Anda di halaman 1dari 37

TATALAKSANA HENTI JANTUNG

Disusun Oleh:

Nastasha Mufti 1310311100


Nike Ayu Astuti 1110313044
Nurul Aini 1310312021
Okta Rahmanda 1310311179
Putri Rahmawati 1310311032

Preseptor:

dr. Eka Fithra Elfi, Sp.JP

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Henti jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung berhenti bekerja

sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan pompa jantung dan sikulasi darah ke

seluruh tubuh. Henti jantung merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan

penanganan segera agar tidak berlanjut menjadi kematian biologis.

Henti jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya karena kelainan

pada jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel fibrilasi, kelainan

vascular, trauma dada dan penyebab lainnya. Henti jantung biasanya terjadi beberapa

menit setelah henti nafas, umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi,

denyut jantung dan pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai 30 menit.

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi

di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi

jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation untuk dapat memberikan

pertolongan hidup dasar.

Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan mempunyai

hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang

terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan

mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali. 2 Namun pada

beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti

2
jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan otak

yang permanen.

Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan

pertolongan yang berarti bagi pasien.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk untuk mempelajari dan mengetahui

tatalaksana henti jantung pada dewasa.

1.3 Manfaat

Referat ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang

penatalaksanaan henti jantung pada dewasa.

1.4 Metode

Penulisan referat ini dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan

dengan merujuk kepada berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Henti Jantung adalah suatu keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem

sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung saat

sistolik.8 Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi

kebutuhan oksigen ke otak maupun ke organ vital lainnya secara mendadak dapat

menyebabkan kerusakan otak hingga kematian. Henti jantung terminal akibat usia

lanjut atau penyakit kronis tidak termasuk henti jantung.2

2.2 Epidemiologi

Setiap tahunnya, di Kanada dan Amerika Serikat pasien yang mengalami henti

jantung mencapai 350.000 orang dan 50% meninggal di rumah sakit.9 Lima dari

1.000 pasien yang dirawat di rumah sakit di negara maju seperti Australia

diperkirakan mengalami henti jantung, sebagian besar pasien henti jantung tidak

mampu bertahan hidup hingga keluar dari rumah sakit.10 Di Indonesia tidak ada data

statistik mengenai kepastian jumlah kejadian cardiac arrest setiap tahunnya, tetapi

diperkirakan adalah 10 ribu warga. Data di ruang rawat inap RSUP Dr. M. Djamil

Padang, menunjukkan terdapat 27,78% pasien di tahun 2012 mengalami atrial

fibrilasi yang merupakan kelainan irama jantung yang bisa menyebabkan henti

jantung.11

4
2.3 Patofisiologi

Pemeliharaan metabolisme jaringan normal pada prinsipnya terutama

bergantung pada pengiriman oksigen yang adekuat sesuai dengan fungsi sirkulasi.

Kegagalan pengiriman cepat menghasilkan beberapa perubahan yaitu :

2.3.1 Hipoksia

Setelah periode singkat henti jantung, PaO2 turun secara dramatis akan tetapi

oksigen terus diperlukan untuk dikonsumsi. Selain itu, akumulasi progresif karbon

dioksida menggeser kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ke kanan. Hal ini pada

awalnya meningkatkan transfer oksigen ke jaringan tapi tanpa terjadi proses

pengiriman sehingga terjadi hipoksia jaringan yang lebih lanjut. Di otak, PaO2 turun

dari 13 kPa menjadi 2,5 kPa dalam waktu 15 detik dan kesadaran hilang, setelah satu

menit, PaO2 akan telah jatuh ke angka nol.2

2.3.2 Asidosis

Otak dan jantung memiliki tingkat yang relatif tinggi konsumsi oksigen

(4mls/min dan 23mls/min masing-masing) dan pengiriman O2 kepada mereka akan

jatuh di bawah tingkat kritis selama serangan jantung/henti jantung. Dalam kasus

fibrilasi ventrikel, metabolisme miokard berlanjut pada tingkat normal namun

metabolism oksigen menghasilkan zat lemas dan pasokan energi fosfat yang tinggi.

Asidosis kemudian muncul sebagai hasil dari metabolisme anaerob meningkat dan

akumulasi karbon dioksida di jaringan.2

Tingkat asidosis berkembang di otak, bahkan dengan dukungan bantuan dasar,

akan mengancam kelangsungan hidup jaringan dalam waktu 5 - 6 menit. Selain itu, di

5
jantung, bahkan setelah pemulihan irama perfusi, meminimalkan kontraktilitas

asidosis, masih mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aritmia.2

Setelah jantung mendapat respon yang berat, katekolamin dilepaskan dalam

jumlah besar, bersama-sama dengan kortikosteroid adrenal, hormon anti-diuretik dan

tanggapan hormon lainnya. Efek merugikan yang mungkin timbul dari perubahan ini

termasuk hiperglikemia, hipokalemia, tingkat laktat meningkat dan kecenderungan

aritmia lebih lanjut.2

2.4 Penyebab henti jantung

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi

tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir

oleh disosiasi elektromekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih

sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.2

Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis)

disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu

(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak

sadar.2

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin

(Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit

pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun

setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.3

6
Henti jantung kebanyakan dialami oleh orang yang telah mempunyai penyakit

jantung sebelumnya. Diantaranya pada kelainan:

