Anda di halaman 1dari 18

RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP) PADA PASIEN DENGAN

TRAUMA DADA
Oleh: Nurma Afiani, S.Kep., Ners
LATAR BELAKANG
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resuscitation
(CPR) merupakan tindakan dasar untuk membantu kelangsungan hidup pasien.
Pada dasarnya, teknik RJP yang dikeluarkan oleh American Heart Association
(AHA) ditujukan untuk pasien non trauma terutama pasien yang tidak sadar akibat
cardiac arrest.
Namun tidak menutup kemungkinan, pasien trauma juga memerlukan
tindakan RJP tersebut, termasuk pasien dengan trauma dada. Padahal dalam teknik
RJP, dilakukan penekanan pada sternum untuk memompa jantung dari luar.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien dengan
trauma dada?
TINJAUAN KONSEP
Definisi Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu metode untuk memberikan
bantuan sirkulasi. Resusitasi Jantung Paru (RJP) dapat meningkatkan angka
kelangsungan

hidup

korban

yang

mengalami

henti

jantung

dengan

mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan untuk memberikan


oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan fungsi sel tubuh (Suharsono, T., &
Ningsih, D. K., 2008).
Resusitasi juga dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menghidupkan
kembali, melalui usaha untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut
menjadi kematian biologis (Cadogan, 2010). Resusitasi jantung paru (RJP) adalah
upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti dan
membantu memulihkan kembali fungsi jantung dan paru ke keadaan normal.
1 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

Bantuan hidup dasar meliputi aktivasi respon sistem gawat darurat, dan defibrilasi
dengan menggunakan defibrillator (Shaharudin, N. A., 2010).
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini
(AHA, 2010):
1. Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan panggilan
2.
3.
4.
5.

gawat darurat (Emergency Medical Services)


Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
Segera melakukan defibrilasi jika diindikasikan
Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
Melakukan perawatan post cardiac arrest

Gambar 1: Rantai Kehidupan


Indikasi Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1. Pasien dengan Henti Nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran
udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus
yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti nafas terjadi
dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi jalan
nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark miokard,
tersambar petir, koma akibat berbagai macam kasus (Suharsono, T., &
Ningsih, D. K., 2008).
2. Pasien dengan Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti
sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan
organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan
tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh
denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat, pernafasan

2 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang


cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008).
Penatalaksanaan RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa prosedur
berikut pada pasien (AHA, 2010):
1. Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
2. Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/
tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil
bertanya dengan jelas: Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?.
Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan
cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian cedera
kepala dan leher.

Gambar 2: Mengkaji Respon Pasien


3. Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan segera
menghubungi 118 untuk memanggil ambulans. Jika ada orang lain
disekitar korban, minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan
ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut:
a. Lokasi korban
b. Nomor telpon yang anda pakai
c. Apa yang terjadi pada korban
d. Jumlah korban
e. Minta ambulans segera datang
f. Tutup telepon hanya jika diminta oleh petugas
3 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

Gambar 3: Mengaktifkan panggilan gawat darurat


4. Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada
permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi
tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya agar terlentang.
Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan bergerak bersamaan
selam membalik pasien.

Gambar 4: Memastikan posisi pasien tepat


Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010
1. Fase I: Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)

4 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

Gambar 5: 2010 AHA Guidelines for CPR


a. C (Circulation)
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi: Ada tidaknya denyut jantung
korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di
daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian
sisi kanan atau kiri kira-kira 12 cm raba dengan lembut selama
510 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali
memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver
tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/
pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika
bernapas pertahankan jalan napas.

Gambar 6: Mengecek Nadi Karotis Korban

5 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

Melakukan kompresi dada: Jika telah dipastikan tidak ada denyut


jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau
kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
1. Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus
xypoideus pada sternum dengan tangan kanan, letakkan
telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.

Gambar 7: Menentukan titik kompresi (center of chest)


2. Melakukan kompresi dada: Kaitkan kedua jari tangan pada
lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan
mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus
diatas dada korban dan gunakan berat badan anda untuk
menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm),
lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit
atau sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2
ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa
nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi.
Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas)
lakukan rescue breathing dan check nadi tiap 2 menit.

Gambar 8: Melakukan kompresi dada


b. A (Airway)
6 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas


oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw
thrust. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers sweep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka
dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan
dengan jari telunjuk pada mulut korban.

Gambar 9: Membuka jalan nafas dengan head tilt-chin lif


c. B (Breathing)
Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan,
waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik
dan volume udara yang dihembuskan adalah 70001000ml (10ml/kg)
atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus
menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat
diberikan hanya 16 17%. Penolong juga harus memperhatikan
respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas. Cara
memberikan bantuan pernapasan:

Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam terlebih


dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya
mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup

7 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk


untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara
yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700
1000ml (10ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju
inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki
lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

Gambar 10: Memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut

Mulut ke hidung: Teknik ini direkomendasikan jika usaha


ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada
Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat,
dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus

menutup mulut korban/pasien.


Mulut ke stoma: Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai
lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus
dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

Setelah nafas dan nadi korban ada, bila tidak ada kontraindikasi untuk
mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau
muntah berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai
berikut (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008):
a. Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan
lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban
b. Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban
dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya

8 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

c. Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang
jauh dari anda sampai membentuk sudut 90
d. Gulingkan korban kearah penolong
e. Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, tanda sirkulasi, dan
pernafasan tiap 2 menit hingga bantuan datang.

Gambar 11: Recovery Position


2. Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)
Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup dasar
(basic life support) berhasil diberikan (Liza, 2008). Fase ini terdiri dari:
a. D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk memperbaiki
kondisi korban/ pasien.
b. E (ECG): melakukan pemeriksaan diagnosis elektrokardiografis
secepat mungkin untuk mengetahui fibrilasi ventrikel.
3. Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged Life Support)
a. G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
b. H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf
dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya gangguan neurologic yang permanen.
c. I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU, meliputi: tunjangan ventilasi
(trakheostomi), pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi
mengedalikan jika terjadinya kejang.
Tanda-tanda RJP (Resusitasi Jantung Paru) Yang Efektif
Suatu Resusitasi Jantung Paru yang berhasil dapat dievaluasi dari
(Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008):
1. Penolong merasakan denyut nadi karotis korban
9 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

2.
3.
4.
5.

Pupil korban bereaksi terhadap rangsangan cahaya


Kulit korban tidak pucat
Pasien mulai bernafas spontan
Nadi berdenyut spontan

Komplikasi RJP (Resusitasi Jantung Paru)


Resusitasi jantung paru yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat dapat
menimbulkan komplikasi yang berbahaya, antara lain (Suharsono, T., & Ningsih,
D. K., 2008):
1.
2.
3.
4.

Patah tulang sternum (dada)


Patah tulang iga
Distensi lambung
Muntah

Kapan RJP (Resusitasi Jantung Paru) Boleh Dihentikan


Resusitasi jantung paru boleh dihentikan oleh penolong jika terjadi hal-hal
berikut ini (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008):
1.
2.
3.
4.

Timbul nadi dan nafas spontan pada korban


Penolong terlalu lelah
Datang bantuan yang lebih professional
Pasien dinyatakan sudah meninggal

Kapan RJP (Resusitasi Jantung Paru) Boleh Tidak Dilakukan


Menurut American Hearth Association (AHA) ada beberapa kondisi
dimana resusitasi boleh tidak dilakukan, diantaranya (AHA, 2005; AHA, 2008):
1. Adanya instruksi untuk tidak melakukan RJP (Do Not Attempt
Resuscitation/ DNAR)
2. Sudah tampak ada tanda-tanda kematian (kaku mayat, lebam mayat) atau
pada trauma yang tidak mungkin diselamatkan (seperti: leher terpenggal)
Pada tahun 2003, The National Association of EMS Physicians
(NAEMSP) mempublikasikan pedoman untuk tidak melakukan resusitasi pada
pasien trauma yang:
1. Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apneu, tidak
ada nadi dan tidak ada irama ECG (flat)

