Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA SEORANG WANITA USIA 65


TAHUN DENGAN PENURUNAN KESADARAN ET CAUSA
HIPERGLIKEMIA DAN KAD

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
AMALIA PERMATA BAHAR
22010117220213

Pembimbing :
dr. Syeikh Faiz Hasan

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Amalia Permata Bahar


NIM : 22010117220213
Bagian : Anestesiologi RSDK / FK UNDIP
Judul kasus : Resusitasi Jantung Paru pada Seorang Perempuan
65 tahun dengan Penurunan Kesadaran et causa
Hiperglikemia dan KAD
Pembimbing : dr. Syeikh Faiz Hasan

Semarang, 7 Januari 2018


Pembimbing

dr. Syeikh Faiz Hasan


BAB I
PENDAHULUAN

Cardiac arrest atau henti jantung adalah keadaan dimana jantung tiba-tiba
berhenti berkontraksi sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi jantung
memompa darah ke seluruh tubuh. Henti jantung disebabkan oleh malfungsi
sistem kelistrikan yang terdapat di jantung yang biasanya diawali dengan irama
jantung ireguler dan abnormal.1
Henti jantung masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Lima
dari 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit dibeberapa negara berkembang
diperkirakan mengalami henti jantung dan kurang dari 20% dari jumlah pasien
tersebut tidak mampu bertahan hingga keluar dari rumah sakit.2
Pada kondisi henti napas dan henti jantung maka sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti sehingga organ-organ tubuh terutama organ vital
mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen pada organ tubuh akan
mengakibatkan kerusakan organ bahkan kematian. Organ yang paling cepat
mengalami kerusakan adalah otak. Jika dalam waktu lebih dari 4-6 menit otak
tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka sel-sel otak akan mengalami
kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian korban. Oleh
karena itu, golden period pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 8 menit.2
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan
berhubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru (RJP).3 Resusitasi
jantung paru (RJP) termasuk dalam Basic Life Support (Bantuan Hidup Dasar)
dengan mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan untuk
memberikan oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan fungsi sel tubuh
sehingga penderita yang diberikan RJP mempunyai kesempatan yang besar untuk
dapat hidup.4
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan
hidup (chain of survival) yaitu cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang
harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian
ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang,
sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar
untuk bisa bertahan hidup. Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari
beberapa tahap yaitu mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services), segera
melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada, segera melakukan
defibrilasi jika diindikasikan, segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced
life support, melakukan perawatan post cardiac arrest.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Arrest


Cardiac arrest atau henti jantung adalah keadaan yang terjadi ketika
jantung tiba-tiba berhenti berkontraksi yang mengakibatkan hilangnya fungsi
jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. 1
Ketika jantung berhenti
memompa darah ke seluruh tubuh, organ vital yang paling terpengaruh adalah
otak, sehingga kurangnya oksigen ke otak dapat mengakibatkan seseorang
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas.1
Gejala dari cardiac arrest meliputi hilangnya kesadaran, tidak adanya
respon, tidak terabanya nadi di a.carotis, gangguan napas dan atau tidak bernapas
sama sekali. 1 Beberapa orang dapat merasakan aritmia, nyeri dada akibat iskemia
jantung, dan tanda-tanda gagal jantung sebelum cardiac arrest terjadi. 3 Sebanyak
41% memiliki riwayat penyakit infark miokard akut, 73% memiliki riwayat gagal
jantung kongestif, dan 20% memiliki riwayat pernah mengalami cardiac arrest
sebelumnya. 3
Penderita infark miokard memiliki resiko lebih tinggi mengalami
cardiac arrest selama menjalani perawatan di rumah sakit, sementara penyebab di
luar penyakit jantung antara lain gagal ginjal, pneumonia, sepsis, diabetes, dan
riwayat keganasan sebelumnya. 3
Selain itu penyebab tersering dari cardiac
arrest adalah kelainan irama jantung yaitu fibrilasi ventrikel (VF) atau takikardi
tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%). Resiko
tinggi juga ditemukan pada mereka dengan umur lebih dari 70 tahun, riwayat
stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung sebelumnya.3

