Anda di halaman 1dari 16

A.

DEFINISI
Henti jantung adalah keadaan saat fungsi jantung secara tiba-tiba
dan mendadak hilang dengan ditandai terjadinya henti jantung dan henti
nafas (PUSBANKES 118, 2012). Brunner and Suddart (2002)
mendefinisikan henti jantung sebagai penghentian sirkulasi normal darah
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Waktu
kejadianya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu
tanda dan gejala tampak (AHA, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya
fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal
darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di
Amerika Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih
didominasi oleh anak berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1
tahun dan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka
kejadian henti nafas dan jantung yang terjadi di rumah sakit berkisar
antara 7,5 – 11,2% dari 100.000 orang setiap tahun. Sebuah penelitian di
Amerika Utara menunjukkan bahwa, kejadian henti nafas dan henti
jantung lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan anak dan
dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 : 6,3 dari 100.000 orang
setiap tahunnya.
Sementara itu, angka kejadian henti nafas dan henti jantung yang
terjadi di rumah sakit berkisar antara 2 – 6% dari pasien yang dirawat di
ICU (Intensive Unit Care). Sekitar 71-88% terjadi pada pasien dengan
penyakit kronis, yang terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung,
saluran pencernaan, saraf, dan kanker. Penyebabnya hampir sama
dengan henti nafas dan henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di
mana yang terbanyak adalah asfiksia dan syok.
C. ETIOLOGI
Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik
di dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang
mengontrol irama jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi
dapat menyebabkan irama jantung yang abnormal, disebut aritmia.
Terdapat banyak tipe dari aritmia, jantung dapat berdetak terlalu cepat,
terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Ketika aritmia terjadi,
jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam
sirkulasi.
Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit
jantung koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung),
stress fisik (perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan
dalam, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan,
tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan yang
mempengaruhi jantung, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup
atau otot jantung) dan obat-obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah
tamponade jantung dan tension pneumothorax. Selain itu juga
disebabkan adanya komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill,
renjatan dan edema paru, emboli paru (karena adanya penyumbatan
aliran darah paru), aneurisma disekans (karena kehilangan darah
intravaskular), hipoksia dan asidosis (karena adanya gagal jantung atau
kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea,
kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat).
Penyebab yang paling sering dari henti jantung adalah adanya
gangguan fungsi dan anatomi dan organ jantung namun beberapakondisi
non cardiac dapat menyebabkanterjadinya henti jantung seperti
hypoxemia, gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan kalium,
calcium dan magnesium, hypovolemia, adverse drug effect, pericardial
temponade, tension pneumothorax, pulmonary emblus, hypothermia,
infard miokard. Dengan cardiac arrest akan berakibat aliran darah yang
efektif berhenti, hipoksia jaringan, metabolism anerobik, dan terjadinya
akumulasi sisa metabolism sel. Fungsi organ terganggu, dan kerusakan
permanen akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit
(tidak lebih dari 4 menit). Asidosis dari metabolism anaeribik
menyebabkan vasidilatasi sistemik, vasokonstriksi pulmonary dan
penurunan respon terhadap katekolamin (Hutabararat & Putra, 2014).

D. FAKTOR RISIKO
Iskandar (2008), mengatakan bahwa faktor risiko cardiac arrest
adalah: Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk
terkena cardiac arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada
wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang,
semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor
risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan
merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest
(Iskandar,2008). Menurut American Heart Association (2010), seseorang
dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan
kondisi
a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh
sebab lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena
sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang
mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami
serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab
(umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat
seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena
beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti
aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat
cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian
obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan
magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat
menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak
normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma
gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada
anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri
koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada
dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan
aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest
apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama
terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak
mempunyai kelainan pada organ jantung.

E. PATOFISIOLOGI
Cardiac Arest dapat ditimbulkan dari berbagai etiologi seperti
adanya kelainan jantung dan lainnya sehingga menghambat kerja jantung
ke seluruh tubuh. Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh
timbulnya aritmia: fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas
listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,
2010).
1. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini
tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock
atau defibrilasi
2. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya
karena adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls)
ataupaun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang
cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan
memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang
sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai
terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi
dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
3. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi
tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi
tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.
4. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis
lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah
CPR.
Dari henti jantung dapat menimbulkan beberapa masalah
keperawatan diantaranya yaitu gangguan pertukaran gas, gangguan
perfusi jaringan perifer, dan duka cita yaitu bisa menyebabkan
kematian apabila tidak diatasi dengan cepat. Karena kematian otak
dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8
sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung
(Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,2010).

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Henti jantung (Cardiac Arrest )
1) Tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi kolaps tiba-tiba)
2) Pernapasan tidak tampak atau pasien bernapas dengan
terengah-engah secara intermiten)
3) Sianosis dari mukosa buccal dan liang telinga
4) Pucat secara umum dan sianosis
5) Jika pernapasan buatan tidak segera di mulai, miokardium (otot
jantung) akan kekurangan oksigen yang di ikuti dengan henti napas.
6) Hipoksia
7) Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakialis pada bayi)

G. PENATALAKSANAAN RJP
Penatalaksanaan pada pasien henti jantung dan nafas adalah dengan
Resusitasi Jantung Paru (Cardio pulmonary Resuscitation/CPR).
Resusitasi Jantung Paru adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu
usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung
ke fungsi optimal untuk mencegah kematian biologis. Terdapat perubahan
sistematika dari A-B-C (Airway-Breathing Chest compressions) menjadi
C-A-B (Chestcompressions-Airway-Breathing), kecuali pada neonatus.
Alasan perubahan adalah pada sistematika A – B – C, seringkali chest
compression tertunda karena proses airway. Dengan mengganti langkah
C – A – B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi
hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kompresi dada
secara ideal dilakukan sekitar 18 detik) (Tyas, 2016).
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan RJP adalah sebagai
berikut:
1) Pengenalan Awal Henti Jantung dan Aktifasi Sistem
Emergensi
Sebelum penolong melakukan pertolongan pada pasien
henti jantung, perhatikan lingkungan sekitar, hati-hati terhadap
bahaya seperti arus listrik, kebakaran, kemungkinan ledakan,
pekerjaan konstruksi, atau gas beracun. Pastikan tempat tersebut
aman untuk melakukan pertolongan. Setelah penolong yakin
bahwa lingkungan telah aman, penolong harus memeriksa
kesadaran korban. Cara melakukan penilaian kesadaran, tepuk
atau goyangkan korban pada bahunya sambil berkata “ Apakah
Anda baik-baik saja?”. Apabila korban ternyata bereaksi tetapi
dalam keadaan terluka atau perlu pertolongan medis, tinggalkan
koban segera mencari bantuan atau menelepon ambulance,
kemudian kembali sesegera mungkin dan selalu menilai kondisi
korban. Apabila klien tidak berespon, segera hubungi ambulance.
Beri informasi tentang lokasi kejadian, kondisi & jumlah korban
dan pertolongan yang dilakukan. Kemudian kembali ke korban
dan segera melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Apabila
ada dua penolong atau lebih, salah satu penolong melakukan RJP
dan penolong lainnya mengaktifkan sistem emergensi.
2) Resusitasi Jantung Paru Secara Segera
Setiap melakukan Resusitasi Jantung Paru selalu ingat
sistematika C-A-B.
Berikut langkah-langkah melakukan RJP:
1. C: Chestcompression
a. Cek Denyut Nadi
Penolong awam sebanyak 10% gagal dalam menilai ketidakadaan
denyut nadi dan sebanyak 40% gagal dalam menilai adanya denyut
nadi. Untuk mempermudah, penolong awam diajarkan untuk
mengasumsikan jika korban tidak sadar dan tidak bernafas maka
korban juga mengalami henti jantung. Cek denyut nadi kurang dari
10 detik di bagian arteri karotis.
b. Kompresi Dada
Kompresi dada merupakan tindakan berirama berupa penekanan
pada tulang sternum bagian setengah bawah. Kompresi dada dapat
menimbulkan aliran darah karena adanya peningkatan tekanan
intrathorak dan kompresi langsung pada jantung. Aliran darah yang
ditimbulkan oleh kompresi dada sangatlah kecil, tetapi sangat
penting untuk dapat membawa oksigen ke otak dan jantung. Posisi
melakukan harus benar dengan cara tempatkan tangan di tengah
dada, kunci jari-jari dan jaga tangan tetap lurus.

Berikut hal-hal yang perlu dicermati saat melakukan kompresi


sebagai berikut.
- Mulai kompresi < 10 detik setelah mengenali cardiac arrest
- Kompresi dada yang dalam dan cepat (100x/menit)
- Complete Chest Recoil diantara kompresi
- Meminimalkan interupsi
- Memberikan bantuan nafas yang efektif
- Menghindari ventilasi yang berlebihan
2. A: Airway (Jalan Napas)
Pharus membuka jalan nafas dengan manuver tengadah kepala topang
dagu (headtilt-chin lift maneuver) untuk korban cedera dan tidak
cedera. JawThrust tidak direkomendasikan untuk penolong awam.
Penolong menggunakan headtilt-chin lift maneuver untuk membuka
jalan nafas pada korban yang tidak mengalami cedera kepala dan
leher, dengan cara ekstensikan kepala dengan membuka rahang
bawah dan menahan dahi. Apabila menemukan korban yang
mengalami cedera kepala dan leher menggunakan teknik JawThrust
tanpa ekstensi kepala dengan cara posisi penolong berada di atas
korban/pasien kemudian gunakan kedua ibu jari utk membuka rahang
bawah dan jari-jari tangan yang lain menarik tulang mandibular.

3. B: Breathing (Periksa Pernapasan)


a. Pastikan pasien tidak bernapas.
Gerakan naik turun dada, mendengar bunyi napas dan hembusan
nafas korban. Penolong harus mendekatkan telinga diatas mulut
dan hidung pasien, sambil mempertahankan jalan napas tetap
terbuka. Dilakukan tidak boleh lebih dari 3-5 detik
b. Bantuan napas
- Bantuan Nafas dari Mulut Ke Mulut
Pada saat memberikan bantuan nafas dari mulut ke mulut,
buka jalan nafas korban, tutup kuping hidung korban dan
mulut penolong menutup seluruh mulut korban. Berikan 1
kali pernafasan dalam waktu 1 detik dan berikan bantuan
pernafasan kedua dalam waktu 1 detik.

- Bantuan Nafas dari Mulut ke Alat Pelindung Pernafasan


Walaupun aman, beberapa petugas kesehatan dan
penolong awam ragu-ragu untuk melakukan bantuan
pernafasan dari mulut ke mulut dan lebih suka
menggunakan alat pelindung. Alat pelindung ada dua tipe,
yaitu alat pelindung wajah dan sungkup wajah. Pelindung
wajah berbentuk selembar plastik bening atau lembaran
silikon yang dapat mengurangi sentuhan antara korban dan
penolong tetapi tidak dapat mencegah terjadinya
kontaminasi bagi penolong. Sungkup wajah ada yang telah
dilengkapi dengan lubang untuk memasukkan oksigen.

- Bantuan Nafas dari Mulut ke Hidung


Bantuan nafas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika
pemberian nafas melalui mulut korban tidak dapat dilakukan
(misalnya luka yang sangat berat pada mulut, mulut tidak
dapat dibuka, atau menutup mulut korban tidak dapat
dilakukan).
- Ventilasi Bagging-Sungkup
Ventilasi bagging-sungkup memerlukan ketrampilan untuk
dapat melakukannya. Apabila seorang diri menggunakan
alat bagging-sungkup harus dapat mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan mengangkat rahang bawah,
tekan sungkup ke muka korban dengan kuat dan
memompa udara dengan memeras bagging. Penolong
harus dapat melihat dengan jelas pergerakan dada korban
pada setiap pernafasan. Bagging sungkup sangat efektif
bila dilakukan oleh dua penolong dan berpengalaman.
Salah satu penolong membuka jalan nafas dan
menempelkan sungkup ke wajah korban sambal penolong
lain memeras bagging. Keduanya harus memperhatikan
pengembangan dada korban. Petugas kesehatan dapat
mempergunakan tambahan oksigen (10-12 liter/menit) jika
tersedia.

Hal yang perlu diperhatikan dalam rescue breathing sebagai berikut:


- Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
- Rasio kompresi dan ventilasi 30:2
- Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong:
selama pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 6-8 detik (8
– 10 x/mnt) tanpa usaha sinkronisasi antara kompresi dan
ventilasi. Kompresi dada tidak dihentikan untuk pemberian
ventilasi.

Setelah selesai memberikan Bantaun Hidup Dasar (BLS) dan dari


hasil pemeriksaan dapatkan sirkulasi, airway dan breathing baik makan
korban berikan posisi recovery position. Posisi sisi mantap dipergunakan
untuk korban dewasa yang tidak sadar yang telah bernafas dengan normal
dan sirkulasi efektif. Posisi ini dibuat untuk menjaga agar jalan nafas tetap
terbuka dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi. Korban
diletakkan pada posisi miring pada salah satu sisi badan dengan tangan
yang di bawah berada di depan badan.
Sumber: AHA, 2015
Sumber: AHA, 2015
H. Penatalaksanaan AED
Defribrilator adalah perangkat yang mengembalikan detak jantung
normal dengan mengirim impuls listrik. Alat ini digunakan untuk
mencegah dan memperbaiki aritmia, denyut nadi yang tidak teraba atau
lemah. Defribrilator juga bisa mengembalikan detak jantung jika terjadi
cardiac arrest. Ada 3 tipe defribrilator yaitu (NHLBI) :
1. AED ( Automated External Defibrillator )
AED adalah perangkat portabel ringan yang dioperasikan dengan
bakteri untuk memeriksa ritme jantung dang mengirim kejut ke jantung
untuk mengembalikan ritme normal. Alat ini digunakan untuk orang yang
mengalami sudden cardiac arrest. Sticky pads dengan sensor disebut
elektroda, yang dilekatkan pada dada pasien. Elektroda mengirim
informasi mengenai irama jantung pada komputer di AED. Komputer akan
menganalisa irama jantung untuk mengetahui apakah diperlukan kejut
listrik. Jika perlu, elektroda memberikan kejutan. AED dapat digunakan
untuk orang dewasa dan anak usia 1 tahun.
2. ICD ( Implantable Cardioverter Defibrillator)
ICD dipasang dengan cara ditempel diperut/dada melalui operasi,
dimana digunakna untuk memeriksa aritmia jantung. Alat sangat
disarankan untuk pasien yang selamat dari caediac arrest.
3. WCD ( Wearable cardioverter Defibrillator)
WCD memiliki sensor yang menempel pada kulit. Sensor ini
memberitahukan kapan aritmia terjadi dan memberi peringatan pada
pengguna WCD digunakan untuk cardiac arrest.

(Automated External Defibrillator)


(Implantable Cardioverter Defibrillator)
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). (2015). Fokus Utama Pembaruan Pedoman


American Heart Association 2015 untuk CPR dan EEC. (Online).
Https://eccguidelines.heart.org. Diakses pada tanggal 16 April 2019

Behram ,Kliegman, Jensen. 2000. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Edisi ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC

Hutabarat & Putra. (2014). Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan. Bogor : In


Media

National Heart, Lung and Blood Institude(NHLBI).tanpa tahun.Defribrilators

(online).Https://www.nhlbi.nih.gov/.Diakses pada tanggal 17 April 2019.

Pusponegoro, D Aryono. 2010. Buku Panduan Basic Trauma and Cardiac Life
Support, Jakarta : Diklat Ambulance AGD 118

Tyas, Maria D. C. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan dan Manajemen


Bencana. Jakarta: Kemenkes

Anda mungkin juga menyukai