Dosen : Nurdin,S.Kep,Ns.,M.Kep
OLEH
KELOMPOK 4:
Risnawati : P201701128
KENDARI
2020
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Henti Jantung atau cardiac arrest merupakan keadaan dimana
terjadinya penghentian mendadak sirkulasi normal darah ditandai
dengan menghilangnya tekanan darah arteri. Henti jantung dapat
mengakibatkan asistol, fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa
nadi. (Hardisma, 2014).
Cardiac arrest adalah keadaan dimana sirkulasi darah berhenti
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Keadaan
henti jantung di tandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda
sirkulasi lainnya.(American Heart Association,2015).
Cardiac Arrest atau henti jantung adalah penghentian aktifitas
pompa jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi.
Terdapat hanya dua tipe henti jantung, yaitu cardiac standstill (asistol)
dan fibrilasi ventrikel plus format lain dari kontraksi ventrikel tak
efektif, seperti flutter ventrikel, dan yang jarang terjadi takikardia
ventrikel. (Muttaqin, 2012).
2. Etiologi
Henti jantung dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem
listrik jantung, sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang
paling umum terjadi pada cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi.
Cardiac arrest dapat diubah apabila jika CPR (Cardiopulmonary
resucitation) dilakukan dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan
jnatung dan mengembalikan irama jantung yang normal dalam
beberapa menit. Henti jantung dapat disebabkan oleh semua hampir
gangguan pada jantung yang dikenal. Penyebab yang paling umum
adalah : Jaringan parut yang terjadi karena serangan jantung
sebelumnya atau penyebab lain. Jantung yang terdapat bekas luka
atau membesar karena sebab apapun rentan untuk terjadi arirmia
ventrikel yang mengancam. Enam bulan pertama setelah serangan
jantung adalah resiko periode yang sangat tinggi untuk menderita
cardiac 13 arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik.
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab
(tekanan darah tinggi atau penyakit katup jantung) apalagi ditambah
dengan gagal jantung. Obat jantung, dalam kondisi tertentu beberapa
obat jantung dapat menyebabkan aritmia yang selanjutnya dapat
menyebabkan cardiac arrest. Kelainan listrik tertentu seperti sindrom
wolffparkinson- white dan sindrom QT panjang dapat menyebabkan
serangan jantung mendadak pada anak-anak dan orang muda.
Penggunaan narkoba, pada orang tanpa penyakit jantung organik,
penggunaan narkoba merupakan penyebab penting dari serangan
jantung mendadak. Sedangkan penelitian lain menyatakan penyebab
cardiac arrest dapat terjadi oleh banyak kondisi yang mendasarinya
yang meliputi infark miokard, overdosis obat, trauma, dan ganguan
impuls yang meliputi ventrikel fibrilasi (Harmon et al., 2015).
3. Faktor Resiko
a. Jejas di jantung sehingga cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa dan berisiko tinggi untuk terjadi
cardiac arrest.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung,
beberapa obatobatan untuk jantung (anti aritmia) justru
merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac
arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect.
d. Kelistrikan yang tidak normal dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan
dewasa muda.
e. Seseorang yang sering melakukan olahraga atau melakukan
aktivitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac
arrest apabila dijumpai kelainan pembuluh darah yang tidak
normal.
American Heart Association (2015).
4. ManIfestasi Klinik
Menurut Purbanki (2010), manifestasi klinis dari cardiac arrest adalah
sebagai berikut :
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan
suara, tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal
ketika jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis,
radialis).
5. Klasifikasi
a. Ventrikel Fibrilasi (VF)
Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF
primer dan sekunder. VF primer terjadi karena tidak adanya
disfungsi ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik dan ditemukan
pada sekitar 5% pasien dengan infark miokard akut (IMA).
Mayoritas episode VF primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA,
dan 80% terlihat dalam awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat
terjadi karena komplikasi dari gagal jantung akut, syok kardiogenik,
atau keduanya, dan terjadi pada sampai dengan 7% dari pasien
IMA.
b. Ventrikel takikardi VT)
Ventrikel takikardi biasanya berasal dari fokus khusus
dalam miokardium ventrikel atau di jalur konduksi infranodal. VT
dapat dibedakan menjadi monoformik dan poliformik. VT
menyumbang sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan
jantung dan memiliki prognosis yang paling menguntungkan. Hal
ini relatif jarang terjadi hasil kejadian dari awal penampilan dengan
degenerasi yang cepat Jika terapi tidak dimulai dalam peristiwa
henti jantung, ritme ini cepat dekompensasi menjadi irama yang
lebih ganas seperti VF atau asistol.
c. Pulseless electric activity (PEA),
Pulseless Electrical Activity merupakan indikasi dari
kejadian medis yang sangat serius yang mendasari, seperti
hipovolemia mendalam,infark miokard masif, emboli paru luas,
tachydysrhytmia elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi ini
biasanya mencakup takikardi, terutama takikardia sinus atau
fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat. Suatu
pendekatan terapi mengarah disertai dengan resusitasi agresif
akan memberikan penderita dengan pseudo-dengan pseudo-PEA
dengan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup.
d. Asystole
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung
dan biaasanya hasil dari kegagalan pembentukan impuls di primer
(node senoatrial) dan standar (atrioventrikular node dan
miokardium ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol juga bisa
disebabkan oleh kegagalan penyebaran impuls ke miokardium
ventrikel dari jaringan atrium.
American Heart Association (2010).
6. Komplikasi
Fraktur iga dan sternum, sering terjadi terutama pada orang
tua, RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Fraktur
mungkin terjadi bila posisi tangan salah. Komplikasi lain dapat berupa
Pneumothorax, Hemothorax, Kontusio paru, Laserasi hati dan limpa,
posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan proces usxipoideus
ke arah hepar (limpa) dan Emboli lemak (Wilson & Drezner, 2016).
7. Patofisiologis
Patofisiologi henti jantung tergantung dari etiologi yang
mendasarinya, namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian
adalah sama yaitu sebagai akibat dari henti jantung maka peredaran
darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai
berhenti berfungsi sebagai akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak. Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
secara normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika henti jantung tidak
ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam
10 menit (sudden cardiac death). Henti jantung terjadi ketika sistem
listrik jantung mengalami malfungsi dan akan menghasilkan kematian
jika jantung secara tiba-tiba berhenti bekerja dengan benar. Hal ini
disebabkan oleh ketidaknormalan atau ketidakteraturan iram jantung
yang sering disebut dengan aritmia. Aritmia yang paling umum dalam
serangan jantung adalah ventricular fibrillation (VF) atau ventricular
tachycardia (VT) (Field et al., 2010).
Masalah lain yang berhubungan dengan sistem listrik jantung
yang juga dapat menyebabkan henti jantung adalah jika tingkat sinyal
listrik jantung menjadi sangat lambat dan berhenti. Henti jantung juga
dapat terjadi jika otot jantung tidak merespon sinyal listrik jantung.
Selain itu, beberapa penyakit dan kondisi tertentu dapat
menyebabkan masalah listrik pada jantung dan menyebabkan
terjadinya henti jantung, seperti penyakit jantung koroner (PJK), atau
yang disebut penyakit arteri koroner, stres fisik yang berat, kelainan
bawaan tertentu, dan perubahan struktural dalam jantung (Zipes &
Wellens, 1998).
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut :
a. Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau
sangat lemah
b. Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat
lemah,bradikardia/takikardia yang sangat menjolok
c. Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan henti jantung pada fibrilasi ventrikel (FV)
tentang resusitasi jantung paru (RJP) dan layanan kegawat daruratan
kardiovaskuler.
Mengingat VF masih menjadi gambaran ritme tersering pada
kasus henti jamtung dan memiliki prognosis lebih baik di bandingkan
gambaran asistol atau pulseless electrical activity (PEA), upaya
terbaik perlu di kerahkan untuk menyegerakan RJP dan akses
defibrillator eksternal otomatis (automated external defibrillator/AED).
Namu,di indonesiakeberadaan alat AED ini masih jarang dan hanya
tersedia di tempat-tempat tertentu saja. Idealnya penolong pada
kasus henti jantung di luar RS berjumlah 2 orang, salah satunya di
antaranya melakukan kompresi jantung efektif sedangkan yang
lainnya mempersiapkan AED.
Apabila pemeriksaan irama jantung pasien oleh AED
menunjukan gambaran VF/VT, penolong pertama tetap melanjutkan
RJP dan penolong kedua mengisi daya defibrillator. Ketika daya
defibrillator terisi, CPR di tunda untuk mengamankan pemberian kejut
jantung pada pasien. Kemudian penolong kedua memberikan kejut
jantung secepat mungkin untuk mengurangi interupsi pada tindakan
RJP. Setelah itu, penolong pertama melanjutkan RJP hingga 2 menit
yang di teruskan dengan pemeriksaan irama jantung kembali.
Pada pasien yang kemudian telah mendapat pertolongan medis atau
tiba di RS namun masih memiliki ganguan hemodinamik yang di sertai
aritmia ventrikel pasca kejut jantung maksimal, pemberian
amiodarone intravena perlu di pertimbangkan agar irama jantung
menjadi lebih stabil pada defibrilasi bsrikutnya. VF dan VT tanpa
pulsasi dapat menyebabkan kematian bila tidak di tangani dengan
cepat. Pemberian kardioversi DC (direct current) perlu di lakukan
sesegera mungkin pada kedua jenis gambaran irama jantung tersebut
untuk mendukung kesintasan yang lebiah baik (American Heart
Association, 2017) .
10. Pathway
Hanti Jantung
Duka cita
Gangguan Gangguan
Sirkulasi Ventilasi
Spontan Spontan
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Konsep asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami henti
jantung harus segera dilakukan tindakan keperawatan seperti
memberikan penanganan awal henti jantung.
Penanganan awal henti jantung (cardiac arrest), empat jenis ritme
jantung yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF),
ventricular takikardia yang sangat cepat (VT), pulseless electrical activity
(PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari empat ritme ini memerlukan
bantuan hidup dasar/Basic Life Support dan bantuan hidup
lanjutan/Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) (American Heart
Association, 2015)
Ventrikel fibriasi merupakan sebab sering yang menyebabkan
kematian mendadak akibat SCA. The American Heart Association (AHA)
menggunakan 4 mata rantai penting untuk mempertahankan hidup
korban untuk mengilustrasikan 4 tindakan penting dalam menolong
korban SCA akibat ventrikel fibriasi. Empat mata rantai tersebut adalah :
a. Sesegera mungkin memanggil bantuan Emergency Medical Service
(EMS) atau tenaga medis terdekat
b. Sesegera mungkin melakukan RJP
c. Sesegera mungkin melakukan defibrilasi
d. Sesegera mungkin dilakukan Advanced Life Support diikuti oleh
perawatan postresusitasi.
Sebagaimana kondisi VF, kondisi aritmia lain yang dapat
menyebabkan SCA juga memerlukan tindakan resusitasi jantung dan
paru yang sebaiknya segera dilakukan. Adapun algoritma dari RJP adalah
: Prinsip penanganan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway, Breathing,
Circulation).
a. Airway ( Pembebasan Jalan Nafas)
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP
adalah meletakkan korban pada permukaan yang keras dan
memposisikan pasien dalam kondisi terlentang. Bebaskan jalan nafas
dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas dengan
finger swab atau suction jika ada.
b. Breathing (Cek Pernafasan)
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan
cek pernafasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan cek pernafasan antara lain :
1) Cek pernafasan dilakukan dengan cara look, listen, dan feel
selama 10 detik.
2) Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat atau tidak
ditemukan tanda-tanda pernafasan maka berikan nafas buatan.
3) Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlihat naik
harus diberikan, pada sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg
(700 sampai 1000 ml).
4) Rekomendasi dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:
1) Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas buatan tidak
lebih penting dibandingkan dengan kompresi dada karena
pada menit pertama kadar oksigen dalam darah masih
mencukupi kebutuhan sistemik.
2) Ventilasi dan kompresi menjadi sama-sama penting saat
prolonged VF SCA
3) Hindari hiperventilasi dengan memberikan volume pernafasan
normal
4) Ketika pasien sudah menggunakan alat bantu nafas, frekuensi
nafas diberikan 8-10 nafas/menit tanpa usaha mensinkronkan
nafas dan kompresi dada
5) Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk memberikan nafas
buatan, maka lakukan kompresi dada.
6) Setelah pemberikan pernafasan buatan, segera lakukan
pengecekan sirkulasi dengan mendeteksi pulsasi arteri carotis
7) Pada pasien dengan sirkulasi spontan memerlukan ventilasi
dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas
memerlukan 5-6 detik dan setiap kali nafas harus dapat
mengembangkan dada.
c. Circulation
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
mempertahankan sirkulasi pada saat melakukan resusitasi jantung
dan paru
1) Kompresi yang “efektif” diperlukan untuk mempertahankan
aliran darah selama resusitasi dilakukan
2) Kompresi akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada
alas yang keras dan penolong berada disisi dada korban
3) Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan
kompresi yang kuat dan cepat ( untuk dewasa + 100 kali
kompresi/ menit dengan kedalam kompresi 2 inci/4-5 cm :
berikan waktu untuk dada mengembang sempurna setelah
kompresi : kompresi yang dilakukan sebaiknya ritmik dan rileks
4) Kompresi dad yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi
apabila pernafasan dan sirkulasi tidak adekuat . adapun rasio
yang digunakan dalam kompresi dada dengan ventilasi yaitu 30
: 2 adalah berdasarkan konsensus dari para ahli. Adapun
prinsip antara kompresi dada dengan ventilasi antara lain :
peningkatan frekwensi kompresi dada dapat menurunkan
hiperventilasi dan lakukan ventilasi dengan minimal interupsi
terhadap kompresi . sebaiknya lakukan masing- masing
tindakan ( kompresi dada dan ventilasi) secara independen
dengan kompresi dada 100x/menit dan ventilasi 8-10 kali nafas
permenit dan kompresi jangan membuat ventilasi berhenti dan
sebaiknya, hal ini khususnya untuk 2 orang penolong)
5) Pada pencarian literature ditemukan lima sitation: satu
LOE(level of evidence) 4, dan empat LOE 6. Frekuensi
tinggi( lebih dari 100 kompresi permenit)manual CPR telah
dipelajari sebagai teknik meningkatkan resusitasi dari cardiac
arrest. Pada kebanyakan stuudi pada binatang, frekuensi CPR
yang tinggi meningkatkanhemodinamik , dan tanpa
meningkatkan trauma (LOE6,swart 1994, maier 1984, Ken
1986) pada satu tambahan studi pada binatang, CPR frekuensi
tinggi tidk meningkatkan hemodinamik melebihi yang dilakukan
CPR standar (cit Tucker, 1994)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Perfusi Serebral berhubungan dengan penurunan suplai
O2 ke otak
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai O 2 tidak
adekuat.
c. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan kemampuan
memompa jantung menurun.
d. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan Perfusi Serebral berhubungan dengan penurunan suplai
O2 ke otak
Kriteria hasil : setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam klien dapa :
sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O 2 kembali lancer.
Dengan indicator :
1) Pasien akan memperlihatkan tanda-tanda vital dalam batas
normal
2) Warna dan suhu kulit normal
3) CRT < 2 detik
Intervensi :
1) Berikan vasodilator misalnya nitrogliserin, nifedipin sesuai indikasi
2) Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung
3) Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit dingin atau lembab
4) Pantau pengisian kapiler (CRT)
b. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan suplasi oksigen tidak
adekuat
Kriteria hasil :
Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam sirkulasi darah pasien
kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Dengan
indicator :
1) Nilai GDA normal
2) Tidak ada disstres pernafasan.
Intervensi :
1) Berikan oksigen sesuai indikasi
2) Pantau GDA pasien
3) Pantau pernafasan klien
c. Penurunan curah jantung b/d perubahan preload, afterload, dan
kontraktilitas.
Kriteria hasil :
Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan klien dapat
memajukan curah jantung yang memuaskan dibuktikan dengan
keefektifan pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan (organ
abdomen) dan perfusi jaringan (perifer). Dengan indicator :
1) Tekanan darah sistolik, diastolic dalam batas normal
2) Denyut jantung dalam batas normal
3) Tekanan vena sentral dan tekanan dalam paru dbn
4) Hipotensi ortostatik tidak ada
5) Gas darahdbn
6) Bunyi nafas tambahan tidak ada
7) Distensi vena leher tidak ada
8) Edem perifer tidak ada.
Intervensi :
1) Lakukan pijat jantung
2) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat
sesuai dengan indikasi
3) Palpasi nadi perifer
4) Pantau tekanan darah
5) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
d. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen .
Kriteria hasil :
Setelah dilakukan perawatan 4 x 24 jam diharapkan klien dapat
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas . dengan indicator :
1) Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1) Evaluasi respon terhadap aktivitas
2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengungung selama fase
akut
3) Jelaskan pentingnya istirhat dan perlunya keseimbangan aktivitas
dan istirahat
4) Bantu aktivitas perawatan, aktivitas diri yang diperlukan.
5) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk tidur/istirahat.
4. Implementasi.
Evaluasi yang diharapkan :
a) Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport oksigen kembali
lancar.
b) Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat
berlangsung .
c) Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan oksigen ke
otak terpenuhi.
KASUS :
Tn. A umur 54 tahun suku tolaki dengan diagnose Cardiac Arrest, dirawat
diruang ICCU RS Bahteramas selama 3 hari. Sebelum dipindahkan di ruang
ICCU pasien sempat ditangani di UGD. Menurut data dari UGD kondisi pasien
saat datang di RS tidak sadarkan diri, tidak ada nafas, dan nadi karotis tidak
teraba. Istri pasien mengatakan bahwa sebelum pasien tidak sadarkan diri,
pasien sempat mengeluh nyeri dada dan sesak nafas. Istri pasien juga
mengatakan bahwa gejala yang dirasakan pasien terjadi secara berulang.
Setelah dilakukan pertolongan pertama di UGD nafas pasien kembali dan nadi
karotis nya juga teraba meskipun masih lemah. Pasien akhirnya dipindahkan ke
ruang ICCU untuk melakukan stabilisasi. Namun, setelah dirawat selama 3 hari
di ruang ICCU pasien kembali mengalami henti jantung, nadi karotis tidak teraba
dan tidak bernafas. Analisa gas darah, PO2 : 75 mmHg ( ) PCO2 : 50 mmHg ( ).
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Hari rawat ke :1
IDENTITAS
1. Nama Pasien : Tn. A
2. Umur : 54 Thn
3. Suku/ Bangsa : Tolaki
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Wiraswasta
7. Alamat : Andounohu
8. Sumber Biaya : Keluarga
KELUHAN UTAMA
1. Keluhan utama :
Penurunan Kesadaran
Obat ya tidak√
Makanan ya tidak√
Lain-lain ya tidak√
- Genogram :
Keterangan :
: Laki-laki : Pasien
: Tinggal 1 rumah
PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN
Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan:
Alkohol ya tidak√
Obat ya tidak√
Ventitalor
Mode : -
FiO2 : -
PEEP : -
SaO2 : 95%
Vol. Tidal: -
I:E Ratio: -
Lain-lain :-
d. Ictus Cordis: Ictus cordis tidak terlihat. Ictus cordis teraba di apex pada
ICS V midavikular line sinistra
e. CRT : ≤ 2 detik
f. Akral: hangat kering merah basah pucat
panas √ dingin
g. Sikulasi perifer: √ normal menurun
h. JVP : (5+2) cmH2O
i. CVP : (5+3) cmH2O
j. CTR : tidak dilakukan
k. ECG & Interpretasinya:
irama sinus dengan frekuensi denyut jantung 60x/menit, aksis normal,
gelombang P normal, komplek QRS SV2 + RV5 < 35 mm, ST elevasi 1-3
mm pada J-point di lead II, III, Avf, V2, V4-V6, I, Avl. Jadi, EKG
disimpulkan sinus rhythm dengan early repolarization.
4. Sistem Persyarafan (B3)
a. GCS : E1M1V1 : 3
b. Refleks fisiologis patella triceps biceps
c. Refleks patologis babinsky brudzinsky kernig
Lain-lain
Q :-
R :-
S :-
T :-
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
f. Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Keluarga pasien mengatakan bahwa setiap pasien sakit, pasien selalu
menerima penyakitnya dan tidak mengeluh
g. Ekspresi klien terhadap penyakitnya
Murung/diam √ gelisah tegang marah/menangis
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien adalah orang yang cukup baik
dalam menjaga kebersihan dirinya. Contohnya pasien rajin menjaga kebersihan
kulit, kuku, rambut, mulut, gigi, kebersihan dan kerapihan pakaiannya.
PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit sering √ kadang- kadang tidak pernah
- Selama sakit sering kadang- kadang √ tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah: -
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium,Radiologi, EKG, USG , dll)
TERAPI
Kendari, ……………..2020
(………………………)
ANALISIS DATA
TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH
- Hilang kesadaran
- Nadi karotis tidak
teraba
- Tidak bernafas
- Akral dingin
TD : 80/60 mmHg
Gangguan
N : 60x / menit Ventilasi Spontan
RR : 8X / menit
S : 35,5º
DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
TANGGAL: 6/12/2020
DS :
- Hilang kesadaran
- Nadi karotis tidak teraba
- Tidak bernafas
- Akral dingin
2. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan Ekspirasi dan Inspirasi
tidak adekuat. Ditandai dengan :
DS : -
DO :
N : 60x / menit
RR : 8X / menit
S : 35,5º
RENCANA INTERVENSI
P : Intervensi dilanjutkan
- Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
- Jelaskan tujuan dan prosedur
S:-
pemantauan
- Monitor kecepatan aliran oksigen O : - Saturasi oksigen pasien 90%
- Monitor adanya
- Pola nafas tampak bradipnea
15.30 - Frekuensi nafas pasien
hipoventilasi/hiperventilasi
12x/menit
- Irama nafas pasien masih
tidak terlihat.
- Upaya nafas pasien tampak
masih tidak teratur
- Upaya nafas pasien baik.
A : Masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
P : intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA
Irianti, Dian Novita. Dkk. 2018. Henti Jantung Intra Operatif. Jurnal Majority.
7(3).217-221.
Ismiroja, R., Mulyadi, N., & Kiling, M. (2018). Pengalaman Perawat Dalam
Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Rsup Prof. Dr. Rd
Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, 6(2).
Rizki, P., & Cahyani, N. (2017). Tatalaksana Henti Jantung di Lapangan
Permainan. Jorpres (Jurnal Olahraga Prestasi), 13(2), 139-151.
Hamarno, R. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Kebayon Baru Jakarta Selatan.
Chandra, S. (2019). Peran Ultrasonografi Dalam Diagnosis Pneumotoraks Pada
Kasus Henti Jantung: Laporan Kasus. eJournal Kedokteran Indonesia.
Candra Adi Wirawan. 2018. Pengembangan Aplikasi Guide Basic Life Support
(BLS) Berbasis Android Untuk Meningkatkan Ketetapan Riteme.
Kecepatan Kompresi Dada Dan Ventilasi Pada Penanganan Out Hospital
Cardiac Arrest (OCHA. Universitas Airlangga Surabaya.
LAMPIRAN