CARDIAC ARREST
Oleh Kelompok 4
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul“Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dengan gangguan Sistem
Kardiovaskuler “Henti Jantung (Cardiac Arrest) ”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih kurang
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
berguna dan bermanfaat bagi semuanya.
.
Kelompok
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi........................................................................................ 3
B. Etiologi ....................................................................................... 4
C. Insiden......................................................................................... 5
D. Patofisiologi................................................................................. 5
E. Manifesasi Klinik........................................................................ 6
F. Pemerikasaan Penunjang............................................................. 7
G. Komplikasi ................................................................................. 9
H. Prognosis..................................................................................... 10
I. Penatalaksanaan........................................................................... 10
J. Asuhan Keperawatan ................................................................. 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 24
B. Saran............................................................................................ 24
DAFTARPUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian henti jantung (sudden cardiac arrest) dapat terjadi di mana saja
dan kapan saja. Henti jantung mendadak adalah kasus dengan prioritas gawat
darurat. Kondisi gawat darurat merupakan keadaan yang mengancam nyawa,
dan bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian (Hammond,
2013). Pasien dengan henti jantung ini harus segera mendapat pertolongan
dengan diberikan tindakan CPR (cardiopulmonary resuscitation) dan AED
(automated external defibrillator), baik oleh petugas kesehatan maupun orang
awam (American Heart Association, 2015).
Di Amerika Serikat, tercatat hampir 360.000 kejadian henti jantung
terjadi di luar rumah sakit (Out of Hospital Cardiac Arrest, OHCA), atau bisa
dikatakan hampir 1000 kasus per hari (Wissenberg et al, 2013). Dari
penelitian yang dilakukan oleh Chan et al. (2014) ditemukan bahwa OHCA
terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 92% diantaranya
meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Pasien yang meninggal akibat henti
jantung diketahui mengalami ventricular fibrillation (VF) dan pulseless
ventricular tachycardia (pulseless VT), terjadi pada 40-50% kasus OHCA
(Christ, 2007). Di Indonesia, laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013)
menunjukkan bahwa prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% dan
berpotensi mengalami henti jantung bahkan kematian mendadak apabila tidak
ditangani dengan baik (Balitbang Kemenkes RI, 2013).
Cardiac arrest atau henti jantung merupakan suatu kondisi dimana kerja
jantung tiba-tiba terhenti, sehingga berakibat kemampuan jantung untuk
memompa darah tidak berfungsi, yang kemudian menyebabkan pasokan
oksigen yang dibutuhkan oleh organ-organ vital dalam tubuh tidak cukup
(Guyton & Hall, 2016). Apabila hal tersebut terjadi lebih dari 4 menit maka
dapat mengakibatkan terjadinya kematian pada sel-sel otak dan dapat
menyebabkan kematian pada seluruh organ vital tubuh hanya dalam waktu 10
menit. OHCA adalah kejadian henti jantung mekanis yang ditandai dengan
1
tidak adanya tanda-tanda sirkulasi, dan terjadi diluar area rumah sakit
(Kronick et al., 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Henti Jantung (Cardiac Arrest)?
2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi Henti Jantung (Cardiac Arrest)?
3. Apa saja tanda dan gejala Henti Jantung (Cardiac Arrest)?
4. Bagaimana prognosis Henti Jantung (Cardiac Arrest)?
5. Bagaimana pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang Henti
Jantung (Cardiac Arrest)?
6. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Henti Jantung (Cardiac
Arrest)?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian henti jantung
2. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dan etiologi Henti Jantung
(Cardiac Arrest);
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala serta patofisiologi Henti
Jantung (Cardiac Arrest);
4. Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis Henti Jantung (Cardiac Arrest);
5. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan, pencegahan, dan
pemeriksaan penunjang Henti Jantung (Cardiac Arrest); dan
6. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Henti Jantung (Cardiac Arrest).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Henti jantung adalah keadaan saat fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak hilang dengan ditandai terjadinya henti jantung dan henti nafas
(PUSBANKES 118, 2012). Brunner and Suddart (2002) mendefinisikan henti
jantung sebagai penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung
untuk berkontraksi secara efektif. Pasien dengan henti jantung ini harus segera
mendapat pertolongan dengan diberikan tindakan CPR (cardiopulmonary
resuscitation) dan AED (automated external defibrillator), baik oleh petugas
kesehatan maupun orang awam (American Heart Association, 2015).
