Anda di halaman 1dari 22

RJPO

Refarat ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk melengkapi


kepanitraan klinik senior dibagian Departemen Anestesi RSUD dr. Pirngadi
Medan

Disusun oleh:
Fenny Winali Br Ginting 218 220 070
Irene Fiona Ginting 218 220 056
Febry Elisabet Lumbangaol 218 220 048
Mutiara N Y Simatupang 218 220 073
Zahrah Marganof 1410070100072

Pembimbing:

dr. Tumbur, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DR. PIRNGADI

MEDAN

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Tumbur, Sp. An


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refarat yang berjudul “RJPO” dalam
rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Anestesi di RSUD dr. Pirngadi Medan.
Penyusunan refarat ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis
menyampaikan terimakasih kepada dr. Tumbur,Sp.An atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti KKS di Departemen Anestesi RSUD dr. Pirngadi
Medan serta dalam penyusunan refarat ini.
Penulis menyadari bahwa refarat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan agar dapat
menjadi pedoman untuk perbaikan refarat ini di kemudian hari.
Harapan penulis, semoga refarat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
penyakit kulit di klinik dan di masyarakat.

Medan, Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cardiopulmonary arrest (CPA) didefinisikan sebagai berhentinya secara


tiba-tiba sirkulasi dan ventilasi yang efektif dan spontan. CPA bisa disebabkan
oleh kegagalan jantung primer atau merupakan suatu manifestasi kondisi medis
yang heterogen. CPA bisa disebabkan oleh berbagai hal, yang berasal dari jantung
maupun diluar jantung. Institusi besar di Eropa melaporkan bahwa penyakit
kardiovaskular adalah penyebab kematian pertama pada dewasa dengan CPA
karena iskemia koroner sebagai kausa utama. Penyebab yang berasal dari luar
jantung meliputi trauma, overdosis obat, asfiksia dan tenggelam.1 Insiden
terjadinya CPA bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, ras, lokasi
terjadinya arrest.3 Kejadian henti jantung merupakan hal yang fatal dan masih
menjadi topik utama kesehatan komunitas di seluruh dunia. Angka insiden per
tahun dan luaran klinis dari henti jantung merupakan suatu indikator dari
kesehatan suatu Negara.3 Laporan di seluruh dunia melalui meta- analysis
memaparkan bahwa insiden henti jantung sebesar 45-83,7 per 100.000 penduduk. 4
Menurut data American Heart Association pada orang dewasa insidennsi cardiac
arrest tahun 2018 rata-rata terdapat 10,16 per 1000 penerimaan di rumah sakit dan
1,99 per 1000 hari rawat inap dalam data GWTG 2018, sedangkan insiden
cardiac arrest diluar rumah sakit tahun 2015 pada orang dewasa sebesar 140,7
individu per 100000 populasi atau 347.322 orang dewasa terhadap total populasi
Amerika Serikat.5

Terdapat peran penting dari metode resusitasi jantung paru otak (RJPO)
dalam menentukan keberhasilan penyelamatan korban henti jantung. RJPO dapat
menyelamatkan kehidupan dan telah dipraktekkan sejak tahun 200 sebelum
masehi.6 Keberhasilan resusitasi terhadap henti jantung membutuhkan aksi yang
terkoordinasi dan terintegrasi yang diwujudkan dengan Chain of Survival. Tujuan
dilakukannya RJPO adalah oksigenasi darurat yang diberikan secara efektif pada
organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan
sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri
secara normal. Hal ini adalah untuk mencegah berhentinya sirkulasi darah atau
berhentinya pernapasan. Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi
atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari
kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi melalui
kompresi dada dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti
nafas.6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi RJPO


Resusitasi Jantung Paru dan Otak (RJPO) merupakan serangkaian
tindakan gawat darurat penyelamatan nyawa yang dilakukan dengan usaha
meresusitasi secara manual seseorang yang mengalami henti jantung.7
Dilakukannya RJPO penting ketika suplai oksigen ke otak tidak
mencukupi untuk mempertahankan fungsi serebral. Suplai oksigen ke otak
tergantung pada:8

1. Cardiac output

2. Konsentrasi hemoglobin

CaO2 = Hb (g/dL) x SaO2 x 1,34 ml/O2 + (PaO2 x 0,003)

3. Saturasi oksigen-hemoglobin dimana sangat bergantung pada fungsi


respirasi.

Berhentinya suplai oksigen ke otak melebihi 3-4 menit pada


suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak menetap,
walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.8

Pada RJPO terdapat chains of survival yang berbeda antara henti


jantung yang terjadi diluar rumah sakit (OHCA) maupun didalam rumah
sakit (IHCA).
Chains of survival/ rantai kelangsungan hidup pada RJPO
merupakan penanganan ideal yang harus diberikan ketika terdapat
kejadian henti jantung.9

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak


Beberapa indikasi dilakukannya RJPO yaitu:
1. Henti jantung
Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Henti jantung
berbeda dengan serangan jantung, dimana serangan jantung adalah
ketika arteri coroner yang mensuplai darah ke jantung terblok pada
kebanyakan kasus oleh adanya plak aterosklerosis, sehingga daerah otot
jantung yang terkena akan mati karena kurangnya suplai oksigen.
Kebanyakan henti jantung pada dewasa disebabkan karena seseorang
tersebut pernah mengalami serangan jantung dan dapat berkembang
menjadi irama jantung yang berbahaya sehingga timbul henti jantung.
Irama jantung abnormal yang paling sering menimbulkan henti jantung
adalah ventrikular takikardi tanpa denyut (VT) dan ventrikular fibrilasi
(VF) kemudian disusul oleh ventrikel asistol dan berakhir dengan
disosiasi elektro- mekanik.8
Henti jantung bisa disebabkan oleh kegagalan jantung pimer atau
bisa merupakan akhir dari kondisi medis yang heterogen. Kausa dari
henti jantung bisa oleh penyakit di jantung seperti penyakit jantung
kongenital, iskemia, aritmia, obstruksi akut dan kardiomiopati. Kausa
sirkulasi meliputi hypovolemia, tension pneumothorax, reflex vagal dan
emboli pulmonum. Kausa respirasi bisa meliputi hipoksia dan
hiperkarbia serta kausa metabolik yaitu abnormalitas elektrolit,
hipotermia dan badai katekolamin. Dari beberapa kausa tersebut, kausa
yang paling cepat menimbulkan henti jantung adalah aritmia,
ketidakadekuatan respirasi akut, hipotensi dan infark miokard akut.5
Pada seseorang dengan henti jantung, terdapat beberapa tanda yang
ditunjukkan yaitu:8
a. Pasien tidak sadar
b. Pupil dilatasi
c. Denyut arteri besar yang tidak teraba (a. karotis, a. femoralis)
d. Sianosis
e. Pernafasan berhenti atau gasping
f. Gambaran EKG :
Ventikel Fibrilasi (VF), Asystole, Pulseless Electrical Activity
(PEA)
2. Kegagalan nafas11
Kegagalan nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan sistem
respirasi untuk melakukan pertukaran gas dan mengoksigenasi darah
secara adekuat. Terdapat dua mekanisme dasar terjadinya gagal nafas:
a. Kegagalan ventilasi pulmonal (kegagalan pompa)
b. Kegagalan pertukaran gas (kegagalan paru)

Mekanisme pertama dikarenakan oleh penyakit neuromuskular


(penyalahgunaan obat, etraplegi servikal, poliomielitis), deformitas
dinding dada (post trauma) dan penyakit paru obstruktif
(pneumotoraks, obstruksi benda asing). Mekanisme kedua (mismatch
pertukaran gas di darah) dikarenakan oleh beberapa sebab patologis
seperti:

 Sindrom distress nafas akut (ARDS)

 Sindrom distress nafas neonatus

 Edema pulmonum kardiogenik akut

 Status asmatikus berat

 Atelektasis

 Emboli pulmonum

Tanda klinis serta gejala pasien dengan gagal nafas merujuk pada
dua manifestasi utama pada pulmonal yaitu hiperkapnia dan
hipoksemia arteri. Pasien dengan agal nafas akan menunjukkan gejala
berupa dyspnea dan tanda seperti sianosis, takipnea, penggunaan otot
bantu pernafasan, pernafasan paradoksal dan takikardi.

