Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya


SMF Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif
RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Nihayah Lukman NIM 142011101072
Ainindya Pasca R. NIM 142011101074

Dosen Pembimbing:
dr. Haris Darmawan, Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3

2.1 Bantuan Hidup Dasar (BHD) ................................................ 3

2.2 Resusitasi Jantung Paru (RJP) .............................................. 4

2.3 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Bayi Baru Lahir ........... 9

2.4 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Ibu Hamil .................... 11

2.5 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Kondisi Tertentu ......... 16

BAB 3. KESIMPULAN ......................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 19

ii2
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian penyelamatan hidup pada henti


jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung
penyelamat, korban, dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu
bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif. Untuk
menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang
harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini.
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi
baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang
meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini
tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak
sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu
berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan
anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab
utama kematian yang premature, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya
akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap tahun.
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan
dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.
Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan
erat dengan tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai
kesempatan yang amat besar untuk data hidup kembali .

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah pada karya
ilmiah ini adalah bagaimana melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan ini adalah
untuk menjelaskan mengenai Resusitasi Jantung Paru (RJP)
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau resusitasi ABC atau resusitasi


kardiopulmoner merupakan tindakan menjaga jalan napas tetap paten (A),
membuat napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung
(C). Tujuan BHD ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital
seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru
dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal.
Aspek BLS meliputi pengenalan segera henti jantung mendadak dan aktivasi
sistem respons darurat, RJP secara dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator
eksternal otomatis (AED). Pengenalan awal dan respons terhadap serangan
jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari BLS.
a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C

(circulation).

- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka

- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung

paru

b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug)

dan E (EKG)

- D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

- E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk

mengetahui fibrilasi ventrikel.