2.2 Respiratory Arrest


Respiratory arrest adalah keadaan berhentinya pernapasan spontan atau
terdapatnya pernapasan yang tidak adekuat akibat kegagalan paru dalam
menjalankan fungsinya. 5
Respiratory arrest sering terjadi bersamaan dengan
terjadinya cardiac arrest, namun tidak selalu. 5 Pada keadaan henti napas, pasien
berhenti bernapas tetapi nadi carotis masih teraba. 5
Terlepas dari penyebabnya,
keadaan ini adalah situasi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan
cepat. Ketika seorang pasien mengalami henti napas, tidak ada oksigen yang
sampai ke organ vital sehingga dapat berakibat pada kerusakan otak atau henti
jantung dalam beberapa menit jika tidak segera ditangani. Keadaan ini disebabkan
oleh beberapa penyebab yaitu beberapa penyakit neuromuskuler, penyakit-
penyakit metabolik, stroke, overdosis obat yang dapat menekan pusat pernapasan
di otak, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas beracun, obstruksi jalan napas oleh
benda asing, infark miokard, tercekik (sufokasi), trauma dada dan lain-lainnya. 6
Gejala-gejala pada seseorang yang akan mengalami respiratory arrest
adalah peningkatan usaha nafas, gasping, pergerakan napas paradoksikal,
sianosis, dan retraksi intercostal. Beberapa orang juga dapat mengalami
penurunan kesadaran karena mengalami hipoksia dan peningkatan karbondioksida
dalam darah.6

2.3 Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan bagian dari kumpulan tindakan
yang ada pada Bantuan Hidup Dasar, terdiri dari kompresi jantung atau pijat
jantung luar dan ventilasi/pemberian napas buatan (dengan atau tanpa
menggunakan alat (mouth to mouth)). Hal ini berguna untuk mengembalikan
fungsi sirkulasi dan pernapasan spontan sementara menunggu bantuan tim medis
atau peralatan lebih lanjut datang.7
Dalam resusitasi jantung paru berdasarkan AHA 2015 ada yang dikatakan
sebagai high quality CPR. Yang termasuk dalam high quality CPR adalah
frekuensi kompresi efektif yaitu minimal 100 kali/menit, kedalaman kompresi
yang tepat yaitu 5 cm, memberikan kesempatan dada untuk recoil/mengembang
kembali dengan sempurna, minimalkan interupsi (selesai 5 siklus, evaluasi
perabaan a. Carotis dan pernapasan maksimal 10 detik), mencegah hiperventilasi
(1 siklus terdiri dari 30 kali kompresi dan 2 kali ventilasi untuk penolong tunggal,
sedangkan untuk 2 orang penolong 1 siklus terdiri dari 15 kali kompresi dan 2 kali
ventilasi).8
2.3.1 Indikasi RJP
 Hilangnya kesadaran
 Pasien tidak bergerak
 Henti napas (apneu): henti napas primer, jantung dapat memompa darah
selama beberapa menit, dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah
akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada
korban dengan henti napas atau sumbatan jalan napas dapat mencegah
henti jantung. 8
 Tanda-tanda diperlukannya penanganan jalan napas dan pernapasan :
a. aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan
b. pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela
iga serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi
c. adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi
buatan
d. bisa disertai bunyi napas tambahan (snoring, wheezing)
e. dapat disertai retraksi
f. pada keadaan klinis dapat diketahui:
- hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan CO2 arteri
- hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis
 Henti jantung (cardiac arrest) dengan tanda-tanda antara lain :
a. hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung
b. henti napas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung
c. terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu
d. pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung
e. tidak teraba denyut arteri
2.3.2 Kontraindikasi RJP
 DNR (Do Not Resuscitate).
 Tidak ada manfaat fisiologis karena fungsi organ vital sudah tidak dapat
dikembalikan lagi.
 Ada tanda-tanda kematian (rigor mortis atau kaku mayat dan lebam).
2.3.3 Prosedur RJP
Menjaga jalan napas tetap terbuka. Airway diperiksa dengan cara
membuka mulut pasien, dilihat apakah ada benda asing, darah, cairan yang
mengganggu jalan napas, membersihkan dengan two finger swipe (look, listen,
and feel), bisa juga dengan mengajak pasien bicara apabila bisa menjawab
dengan baik maka airway baik.
Pasien tidak sadar tonus otot menghilang sehingga lidah akan jatuh
sehingga menutup jalan napas. Manuver untuk membebaskan jalan napas
yaitu triple airway maneuver yang terdiri dari head tilt, chin lift, dan jaw
thrust.
Head tilt – chin lift dilakukan dengan cara meletakkan tangan penolong di
atas kening pasien dan dagu pasien, kemudian kepalanya ditengadahkan ke
atas. Tindakan ini tidak diperbolehkan untuk pasien yang mengalami cedera
servikal (leher), karena dapat memperparah cedera servikal tersebut.

Gambar 1. Kiri (Head tilt) dan 2. Kanan (Chin lift)


Jaw thrust dilakukan pada pasien terlentang dengan cara meletakkan jari
indeks dan jari tengah kedua tangan di posterior mandibula kemudian
didorong kearah atas, sedangkan jempol kedua tangan mendorong dagu untuk
membuka jalan napas. Tindakan ini mencegah lidah untuk jatuh kebelakang.
Gambar 3. Jaw thrust
o B(Breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat. Untuk
menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
Look  melihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak, simetris atau
tidak, ada gerak paradoksal atau tidak.
Listen  mendengarkan suara napas korban ada atau tidak.
Feel  merasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak.

Gambar 4. Breathing evaluation


Apabila tidak ada napas, maka dilakukan ventilasi buatan dengan tanpa alat
(mulut ke mulut, atau mulut ke hidung) atau dengan alat (mulut ke sungkup).
Frekuensi yang diberikan yaitu 1 siklus 2 kali ventilasi (sebelum terpasang
endotracheal tube), namun apabila sudah terpasang endotracheal tube,
frekuensinya 12-16 kali/menit.
o C(Circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru. Sebelum melakukan kompresi jantung luar, lakukan perabaan a.carotis
terlebih dahulu selama maksimal 10 detik.

Gambar 5. Perabaan a.carotis.


Apabila tidak teraba nadi barulah dilakukan kompresi jantung luar /
kompresi dada. Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang teratur dan
kuat di sternum bagian tengah bawah. Kompresi ini akan menciptakan aliran
darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung
menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju
miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan
aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung
harus mendapatkan kompresi dada.
Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yaitu pasien hendaknya
terlentang pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan.
Penolong berlutut di samping pasien dan meletakkan pangkal sebelah
tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum. Tangan penolong yang
lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus
dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan
vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 5-6cm. Setelah
kompresi harus ada relaksasi (rekoil sempurna dari dada) untuk memberi
kesempatan jantung terisi darah kembali sebelum kompresi berikutnya.
Kecepatan kompresi dada yaitu mulai 100-120 kali per menit. Penolong
seharusnya mencoba untuk mengurangi gangguan yang terjadi selama
kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.

Gambar 6. Kompresi Dada Luar


 Bantuan Hidup Lanjut  bantuan hidup dasar ditambah dengan :
o D (Drugs and fluids) : pemberian obat-obatan termasuk cairan. Obat
utama yang diberikan pada RJP adalah epinefrin / adrenalin dengan dosis 0,5
– 1 mg IM.
o E (ECG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai
RJP, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, ventrikel takikardi,
asistole atau pulseless electrical activity.

Gambar 7. Ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi.

Gambar 8. Irama Asistol


o F (Fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Hal
ini diatasi dengan menggunakan AED (Automated External Defibrilation).
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang
diri harus mencari AED (bila AED dekat dan mudah didapatkan) dan
kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan AED.
Penolong lalu memberikan CPR berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau
lebih penolong, seorang penolong harus segera memberikan kompresi dada
sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency response system dan
mengambil AED (atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit).
AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus
memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi. Irama jantung yang
dapat dishock dengan AED yaitu ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.