2.3 Tahap Resusitasi Jantung Paru Otak

Tahapan dalam RJPO dibagi menjadi tiga yaitu Bantuan Hidup


Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan Hidup Jangka Panjang.10

A. Bantuan Hidup Dasar

Merupakan prosedur pertolongan darurat untuk mengatasi obstruksi


jalan nafas, henti nafas dan henti jantung dan bagaimana melakukan RJP
dengan benar. Pada tahap ini dilakukan oksigenasi darurat yang terdiri dari
langkah-langkah:

a. Circulation (C) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi


jantung paru
b. Airway (A) : menjaga jalan nafas tetap terbuka

c. Breathing (B) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

B. Bantuan Hidup Lanjut

Sirkulasi spontan hendaknya dikembalikan selekas mungkin setelah


dimulainya bantuan hidup dasar karena kompresi jantung luar hanya
menghasilkan aliran darah perbatasan yang mungkin tidak cukup untuk
mempertahankan otak dan jantung agar hidup lebih lama dari beberapa
menit RJP. Pengembalian sirkulasi spontan biasanya memerlukan:
d. Drugs and fluid (D): pemberian obat-obatan termasuk cairan secara
intravena

e.Electrocardiography (E): diagnosis elektrokardiografis secepat


mungkin untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistol atau
agonal ventricular complexes
f. Fibrillation treatment (F): tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel

Urutan langkah pada bantuan hidup lanjut ini berbeda-beda tergantung


pada kondisi pasien saat itu. Pada fibrilasi ventrikel yang terjadi sewaktu
EKG, jangan ditunda oleh karena langkah D dan E dan dapat mendahului
langkah A, B, C. begitu pula tidak satu pun langkah D, E dan F akan
dibutuhkan jika nadi spontan segera kembali setelah ventilasi buatan dan
kompresi jantung luar dimulai.
C. Bantuan Hidup Jangka Panjang

Merupakan resusitasi jangka panjang yaitu bantuan pengelolaan


intensif untuk kegagalan organ multipel. Tahap ini terdiri dari:

g. Gauging (G): evaluasi dan triase pengelolaan kritis. Dilakukan


pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring pasien secaara
terus-menerus lalu dinilai dan ditemukan penyebabnya kemudian
dilakukan pengobatan.
h. Human Mentation (H): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan
otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya
henti jantung sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan
neurologis yang permanen.
i. Intensive Care (I): terapi intensif untuk bantuan hidup secara umum.
Perawatan intensif di intensive care unit (ICU) meliputi tunjangan
ventilasi (trakeostomi, pengontrolan nafas terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan) dan tunjangan
sirkulasi serta mengendalikan kejang.

2.4 Prosedur Resusitasi Jantung Paru Otak Terfokus pada Bantuan


Hidup Dasar
2.4.1 Penanganan Awal

Sebelum menolong korban, didahulukan untuk:

1. Mengamankan lingkungan

Keamanan sangat penting. Sebelum penolong dapat membantu


korban yang sakit atau terluka, pastikan bahwa tempat kejadian
aman untuk penolong dan orang yang berada di dekatnya, dan
kumpulkan kesan awal tentang situasi ini. Sebelum penolong
mencapai korban, terus gunakan indera untuk mendapatkan kesan
awal tentang penyakit atau cedera dan kenali hal yang mungkin
salah. Informasi yang dikumpulkan membantu menentukan tindakan

