Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN CARDIAC ARREST

Disusun Oleh:

1. Krisdiana Novianti (202001093)


2. Buncy Dwi Vernanda (202001095)
3. Shafiyah Amalia (202001102)
4. Afrizal Machmudi (202001114)
5. Amanah Aulia (202001115)
6. Dedik Ferdiansyah (202001121)
7. Siti Nur Hawa (202001127)
8. Yosi Catherina Putri (202001132)
9. Lusi Indah Lusmono (202001135)

UNIVERSITAS BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO


TAHUN AJARAN 2022-2023
PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN TINGKAT III/C
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Henti jantung terjadi ketika jantung mendadak berhenti berdenyut,


mengakibatkan penurunan sirkulasi efektif. Semua kerja jantung dapat terhenti,
atau dapat terjadi kedutan otot jantung yang tidak sinkron (fibrilasi ventrikel).
(Hackley, Baughman, 2009)

Henti jantung adalah istilah yang digunakan untuk kegagalan jantung


dalam mencapai curah jantung yang adekuat akibat terjadinya asistole atau
disritmia (biasanya fibrilasi ventrikel). (Blogg Boulton, 2014)

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan


mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi
dengan sangat cepat begitu tanda dan gejala tampak (American Heart
Association, 2010).

1.2 Etiologi

Penyebab utama terjadinya Cardiac arrest karena aritmia, Menurut American


HeartAssociation (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi
untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi :

a. Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab
lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab
tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam
jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung
adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien
dengan penyakit jantung atherosclerotic.

b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab


(umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung)
membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.

c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena


beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti
aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat
cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect.
Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar
potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik)
juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d. Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak


normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma
gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada
anak dan dewasa muda.

e. Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri


koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa
muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas
fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila
dijumpai kelainan tadi.

f. Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama


terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak
mempunyai kelainan pada organ jantung

1.3 Manifestasi klinis cardiac arrest

Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118

(2010) yaitu:

a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,

tepukan di pundak ataupun cubitan.

b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal

ketika jalan pernafasan dibuka.

c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

Gejala yang paling umum adalah munculnya rasa tidak nyaman atau nyeri
dada yang mempunyai karakteristik seperti perasaan tertindih yang tidak nyaman,
diremas, berat, sesak atau nyeri. Lokasinya ditengah dada di belakang sternum.
Menyebar ke bahu, leher, rahang bawah atau kedua lengan dan jarang menjalar ke
perut bagian atas. Bertahan selama lebih dari 20 menit. Gejala yang mungkin ada
atau mengikuti adalah berkeringat, nausea atau mual, sesak nafas (nafas pendek-
pendek), kelemahan, tidak sadar (Suharsono & Ningsih, 2012).
1.4 Patofisiologi cardiac arrest

Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia yaitu


fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi
(PEA), dan asistol (Kasron, 2012).

1. Fibrilasi ventrikel

Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada


keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah
CPR dan DC shock atau defibrilasi.

2. Takhikardi ventrikel

Mekanisme penyebab terjadinya takhikardi ventrikel biasanya karena adanya


gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel
kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang
sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil,
pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT
dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),
pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah
pilihan utama.

3. Pulseless Electrical Activity (PEA)

Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan


kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.

4. Asistole

Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

1.5 Tes Diagnostik


Menurut Blogg Boulton, 2014 tes diagnostik pada cardiac arrest dapat dilakukan
dengan :

1. Elektrokardiogram

Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). EKG


mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung
tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa
serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik
abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.

2. Tes darah

a. Pemeriksaan Enzim Jantung

Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung


terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden
cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini
sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung atau tidak.

b. Elektrolit Jantung

Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang


ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit
adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu
menghasilkan impuls listrik. Ketidakseimbangan pada elektrolit dapat
memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.

c. Test Obat

Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk


menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut
merupakan obat-obatan terlarang.

d. Test Hormon

Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai


pemicu cardiac arrest.

3. Imaging tes

a. Pemeriksaan Foto Thorax


Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal
jantung.

b. Pemeriksaan nuklir

Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi


masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif dalam jumlah yang kecil,
seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus
dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-
paru.

c. Ekokardiogram

Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran


jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal
atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.

4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping

Jika diperlukan, tes ini biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia,Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai.
Selama tes, kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang
menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung.
Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik
melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab
yang mungkin memicu atau menghentikan aritmia. Hal ini memungkinkan
untuk mengamati lokasi aritmia.

5. Ejection fraction testing

Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat mengukur fraksi ejeksi
dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung
Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.

6. Coronary catheterization (angiogram)

Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan


atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah
yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest.
Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda
melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya
melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi
arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan
daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan,mungkin
mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan
stent untuk menahan arteri terbuka.

1.6 Komplikasi

Komplikasi Cardiac Arrest adalah :

1. Hipoksia jaringan ferifer

2. Hipoksia Cerebral

3. Kematian

1.7 Prognosis

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam


jangka waktu 8 sampai 10 menit ketika terjadi henti jantung. Kondisi
tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan
defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk
terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi
jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan
antara 5 sampai 7 menit dari sesorang yang mengalami henti jantung,
akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30%
sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan
defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti
pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa
memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan
meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest
sebesar 64%. (American Heart Asociation, 2010).

Pathway

Multi faktor

Perubahan Status
Suplai O2 Ke Plak pada
Kesehatan
Paru Menurun dinding arteri

Kelemahan otot
Dipsnea Suplai oksigen tubuh
ke jantung
menurun
Pola napas Resiko cidera
tidak efektif Hipoksia dan
asidosis Kerusakan otot
respiratorik jantung Resiko Perfusi
Serebral Tidak
Henti jantung Penurunan Efektif
Curah Jantung

Gangguan
sirkulasi
spontan

1.8 Penatalaksanaan

Henti jantung dapat terjadi setiap saat di dalam atau di luar rumah sakit,
sehingga pengobatan dan tindakan yang cepat serta tepat akan menentukan
prognosis; 30-45 detik. Sesudah henti jantung terjadi, akan terlihat dilatasi
pupil dan pada saat ini harus di ambil tindakan berupa (Ulfah AR, 2010) :

1. Sirkulasi artifisial yang menjamin peredaran darah yang mengandung


oksigen dngan melakukan:

a. Masase jantung.
Dengan ditidurkan pada tempat tidur yang datar dan keras, kemudian dengan
telapak tangan di tekan secara kuat dan keras sehingga jantung yang terdapat
di antara sternum dan tulang belakang tertekan dan darah mengalir ke arteria
pumonalis dan aorta. Masase jantung yang baik terlihat hasilnya dari
terabanya kembali nadi arteri-atreri besar. Sedangkan pulihnya sirkulasi ke
otak dapat terlihat pada pupil yang menjadi normal kembali.

b. Pernapasan buatan.

Mula-mula bersihkan saluran pernapasan,kemudian ventilasi di perbaiki


dengan pernapan mulut ke mulut/inflating bags atau secara endotrakheal.
Ventilasi yang baik dapat diketahui bila kemudian tampak ekspansi dinding
thoraks pada setiap kali inflasi di lakukan dan kemudian juga warna kulit
akan menjadi normal kembali.

2. Memperbaiki irama jantung

a. Defibrilasi, bila kelainan dasar henti jantung ialah fibrilasi ventrikel

b. Obat-obatan:infus norepinefrin 4 mg/1000ml larutan atau vasopresor dan


epinefrin 3 ml 1:1000 atau kalsium klorida secara intra kardial (pada bayi di
sela iga IV kiri dan pada anak dibagian yang lebih bawah) untuk meninggikan
tonus jantung,sedangkan asidosis metabolik diatasi dengan pemberian
sodium bikarbonat.bila di takutkan fibrilasi ventrikel kambuh,makapemberian
lignokain 1% dan kalium klorida dapat menekan miokard yang mudah
terangsang.Bila nadi menjadi lambat dan abnormal,maka perlu di berikan
isoproterenol.

