Disusun oleh :
AMALIA PERMATA BAHAR
22010117220213
Pembimbing :
dr. Syeikh Faiz Hasan
Cardiac arrest atau henti jantung adalah keadaan dimana jantung tiba-tiba
berhenti berkontraksi sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi jantung
memompa darah ke seluruh tubuh. Henti jantung disebabkan oleh malfungsi
sistem kelistrikan yang terdapat di jantung yang biasanya diawali dengan irama
jantung ireguler dan abnormal.1
Henti jantung masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Lima
dari 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit dibeberapa negara berkembang
diperkirakan mengalami henti jantung dan kurang dari 20% dari jumlah pasien
tersebut tidak mampu bertahan hingga keluar dari rumah sakit.2
Pada kondisi henti napas dan henti jantung maka sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti sehingga organ-organ tubuh terutama organ vital
mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen pada organ tubuh akan
mengakibatkan kerusakan organ bahkan kematian. Organ yang paling cepat
mengalami kerusakan adalah otak. Jika dalam waktu lebih dari 4-6 menit otak
tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka sel-sel otak akan mengalami
kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian korban. Oleh
karena itu, golden period pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 8 menit.2
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan
berhubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru (RJP).3 Resusitasi
jantung paru (RJP) termasuk dalam Basic Life Support (Bantuan Hidup Dasar)
dengan mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan untuk
memberikan oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan fungsi sel tubuh
sehingga penderita yang diberikan RJP mempunyai kesempatan yang besar untuk
dapat hidup.4
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan
hidup (chain of survival) yaitu cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang
harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian
ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang,
sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar
untuk bisa bertahan hidup. Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari
beberapa tahap yaitu mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services), segera
melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada, segera melakukan
defibrilasi jika diindikasikan, segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced
life support, melakukan perawatan post cardiac arrest.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan Keluarga pasien pada tanggal 05 Februari 2019 di
Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi.
Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
A. Riwayat Penyakit Sekarang:
±2 hari SMRS pasien merasa sesak. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak
bertambah parah dengan beraktivitas ringan seperti berjalan. Pasien hanya
mampu duduk di tempat tidur. Pasien hanya dapat tidur dengan
menggunakan 2 bantal. Batuk (+), demam (-), Penurunan BB disangkal.
BAB dalam batas normal. BAK jumlah berkurang. Pasien dibawa ke
RSUP dr.Kariyadi untuk inisiasi Hemodialisis setelah sebelumnya
dikatakan dokter pasien menderita gagal ginjal kronik.
B. Riwayat Dahulu:
Riwayat tekanan darah tinggi (-)
Riwayat penyakit kencing manis (+)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat asma dan alergi disangkal
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
C. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
D. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupaka. Biaya pengobatan: JKN non-PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
A: cardiac arrest
P: Intubasi ET,RJP + injeksi epinefrin 1
ampul
(Jam 19:55 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20.00 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:05 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:10 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:15 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP
(Jam 20:20 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis tidak teraba Pupil dilatasi maksimal
EKG asistol
A: cardiac arrest
P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan
keluarga dan perawat
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
27 September 2018 terdapat panggilan code blue dari Ruang Rajawali 4A.
Tim codeblue tiba pukul 19.50. Pasien Tn.NJ mengalami cardiac arrest dan
respiratory arrest.Lalu dilakukan pengecekan kesadaran secara cepat dan
didapatkan GCS 3 (E1M1V1) / coma. Kemudian dilakukan pemeriksaan/survei
primer untuk airway, breathing dan circulation secara cepat. Selain itu juga
dilakukan pemasangan lead EKG, alat pengukur tekanan darah dan saturasi O 2.
Pasien juga dicurigai mengalami syok dimana ditemukan beberapa tanda
dan gejala syok terlihat dari hemodinamik yang tidak stabil, takikardi dilihat dari
HR yang semula tinggi lalu lama kelamaan menurun, TD yang semula agak
tinggi namun lama kelamaan juga menurun karena masuk pada fase
dekompensasi. Syok yang dialami pasien dicurigai merupakan syok kardiogenik
karena dapat dilihat dari riwayat pasien yang memiliki gangguan pada jantung
yaitu gagal jantung NYHA V, hipertensi yang mengakibatkan CKD stage III
pada pasien, serta riwayat penyakit diabetes mellitus.