langsung penolong.12
2. Menilai respon korban

Begitu korban dapat dijangkau, evaluasi tingkat responsif korban.13


Ini terlihat jelas dari kesan awal misalnya, korban bisa berbicara
dengan penolong, atau korban mungkin mengeluh, menangis,
membuat suara lain atau bergerak. Jika korban responsif, mintalah
persetujuan korban, yakinkan korban dan coba cari tahu apa yang
terjadi. Jika korban tersebut diam dan tidak bergerak, dia mungkin
tidak responsif. Untuk memeriksa responsif, tepuk bahu korban dan

berteriak, "Apakah Anda baik-baik saja?" Gunakan nama orang itu


jika penolong mengetahuinya. Berbicara dengan keras. Selain itu,
gunakan AVPU untuk membantu menentukan tingkat kesadaran

korban. AVPU terdiri dari:12


A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih
dalam keadaan bingung terhadap apa yang terjadi.
V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara yang
diberikan oleh penolong. Oleh karena itu, penolong harus
memberikan rangsang suara yang nyaring ketika melakukan
penilaian pada tahap ini.
P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang
diberikan oleh penolong. Rangsang nyeri dapat diberikan melalui
penekanan dengan keras di pangkal kuku atau penekanan dengan
menggunakan sendi jari tangan yang dikepalkan pada tulang
sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak ada tanda cidera
di daerah tersebut sebelum melakukannya.
U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua
tahapan yang ada di atas.

Jika korban tidak merespon, inilah saatnya untuk mencari


pertolongan sebelum memulai ventilasi dan kompresi dada. Selain
itu, upaya harus dilakukan untuk mendapatkan defibrilator. Waktu
untuk terapi khusus ritme, terutama defibrilasi untuk takikardia
ventrikel atau fibrilasi ventrikel, sangat penting untuk pemulihan

korban dalam serangan jantung.13


2.4.2 Bantuan Hidup Dasar
A. Penguasaan Jalan Nafas

Posisikan korban dalam keadaan telentang pada alas yang keras


dengan lengan disepanjang sisi tubuh, bila diatas kasur sisipkan

papan.14 Periksa dan tangani jalan nafas korban sebagai berikut:

 Membuka mulut korban dengan benar adalah langkah


kritis dan berpotensi menyelamatkan nyawa
 Lihat apakah terdapat benda asing. Mulut dan
orofaring harus diperiksa untuk sekresi atau benda
asing. Jika ada sekresi, dapat dikeluarkan dengan
penggunaan isap orofaringeal. Benda asing
dapat dikeluarkan dengan menggunakan finger sweep
dan kemudian dikeluarkan secara manual. Obstruksi
oleh benda asing juga dapat diatasi dengan
menggunakan Heimlich Manuver dan Chest Thrust.
Heimlich Manuver dengan meletakkan kepalan tangan
ke garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan
jauh di bawah prosesus xiphoid. Sambil memegang
kepalan tangan dengan tangan yang lain, penolong
menekan kepalan tangan ke perut korban dengan
dorongan cepat ke atas. Chest thrust dilakukan dengan
meletakkan sisi ibu jari dari kepalan tangan terhadap
sternum korban, menjauhi batas kosta dan prosesus
xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan
tangan satunya, penolong menekan kepalan tangan ke
dada korban dengan dorongan cepat ke belakang.
Kedua maneuver ini dapat diulang sampai sumbatan

keluar atau korban menjadi tidak sadarkan diri.12


 Lakukan Manuver untuk Membuka Jalan Nafas.
Penyebab umum

penyumbatan jalan nafas pada korban yang tidak sadar


adalah oklusi orofaring oleh lidah dan kelemahan
epiglotis. Dengan hilangnya tonus otot, lidah atau
epiglotis dapat dipaksakan kembali ke orofaring pada
inspirasi. Hal ini dapat menciptakan efek katup satu
arah di pintu masuk trakea, yang menyebabkan
tersumbatnya obstruksi jalan napas sebagai stridor.
Setelah orofaring dibersihkan, dua manuver dasar
untuk membuka jalan napas dapat dicoba untuk
meringankan obstruksi jalan napas bagian atas, yang
terdiri dari head tilt-chin lift dan jaw thrust. Manuver
ini membantu membuka jalan napas dengan cara