3. Perawatan dan pengobatan komplikasi

a. Perawatan:Pengawasan tekanan darah, nadi, jantung : menghindari


terjadinya aspirasi (dipasang pipa lambung); mengetahui adanya anuri
yang dini (di pasang kateter kandung kemih).

b. Pengobatan komplikasi yang terjadi seperti gagal ginjal (yang di sebabkan


nekrosis kortikal akut) dan anuri dapat di atasi dengan pemberian ion
exchange resins, dialisis peritoneal serta pemberian cairan yang di
batasi.kerusakan otak di atasi dngan pemberian obat hiportemik dan obat
untuk mengurangi edema otak serta pemberian oksigen yang adekuat.

Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA (2010) :

1. Periksa Kesadaran
Panggil korban dengan suara keras dan jelas atau panggil nama korban, lihat
apakah korban bergerak atau memberikan respon, jika tidak berikan stimulasi
dengan menggerakkan bahu korban. Pada korban yang sadar, dia akan
menjawab dan bergerak. Setelah tindakan identifikasi kesadaran, lakukan
pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya cedera dan pengobatan
yang diperlukan, namun jika tidak ada respon, artinya korban tidak sadar,
maka segera panggil bantuan.

2. Posisi Korban

Pada penderita yang tidak sadar, tempatkan korban pada tempat yang datar
dan keras dengan posisi terlentang pada tanah, lantai atau meja yang keras.
Jika harus membalikkan posisi, maka lakukan seminial mungkin gerakan
pada leher dan kepala (posisi stabil miring).

3. Evaluasi jalan nafas

Pada penderita yang tidak sadar sering terjadi obstruksi akibat lidah jatuh ke
belakang. Oleh karena itu penolong harus segera membebaskan jalan nafas
dengan beberapa teknik berikut :

a. Bila korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya trauma, buka jalan nafas
dengan teknik Head Tilt-chin lift Maneuver akan tetapi jangan menekan
jaringan lunak dibawah dagu karena akan menyebabkan sumbatan.

Caranya adalah satu tangan diletakkan pada bagian dahi untuk


menengadahkan kepala, dan secara simultan jari-jari tangan lainnya
diletakkan pada tulang dagu sehingga jalan nafas terbuka.

Gambar : Teknik head tilt and chin lift

b. Korban yang dicurigai mengalami trauma leher gunakan teknik jaw-thrust


Maneuver untuk membuka jalan nafas, yaitu dengan cara meletakkan 2 atau 3
jari di bawah angulus mandibula kemudian angkat dan arahkan keluar, jika
terdapat dua penolong maka yang satu harus melakukan imobilisasi tulang
servikal

Gambar Teknik Jaw Thrust

4. Mengeluarkan benda asing

Obstruksi karena aspirasi benda asing dapat menyebabkan sumbatan


ringan atau berat, jika sumbatannya ringan maka korban masih dapat
bersuara dan batuk, sedangkan jika sumbatannya sangat berat maka korban
tidak dapat bersuara ataupun batuk. Jika terdapat sumbatan karena benda
asing maka pada bayi < 1 tahun dapat dilakukan teknik 5 kali back blows
(back slaps) di interskapula, namun jika tidak berhasil dengan teknik
tersebut dapat dilakukan teknik 5 kali chest thrust di sternum, 1 jari di
bawah garis imajiner intermamae (seperti melakukan kompresi jantung
luar untuk bayi usia< 1 tahun).