Gambar 9. Algoritma RJP berdasarkan AHA 2015


Urutan dalam melakukan RJP:
1. 3 A (amankan lokasi, amankan penolong dengan menggunakan alat
pelindung diri, amankan pasien).9
2. Cek kesadaran pasien dengan cepat dengan menggunakan AVPU (Alert,
Verbal, Pain, Unresponsive).9
a. Alert : pasien atau korban dalam keadaan sadar tanpa rangsang apapun.
b. Verbal : pasien memberikan respon saat dipanggil (rangsang verbal).
c. Pain : pasien baru memberikan respon dengan rangsang nyeri (bisa dengan
menepuk bahu dengan kuat, menekan sternum, menekan glabela, atau
menekan pangkal kuku).
d. Unresponsive : pasien tidak merespon walaupun sudah dirangsang verbal
dan nyeri.
3. Cek nadi a.carotis dan napas selama maksimal 10 detik. Apabila ada denyut
nadi tetapi tidak ada napas maka diberikan bantuan napas / ventilasi buatan
saja. Apabila tidak ada denyut nadi a.carotis dan tidak ada napas maka harus
dilakukan kompresi dada dan ventilasi buatan. Pada kondisi cardiac arrest
yang diutamakan adalah circulation karena gangguan utama terletak
dijantung, oleh karena itu urutan primary survey berubah dari A-B-C
menjadi C-A-B (berdasarkan AHA 2015).9
4. Memberikan kompresi jantung + napas buatan (30 : 2)
Kompresi dada dimulai sesegera mungkin apabila tidak ada denyut nadi,
sedangkan tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup
untuk bantuan napas dari mulut ke mulut atau memasang masker akan
memakan waktu. Perbandingan kompresi dada dengan ventilasi yaitu 30
kali dibandingkan 2 kali (1 siklus) dan dilakukan sebanyak 5 siklus atau
selama 2 menit.9
5. Evaluasi nadi a.carotis dan napas setiap 2 menit atau setiap selesai 5 siklus
kompresi dada dan ventilasi buatan. Periksa apakah terdapat denyut nadi
dan napas spontan atau batuk.
6. Jangan hentikan kompresi dada dan ventilasi buatan 30 : 2 sampai ada
indikasi stop RJP. Indikasi stop RJP adalah : 9

a. Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan (ROSC)


b. Pasien dirawat kepada yang lebih berwenang
c. Telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel (refleks muntah (“gag
reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, tidak ada
aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati
jantung).
d. Penolong kelelahan atau keselamatan penolong terancam
e. Jika 30 menit setelah ACLS yang adekuat tidak ada tanda-tanda
kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi
obat atau hipotermia.

Tabel 1. High quality CPR (Cardiopulmonary Resuscitation). 9


Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya
denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung,
penghentian perdarahan dan posisi untuk shock.
2.3.4 Penghentian RJP
f. Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan (ROSC)
g. Pasien dirawat kepada yang lebih berwenang atau AED telah tiba
h. Penolong kelelahan atau keselamatan penolong terancam
i. Telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel (refleks muntah (“gag
reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, tidak ada
aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati
jantung).
j. Jika 30 menit setelah ACLS yang adekuat tidak ada tanda-tanda
kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi
obat atau hipotermia.
2.4 Pemasangan Endotracheal Tube (ET)
Intubasi endotrakeal adalah memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal
tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. Endotracheal tube
sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea,
tindakannya dinamakan intubasi endotrakeal.
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, di antaranya
adalah:
1. Untuk patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan
jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien
dengan obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan
patensi jalan napas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru
tidak dapat diandalkan
5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan napas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo
(bronchialpulmonair toilet).
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi reflek muntah (misal selama anestesi umum)
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita
suara, tumor supraglotis dan subglotis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.

Kesulitan intubasi dapat diperkirakan dengan standar dari Cormack dan


Lehane. (a)
Terdapat 4 derajat/kelas/grade berdasarkan penglihatan yang dapat dicapai
dengan laringoskopi, yaitu:
- Derajat/kelas I: Semua glotis terlihat, tidak ada kesulitan.
- Derajat/kelas II: Hanya glotis bagian posterior yang terlihat, hal ini yang
menyebabkan kesulitan ringan. Penekanan pada leher dapat memperbaiki
penglihatan terhadap laring
- Derajat/kelas III: Tidak ada bagian glotis yang terlihat, tetapi epiglotis
terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan yang agak berat.
- Derajat/kelas IV: Epiglotis tidak terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan
besar.
Atau dapat menggunakan perkiraan dari Mallampati, yaitu Mallampati Test (b)
Pilar Palatum
Gradasi Uvula
Faring molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Tabel 2. Mallampati Score

Gambar 10. Mallampati Score

BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. M
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pensiunan
Ruang : Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi
No. CM : C736846
Tgl masuk : 05 Februari 2019