Syok kardiogenik terjadi ketika terdapat masalah atau gangguan pada
kontraktilitas miokardium yang menyebabkan kerja jantung untuk memompa
darah menjadi terganggu dan tidak maksimal. Kegagalan jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh mengakibatkan cardiac output menurun yang
ditandai dengan hipotensi berat, sehingga terjadi hipoperfusi atau aliran darah
yang tidak maksimal ke jaringan dan organ-organ vital yang ditandai dengan
akral dingin dan pucat, serta pengisian kapiler yang lambat (> 2 detik).
Hipoperfusi mengakibatkan anoksia pada sel sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran pada seseorang.
Selain itu pada orang dengan CHF (gagal jantung kongestif), ventrikel
kiri tidak kosong dengan benar, masih banyak darah yang tidak terpompa keluar,
sedangkan darah terus mengalir ke arah jantung. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan di atrium dan pembuluh darah di dekatnya. Darah yang
menuju jantung menjadi tertahan dan memicu retensi atau penumpukan cairan
(edema) di paru-paru, perut dan kaki. Hal ini juga mempengaruhi ginjal,
mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan retensi garam dan air, sehingga juga
menyebabkan edema.
Pasien mengalami penurunan KU yaitu penurunan saturasi oksigen, tidak
terdapatnya napas spontan (apneu), dan henti jantung. Segera dilakukan tindakan
life saving berupa resusitasi jantung paru (RJP) atas indikasi cardiopulmonary
arrest. Pasien Tn.NJ mengalami cardiac arrest dan respiratory arrest. Tn. NJ
memiliki faktor risiko terjadi cardiac arrest karena menderita gagal ginjal kronik
dan CHF NYHA III. GCS E1M1V1, pulsasi a.Carotis tidak teraba, tidak ada
napas spontan, refleks pupil (+). Pihak Keluarga menyetujui tindakan Resusitasi
Jantung Paru dan menolak Do not Resucitate.
Tindakan RJP dilakukan oleh 2 penolong sehingga perbandingan kompresi
dan pemberian napas bantuan pada 1 siklus RJP 15:2. Setelah 5 siklus, dilakukan
evaluasi perabaan pulsasi a.carotis hasilnya pulsasi a.carotis tidak teraba,tidak ada
napas spontan, refleks pupil (+). Kemudian diberikan injeksi Ephedrine 1 ampul.
Prosedur RJP masih tetap dilanjutkan. Total injeksi ephedrine yang diberikan
sebanyak 6 ampul. Setelah 30 menit tindakan RJP dilakukan, pulsasi a.carotis
tidak teraba , tidak ada napas spontan, refleks pupil (-). Dilakukan pemeriksaan
EKG, didapatkan ventrikel asistol. Tim anestesi memberitahukan kepada keluarga
bahwa Tn.NJ telah meninggal.
BAB V
RINGKASAN
Simpulan
1. Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernapasan pada henti jantung
(cardiac arrest) dan atau henti napas (respiratory arrest) dengan bantuan
kompresi dada dan ventilasi buatan.
2. Indikasi dilakukan resusitasi jantung paru adalah henti napas dan henti
jantung, kontraindikasi absolutnya adalah DNR (Do Not Resusitate).
3. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan
segera henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal
dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan
penanganan lanjut yang terintegrasi.
4. Fase pada resusitasi jantung paru ada 3 yaitu bantuan hidup dasar, bantuan
hidup lanjut dan bantuan hidup jangka lama.
5. High quality CPR menurut Guideline American Heart Asosiation (AHA)
2015, terdiri dari kecepatan penolong melakukan kompresi dada yaitu 100
hingga 120 kali/menit. , kedalaman kompresi sedalam 5 cm - 6 cm,
memberi kesempatan dada untuk recoil sempurna, minimal interupsi
(dengan melakukan 5 siklus RJP terlebih dahulu barulah melakukan
evaluasi dalam 10 detik), mencegah terjadinya hiperventilasi (dengan cara
30 kali kompresi lalu 2 kali napass buatan).
6. RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah
timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung
jawab, penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau
korban telah dinyatakan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA