Anda di halaman 1dari 15

ESSAI KULIAH

BLOK KARDIOVASKULAR II

Cardiorespiratory Arrest atau Henti Jantung

Nama : Putu Shanti Ayudiana Budi

NIM : 019.06.0082

Blok : Blok Kardiovaskular II

Dosen : dr. Gusti Ayu Suryawati, M. Biomed, Sp.JP, FIHA

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2020
Cardiorespiratory Arrest atau Henti Jantung

I. Pendahuluan

Latar Belakang

Kelainan jantung merupakan penyebab kematian alami mendadak yang


paling sering ditemukan dimana insidensi mati mendadak sering dikaitkan dengan
kegagalan fungsi jantung yang dapat disebabkan oleh beberapa kejadian tiba- tiba
seperti henti jantung atau cardiac arrest, serangan jantung atau heart attack, dan
lainnya. Pada pembahasan materi ini akan lebih menitikberatkan terhadap henti
jantung atau cardiac arrest. Cardiac arrest merupakan suatu keadaan jantung tiba-
tiba berhenti berdetak yang biasanya disebabkan oleh masalah kelistrikan di
dalam jantung. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat
cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association, 2020).

II. Pembahasan

Introduksi

a. Fibrilasi Ventrikel (VF)

Fibrilasi ventrikel (FV) merupakan mekanisme elektrik yang paling sering


ditemukan untuk henti jantung dengan persentase sebesar 65 hingga 80 persen
dari kasus- kasus henti jantung. Hampir semua henti jantung yang terjadi melalui
fibrilasi ventrikel (VF) akan dimulai dengan timbulnya takikardia ventrikel (VT)
yang persisten atau nonpersisten yang kemudian akan dilanjutkan menjadi
fibrilasi ventrikel (Harrison, 1995). Pada kasus ini tindakan yang harus segera
dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b. PEA

Pada monitor ditemukan adanya gambaran aktivitas listrik jantung tetapi


saat di palpasi denyut nadi tidak teraba. PEA merupakan suatu keadaan dimana
aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan
kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan
nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.

c. Asistol

Keadaan seperti bradiaritmia persisten yang berat, asistol dan disosiasi


elektro mekanis dimana terdapat aktivitas elektris yang terorganisir tetapi tanpa
respons mekanis menyebabkan 20 hingga 30 persen factor pemberat lainnya
(Harrison, 1995). Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik
pada jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus.
Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

d. Takikardia Ventrikular (TV)

Takikardia ventrikel yang persisten dengan disertai hipotensi merupakan


penyebab yang lebih jarang ditemukan (Harrison, 1995). Frekuensi nadi yang
cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan
menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan
medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan
hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi
defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.

Definisi

Henti jantung atau cardiorespiratory arrest merupakan suatu keadaan


terjadinya penghentian mendadak fungsi pemompaan jantung yang mungkin
masih reversibel bila dilakukan intervensi yang segera, tetapi akan menimbulkan
kematian jika tidak dilakukan intervensi. Henti janutng dapat pulih secara spontan
dimana kecenderungan keberhasilan intervensi dari henti jantung berhubungan
dengan mekanisme terjadinya arrest (penghentian) dan kondisi klinis dari pasien
(Harrison, 1995).

Etiologi
(Harrison, 1995)

Peran relatif dari berbagai faktor yang meningkatkan timbulnya henti


jantung tidak dikuantitasi begitu juga dengan dasar structural. Factor- factor dari
henti jantung adalah sebagai berikut :
- Infark miokard akut atau iskemia
- Gangguan elektrolit (hipokalemia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, asidosis metabolic, dll)
- Obat- obatan (antiaritmik, phenothiazine, anti depresan trisiklik,
toksisitas digoksin, dll)
- Penggunaan obat terlarang seperti kokain, amfetamin dan ekstasi
- Syok elektrik
- Penyakit jantung structural
- Penyakit arteri koroner
- Aterosklerosis
- Non- aterosklerosis (angina prinzmetal, anomaly arteri koroner, dll)
- Kardiomiopati
- Penyakit janutng katup
- Miokarditis
- Penyakit jantung bawaan
- Dysplasia aritmogenik vetrikel kanan
- Hipertensi pulmonal primer
- Penyakit janutng infiltrative (amilodosis, sarkoidosis, tumor)
- Tetap menyerang meskipun struktural jantung normal, dapat
ditemukan pada penderita :
• Sindroma Wolff- Parkinson- White
• Sindroma QT panjang
• Sindroma Brugada
• VT atau fibrilasi ventrikel idiopatik

Epidemiologi

Di seluruh dunia khususnya pada kawasan dengan kultur Barat, penyakit


jantung koroner aterosklerosis merupakan abnormalitas structural yang paling
sering ditemukan dengan kematian yang disebabkan oleh henti jantung. Hampir
80% dari seluruh mati jantung mendadak di Amerika Serikat disebabkan oleh
akibat aterosklerosis koroner. Peran relatif dari berbagai faktor yang
meningkatkan timbulnya henti jantung tidak dikuantitasi begitu juga dengan dasar
struktural. Iskemia transien pada jantung yang mengalami hipertrofi atau berparut
sebelumnya, gangguan elektrolit dan cairan dan hemodinamik, fluktuasi pada
aktivitas sistem saraf autonomik, dan perubahan elektrofisiologik transien
disebabkan oleh obat- obatan atau kimiawi lain (seperti proaritmia ) semuanya
dianggap sebagai mekanisme yang bertanggung jawab terhadap transisi dari
stabilitas elektrofisiologik menjadi ketidakstabilan elektrofisiologik. Selain itu,
reperfusi spontan miokard iskemik, disebabkan oleh perubahan vasomotor pada
pembuluh darah koroner dan atau trombolisis spontan, dapat menyebabkan
ketidakstabilan elektrofisiologik transien dan aritmia (Harrison, 1995).

Manifestasi Klinis

Menurut klasifikasi klinis yang dirumuskan oleh Hinkle dan Thaler,


kehilangan sirkulasi efektif yang tidak diharapkan terjadi mendadak akan
dipisahkan ke dalam “kejadian aritmia” dan “gagal sirkulasi” dimana kejadian
aritmia didominasi oleh factor VF sebagai mekanisme elektrik. Awitan henti
jantung dapat ditandai dengan keluhan serangan janutng akut seperti angina atau
nyeri awal infark miokard, dispnea akut atau ortopnea atau palpitasi dengan
awitan yang mendadak, takikardia persisten atau serangan vertigo. Menurut
definisinya henti jantung berarti terjadi secara tiba- tiba dimana kesadaran pasien
akan terganggu pada takikardia ventrikel yang persisten selama awitan timbulnya
kejadian terminal namun kehilangan kesadaran merupakan suatu kejadian yang
bersifat sine qua non (keadaan yang tidak bisa tidak) pada kejadian henti jantung.

Tatalaksana

Peran CPR sangat penting dimana CPR ini dilakukan untuk memberikan
beberapa aliran darah ke miokardium dan system saraf pusat agar defibrilasi dan
resusitasi dapat berhasil dan untuk mempertahankan fungsi organ dalam jangka
panjang.

a. Algoritma Cardiorespiratory Arrest

Konsep penting dalam memahami fisiologi CPR salah satunya adalah


tekanan perfusi koroner, dimana tekanan perfusi koroner merupakan perbedaan
antara tekanan diastolic aorta dan tekanan atrium kanan (pembaikan vena dari
aliran miokard melalui vena jantung besar, sinus koroner dan akhirnya atrium
kanan sehingga peningkatan tekanan atrium kanan dapat menghalangi aliran vena
dari kapiler miokard. Semakin besar aliran darah koroner maka semakin besar
kesempatan untuk mendapatkan hasil yang sukses. Tekanan perfusi koroner dapat
di optimalkan dengan meningkatkan vascular perifer menggunakan
vasokonstriktor seperti adrenalis atau menggunakan sejumlah kompresi dada per
menit. Dibawah ini merupakan skema dari gambaran kunci resusitasi yang sukses
tergantung pada rangkaian kejadian yang cepat dengan penundaan yang minimal.
b. Melakukan Defibrilasi
Dinyalakan DC syok

Dipilih energi apabila bifasik 200 Joule, dan monofasik 360 Joule

Paddle dioles dengan jelly

Paddle diposisikan di dada pasien


(Right anterior chest wall and left axillary)

Alat di charge dengan menekan tombol charge

Diberi aba- aba dan tidak ada yang bersentuhan dengan pasien

Ditekan tombol shock

Dilakukan RJP segera setelah "shock" diberikan


Ketika terdapat seorang pasien dengan keluhan henti jantung atau jantung
tidak berdetak maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan
tindakan CPR (Cardio Pulmo Resuscitaion) atau RJP (Resusitasi Jantung Paru)
sambil melakukan monitor untuk mengetahui keadaan di dalam. Saat pemasangan
EKG maka akan terlihat apakah golongan shockable atau non shockable. Kondisi
shockable menandakan terdapat keluhan berupa ventricular takikardi atau fibrilasi.
Fungsi dari dilakukan shock adalah untuk memberikan listrik dengan tekanan
tinggi lebih tinggi dari semua sinyal di jantung agar semua sinyal kelistrikan
berhenti karena kelistrikan di jantung masih kacau tidak memberikan kontraksi
sehingga harus di padamkan untuk mencapai kondisi Asistole. Setelah muncul
kondisi Asistole maka dapat dilakukan tindakan CPR kembali. Apabila masih
ditemukan kondisi shockable atau belum mencapai target kondisi Asistole maka
harus dilakukan tindakan shock kembali agar memperbaiki kondisi yang
seharusnya kacau menjadi Asistole. Tindakan shock yang kedua dilakukan dengan
penambahan epinefrin, apabila belum berhasil mencapai kondisi Asistole maka
harus di shock kembali dengan penambahan Amidaron yang memiliki fungsi
mengatasi ventricular takikardi. Apabila masih ditemukan kondisi shockable
maka kembali ke tindakan kedua yaitu pemberian epinefrin, dilanjutkan dengan
penambahan Amidaron apabila kondisi tetap tidak ada perubahan, namun
pemberian Amidaron maksimal sebanyak dua kali. Apabila ditemukan kondisi
yang tetap kacau maka siklus pemberiannya adalah tindakan tanpa pemberian
tambahan apapun, kemudian dengan penambahan epinefrin dan selanjutnya
dengan penambahan Amidaron. Siklus dapat dirumsukan sebagai berikut :

E- A- E- A- E- K- E- K

Keterangan :

• E = Tindakan CPR dengan penambahan pemerian Epinefrin


• A = Tindakan CPR dengan penambahan Amidaron
• K = Tindakan CPR tanpa pemberian apapun

Dosis pemberian Amidaron pertama adalah 300 mg, kedua adalah 150 mg.

Pada kondisi Asistole atau PEA merupakan suatu kondisi tidak ada
kelistrikan atau kondisi yang tidak beraturan atau kelihatan beraturan tetapi tidak
ada nadi yang menendakan kondisi henti jantung. Maka harus dilakukan tindakan
CPR dengan pemberian epinefrin setiap 3- 5 menit. Siklus nya adalah berselingan
antara pemberian Epnefrin dan tanpa pemberian apapun, dapat dirumuskan
sebagai berikut :

E- K- E- K- E- K- E- K
Keterangan :

• E = Tindakan CPR dengan penambahan pemerian Epinefrin


• A = Tindakan CPR dengan penambahan Amidaron
• K = Tindakan CPR tanpa pemberian apapun

Prognosis

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka
waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung.
Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan
defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya
kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal.
Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit
dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk
hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum
seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa
memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata- rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American
Heart Assosiacion, 2020).

III. Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa henti


jantung atau Cardiorespiratory Arrest merupakan suatu kondisi berhentinya detak
jantung secara tiba- tiba yang dapat diakibatkan oleh beberapa gangguan yang
menyebabkan komplikasi sehingga dapat terjadi henti jantung. Henti jantung
memiliki algoritma penatalaksanaan sesuai dengan sumber ACLS (Advanced
Cardio Life Support) dan AHA (American Heart Association) yang dapat
digambarkan melalui skema algoritma yang melibatkan proses CPR
(Cardiopulmonary Resuscitation) atau RJP (Resusitusi Jantung Paru) sebagai
metode untuk mencegah kematian.
Daftar Pustaka

American Heart Association. 2020. Kejadian Penting ; Pedoman CPR dan EGC.
https://cpr.heart.org/-/media/cpr-files/cpr-guidelines-
files/highlights/hghlghts_2020eccguidelines_indonesian.pdf (Dikutip pada
tanggal 17 Desember 2020)

Advanced Cardio Life Support. 2019. Cardiac Arrest Circular Algorithm.


https://www.acls.net /images/ algo- arrest.pdf. (Dikutip pada tanggal 17
Desember 2020)

Aru W. Sudoyo, dkk. (2016) Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Harrison. 1999. Prinsip- Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (Harrison’s Principles of
Interna Medicine). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Edisi 13.

Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tanto, Chris., dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Essentials medicine; Media
Aesculapius. Edisi IV. ISBN 978-602-1 7338-4-4

Anda mungkin juga menyukai