10 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

2. Pasien dengan luka tembus/ tusuk yang ditemukan dalam kondisi apneu
dan tidak ada nadi
3. Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
4. Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah
15 menit melakukan resusitasi tidak berespon.
Perubahan Pada BLS AHA Guidelines 2010
Terdapat beberapa perubahan pada BLS AHA Guidelines 2010
dibandingkan dengan AHA Guidelines 2005. Beberapa perubahan yang telah
dilakukan adalah seperti berikut (AHA, 2010):

Gambar 12: Algoritma BLS Menurut AHA 2010


1. Urutan ABC diubah menjadi CAB
Chest compression dilakukan sebelum breathing. Sebelumnya dalam AHA
Guidelines 2005, kita mengenal ABC: airway, breathing dan chest
11 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi


dada. Saat ini kompresi dada dilakukan terlebih dahulu, baru setelah itu
kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya
adalah hanya untuk bayi baru lahir.
2. Look, listen and feel tidak digunakan dalam algortima BLS
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita
melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Tindakan
Look, listen and feel dianggap dapat menghabiskan waktu.
3. Kompresi dada dilakukan lebih dalam
Sebelumnya dalam AHA Guidelines 2005 kedalaman kompresi dada
adalah 1 sampai 2 inchi (4-5cm), namun sekarang AHA Guidelines 2010
merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada setidaknya 2 inchi
(5cm) pada dada.
4. Kompresi dada dilakukan lebih cepat
AHA Guidelines 2010 merekomendasikan untuk melakukan kompresi
dada dengan kecepatan minimal 100x/menit, dimana dengan kecepatan ini
30 kompresi memerlukan waktu sekitar 18 detik. Pada panduan AHA 2005
sebelumnya disebutkan bahwa kecepatan kompresi sekitar 100x/menit.
5. Hands only CPR
AHA merekomendasikan agar penolong yang tidak terlatih melakukan
Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka.
Akantetapi muncul pertanyaan besar: apa yang harus dilakukan penolong
tidak terlatih pada korban yang bukan dewasa? AHA memang tidak
memberikan jawaban tentang hal ini namun ada saran sederhana disini:
berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu lebih baik daripda tidak
berbuat sama sekali.
6. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan
7. Jangan behenti melakukan kompresi dada
Penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak
yang dapat mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah
berhenti terlalu lama. AHA 2010 merekomendasikan untuk terus
melakukan kompresi dada selama kita bisa. Terus lakukan kompresi dada
hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan
jantung.
12 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

Trauma Dada
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax,
baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul (Pusponegoro, A.D., 1995).
Trauma thorax juga dapat diartikan sebagai luka atau cedera yang mengenai
rongga thorax atau dada yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax
atau dada ataupun isi dari cavum thorax (rongga dada) yang disebabkan oleh
benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan sakit pada dada
(Handaya, 2011).
Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua yakni: trauma tumpul dan
trauma tembus/ penetrasi. Trauma pada dada sering mengancam jiwa dan
mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi berikut (Smeltzer and Bare,
2004):
1. Hipoksemia akibat gangguan jalan nafas, cedera pada parenkim paru, iga,
dan otot pernafasan, kolaps paru, dan pneumothoraks.
2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan massif dari pembuluh darah besar,
rupture jantung, atau hemothoraks.
3. Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan
intrathoraks yang meningkat.
Mekanisme diatas sering kali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan
perfusi yang mengarah pada gagal nafas akut, syok hipovolemia, dan kematian.
Berikut ini beberapa trauma yang dapat terjadi pada dinding dada (Smeltzer and
Bare, 2004):
1. Fraktur Costa
Fraktur costa merupakan tipe trauma dada yang paling umum, terjadi lebih
dari 60% pasien yang masuk rumah sakit dengan cedera dada tertutup.
Kekuatan kompresi/ penekanan mengakibatkan costa melengkung dan
fraktur pada titik yang terlemah.
Fraktur Costa 1-3: Jarang terjadi karena memerlukan kekuatan/
energy yang besar untuk terjadi fraktur namun mengakibatkan
angka kematian yang tinggi karena bekaitan dengan laserasi arteri

atau vena subclavia serta injuri pada paru.