1.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan Keluarga pasien pada tanggal 05 Februari 2019 di
Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi.
Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
A. Riwayat Penyakit Sekarang:
±2 hari SMRS pasien merasa sesak. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak
bertambah parah dengan beraktivitas ringan seperti berjalan. Pasien hanya
mampu duduk di tempat tidur. Pasien hanya dapat tidur dengan
menggunakan 2 bantal. Batuk (+), demam (-), Penurunan BB disangkal.
BAB dalam batas normal. BAK jumlah berkurang. Pasien dibawa ke
RSUP dr.Kariyadi untuk inisiasi Hemodialisis setelah sebelumnya
dikatakan dokter pasien menderita gagal ginjal kronik.
B. Riwayat Dahulu:
 Riwayat tekanan darah tinggi (-)
 Riwayat penyakit kencing manis (+)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat asma dan alergi disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
C. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
D. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupaka. Biaya pengobatan: JKN non-PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di Label Merah IGD RSUP Dr. Kariadi
A. Keadaan Umum
Tidak sadar, terpasang infus NaCl 0.9%
Penurunan kesadaran, gagal napas
TD : 112/83 mmHg
HR : 108x/menit
Nadi : 110x/menit
RR : 35x/menit
Suhu : 36,6o C
B. Survey Primer
Airway : paten
Breathing : tidak ada nafas spontan
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi tidak
terukur
C. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan
Jalan napas : paten
Pernapasan : henti napas
Sirkulasi : gangguan hemodinamik
Nyeri : tidak nyeri

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
(4/08/2018)
Darah Lengkap
Hemoglobin 8.5 g/dL 13-16
Hematokrit 25.2 % 40-54
Eritrosit 3.25 106/uL 4.4-5.9
MCH 26.2 Pg 27-32
MCV 77.5 fL 76-96
MCHC 33.7 g/dL 29-36
Leukosit 39.3 103/uL 3.8-10.6
Trombosit 282 103/uL 150-400
RDW 15.5 % 11.60-14.80
MPV 9.6 fL 4-11
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 203 mg/dl 80-160
SGOT 20 U/L 15-34
SGPT 14 U/L 15-60
Albumin 2.8 g/dL 3.4-5.0
Ureum 235 mg/dL 15-39
Kreatinin 10.9 mg/dL 0.6-1.3
Magnesium 0.92 mmol/L 0.74-0.99
Calcium 1.9 mmol/L 2.12-2.52
Elektrolit
Natrium 128 mmol/L 136-145
Kalium 4.4 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 91 mmol/L 98-107
Koagulasi
13.2 Detik 9.4-11.3
Prothrombin time
9.8 Detik 27.7-40.2
Thromboplastine time
Kimia Klinik
Temp 36.7 C
FiO2 32.0 %
pH 7.283 7.37-7.45
pCO2 12.0 mmHg 35-45
pO2 185.6 mmHg 83.0-108.0
pH(T) 7.287 7.35-7.45
pCO2(T) 11.9 mmHg
pO2(T) 184.0 mmHg
HCO3- 5.7 mmol/L 22-26
TCO2 6.1 mmol/L
BEecf -21.1 mmol/L
BE (B) -18.3 mmol/L -2 – 3
SO2c 98.2 % 95-100
A-aDO2 29.5 mmHg
RI 0.2
Imunoserologi <0.5 risiko
rendah untuk
sepsis.
0.5-2 perlu
pemeriksaan
Procalcitonin 0.75 ng/ml ulang 6-24 jam
> 2 risiko
tinggi untuk
sepsis berat
atau septik
syok
1.5 Diagnosis
1.5.1 Cardiac arrest
1.5.2 CKD stage V pro inisiasi HD
1.5.3 Asidosis Metabolik
1.5.4 CHF NYHA III
1.5.5 Hipertensi gr II
1.5.6 Diabetes Mellitus tipe II
1.5.7 Anemia sedang

1.6 Tindakan Life-Saving


 Nama Tindakan : Resusitasi Jantung Paru
 Diagnosis Banding : Cardiac arrest, CHF NYHA III
 Dasar Diagnosis : Klinis dan penunjang
 Indikasi Tindakan : Henti jantung
 Tata Cara : Sesuai prosedur
 Tujuan : Bantuan hidup lanjut
 Risiko : Patah tulang, kematian
 Komplikasi : Patah tulang
 Prognosis : Dubia
 Alternatif & Risiko : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada

Tindakan Monitoring hasil tindakan


(Jam 19.50 WIB) tim code blue datang TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: Intubasi ET,RJP + injeksi epinefrin 1
ampul
(Jam 19:55 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba
A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20.00 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:05 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:10 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP, injeksi epinefrin 1 ampul
(Jam 20:15 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba

A: cardiac arrest
P: RJP
(Jam 20:20 WIB) TD tidak terukur, pulsasi a.carotis
Cek kesadaran  pasien tidak sadar tidak teraba
Cek Nadi Karotis  tidak teraba Pupil dilatasi maksimal
EKG asistol
A: cardiac arrest
P: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan
keluarga dan perawat
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

27 September 2018 terdapat panggilan code blue dari Ruang Rajawali 4A.
Tim codeblue tiba pukul 19.50. Pasien Tn.NJ mengalami cardiac arrest dan
respiratory arrest.Lalu dilakukan pengecekan kesadaran secara cepat dan
didapatkan GCS 3 (E1M1V1) / coma. Kemudian dilakukan pemeriksaan/survei
primer untuk airway, breathing dan circulation secara cepat. Selain itu juga
dilakukan pemasangan lead EKG, alat pengukur tekanan darah dan saturasi O 2.
Pasien juga dicurigai mengalami syok dimana ditemukan beberapa tanda
dan gejala syok terlihat dari hemodinamik yang tidak stabil, takikardi dilihat dari
HR yang semula tinggi lalu lama kelamaan menurun, TD yang semula agak
tinggi namun lama kelamaan juga menurun karena masuk pada fase
dekompensasi. Syok yang dialami pasien dicurigai merupakan syok kardiogenik
karena dapat dilihat dari riwayat pasien yang memiliki gangguan pada jantung
yaitu gagal jantung NYHA V, hipertensi yang mengakibatkan CKD stage III
pada pasien, serta riwayat penyakit diabetes mellitus.
Syok kardiogenik terjadi ketika terdapat masalah atau gangguan pada
kontraktilitas miokardium yang menyebabkan kerja jantung untuk memompa
darah menjadi terganggu dan tidak maksimal. Kegagalan jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh mengakibatkan cardiac output menurun yang
ditandai dengan hipotensi berat, sehingga terjadi hipoperfusi atau aliran darah
yang tidak maksimal ke jaringan dan organ-organ vital yang ditandai dengan
akral dingin dan pucat, serta pengisian kapiler yang lambat (> 2 detik).
Hipoperfusi mengakibatkan anoksia pada sel sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran pada seseorang.
Selain itu pada orang dengan CHF (gagal jantung kongestif), ventrikel
kiri tidak kosong dengan benar, masih banyak darah yang tidak terpompa keluar,
sedangkan darah terus mengalir ke arah jantung. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan di atrium dan pembuluh darah di dekatnya. Darah yang
menuju jantung menjadi tertahan dan memicu retensi atau penumpukan cairan
(edema) di paru-paru, perut dan kaki. Hal ini juga mempengaruhi ginjal,
mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan retensi garam dan air, sehingga juga
menyebabkan edema.
Pasien mengalami penurunan KU yaitu penurunan saturasi oksigen, tidak
terdapatnya napas spontan (apneu), dan henti jantung. Segera dilakukan tindakan
life saving berupa resusitasi jantung paru (RJP) atas indikasi cardiopulmonary
arrest. Pasien Tn.NJ mengalami cardiac arrest dan respiratory arrest. Tn. NJ
memiliki faktor risiko terjadi cardiac arrest karena menderita gagal ginjal kronik
dan CHF NYHA III. GCS E1M1V1, pulsasi a.Carotis tidak teraba, tidak ada
napas spontan, refleks pupil (+). Pihak Keluarga menyetujui tindakan Resusitasi
Jantung Paru dan menolak Do not Resucitate.
Tindakan RJP dilakukan oleh 2 penolong sehingga perbandingan kompresi
dan pemberian napas bantuan pada 1 siklus RJP 15:2. Setelah 5 siklus, dilakukan
evaluasi perabaan pulsasi a.carotis hasilnya pulsasi a.carotis tidak teraba,tidak ada
napas spontan, refleks pupil (+). Kemudian diberikan injeksi Ephedrine 1 ampul.
Prosedur RJP masih tetap dilanjutkan. Total injeksi ephedrine yang diberikan
sebanyak 6 ampul. Setelah 30 menit tindakan RJP dilakukan, pulsasi a.carotis
tidak teraba , tidak ada napas spontan, refleks pupil (-). Dilakukan pemeriksaan
EKG, didapatkan ventrikel asistol. Tim anestesi memberitahukan kepada keluarga
bahwa Tn.NJ telah meninggal.
BAB V
RINGKASAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk


mencegah suatu episode henti jantung dengan bantuan pernapasan dan kompresi
dada. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung.
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti
jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal dengan menekankan
pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan penanganan lanjut yang
terintegrasi.
Pada CPR (cardiopulmonary rescucitation) Guidelines 2010, terdapat
perubahan pada tahapan BLS yang pada awalnya tahapan sebagai berikut: A-B-C
(Airway-Breathing-Circulation) menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing)
untuk pasien dewasa dan pediatrik (anak dan bayi, tidak termasuk bayi baru lahir).
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang
berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 kali/menit dan
kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5
inchi (4cm) pada bayi.
Pada Panduan CPR tahun 2015, AHA menambahkan beberapa perubahan
diantaranya kompresi jantung dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali/menit
dengan kedalaman kompresi haruslah 2-2,4 inci atau 5-6 cm untuk dewasa rata-
rata.
RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah
timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung jawab,
penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau korban telah
dinyatakan meninggal.
BAB VI
RINGKASAN

Simpulan
1. Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernapasan pada henti jantung
(cardiac arrest) dan atau henti napas (respiratory arrest) dengan bantuan
kompresi dada dan ventilasi buatan.
2. Indikasi dilakukan resusitasi jantung paru adalah henti napas dan henti
jantung, kontraindikasi absolutnya adalah DNR (Do Not Resusitate).
3. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan
segera henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal
dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, dan
penanganan lanjut yang terintegrasi.
4. Fase pada resusitasi jantung paru ada 3 yaitu bantuan hidup dasar, bantuan
hidup lanjut dan bantuan hidup jangka lama.
5. High quality CPR menurut Guideline American Heart Asosiation (AHA)
2015, terdiri dari kecepatan penolong melakukan kompresi dada yaitu 100
hingga 120 kali/menit. , kedalaman kompresi sedalam 5 cm - 6 cm,
memberi kesempatan dada untuk recoil sempurna, minimal interupsi
(dengan melakukan 5 siklus RJP terlebih dahulu barulah melakukan
evaluasi dalam 10 detik), mencegah terjadinya hiperventilasi (dengan cara
30 kali kompresi lalu 2 kali napass buatan).
6. RJP dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif telah
timbul kembali, ada orang lain yang lebih ahli mengambil alih tanggung
jawab, penolong terlalu lelah, bantuan medis atau AED telah tiba, atau
korban telah dinyatakan meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. British Heart Foundation. Cardiac Arrest. https://www.bhf.org.uk/heart


health/conditions/cardiac-arrest.
2. Roifah I. Metode Cardio Pulmonary Resucitation Untuk Meningkatkan
Survival Rates Pasien Post Cardiac Arrest.; 2014.
3. Douglas P. Zipes, Peter Libby, Robert O. Bonow, Douglas L. Mann GFT.
Braunwald’s Heart Disease E-Book: A Textbook of Cardiovascular Medicine.
Elsevier; 2018.
4. American Heart Association. About Cardiac Arrest.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-
Cardiac-Arrest_UCM_307905_Article.jsp#.WM_GSTt97IU.
5. ACLS Medical Training. Respiratory Arrest.
https://www.aclsmedicaltraining.com/respiratory-arrest/. Published 2018.
Accessed April 14, 2018.
6. Institute AC. Managing Respiratory Arrest.
https://acls.com/free-resources/knowledge-base/respiratory-arrest-airway-
management/managing-respiratory-arrest. Published 2018. Accessed April 14,
2018.
7. Soenarjo, Marwoto H, Witjaksono, et al. Anestesiologi. In: Semarang: IDSAI;
2010:45-52.
8. Hazinski M D. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart
Association 2015 Untuk CPR Dan ECC.; 2015.
9. Bagian Diklat RSCM. Bantuan Hidup Dasar.
http://www.academia.edu/25375707/BANTUAN_HIDUP_DASAR. Accessed
April 14, 2018.
10. Soenarjo, Marwoto H, Witjaksono, et al. Anestesiologi. In: Semarang: IDSAI;
2010:45-52.
11. Comittee on Trauma Advanced Trauma Life Supportfor Doctor’s 7th Edition.
Chicago: American College of Surgeon Committee on Trauma; 2004.
12. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinik Syok Hipovolemik:
Update dan Penyegaran. J Kesehat Andalas. 2013;2(178-182).

Anda mungkin juga menyukai