Berikut tabel perbedaan penanganan BHD pada orang awam dan tenaga medis

4
Tabel 2.1 Perbedaan Penanganan BHD

2.2 Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau
Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jantung.
Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha
untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis.
Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau
sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi gagal.
a) Amankan Lingkungan
Tim penyelamat yang tiba di lokasi darurat harus memastikan
bahwa lingkungan sekitar pasien aman bagi penolong dan memastikan
sekitarnya tidak ada ancaman fisik seperti bahaya beracun atau listrik.
b) Cek Nadi
Dalam Pedoman AHA 2010, penolong memeriksa denyut nadi
paling lama maksmimal 10 detik untuk menghindari keterlambatan
dalam memulai kompresi dada. Idealnya, pemeriksaan denyut nadi
dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan ada atau tidaknya nafas,
untuk meminimalkan keterlambatan dalam mendeteksi serangan jantung
dan inisiasi CPR. Pada orang awam tidak akan memeriksa denyut nadi.
5
c) Posisi Tangan Selama Resusitasi
Posisi tangan untuk kompresi dada pada orang dewasa pada saat
henti jantung yaitu di setengah bagian bawah sternum (Kelas IIa, LOEC-
LD).
d) Kecepatan Kompresi Dada
Dalam Pedoman AHA 2010, kecepatan kompresi yang disarankan
adalah setidaknya 100 kompresi per menit. Pada korban dewasa yang
mengalami serangan jantung, kompresi dada dilakukan dengan
kecepatan 100x/menit hingga 120x/menit.
e) Kedalaman Kompresi Dada
Selama CPR manual, penolong melakukan kompresi dada hingga
kedalaman minimal 2 inci atau 5 cm untuk rata-rata orang dewasa, dan
menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4
inci atau 6 cm).
f) Rekoil
Rekoil dada yang sempurna muncul ketika sternum kembali ke
posisi awal atau netral ketika dekompresi RJP. Rekoil dada
menimbulkan tekanan intratorakal negatif relati yang menyebabkan
aliran balik vena dan aliran darah kardiopulmoner. Kecondongan
dinding dada antara kompresi menghalangi rekoil dada yang sempurna.
Rekoil yang tidak sempurna dapat meningkatkan tekanan intratorakal
dan mengurangi aliran balik vena, tekanan perfusi coroner dan alirah
darah miokardial dan dapat mempengaruhi hasil resusitasi.
g) Meminimalkan gangguan saat kompresi dada
Dalam Panduan 2010, meminimalkan gangguan saat kompresi dada
menjadi titik perhatian. Gangguan saat kompresi dada dapat dimaksud
sebagai gangguan yang merupakan bagian dari perawatan (contoh :
analisis ritme dan ventilasi) ataupun gangguan yang tidak diinginkan
(contoh : penolong yang terganggu oleh keadaan luar). Fraksi kompresi
dada adalah pengukuran proporsi waktu yang dilakukan kompresi
selama henti jantung. Peningkatan fraksi kompresi dada dapat dicapai
dengan meminimalkan jeda saat kompresi dada. Tujuan optimal untuk
fraksi kompresi dada belum ditentukan.
6
Pada henti jantung orang dewasa, jeda preshock dan postshock total
dalam kompresi dada harus sesingkat mungkin. Untuk orang dewasa
yang mengalami serangan jantung yang menerima RJP tanpa jalan napas
lanjut, waktu untuk menjeda kompresi selama kurang dari 10 detik untuk
memberikan 2 napas masih masuk akal. Pada henti jantung orang
dewasa dengan jalan nafas yang tidak terlindungi, mungkin masuk akal
untuk melakukan RJP dengan tujuan fraksi kompresi dada setinggi
mungkin, dengan target setidaknya 60%
h) Rasio Kompresi dan Ventilasi
Dalam Panduan 2005, rasio kompresi dan ventilasi yang
direkomendasikan pada pasien henti jantung usia dewasa telah dirubah
dari 15:2 menjadi 30:2. Pada pasien henti jantung tanpa jalan nafas
lanjut, kompresi dada dihentikan sebentar untuk memberikan bantuan
untuk mencapai pemasukan udara yang memadai.
i) Hindari Ventilasi Berlebihan
Meskipun pengiriman oksigen sangat penting selama CPR, jangka
waktu yang tepat untuk menambah oksigen yang ada dalam darah tidak
jelas dan kemungkinan bervariasi dengan jenis henti jantung (aritmia
dibandingkan asfiksia). Tuntutan metabolik untuk oksigen juga secara
substansial berkurang pada pasien dalam henti jantung bahkan selama
kompresi dada. Ketika henti aritmia tiba-tiba hadir, kandungan oksigen
pada awalnya cukup, dan kompresi dada berkualitas tinggi dapat
mensirkulasi darah teroksigenasi ke seluruh tubuh. Studi pada hewan
dan manusia menunjukkan bahwa kompresi tanpa ventilasi mungkin
memadai pada awal penangkapan nonasphyxial. Ketika asfiksia adalah
penyebab henti jantung, kombinasi ventilasi yang dibantu dan kompresi
dada berkualitas tinggi sangat penting untuk memastikan pengiriman
oksigen yang cukup. Penelitian pada hewan dan manusia tentang
penangkapan asfiksia telah menemukan hasil yang lebih baik ketika
ventilasi bantuan dan kompresi dada berkualitas tinggi diberikan.
Memberikan oksigen yang cukup ke darah tanpa menghambat
perfusi adalah tujuan ventilasi dibantu selama RJP. Ventilasi berlebihan,
baik dengan laju atau volume tidal, adalah umum di lingkungan
resusitasi. Rekomendasi pedoman saat ini untuk tingkat ventilasi (napas
7
per menit) tergantung pada keberadaan jalan napas (8 hingga 10 napas
per menit), serta usia pasien dan jumlah penyelamat yang ada (rasio
kompresi terhadap ventilasi 15: 2 berbanding 30: 2).
j) Defibrilasi
Idealnya semua penyedia BHD dilatih tentang defibrillator yang
digunakan pada kasus ventrikel fibrilasi dan preventrikular takikardi. Oleh
karena itu, Panduan AHA 2010 merekomendasikan untuk menggunakan alat
tsb baik pada pasien henti jantung di luar maupun di dalam rumah sakit. Untuk
henti jantung dewasa dan AED tersedia dengan segera, masuk akal jika
defibrillator digunakan sesegera mungkin. Namun bila AED tidak segera
tersedia, masuk akal bahwa CPR dimulai saat peralatan defibrillator diambil
dan diterapkan dan defibrilasi, jika diindikasikan, diusahakan segera setelah
perangkat siap untuk digunakan.
Berikut algoritme bila terjadi henti jantung pada dewasa

Gambar 2.1 Algoritma henti jantung dewasa


8
2.3 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Bayi Baru Lahir

A. Langkah awal
Pada saat bayi lahir harus dilakukan penilaian untuk menjawab pertanyaan
berikut (lihat kotak merah muda di atas). Jika semua pertanyaan dijawab “ya”,
cukup dilakukan perawatan rutin, tetapi jika pada penilaian didapatkan satu
jawaban “tidak”, maka dilakukan langkah awal resusitasi, meliputi:
1. Berikan kehangatan dengan menempatkan bayi di bawah pemancar panas.
2. Posisikan kepala bayi sedikit tengadah agar jalan napas terbuka (lihat
gambar), kemudian jika perlu bersihkan jalan napas dengan melakukan pengisapan
pada mulut hingga orofaring kemudian hidung.
3. Keringkan bayi dan rangsang taktil, kemudian reposisi kepala agar
sedikit tengadah.