menggeser mandibula dan lidah secara mekanis.13


Head tilt-chin lift biasanya merupakan manuver
pertama yang dicoba jika tidak ada kekhawatiran akan
cedera pada tulang belakang servikal. Head tilt
dilakukan dengan ekstensi leher secara lembut, yaitu
menempatkan satu tangan di bawah leher korban dan
yang lainnya di dahi lalu membuat kepala dalam posisi
ekstensi terhadap leher. Ini harus menempatkan kepala
korban di posisi "sniffing position" dengan hidung
mengarah ke atas. Hal ini dilakukan dengan hati-hati
meletakkan tangan, yang telah menopang leher untuk
head tilt, di bawah simfisis mandibula agar tidak
menekan jaringan lunak segitiga submental dan
pangkal lidah. Mandibula kemudian diangkat ke depan
sampai gigi hampir tidak menyentuh. Ini mendukung
rahang dan membantu memiringkan kepala ke

belakang.13 Jaw thrust adalah metode paling aman


untuk membuka jalan napas jika ada kemungkinan
cedera tulang belakang servikal. Ini membantu
mempertahankan tulang belakang servikal dalam posisi
netral selama resusitasi. Penolong yang diposisikan di
kepala korban, meletakkan tangan di sisi wajah korban,
menjepit rahang bawah pada sudutnya, dan
mengangkat mandibula ke depan. Siku penolong bisa
diletakkan di permukaan tempat korban berada
kemudian mengangkat rahang dan membuka jalan

napas dengan gerakan kepala minimal.13

B. Menilai Respirasi dan Bantuan Ventilasi

Pernapasan Agonal dalam korban yang baru saja mengalami

henti jantung dianggap tidak adekuat.13 Pernapasan agonal adalah


napas yang terisolasi atau terengah-engah yang terjadi tanpa adanya
pernapasan normal pada korban yang tidak sadar. Napas ini bisa
terjadi setelah jantung berhenti berdetak dan dianggap sebagai tanda
henti jantung. Jika korban menunjukkan pernapasan agonal, perlu
dilakukan perawatan korban seolah-olah dia sama sekali tidak
bernapas. Penilaian pernafasan dengan melakukan Look, Listen dan
Feel. Look yaitu penolong harus mencari gerakan ekspansi dada
pada korban, Listen dan Feel yaitu mendengarkan serta merasakan
aliran udara yang keluar dari jalan nafas korban.
Selanjutnya jika setelah evaluasi respirasi ditemukan tidak
adanya gerakan dada, hembusan dan suara nafas, dilakukan
pemberian bantuan ventilasi melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung, mulut ke stoma atau trakeostomi serta mulut ke masker.
Menurut AHA 2015, bantuan ventilasi adalah pemberian ventilasi
yang dilakukan tiap 5-6 detik dengan hitungan 10-12x/ menit secara

kontinu selama kompresi dada dilakukan.9

C. Bantuan Sirkulasi dan Kompresi Dada

Arteri karotis umumnya lokasi yang paling dapat diandalkan dan


dapat diakses untuk meraba denyut nadi. Arteri karotis dapat
ditemukan dengan menempatkan dua jari pada trakea dan kemudian
menggesernya ke alur antara trakea dan otot sternocleidomastoid.
Penilaian terhadap denyut nadi dan respirasi dilakukan secara
simultan selama 10 detik. Bila tidak ditemukan denyut nadi setelah