2.4.1 Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak

pada dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama

kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jarinrangan ikat,

perkapuran, pembekuan darah, dll.,yang kesemuanya akan mempersempit atau

menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di

daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai

akibat yang cukup serius, dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark miokard,

yang dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan

kematian mendadak.2

2.4.2 Kelainan vaskular

Terjadi penyempitan pembuluh darah, jantung berusaha untuk memberikan

suplai yang cukup pada tubuh, sehingga bekerja lebih keras namun aliran balik yang

dihasilkan hanya sedikit sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada sel otot

jantung. Kemudian pada serangan jantung (MCI) pembuluh darah koroner jantung

terhambat oleh penyumbatan, sehingga sangat mungkin terjadinya fibrilasi ventrikel

dan berujung pada henti jantung.3

2.4.3 Penyakit jantung non iskemik 3

2.4.3.1 Gagal Jantung Kongesti

Pada penyakit jantung kongesti permasalahannya terdapat pada katup jantung,

seperti aorta stenosis juga dapat meningkatkan resiko henti jantung tiba-tiba.

7
2.4.3.2 Kardiomiopati

Merupakan penyakit jantung dimana otot jantung tidak berkontraksi, paling

sering diakibatkan oleh iskemik, dimana bagian dari otot jantung tidak mendapatkan

suplai darah yang cukup untuk jangka waktu lama dan tidak lagi dapat memompa

darah secara efisien. Orang-orang yang ejeksi fraksi (jumlah darah yang dipompa

keluar dari jantung dengan setiap denyut jantung) kurang dari 30% berada pada risiko

lebih besar untuk kematian mendadak (fraksi ejeksi normal adalah di atas 50%). Pada

beberapa orang, cardiomyopathy mungkin berkembang tanpa adanya penyakit

jantung iskemik.

2.4.3.3 Kelainan pada sistim konduksi jantung

Henti jantung kebanyakan merupakan kelanjutan dari sinus aritmia

jantung .Aritmia jantung merupakan suatau kerusakan pada system konduksi listrik

akibat suatu penyakit atau ganggguan tertentu sperti serangan jantung. Aritmia

jantung yang cepat menyebabkan henti jantung diantaranya ventikel takikardi,

ventrikel fibrilasi, bradikardi, heart block selain itu long QT syndrome juga dapat

berakir dengan henti jantung.

2.4.3.4 Inflamasi Otot Jantung

Inflamasi pada otot jantung yang dikenal dengan miokarditis juga dapat

mennyebabkan kekacauan pada ritme jantung. Penyakit-penyakit seperti sarcoidosis,

amiloidosis,dan infeksi dapat menyebabkan inflamasi pada otot jantung.

8
2.4.4 Kelainan kongenital

Beberapa orang lahir dengan system konduksi listrik jantung yang lemah ,

dimana memiliki resiko tinggi untuk mengalami kerusakan pada regularisasi listrik

pada jantungnya. Seperti pada Wolff-Parkinson-White syndrome dan ada juga yang

mengalami gangguan pada struktur nya seperti yang didapatkan pada Marfan

syndrome.

2.4.5 Faktor lain

Banyak hal lain yang dapat menyebabkan henti jantung, seperti :

 Pulmonary emboli, emboli yang berasal dari perifer dapat mengikuti sirkulasi

sentral,

 Faktor risiko pada kelainan pembekuan darah termasuk pembedahan

 Imobilisasi yang lama (misalnya, rumah sakit, naik mobil panjang atau

perjalanan pesawat )

 Trauma, atau penyakit tertentu seperti kanker

Trauma tumpul dada, seperti pada kecelakaan kendaraan bermotor, dapat

mengakibatkan fibrilasi ventrikel dan akhirnya menyebabkan henti jantung, cacat

jantung bawaan, tenggelam, tersengat listrik, henti napas, tersedak. Sedangkan resiko

untuk terjadinya henti jantung yaitu pada orang-orang dengan penyakit jantung

koroner, cacat jantung bawaan, ketidakseimbangan elektrolit, merokok,

diabetes,penguna narkoba seperti kokain dan methamphetamine.

9
BAB 3
BANTUAN HIDUP DASAR

A. Definisi

Keadaan henti jantung menjadi salah satu penyebab tertinggi kasus kematian

di berbagai belahan dunia. Henti jantung dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan

disebabkan oleh berbagai macam hal juga kondisi dan lingkungan yang beragam.

Anak dan bayi pun dapat terkena kejadian henti jantung. Oleh karena itu, dibutuhkan

serangkaian tindakan guna mencegah kematian yang diakibatkan oleh henti jantung.

Teknik ini dinamakan dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD).2

Bantuan Hidup Dasar atau BHD ialah oksigenasi darurat secara efektif pada

organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan

sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara

normal. Resusitasi mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi yang

dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat kekurangan oksigen dan memberikan

bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi.3

B. Indikasi

 Henti nafas

Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara

pernafasan dari korban. Pada awal henti nafas oksigen masih dapat masuk ke dalam

darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak

10
dan organ vital lainnya. Dengan diberikan bantuan resusitasi dapat membantu

menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ.3

Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti:

⁻ Tenggelam atau lemas

⁻ Stroke

⁻ Obstruksi jalan nafas

⁻ Epiglotitis

⁻ Overdosis obat-obat

⁻ Tersengat listrik

⁻ Infark miokard

⁻ Tersambar petir

 Henti Jantung

Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi

kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak.3 Henti sirkulasi

ini dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Henti

jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat sekali,

pernafasan berhenti, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien

tidak sadar. Sebagian besar henti jantung di sebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau

takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian di susul oleh ventrikel asistol (± 10%)

dan yang terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (±5%).

C. Kontra Indikasi

RJP tidak di lakukan pada keadaan sebagai berikut :

11
 Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut/kronik yang

berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada

suatu saat, kemudian tidak hanya jantung tetapi organisme secara keseluruhan

begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap

hidup lama lama lagi.

 Multiple trauma.

 Vegetatif state.

 Stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi.

 Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu

sesudah ½-1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.

 Pasien dengan kriteria do not resuscitate (DNR) atau semua tindakan kecuali

RJP : untuk pasien- pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan

harapan pemulihan otak, yang mengalami kegagalan jantung paru atau organ

multipel yang lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat

disembuhkan. Semua yang mungkin dilakukan untuk kenyamanan pasien.

Perpanjangan hidup tidak dilakukan setelah henti jantung.4

D. Komponen BHD

BHD terdiri dari identifikasi henti jantung dan aktivasi Sistem Pelayanan

Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), Resusitasi Jantung Paru (RJP) dini, dan kejut

jantung menggunakan automated external defibrillator (AED) atau alat kejut jantung

otomatis.5

12
Gambar 1. Rantai Keselamatan

A. Identifikasi korban henti jantung dan Aktivasi SPGDT Segera

Sebelum melakukan tindakan, pertama penolong harus mengamankan

lingkungan sekitar dan diri sendiri serta memperkenalkan diri pada orang sekitar jika

ada. Bersamaan dengan itu, penolong juga perlu memeriksa pernapasan korban, jika

korban tidak sadarkan diri dan bernapas secara abnormal (terengah-engah), penolong

harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung.5 Penolong harus dapat

memastikan korban tidak responsif dengan cara memanggil korban dengan jelas, lalu

menepuk-nepuk korban atau menggoyangkan bahu korban.5,6

Gambar 2. Memeriksa kesadaran


pasien maka penolong harus segera
Jika korban tidak memberikan respons

mengaktifkan SPGDT dengan menelepon Ambulans Gawat Darurat atau ambulans

rumah sakit terdekat. Penolong harus siap dengan jawaban mengenai lokasi kejadian,

kejadian yang sedang terjadi, jumlah korban dan bantuan yang dibutuhkan.7

B. Resusitasi Jantung Paru (RJP)

13
Resusitasi jantung paru terdiri dari penekanan dada dan bantuan napas dengan

perbandingan 30:2, berarti 30 kali penekanan dada kemudian dilanjutkan dengan

memberikan 2 kali bantuan napas.2 Penekanan dada yang efektif dilakukan dengan

prinsip tekan kuat, tekan cepat, mengembang sempurna, dan interupsi minimal.5

Untuk memaksimalkan efektivitas penekanan dada, korban harus berada di tempat

yang permukaannya rata. Penolong berlutut di samping korban apabila lokasi

kejadian di luar rumah sakit atau berdiri di samping korban apabila di rumah sakit.

Penolong meletakkan pangkal telapak tangan di tengah dada korban dan meletakkan

tangan yang lain di atas tangan yang pertama dengan jari-jari saling mengunci dan

lengan tetap lurus.5

Gambar 3. Posisi

badan serta tangan

penolong pada dada

korban

Penolong memberikan

penekanan dada dengan kedalaman minimal 5cm (prinsip

tekan kuat) dengan kecepatan minimal 100 kali permenit (prinsip tekan cepat).

Penolong juga harus memberikan waktu bagi dada korban untuk mengembang

kembali untuk memungkinkan darah terisi terlebih dahulu pada jantung (prinsip

mengembang sempurna). Penolong juga harus meminimalisasi interupsi saat

melakukan penekanan (prinsip interupsi minimal). Bantuan napas diberikan setelah

14
membuka jalan napas korban dengan teknik menengadahkan kepala dan mengangkat

dagu (head tilt – chin lift).5

Gambar 4. Membuka jalan napas dengan menengadahkan kepala dan mengangkat

dagu

Setelah itu cuping hidung korban dijepit menggunakan ibu jari dan telunjuk

agar tertutup kemudian diberikan napas bantuan sebanyak dua kali, masing-masing

sekitar 1 detik, buang napas seperti biasa melalui mulut. Napas bantuan diberikan dari

mulut ke mulut atau menggunakan pelindung wajah yang diletakkan di wajah korban.

Lihat dada korban saat memberikan napas bantuan, apakah dadanya mengembang,

kemudian tunggu hingga kembali turun untuk memberikan napas bantuan

berikutnya.5

Gambar 5. Memberikan napas buatan

15
Penolong melakukan penekanan dada sampai alat kejut jantung otomatis

(AED) datang dan siap untuk digunakan atau bantuan dari tenaga kesehatan telah

datang.2

C. Melakukan kejut jantung dengan alat kejut jantung otomatis (AED)

Alat kejut jantung otomatis (AED) merupakan alat yang dapat memberikan

kejutan listrik pada korban. Pertama, pasang terlebih dahulu bantalan (pad) alat kejut

jantung otomatis pada dada korban sesuai instruksi yang ada pada alat. Setelah

dinyalakan, ikuti instruksi dari alat tersebut yaitu jangan menyentuh korban karena

alat kejut jantung otomatis akan menganalisis irama jantung korban. 8 Jika alat

mengidentifikasi irama jantung yang abnormal dan membutuhkan kejut jantung

(untuk mengembalikan irama kelistrikan jantung menjadi normal), minta orang-orang

agar tidak ada yang menyentuh korban, lalu penolong menekan tombol kejut jantung

pada alat. Lanjutkan penekanan dada segera setelah alat memberikan kejutan listrik

pada korban.5 Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kelistrikan jantung seperti

semula.

Gambar 6. Memasang bantalan (pad) pada


dada korban sesuai petunjuk

Gambar 7. Meminta orang-orang


disekitar agar tidak menyentuh
16 korban
jika akan melakukan kejut jantung
Gambar 8. Melakukan RJP setelah dilakukan
kejut jantung otomatis

D. Posisi Pemulihan

17
Posisi ini dilakukan jika korban sudah bernapas dengan normal. Posisi ini

dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dan mengurangi risiko

tersumbatnya jalan napas dan tersedak. Tidak ada standard baku untuk melakukan

posisi pemulihan, yang terpenting adalah korban dimiringkan agar tidak ada tekanan

pada dada korban yang bisa mengganggu pernapasan. Namun rekomendasi posisi

pemulihan adalah meletakkan tangan kanan korban ke atas, tekuk kaki kiri korban,

kemudian tarik korban sehingga korban miring ke arah kanan dengan lengan di

bawah kepala korban. Berikut gambar mengenai posisi pemulihan8

Gambar 9. Cara melakukan posisi pemulihan

Algoritma Bantuan Hidup Dasar Pada Dewasa

18
E. Indikasi Stop RJP

 Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan.

 Pasien dialihrawatkan kepada yang lebih berwenang/ lebih ahli.

 Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang irreversible: Kaku mayat ,

lebam mayat, dekapitasi, dan pembusukan.

 Penolong lelah atau keselamatannya terancam.

 Adanya perintah DNR.

 Jika 30 menit setelah ACLS yang adekuat tidak didapatkan tanda-tanda

kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat

atau hipotermia.

19
BAB 4
HENTI JANTUNG

Henti Jantung adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah terhenti akibat

kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Secara klinis, henti jantung

ditandai dengam tidak adanya nadi dan tanda tanda sirkulasi lainnya. Henti jantung

dapat disebabkan oleh Gagal jantung, tamponade jantung, miokarditis, kardiomiopati

hipertropi ,fibrilasi ventrikel yang mungkin disebabkan oleh iskemia miokardium,

infark miokardium, tersengat listrik, gangguan elektrolit, atau dalam konsumsi obat -

obatan.

Gambaran henti jantung terdapat 4 irama fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel

tanpa nadi, PEA (Pulseless electrical activity), asistol, tindakan Defibrilasi pada henti

jantung, pasien dewasa dengan VF atau VT tanpa nadi dierikan energi kejutan 360

joule pada defibrilator monofasik, atai 200 joule pada defibrilasi bifasik, pada anak,

energi kejut dierikan dengan dosis 2 - 4 joule/kgBB dan tidak melebihi energi yang

diberikan kepada penderita dewasa, penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut

listrik tidak diindikasikan pada pasien dengan asistol atau PEA.

4.1 Algoritme Henti Jantung

Henti Jantung

Minta Tolong / Aktifkan sistem emergensi

1. Mulai RJP

- Beri Oksigen

- Pasang Monitor / Defibrilator 20


Irama

Shockable?
Ya Tidak

2. VT / VF
9. Asistol /
PEA

3. Shock

10. RJP 2 Menit


4. RJP 2 menit
- Pasang akses IV /IO
- Pasang akses IV / IO
- Epinefrin tiap 3 - 5 menit
Tidak
- Pertimbangkan alat bantu
jalan nafas lanjut
Irama Shockable? capnography

Ya

Irama Shockable? Ya
5. Shock

6. RJP 2 Menit
Tidak
- Efinefrin tiap 3 -5 menit

- Pertimbangkan alat bantu 21


nafas jalan lanjut capnography
11. RJP 2 Menit

- Atasi penyebab yang


reversibel

Tidak
Irama Shockable? Tidak Ya
Irama
Shockable?

Ya

7. Shock

8. RJP 2 Menit

- Amidaron

-Atasi penyebab yang


reversibel 12 Ke 5 atau 7

- Jika tidak ada tanda - tanda


kembalinya sirkulasi spontan
(ROSC), ke kotak 10 atau 11

-Jika terjadi ROSC, Ke


Perawatan Pasca Henti
Jantung

22
4.2 Terapi Obat

Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat

antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut

dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk

menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis terhadap

gangguan ritme yang lebih lanjut.7

Setiap agen memiliki indikasi khusus, namun kebanyakan berupa inotropic

negatif - jelas tidak diinginkan dalam tindakan resusitasi. Lignocaine, bretylium,

amiodarone dan magnesium adalah agen yang paling sering digunakan. Terdapat

kurangnya bukti berbasis manusia mengenai efektivitas obat-obat tersebut,

mencerminkan kesulitan dalam melakukan studi klinis yang berarti dalam tindakan

resusitasi.7

Amiodarone

Menghasilkan blokade saluran kalium dengan beberapa hambatan

Depolarisasi saluran natrium termediasi, terjadi perpanjangan potensial aksi miokard

dan tingka blokadet ß. Ini menghasilkan antifibrillatory dan menurunkan ambang

defibrilasi dengan efek minimal pada kontraktilitas miokard.

