD sekunder bagi pasien yang memenuhi syarat. Setiap langkah
memerlukan dua tindakan: penilaian dan pengelolaaan, dan dengan kedua
tindakan tersebut penolong tidak akan pernah kehilangan pengamatannya tentang
kebutuhan akan evaluasi dan perawatan pasien. Jika penilaian memperlihatkan
masalah yang mengancam jiwa, penolong tidak boleh melangkah lebih lanjut
sampai masalah tersebut terselesaikan. Pendekatan ini membantu dalam
menangani semua kasus gawat darurat yang mengancam jiwa.2 Empat komponen
utama survey ABCD sekunder adalah sebagai berikut:
1. Jalan Nafas
Penolong haruslah menyediakan jalan napas tahap lanjut; hanya orang-
orang yang melakukan 6-12 kali intubasi setiap tahun yang boleh melakukan
percobaan intubasi. Penolong yang minim pengalaman harus menggunakan
laryngeal mask airway (LMA) atau Esophageal-Tracheal Combitube.2,10
Intubasi endotrakeal harus diselesaikan dalam 30 detik; jika tidak berhasil,
penolong harus melanjutkan ventilasi bag-Mask.
2. Pernafasan
Sekarang ini telah diperintahkan untuk memastikan posisi pipa yang benar di
dalam trakea dengan melakukan auskultasi pada 5 titik dan juga dengan teknik-
teknik sekunder yang mencakup indikator tidal akhir CO2 dan alat detektor
esofagus (kelas 2a). Setelah memastikan posisi pipa benar, penolong harus
memfiksasi pipa dengan menggunakan tali, plester atau gagang pipa (kelas 2b).
3. Sirkulasi
Langkah selanjutnya adalah untuk mendapatkan akses intravena, menentukan
irama jantung, dan memberikan obat- obat yang sesuai.
4. Diagnosis Banding
Penolong harus mencari, menemukan, dan mengobati penyebab- penyebab
yang reversibel.2,10

8
Setelah sirkulasi berhasil kembali, penting untuk memakai strategi
perlindungan organ tubuh karena semua organ terutama otak dan jantung sensitif
terhadap kehilangan oksigen dan nutrisi yang terjadi selama dan setelah henti
sirkulasi dan yang ditimbulkan oleh cedera reperfusi. Kematian sering terjadi
berkaitan dengan kegagalan jantung dan neurologik dan banyak dari kematian
tersebut terjadi dalam 48 jam pertama setelah resusitasi. 27 Strategi perlindungan
organ vital dapat meningkatkan hasil resusitasi mencakup penggunaan defibrilator
energi rendah, penggunaan vasopresor yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen
miokardium, hipotermi,17,28 penggunaan ionotropik (Dobutamin), metabolik
(glukosa-insulin-kalium), dan mekanik (pompa balon intra-aorta, bypass jantung-
paru, pijat jantung minimal invasif), bantuan sirkulasi; penggunaan pembuka saluran
kalium, penghambat pertukaran natrium/ hidrogen, penghambat calpain (Cariporide),
antioksidan dan pengaturan ekspresi gen yang juga sedang dievaluasi. Telah terdapat
sedikitnya dua percobaan acak terpublikasi pada manusia yang telah membandingkan
dua kelompok pasien post henti jantung VF yang berespon terhadap resusitasi
dengan kembalinya sirkulasi spontan;29,30 kedua kelompok tersebut diacak untuk
mendapatkan keadaan normotermia dan hipotermia ringan (32- 34oC). Hasilnya
ditentukan sesuai dengan pemulihan neurologik yang baik untuk membolehkan
mengeluarkan pasien. Kelompok yang mendapatkan keadaan hipotermia ringan
didapatkan memiliki keluaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan mereka
yang mendapatkan keadaan normotermia.

2. 5. TINJAUAN IRAMA JANTUNG PADA ACLS2 4,6

A.Irama jantung yang mematikan


1. VF/ pulseless VT
2. Asistol
3. Pulseless electrical activity (PEA)
*Jangan beri kejut listrik pada Asistol
B. Irama jantung yang berpotensi mematikan
1. Takikardi yang tidak stabil

9
2. Bradikardi yang tidak stabil
Irama jantung yang tidak stabil adalah salah satu yang dapat menyebabkan
bahaya hemodinamik (kegagalan, penurunan derajat kesadaran, nyeri dada
persisten atau VPC’S berkelanjutan pada keadaan kemungkinan hipotensi infark
miokard akut), gagal jantung kongestif.
3. Irama jantung yang tidak mematikan
a.Bradikardi stabil.
b.Fibrilasi/ flutter atrium stabil.
c.Takikardi kompleks sempit stabil.
d.Takikardi kompleks lebar stabil; tipe tidak diketahui.
e.VT stabil.

