Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Cardiac Arrest

Rumah sakit memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami kondisi serangan jantung sampai terjadi
cardiac arrest baik terjadi di rumah sakit (IHCA) atau terjadi di luar rumah sakit
(OHCA). Menurut AHA (2015) cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
tiba-tiba dan mendadak, dapat terjadi pada seseorang yang sudah terdiagnosa penyait
jantung ataupun tidak. Kejadian cardiac arrest tidak dapat diprediksikan, terjadi dengan
cepat begitu gejala dan tanda muncul.
Keberhasilan dalam penanganan pasien yang mengalami cardiac arrest untuk
kelangsungan hidup pasien sangat bervariasi antara IHCA dan OHCA, hal ini didasarkan
pada berbagai faktor, termasuk didalamnya adalah etiologi IHCA dan OHCA, populasi
pasien yang terkena dan komordibitas, jarak antara pasien dengan tempat pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan dan staf rumah sakit yang terlatih dan profesional. Tujuan
mendasar dari proses penanganan cardiac arrest adalah pasien mengalami kembalinya
sirkulasi spontan (ROSC), mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor yang
memicu terjadinya kembali, memperbaiki pasca cardiac arrest dan pemulihan
neurologis membaik, serta penanganan kegagalan organ multisistem. Penanganan pasca
resusitasi yang terkoordinasi, memiliki kualitas yang tinggi serta komprehensif, serta
status neurologis yang membaik dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien
(Graham, et al, 2015; Knafelj, et al, 2007 & Sunde, et al, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cardiac arrest merupakan
hilangnya fungsi jantung yang mendadak dimana kejadiannya tidak dapat diprediksi dan
terjadi begitu cepat ketika tanda dan gejala muncul. Peran rumah sakit sangat penting
dalam menyediakan pelayanan kesehatan berupa sarana dan prasarana yang memadai
sehingga kelangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest menjadi lebih baik.
B. Etiologi Cardiac Arrest

Cardiac arrest dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem listrik jantung,
sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang paling umum terjadi pada
cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac arrest dapat diubah apabila jika CPR
(Cardiopulmonary resucitation) dilakukan dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan
jnatung dan mengembalikan irama jantung yang normal dalam beberapa menit. Cardiac
arrest dapat disebabkan oleh semua hampir gangguan pada jantung yang dikenal.
Penyebab yang paling umum adalah :

Dalam (Andrianto, 2020) menjabarkan henti jantung disebabkankarena adanya


gangguan pada kelistrikan jantung yang menyebabkan keadaan-keadaan mengancam
jiwa misalnya seperti aritmia maligna ataubadanya masalah pada irama jantung. Selain
itu, cardiac arrest atau hentibjantung juga dapat dipicu oleh kelainan yang reversible,
seperti hipoksia, hipovelemia, hiportemia, tension pneumothorax, tamponade cardiac,
dan hydrogen ion (asidosis).

Menurut (Muttaqin, 2012) terdapat beberapa penyabab lain dari henti jantung,
yaitu:

1. Disebabkan karena pernafasan

Pemutusan pemasokan oksigen di otak dan seluruh organ dapat dikatakan sebagai
penyebab ataupun konsekuensi dari henti jantung. Secara medis, keadaan kurangnya
oksigen dalam otak disebut hipoksia yang sebabkan adanya gangguan fungsi respirasi
atau gangguan pertukaran gas di paru. Hipoksia dapat terjadi akibat gangguan jalan
napas, misalnya ada sumbatan pada pangkal lidah di hipofaring pada orang yang
kesadarannya menurun, atau hipoksia juga dapat terjadi pada kasus sumbatan napas
yang dikarena aspirasi isi lambung dan/atau cairan lambung. Selain itu, dapat pula
disebabkan oleh depresi pernafasan atau keracunan, kelebihan obat, bahkan
kelumpuhan otototo pernafasan.