5 sampai 10 detik, kompresi dada harus dimulai. 13 Teknik kompresi

dada menurut AHA 2015 adalah sebagai berikut:9


Korban ditempatkan telentang di permukaan yang keras dengan
penolong di sampingnya. Penolong menempatkan tumit pada satu
garis tengah, tangan di setengah bagian bawah sternum, kira-kira 2
jari diatas prosesus xiphoid. Tumit tangan harus sejajar dengan
tubuh korban. Tangan kedua kemudian diletakkan di atas tangan
pertama sehingga kedua tangan sejajar satu sama lain. Jari-jari
kedua tangan saling terjalin. Lengan harus lurus dan siku terkunci
Kedalaman kompresi dada pada orang dewasa adalah minimum
2 inci (5 cm), namun tidak lebih dalam dari 2,4 inci (6 cm) pada
orang dewasa dengan kecepatan kompresi dada yang disarankan
adalah 100 hingga 120/min (diperbarui dari minimum 100/min).
Jumlah kompresi dada yang diberikan per menit saat RJP
berlangsung adalah faktor penentu utama kondisi RSOC (return of
spontaneous circulation) dan kelangsungan hidup dengan fungsi
neurologis yang baik. Untuk korban dewasa, kompresi dada terdiri
dari 30 penekanan
dada diikuti 2 ventilasi. Dengan satu penolong, ventilasi harus
diberikan setelah setiap 15 penekanan. Dengan dua regu penolong,
ventilasi harus diberikan setelah setiap penekanan kelima. Penting
bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi
untuk memberi kesempatan rekoil di antara setiap penekanan
sehingga memungkinkan darah mengalir kembali ke jantung
mengikuti penekanan. Minimalkan interupsi, batas interupsi yang
diperbolehkan adalah kurang dari 10 detik.
Siklus kompresi dan ventilasi terus diulang dan dievaluasi tiap 2
menit.

Evaluasi yang dilakukan adalah:

 Tidak adanya nafas dan nadi: teruskan kompresi dan


ventilasi hingga bantuan datang
 Tidak terdapat nafas namun nadi teraba: mulai lakukan
pernafasan buatan
 Terdapat nadi dan nafas: korban mulai membaik

Automated external defibrillator (AED) aman dan efektif bila


digunakan oleh orang awam dengan pelatihan minimal atau tidak
terlatih. Disarankan bahwa program AED untuk korban dengan
OHCA diterapkan di lokasi umum tempat adanya kemungkinan
korban serangan jantung terlihat relatif tinggi (misalnya, bandara
dan fasilitas olahraga). Penyedia RJP harus melanjutkan RJP saat
memasang AED dan selama penggunaannya. Penyedia RJP harus
berkonsentrasi untuk mengikuti suara segera saat AED berbicara,
khususnya melanjutkan RJP segera setelah diinstruksikan, dan
meminimalkan interupsi pada kompresi dada. Memang, kejutan pra-
shock dan pasca-shock pada penekanan dada harus sesingkat
mungkin
Gambar 1. Algoritma
BHD Dewasa
BAB III

PENUTUP

Cardiopulmonary arrest (CPA) didefinisikan sebagai berhentinya


secara tiba-tiba sirkulasi dan ventilasi yang efektif dan spontan. Terdapat
peran penting dari metode resusitasi jantung paru otak (RJPO) dalam
menentukan keberhasilan penyelamatan korban henti jantung. Tujuan
dilakukannya RJPO adalah oksigenasi darurat yang diberikan secara
efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan
dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen
dengan kekuatan sendiri secara normal.
RJPO merupakan serangkaian tindakan gawat darurat penyelamatan
nyawa yang dilakukan dengan usaha meresusitasi secara manual seseorang
yang mengalami henti jantung. Pada RJPO terdapat tiga tahap resusitasi
yang ditandai dengan awalan sesuai abjad. Tahap pertama yaitu Bantuan
hidup dasar meliputi A (airway), B (breathing) dan C (circulation). Tahap
kedua yaitu Bantuan hidup lanjut meliputi D (drugs and fluid), E
(electrocardiography) dan F (fibrillation treatment). Tahap terakhir yaitu
Bantuan hidup jangka panjang meliputi G (gauging), H (human mentation)
dan I (intensive care).

Anda mungkin juga menyukai