2.6. Irama jantung yang mematikan


Irama yang mematikan membutuhkan pengenalan segera dan tindakan yang
sesuai oleh penolong misalnya jika seorang pasien mengalami fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel tanpa denyut nadi, defibrilasi segera adalah penanganan yang
tepat sedangkan penanganan serupa berbahaya dan berpotensi mematikan pada kasus
pulseless electrical activity (hadirnya depolarisasi listrik pada keadaan hilangnya
denyut nadi) atau asistol (penyebab yang mendasari harus dikoreksi pada situasi
terakhir). Sejak tahun 60-an epinefrin telah digunakan sebagai obat pilihan untuk
kejut VF refrakter; epinefrin bekerja sebagai agonis alpa yang menyebabkan
vasokonstriksi sistemik yang mempertahankan vasokonstriksi perifer; yang
mempertahankan tonus pembuluh darah perifer dan mencegah kolaps pembuluh
darah, selain meningkatkan perfusi arteri coroner Vasopressin, vasokontriktor
potensial yang bekerja dengan meningkatkan siklik adenosin monofosfat (AMP)
yang mungkin lebih di atas dari epinefrin untuk terapi kejut VF refrakter/ pulseless
VT; tidak ada bukti yang mendukung penggunaannya pada PEA atau asistol dimana
epinefrin tetap digunakan sebagai obat pilihan pertama. Dibandingkan dengan
epinefrin yang memiliki waktu paruh 3-4 menit, vasopressin memiliki waktu paruh
10- 20 menit dan diberikan dalam dosis tunggal 40 IU secara intravena.10
Vasopressin juga dikaitkan dengan efek sampingnya yang kurang, perbaikan
hemodinamik, dan perbaikan survival dibandingkan dengan epinefrin.

10
ALGORITMA UNTUK IRAMA JANTUNG YANG
MEMATIKAN2

Survey ABCD primer

DENYUT NADI TIDAK ADA

Lanjutkan CPR/ nilai irama jantung


Fibrilasi ventrikel/ Takikardi Asistol/ pulseless electrical activity (PEA)

Percobaan defibrilasi sampai Epinefrin 1 mg IV, ulangi setiap 3- 5 menit


3 kali kejut
TIDAK ADA RESPON

Pertimbangkan penggunaan obat-


Vasopressin 40 IU dosis tunggal obat anti-aritmia

Perhatikan 5H dan 5T

Pacing darurat segera (2b) Hipovolemia Tablet (overdosis obat)


Henti jantung brady systolic Hipoksia Tamponade (jantung)
H- ion (asidosis) Tension Pneumotoraks
Hiper/hipokalemia Trombosis Koroner
Hipotermia Trombosis paru
Atropin 1 mg IV jika PEA lambat, ulangi setiap
3-5 menit, jika perlu (dosis total 0.04 mg/kg)

