Anda di halaman 1dari 4

Pedoman Bantuan Hidup Dasar Terkini

Ringkasan
 Resusitasi jantung paru (RJP) yang dilakukan dengan segera
pada henti jantung dapat meningkatkan angka keselamatan
hingga 2-3 kali.
 Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan aspek penting dalam
rantai keselamatan kasus henti jantung.
 Pedoman BHD saat ini merekomendasikan langkah-langkah
yang disingkat menjadi CAB-D (Circulation, Airway, Breathing,
Defibrillation)
 RJP yang berkualitas tinggi harus memperhatikan 5 hal berikut
ini: kompresi dada dengan kecepatan 100-120 kali per menit,
kedalaman setidaknya 5 cm, memastikan pengembangan dada
kembali di antara setiap kompresi, meminimalisasi interupsi di
antara kompresi dan ventilasi adekuat.

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular terbanyak di seluruh dunia.


Penyakit ini meliputi penyakit jantung coroner, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri
perifer, penyakit jantung reumatik, penyakit jantung kongenital, thrombosis vena dalam,
dan emboli paru. Jika digabungkan, seluruh penyakit ini menyebabkan sekitar 17,9 juta
kematian pada tahun 2016, terbanyak di seluruh dunia dibandingkan penyebab-
penyebab lain, dan 85% dari kematian ini disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.

Di Amerika, henti jantung dapat menyebabkan hingga 475.000 kematian dalam setahun.
Pada tahun 2015, 350.000 henti jantung terjadi di luar rumah sakit dan 90% dari jumlah
ini meninggal dunia. Hanya 46% dari orang mengalami henti jantung di luar rumah sakit
yang segera menerima pertolongan dari oragn sekitar sebelum mendapatkan
pertolongan dari tenaga professional, padahal resusitasi jantung paru yang dilakukan
segera di tempat kejadian dapat meningkatkan angka keselamatan 2-3 kali.

Rantai Keselamatan (Chain of Survival) dalam kasus henti jantung meliputi pencegahan,
pengenalan henti jantung dan aktivasi sistem kegawatdaruratan, Resusitasi Jantung
Paru (RJP) segera, defibrilasi dengan alat defibrilasi eksternal otomatis (automated
external defibrillator/ AED), serta Bantuan Hidup Lanjut dan perawatan pasca henti
jantung. Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan komponen penting dalam penanganan
henti jantung. Bantuan Hidup Dasar terdriri dari serangkaian langkah-langkah yang
meliputi pengkajian dan tindakan. Bantuan Hidup Dasar meliputi pengenalan henti
jantung, aktivasi sistem kegawatdaruratan, Resusitasi Jantung Paru (RJP) segera,
defibrilasi dengan alat defibrilasi eksternal otomatis (automated external defibrillator/
AED). Sejak tahun 2010, pedoman dari American Heart Association (AHA)
merekomendasikan langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar yang disingkat menjadi
CAB-D (Circulation, Airway, Breathing, Defibrillation).

Ketika diperhadapkan dengan orang yang mengalami henti jantung, hal pertama yang
harus dilakukan adalah memastikan lingkungan aman untuk melakukan pertolongan.
Lingkungan yang aman ini termasuk aman untuk korban dan aman untuk penolong. Jika
lingkungan sudah dipastikan aman, yang harus dilakukan adalah aktivasi sistem
kegawatdaruratan. Aktivasi sistem kegawatdaruratan ini termasuk memanggil bantuan
orang sekitar (bagi penolong di tempat kejadian), memanggil bantuan penolong
profesional/ terlatih, ataupun aktivasi code blue pada kejadian henti jantung di rumah
sakit.
Sebelum tahun 2010, urutan dari Bantuan Hidup Dasar adalah ABC-D (Airway,
Breathing, Circulation, Defibrillation). Namun penelitian menunjukkan waktu inisiasi
kompresi dada yang lebih awal memberikan hasil yang lebih baik pada kasus henti
jantung, sehingga pedoman saat ini menjadikan Circulation sebagai langkah pertama
yang harus dilakukan dalam Bantuan Hidup Dasar.

Bantuan Hidup Dasar: CAB-D


Bagi penolong profesional diharapkan untuk memeriksa pulsasi arteri karotid dan
pernapasan secara simultan. Jika pulsasi arteri karotid tidak ditemukan dan nafas tidak
ditemukan/ atau gasping, penolong harus segera melakukan resusitasi jantung paru
dimulai dengan kompresi dada bersamaan dengan aktivasi sistem kegawatdaruratan
dan/atau persiapan peralatan kegawatdaruratan lainnya. Pada keadaan di luar fasilitas
pelayanan kesehatan dengan tenaga non-profesional umumnya diharapkan untuk
memeriksa nafas saja dan segera melakukan kompresi dada jika korban tidak bernapas.