Gambar : Teknik Back Blow

Jika terdapat sumbatan karena benda asing maka, dapat dilakukan teknik
Heimlich maneuver yaitu korban di depan penolong kemudian lakukan
hentakan sebanyak 5 kali dengan menggunakan 2 kepalan tangan di antara
prosesus xifoideus dan umbilikus hingga benda yang menyumbat dapat
dikeluarkan,
Gambar: Teknik Chest Thrust Gambar: Teknik Abdominal Thrust

5. Periksa nafas

Jika obstruksi telah dikeluarkan maka periksa apakah korban bernafas atau
tidak, lakukan dalam waktu < 10 detik, dengan cara:

a. Lihat gerakan dinding dada dan perut ( look )

b. Dengarkan suara nafas pada hidung dan mulut korban ( listen )

c. Rasakan hembusan udara pada pipi ( feel )

Korban yang mengalami gasping (megap-megap/nafas yang agonal atau nafas


yang tidak efektif) , maka korban tersebut dinyatakan tidak bernafas.

6. Berikan bantuan nafas

Lakukan 5 kali bantuan nafas untuk mendapatkan 2 kali nafas efektif. Hal itu
dapat dilihat dengan adanya pengembangan dinding dada. Bila dada tidak
mengembang reposisikan kepala korban agar jalan nafas dalam keadaan
terbuka. Teknik bantuan nafas pada bayi dan anak berbeda, hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan bag valve mask ventilation atau tanpa alat,
yaitu pada bayi dilakukan teknikmouth-to-mouth-and-nose, sedangkan pada
anak menggunakan teknik mouth-to-mouth.

7. Periksa Nadi
Selanjutnya periksa nadi, pada bayi pemeriksaan dilakukan pada arteri
brakialis sedangkan pada anak dapat dilakukan pada arteri karotis ataupun
femoralis. Pemeriksaan nadi ini dilakukan dalam waktu ≤ 10 detik. Jika nadi
> 60 kali/menit namun tidak ada nafas spontan atau nafas tidak efektif, maka
lakukan pemberian nafas sebanyak 12-20 kali nafas/menit, sekali nafas
buatan 3-5 detik hingga korban bernafas dengan spontan, nafas yang efektif
akan tampak dada korban akan mengembang.

8. Kompresi Jantung luar

Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada nafas atau nafas tidak adekuat maka
lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi dan anak terdapat perbedaan teknik
yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik kompresi di sternum dengan dua jari
(two finger chest compression technique ). Selain itu, dapat juga dilakukan
dengan menggunakan kedua tangan pada posisi satu jari di bawah garis
imajiner intermamae (two thumb-encircling hands) jika didapatkan dua
penolong.
9. Defibrilasi / AED (Automated External Defibrillator)

Langkah - langkah penggunaan AED, (AHA, 2015) :

1. Pastikan anda dan korban tidak berada dalam situasi yang bisa
membahayakan hidup anda berdua seperti misalnya pada korban yang
tersengat listrik, pastikan aliran listrik yang masih menempel pada korban
telah diputuskan terlebih dahulu. Korban kecelakaan yang berada di tengah
keramaian lalu lintas harus dipinggirkan ke tempat yang aman sebelum mulai
diberikan pertolongan pertama.

2. Cek respon dengan menepuk-nepuk bahu korban sambil berteriak apakah


korban baik-baik saja.

3. Mintalah bantuan dengan meminta tolong dan perintahkan pada seeorang


untuk menghubungi ambulan maupun paramedik serta mengambil AED.

4. Bila korban tidak memberikan respon periksa apakah korban yang tidak
sadarkan diri ini bernafas; dengan cara melihat pergerakan dada dan
mendengarkan suara-suara yang keluar dari mulut korban.

5. Aktifkan AED dengan menekan tombol ON.

6. Ambil stiker pad, tempelkan pada dada korban dan pastikan pad menempel
kuat dengan kulit dada korban (alat pencukur jenggot tersedia dalam paket
plastik kecil di kotak AED, termasuk handuk kecil untuk mengeringkan dada
korban apabila basah).