2.6.1 Takikardi

11
Secara klinis penolong harus mengetahui apakah pasien stabil atau tidak;
penting juga untuk mengelompokkan apakah takikardinya kompleks sempit atau
lebar karena hal tersebut yang menuntun pilihan terapi obat.
Jika pasien tidak stabil, penolong harus menstabilkan denyut jantung sebagai
penyebab dari gejala (hampir selalu denyut jantung lebih dari 150). Langkah
berikutnya adalah untuk mengkardioversi irama tidak stabil tersebut. Defibrilator
modern/ kardioverter dapat menghasilkan kejut yang tidak sinkron maupun kejut
yang sinkron; pada awalnya kejut listrik dapat menurun dimana saja di siklus
jantung, sementara sebagai akhirnya kejut dihasilkan secara sinkron dengan puncak
kompleks QRS. Kejut listrik tersinkronisasi mennghindarkan dihasilkannya kejut
sepanjang repolarisasi jantung, periode yang rentan selama kejutan dapat memicu
fibrilasi ventrikel. Rekomendasi ACLS adalah untuk mensinkronkan pasien dengan
takikardi stabil dan pasien dengan takikardi tidak stabil yang sangat tidak stabil, yang
penundaan sebentar saja dapat mengakibatkan kemunduran klinis yang lebih lanjut.
Sebaliknya, untuk menghindari penundaan yang berbahaya, pasien yang sangat tidak
stabil, seperti mereka yang dalam syok berat atau pulseles VT, harus mendapatkan
kejut listrik yang tidak sinkron. Jika, kejut yang tidak sinkron menimbulkan VF,
defibrilasi harus dilakukan dengan segera.
Untuk kardioversi tersinkronisasi, langkah pertama adalah menyiapkan
peralatan; monitor saturasi oksigen, jalur intravena dan peralatan intubasi harus
tersedia dan jika mungkin pasien harus dipremedikasi dengan midazolam±fentanil di
bawah supervise dari seorang ahli anestesi. Langkah selanjutnya adalah memberikan
kejut DC tersinkronisasi pada VT monomorfik dengan denyut nadi, paroxysmal
supraventricular tachycardia (PSVT), fibrilasi atrium (AF), atrial flutter dengan kejut
monofasik 100-200-300-360J atau setara dengan kejut bifasik 70-120-150-170J. Jika
pasien tidak stabil, penolong harus melanjutkan untuk kardioversi segera. Jika pasien
stabil penolong kemudian mengelompokkan jenis aritmianya dan melanjutkan
dengan algoritma individual.
Takikardi kompleks sempit yang stabil diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam
PSVT, takikardi atrium multifocal (MAT) dan takikardi junctional. Membedakannya
penting karena PSVT disebabkan oleh fenomena re-entri ketika yang lain sebagai

12
tambahan takikardi atrium ektopik biasanya disebabkan oleh fokus otomatis atau
fokus yang mudah terangsang dan tidak berespon dengan kardioversi.
Pada VT, perhatian diberikan pada apakah pasien stabil atau tidak, morfologi
(monomorfik atau polimorfik), fraksi ejeksi dan interval QT. Ketika QT normal, VT
disebabkan karena iskemia atau ketidakseimbangan elektrolit; penolong harus
menangani iskemia, dan melakukan koreksi elektrolit.Pada korban dengan interval
QT yang memanjang (Torsades), penolong harus mengoreksi elektrolit, coba
magnesium, menambah kecepatan pacing, isoprotrenol, fenitoin atau lidokain.
Fibrilasi atrium/ atrial flutter diterapi dalam tahap biasa yang bergantung pada
beberapa faktor; jika pasien tidak stabil, penolong melakukan satu kali kardioversi,
jika pasien stabil, kontrol denyut jantung menjadi prioritas diikuti dengan konversi
irama jantung jika dianggap perlu dan/atau sesuai.

ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS LEBAR STABIL,


TIDAKDIKETAHUI2

Pertahankan fungsi EF kurang dari


jantung 40%, CHF

Kardioversi DC Kardioversi DC

Prokainamid Amiodaron

*Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada
percobaan pertama kardioversi

13
PROTOKOL FIBRILASI ATRIUM/ ATRIAL FLUTTER2

Apakah pasien Tangani dengan lebih mendesak


stabil atau tidak? untuk pasien tidak stabil

Jika ya (EF kurang dari 40% atau


CHF). Gunakan obat- obat seperti
Apakah fungsi digoksin, diltiazem,dan
jantung terganggu? amiodaron. Hindari penggunaan
verapamil, beta-bloker,
prokainamid/flekainamid

Jika ya, hindari penggunaan


Apakah ada
adenosine, beta-bloker, calcium
WPWS?
channel blockers dan digoksin

ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS SEMPIT STABIL (SVT)2

Buat diagnosis spesifik


Pasang EKG-12 lead dan penilaian klinis
manuver vagal, adenosin

PSVT MAT Junctional


Tachycardia

EF Normal, diprioritaskan NO KARDIOVERSI NO KARDIOVERSI


Ca2+ Blockers> beta-bloker>
digoksin> kardioversi DC

EF <40%, diprioritaskan EF NORMAL EF NORMAL


No kardioversi Ca2+ Blocker, beta- Adenosine, Beta-
Digoksin atau amiodaron bloker,amiodaron bloker, Ca2+ Blocker
atau diltiazem EF <40%,CHF
Amiodaron,diltiazem
EF <40%,CHF
Amiodaron

14
2.6.2 Bradikardi

Pertanyaan klinis utama adalah apakah bradikardi memperburuk keadaan


pasien atau ada hal lain yang menimbulkan bradikardi. Kita seharusnya hanya
menangani bradikardi simptomatik tapi kita harus mengenali bradikardi yang
berbahaya dengan kata lain bradikardi yang tampaknya memburuk bahkan jika
pasien asimptomatik. Jenis bradikardi tersebut meliputi:

a. Blok AV derajat II, Tipe 2


b. Blok jantung derajat III (blok jantung total)

Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut,
khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik
menyebabkan bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan
hipovolemia dan pasien seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan
menggunakan normal saline (250-500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini
dapat menyelamatkan jiwa. Atropin adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal
dari banyak kasus bradikardi; obat ini bekerja dengan menghalangi fungsi nervus
vagus. Akan tetapi area jantung yang tidak dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan
berespon terhadap atropin; oleh karena itu atropin tidak diindikasikan pada blok
jantung derajat III atau Mobitz tipe II. Penggunaannya dapat mempercepat denyut
atrial dan menghasilkan peningkatan blok nodus AV.

15
ALGORITMA UNTUK BRADIKARDI :

BRADIKARDI, (2)
(ABSOLUT/ RELATIF*)

Survei ABCD Primer

Survei ABCD Sekunder

Tanda-tanda serius dan


TIDAK ADA gejala yang berhubungan ADA
dengan Bradikardi

Bradikardi berbahaya Bradikardi Urutan Intervensi:


tidak ada berbahaya ada Atropin 0.5-1.0 mg/kg (sampai 0.04
mg/kg)
Pacing transkutaneus (jika tersedia)
Dopamin 2-10 μg/kg permenit
OBSERVASI Siap dengan pacing Epinefrin 2-10 μg/kg permenit
transkutaneus Isoprotrenol @ 10 μg/kg permenit
Persiapkan untuk
transvenous pacing

* Absolut, HR < 60x/ menit


Relatif, HR kurang dari yang diharapkan untuk kondisi tersebut

2.6.3 SINDROM KORONER AKUT (ACS)


Infark miokard akut telah dikenal sebagai spektrum penyakit yang memerlukan
nama yang lebih komprehensif: sindrom koroner akut. Awalnya pasien dengan ACS
dikelompokkan berdasarkan gambaran EKG awal seperti MI dengan gelombang Q,
MI tanpa gelombang Q dan angina tidak stabil dan penatalaksanaan pasien
didasarkan pada klasifikasi ini; akan tetapi, sekarang algoritma baru nyeri dada
iskemik telah dikembangkan untuk memasukkan semua pasien yang datang dengan
gejala nyeri dada. Pentingnya algoritma ini adalah untuk menyediakan penilaian
umum segera (10 menit) dan penanganan umum segera untuk semua pasien dengan
nyeri dada dan kemudian membagi pasien- pasien tersebut ke dalam tiga kelompok
berdasarkan gambaran EKG 12-lead dan deviasi segmen ST.
Semua tenaga ACLS dilatih untuk menekankan pada reperfusi awal pada
elevasi segmen ST, menghindari terapi fibrinolitik pada ACS dengan depresi segmen
ST karena hal ini menimbulkan resiko bahaya.
16
Keterangan :
*Jika pemberian nitrogliserin saja tidak menghilangkan nyeri, Morfin
atau petidine diberikan secara intravena.*Tidak ada kontraindikasi.***Berdasarkan
sumber daya setempat.**** UHF unfractionated heparin, LMWH low molecular
weight heparin, yang terakhir lebih disukai pada kasus depresi segmen ST.*****
Percutaneous Coronary Intervention/Coronary Artery Bypas.

17
2.6.4 Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31
a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin
dan beta- bloker jika tidak ada kontraindikasi.
b. Pemeriksaan EKG 12-lead pre- rumah sakit (kelas 2a)
meningkatkan diagnosis dan mengurangi waktu di rumah sakit
untuk penanganan.
c. Penggunaan daftar indikasi dan kontraindikasi pre-rumah sakit,
dapat memperpendek waktu agar digunakan untuk reperfusi.

A. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST


a. Terapi fibrinolitik pre- rumah sakit (kelas 2a) bermanfaat untuk
pasien- pasien yang memenuhi syarat ketika transportasi ke
rumah sakit memerlukan waktu >60 menit.
b. Pasien- pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung
karena infark miokard akut perlu untuk dipindahkan ke rumah
sakit dimana PCI/CABG tersedia jika, waktu transpornya 30-45
menit.
c. PCI dapat disamakan dengan terapi fibrinolitik di rumah sakit
besar dengan operator yang berpengalaman.
d. PCI lebih unggul dari terapi fibrinolitik pada pasien usia <75
tahun dengan syok kardiogenik.
e. Heparin bolus 80 m/kg dan infus 12 m/kg perhari diindikasikan
sebagai terapi tambahan dengan terapi fibrinolitik (misalnya,
alteplase) dan untuk semua pasien yang menjalani PCI.
f. Obat- obat ACE-inhibitor diindikasikan untuk pasien dengan
gagal jantung kongestif, IMA yang luas atau EF <40%.

B. Infark Miokard Akut dengan Depresi Segmen ST31


Obat- obat yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
khususnya yang durasi kerja pendek seperti Eptifabatide dan Triofiban
memperbaiki prognosis pasien yang beresiko tinggi karena depresi

18
segmen ST, marker positif dan iskemia refrakter; obat- obatan tersebut
juga direkomendasikan untuk pasien yang menjalani PCI.
a. Enoxaparin, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) lebih
unggul daripada unfractionated heparin (UFH) dan mudah untuk
diberikan tanpa adanya angina berulang (rebound angina).
b. Penggunaan terapi dengan tiga anti-trombotik (aspirin dan
klopidogrel*, penghambat GP IIb/IIIa dan UFH/LMWH)
merupakan terapi yang paling efektif untuk IMA dengan depresi
segmen ST dan angina tidak stabil.

2.7 FARMAKOLOGI RESUSITASI


a. Amiodaron (kelas 2b) 300 mg IV bolus cepat adalah obat pilihan
untuk henti jantung karena VT/VF yang tetap berlangsung setelah
pemberian kejut berkali- kali. (Lidokain 1.0-1.5 mg/kg kelasnya tidak
dapat ditentukan untuk indikasi yang sama).8,32,33
b. Amiodaron dan Sotalol (kelas 2b) adalah obat yang direkomendasikan
untuk terapi VT monomorfik stabil dan polimorfik.32
c. Amiodaron dan prokainamid (kelas 2b) direkomendasikan di depan
daripada adenosine untuk terapi takikardi kompleks lebar stabil.32
d. Bretyllium** telah dikeluarkan dari protokol VF/pulseless VT.32
* Kira- kira 20% pasien tidak mempan dengan Aspirin
** Persediaan Bretyllium di dunia hampir habis
e. Magnesium sulfat (kelas 2b) 1-2 g IV diberikan pada keadaan torsade
de pointes atau ketika pasien dicurigai iskemia karena
hipomagnesemia.31
f. Prokainamid (kelas tidak ditentukan) sampai 50 mg/kg diberikan pada
korban VF/VT yang berespon terhadap terapi kejut dengan kembalinya
denyut nadi secara intermitten atau pada korban yang bukan VF/VT
tetapi aritmianya berulang.
g. Vasopresin, (dosis tunggal 40 IU IV kelas 2b) mungkin lebih manjur
daripada epinefrin untuk mengembalikan sirkulasi setelah henti jantung
pada VF/ pulseless VT yang resisten pada terapi kejut berulang kali.34

19
h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan)
tampaknya tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada
pasien-pasien henti jantung.35
i. Recombinant tissue plasminogen activator (rtpa) memperbaiki
keluaran neurologik saat diberikan pada pasien- pasien stroke yang
memenuhi syarat dalam 3 jam setelah onset (kelas 1).34

C. Sodium Bikarbonat2
a. Kelas 1: Pada keadaan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya.

b. Kelas 2a: Pada keadaan asidosis yang berespon dengan pemberian


bikarbonat.
c. Kelas 2a: Pada overdosis obat antidepresan trisiklik.
d. Kelas 2a: Pada urin yang alkali akibat overdosis aspirin atau obat
lainnya.
e. Kelas 2b: Untuk intubasi dan ventilasi pasien- pasien dengan
interval henti jantung yang lama.
f. Kelas 2b: Kembalinya sirkulasi setelah henti jantung yang lama.
g. Kelas 3: Berbahaya pada asidosis hiperkarbik.