Penggunaan rutin dasarnya selama henti jantung belum dibuktikan dan

umumnya dicadangkan untuk pengobatan lini kedua dari peri-arrest

tachyarrhythmias. Amiodarone sebaiknya dikelola secara terpusat dan perlahan-lahan.

Biasanya dosis muatan 300mg diberikan lebih dari satu jam diikuti dengan infus

900mg dalam 1000ml glukosa 5% selama 24 jam berikut. Dalam situasi mendesak,

23
dosis 300mg pertama dapat diberikan selama 5-15 menit secara perifer dan diikuti

dengan 300mg lebih dari satu jam.7

Epinefrin

Adrenalin digunakan sebagai obat untuk mengobati serangan jantung dan

disritmia jantung mengakibatkan berkurang atau tidak ada curah jantung tindakan

adalah untuk meningkatkan daya tahan perifer melalui α- reseptor tergantung

vasokonstriksi dan meningkatkan cardiac output melalui mengikat untuk β- reseptor.

24
BAB 5
PERAWATAN PASCA HENTI JANTUNG

Dosis/Detail
1 Kembalinya sirkulasi spontan
Return of spontaneous circulation (ROSC) Ventilasi/oksigenasi:
Hindari pemberian
ventilasi tekanan positif
berlebihan. Mulai dengan
10 napas/menit dan titrasi
Optimalkan ventilasi dan oksigenasi
hingga mencapai target
Pertahankan saturasi oksigen ≥94%
2 End Tidal CO2 (ETCO2)
Pertimbangkan penggunaan alat bantu jalan napas
35-40 mmHg.
lanjut dan capnography
Jika memungkinkan, titrasi
Jangan hiperventilasi
FiO2 ke minimum yang
diperlukan untuk mencapai
SpO2 ≥ 94%.
IV Bolus:
Kurang lebih 1-2 L NaCl
3 0,9% atau Ringer Laktat
Atasi hipotensi (TD sistolik < 90 mmHg) Epinefrin IV:
Bolus IV/IO 0,1-0,5 µg/kg/menit (pada
Infus vasopresor dewasa 70 kg: 7-35
Cari kemungkinan penyebab yang dapat diatasi µg/menit)
Dopamin IV:
-10 µg/kg/menit
Norepinefrin IV:
0,1-0,5 µg/kg/menit (pada
dewasa 70 kg: 7-35
EKG 12 sadapan: µg/menit)
5 4
STEMI
Reperfusi
atau Kecurigaan
Koroner
YA tinggi akan IMA

TIDAK

Mulai Targeted Dapat


7 Temperature 6
mengikuti
Management perintah?
TIDAK 8
Perawatan Intensif Lanjutan

25
Gambar 3.1 Algoritme perawatan pasca henti jantung (dikutip dari AHA

Guidlines for CPR and ECC 2015)

Pasien henti jantung yang kembali memiliki sirkulasi spontan tetap memiliki

risiko kematian yang tinggi, terutama dalam 24 jam pertama. Beragam sistem organ

terpengaruh oleh kondisi henti jantung, sehingga tidak tertutup kemungkinan sudah

atau akan terjadi disfungsi kardiovaskular dan neurologik yang memerlukan

perawatan khusus seperti obat inotropik, penambahan volume intravaskular, terapi

hipotermia serta tatalaksana faktor penyebab henti jantung yang mendasari.

Sirkulasi spontan yang kembali ditandai dengan terabanya nadi atau

tampaknya tanda-tanda sirkulasi seperti adanya pernapasan, selanjutnya segera nilai

kembali kondisi pasien. Kondisi hipoksia-hiperoksia dan hipoksemia harus dicegah.

Hipoksia didefinisikan sebagai PaO2 < 60 mmHg, sedangkan hiperoksia adalah PaO2

> 300 mmHg dan hipoksemia adalah SaO 2 < 94%. Hipoksia dan hipoksemia memiliki

efek buruk yang jelas pada kondisi pasca henti jantung, sehingga mencegah hipoksia

lebih penting dibandingkan usaha menghindari hiperoksia. Hipoksia dapat dihindari

pada pasien pasca henti jantung dengan konsentrasi oksigen yang paling tinggi yang

bisa dicapai sampai saturasi darah atau tekanan oksigen darah dapat diukur. Titrasi

FiO2 serta monitoring saturasi oksihemoglobin (SpO 2) dapat dilakukan jika alat-alat

sudah tersedia, FiO2 dapat diturunkan jika SpO2 mencapai 100% dan dapat

dipertahakan di atas 94%.

