Anda di halaman 1dari 20

referat

CARDIAC ARREST

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Kardiologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

oleh:
Edi Saputra

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH 2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal di dunia karena


serangan jantung yang datang terjadi mendadak dan terlambat untuk ditangani. Di
Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap tahun hampir
330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung, setengahnya
meninggal secara mendadak karena mengalami henti jantung atau cardiac
arrest.1
Henti jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung berhenti bekerja
sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan pompa jantung dan sikulasi darah
ke seluruh tubuh. Henti jantung merupakan suatu kegawatdaruratan yang
membutuhkan penanganan segera agar tidak berlanjut menjadi kematian biologis.1
Henti jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantara nya karena
kelainan pada jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel
fibrilasi, kelainan vascular, trauma dada dan penyebab lainnya. Henti jantung
biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas, umumnya walaupun
kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih
dapat berlangsung terus sampai 30 menit.1
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di
rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung
paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation untuk dapat memberikan
pertolongan hidup dasar.2
Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru karena bagi penderita
yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan
mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.2 Namun
pada beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan
henti jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi
kerusakan otak yang permanen.2
Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan
pertolongan yang berarti bagi pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak.2
Cardiac arrest merupakan penghentian sirkulasi normal darah akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Berdasarkan pengertian di
atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac
arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan
sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secaram efektif.3
Cardiac arrest dapat disebabkan oleh banyak hal diantara nya karena
kelainan pada jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel
fibrilasi, kelainan vascular, trauma dada dan penyebab lainnya.1 Henti jantung
biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas, umumnya walaupun
kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih
dapat berlangsung terus sampai 30 menit.3

2. Faktor predisposisi
Faktor risiko cardiac arrest adalah laki-laki usia 40 tahun atau lebih,
memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan
orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua
seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor
risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan
merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.1
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan
mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a) Ada
jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu. b) Penebalan otot jantung
(Cardiomyopathy). c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk

3
jantung. d) Kelistrikan jantung yang tidak normal. e) Pembuluh darah yang tidak
normal. f) Penyalahgunaan obat.2

a. Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab
lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu
cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam
bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode
risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit
jantung atherosclerotic.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya
karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa
kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru
merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi
seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa
mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak
normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang
QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri
koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa
muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik
yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai
kelainan tadi.
f. Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya
cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan
pada organ jantung.

4
3. Tanda
Tanda- tanda cardiac arrest yaitu:1
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

4. Proses terjadinya cardiac arrest


Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia:
fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi
(PEA), dan asistol.1
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,
pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung
hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan
adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya
gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian
ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga
berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan.
Pada kasus VTdengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT
tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR
adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah
tindakan yang harus segera dilakukan.

5
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung,
dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

7. Diagnosis
Henti jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya
pulsasi terutama pada arteri karotis. Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis
adalah standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi
(khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misalnya
shock).3

7. Penatalaksanaan
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac
arrest) dan atau henti nafas (respiratory arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya
bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali yang merupakan sebuah upaya
menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui
sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang
adekuat. Kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan
kematian dalam waktu yang singkat yakni sekitar 4-6 menit.3
Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar,
bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama.3
Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa RJP yang dilakukan pada pasien
henti jantung sebelum pelayanan medis emergensi tiba dapat meningkatkan
ketahanan hidup 30 hari lebih tinggi yaitu sebanyak 10,5% dibandingkan pada
pasien yang tidak diberikan RJP sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh RJP yang
dilakukan sesegera mungkin tanpa harus menunggu pelayanan medis emergensi.2

Prosedur Cardiopumonary Rescucitation

6
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk
bertahan hidup (chin of survival); cara untuk menggambarkan penanganan ideal
yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari
rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi
berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai
kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup.4
Chin of survival terdiri dari 4 rangkaian: early acces, early CPR, early
defibrillator,dan early advance care.4
a. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda
awal serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
b. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan otak,
sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang.
c. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke
jantung korban bisa mengembalikan denyut jantung.
d. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan
peralatan bantuan pernafasan.
Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan
tindakan CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke
paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada.
Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan
dewasa (8 tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi.2
Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara berturut-turut:
pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut,
dan interaksi yang konstan dengan pasien.4
Prosedur CPR adalah terdiri dari airway, breathing dan circulation:5
a) Menentukan ketiadaan respon/ Kebersihan Jalan Nafas (airway):
1. Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon dengan menepuk
atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras. Rasionalisasi: hal ini akan
mencegah timbulnya injury pada korban yang sebenarnya masih dalam keadaan
sadar.
2. Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu bersama kita
untuk minta tolong (telp:118). Apabila kita sendirian, korbannya dewasa dan di

7
tempat itu tersedia telepon, panggil 118. Apabila kita sendiri, dan korbannya
bayi/anak-anak, lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit), kemudian panggil 118.
3. Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi sejajar
dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan
gerakkan pasien, kecuali bila
sangat perlu saja. Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat
memberikan bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah posisi.
4. Buka jalan nafas
(a). Head-tilt/chin-lift maneuver: letakkan salah satu tangan di kening pasien,
tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk
mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang
lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang, dan angkat rahang ke depan
sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan nafas
dari sumbatan oleh lidah.
(b). Jaw-thrust maneuver: pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masing-
masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula ke atas sehingga kepala
mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk
membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.

b). Pernafasan (Breathing)


(1). Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita
arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan
rasakan adanya udara yang berhembus selama expirasi. (Lakukan 5-10 detik). Jika
pasien bernafas, posisikan korban ke posisi recovery(posisi tengkurap, kepala
menoleh ke samping). Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya
pernafasan spontan.
(2). Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau
dengan menggunakan ambubag. Selama memberikan bantuan pernafasan pastikan
jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar. Berikan
bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2 - 4 detik).
Rasionalisasi: pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan

8
dada terlihat mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari
jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.

c). Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi
pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral
selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi
dada.
1. Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari
salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial
dari procecus xyphoideus). Jarijari bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi
dada. Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga
tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi
resiko patah tulang rusuk.
2. Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak
lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah
bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)
3. Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal.
Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian tekanan.
Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi. Rasionalisasi:
pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke
jantung.
4. Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada. Ulangi
siklus ini sebanyak 5 kali(2 menit). Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien.
Pemberian kompresi dada dihentikan jika: a).telah tersedia AED (Automated
External Defibrillator). b). korban menunjukkan tanda kehidupan. c). tugas
diambil alih oleh tenaga terlatih. d). penolong terlalu lelah untuk melanjutkan
pemberian kompresi. Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan
kompresi dada. Periksa nadi di arteri carotis, jika belum teraba lanjutkan
pemberian bantuan nafas dan kompresi dada.

9
5. Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga menyiapkan
perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan perawatan definitive.
Rasionalisasi; perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian
defibrilasi, terapi obat-obatan, cairan untuk mengembalikan keseimbangan asam-
basa, monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.
6. Siapkan defibrillator atau AED (Automated External Defibrillator) segera.
CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan, sedangkan untuk
bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian
tengah tulang dada.

10
Bagan Algoritma Basic Life Support 6

Penekanan pada kompresi dada6


Orang awam hanya boleh melakukan RJP kompresi dada saja, dengan atau
tanpa pembimbing, untuk korban henti jantung dewasa. Penolong harus
melanjutkan RJP kompresi sampai bantuan atau penolong yang sudah terlatih tiba.

11
Semua penolong awam seharusnya, paling tidak, melakukan kompresi dada pada
korban henti jantung. Sebagai tambahan, jika penolong awam yang terlatih
mampu melakukan pertolongan pada pernapasan, ia harus menambahkan
pertolongan napas dengan perbandingan 30 kompresi dan 2 napas. Penolong harus
melanjukan RJP hingga Automated External Defibrilator (AED) tiba dan siap
digunakan, pelaksana Emergency Medical Service (EMS) mengambil alih korban,
atau korban mulai dipindahkn.

Kecepatan Kompresi Dada6


Pada korban henti jantung orang dewasa, merupakan hal yang beralasan
apabila dilakukan kompresi dada pada kecepatan 100-120/menit pada korban
tersebut.

Kedalaman Kompresi Dada6


Selama RJP manual dilakukan, penolong harus melakuan kompresi dada
pada kedalaman paling tidak 2 inci (5 cm) untuk rerata dewasa, semntara itu
hindari kompresi dada yang dengan kedalaman yang berlebihan (lebih dari 2,4
inci/ 6 cm).

Bystander Naloxone in Opioid-Associated Life-Threatening Emergencies6


Untuk pasien-pasien dengan diketahui atau dicurigai pecandu obat-obat
opioid yang mana tidak responsif dengan tanpa pernapasan normal melainkan
sebuah pulsasi, akan menjadi suatu hal yang beralasan untuk penolong awam yang
terlatih maupun pelaksana BLS, sebagai tambahan untu menyediakan pelayanan
BLS standar, untuk memberikan intramuscular (IM) atau intranasal (IN) naloxon.
Respon edukasi kelebihan dosis opioid dengan atau tanpa distribusi naloxon pada
orang-orang pada resiko kelebihan opioid pada tiap pengaturan bisa saja
dipertimbangkan.

12
Tabel CPR Kualitas Tinggi pada Orang Dewasa

Shock First vs CPR First6


Untuk henti jantung orang dewasa yang ditemukan ketika sebuah AED
tersedia secara cepat, akan menjadi hal yang beralasan apabila alat defibrillator
digunakan sesegera mungkin. Untuk orang dewasa dengan henti jantung yang
tidak terpantau atau pada kondisi dimana AED tidak teredia secara cepat, akan
menjadi hal yang beralasan apabila RJP dilakukan sementara menunggu alat
defibrillator didatangkan dan digunakan dan bahwa defibrilasi, jika diindikasikan,
diusahakan segera saat alat tersebut siap digunakan.

Kecepatan Kompresi Dada: 100-120/menit6


Pada korban henti jantung dewasa, penolong melakukan kompresi dada
dengan kecepatan 100-120 kali/menit.

Kedalaman Kompresi Dada6


Selama melakukan RJP manual, penolong harus melakukan kompresi dada
dengan kedalaman paling tidak 2 inci (5 cm) untuk rerata orang dewasa sementara
itu hindari kompresi dada dengan kedalaman yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci/
6 cm).

Rekoil Dada6
Penolong harus menghindari penekanan yang terlalu kaku diantara
kompresi. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan adanya rekoil dada pada kroban
henti jantung dewasa.

13
Meminimalisir Interupsi dala Kompresi Dada6
Penolong harus berusaha meminimalisir jumlah atau durasi dalam hal
interupsi dalam melakukan kompresi. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan
sejumlah kompresi yang diberikan setiap menitnya.

Advanced Cardiovascular Life Support Dewasa6


Kesimpulan atau kunci dan kunci perubahan utama dan perubahan utama
pada rekomendasi pedoman terbaru 2015 untuk bantuan hidup lanjut
kardiovaskular meliputa hal berikut ini:
 Penggunaan kombinasi vasopresin dan epinefrin tidak memberikan
keuntungan dalam menggunakan dosis epinefrin standar pada henti
jantung. Demikian pula vasopresin tidak memberikan manfaat pada
penggunaan epinefrin yang diberikan secara tunggal. Oleh karena itu,
untuk menyederhanakan algoritma, vasopressin telah dihilangkan dari
algoritma henti jantung dewasa terbaru tahun 2015.
 Steroid bisa saja memberikan manfaat ketika dikombinasikan dengan
vasopressin dan epinefrin dalam melakukan penatalaksanaan In-Hospital
Cardiac Arrest (IHCA). Sementara penggunaan secara rutin bukan
merupakan tidak direkomendasika
 Ketika secara cepat diimplementasikan, ECPR dapat memperlama
viabilitas, yang memungkinkan tersedianya waktu untuk melakukan
penatalaksanaan kondisi-kondisi yang berpotensi reversibel atau adanya
perencanaan transplantasi jantung untuk pasien-pasien yang tidak
teresusitasi dengan RJP konvensional.
 Pada pasien-pasien henti jantung dengan ritme yang tidak syok dan yang
sebaiknya mendapatkan epinefrin, disarankan menyiapkan persediaan
epinefrin awal.
 Penelitian tentang penggunaan lidocain setelah ROSC adalah
bertentangan, dan penggunaan lidocain secara rutin tidak
direkomendasikan. Namun,inisiasi atau penggunaan berkelanjutan pada

14
lidocain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari henti jantung
VF/ pulseless ventricular tachycardia (pVT).
 Satu penelitian observasional menyarankan bahwa penggunaan ß-blocker
setelah henti jantung mungkin dihubungkan dengan efek yang lebih baik
daripada saat ß-blocker tidak digunakan. Walaupun penelitian tersebut
tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk merekomendasikan
penggunaan secara rutin, inisiasi atau penggunaan secara berkelanjutan
pada ß-blocker oral atau intravena dapat dipertimbangkan pada awal waktu
setelah perawatan henti jantung di rumah sakit oleh karena VF/ pVT.

Terapi Medikamentosa

Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat


antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut
dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk
menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis
terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.3
Setiap agen memiliki indikasi khusus, namun kebanyakan berupa inotropic
negatif - jelas tidak diinginkan dalam tindakan resusitasi. Lignocaine, bretylium,
amiodarone dan magnesium adalah agen yang paling sering digunakan. Terdapat
kurangnya bukti berbasis manusia mengenai efektivitas obat-obat tersebut,
mencerminkan kesulitan dalam melakukan studi klinis yang berarti dalam
tindakan resusitasi.3
 Vasopresor untuk Resusitasi: Vasopresin
Vasopresin dalam kombinasi dengan epinefrin tidak memberikan manfaat
sebagai pengganti untuk epinefrin dosis standar pada cardiac arrest. Satu dosis
vasopressin 40 Unit IV/ intraoseus dapat mengganti baik dosis pertama maupun
dosis kedua dari epinefrin pada penatalaksanaan cardiac arrest. Kedua pemberian
baik epinefrin dan vasopressin selama cardiac arrest telah ditunjukkan untuk
memperbaiki ROSC. Riview mengenai bukti yang tersedia menunjukkan bahwa
keadekuatan dari 2 obat tersebut adalah sama saja dan bahwa tidak ada menfaat
yang dapat didemonstrasikan dari pemberian kedua epinefrin dan vasopressin bila

15
dibandingkan dengan hanya epinefrin saja. Hal sederhana yang menarik adalah
vasopressin telah dihilangkan dari algoritma cardiac arrest dewasa.6

 Vasopressors for Resusitasi: Epinephrine


Pemberian epinefrin sesegera mungkin setelah onset cardiac arrest yang
disebabkan ritme non-syok awal mungkin saja dapat dilakukan. Sebuah penelitian
obsevasional yang sangat besar pada cardiac arrest dengan ritme non-syok
dibandingkan pemberian epinefrin pada 1 – 3 menit dengan epinefrin yang
diberikan secara bertahap 3 interval pemberian (4 – 6, 7 – 9, dan lebih dari 9
menit). Penelitian tersebut mendapatkan sebuah hubungan antara pemberian
epinefrin di awal dan meningkatkan ROSC, ketahanan hidup hingga pemulangan
dari rumah sakit dan ketahanan yang baik secara neurologis.6

 Terapi Post–Cardiac Arrest Drug: Lidocaine


Ada bukti yang tidak adekuat untuk mendukung penggunaan lidocain
secara rutin setelah cardiac arrest. Akan tetapi, pemberian awal atau lebih lanjut
dari lidocain bisa dipertimbangkan segera setelah ROSC dari cardiac arrest yang
disebabkan oleh VF/pVT.6
Sementara itu penelitian-penelitian yang lebih awal menunjukkan sebuah
hubungan antara pemberian lidocain setelah infark miokard dan mortalitas yang
meningkat, sebuah penelitian baru dari lidocain dalam cardiac arrest yang selamat
menunjukkan sebuah penurunan insiden kekambuhan VF/ pVT tetapi tidak
menunjukkan baik manfaat maupun keburukan jangka lama.6
Lidocaine memiliki sifat antiarhythmic berasal dari blokade sodium
channel, sehingga terjadi stabilisasi membran. Pacemaker jantung dari SA node
ditekan dan konduksi dalam otot ventrikel dihambat. Ada sedikit efek pada node
(AV) atrio-ventrikular dan depresi miokard dan efek pro-arrhythmic sangat
minim.5
Lignocaine berkhasiat untuk pengobatan ventrikel takikardia. Kemampuan
lignocaine untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan defibrilasi VF
persisten masi belum diketahui, Lignocaine juga digunakan untuk mengobati
haemodynamically VT yang stabil.5

16
Dosis lignocaine untuk fibrilasi ventrikel adalah 100mg iv dan untuk
takikardia ventrikular haemodynamical yang stabil adalah 1 mg / kg iv - diulang
sekali jika perlu - dan diikuti oleh infus intravena 4mg/min selama 30 menit, 2 mg
/ menit selama 2 jam dan kemudian 1mg/minute.5