7. Ikuti perintah yang diberikan AED yaitu lakukan Resusitasi Jantung Paru
atau CPR sampai selama kurang lebih 2 menit. AED kemudian akan
memeriksa kondisi detak jantung korban dan memerintahkan semua orang
yang terlibat untuk tidak menyentuh korban: “Don’t Touch Patient
Analyzing.”
8. AED akan memutuskan bila korban membutuhkan shock atau tidak dengan
menganalisa detak jantung korban. Apabila AED menemukan salah satu dari
dua jenis detak jantung ini yaitu Ventricular Febrillation (tidak teratur),
Ventricular Tachycardia (sangat cepat), AED akan memerintahkan penolong
untuk menekan tombol Shock dengan perintah: “Shocking Advised”.

9. Saat penolong menekan tombol Shock, AED akan memberikan sengatan


listrik ke jantung korban dan penolong tidak boleh menyentuh korban saat
pemberian sengatan berlangsung.

10. Bil belum berhasil membuat korban bernafas/sadarkan diri (biasanya


ditandai dengan pergerakan pada tangan dan mata korban, AED akan
memerintahkan penolong untuk kembali melanjutkan RJP/CPR dengan
perintah: “Continue CPR”.

11. Penolong harus terus melanjutkan set yang sama sesuai perintah AED
sampai paramedik datang memberikan bantuan tambahan dan mengambil alih
proses pertolongan pertama.

12. AED tidak akan memberikan perintah berhenti RPJ atau “Stop CPR” atau
memberitahu penolong bahwa korban sudah meninggal. AED akan terus
memerintahkan penolong untuk tetap melakukan RJP/CPR sampai korban
sadarkan diri.
Alogaritma Cardiac Arrest
Henti jantung tanpa nadi 1

BLS algoritma : meminta bantuan,


lakukan CPR.

Beri oksigen bila tersedia.

Pasang monitor jantung.

3 2 9
Periksa irama jantung,
VT/VF Asistol/PEA
perlu febrilasi ?

4 1
Beri 1 kali shock Lakukan CPR segera sebanyak 5 siklus 0
ketika telah tersedia IV/IO, beri vasopresor.
Manual biphasic : dengan ukuran 0
Epinephrine 1 mg IV/IO. Ulangi setiap 3-5
khusus (120 – 200 J) menit atau beri 1 dosis vasopressin 40 unit
IV/IO untuk menggantikan epinephrine
AED dengan ukuran Khusus
dosis pertama dan kedua. Atropine 1 mg
Monophasic : 360 J IV/IO untuk asistol atau PEA dengan
5 prekuensi lambat. Ulangi tiap 3-5 mrnit
Lakukan CPR segera (sampai 3 dosis)
Periksa irama jantung,
perlu febrilasi ? 1
Periksa irama jantung, 1
6 perlu febrilasi ? 2
Lanjutkan pemberian CPR sementara defibrillator di –
charge kemudian berikan 1 kali shock. 0

Segera mulai lagi CPR setelah pemberian


defibrilasi. Ketika IV/IO tersedia, berikan vasopresor
dan lanjutkan CPR (sebelum / sesudah defibrilasi)

Epinephrine 1 mgIV/IO Ulangi setiap 3 – 5


Menit.

Mungkin bisa diberikan 1 dosis vasopressin


40 unit IV/IO untuk menggantikan dosis
pertama dan kedua dari epinephrine.
7 1 Kembali 1
Periksa irama jantung, Jika asitol kembali ke 2 3
ke box 4
perlu febrilasi ? box 10
2 2
Jika ada aktifitas 0 0
8 kelistrikan, periksa
Lanjutkan CPR, lakukan defibrilasi 1x. segera nadi, jika tidak ada (Diklat Ambulans
mulai lagi CPR setelah pemberian defribrilasi. nadi, kembali ke box Gawat Darurat 118,
Berikan bersamaan dengan CPR (sebelum / 10. 2010)
sesudah defibrilasi) amiodrone 300 mg IV /IO.
Kemudian siapkan kemungkinan tambahan Jika nadi teraba,
150 mg. atau lidocain 1- 1,5 mg/kg BB dosis lanjutkan ke
pertama. Kemudian o,5 – o,75 mg/kg (max 3) perawatan post
resusitasi
TRIGGER CASE