Menurut Indri dan Yuniadi (2011), kejadian henti jantung terbanyak
disebabkan oleh penyakit jantung iskemik dengan salah satu komplikasi
utamanya yaitu Ventrikel Takhikardi (VT). Pusbankes 118 (2013)
menambahkan bahwa, henti jantung disebabkan oleh Infark Myocard Acute
(IMA), penebalan dinding jantung, gagal jantung, miokarditis, dan trauma atau
tamponade. Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah penghentian tiba-tiba fungsi
pemompaan jantung dan hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya
serangan jantung, penghantaran oksigen dan pengeluaran karbon dioksida
terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis
metabolik dan respiratorik terjadi. Pada keadaan tersebut, inisiasi langsung dari
resusitasi jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan
jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan kematian.
Henti jantung terjadi ketika jantung mendadak berhenti berdenyut,
mengakibatkan penurunan sirkulasi efektif. Semua kerja jantung dapat
terhenti, atau dapat terjadi kedutan otot jantung yang tidak sinkron (fibrilasi
ventrikel). (Hackley, Baughman, 2009). Henti jantung adalah keadaan klinis
di mana curah jantung secara efektif adalah nol. Meskipun biasanya
berhubungan dengan fibrilasi ventrikel, asistole atau disosiasi
elektromagnetik (DEM), dapat juga disebabkan oleh disritmia yang lain yang
3
kadang-kadang menghasilkan curah jantung yang sama sekali tidak efektif.
(Eliastam Breler, 2000).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan
jantung untuk berkontraksi secara efektif.
B. Etiologi
Penyebab cardiac arrest yang paling umum adalah gangguan listrik
didalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol
irama jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat
menyebabkan irama jantung yang abnormal disebut aritmia. Terdapat banyak
tipe aritmia, antara lain :
1. Takikardia sinus
Disritmia ini di akibatkan oleh meningkatnya aktivitas nodus sinus. Bisa
sekunder akibat berbagai faktor seperti demam, ansietas, latihan,
hipovolemia, dan merupakan respon faali terhadap kebutuhan curah jantung
yang lebih tinggi.
2. Bradikardia sinus
Ini terjadi akibat penurunan laju depolarisasi atrium setelah perlambatan
nodus sinus. Disritmia ini bisa sekunder akibat penyakit nodus sinus,
peningkatan nodus parasimpatis, atau sebagai efek obat seperti digitalis atau
penghambat beta.Gambaran yang penting pada elektro kardiogram adalah:
laju kurang dari 60 per menit, irama teratur, gelombang P tegak disandapan
I, II, aVF.
3. Takikardia Atrium
Disritmia ini bisa unifokal atau multifokal sering terlihat pada penderita
penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Ada dua bentuk klinis yang
sering ditemukan yaitu takikardia atrial paroksismal dan nonparoksismal.
Takikardia atrium paroksismal (paroksismal atrial tachycardia=PAT)
4
mempunyai ciri-ciri serangan berulang, timbul tiba-tiba dan berlangsung
beberapa detik sampai beberapa jam, dan biasanya berhenti tiba-tiba.
Fibrilisasi atrium
4. Fibrilisasi Atrium
Biasanya bisa timbul dari fokus ektopik ganda atau daerah reentri multipel.
Aktifitas atrium sangat cepat (kira-kira 400-700 per menit), namun setiap
rangsang listrik itu hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit
miokardium atrium, sehingga sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara
menyeluruh. Karena tidak ada depolarisasi yang uniform, tidak terbentuk
gambaran gelombang P, melainkan deflekasi yangdisebut gelombang “f”
yang bentuk dan iramanya sangat tidak teratu. Hantaran melalui nodus AV
berlangsung sangat acak dan sebagian tidak dapat melalui nodus AV
sehingga irama QRS sangat tidak teratur. Fibrilasi atrium biasanya didasari
oleh penyakit jantung, dan bisa berlangsung secara intermiten atau berlanjut
kronis. Ada pula yang berbentuk proksimal dan tidak dapat
dibuktikanadanya penyakit jantung lain yang mendasari.
5. Kompleks jungsional prematur
Kompleks ini berasal dari jungsion AV, terjadi sebelum impuls sinus berikut
yang dinantikan, dan biasanya berakibat depolarisasi atrium secara
retrograd. Akibatnya gelombang P di sandapan II,III, aVF negatif.
Gelombang P bisa mendahului, bersamaan atau mengikuti kompleks QRS.
Impuls yang asalnya pada bagian atas jungsion Avlebih mungkin
menmbulkan gelombang P di depan QRS, sedangkan yang berasal di bagian
bawah jungsion menyebabkan gelombang P pada kompleks QRS atau
segera sesudahnya.pause setelah kompleks jungsional prematur bisa non
kompensatoar bila nodus sinus didepolarisasi oleh denyut prematur tersebut.
Bisa pula terkompensasi penuh, yaitu impuls nodus sinus sebelumnya telah
dicapai oleh denyut prematur tersebut.