20
BAB III
KESIMPULAN

a. Resusitasi serebral merupakan tujuan ACLS yang paling penting, kecuali jika
ventilasi dan sirkulasi spontan dimulai dengan cepat, resusitasi yang berhasil
tidak dapat terwujud.
b. Jangan pernah melupakan pasien, tangani pasien bukan aritmianya; para petugas
kegawatdaruratan harus secara konstan meninjau kembali resusitasi daripada
fokus pada satu usaha resusitasi.

c. Agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian tidak terputus yang
dimulai dengan BLS dan diakhiri dengan ACLS; keduanya disatukan oleh ILS
(bantuan hidup intermediat) yang mencakup penggunaan defibrilator eksternal
otomatis (AED’s) dan beberapa peralatan jalan napas lanjut dengan berbagai
variasi dari personel rumah sakit.

d. Waktu adalah kritis, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk


mengembalikan denyut jantung, semakin kecil kesempatan untuk suksesnya
resusitasi.

e. Cari dan tangani penyebab; orang-orang yang mengalami henti jantung VF


membutuhkan defibrilator, sedangkan mereka yang mengalami henti jantung
asistol atau PEA membutuhkan diagnosis disertai intervensi untuk mengoreksi
abnormalitas yang terjadi. Dalam hal waktu, diagnosis dan penanganan infark
miokard akut adalah kritis.

f. Perawatan post resusitasi sama pentingnya; ketika jantung kembali berdenyut,


jagalah untuk tetap berdenyut.

g. Kemampuan bertahan hidup pasien setelah mengalami henti jantung VF


menurun 7-10% setiap menit tanpa defibrilasi.

h. Rencana lanjutan sangat penting dan setiap percobaan resusitasi memiliki


struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap; hal
tersebut meliputi antisipasi kedatangan pasien ke rumah sakit, pemindahan
pasien ke ruang penerimaan oleh tim resusitasi, usaha resusitatif oleh tim utama,

21
meempertahankan keadaan pasien setelah kembalinya sirkulasi dan
memberitahukan kepada keluarga pasien tentang hasil terapi yang diharapkan.

i. Resusitasi yang baik membutuhkan pemikiran yang hati- hati tentang kapan
upaya resusitasi dihentikan dan bahkan yang lebih penting, kapan resusitasi
tidak dimulai. Kita tidak boleh meresusitasi pasien ketika penyakitnya telah
berada pada tahap akhir dan kehidupan berhenti; kita juga tidak boleh
meresusitasi pasien jika bertentangan dengan keinginannya.

j. Rangkaian usaha untuk mempertahankan hidup yang meliputi CPR dini.


Defibrilasi dini, dan ACLS dini harus diaplikasikan dan diperkuat dalam
masyarakat kita, baik di rumah sakit dan juga di rumah- rumah kita.

k. Life stick resuscitation dapat dilakukan dan aman serta mungkin bermanfaat
pada pasien asistol atau PEA.

l. Resusitasi dengan kompresi dada pada VF/pulseless VT oleh penolong awam


tanpa pemberian napas bantu dari mulut ke mulut dapat dilakukan dan efektif
(studi percobaan tidak memperlihatkan perbedaan apapun pada hasil dari dua
kelompok, satu kelompok meresusitasi dengan ventilasi dan kompresi dada,
sementara kelompok yang lain meresusitasi dengan kompresi dada saja).

22
DAFTAR PUSTAKA

1. AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22:
259-99.
2. Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.
3. Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-
86.
4. Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.
5. Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy
canine internal fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.
6. Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and
biphasic waveforms. Circulation 1995; 92:1634-43.
7. Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343:
1210-7.
8. Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation
9. 100 kg calf with one cycle of bidirectional rectangular, wave stimuli. Trans
Biomed Eng 1983; 30: 415-22.
10. Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5):
1832-47.
11. M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.
12. Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth
ventilation. N Engl J Med 2000; 342(21);1546-53
13. Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.
14. Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.
15. Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann
Intern Med 1979; 90:737-40.
16. Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and
surrounding areas. Resuscitation 1998; 38:157-167.
17. Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation
in CPR. Ann Emerg Med 1984; 22: 499-506.
18. Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after
arrest in dogs. J Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.
19. Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and
decompression CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care
Med 2000; 28: 1107-1112.
20. Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression
Vs Conventional CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104:
768-7.
21. Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active
compression decompression for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med
1999; 314: 1993-99.
22. Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest.
Circulation 1996; 94: 1-9.
23. Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983;
23: 453-60.
24. Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.

Anda mungkin juga menyukai