Anda di halaman 1dari 9

A.

Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
(Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus
yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Widodo,
2006). Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Faktor- faktor
yang mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin.
Infeksi demam tifoid ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem
retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses, dan ulserasi plaque
peyeri di distal ileum (Putra, 2012).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan
demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai pada demam tifoid maupun
demam paratifoid (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

B. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara
luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang
tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di
Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik (Putra, 2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003, terdapat 17 juta
kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000
kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Angka kejadian penyakit demam
tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai
1.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Demam tifoid terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan
kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
(Lestari, 2011).

Berdasarkan Data Surveilans tahun 2007, angka kejadian demam tifoid tahun
2007 berjumlah sangat tinggi yaitu sebesar 110,7 per 100.000 penduduk. Propinsi
Lampung merupakan propinsi di seluruh Indonesia yang merupakan insiden demam
tifoid yang tertinggi sebesar 344,7 per 100.000 penduduk (Harahap, 2011).
C. Faktor Risiko

Faktor risiko seseorang terkena tifoid (KEMENKES RI, 2006) :

a. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya mencuci tangan yang tidak biasa
b. Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid, diantaranya : makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi (sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk
dengan tinja manusia, makanan yang tercemar debu, sampah, dihinggapi lalat, air
minum yang tidak dimasak, dan sebangainya
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid

D. Klasifikasi
Berdasarkan jenis bakteri yang menginfeksi, dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebakan oleh bakteri
Salmonella Typhi biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna , gangguan kesadaran
S. typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:
a) Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
b) Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol.
c) Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis (Harahap, 2011). Selain itu, S. typhi
juga dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum.
Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin
(Putra, 2012). Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin (Harahap, 2011).
d) Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar
yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier
fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma,
selain itu juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin
yang sebagian besar terdiri dari protein urin, berperan pada patogenesis
demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme
responimun penjamu. Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya
belum diketahui pasti (Putra, 2012).
2) Paratypus adalah jenis typus yang lebih ringan penyebabnya adalah bakteri
Salmonella Paratyphi , mungkin sesekali penderita mengalami buang - buang air.
Jika diamati, lidah tampak berselaput putih susu, bagian tepinya merah terang. Bibir
kering , dan kondisi fisik tampak lemah , serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut ,
mungkin muncul gejala kunin,sebab pada tipus oragan limfa dan hati bias
membengkak seperti gejala hepatitis

E. Patogenesis
Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan selanjuntnya berkembang
biak (Widodo, 2006). Di usus terjadi produksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral
lokal yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis
kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman
intraseluler (Astuti, 2013).
Bila respons imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika
(Widodo, 2006).
Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dan disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi (Widodo, 2006).
Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer yang hiperplasia
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila
sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong
sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan
bahkan perforasi (Rampengan, 2008).
PATHWAY
F. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Widodo, 2006).
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis (Widodo, 2006). Pada orang dewasa, umumnya
konstipasi dijumpai pada awal penyakit (Nelwan, 2012). Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam pada demam tifoid adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari (Widodo,
2006).
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan gangguan
kesadaran (somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis) (Widodo, 2006).
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu
pertama (suhu berkisar 39-40 oC), terutama pada sore dan malam hari (febris
remiten). Pada minggu kedua dan ketiga, demam terus-menerus tinggi dan (febris
kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak
menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis (Astuti, 2013).

G. Pemeriksaan Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu, dibutuhkan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis yang berupa
pemeriksaan rutin, uji widal, dan kultur darah (Widodo, 2006).
Pada pemeriksaan rutin sering ditemukan hitung leukosit rendah (leukopenia),
anemia ringan, jumlah trombosit menurun (trombositopenia), laju endap darah (LED)
pada demam tifoid dapat meningkat, SGOT dan SGPT sering meningkat (Widodo, 2006),
dan hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif (Astuti, 2013).
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen
bakteri Salmonella typhi atau paratyphi. Pada uji ini, hasil dikatakan positif jika terjadi
reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu,
antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile aglutinin. Hasil positif palsu dapat disebabkan
karena riwayat vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceac sp),
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu
dapat disebabkan karena sudah mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah
kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain (Astuti,
2013).
Pada pemeriksaan uji widal, yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid adalah
hanya aglutinin O dan H. Semakin tinggi titernya, semakin besar terjadinya kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-
empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, dan kemudian diikuti dengan aglutinin H (Widodo, 2006).
Saat ini walaupun uji widal telah digunakan secara luas, namun belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point) (Hosoglu, Bosnak, Akalin, Geyik,
Ayaz, 2008). Nilai standar agglutinin Widal untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia
adalah di Yogyakarta titer O > 1/160, Manado titer O > 1/80, Jakarta titer O > 1/80,
Maksaar titer O > 1/320 (Rachman, 2011). Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi
kenaikan titer 4 kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan (Astuti, 2013).
Hasil pemeriksaan tes widal dianggap positif mempunyai arti klinis sebagai
berikut (Koasih, 1984):
a. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam tifoid,
kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi.

b. Titer antigen O diatas 1/60 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid

c. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid, kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi.

d. Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid

Tanda dan gejala yang tidak spesifik membuat diagnosis klinis demam tifoid
menjadi sulit. Kultur darah adalah metode diagnosis standar yang hasilnya positif 60-80
% pada pasien tifoid. Sensitivitas dari kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama
sakit. Kultur sumsum tulang lebih sensitif hasilnya 80-95% pada pasien tifoid. Pada kultur
feses, hasilnya positif 30% pada pasien dengan akut demam tifoid (Parry et al, 2002).
Selain dari kultur yang positif, tidak ada tes laboratorium lain untuk diagnosis
demam tifoid. Leukopenia dan neutropenia terdetekasi 15-25% pada kasus. Diagnosis
defenitif demam tifoid dengan isolasi dari Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
darah, sumsum tulang, rose spots¸ dan feses. Sensitivitas dari kultur darah mencapai
90% selama minggu pertama terinfeksi dan menurun sampai 50% pada minggu ketiga.
Sensitivitas kultur sumsum tulang mencapai 90%. Ada juga tes serologi termasuk The
classic Widal test (Fauci et al, 2008).
H. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk
dilakukan (Nelwan, 2012). Trilogi penatalaksanaan demam tifoid yang dimaksud, yaitu
(Widodo, 2006) :
1) Istirahat dan perwatan. Tirah baring dengan perawatan sepenunhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan, perlu dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah dekubitus dan penumonia.

2) Diet dan terapi penunjang cukup penting karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
peyembuhan akan menjadi lama. Ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan dan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus maka
diberikan bubur saring. Namun beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari
sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.

3) Pemberian antimikroba yang sering digunakan adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol,


Kotrimoksazol, Ampisilin dan Amoksisilin, Sefalosporin Generasi Ketiga, Golongan
fluorokuinolon, dan Kortikosteroid. Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin,
ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan
klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan
fecal karier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang
sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta
mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain
(Nelwan, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid

WHO. 2003. Diagnosis of Typhoid Fever.

Astuti. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro. Semarang. 2013.

Putra. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Lestari. 2006. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Widodo Darmowandoyo. 2006. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak

Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama.. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FKUI: 367-375

Harahap. 2011. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.

Cetakan pertama.. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46

Anda mungkin juga menyukai