 Terapi Post–Cardiac Arrest Drug: ß-Blockers


Ada pembuktian yang tidak adekuat untuk mendukung penggunaan ß-
blocker secara rutin setelah cardiac arrest. Tetapi, pemberian awal atau
berkelanjutan ß-blocker oral atau intravena dapat dipertimbangkan di awal waktu
setelah perawatan di rumah sakit dari cardiac arrest yang disebabkan VF/ pVT.6
Dalam sebuah penelitian observasional pada pasien yang memiliki ROSC
setelah cardiac arrest VF/ pVT, pemberian ß-blocker dihubungkan dengan tingkat
ketahanan hidup yang lebih tinggi. Akan tetapi penemuan ini hanya sebuah
hubungan yang berhubungan, dan penggunaan ß-blocker secara rutin setelah
cardiac arrest secara potensial berbahaya karena ß-blocker dapat mengakibatkan
atau memperburuk instabilitas hemodinamik, gagal jantung eksaserbasi dan
menyebabkan bradiaritmia. Oleh karena itu, penolong harus mengevaluasi pasien
secara individu untuk kecocokan mereka terhadap ß-blocker.6
 Amiodarone
Menghasilkan blokade saluran kalium dengan beberapa hambatan
Depolarisasi saluran natrium termediasi, terjadi perpanjangan potensial aksi
miokard dan tingka blokadet ß. Ini menghasilkan antifibrillatory dan menurunkan
ambang defibrilasi dengan efek minimal pada kontraktilitas miokard.5
Penggunaan rutin dasarnya selama henti jantung belum dibuktikan dan
umumnya dicadangkan untuk pengobatan lini kedua dari peri-arrest
tachyarrhythmias. Amiodarone sebaiknya dikelola secara terpusat dan perlahan-
lahan. Biasanya dosis muatan 300mg diberikan lebih dari satu jam diikuti dengan
infus 900mg dalam 1000ml glukosa 5% selama 24 jam berikut. Dalam situasi
mendesak, dosis 300mg pertama dapat diberikan selama 5-15 menit secara perifer
dan diikuti dengan 300mg lebih dari satu jam.5
 Atropin

17
Suntikan atropin digunakan dalam pengobatan bradycardia (tingkat rendah
hati yang sangat), ada detak jantung dan aktivitas listrik pulseless (PEA) dalam
serangan jantung . Ini bekerja karena aksi utama dari saraf vagus sistem
parasimpatis pada jantung adalah dengan menurunkan detak jantung. Namun,
dalam panduan terbaru yang dirilis oleh asosiasi American Heart, atropin tidak
lagi secara rutin diindikasikan sebagai modalitas pengobatan primer di ada detak
jantung dan PEA. Atropin blok tindakan dan, karenanya, dapat mempercepat
denyut jantung. Dosis yang biasa atropin dalam penangkapan bradyasystolic
adalah 0,5 hingga 1 mg IV push setiap tiga sampai lima menit, sampai dosis
maksimum 0,04 mg / kg. Untuk bradikardi gejala, dosis biasa adalah 0,5-1,0 mg
IV push, dapat mengulang setiap 3 sampai 5 menit sampai dosis maksimum 3,0
mg.5

8. Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka
waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung.
Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan
defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya
kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal.
Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit
dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk
hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.1 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum
seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa
memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.2

18
BAB III
KESIMPULAN

Cardiac arrest (henti Jantung) adalah suatu keadaan dimana jantung


berhenti sehingga tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Henti jantung
primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen
ke otak dan organ vital lainnya.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%)
dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%).
Penanganan pasien dengan cardiac arrest adalah dengan resisusitasi
jantung paru (cardiopulmonary rescucitation/ CPR). CPR sangat membantu untu
penatalaksanaan segera dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pasien
dengan cardiac arrest. CPR yang menjadi acuan pada penatalaksanaan cardiac
arrest adalah berdasarkan American Heart Association (AHA) tahun 2015.
Terdapat beberapa refisi pada guideline sebelumnya (AHA 2010) seperti
pemberian obat-obatan yaitu vasopressin dan epinefrin. Epinefrin diberikan secara
tunggal tanpa vasopresin seperti pada guidline AHA tahun 2010 dikarenakan tidak
adanya manfaat pada pemberian epinefrin yang dikombinasi dengan vasopresin.
Sementara pemberian lidocain dan β-blocker juga dikatakan tidak memberikan
efek/ manfaat berarti serta memerlukan pemantauan dalam pemberian.

19
DAFTAR PUSTAKA

1 Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klini
Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
2 American Heart association. 2010. Guidelines for CPR and ECC Comparison
Chart of Key Changes.
3 Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi edisi 2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2007.
4 Muhiman M, dkk. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. 2004.
5 Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for
healthcare provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
6 American Heart Association. 2015. Highlights of the 2015 American Heart
Association Guidelines Update for CPR and ECC.

20

Anda mungkin juga menyukai