TINJAUAN PUSTAKA
Rumah sakit memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami kondisi serangan jantung sampai terjadi
cardiac arrest baik terjadi di rumah sakit (IHCA) atau terjadi di luar rumah sakit
(OHCA). Menurut AHA (2015) cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
tiba-tiba dan mendadak, dapat terjadi pada seseorang yang sudah terdiagnosa penyait
jantung ataupun tidak. Kejadian cardiac arrest tidak dapat diprediksikan, terjadi dengan
cepat begitu gejala dan tanda muncul.
Keberhasilan dalam penanganan pasien yang mengalami cardiac arrest untuk
kelangsungan hidup pasien sangat bervariasi antara IHCA dan OHCA, hal ini didasarkan
pada berbagai faktor, termasuk didalamnya adalah etiologi IHCA dan OHCA, populasi
pasien yang terkena dan komordibitas, jarak antara pasien dengan tempat pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan dan staf rumah sakit yang terlatih dan profesional. Tujuan
mendasar dari proses penanganan cardiac arrest adalah pasien mengalami kembalinya
sirkulasi spontan (ROSC), mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor yang
memicu terjadinya kembali, memperbaiki pasca cardiac arrest dan pemulihan
neurologis membaik, serta penanganan kegagalan organ multisistem. Penanganan pasca
resusitasi yang terkoordinasi, memiliki kualitas yang tinggi serta komprehensif, serta
status neurologis yang membaik dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien
(Graham, et al, 2015; Knafelj, et al, 2007 & Sunde, et al, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cardiac arrest merupakan
hilangnya fungsi jantung yang mendadak dimana kejadiannya tidak dapat diprediksi dan
terjadi begitu cepat ketika tanda dan gejala muncul. Peran rumah sakit sangat penting
dalam menyediakan pelayanan kesehatan berupa sarana dan prasarana yang memadai
sehingga kelangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest menjadi lebih baik.
B. Etiologi Cardiac Arrest
Cardiac arrest dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem listrik jantung,
sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang paling umum terjadi pada
cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac arrest dapat diubah apabila jika CPR
(Cardiopulmonary resucitation) dilakukan dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan
jnatung dan mengembalikan irama jantung yang normal dalam beberapa menit. Cardiac
arrest dapat disebabkan oleh semua hampir gangguan pada jantung yang dikenal.
Penyebab yang paling umum adalah :
Menurut (Muttaqin, 2012) terdapat beberapa penyabab lain dari henti jantung,
yaitu:
Pemutusan pemasokan oksigen di otak dan seluruh organ dapat dikatakan sebagai
penyebab ataupun konsekuensi dari henti jantung. Secara medis, keadaan kurangnya
oksigen dalam otak disebut hipoksia yang sebabkan adanya gangguan fungsi respirasi
atau gangguan pertukaran gas di paru. Hipoksia dapat terjadi akibat gangguan jalan
napas, misalnya ada sumbatan pada pangkal lidah di hipofaring pada orang yang
kesadarannya menurun, atau hipoksia juga dapat terjadi pada kasus sumbatan napas
yang dikarena aspirasi isi lambung dan/atau cairan lambung. Selain itu, dapat pula
disebabkan oleh depresi pernafasan atau keracunan, kelebihan obat, bahkan
kelumpuhan otototo pernafasan.
2. Sirkulasi
Syok hipovolemik yang terjadi karena pendarahan dapat menjadi penyebab henti
jantung. Ketika syok hipovolemik terjadi, tubuh kekurangan plasma dan cairan
vascular, hal tersebut mengakibatkan penurunan transport oksigen ke organ-organ
sehingga dapat mengakibatkan henti jantung. Selain itu, reaksi anafilatik terhadap
obat juga dapat menjadi penyebab henti jantung.
Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF primer dan sekunder. VF
primer terjadi karena tidak adanya disfungsi ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik
dan ditemukan pada sekitar 5% pasien dengan infark miokard akut (IMA).
Mayoritas episode VF primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA, dan 80%
terlihat dalam awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat terjadi karena komplikasi dari
gagal jantung akut, syok kardiogenik, atau keduanya, dan terjadi pada sampai
dengan 7% dari pasien IMA (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick,
2013).