Ketika melakukan kompresi dada, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:


 Posisi tangan: pada bagian 1/2 bawah sternum pada orang dewasa. Studi-studi yang
ada tidak cukup konklusif dan konsisten mengenai pengaruh posisi tangan terhadap hasil
resusitasi.
 Kecepatan kompresi: 100 – 120 kompresi per menit. Kecepatan resusitasi yang optimal
berhubungan dnegan keselamatan pasien hingga keluar dari rumah sakit, kembalinya
sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation, ROSC), dan berbagai aspek
fisiologis lainnya, seperti tekanan darah dan volume tidal CO 2.

 Kedalaman kompresi: setidaknya 5 cm pada orang dewasa secara umum, hindari


kompresi lebih dalam dari 6 cm. Kedalaman kompresi yang optimal menentukan hasil
resusitasi yang lebih baik dan meskipun kedalaman maksimal tidak memiliki bukti yang
cukup, namun kedalaman kompresi di atas 6 cm berhubungan dengan lebih banyak
cedera/ kerusakan.

 Pengembangan dada: di antara setiap kompresi harus diperhatikan dada mengembang


kembali secara penuh. Hal ini berhubungan dengan tekanan perfusi coroner.

 Interpusi di antara kompresi: meminimalisasi interupsi di antara kompresi mempengaruhi


ROSC dan keselamatan pasien hingga keluar dari rumah sakit.

Kompresi dada dilakukan dengan perbandingan 30:2 terhadap pemberian bantuan


nafas (30 kali kompresi dada, diikuti dengan 2 kali bantuan nafas). Untuk memberikan
nafas bantuan, harus dilakukan manuver untk membuka jalan nafas. Jika korban
dianggap tidak mengalami cedera servikal maka dilakukan head-tilt chin-lift (1 tangan di
frontal korban untuk menekan kepala kea rah belakang, 1 tangan yang lainnya di bawah
protuberantia mentalis untuk menarik dagu ke arah depan), atau jika diperkirakan
korban mengalami cedera servikal maka dilakukan jaw thrust (letakkan jari-jari di ramus
bawah rahang dan tekan ke arah anterior).

Ketika memberikan bantuan nafas, sebaiknya menggunakan alat bantu, namun jika
harus dilakukan bantuan nafas mulut ke mulut, tutup hidung korban dengan jari dan
mulut penolong meliputi seluruh mulut korban. Berikan bantuan nafas selama sekitar 1
detik dan perhatikan pengembangan dada.

Jika alat AED tersedia, aktifkan alat AED segera dan lakukan langkah-langkah sesuai
petunjuk yang diberikan alat AED.
Lakukan evaluasi pulsasi karotis dan nafas setiap 2 menit. Jika pulsasi masih tidak
ditemukan, kembali lakukan resusitasi jantung paru dan kembali lakukan evaluasi setiap
2 menit. Jika pulsasi ditemukan namun korban masih tidak bernafas, berikan bantuan
nafas sebanyak 12-20 kali per menit dan kembali lakukan evaluasi pulsasi arteri karotis
dan nafas setiap 2 menit. Jika pulsasi arteri karotis dan nafas sudah ditemukan, maka
tempatkan korban ke posisi pemulihan. Posisi ini membantu mempertahankan jalan
nafas paten untuk pasien yang tidak sadarkan diri.

Resusitasi Jantung Paru Kualitas Tinggi


Melakukan resusitasi jantung paru (RJP) yang berkualitas tinggi harus memperhatikan 5
hal berikut ini:
 Kompresi dada dengan kecepatan 100-120 kali per menit
 Kompresi dada dengan kedalaman setidaknya 5 cm

 Memastikan pengembangan dada kembali di antara setiap kompresi

 Meminimalisasi interupsi di antara kompresi

 Ventilasi adekuat (2 bantuan nafas setelah 30 kompresi, setiap bantuan nafas diberikan
selama 1 detik, dan setiap bantuan nafas menimbulkan pengembangan dada)

Bantuan Hidup Dasar merupakan aspek yang penting dalam menolong orang dengan
henti jantung. Jika tidak hanya profesional medis, namun semua orang, dapat
melakukan bantuan hidup dasar, akan lebih banyak nyawa yang dapat diselamatkan
dari kematian akibat penyakit kardiovaskular.

Daftar Pustaka
1. World health organization :
2. CPR Facts and Stats:

3. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, Bobrow BJ, Gazmuri RJ,
Travers AH, Rea T. Part 5: adult basic life support and cardiopulmonary resuscitation quality:
2015 American Heart Association.

4. Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.


Circulation. 2015; 132 (suppl 2): S414 – S435.

Anda mungkin juga menyukai