6. Irama Jungsional
Jungsional atrioventrikuler berfungsi sebagai pacu yang laten atau potensial,
dengan kemampuan membuat rangsang antara 40-60 kali per menit dalam
keadaan normal. Gambaran EKG menunjukkan laju QRS antara 40-60 per
5
menit dengn irama biasanya teratur. Gelombang P bisa terlihat negatif
(retrograd) di sandapan II,III, dan aVf. Gelombang P bisa mendahului,
tumpang tindih atau mengikuti kompleks QRS. Bila terdapat disosiasi
atrioventrikuler, maka gelombang P bisa lebih lambat dari irama jungsional.
Interval PR bervariasi namun biasanya lebih pendek dari interval PR pada
konduksi normal. Interval QRS biasanya normal.
7. Kompleks ventrikuler Prematur (premature Ventricular Complex atau
ventricular Extrasystole)
Suatu kompleks ventrikuler timbul secara dini di salah satu ventrikel
sebagai akibat cetusan dari suatu fokus yang otomatis atau melaui
mekanisme reentri. Karena berasal dari ventrikel, maka urutan depolarisasi
ventrikel yang normal menjadi berubah. Ventrikel mengalami depolarisasi
secara berurutan, dan konduksi berlangsung tidak melalui jalur hantaran
melainkan melalui miokardium. Akibatnya QRS menjadi lebar (0,12 detik
atau lebih ), sgmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks
QRS. Bila kompleks ini akibat reentri di fokus yang sama, maka interval
antara kompleks QRS normal yang mendahuluinya dengan kompleks
ventrikuler prematur tersebut (interval pasangan) selalu sama. Bila interval
pasangan ini berbeda, maka asalnya mungkin dari fokus berbeda di
ventrikel. Gambaran kompleks ventrikuler prematur seperti itu disebut
multifokal. Pada gambaran EKG, gelombang P sinus bisa terbenam dalam
kompleks QRS, segmen ST atau gelombang T. Kompleks QRS timbul lebih
awal dari seharusnya dengan durasi 0,12 detik atau lebih. Gambaran QRS
sering aneh (bizarre) dengan takik (notch). Segmen ST dan gelombang T
biasanya berlawanan arah dengan QRS.
8. Takikardia Ventrikuler (Ventricular Tachycardia=VT)
Bila terdapat tiga atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara
berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit, maka gambaran tersebut
dapat dikatakan takikardia ventrikular. Laju QRS biasanya tidak lebih dari
220 per menit dengan irama yang teratur maupun tidak. Kelainan ini bisa
ditoleransi dengan baik namun bisa pula menggambarkan situasi yang
gawat. Akibat hemodinamik disritmia ini tergantung terutama pada ada
6
tidaknya disfungsi miokard, misalnya akibat iksemia atau infark, serta pada
frekuensinya. Bisa terdapat disosiasi atrioventrikuler, dan gelombang P
sinus kadang-kadang dapat terlihat di antara komplek QRS. Konduksi dari
atrium ke ventrikel biasanya dicegah karena nodus AV atau sistem konduksi
ventrikel mengalami istirahat (refactory) setelah dipolarisasi ventrikel.
Kadang-kadang konduksi AV bisa terjadi pada saat nodus SAV dan sistem
his-purkinye dalam keadaan nonrefraktori. Keadaan ini bisa menyebabkan
capture beat, dengan gambaran bentuk QRS yang normal atau sempit.
Adang-kadang terdapat fusion beat, yaitu gambaran antara QRS normal dan
kompleks ventrikuler prematur.
9. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah irama yang sangat kacau. Bentuk dan ukuran
gelombangnya sangat bervariasi, dan tidak terlihat gelomang P, QRS
maupun T. Tidak ada depolarisasi ventrikel yang terorganisasi sehingga
ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan. Kenyataanya,
ventrikel kelihatan seperti bergetar tanpa menghasilkan curah jantung.
Fibrilasi ventrikel merupakan penyebab henti jantung yang paling sering
dan biasanya disebabkan oleh iksemia akut atau infark miokard. Bentuknya
ada yang kasar (coarse) dan halus (fine) tergantung besarnya amplitudo
gelombang fibrilasi. Pengobatan adalah dengan kardioversi (DC schok).
Mula-mula diberikan 200 joules. Fibrilisasi yang kasar biasanya baru terjadi
dan responsif terhadap kardioversi. Pada fibrilasi ventrikel yang halus perlu
diberikan obat-obat (adrenalin) sebelum dilakukan kardioversi. Selama tidak
ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pembuluh nadi besar tidak teraba)
terus-menerus dilakukan resusitasi jantung paru, sambil mengulangi
kardioversi dengan dosis listrik yang lebih besar (360-400 joules). Juga
diberikan lidokain bolus intravena 1mg/kgBB dan diikuti rumat 2-4
mg/kgBB/menit. Obat-obat resusitasi lainnya diberikan sesuia dengan
protokol resusitasi pada henti jantung.
10. Asistol ventrikel (Ventricular Asystole)
Dalam keadaan ini sama sekali tidak ada aktifitas listrik ventrikel.
Gambaran monitor EKG berupa garis (flat). Karena tidak ada depolarisasi
7
maka sama sekali tidak ada kontraksi. Asistol bisa terjadi sebagai kejadian
primer pada henti jantung atau mengikuti fibrilasi ventrikel, atau pada
penderita blok jantung komplit di mana tidak ada pacu penolong alami yang
berfungsi.
11. Blok Atrioventrikuler (Blok AV)
Pada disritmia ini, ada hambatan konduksi antara atrium dengan ventrikel.
Penyebabnya bisa berupa lesi organik seperti klasifikasi, fibrosis, atau
nekrosis sepanjang jalur konduksi, misalnay akibat digitalis, dan
pemendekan siklus supraventrikuler yang merasuk pada masa refraktori
yang normal. Hal yang terakhir ini terdapat pada fluter atrium dengan blok
2:1.
8
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson
White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa
menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
5. Pembuluh darah yang tidak normal
Kasus ini jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering
menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan
adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat,
bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan
tadi.
6. Penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest pada
penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Sementara itu penyebab terjadinya henti nafas dan henti jantung pada
bayi baru lahir adalah karena gagal nafas, sedangkan pada usia bayi yang
menjadi penyebabnya bisa berupa:
1. Sindrom bayi mati mendadak atau SIDS ( Sudden Infant Death Syndrome )
2. Penyakit pernafasan
3. Sumbatan pada saluran pernafasan, termasuk aspirasi benda asing
4. Tenggelam
5. Sepsis
6. Penyakit neurologis
Penyebab terbanyak henti nafas dan henti jantung pada anak yang
berumur diatas 1 tahun adalah cedera yang meliputi kecelakaan lalu lintas,
terbakar, cedera senjata api, dan tenggelam.
C. Insidensi
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di Amerika
Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih didominasi oleh anak
berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1 tahun dan lebih banyak
pada jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka kejadian henti nafas dan
9
jantung yang terjadi di rumah sakit berkisar antara 7,5 – 11,2% dari 100.000
orang setiap tahun. Sebuah penelitian di Amerika Utara menunjukkan bahwa,
kejadian henti nafas dan henti jantung lebih banyak terjadi pada bayi
dibandingkan dengan anak dan dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 :
6,3 dari 100.000 orang setiap tahunnya.
Sementara itu, angka kejadian henti nafas dan henti jantung yang terjadi
di rumah sakit berkisar antara 2 – 6% dari pasien yang dirawat di ICU
(Intensive Unit Care). Sekitar 71-88% terjadi pada pasien dengan penyakit
kronis, yang terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung, saluran
pencernaan, saraf, dan kanker. Penyebabnya hampir sama dengan henti nafas
dan henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di mana yang terbanyak
adalah asfiksia dan syok.
D. Patofisiologi
Henti jantung timbul akibat terhentinya semua sinyal kendali listrik di
jantung, yaitu tidak ada lagi irama yang spontan. Henti jantung timbul selama
pasien mengalami hipoksia berat akibat respirasi yang tidak adequat. Hipoksia
akan menyebabkan serabut-serabut otot dan serabut-serabut saraf tidak
mampu untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit yang normal di sekitar
membran, sehingga dapat mempengaruhi eksatibilitas membran dan
menyebabkan hilangnya irama normal.
Apapun penyebabnya, saat henti jantung anak telah mengalami
insufisiensi pernafasan akan menyebabkan hipoksia dan asidosis respiratorik.
Kombinasi hipoksia dan asidosis respiratorik menyebabkan kerusakan dan
kematian sel, terutama pada organ yang lebih sensitif seperti otak, hati, dan
ginjal, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan otot jantung yang
cukup berat sehingga dapat terjadi henti jantung.
Penyebab henti jantung yang lain adalah akibat dari kegagalan sirkulasi
(syok) karena kehilangan cairan atau darah, atau pada gangguan distribusi
cairan dalam sistem sirkulasi. Kehilangan cairan tubuh atau darah bisa akibat
dari gastroenteritis, luka bakar, atau trauma, sementara pada gangguan
distribusi cairan mungkin disebabkan oleh sepsis atau anafilaksis. Organ-
10
organ kekurangan nutrisi esensial dan oksigen sebagai akibat dari
perkembangan syok menjadi henti jantung melalui kegagalan sirkulasi dan
pernafasan yang menyebabkan hipoksia dan asidosis. Sebenarnya kedua hal
ini dapat terjadi bersamaan.
Pada henti jantung, oksigenasi jaringan akan terhenti termasuk oksigenasi
ke otak. Hal tersebut, akan menyebabkan terjadi kerusakan otak yang tidak
bisa diperbaiki meskipun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai menit.
Kematian dapat terjadi dalam waktu 8 sampai 10 menit. Oleh karena itu,
tindakan resusitasi harus segera mungkin dilakukan.
E. Manifestasi Klinik
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri (femoralis dan karotis pada orang dewasa
atau brakialis pada bayi).
6. Tidak ada denyut jantung.
7. Sianosis dari mukosa buccal dan liang telinga.
Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat
Darurat 118 (2010) yaitu:
1. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
2. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
3. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
F. Test Diagnostik
11
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan
durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan
pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls
listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu
sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui
enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit
yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang
membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidakseimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
Troponin T adalah protein jantung yang terdapat pada otot lurik
berfungsi sebagai regulator kontraksi otot yang spesifik terhadap otot
jantung. Kadar troponin T darah meningkat dalam 4 jam setelah
kerusakan miokardium dan menetap selama 10-14 hari (Hasan, 2005).
Pemeriksaan kadar troponin T dapat diukur dengan metode
chemiluminescent dan hasil dinyatakan secara kuantitatif berupa kadar
troponin T dalam satuan ng/ml.
Enzim CKMB adalah insoenzim Creatinin Kinase (CK) yang terdapat
pada berbagai jaringan terutama miokardium dan ±20% pada keletak.
Kenaikan aktivitas CKMB dapat mencerminkan kerusakan
miokardium. Enzim CKMB diperiksa dengan cara enzymatic
12
immunoassay Alt serum start dengan nilai normal <24U/L (Sungkar,
2008).
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut
merupakan obat-obatan terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal
jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang
sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia,Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai.
Selama tes, kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang
13
menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung.
Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik
melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab
yang mungkin memicu atau menghentikan aritmia. Hal ini memungkinkan
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac
arrest adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat mengukur fraksi
ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari
jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
G. Komplikasi
Komplikasi Cardiac Arrest adalah:
1. Hipoksia jaringan Perifer
14
2. Hipoksia Cerebral
3. Kematian
H. Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam
jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti.
Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru
dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk
terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi
jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara
5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan
kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang
mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam
arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan
(defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-
rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion
2010).
I. Penatalaksanaan
Henti jantung dapat terjadi setiap saat di dalam atau di luar rumah sakit,
sehingga pengobatan dan tindakan yang cepat serta tepat akan menentukan
prognosis 30-45 detik.
15
1. Alogaritma Penatalaksanaan Henti Jantung pada Dewasa
16
2. Alogaritma Penatalaksanaan Henti Jantung pada Pediatrik
17
18
3. Memperbaiki irama jantung
a. Defibrilasi, yaitu bila kelainan dasar henti jantung ialah fibrilasi
ventrikel.
b. Obat-obatan
Bila pengobatan mengurangi tingginya morbiditas atau kematian,
pemberian pengobatan pra rumah sakit di bandingkan dengan
pemberian pengobatan di rumah sakit akan membuat obat bekerja lebih
cepat dan pada akhirnya dapat mengurangi tingginya morbiditas atau
kematian.
1.) Inhibisi adenosin difosfat untuk pasien di rumah sakit dengan
dugaan STEMI telah di sarankan sejak lama. Pemberian inhibitor
adenosin difosfat dalam kondisi para rumah sakit tidak akan
memberikan baik manfaat tambahan maupun bahaya bila
dibandingkan dengan menunggu hingga diberikan di rumah sakit.
2.) UFH (Unfractionate heparin) yang di berikan kepada pasien dengan
STEMI dalam kondisi para rumah sakit belum terbukti memberikan
manfaat tambahan dibandingkan dengan jika diberikan di rumah
sakit. Dalam sistem yang telah mendukung diberikannya UFH
dalam kondisi para rumah sakit, sebaiknya diberikan UFH tersebut
tidak dihentikan. Jika UFH belum digunakan dalam kondisi para
rumah sakit, sebaiknya tunda pemberian UFH hingga pasien tiba di
rumah sakit.
3.) Sebelum rekomendasi tahun 2010, oksigen secara rutin diberikan
kepada semua pasien dengan dugaan ACS tanpa memperhitungkan
saturasi oksigen atau kondisi pernafasan. Dalam rekomendasi 2010,
bukti yang lemah atas tidak adanya manfaat dan adanya
kemungkinan bahaya menuntut rekomendasi bahwa oksigen
tambahan tidak diperlukan untuk pasien dengan ACS yang
memiliki saturasi oksihemoglobin 94% atau lebih besar (misalnya,
tidak ada hipoksemia) dan tidak ada bukti kesulitan pernafasan.
Bukti lebih lanjut bahwa pemberian oksigen tambahan secara rutin
dapat berbahaya, didukung oleh uji acak terkontrol multipusat yang
19
dapat dipublikasikan sejak pemeriksaan sistematis 20158 akan
memperkuat rekomendasi bahwa pemberian oksigen kepada pasien
dengan kemungkinan ACS Yong memiliki saturasi oksigen normal
akan di tunda (misalnya, yang tidak memiliki hipoksemia).
4.) Untuk pasien STEMI, pemberian UFH dalam kondisi para rumah
sakit atau bivalirudin wajar dilakukan.
5.) Pada pasien dengan dugaan STEMi yang dipindahkan untuk PPCI,
enoksaparin adalah alternatif yang wajar untuk UFH.
20
Bagi pediatri
Bagi dewasa
21
Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA :
22
Secara utuh EMS berbasis aplikasi internet ini memiliki 5 komponen
utama seperti yang akan ditunjukan pada gambar komponen tersebut adalah :
a. Emergency requester device (aplikasi emergency pada perangkat mobile).
Merupakan ponsel yang memiliki geographical positioning system (GPS)
b. Main Central System (MCS): ini adalah server utama untuk keseluruhan
sistem.
c. Ambulance System : Setiap Ambulan akan dilengkapi dengan sistem GPS
dan navigasi. Sistem ini akan menggunakan layar sentuh.
d. SOEHR: Smart online electronic Health Record
e. HEDS : Hospital Emergency Departement System 6
23
ventilasi asinkroni selama kompresi dada terus-menerus sebelum
penempatan saluran udara lanjutan
2) Rekomendasi yang diperbarui ini tidak menghalangi rekomendasi 2015
yang menjadi alternatif yang memungkinkan sistem EMS menerapkan
paketperawatan sebagai penggunaan awal dari kompresi dada dengan
gangguan yang minim (seperti ventilasi yang tertunda) untuk OHCA
yang terlihat terjatuh.
3) Identifikasi Operator Atas Tarikan Napas Agonal Korban serangan jantung
terkadang mengalami aktivitas seperti kejang atau tarikan napas agonal
yang dapat membingungkan calon penolong. Operator harus dilatih secara
khusus untuk mengidentifikasi presentasi serangan jantung ini agar dapat
mendukung pengenalan perintah dan CPR yang dipandu operator dengan
cepat.
4) Program AED untuk Penolong Tidak Terlatih Dalam Komunitas :
Disarankan bahwa program PAD untuk pasien dengan OHCA diterapkan
di lokasi umum tempat adanya kemungkinan pasien serangan jantung
terlihat relatif tinggi (misalnya, bandara, kasino, fasilitas olahraga)
(Diperbarui, 2015).
5) Identifikasi Operator Atas Tarikan Napas Agonal Korban serangan jantung
terkadang mengalami aktivitas seperti kejang atau tarikan napas agonal
yang dapat membingungkan calon penolong. Operator harus dilatih secara
khusus untuk mengidentifikasi presentasi serangan jantung ini agar dapat
mendukung pengenalan perintah dan CPR yang dipandu operator dengan
cepat.
6) Penekanan pada Kompresi Dada*2015 (Diperbarui): Penolong tidak
terlatih harus memberikan CPR hanya kompresi (Hands-Only) dengan
atau tanpa panduan operator untuk korban serangan jantung dewasa.
Penolong harus melanjutkan CPR hanya kompresi hingga AED atau
penolong dengan pelatihan tambahan tiba. Semua penolong tidak terlatih,
pada tingkat minimum, harus memberikan kompresi dada untuk korban
serangan jantung. Selain itu, jika penolong terlatih mampu melakukan
napas buatan, ia harus menambahkan napas buatan dalam rasio 30
24
kompresi berbanding 2 napas buatan. Penolong harus melanjutkan CPR
hingga AED tiba dan siap digunakan, penyedia EMS mengambil alih
perawatan korban, atau korban mulai bergerak.
7) Kecepatan Kompresi Dada* 2015 (Diperbarui): Pada orang dewasa yang
menjadi korban serangan jantung, penolong perlu melakukan kompresi
dada pada kecepatan 100 hingga 120/min. Kedalaman Kompresi Dada*
2015 (Diperbarui): Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong
harus melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5 cm)
untuk dewasa rata-rata, dengan tetap menghindari kedalaman kompresi
dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6 cm]).
25
menimbulkan rekomendasi yang berbeda. Topik yang ditinjau di sini
mencakup hal berikut:
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Chest compressions (Kompresi Dada)
Saat henti jantung, kompresi dada dapat mengalirkan darah ke
organ-organ vital dan meningkatkan kemungkinan kembalinya
sirkulasi spontan. Jika korban tidak responsif dan tidak bernapas,
berikan 30 kompresi dada. Berikut ini adalah karakterisrltik RJP
berkualitasa tinggi:
1.) Kompresi dada dengan kekuatan dan kedalaman yang tepat.
“Push fast” mendorong pada kecepatan minimal 100 tekanan per
menit. “Push hard” mendorong dengan kekuatan yang cukup
menekan setidaknya sepertiga anterior-posterior (AP) diameter
dada atau sekitar 1 ½ inci (4 cm) pada bayi dan 2 inci (5 cm)
tapi tidak melebihi 6 cm pada anak-anak dan dewasa.
2.) Biarkan dada kembali setelah measing-masing kompresi untuk
memungkinkan jantung diisi dengan darah.
3.) Minimalkan interupsi kompresi dada.
4.) Hindari ventilasi berlebihan.
5.) Untuk hasil terbaik, pastikan korban dibaringkan di permukaan
yang keras.
Hasil resusitasi terbaik didapatkan apabila penekanan dada
dikombinasikan dengan ventilasi, tetapi jika penolong tidak terlatih
dalam memberikan ventilasi, atau tudak dapat melakukannya,
penyelamat harus melanjutkan dengan penekanan dada (hands-only)
sampai bantuan tiba”.
Kompresi dada dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.) Penolong berlutut disisi korban.
27
2.) Menempatkan satu tumit tangan di tengah dada korban (yang
merupakan bagian bawah tulang dada atau disebut sternum)
3.) Tempatkan juga tumit tangan lainnya diatas tangan pertama
4.) Jari-jari tangan dipautkan dan memastikan tekanan tidak
dilakukan diatas tulang rusuk korban. Jaga lengan penolong
tetap lurus. Jangan menerapkan tekanan pada bagian atas perur
atau bagian tukang sternum (tulang dada)
5.) Memposisikan diri secara vertikal diatas dada korban dan tekan
ke bewah pada tulang dada minimal 5 cm tapi tidak melebihi 6
cm
6.) Setelah kompresi dilakukan, lepaskan semua tekana pada dada
tanpa kehilangan kontak antara tangan penolong dan mengulang
kompresi minimal 100 kali permenit (tapi tidak melebihi 120
kali permenit)
7.) Baik kompresi dada dikombinasikan dengan napas buatan.
28
6.) Setalah hembusan pertama dilihat dada korban sudah mulai
bangun untuk bergerak, membuka mata, dan bernapas normal.
Jika saat bantuan napas awal, dada tidak terangkat atau
mengembang maka dilakukan upaya berikutnya.
a) Melihat ke dalam mulut korban dan menghilangkan sumbatan
b) Memeriksa kembali jalan napas dengan head tilt dan chin lift
atau jaw trust
c) Jangan mencoba lebih dari dua kali memberikan napas
bantuan setiap kali melakukan kompresi dada.
c. Disability
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1.) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan
sekelilingnya/tidak sadar terhadap kejadian yang menimpa.
2.) Respon verbal (V) : Klien tidak berespon terhadap pertanyaan
perawat.
3.) Respon nyeri (P) : Klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4.) Tidak berespon (U) : Tidak berespon terhadap stimulus verbal
dan nyeri.
a) Anamnese (tanya) : nama dan kejadian
b) Cubit daerah pundak/tepuk wajah
c) Dengan GCS (E1 M1 V1 ), pupil,
kemampuan motorik.
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas klien
Hal yang perlu dikaji pada identitas klien yaitu nama, umur,
suku/bangsa, agama, pendidikan, alamat, lingkungan tempat tinggal.
b. Keluhan utama saat pengkajian
c. Riwayat Penyakit
1.) Riwayat penyakit sekarang
a) Alasan masuk rumah sakit
29
b) Waktu kejadian hingga masuk rumah sakit
c) Mekanisme atau biomekanik
d) Lingkungan keluarga, kerja, masyarakat sekitar
2.) Riwayat penyakit dahulu
a) Perawatan yang pernah dialami
b) Penyakit lainnya antara lain DM, Hipertensi, PJK
3.) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit yang diderita oleh anggota keluarga dari anak yang
mengalami penyakit jantung.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung
berhubungan dengankemampuan pompa jantung menurun
2. Gangguan perfusi serebral
berhubungan denganperubahan preload, afterload, dan kontraktilitas
3. Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengansuplai Oksigen tidak adekuat
4. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
30
Diagnosa Perencanaan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
tas. jantung,status indikasi hipoksia/iskemia.
sirkulasi,perfusi (kolaborasi) Banyak obat dapat
jaringan (organ digunakan untuk
abdomen),dan meningkatkan
perfusi jaringan volume sekuncup,
(perifer) memperbaiki
Dengan Indikator: kontraktilitas.
1. Tekanan darah 3. Palpasi nadi perifer 3. Penurunan curah
sistilik,diastolik jantung dapat
dalam batas menunjukkan
normal menurunnya nadi
2. Denyut jantung radial, dorsalis
dalam batas pedis dan
normal postibial. Nadi
3. Tekanan vena mungkin hilang
sentral dan atau tidak teratur
tekanan dala paru untuk dipalpasi.
dbn 4. Pantau Tekanan 4. Pada pasien
4. Hipotensi Darah Cardiac Arrest
ortostatis tidak tekanan darah
ada menjadi rendah
5. Gas darah dbn atau mungkin tidak
6. Bunyi napas ada.
tambahan tidak 5. Kaji kulit terhadap 5. Pucat
ada pucat dan sianosis menunjukkkan
7. Distensi vena menurunnya
leher tidak ada perfusi sekunder
8. Edema perifer terhadap tidak
tidak ada adekuatnya curah
jantung.
31
Diagnosa Perencanaan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
32
Diagnosa Perencanaan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
normal
3. Gang Setelah dilakukan 1. Berikan O2 sesuai 1. Meningkatkan
guan perawatan 3x24 indikasi konsentrasi oksigen
pertukaran jam klien dapat: alveolar dan dapat
gas b/d Sirkulasi darah memperbaiki
suplai O2 kembali normal hipoksemia jaringan
tidak sehingga 2. Pantau GDA Pasien 2. Nilai GDA yang
adekuat pertukaran gas normal menandakan
dapat berlangsung pertukaran gas
Dengan Indikator: semakin membaik
1. Nilai GDA 3. Pantau pernapasan 3. Untuk evaluasi
normal klien distress pernapasan
2. Tidak ada
distress
pernafasan
4. Intole Setelah dilakukan 1.Evaluasi respon 1. Menetapkan
ransi perawatan 4x24 terhadap aktivitas kemampuan/
aktivitas jam klien kebutuhan pasien
berhubun dapat:Peningkata danmemudahkan
gan n toleransi memilih intervensi
dengan terhadap aktivitas secara tepat
kelemaha Dengan Indikator: 2.Berikan lingkungan 2. Menurunkan stress
n umum, 1. Menunjukkan tenang dan batasi dan rangsangan
ketidaksei peningkatan pengunjungselama berlebihan
mbangan toleransi fase akut.
suplai dan terhadap 3.Jelaskan pentingnya 3. Tirah baring
kebutuhan aktivitas istirahat dan diperlukan selama
oksigen. 2. Tanda-tanda perlunyakeseimbang fase akut
vital dalam an aktivitas dan untukmenurunkan
batas normal istirahat. kebutuhan
metabolic.
33
Diagnosa Perencanaan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
4.Bantu aktivitas 4. Meminimalkan
perawatan, aktivitas kelelahan dan
diri yangdiperlukan. menbantu
keseimbangansupl
ai dan kebutuhan
oksigen.
5.Bantu pasien 5. Pasien mungkin
memilih posisi nyaman dengan
nyaman untuk kepala tinggi,tidur
istirahat /tidur. dikursi /
menunduk
kedepan meja /
bantal
4.Implementasi
Implementasi (pelaksanaan) keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan (intervensi), menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
dengan pedoman atau prosedur teknis yang telah ditentukan.
D. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan :
a. Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali lancar
b. Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat
berlangsung
c. Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan oksigen ke otak
terpenuhi
BAB IV
PENUTUP
34
A. Kesimpulan
Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot
jantung secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran
oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat
hipoksia lama karena terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak
henti jantung pada bayi dan anak.
Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama,
karena sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian
jaringan otak. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa
CPR atau RJP harus dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi
kerusakan otak dan menunjang kelangsungan hidup korban.
Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun
teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di
tempat yang aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.
B. Saran
Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti jantung
sebaiknya dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat
bahwaresusitasi dapat memberikan pertolongan awal. Dampak yang di
timbulkan semakin berat jika waktu datangnya pertolongan semakin lama.
DAFTAR PUSTAKA
35
American Heart Association.Pediatric Basic Life Support : 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation 2015
Behram ,Kliegman, Jensen,. 2000. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi
ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC
Blogg Boulton, 2014. Anestesiologi. Jakarta : EGC
Eliastam Breler, 2000. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta : EGC.
Guyton AC, Hall JE2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11, Jakarta:
EGC, 2008. h. 163.
Hakim, DDL.2013. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat(Resusitasi Jantung Paru
pada Bayi dan Anak). Jakarta: Badan penerbit IDAI
Hackley, Baughman, 2009. Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta : EGC
Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika
Tress, Erika E et al. Cardiac Arrest in Children. Journal of Emergencies, Trauma,
and Shock 2010; 3(III), 267-77
Ulfah AR. 2010. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita. Jakarta. 2003AHA Guidelines For CPR and ECC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : diagnosa
NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC
36