Ventrikel takikardi biasanya berasal dari fokus khusus dalam miokardium ventrikel
atau di jalur konduksi infranodal. VT dapat dibedakan menjadi monoformik dan
poliformik. VT menyumbang sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan
jantung dan memiliki prognosis yang paling menguntungkan. Hal ini relatif jarang
terjadi hasil kejadian dari awal penampilan dengan degenerasi yang cepat. Jika
terapi tidak dimulai dalam peristiwa henti jantung, ritme ini cepat dekompensasi
menjadi irama yang lebih ganas seperti VF atau asistol (Brady, et al, 2012, Sudono,
2010, Boswick, 2013).)
2. Gambaran Klinis
Hasil diagnosis ventrikel fibrilasi dalam EKG atau electrokardiograpi pada pasien
tanpa nadi dan apnea dengan adanya amplitudo rendah dan aktivitas listrik yang
kacau. Tingkat defleksi biasanya antara 200 dan 500 depolarisasi permenit.
Morfologi, VF dibagi menjadi kasar dan halus. VF yang kasar cenderung terjadi
lebih awal setelah serangan jantung, ditandai dengan amplitudo tinggi atau kasar,
bentuk gelombang, dan memiliki prognosis yang lebih baik dari pada VF halus
(Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).
Ventrikel takikardi ditandai dengan durasi kompleks QRS lebih besar dari 0,12
detik dan tingkat ventrikel lebih besar dari 100 atau 120 denyut / menit.
Monoformik ventrikel takikardi di identifikasi ketika masing-masing gelombang
berturut-turut memiliki morfologi tunggal. Kecepatannya biasanya antara 140 dan
180 denyut / menit dan sangat teratur. Sedangkan polimormik ventrikel takikardi
ditandai dengan kompleks QRS sering berubah. Kompleks QRS cenderung lebih
besar dari 0,12.
Kecepatannya biasanya lebih cepat dari MVT, dengan kisaran 150-300 denyut /
menit (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).
3. Patofisiologi VF dan VT
Ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi merupakan disritmia yang paling sering
muncul sebagai akibat dari keruskan miokard (yaitu IMA, miokarditis,
kardiomiopati), toksisitas obatatau kelainan elektrolit. Patofisiologi tersebut
biasanya mencakup fenomena menarik atau penggerak otomatis. Sebuah jalur dalam
miokardium ventrikel adalah sumber yang paling umum. Itu merupakan sifat dari
jalur reentry yang melibatkan dua jalur konduksi dengan karakteristik yang berbeda,
jalur reentry yang menyediakan substrat untuk VT dan VF umumnya terjadi di zona
iskemia akut atau kronis jaringan parut. Dysrhytmia ini biasanya dimulai oleh
denyut ektopik, meskipun sejumlah faktor lainnya dapat menjadi penyebab utama,
termasuk iskemia koroner akut, gangguan elektrolit dan dysautonomia. Automaticity
dipicu dari sekelompok sel yang didapat dari hasil berbagai anomali jantung,
termasuk penyakit jantung kongenital, penyakit jantung bawaan, gangguan
elektrolit, dan toksisitas obat (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick,
2013).
Pulseless Electrical Activity merupakan indikasi dari kejadian medis yang sangat
serius yang mendasari, seperti hipovolemia mendalam, infark miokard masif, emboli
paru luas, tachydysrhytmia elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi ini
biasanya mencakup takikardi, terutama takikardia sinus atau fibrilasi atrium dengan
respon ventrikel yang cepat. Suatu pendekatan terapi mengarah disertai dengan
resusitasi agresif akan memberikan penderita dengan pseudo-dengan pseudo-PEA
dengan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup (Brady, et al, 2012)
1) Gambaran klinis PEA
Pulseless Electrical Activity (PEA) memiliki kombinasi unik dari tidak ada
aktivitas jantung mekanik (keadaan tanpa nadi) dengan aktivitas persisten
jantung listrik yaitu irama jantung. Kejadian PEA biasanya dimulai dengan
gangguan perfusi dan berkembang menjadi pseudo-PEA dengan kontraksi
jantung lanjutan. Tidak adanya nadi yang bisa dilihat diikuti dengan hilangnya
aktivitas mekanik jantung akan menghasilkan perkembangan PEA sebenarnya
(Brady, et al, 2012).
2) Patofisiologi PEA
5. Asistol
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung dan biaasanya hasil dari
kegagalan pembentukan impuls di primer (node senoatrial) dan standar
(atrioventrikular node dan miokardium ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol
juga bisa disebabkan oleh kegagalan penyebaran impuls ke miokardium ventrikel
dari jaringan atrium (Brady, et al, 2012).
a. Gambaran klinis asistol
Pada asistol gambaran dari elektrokardiogram menunjukkan garis datar atau garis
hampir rata. Mengombak minimal gelombang yang dihasilkan dari
elektrokardiografi pergeseran awal dapat dilihat. Beberapa penyebab harus
dihindari dalam manifestasi asistolik, termasuk memantau kerusakan, pemutusan
lead elektrokardiografi, dan VF halus dengan amplitudo minimal dalam menjelang
pencitraan. Kesalahan potensial terakhir dapat dideteksi dengan mengkonfirmasi
asostol dengan setidaknya dua lead yang berorientasi dalam mode tegak lurus
(Brady, et al, 2012).
Gambar Asistol
b. Patofisiologi asistol
Rantai kelangsungan hidup pada pasien yang mengalami cardiac arrest di lingkup rumah
sakit menurut AHA 2015 terdiri dari Surveillance and prevention (Pengawasan dan
pencegahan), Recognition and activation of the emergency respons system (Pengenalan
dan pengaktifan sistem tanggap darurat), Immediate high-quality CPR (CPR berkualitas
tinggi secepatnya), Rapid defibrilation (Defibrilasi cepat) dan Advance life support and
postarrest care (Bantuan hidup lanjutan dan perawatan pasca serangan jantung).
1. Surveillance and prevention
Sistem perawatan pasien yang mengalami cardiac arrest di rumah sakit mengandalkan
sistem pengawasan yang sesuai (sistem peringatan
dini) untuk mencegah serangan jantung. Ketika ada pasien yang mengalami serangan
jantung maka mengandalkan interaksi sempurna dari berbagai unit dan layanan
institusi serta bergantung pada tim multidisplin yang profesional termasuk dokter,
perawat, ahli terapi pernapasan dan sebagainya.
Peran tim respon cepat sangat diperlukan pada penanganan serangan jantung yang
terjadi di rumah sakit. Tim ini wajib menanggapi kebutuhan resusitasi dan dilatih
untuk menggunakan peralatan dan teknik resusitasi. Tim ini terdiri dari dokter,
perawat, petugas keamanan, terapis pernapasan, apoteker. Tim ini dibentuk untuk
menanggapi kerusakan klinis yang teridentifikasi pada pasien sebelum terjadinya
serangan jantung (Morrison et al, 2013).
Penanganan pada kasus cardiac arrest atau henti jantung yang paling utama
adalah pemberian bantuan hidup dasar yang dilakukan untuk mempertahankan proses
kehidupan pada penderita yang mengalami keadaan mengancam jiwanya. Tindakan
yang diberikan pada bantuan hidup dasar adalah cardio pulmonary ressucitation
(CPR). Proses CPR yang baik berupa high quality CPR mampu mempertahankan
kelangsungan hidup pasien. Menurut Cave (2010) mengungkapkan bahwa high
quality CPR merupakan proses CPR yang diberikan dengan kedalaman dan kecepatan
yang tepat, kesempatan recoil dada secara penuh, tidak adanya intrupsi atau gangguan
secara minimal serta menghindari pemberian ventilasi secara berlebih sehingga tujuan
yang diharapkan terpenuhi yaitu return of spontaneous circulation (ROSC).
Gambar 2.1
5. Jika tidak teraba denyut nadi dan tidak bernafas segera lakukan
resusitasi jantung dan paru (RJP) atau CPR. dengan kompresi dada
(COMPRESSIONS). Agar kompresi dada efektif, korban harus
dalam posisi terlentang pada
permukaan yang rata dan keras.
9. Ulangi lagi 30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan nafas atau
sekitar 5 kali siklus/pengulangan, dengan setiap 2 menit lakukan
pengecekan nadi carotid/leher dan nafas kembali.
10. CPR baru bisa dihentikan saat korban memberi respon (biasanya
terbatuk) atau mulai bernapas lagi, atau saat penolong tidak mampu
lagi memberikan pertolongan, atau saat tim medis sudah datang, dan
atau sudah ada keputusan dari dokter.
4. Rapid defibrilation
Pemberian defibrilasi yang cepat dan sesuai dengan indikassi yang muncul
pada klinis pasien mampu meningkatkan kelangsungan hidup pasien menjadi ROSC.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian resusitasi jantung paru secepatnya,
kondisi irama EKG yang menunjukkan adanya ventrikel fibrilasi atau ventrikel
takikardi diberikan shockable, serta pemasangan dini IV line yang berfungsi untuk
pemberian obat-obatan emergency mampu meningkatkan terjadinya ROSC
(Rittenberger, et al 2007; Rittenberger, et al 2008; Forcina, et, al 2009; Santosa, et al
2016)
Defibrilasi merupakan tindakan yang sangat penting dalam penanganan pasien
henti jantung. Irama yang sering terdeteksi pada pasien henti jantung adalah
ventrukuler fibrilasi (VF), dan terapi yang terpenting adalah defibrilasi elektrik.
Keberhasilan defibrilasi akan menurun ketika henti jantung berjalan lama, dan VF
akan cenderung berubah menjadi asistol dalam beberapa menit. Angka kematian akan
meningkat 7 – 10% untuk setiap menit yang terlewati pada pasien henti jantung tanpa
dilakukan resisutasi. Untuk menangani henti jantung akibat VF, penolong harus
mampu mengabungkan resusitasi jantung paru dengan penggunaan defibrilator
(Sudoyo, 2010).
Gambar
Bantuan hidup berkelanjutan untuk pasien serangan jantung yang mencapai ROSC
harus diberikan dengan baik. Observasi secara komprehensif harus dilakukan
untuk mengenali adanya tanda dan gejala serangan jantung berulang.
F. Perawatan Post Cardiac Arrest
Pencapaian suhu target 32-34°C telah tercapai maka fase kedua yaitu fase
pemeliharaan dimulai dan dipertahankan selama 12 sampai 24 jam. Infusi dingin
dapat dihentikan, dan hanya dilakukan pemeliharaan suhu dengan bongkahan es dan
selimut/handuk dingin. Setelah 12-24 jam hipotermi, mulai dilakukan fase ketiga
yaitu penghangatan. Penghangatan yang dilakukan dengan kecepatan 0,25°C sampai
0,5°C per jam. Fase hipotermi ke normotermia dapat berpengaruh terhadap
hemodinamik, metabolisme, kadar elektrolit, dan efek obat. Selama terapi hipotermi,
pemantauan dan optimasi oksigenasi, ventilasi dan hemodinamik tetap dilakukan.
2. Manajemen Hemodinamik
3. Terapi Vasopressor
Tidak
Pertimbangkan hipotermia Mengikuti instruksi
Ya
Tidak
Advand critical care
American Heart Association. (2010). American Hearth Association Guide lines For
Cardiopulomonary Resuscitation and Emergency Cardiov askular Care. AHA
Journals.
American Heart Association. (2014). American Hearth Association Guide lines For
Cardiopulomonary Resuscitation and Emergency Cardiov askular Care. AHA
Journals, 122 (4):676-684
Alhidayat, N,A., Rahmat, A., Simunati. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat
Instalasi Gawat Darurat tentang Pengkajian terhadap Pelaksanaan Tindakan Life
Support di Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Vol. 2, No. 4
American Heart Association (2015). About Cardiac Arrest (SCA) Face Sheet, CPR
Statistics.http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/
AboutCardia UCM 307905 Article.jsp.
Tim keperawatan gawat darurat. (2013). Buku praktik laboratorium standar operating
procedur (SOP) praktik keperawatan gawat darurat. Purwokerto: Fikes UMP
Uscher, J. (2014). Sudden Cardiac Arrest: Why it happens. Ejournal Keperawatan, 3(21):
81.