Anda di halaman 1dari 14

PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi
 Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat)
yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau
trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan
hak (Makhfudli, 2009).
 Kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan
dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah kejahatan.

 Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal
atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).

 Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh


seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal,
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
2000).

 Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).

2. Jenis/Macam

Ada empat sifat kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu: pertama,


kekerasan terbuka (overt) yaitu kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian.
Kedua, kekerasan tertutup (covert) yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak
dilakukan langsung seperti perilaku mengancam. Ketiga, kekerasan agresif yaitu
kekerasan yang tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu.
Keempat, kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri.

Berdasarkan penggolongannya bentuk kekerasan terbagi lagi kedalam tiga


golongan, yaitu :

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial


terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan
orang lain.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali, akibat yang
dirasakan korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi
orang lain. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh pada situasi perasaaan
yang tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat
korban. Wujud kongkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah
pengunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan
orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman
dengan kata-kata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut
biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga,
dan lemah dalam membuat keputusan. Kekerasan yang memiliki sasaran
pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan
kemampuan normal jiwa. Contoh : kebohongan, indoktrinasi, ancaman,
dan tekanan.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan yang berupa perilakuan tidak senonoh dari orang lain,
kegiatan yang menjurus pada demografi, perkataan perkataan porno,
dan melibatkan anak dalam proses prostitusi dan lain sebagainya.
Termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul
dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan
seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta
meninggalkan termasuk mereka yang tergolong masih berusia
anak-anak. Setelah melakukan hubungan seksualitas segala perilaku
yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak
baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun lingkungan sekitar
tempat tinggal anak termasuk dalam kategori kekerasan ini.

3. Tanda gejala

Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:

 Fisik : Muka merah dan tegang Mata, melotot/ pandangan tajam ,Tangan
mengepal , Rahang mengatup , Postur tubuh kaku , Jalan mondar-mandir

 Verbal : Bicara kasar ,Suara tinggi, membentak atau berteriak , Mengancam


secara verbal atau fisik ,Mengumpat dengan kata-kata kotor , Suara keras , Ketus,

 Perilaku : Melempar atau memukul benda/orang lain ,Menyerang orang lain ,


Melukai diri sendiri/orang lain ,Merusak lingkungan ,Amuk/agresif ,

 Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut

 Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

 Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.

 Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.

 Perhatian : Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

Menurut Keliat (2006) adalah:


 Pasien mengatakan benci / kesal dengan seseorang
 Suka membentak
 Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau kesal
 Mata merah dan wajah agak merah
 Nada suara tinggi dan keras
 Bicara menguasai
 Pandangan tajam
 Suka merampas barang milik orang lain
 Ekspresi marah saat memnicarakan orang
4. Fase

Fase-fase Perilaku Kekerasan


1) Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor
yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap
kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi,
pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi.
Pada fase ini pasien dan keluarga baru datang.
2) Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan
respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan pasien memuncak, dan belum
terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif pasien gangguan
psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan
penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak
efektif.
3) Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation
gagal mencapai tujuannya. Pada fase ini pasien sudah melakukan tindakan
kekerasan.
4) Settling phase
Pasien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin
masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
5) Post crisis depression
Pasien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus
pada kemarahan dan kelelahan.
6) Return to normal functioning
Pasien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan
kelelahan.
5. Pesikopatologi

Etiologi
Menurut Yosep (2007), beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan adalah:
1. Faktor predosposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
a. Neurobiologik
Ada tiga area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif, yaitu sistem
limbik, lobus frontal, dan hipotalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam
memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori, apabila ada gangguan pada sistem ini maka
akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan, apabila gangguan
pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif, dan pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b. Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
c. Gangguan Otak
Sindroma otak terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal. Trauma otak
akan menimbulkan perubahan serebral dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi,
khususnya pada lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rasa aman yang dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
rendah. Agresif dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orangtuanya. Contoh peran
tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu
yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan
anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Terdapat kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh
pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan
keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai atau
padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2007), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan adalah:
1) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
2) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan
dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam
menyelesaikan konflik.
3) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
4) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan
sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku
kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat
dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu
runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Perilaku yang tidak
asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-
pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap.
Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,2000)
Faktor predisposisi Faktor presipitasi

1) Teori Biologik Ekspresi dari tidak terpenuhinya

2) Teori Psikologik kebutuhan dasar

3) Teori Kesulitan dalam mengkomunikasikan


Sosiokultural sesuatu dalam keluarga
Adanya riwayat perilaku anti sosial
Kematian anggota keluarga yang
terpenting

Stress, cemas, tidak nyaman


Gangguan Harga Diri : Harga Diri
Rendah
Marah

Eksternal Internal Depresi

Destruktif Tidak Konstruktif


Asertif

Kekerasan

Perilaku Kekerasan/amuk

Resiko mencederai diri,


orang lain dan lingkungan
6. Pemeriksaan
Pemeriksaan diagnostik
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobiologis, memilih pengobatan, dan  memonitor respon klinis (Maramis,
2009, hlm. 205).
Menurut Doenges (1995, hlm. 253), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala reversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian
tes diagnostik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan Skizofrenia berupa
abnormalitas otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan
rasio ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal superior).
c) Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d) Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada daerah otak yang bervariasi
e) Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap ransangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan menurun,
kadang-kadang di lobus frontal dan sistem limbik.
f) Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat),
yang mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengindikasikan
area pengobatan yang diperlukan.
g) Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.

7. Asuhan Keperawatan

Pengkajian 
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
melalui data biologis, psikologis, social dan spiritual (Keliat, Budi Ana, 1998). Adapun isi
dari pengkajian tersebut adalah :
1) Identitas klien.
Melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang : nama mahasiswa, nama
panggilan, nama klien, nama panggilan klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik
yang akan dibicarakan. Tanyakan dan catat usia klien dan No RM, tanggal pengkajian
dan sumber data yang didapat.
2) Alasan masuk
Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang, atau dirawat di rumah sakit. Klien
menyendiri, tidak mampu manatap lawan bicara, merasa tidak mampu.
3) Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil pengobatan
sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan criminal.
Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah ada yang mengalami gangguan jiwa,
menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak menyenangkan.
4) Pemeriksaan fisik
Peningkatan tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada klien dengan perilaku
kekerasan tekanan darah meningkat, RR meningkat, nafas meningkat, muka merah,
tonus meningkat, dan dilatasi pupil
5) Psikososial
a. Genogram. Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola
komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh
b. Konsep diri: klien dengan perilaku kekerasan mengenai kekerasan mengenai
gambaran diri ialah pandangan tajam tangan mengepal, muka merah. Klien dengan
PK biasanya identitas dirinya ialah moral yang kurang karena pendendam, pemarah,
dan bermusuhan. Fungsi peran pada klien perilaku kekerasan terganggu karena
adanya perilaku yang mencederai diri sendiri dan orang lain. Klien dengan PK
cenderung menunjukkan amarah.
c. Hubungan social.: pada perilaku PK adanya mencederai diri sendiri dan orang lain
dan lingkungan serta amarahnya tidak terkontrol. Dan mengkaji adanya hubunagan
kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat.
d. Spiritual. Nailai keyakinan , kepuasan dalam menjalankan keyakinan.
6) Status mental
a. Penampilan. Klien kurang memperhatikan perawatan diri.
b. Pembicaraan. Amati pembicaraan klien apakah cepat, keras, terburu-buru, gagap,
sering berhenti. Pada klien PK cenderung kasar suara tinggi ketus membentak dan
berbicara kotor.
c. Aktivitas motoric. Klien perilaku kerasan terlihat tegang dan gelisah muka merh,
jaln mondar mandir.
d. Afek dan Emosi. Emosinya cenderung labil dan berubah-ubah mudah mengamuk
dan cenderung membanting barang melukai diri sendiri maupun orang lain
e. Interaksi selama wawancara. Selama interaksi klien cenderung mudah marh
pendapatnya merasa paling benar, curiga,sinis dan menolak kasar.
f. Proses piker
1. Arus pikir. Bloking : pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan dari luar
kemudian dilanjutkan kembali
2. Bentuk fikir. Otistik: bentuk pemikiran yang berupa fantasia tau lamunan untuk
memuaskan keinginan yang tidak dapat dicapai.
3. Isi pikir. Merasa bersalah dan pesimis
g. Tingkat kesadaran. Composmentis, namun ada gangguan orientasi terhadap orang
lain.
h. Memori. Mampu mengingat memori jangka panjang ataupun jangka pendek
i. Tingkat konsentrasi. Menurun Karena merasa tidak mampu
j. Kemampuan penilaian/pengambilan keputusan. Sulit.
k. Daya tilik diri. Mengingkari penyakit yang diderita : klien tidak menyadari gejala
penyakit (perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu minta
pertolongan / klien menyangkal keadaan penyakitnya, klien tidak mau bercerita
tentang penyakitnya. Menyalahkan hal-hal diluar dirinya : menyalahkan orang lain
atau lingkungan yang menyebabkan timbulnya penyakit atau masalah sekarang
7) Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memenuhi kebutuhan
b. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
8) Pola dan mekanisme koping
Data didapat melalui wawancara dengan klien atau keluarganya. Adaptif atau
maladaptif.
Pohon Masalah
Resiko mencederai diri

Perilaku kekerasan

Ganguan harga diri : harga diri rendah

Koping individu tidak efektif Koping keluarga tidak efektif

Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri; orang lain dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
4. Koping individu tidak efektif

Daftar Pustaka
1. Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa: Teori dan Tindakan Keperawatan Edisi 1. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
2. Keliat, Ana Budi. 2006. Manajemen Keperawatan Psikososial Dan Kader Kesehatan
Jiwa. Jakarta: EGC
3. Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
4. Makhfudli, Effendi Ferry. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik.
Jakarta: Salemba Medika: 2009.
5. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga.
6. Rohman Fadhlur. Tinjauan Viktimologis Terhadap Kekerasan Fisik Yang Dilakukan
Oleh Oknum Guru Di Dalam Lingkungan Sekolah. Makassar: Universitas Hasanuddin;
2013.
7. Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit :
Buku Kedokteran EGC ; Jakarta.
8. Yosep Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama Maramis
9. Yosep Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama Maramis

Anda mungkin juga menyukai