Fraktur Costa 4-9: Pada lokasi ini sering terjadi fraktur.

13 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

Fraktur Costa 10-12: Jarang terjadi fraktur, jika terjadi fraktur


energy dipindahkan ke organ interna sehingga dapat terjadi cedera

pada limpa dan hepar.


2. Fraktur Sternum
Fraktur pada sternum sering disebabkan oleh adanya trauma tumpul yang
berat pada bagian anterior. Komplikasi yang ditimbulkan oleh fraktur
sternum antara lain: contusion myocardial, tamponade pericardial, rupture
cardiac, dan contusio pulmonal.
3. Flail Chest
Flail chest terjadi jika dua atau lebih iga yang berdekatan fraktur pada satu
tempat atau lebih, sehingga mengakibatkan segmen iga melayang bebas.
Sebagai

akibatnya,

dinding

dada

kehilangan

stabilitasnya

dan

mengakibatkan kerusakan pernafasan dan kondisi gawat nafas.


4. Open Pneumothoraks
Open pneumothoraks terjadi jika terdapat lubang pada dinding dada yang
memungkinkan udara bebas mengalir keluar dan masuk rongga thoraks
bersama upaya pernafasan. Hal ini bisa disebabkan oleh: luka tusuk, luka
tembak, fraktur iga, trauma tembus dinding dada. Open pneumothoraks
dapat mengakibatkan kolaps paru dan struktur mediastinum (jantung dan
pembuluh darah besar) bergeser kearah sisi yang tidak cedera.
5. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi bila udara keluar dari paru dan masuk ke
ruang pleura pada saat inspirasi tetapi udara tidak dapat kembali masuk ke
paru pada saat ekspirasi. Dengan demikian tegangan yang terbentuk
didalam ruang pleura menyebabkan paru dan jantung kolaps, dan trachea
bergeser kearah sisi dada yang tidak sakit.
6. Hemothoraks
Robeknya pembuluh darah interkosta dan laserasi paru-paru dapat
mengakibatkan terkumpulnya darah dalam rongga dada. Tingkat
kegawatan

hemothoraks

bergantung

pada

jumlah

dan

kecepatan

perdarahan thoraks.
7. Contusio Paru
Contusio paru merupakan kerusakan jaringan paru yang terjadi pada
hemoragi dan edema setempat. Kontusio paru berhubungan dengan trauma
dada ketika terjadi kompresi dan dekompresi cepat pada dinding dada
(trauma tumpul).
14 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

PEMBAHASAN
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resuscitation
(CPR) merupakan tindakan dasar untuk membantu kelangsungan hidup pasien.
Pada dasarnya, teknik RJP yang dikeluarkan oleh American Heart Association
(AHA) ditujukan untuk pasien non trauma terutama pasien yang tidak sadar akibat
cardiac arrest.
Namun tidak menutup kemungkinan, pasien trauma dengan cardiac arrest
juga memerlukan tindakan RJP tersebut, termasuk pasien dengan trauma dada.
Padahal dalam teknik RJP, dilakukan penekanan/ kompresi pada sternum untuk
memompa jantung dari luar.
Pada tahun 2003, The National Association of EMS Physicians
(NAEMSP) mempublikasikan pedoman untuk tidak melakukan resusitasi pada
pasien trauma yang:
1. Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apneu, tidak
ada nadi dan tidak ada irama ECG (flat)
2. Pasien dengan luka tembus/ tusuk yang ditemukan dalam kondisi apneu
dan tidak ada nadi
3. Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
4. Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah
15 menit melakukan resusitasi tidak berespon.
Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh The National Association of EMS
Physicians (NAEMSP) pada tahun 2003 tersebut pasien dengan trauma dada baik
trauma tembus maupun trauma tumpul termasuk dalam kriteria pasien yang tidak
boleh di resusitasi karena tindakan tersebut dianggap dapat menimbulkan cedera
lebih lanjut pada organ dalam korban yang dapat mengakibatkan kematian
(NAEMSP, 2003).
Namun berdasarkan jurnal tahun 2004 yang berjudul Open-chest
cardiopulmonary resuscitation after cardiac arrest in cases of blunt chest or
abdominal trauma: a consecutive series of 38 cases, direkomendasikan untuk
dilakukan