Kecukupan tekanan darah sangat diperlukan untuk perfusi jaringan. Hipotensi

pasca resusitasi memperburuk keluaran dan meningkatkan mortalitas. Hipotensi

26
biasanya disebabkan oleh tiga masalah yaitu rate, volune dan pump. Apabila terdapat

masalah rate, atasi takikardia dan bradikardia sesuai algoritme. Bukti ilmiah

merekomendasikan untuk menjaga tekanan darah pasca resusitasi pada level TDS >

90 mmHg dan MAP > 65 mmHg. Terapi utama yang diperlukan pasca resusitasi

adalah memastikan kecukupan cairan intravaskular, dengan dosis uji 1-2 liter (20-40

cc/kg) larutan NaCl 0,9% atau ringer laktat bolus intravena atau intraosseus. Obat-

obat vasoaktif dapat diberikan setelah ROSC untuk memperbaiki curah jantung,

terutama aliran darah ke jantung dan otak. Obat yang dipilih bertujuan memperbaiki

laju jantung (kronotropik), kontraktilitas miokardium (inotropik), meningkatkan

tekanan arteri (efek vasokonstriksi) atau mengurangi afterload (efek vasodilator).

Obat adrenergik tidak bersifat selektif dan akan meningkatkan/ menurunkan laju

jantung dan afterload, meningkatkan kemungkinan aritmia dan memperburuk iskemia

miokardium sebagai akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen

miokardium. Adanya variasi farmakokinetik dan farmakodinamik pada pasien kritis,

tidak terdapat dosis spesifik untuk pemberian obat vasoaktif. Biasanya digunakan

dosis awal seperti yang terlihat pada tabel 4.1, lalu dititrasi sampai tercapai efek

target yang diharapkan sambil tetap meminimalkan timbulnya efek samping.

27
Tabel 4.1 Jenis dan dosis obat-obatvasoaktif

Obat Dosis awal (lalu titrasi)

Epinephrine 0,1-0,5 µg/kg/menit (pada dewasa dengan BB 70 kg, 7-35 µg)

- Berguna untuk bradikardia simtomatik jika atropin dan pacu

jantung transkutan gagal atau jika pacu jantung tidak tersedia

- Digunakan untuk tatalaksana hipotensi berat (TDS < 70

mmHg)

- Berguna untuk anafilaksis yang disertai dengan instabilitas

hemodinamik dan gangguan pernapasan

Norepinephrine 0,1-0,5 µg/kg/menit (pada dewasa dengan BB 70 kg, 7-35 µg)

- Digunakan untuk tatalaksana hipotensi berat (TDS < 70

mmHg) dan resistensi perifer total yang rendah

- Kontraindikasi relatif pada pasien dengan hipovolemia. Obat

ini aka meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium,

sehingga perlu hati-hati pada kasus penyakit jantung iskemik

- Biasanya menyebabkan vasokonstriksi renal dan mesenterik,

namun pada sepsis norepinephrine meningkatkan aliran darah

renal dan produksi urin

Phenylephedrine 0,5-2,0 µg/kg/menit (pada dewasa dengan BB 70 kg, 35-140 µg)

- Digunakan untuk tatalaksana hipotensi berat (TDS < 70

28
mmHg) dan resistensi perifer total yang rendah

Dopamine 5-10 µg/kg/min

- Digunakan untuk tatalaksana hipotensi terutama bila

berkaitan dengan bradikardia simptomatik

- Walaupun infus dopamine dosis rendah sering

direkomendasikan untuk mempertahankan aliran darah renal

atau memperbaiki fungsi ginjal, data terkini menunjukkan

prosedur ini tidak memberi manfaat.

Dobutamine 5-10 µg/kg/menit

- Isomer (+) adalah agonis adrenergik beta yang poten,

sedangkan isomer (-) adalah agonis alfa-1 yang poten

- Efek vasodilatasi adrenergik beta-2 dari isomer (+) akan

melawan efek vasokonstriksi adrenergik alfa dari isomer (-),

yang akan menyebabkan hanya sedikit perubahan atau

penurunan pada resistensi vaskular sistemik

Milrinone Dosis awal 50 µg/kg selama 10 menit, lalu dilanjutkan infus

0,375 µg/kg/menit

- Digunakan untuk tatalaksana curah jantung yang rendah

- Lebih kurang menyebabkan takikardia dibandingkan

dobutamine

29
EKG 12 sadapan harus dilakukan segera setelah ROSC untuk menentukan

adanya elevasi segmen ST akut (kasus STEMI) atau tidak. Sindroma koroner akut

adalah penyebab henti jantung di luar RS pada pasien yang tidak memiliki penyebab

ekstrakardiak yang jelas. Pendekatan invasif dini berupa angiografi koroner

direkomendasikan pada pasien sindroma koroner akut baik dengan ataupun tanpa

elevasi segmen ST yang selamat dari henti jantung.

Targeted temperature management (TTM) merupakan tindakan menginduksi

hipotermia dan pengontrolan aktif suhu tubuh untuk mencapai target suhu tertentu.

Induksi hipotermia dilakukan di RS, sedangkan induksi di luar RS tidak dianjurkan

dilakukan secara rutin. Panduan AHA merekomendasikan induksi hipotermia dengan

suhu 32ºC-36ºC dan dipertahankan setidaknya 24 jam untuk kemudian dilakukan

peningkatan suhu secara bertahap (kira-kira 0,25ºC/jam) hingga normotermia. Target

suhu yang dipilih disesuaikan dengan kondisi spesifik pasien. Keadaan hipertermia

harus dihindari dan secara aktif dicegah pada pasien yang koma pasca TTM.

Perawatan intensif lanjutan dapat berupa:

1. Perawatan neurologis. Cedera otak merupakan penyebab tersering morbiditas

dan mortalitas pasien pasca henti jantung, dimana keterlibatan proses molekular

kompleks yang dicetuskan oleh iskemia dan reperfusi berlangsung selama

beberapa jam dan beberapa hari setelah ROSC. Manifestasi klinis cedera otak

pasca henti jantung meliputi koma, kejang, mioklonus dan beragam tingkat

disfungsi neurokognitif (berkurang daya ingat sampai status vegetatif persisten)

serta mati batang otak. Prevalensi kejang pada pasien koma pasca henti jantung

diperkirakan 12-22%. Perlu dilakukan pemeriksaan EEG untuk diagnosa kejang

30
dan jika mungkin dilakukan kontinyu. Obat antikonvulsan yang sama seperti

pengobatan status epileptikus yang disebabkan penyebab lain dapat

dipertimbangkan pada kasus kejang pasca henti jantung. Pemberian

antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan, begitu juga dengan obat

neuroprotektif berdasarkan penelitian tidak memberikan manfaat.

2. Tatalaksana emboli paru setelah RJP dapat dipertimbangkan dengan

fibrinolitik.

3. Sedasi setelah henti jantung, dapat diberikan pada:

- Pasien pasca henti jantung yang tidak sadar (koma) atau gagal napas diberikan

bantuan ventilasi mekanik selama kurun waktu tertentu yang menimbulkan

ketidaknyamanan, nyeri dan ansietas

- Menekan respon menggigil selama dilakukan induksi hipotermia

- Gangguan kognitif pasca henti jantung berupa tanda-tanda agitasi atau

delirium dengan gerakan tanpa tujuan dan berisiko melukai diri sendiri

- Menekan peningkatan katekolamin endogen yang disebabkan oleh stres

- Pemberian obat pelumpuh otot pada pasien dengan ventilasi mekanik paling

lama 48 jam

4. Intervensi perawatan kritis lain berupa

- Pengendalian kadar gula darah pada pasien pasca henti jantung masih belum

jelas, namun tidak ada data yang menunjukkan bahwa cara dan terget

pengendalian kadar gula darah harus berbeda dari pasien kritis lain.

- Kortikosteroid memiliki peran penting pada respon fisiologis terhadap stres

berat termasuk menjaga tonus pembuluh darah dan permiabilitas kapiler,

31
dimana pada fase pasca henti jantung dapat terjadi insufisiensi adrenal relatif

bila dibanding kebutuhan metabolik tubuh sehingga meningkatkan angka

mortalitas. Namun, manfaat penggunaan rutin kortikosteroid pada kasus pasca

henti jantung masih belum jelas.

- Hemofiltrasi merupakan suatu cara untuk memodifikasi respon humoral

terhadap cedera iskemik-reperfusi yang terjadi setelah henti jantung. Namun

data yang ada belum cukup untuk mengetahui keefektifan tindakan ini.

5. Prognostikasi

Pemeriksaan klinis dan penunjang yang tepat harus dilakukan untuk pasien

pasca henti jantung dalam usaha memperkirakan prognosis. Panduan

merekomendasikan beberapa cara untuk membantu prognostifikasi:

Waktu untuk memprediksi keluaran

Pasien yang dilakukan Targetted Temperature Management (TTM) dimana

sedasi dan paralisis merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi, waktu

paling cepat untuk prognostifikasi menggunakan pemeriksaan klinis adalah 72

jam setelah suhu kembali ke normotermis, biasanya 4-5 hari setelah ROSC.

Pasien yang tidak dilakukan TTM, waktu prognostifikasi 72 jam setelah henti

jantung. Penghentian bantuan hidup dapat dilakukan <72 jam jika terdapat

penyakit terminal, herniasi otak atau kondisi lain yang tidak memungkinkan

pasien selamat.

Pemeriksaan klinis untuk memprediksi keluaran

Pemeriksaan refleks cahaya pupil, refleks kornea dan respon motorik

dilakukan untuk prognostikasi. Hasil yang menunjukkan prognosis buruk:

32
 Hilangnya refleks cahaya pupil bilateral pada pasien koma 72 jam/lebih

setelah henti jantung.

 Hilangnya refleks kornea bilateral (72-120 jam setelah henti jantung

pada pasien yang mendapat TTM, dan 24-48 jam pada pasien yang tidak

mendapat TTM).

 Sikap tubuh ekstensi atau tidak ada respon motorik terhadap rangsang

nyeri. Pemeriksaan motorik dapat menjadi alat bantu untuk

mengidentifikasi pasien yang memerlukan uji prognostikasi lebih lanjut.

 Status mioklonus dalam 72-120 jam pertama pasca henti jantung. Status

mioklonus adalah kejang/kedutan mioklonik yang repetitif dan kontinyu

serta berlangsung >30 menit.

Hasil pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) untuk memprediksi

keluaran

EEG adalah alat yang digunakan secara luas untuk menilai aktivitas korteks

otak dan mendiagnosis kejang. Hasil pemeriksaan EEG yang menunjukkan

prognosis buruk:

 Pasien koma pasca henti jantung yang mendapat TTM, tidak adanya

reaktivitas EEG terhadap rangsang eksternal secara persisten pada 72

jam setelah henti jantung atau terdapat supresi burst persisten setelah

pasien kembali dihangatkan.

 Status epileptikus yang tidak dapat dikontrol dan persisten (>72 jam)

disertai tidak adanya reaktivitas EEG terhadap rangsangan eksternal.

33
 Pasien koma pasca henti jantung yang tidak mendapat TTM, supresi

burst pada EEG 72 jam atau lebih setelah henti jantung disertai

prediktor lain.

Evoked potentials untuk memprediksi keluaran

Somatosensory evoked potential (SSEPs) dapat digunakan sebagai alat

prognostik. Gelombang N20 yang terekam dari area somatosensoris kortikal

primer setelah stimulasi nervus medianus dapat dijadikan prediktor pemulihan

pasien pasca henti jantung. Pasien koma pasca henti jantung memiliki prognosis

buruk jika hilangnya SSEP N20 bilateral 24-72 jam setelah henti jantung atau

setelah dihangatkan.

Pemeriksaan pencitraan untuk memprediksi keluaran

Pencitraan otak dengan CT atau MRI dapat menunjukkan cedera otak struktural

atau mendeteksi cedera fokal. Gambaran CT otak beberapa pasien pasca henti

jantung menunjukkan edema otak yang dapat dikuantifikasi dengan graywhite

ratio (GWR). Edema otak pada MRI adalah penanda sensitif untuk cedera fokal

dan dideteksi melalui restriksi difus pada diffusion-weighted imaging (DWI).

Prognosis buruk berdasarkan pemeriksaan pencitraan yaitu:

 Penurunan yang besar pada GWR CT otak yang didapat pada 2 jam

setelah henti jantung.

 Restriksi difus pada MRI otak, disertai prediktor lain yang lebih akurat

dalam 2-6 hari pasca henti jantung.

34
Penanda darah untuk memprediksi keluaran

Neuron-spesific enolase (NSE) dan S-100B adalah dua penanda darah yang

paling banyak diperiksa, namun tidak spesifik untuk kerusakan saraf dan dapat

meningkat kadarnya pada kelainan diluar sistem saraf sentral seperti hemolisis,

tumor neuroendokrin dan kerusakan pleksus myenterik, otot dan jaringan

lemak. Pemeriksaan NSE 48-72 jam pasca henti jantung hanya sebagai alat

konfirmasi dan bukan penanda primer prognosis.12

35
BAB 6
KESIMPULAN

Henti Jantung adalah suatu keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem

sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung saat

sistolik.8 Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi

kebutuhan oksigen ke otak maupun ke organ vital lainnya secara mendadak dapat

menyebabkan kerusakan otak hingga kematian.

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi

tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir

oleh disosiasi elektromekanik (+5%)

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin

(Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit

pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun

setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.

Penatalaksanaan dari henti jantung (cardiac arrest) ini adalah resusitasi

jantung paru dimana tujuan utama resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut

jantung dan mengembalikan fungsi sirkulasi serta memberikan bantuan dasar untuk

mempertahankan hidup pasien dan mencegah kerusakan lebih lanjut.

Tindakan resusitasi ini meliputi pertolongan hidup dasar menurut AHA 2015

Guidelines yang terdiri dari tiga komponen yakni Chest compression, Airway and

Breathing.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Anatomi jantung dalam Buku ajar anatomi klinik. 2006. Jakarta : EGC
2. Advanced Trauma life support (ATLS)
3. Birt D, Thomas BG, Wilson L Resuscitation for cardiac arrest. Diambil dari
URL : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u10/u1006_01.htm
4. Cayley, JR., M.D.,M.DIV,William E. Practice Guidelines :2005 AHA
guidelines for CPR and emergency cardiac care diambil dari
http://www.aafp.org/afp/2006/0501/p1644.html
5. American Heart association, Guidelines for CPR and ECC Comparison Chart
of Key Changes. 2015
6. Morisson, Cardiac arrest survival act. 2000 : The Senate and House of
Representative of United States of America in Congres Assembled. Narva
Enterprises.
7. Isselbacher JK, dkk. Harisson, Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. EGC.
Jakarta. 1999.
8. Mansjoer. A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V, Resusitasi
Jantung Paru. .Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam
9. Terry,.J,. Laurie,. Shuster, Michael., Donnino., Michael; Sinz., Elizabeth., J,
Eric et al. Part 12: Cardiac Arrest in Special Situations, 2010. S829–S861
10. Goldberger, Z. D., Chan, P. S., Berg, R. A. Duration of Resuscitation Efforts
and Survival After in-hospital Cardiac Arrest: an Observational Study, 2012.
380.
11. Hasnul, M, Najirman, Yanwirasti. Karakteristik Pasien Penyakit Jantung
Rematik Yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 2015. 4 (3). 894-900
12. Perki. Buku ajar kursus bantuan hidup jantung lanjut. Edisi 2017. 2017 :38 -
50.

37

Anda mungkin juga menyukai