Pasien Tn.H datang ke IGD RS PHC Surabaya pada pukul 18.30 WIB keluarga
klien mengatakan klien mengeluh sesak nafas serta nyeri dada hebat, kemudian
pasien tidak sadarkan diri. Pada pemeriksaan pasien tidak sadarkan diri,nadi
karotis tidak teraba, tidak ada hembusan nafas dan pergerakan dada.
Psien segera dilakukan RJP Ventilasi 30:2. Pasien diberikan epinefrin 1mg setiap
15 menit sekali EKG pasien ventrikel vibrilasi kemudian dilanjutkan EKG
defibrilasi 360 joule dan gelombang EKG menjadi asystole. RJP dilakukan
kembali hingga 3 siklus dan RJP dihentikan.

Hasil EKG
ASUHAN KEPERAWATAN IGD

1. Identitas Pasien
Nama: Tn.S
Usia: 48th
No.Rm: 0229398
Alamat: Candiroto Temanggung

2. Primary Survey
Anamnesis singkat: Pasien diantar keluarganya dengan keluhan tiba-tiba
sesak dan nyeri dada hebat kemudian tidak sadarkan diri. Tidak mual,
tidak muntah, tidak ada riwayat kejang, riwayat hipertensi dan jantung
disangkal.

Respon Kesadaran
Respon (-) GCS 1-1-1

Circulation
Nadi carotis (-), akral dingin, tekanan darah 30/40 MmHg.

Airway
Monitoring (-), gurgling (-), stridor (-)

Breathing
RR: 6X/ menit
Inspeksi: Pergerakan dada (-)
Palpasi: Tidak dilakukan
Auskultasi: Suara dasar vesikuler (-)
Disabilitas
Pupil diameter 5mm/5mm
Refleks cahaya (-)
GDS: Hi

3. Diagnosis
Cardiac Arrest

4. Tata Laksana
RJP 5 siklus: Ventilasi bag-valve mask 30:2
Pasang EKG monitor: Asistole
Pasang IV line, RL 500cc
RJP 5 siklus 30:2 +Epinefrin 1 amp IV
Evaluasi monitor EKG: Asistole, nadi tidak teraba
RJP 5 siklus: asystole, nadi tidak teraba
Evaluasi monitor EKG 12 Lead: Asistole
Pupil dilatasi maksimal (+)
Reflek cahaya (-)
RJP dihentikan pasien dinyatakan meninggal.
PENUTUP

Kesimpulan

Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot jantung
secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran oksigen dan
pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat hipoksia lama karena
terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak henti jantung.

Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama, karena
sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan otak.
Hal tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP harus
dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan menunjang
kelangsungan hidup korban.

Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun teknik
yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di tempat yang
aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.

Saran

Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti jantung sebaiknya
dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat bahwaresusitasi dapat
memberikan pertolongan awal. Dampak yang di timbulkan semakin berat jika
waktu datangnya pertolongan semakin lama.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. Basic Life Support : 2010 American Heart


Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation 2010

Blogg Boulton, 2014. Anestesiologi. Jakarta : EGC

Guyton AC, Hall JE, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11, Jakarta:
EGC.h. 163.

Muttaqin, Hackley, Baughman, 2009. Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta :


EGC

Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Ulfah AR. 2010. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita. Jakarta. 2003AHA Guidelines For CPR and ECC.

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : diagnosa


NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC

Kasron, 2012. Kelainan dan penyakit jantung : pencegahan serta pengobatannya.


Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai