Anda di halaman 1dari 11

A.

DEFINISI
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang
berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodulnodul yang terbentuk.
Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse
dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.
Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi
penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Sutadi,
2003).
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan bentuk hati yang
normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran
darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati
membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan
jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang
luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan
ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2001)

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :

1. Sirosis hati kompensata


Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-
gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening. Gejala klinis
yang dapat nampak adalah pireksia ringan, “spider” vaskular, eritama palmaris atau epitaksis yang
tidak dapat dijelaskan dan edema pergelangan kaki. Pembesaran herpar dan limpa merupakan
tanda diagnosis yang bermanfaat pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen dan salah cerna pagi
hari yang samar-samar bisa menjadi gambaran dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai
konfirmasa dapat dilakukan tes biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati aspirasi.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ;
ascites, edema dan ikterus. Gejala-gela yang juga nampak adalah kelemahan, atrofi otot dan
penurunan berat badan, hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam ringan kuntinu (37,5 –
38°C), gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperte teh pekat, sampai dengan koma.

C. EPIDEMIOLOGI
Data prevalensi sirosis hati di Indonesia belum banyak. Di Rumah Sakit dr. Sardjito
Yogyakarta, pada tahun 2004 jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam. Sedangkan penelitian di Pontianak oleh Saefulmuluk tahun 1978 dalam buku
Sulaiman dkk, prevalensi sirosis hati sebesar 0,8% (Sudoyo, 2006)
Penderita sirosis hati di Amerika Serikat sebagian besar adalah laki-laki.4,7 Penelitian Khan
dan Zarif8 di Pakistan dan penelitian Karina, (2007) di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang juga
menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih banyak menderita penyakit ini daripada perempuan.
Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-
50% dan virus hepatitis C sebesar 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan
termasuk kelompok virus bukan B dan C. Sebuah penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa 85,5%
pasien sirosis hati memiliki bukti riwayat pernah terinfeksi virus hepatitis B dan virus hepatitis C.
Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada
datanya (Tambunan, 2013)

D. FAKTOR RISIKO
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering disebutkan antara
lain :
1. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari hasil laporan Hadi di dalam
simposium Patogenesis sirosis hati di Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata
dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan
ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini
ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar, mereka yang tidak bekerja,
pensiunan pegawai rendah menengah.
2. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis hati,
apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam
darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang
besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal
bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan
memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan
hepatitis virus A.
3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau
degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik
yang sering disebut-sebut ialah alkohol.
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada orangorang muda
dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin
pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini
diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan
hati.
5. Hemokromatosis Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu
- Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
- Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan
timbulnya sirosis hati.
6. Sebab-Sebab Lain
- Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler
- Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum
wanita.
- Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik.
Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
- Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50%
kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20% penyebabnya tidak
diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.

E. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:
1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh
lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi.
Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi
sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol
(noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian
lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul
dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus
gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang
kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian
tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur
mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal
ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap
wajah dan keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting)
darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang
mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah
diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah
yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan
membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena
itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan
tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis
ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi
albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai
(terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai,
khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis
kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan
gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala
anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat
yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma
hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis
dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat,
dan pola bicara.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) sebagai berikut:
a. Demografi
- Usia : diatas 30 tahun
- Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan
- Pekerjaan : riwayat terpapar toksin
b. Riwayat Kesehatan
- Riwayat hepatitis kronis
- Penyakit gangguan metabolisme : DM
- Obstruksi kronis ductus coleducus
- Gagal jantung kongestif berat dan kronis
- Penyakit autoimun
- Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
c. Pola Fungsional
- Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
- Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis, penyakit jantung
rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia, bunyi jantung ekstra,
DVJ; vena abdomen distensi.
- Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/ tak adanya
bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
- Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna, mual/ muntah.
Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor buruk, ikterik :
angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan gusi.
- Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak jelas.
- Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas.
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
- Pernapasan
Gejala : Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas
(asites), hipoksia.
- Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis, petekie.
- Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis)
d. Pemeriksaan Fisik
1) Tampak lemah
2) Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
3) Sclera ikterik, konjungtiva anemis
4) Distensi vena jugularis dileher
5) Dada :
- Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
- Penurunan ekspansi paru
- Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
- Disritmia, gallop
- Suara abnormal paru (rales)
6) Abdomen :
- Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
- Penurunan bunyi usus
- Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
- Nyeri tekan ulu hati
7) Urogenital :
- Atropi testis
- Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
8) Integumen : Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
9) Ekstremitas : Edema, penurunan kekuatan otot
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
- Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia
terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai
akibat hiperplenisme.
- Kenaikan kadar SGOT, SGPT
- Albumin serum menurun
- Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
- Pemanjangan masa protombin
- Glukosa serum : hipoglikemi
- Fibrinogen menurun
- BUN meningkat
2) Pemeriksaan diagnostik
Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
- Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
- Esofagoskopi Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
- USG
- Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
- Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
- Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat
yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan
mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat perkembangan
kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine.
b. Hemokromatis Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi
(desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet
rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan
penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya
edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau melena saja)
1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah perdarahan
sudah berhenti atau masih berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100 x/menit
atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin dan
tranfusi darah secukupnya.
3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin pemberian selama
4 jam dapat diulang 3 kali.
c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia.
2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai.
3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik
Mengatur keseimbangan cairan dan garam
DAFTAR PUSTAKA

Awaludin, H. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis. Purwokerto: UMP

Doenges, Marilynn E., dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Alih Bahasa: I Made Kriasa. Jakarta: EGC

Karina. 2007. Faktor Risiko Kematian Penderita Sirosis Hati di RSUP dr. Kariadi Semarang tahun 2002 –

2006. Semarang: Universitas Diponegoro

Price, S. A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed.6. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C., Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &Suddarth. Vol. 2. Ed8.

Jakarta: EGC

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbitan IPD Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sutadi, S. M. 2003. Sirosis Hepatis. Medan: FK USU Bag. Ilmu Penyakit Dalam

(http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf) Diakses 7 Februari 2019

Tambunan, A., Mulyadi, Y., Kahtan, M. I. 2013. Karakteristik Pasien Dirosis Hati di RSUD Dr. Soedarso

Pontianak Periode Januaro 2008 – Desember 2010. Pontianak: Universitas Tanjungpura

Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam “Sirosis Hati” Jilid 1 Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PJBL
FUNDAMENTAL PATOPHYSIOLOGY

“Sirosis Hepatis”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Digestive System

Dosen Pembimbing:

Ns. Ika Setyo Rini S.Kep., M. Kep.

Disusun Oleh:

Dhea Anggraini Rahayu

165070200111027

Kelompok 3 – Reguler 1

PSIK 2016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

Anda mungkin juga menyukai