Gambar 2.2 Posisi kepala untuk buka saluran nafas

B. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


VTP dilakukan apabila pada penilaian pasca langkah awal didapatkan salah satu
keadaan berikut:
a. Apnea
b. Frekuensi jantung < 100 kali/menit
c. Tetap sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas.

9
Gambar 2.3 Posisi sungkup

C. VTP + Kompresi dada


Apabila setelah tindakan VTP selama 30 detik, frekuensi jantung < 60 detik
maka lakukan kompresi dada yang terkoordinasi dengan ventilasi selama 30 detik
dengan kecepatan 3 kompresi : 1 ventilasi selama 2 detik. Kompresi dilakukan
dengan dua ibu jari atau jari tengah_telunjuk atau tengah_manis. Lokasi kompresi
ditentukan dengan menggerakkan jari sepanjang tepi iga terbawah menyusur ke atas
sampai mendapatkan sifoid, letakkan ibu jari atau jari-jari pada tulang dada sedikit
di atas sifoid. Berikan topangan pada bagian belakang bayi. Tekan sedalam 1/3
diameter anteroposterior dada.

Gambar 2.4 Posisi tangan saat kompresi

D. Intubasi
Intubasi Endotrakea dilakukan pada keadaan berikut:
1. Ketuban tercampur mekonium & bayi tidak bugar
2. Jika VTP dengan balon & sungkup tidak efektif
10
3. Membantu koordinasi VTP & kompresi dada
4. Pemberian epinefrin untuk stimulasi jantung
5. Indikasi lain: sangat prematur & hernia diafragmatika.

2.4 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Ibu Hamil

Selama kehamilan, terdapat beberapa perubahan fisiologis yang dapat


menimbulkan henti jantung, kebanyakan karena kompresi aortocaval. Bila, pasien
dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu dengan posisi supinasi, keluaran jantung
akan menurun meskipun RJP dilakukan dengan baik. Wanita dengan kehamilan
lanjut akan lebih mudah mengalami hipoksemia dan asidosis dan juga beresiko
tinggi mengalami aspirasi paru dibanding dengan orang tidak hamil. Selain itu, leher
yang pendek karena obesitas dan payudara yang membesar karena kehamilan
membuat intubasi menjadi sulit.

Kunci penanganan pada ibu hamil


- Telfon bantuan,
- Amankan jalan nafas,
- Bila uterus berada di bawah umbilikus, geser uterus ke arah samping kiri,
- Mulai RJP dengan kompresi dada,
- Pertimbangkan penyebab henti jantung,
- Estimasi usia kehamilan,
- Bila tinggi fundus uteri lebih dari 4 jari dibawah umbilikus, lakukan operasi
caesar perimortem 4 menit setelah henti jantung dan persalinan normal 5
menit setelah henti jantung,
- Bila resusitasi tidak berhasil pada 15 menit awal, dapat dilakukan pemijatan
jantung secara langsung (sumber dan ahli tersedia).

a) Posisi lateral kiri


Pada pasien yang tidak hamil, posisi terlentang meningkatkan efektivitas
kompresi dada. Namun, pada pasien hamil dengan tinggi fundus pada atau di atas
umbilikus diperlukan perpindahan lateral uterus kiri untuk meminimalkan kompresi
aortocaval, mengoptimalkan aliran balik vena dan menghasilkan curah jantung
selama RJP. Hal ini paling baik dicapai dengan pemindahan uterus manual ke kiri

11
oleh asisten, dengan memiringkan meja ruang operasi atau dengan menempatkan
kain resusitasi (atau handuk gulung atau selimut) di bawah pinggul kanan dan area
lumbar.

Gambar 2.5 Posisi uterus saat RJP

b) Airway dan Breathing


Salah satu intervensi terpenting selama henti jantung yaitu mengamankan jalan
napas. Pasien hamil lebih rentan mengalami hipoksemia cepat karena penurunan
kapasitas residual fungsional dan peningkatan konsumsi oksigen. Baik intubasi
maupun ventilasi bag mask bisa lebih sulit, karena estrogen bekerja pada jaringan
ikat yang mengarah pada peningkatan air interstitial yang mengakibatkan edema
saluran pernapasan, termasuk faring, rongga mulut dan hidung, laring dan trakea.
Pasien dengan pre-eklampsia/eklampsia memiliki risiko lebih tinggi karena
berkurangnya protein plasma dan ditandai retensi cairan, yang memperburuk edema
kepala dan leher sehingga airway cadangan seperti krikotiroidektomi mungkin
diperlukan. Selama trimester ketiga, resiko adanya aspirasi isi lambung sangat
tinggi, peningkatan tekanan tulang krikoid secara terus menerus selama ventilasi dan
intubasi yang cepat akan mengurangi risiko regurgitasi.

c) Sirkulasi
Kompresi dada dilakukan di lokasi yang lebih tinggi daripada pada pasien yang
tidak hamil, sedikit di atas pusat sternum karena tingginya diafragma dan isi perut.
Kompresi dada harus dilakukan dengan pasien berbaring di permukaan yang keras.
Rasio kompresi-ventilasi yang direkomendasikan yaitu 30:2, termasuk 2 kompresi
per detik, dengan minimum 100 per menit. Jika salah diterapkan, kompresi dada
12
dapat menyebabkan laserasi hati, ruptur uteri, hemotoraks, dan hemoperikardium.
Sirkulasi harus dievaluasi setelah 2 menit kompresi dada.

d) Defibrilasi
Defibrilasi mungkin diperlukan untuk manajemen takikardia ventrikel atau
fibrilasi tanpa nadi. Pada kehamilan, dosis defibrilasi standar harus digunakan.
Peralatan pemantauan janin (termasuk peralatan pemantauan janin internal) harus
dilepas sebelum memberikan kejutan listrik untuk mencegah cedera listrik pada
pasien atau perawat.

e) Pemantauan janin
Pemantauan janin tidak dianjurkan selama manuver resusitasi. Status ibu harus
selalu memandu pengambilan keputusan dalam proses resusitasi. Setelah
hemodinaik ibu menjadi stabil, monitor janin dapat diterapkan jika / saat janin
hidup.

f) Persalinan
Tim resusitasi harus mempertimbangkan perlunya histerotomi darurat
(persalinan sesar) segera setelah wanita hamil pada usia kehamilan> 20 minggu
mengalami henti jantung. Rekomendasi untuk melakukan persalinan sesar
perimortem dalam waktu 4 menit setelah henti jantung ibu (diperkenalkan pada
tahun 1986), berdasarkan pada asumsi bahwa RJP tidak efektif pada trimester ke-3
karena kompresi aortocaval, dan hasil janin dan ibu namun hal tersebut akan
dioptimalkan dengan persalinan tepat waktu. Tingkat kelangsungan hidup terbaik
dicapai ketika janin yang layak dilahirkan dalam waktu kurang dari 5 menit setelah
serangan jantung. Cedera neurologis pada ibu terjadi setelah 6 menit sebagai akibat
berhentinya aliran darah otak. Oleh karena itu, jika henti jantung tidak segera (4-5
menit) dilakukan dengan BHD dan lanjutan, persalinan sesar harus dilakukan.
Namun, review baru-baru ini menunjukkan kinerja keseluruhan yang baik dari
resusitasi dan persalinan dalam waktu 10 menit terkait dengan kehamilan ibu dan
bayi baru lahir. Sehingga dengan melahirkan janin, rahim dikosongkan dan vena
kembali dan aliran aorta disimpan kembali. Selain itu, memungkinkan resusitasi
neonatal. Meskipun demikian, operasi caesar mungkin masih diperlukan jika
kematian janin telah terjadi.
13
Prosedur tersebut harus dilakukan oleh dokter/dokter obgyn yang terlatih. Selain
itu harus terdapat petugas yang memonitor dan menguatkan selama 30 detik. Operasi
caesar mungkin sebaiknya dilakukan hanya dengan pisau bedah, dengan asepsis
minimal, dan tanpa anestesi. Antibiotik spektrum luas harus diberikan untuk
mengurangi risiko infeksi pascapersalinan.

Gambar 2.6 Alur RJP ibu hamil yang henti jantung di dalam rumah sakit

14
Gambar 2.7 Alur RJP ibu hamil yang henti jantung di luar rumah sakit

Gambar 2.8 Posisi RJP ibu hamil

15
2.5 Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Kondisi Tertentu
a) Acute coronary syndrome (ACS)
Acute coronary syndrome (ACS) adalah kondisi iskemia atau infark miokard.
ACS dapat bermanifestasi sebagai infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) atau
infark miokard non elevasi segmen ST (NSTEMI) / angina tidak stabil (UA),
sekarang disebut sindrom koroner akut segmen non ST (segmen ACS). Kedua
diagnosis adalah patofisiologis yang terkait dengan berbagai tingkat penurunan
aliran darah koroner karena perkembangan plak aterosklerotik, ketidakstabilan, atau
ruptur dengan atau tanpa trombosis luminal dan vasospasme.
Sejak 2010, American College of Cardiology dan AHA telah menerbitkan
pedoman praktik klinis yang ditargetkan berkaitan dengan manajemen pasien
dengan STEMI dan NSTE-ACS. Pedoman ini harus dirujuk untuk rincian lengkap
tentang manajemen ACS tertentu. Selain itu, bagian lain dari Pembaruan Pedoman
AHA 2015 untuk CPR dan ECC termasuk pembaruan tentang dukungan hidup dasar
dan lanjutan untuk penyedia pra-rumah sakit yang merawat pasien ini.
b) Stroke
Sekitar 800.000 orang mengalami stroke setiap tahun di Amerika Serikat,
dan stroke adalah penyebab utama kecacatan dan kematian jangka panjang. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam beberapa jam pertama timbulnya gejala membatasi
cedera neurologis dan meningkatkan hasil pada pasien tertentu dengan stroke
iskemik akut. Terapi yang efektif membutuhkan deteksi dini tanda-tanda stroke;
aktivasi segera sistem EMS dan pengiriman personel EMS; triase yang sesuai untuk
pusat stroke; notifikasi prearrival; triase cepat, evaluasi, dan manajemen di
departemen darurat; dan pemberian terapi fibrinolitik yang cepat kepada pasien yang
memenuhi syarat. Sejak 2010, AHA dan American Stroke Association telah
menerbitkan pedoman praktik klinis yang berkaitan dengan manajemen awal pasien
dengan stroke iskemik akut.
c) Tenggelam
Tenggelam adalah penyebab utama cedera dan kematian yang tidak
disengaja di seluruh dunia dan penyebab kematian yang dapat dicegah untuk lebih
dari 4000 orang Amerika setiap tahunnya. Tingkat morbiditas dan mortalitas
tertinggi di antara anak-anak berusia 1 hingga 4 tahun.
Resusitasi segera untuk mengembalikan oksigenasi dan ventilasi sangat
penting untuk bertahan hidup setelah insiden tenggelam. Topik ini terakhir ditinjau
16
pada 2010, dan rekomendasi perawatan tidak berubah. untuk korban dugaan henti
jantung (asfiksia) seperti tenggelam, prioritasnya adalah memberikan kompresi
penyelamatan dada dengan pernapasan selama sekitar 5 siklus (sekitar 2 menit)
sebelum mengaktifkan sistem tanggap darurat. Sejak Pedoman 2010, telah ada
apresiasi yang berkembang untuk fakta bahwa respons terhadap korban perendaman
seringkali melibatkan pendekatan multi-lembaga dengan beberapa organisasi
berbeda yang bertanggung jawab atas berbagai fase perawatan korban, mulai dari
penyelamatan perairan awal, di tempat kejadian, resusitasi, transportasi ke rumah
sakit, dan perawatan di rumah sakit.

17
BAB 3. KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan bila terdapat


henti nafas atau henti jantung. Kompresi dilakukan terlebih dahulu dalam kasus
yang terdapat henti pernafasan atau henti jantung karena setiap detik yang tidak
dilakukan kompresi merugikan sirkulasi darah dan mengurangkan survival rate
korban. CPR berkualitas tinggi bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup
dari serangan jantung, termasuk memastikan kompresi dada dengan kecepatan dan
kedalaman yang benar, rekoil yang sempurna, meminimalkan gangguan pada
kompresi dada serta menghindari ventilasi berlebihan

18
DAFTAR PUSTAKA

Peter, A., et al. 2013. Cardiopulmonary Resuscitation Quality: Improving Cardiac


Resuscitation Outcomes Both Inside and Outside the Hospital. A
Consensus Statement From the American Heart Association. American
Heart Association.

Monica, E. Et al. 2015. Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality 2015 American Heart Association Guidelines
Update for Cardiopulmonary. Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care.

World Health Organization. 2005. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.


Depkes; Jakarta.

Rodrigues A.A., et al. 2014. Cardiac arrest in pregnancy: best practice are
needed. Acta Obstet Ginecol Port. 8(2): 164-168.

American Heart Association. 2015. Cardiac Arrest in Pregnancy
A Scientific


Statement From the American Heart Association. Diakses dari
http://ahajournals.org [31 Desember 2019].

19

Anda mungkin juga menyukai