resusitasi

jantung

paru

(RJP)

untuk

meningkatkan

peluang

menyelamatkan nyawa korban pada kasus trauma tembus/ penetrasi. Resusitasi


jantung paru (RJP) yang dilakukan harus sesegera mungkin dan tidak boleh lebih
15 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

dari 20 menit agar dapat memberikan peluang menyelamatkan nyawa korban


(Fialka, 2004).

Gambar 13: Perbandingan Angka Kelangsungan Hidup Pada Korban


dengan Cardiac Arrest
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan bantuan hidup dasar yang
direkomendasikan untuk dilakukan pada korban yang mengalami cardiac arrest
walaupun korban disertai dengan trauma dada yang memungkinkan cedera lebih
lanjut pada organ dalam jika dilakukan kompresi pada dada. Akantetapi peluang
kelangsungan hidup korban lebih baik jika dibandingkan dengan korban trauma
dada yang tidak dilakukan resusitasi jatung dan paru.
Pada gambar 13 diatas tampak bahwa korban yang tidak mendapatkan
perlakuan apapun memiliki 0% peluang hidup, sedangkan korban yang
mendapatkan bantuan resusitasi jantung paru memiliki 8% peluang hidup. Sekecil
apapun peluang hidup korban harus tetap diperjuangkan walaupun kompresi pada
pasien dengan trauma dada dapat menimbulkan komplikasi lain.
KESIMPULAN DAN SARAN

16 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resuscitation


(CPR) merupakan tindakan dasar untuk membantu kelangsungan hidup pasien.
Pada dasarnya, teknik RJP yang dikeluarkan oleh American Heart Association
(AHA) ditujukan untuk pasien non trauma terutama pasien yang tidak sadar akibat
cardiac arrest.
Untuk meningkatkan peluang menyelamatkan nyawa korban pada kasus
trauma tembus/ penetrasi direkomendasikan untuk tetap dilakukan resusitasi
jantung paru (RJP). Resusitasi jantung paru (RJP) yang dilakukan harus sesegera
mungkin dan tidak boleh lebih dari 20 menit agar dapat memberikan peluang
menyelamatkan nyawa korban.

DAFTAR PUSTAKA
AHA. (2006). 2005 AHA Guidelines For CPR and ECG. Critical Care Nurse, 26,
8-13.
AHA. (2010). Highlights of The 2010 American Hearth Assosiation Guidlines for
CPR and ECC. AHA, 1-28.
Cadogan, M. P. (2010). CPR Decision Making and Older Adults. Clinical
Concepts.
Fialka, Sebok, Kemetzhofer, Kwasny, Sterz, & Vecsei. (2004). Open-chest
cardiopulmonary resuscitation after cardiac arrest in cases of blunt chest or
abdominal trauma: a consecutive series of 38 cases. Journal of Trauma,
57(4):809-14.
Handaya,

Yuda.

(2011).

Trauma

Thorax.

Diakses

http://dokteryudabedah.com/trauma-torax/. 7 Januari 2012.


17 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/
116070300111029

dari

Liza.

(2008).

Resusitasi

Jantung

dan

Paru.

Diakses

dari

http://www.scribd.com/doc/6240591/Resusitasi-Jantung-DanParu
Pusponegoro, A.D. (1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Shaharudin, N. A. (2010). AHA Guidlines For CPR and ECC. Bandung.
Document Number).
Smeltzer and Bare. (2004). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Suharsono, T., & Ningsih, D. K. (2008). Penatalaksanaan Henti Jantung Di Luar
Rumah Sakit Sesuai dengan Algoritma AHA 2005. Malang: UMM Press.

18 Essay RJP Pada Pasien Trauma Dada/NURMA AFIANI/


116070300111029

Anda mungkin juga menyukai