2. Sirkulasi

Syok hipovolemik yang terjadi karena pendarahan dapat menjadi penyebab henti
jantung. Ketika syok hipovolemik terjadi, tubuh kekurangan plasma dan cairan
vascular, hal tersebut mengakibatkan penurunan transport oksigen ke organ-organ
sehingga dapat mengakibatkan henti jantung. Selain itu, reaksi anafilatik terhadap
obat juga dapat menjadi penyebab henti jantung.

C. Klasifikasi Cardiac Arrest

Menurut American Heart Association (2010) mengungkapkan cardiac arrest dapat


disebabkan oleh empat irama yaitu ventrikel fibrilasi (VF), ventrikel takikardi (VT),
pulseless electric activity (PEA), dan asystole.
1. Ventrikel Fibrilasi dan Ventrikel takikardi

Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF primer dan sekunder. VF
primer terjadi karena tidak adanya disfungsi ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik
dan ditemukan pada sekitar 5% pasien dengan infark miokard akut (IMA).
Mayoritas episode VF primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA, dan 80%
terlihat dalam awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat terjadi karena komplikasi dari
gagal jantung akut, syok kardiogenik, atau keduanya, dan terjadi pada sampai
dengan 7% dari pasien IMA (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick,
2013).

Ventrikel takikardi biasanya berasal dari fokus khusus dalam miokardium ventrikel
atau di jalur konduksi infranodal. VT dapat dibedakan menjadi monoformik dan
poliformik. VT menyumbang sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan
jantung dan memiliki prognosis yang paling menguntungkan. Hal ini relatif jarang
terjadi hasil kejadian dari awal penampilan dengan degenerasi yang cepat. Jika
terapi tidak dimulai dalam peristiwa henti jantung, ritme ini cepat dekompensasi
menjadi irama yang lebih ganas seperti VF atau asistol (Brady, et al, 2012, Sudono,
2010, Boswick, 2013).)

2. Gambaran Klinis

a)Gambaran klinis ventrikel fibrilasi

Hasil diagnosis ventrikel fibrilasi dalam EKG atau electrokardiograpi pada pasien
tanpa nadi dan apnea dengan adanya amplitudo rendah dan aktivitas listrik yang
kacau. Tingkat defleksi biasanya antara 200 dan 500 depolarisasi permenit.
Morfologi, VF dibagi menjadi kasar dan halus. VF yang kasar cenderung terjadi
lebih awal setelah serangan jantung, ditandai dengan amplitudo tinggi atau kasar,
bentuk gelombang, dan memiliki prognosis yang lebih baik dari pada VF halus
(Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).

Gambar Ventrikel Fibrilasi

b)Gambaran klinis ventrikel takikardi

Ventrikel takikardi ditandai dengan durasi kompleks QRS lebih besar dari 0,12
detik dan tingkat ventrikel lebih besar dari 100 atau 120 denyut / menit.
Monoformik ventrikel takikardi di identifikasi ketika masing-masing gelombang
berturut-turut memiliki morfologi tunggal. Kecepatannya biasanya antara 140 dan
180 denyut / menit dan sangat teratur. Sedangkan polimormik ventrikel takikardi
ditandai dengan kompleks QRS sering berubah. Kompleks QRS cenderung lebih
besar dari 0,12.

Kecepatannya biasanya lebih cepat dari MVT, dengan kisaran 150-300 denyut /
menit (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick, 2013).

gambar Ventrikel Takikardi

3. Patofisiologi VF dan VT

Ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi merupakan disritmia yang paling sering
muncul sebagai akibat dari keruskan miokard (yaitu IMA, miokarditis,
kardiomiopati), toksisitas obatatau kelainan elektrolit. Patofisiologi tersebut
biasanya mencakup fenomena menarik atau penggerak otomatis. Sebuah jalur dalam
miokardium ventrikel adalah sumber yang paling umum. Itu merupakan sifat dari
jalur reentry yang melibatkan dua jalur konduksi dengan karakteristik yang berbeda,
jalur reentry yang menyediakan substrat untuk VT dan VF umumnya terjadi di zona
iskemia akut atau kronis jaringan parut. Dysrhytmia ini biasanya dimulai oleh
denyut ektopik, meskipun sejumlah faktor lainnya dapat menjadi penyebab utama,
termasuk iskemia koroner akut, gangguan elektrolit dan dysautonomia. Automaticity
dipicu dari sekelompok sel yang didapat dari hasil berbagai anomali jantung,
termasuk penyakit jantung kongenital, penyakit jantung bawaan, gangguan
elektrolit, dan toksisitas obat (Brady, et al, 2012, Sudono, et al 2010, Boswick,
2013).

4. PEA (Pulseless Electrical Activity)

Pulseless Electrical Activity merupakan indikasi dari kejadian medis yang sangat
serius yang mendasari, seperti hipovolemia mendalam, infark miokard masif, emboli
paru luas, tachydysrhytmia elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi ini
biasanya mencakup takikardi, terutama takikardia sinus atau fibrilasi atrium dengan
respon ventrikel yang cepat. Suatu pendekatan terapi mengarah disertai dengan
resusitasi agresif akan memberikan penderita dengan pseudo-dengan pseudo-PEA
dengan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup (Brady, et al, 2012)
1) Gambaran klinis PEA

Pulseless Electrical Activity (PEA) memiliki kombinasi unik dari tidak ada
aktivitas jantung mekanik (keadaan tanpa nadi) dengan aktivitas persisten
jantung listrik yaitu irama jantung. Kejadian PEA biasanya dimulai dengan
gangguan perfusi dan berkembang menjadi pseudo-PEA dengan kontraksi
jantung lanjutan. Tidak adanya nadi yang bisa dilihat diikuti dengan hilangnya
aktivitas mekanik jantung akan menghasilkan perkembangan PEA sebenarnya
(Brady, et al, 2012).

2) Patofisiologi PEA

PEA dapat dibedakan menjadi pseudo-PEA dan true-PEA. Pseudo-PEA terjadi


ketika terdapat aktivitas kelistrikan jantung (irama jantung) tetapi nadi tidak ada
dan kontraksi miokard yang ditunjukkan oleh ekokardiografi atau modalitas
pencitraan lainnya. Pada trus-PEA aktivitas listrik jantung dalam bentuk irama
ini dicatat, tetapi benar-benar tidak ada kontraksi mekanis jantung yang terjadi,
sehingga penting untuk membedakan dua sub tipe PEA. (Brady, et al, 2012).

5. Asistol

Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung dan biaasanya hasil dari
kegagalan pembentukan impuls di primer (node senoatrial) dan standar
(atrioventrikular node dan miokardium ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol
juga bisa disebabkan oleh kegagalan penyebaran impuls ke miokardium ventrikel
dari jaringan atrium (Brady, et al, 2012).
a. Gambaran klinis asistol

Pada asistol gambaran dari elektrokardiogram menunjukkan garis datar atau garis
hampir rata. Mengombak minimal gelombang yang dihasilkan dari
elektrokardiografi pergeseran awal dapat dilihat. Beberapa penyebab harus
dihindari dalam manifestasi asistolik, termasuk memantau kerusakan, pemutusan
lead elektrokardiografi, dan VF halus dengan amplitudo minimal dalam menjelang
pencitraan. Kesalahan potensial terakhir dapat dideteksi dengan mengkonfirmasi
asostol dengan setidaknya dua lead yang berorientasi dalam mode tegak lurus
(Brady, et al, 2012).

Gambar Asistol

b. Patofisiologi asistol

Pasien dengan asistol umumnya telah mengalami serangan jantung


berkepanjangan, mungkin awalnya menunjukkan gambaran salah satudari VT, VF
atau PEA dan akhirnya berdegenerasi menjadi penghentian aktivitas listrik jantung.
Asistol dapat terjadi karena akibat dari infak miokard yang besar (Brady, et al,
2012).

D. Penatalaksanaan cardiac arrest / henti jantung


Penatalaksaan henti jantung perlu dilaksanakan secepatnya. Berdasarkan
rekomendasi (AHA, 2020) mengenai alur penanganan pasien henti jantung yang disebut
chain of survival atau “Rantai Bertahan Hidup”, dimana tiap rantai ini saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Rantai Bertahan Hidup ini terdiri dari dua tipe,
yaitu In Hospital Cardiac Arrest (IHCA) atau kejadian henti jantung di rumah sakit, dan
Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) atau kejadian henti jantung diluar rumah sakit.
Penatalaksanaan henti jantung dengan menggunakan prinsip IHCA dimulai dari
pengenalan awal dan pencegahan, segera mengaktifkan emergency response atau sistem
tanggap darurat, pemberian RJP berkualitas, melakukan defibrilasi, jika pasien sudah
kembali normal diberikan perawatan pasca henti jantung dan pemulihan (AHA, 2020).
Sedangkan penatalaksanaan henti jantung dengan menggunakan prinsip OHCA dimulai
dengan segera mengaktifkan emergency response atau sistem tanggap darurat, pemberian
RJP berkualitas tinggi, melakukan defibrilasi, saat dirujuk kerumah sakit diberikan
resusitasi lanjutan, jika pasien sudah normal diberikan perawatan pasca henti jantung dan
pemulihan (AHA, 2020).
E. Rantai Kelangsungan Hidup In Hospital Cardiac Arrest

Rantai kelangsungan hidup pada pasien yang mengalami cardiac arrest di lingkup rumah
sakit menurut AHA 2015 terdiri dari Surveillance and prevention (Pengawasan dan
pencegahan), Recognition and activation of the emergency respons system (Pengenalan
dan pengaktifan sistem tanggap darurat), Immediate high-quality CPR (CPR berkualitas
tinggi secepatnya), Rapid defibrilation (Defibrilasi cepat) dan Advance life support and
postarrest care (Bantuan hidup lanjutan dan perawatan pasca serangan jantung).
1. Surveillance and prevention

Sistem perawatan pasien yang mengalami cardiac arrest di rumah sakit mengandalkan
sistem pengawasan yang sesuai (sistem peringatan

dini) untuk mencegah serangan jantung. Ketika ada pasien yang mengalami serangan
jantung maka mengandalkan interaksi sempurna dari berbagai unit dan layanan
institusi serta bergantung pada tim multidisplin yang profesional termasuk dokter,
perawat, ahli terapi pernapasan dan sebagainya.

2. Recognition and activation of the emergency respons system

Peran tim respon cepat sangat diperlukan pada penanganan serangan jantung yang
terjadi di rumah sakit. Tim ini wajib menanggapi kebutuhan resusitasi dan dilatih
untuk menggunakan peralatan dan teknik resusitasi. Tim ini terdiri dari dokter,
perawat, petugas keamanan, terapis pernapasan, apoteker. Tim ini dibentuk untuk
menanggapi kerusakan klinis yang teridentifikasi pada pasien sebelum terjadinya
serangan jantung (Morrison et al, 2013).

3. Immediate high-quality CPR

Penanganan pada kasus cardiac arrest atau henti jantung yang paling utama
adalah pemberian bantuan hidup dasar yang dilakukan untuk mempertahankan proses
kehidupan pada penderita yang mengalami keadaan mengancam jiwanya. Tindakan
yang diberikan pada bantuan hidup dasar adalah cardio pulmonary ressucitation
(CPR). Proses CPR yang baik berupa high quality CPR mampu mempertahankan
kelangsungan hidup pasien. Menurut Cave (2010) mengungkapkan bahwa high
quality CPR merupakan proses CPR yang diberikan dengan kedalaman dan kecepatan
yang tepat, kesempatan recoil dada secara penuh, tidak adanya intrupsi atau gangguan
secara minimal serta menghindari pemberian ventilasi secara berlebih sehingga tujuan
yang diharapkan terpenuhi yaitu return of spontaneous circulation (ROSC).

Menurut American Heart Association menjelaskan terkait dengan kedalaman


kompresi yang disarankan adalah minimal 2 inchi (5cm), kompresi menjadi prioritas
utama ketika menemukan pasien henti jantung. Kedalaman kompresi harus tepat pada
posisi mid sternum sehingga mampu membantu sirkulasi oksigen dan cardiac output
mencapai optimal. Kecepatan yang disarankan adalah minimal 100 x/menit
dikarenakan pada kondisi henti jantung perfusi pada organ jantung tidak adekuat
sehingga diperlukan tindakan kompresi yang lebih banyak untuk mencapai
kekurangan perfusi dan membantu proses sirkulasi darah. Pemberian kompresi
dilakukan selama 5 siklus atau 2 menit dengan pemberian 30 x kompresi dan 2 x
ventilasi. Pemberian kompresi harus menghindari adanya interupsi hal ini mampu
menurunkan aliran darah ke jantung dan otak.
Penelitian Edelson (2006) dalam penelitiannya tentang efek kompresi dengan
adanya interupsi selama CPR lebih dari 10 detik menunjukkan bahwa interupsi
menyebabkan meningkatnya resiko syok pada pasien. Hasil penelitian ini
menunjukkan dengan pemberian CPR yang disertai adanya recoil kemudian diikuti
relaksasi meningkatkan aliran darah balik vena ke jantung. Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimpulkan ketika proses melakukan tindakan CPR komponen yang

harus diperharikan adalah kedalaman kompresi, kecepatan kompresi, kesempatan


recoil dan interupsi minimal.

Gambar 2.1

Alogaritma Penanganan Cardiac Arrest (AHA, 2010)


SOP BHD (RJP)

Pengertian BHD adalah Pertolongan pertama yang dilakukan oleh


PENGERTIAN petugas terlatih pada kasus kegawatan dengan korban henti jantung atau
henti napas melalui tindakan Resusitasi Jantung dan paru (RJP) .
Sebagai acuan petugas dalam memberikan bantuan hidup dasar (BHD)
TUJUAN untuk memberi oksigen pada otak, jantung, dan organ-organ vital lainnya
sampai datangnya suatu pengobatan medik yang lengkap dan tepat.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) melalui tindakan resusitasi jantung paru
KEBIJAKAN (RJP) dilakukan oleh tenaga medis/non medis yang telah dilatih dalam
memberikan BHD.
PROSEDUR A. PERSIAPAN ALAT
1. Kit emergency yang berisi:
a. Laringoskop
b. Pipa Endotrakea (ETT) sesuai ukuran
c. Orofaringeal sesuai ukuran
d. Infus set lengkap
e. Papan alas resusitasi
f. Ambu bag
2. Bedside monitor/DC shock/AED
3. Set oksigen lengkap dan siap pakai
4. Penghisap lendir/suction lengkap dan siap pakai
5. Sarung tangan bersih, masker.

B. PELAKSANAAN dengan prinsip D,R,S,C,A,B (Danger, Respons,


Shout for help, Compressions, Airway, Breathing)

1. Sebelum menolong korban, perhatikan DANGER (BAHAYA)


dengan pastikan 3 A; Aman diri, Aman pasien dan Aman
lingkungan sekitar. Jangan dekati korban bila melihat bahaya,
seperti kabel listrik yang menjuntai, percikan api. Kemudian gunakan
APD (alat pelindung diri) yang sesuai (sarung tangan).

2. Cek RESPONS atau kesadaran korban dengan cara tepuklah


bahunya. Jika korban masih tidak merespons tepuk lagi bahunya
sambil memanggil “pak”/’ibu”/’om/’tante””dek”/”bang”

3. Mintalah bantuan orang sekitar/teriak minta tolong (SHOUT FOR


HELP) untuk menelepon system emergency RS (code blue), dan
alat Automated External Defibrillator (AED) bila ada.

4. Sembari menunggu bantuan, lanjutkan dengan mengecek Nadi di


leher/carotid selama 10 detik dengan nafas korban (melihat gerakan
naik turun dinding dada korban) .

5. Jika tidak teraba denyut nadi dan tidak bernafas segera lakukan
resusitasi jantung dan paru (RJP) atau CPR. dengan kompresi dada
(COMPRESSIONS). Agar kompresi dada efektif, korban harus
dalam posisi terlentang pada
permukaan yang rata dan keras.

6. Berikan 30 kali kompresi dada


pada pertengahan dada
(pertengahan bagian bawah tulang
sternum) dengan kedalaman 4-5
cm, dengan kecepatan minimal
100-120 kali per menit, DENGAN
HITUNGAN; 1,2,3,4, SATU,
1,2,3,4 DUA, 1,2,3,4 TIGA, 1,2,3,4
EMPAT, 1,2,3,4 LIMA, 1,2,3,4
ENAM (JADI 6X5=30 X KOMPRESI DADA). Tidak lagi
menggunakan hitungan 1 dan, 2 dan, 3 dan, 4 dan, 5 dan, dst.

7. Setelah memberikan 30 kali kompresi dada, buka AIRWAY /jalan


napas dengan metode head tilt - chin lift. Caranya letakkan tangan di
dahi korban dan tengadahkan kepala korban. Letakkan ujung jari di
bawah dagu, dan angkat dagu korban. Pastikan tidak ada sisa
makanan sekitar area mulut.

8. Berikan 2 kali nafas bantuan (BREATHING). Tutup hidung dengan


ibu jari dan telunjuk, tiup sekitar 1 detik untuk membuat dada
terangkat, kemudian lanjutkan dengan tiupan berikutnya. Atau
dengan menggunakan alat ambubag.

9. Ulangi lagi 30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan nafas atau
sekitar 5 kali siklus/pengulangan, dengan setiap 2 menit lakukan
pengecekan nadi carotid/leher dan nafas kembali.

10. CPR baru bisa dihentikan saat korban memberi respon (biasanya
terbatuk) atau mulai bernapas lagi, atau saat penolong tidak mampu
lagi memberikan pertolongan, atau saat tim medis sudah datang, dan
atau sudah ada keputusan dari dokter.

4. Rapid defibrilation
Pemberian defibrilasi yang cepat dan sesuai dengan indikassi yang muncul
pada klinis pasien mampu meningkatkan kelangsungan hidup pasien menjadi ROSC.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian resusitasi jantung paru secepatnya,
kondisi irama EKG yang menunjukkan adanya ventrikel fibrilasi atau ventrikel
takikardi diberikan shockable, serta pemasangan dini IV line yang berfungsi untuk
pemberian obat-obatan emergency mampu meningkatkan terjadinya ROSC
(Rittenberger, et al 2007; Rittenberger, et al 2008; Forcina, et, al 2009; Santosa, et al
2016)
Defibrilasi merupakan tindakan yang sangat penting dalam penanganan pasien
henti jantung. Irama yang sering terdeteksi pada pasien henti jantung adalah
ventrukuler fibrilasi (VF), dan terapi yang terpenting adalah defibrilasi elektrik.
Keberhasilan defibrilasi akan menurun ketika henti jantung berjalan lama, dan VF
akan cenderung berubah menjadi asistol dalam beberapa menit. Angka kematian akan
meningkat 7 – 10% untuk setiap menit yang terlewati pada pasien henti jantung tanpa
dilakukan resisutasi. Untuk menangani henti jantung akibat VF, penolong harus
mampu mengabungkan resusitasi jantung paru dengan penggunaan defibrilator
(Sudoyo, 2010).

Gambar

5. Advance life support and postarrest care

Bantuan hidup berkelanjutan untuk pasien serangan jantung yang mencapai ROSC
harus diberikan dengan baik. Observasi secara komprehensif harus dilakukan
untuk mengenali adanya tanda dan gejala serangan jantung berulang.
F. Perawatan Post Cardiac Arrest

Menurut Morrison et al (2013) dan Neumar et al (2008) menjelaskan terkait dengan


sindrom post cardiac arrest merupakan kondisi klinis yang kompleks dengan empat
konsekuensi patofisiologis primer yang akan terjadi, yang terdiri dari disfungsi miokard,
adanya cedera neurologis, cedera sistemik akibat kekurangan darah (iskemia) dan cedera
pemulihan aliran darah (repurfusi) serta adanya beberapa faktor pencetus lainnya seperti
penyakit penyerta kardiovaskuler atau paru-paru atau pneumonia. Menurut Peberdy et al
(2010) menjelaskan fokus utama perawatan pasca cardiac arrest pada penilaian pasien
gagal jantung secara cepat yang telah mencapai ROSC, mengoptimalkan kembali fungsi
kardiopulmoner, menstabilkan aliran darah, meminimalkan terjadinya cedera neurologis,
mengendalikan suhu tubuh, meningkatkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan cidera
paru-paru.
Berdasarkan uraian diatas untuk menjaga kondisi pasien yang mengalami cardiac
arrest yang mencapai ROSC perlu adanya penanganan yang cepat dan tepat untuk
meningkatkan angka kelangsungan hidup pasien membaik.
American Heart Association memberikan pedoman terhadap pasien post cardiac
arrest yang terdiri dari :
1. Managemen Suhu Tubuh

Management suhu tubuh dikenal dengan terapi hipotermia yang merupakan


sebuah intervensi yang diberikan post ROSC yang berfungsi untuk mengurangi suhu
tubuh. Tujuan dari terapi hipotermia untuk memperlambat terjadinya kematian sel
dan cidera sistemik secara menyeluruh. Menurut Peberdy et al (2010) menjelaskan
terapi hipotermi dibagi menjadi 3 fase yaitu induksi, pemeliharaan dan
penghangatan. Fase induksi dapat dilakukan dengan cara eksternal dan internal.
Pemberian infus 30ml/kg BB NaCl 0,9% atau Ringer laktat yang bersuhu 4°C akan
menurunkan suhu inti sekitar 1,5°C. Sebagai tambahan pemberian infus dingin
adalah teknik surface cooling yaitu meletakkan bongkahan es atau handuk dingin
atau selimut dingin pada lipat paha, ketiak, kepala dan leher. Pemberian cairan
dingin melalui pipa nasogastrik juga dapat dilakukan. Pemantauan suhu inti yang
paling sederhana yaitu suhu rektal dapat dilakukan selama induksi terapi hipotermi.

Pencapaian suhu target 32-34°C telah tercapai maka fase kedua yaitu fase
pemeliharaan dimulai dan dipertahankan selama 12 sampai 24 jam. Infusi dingin
dapat dihentikan, dan hanya dilakukan pemeliharaan suhu dengan bongkahan es dan
selimut/handuk dingin. Setelah 12-24 jam hipotermi, mulai dilakukan fase ketiga
yaitu penghangatan. Penghangatan yang dilakukan dengan kecepatan 0,25°C sampai
0,5°C per jam. Fase hipotermi ke normotermia dapat berpengaruh terhadap
hemodinamik, metabolisme, kadar elektrolit, dan efek obat. Selama terapi hipotermi,
pemantauan dan optimasi oksigenasi, ventilasi dan hemodinamik tetap dilakukan.

Penelitian Castelblanco, F (2011) menjelaskan hasil penelitiannya yang


bertujuan untuk mempelajari efek inisiasi terapi hipotermia setelah serangan jantung.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemberiaan inisiasi terapi hipotermia oleh
Emergency Medical Service, perawat gawat darurat dan perawat ICU mampu
memperbaiki kondisi pasien pasca serangan jantung. Kemudian dari 22 pasien yang
diberikan terapi hipotermia menunjukkan hasil neurologis yang membaik dengan
dibuktikan pengecekan kesadaran dengan pemeriksaan Glascow Coma Scale.

Proses manajemen terapi hipotermia ini memerlukan peran perawat untuk


mampu memecah masalah dan memberikan perawatan pasien secara menyeluruh
sehingga mampu mengurangi angka kecacatan dan kematian pada pasien post
cardiac arrest.

2. Manajemen Hemodinamik

Manajemen hemodinamik pada pasien yang mengalami post cardiac arrest


diutamakan terkait dengan perubahan volume intravaskuler, menjaga kondisi tekanan
perfusi yang adekuat, mengoptimalkan pasokan oksigen dan mengobati penyebab
henti jantung tersebut. Menurut Rivers (2001) apabila penyebab terjadinya henti
jantung dikarenakan sepsis maka segera dilakukan resusitasi hemodinamik untuk
menyelamatkan kondisi pasien.

Menurut Peberdy (2010) menjelaskan terkait tentang sindrom pasca henti


jantung pasien akan mengalami hipovolemi akibat dari peningkatan permiabilitas
kapiler, oleh karena itu resusitasi cairan dengan kristaloid segera diberikan. Penilaian
kecukupan volume intravaskuler dengan perubahan diameter vena cava inferior
dengan menggunakan ultrasonografi, pulse pressure variation atau systolic pressure
variation. Penilaian dengan menggunakan metode keluaran urine lebih dari 1 ml/kg
BB/jam dapat melihat target dari resusitasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pasien yang mengalammi


return of spontaneous circulation segera di pantau hemodinamiknya untuk
meningkatkan pasokan oksigen dalam tubuh terpenuhi. Pencapaian tekanan perfusi
yang adekuat tekanan arteri rerata (MAP) harus berada pada kisaran 90-100 mmHg,
hal ini dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen yang adekuat.

3. Terapi Vasopressor

Terapi vasopressor yang sering digunakan adalah epineprine yang berfungsi


untuk memfasilitasi peningkatan tekanan darah rendah dan merupakan standar
perawatan yang digunakan untuk pasien dengan serangan jantung tanpa ROSC
segera, dan dugunkan untuk pasien yang mengalami serangan jantung dengan ROSC
yang mengalami hemodinamik terganggu. Menurut Mentzelopoulos et al (2013)
menjelaskan penggunaan epineprine pada orang dewasa yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit menunjukkan perbaikan ke ROSC dan kelangsungan
hidup untuk dirawat di rumah sakit, namun tidak untuk mencapai hasil neurologis
yang baik. Penelitian ini juga menyarankan untuk pemberian kombinasi vasopresin-
steroidepineprine (VSE) memberikan hasil yang baik untuk mencapai ROSC.
Sedangkan menurut Warrent et al (2014) menjelaskan pada kasus henti jantung di
rumah sakit dengan pemberian dosis dalam interval waktu yang lebih lama pada
ritme yang tidak terduga dan nonshockable mampu menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi.

Berdasarkan kedua penelitian di atas bahwa penggunaan terapi vasopressor


dalam penanganan pasien yang mengalami cardiac arrest sangat membantu pasien
untuk mencapai return of spontaneous circulation. Pemberian terapi ini perawat
harus berkolaborasi dengan dokter terkait dengan dosis, waktu pemberian, tempat
pemberian obat.

4. Oksigenasi dan Ventilasi

Oksigenasi dan ventilasi digunakan untuk meningkatkan jumlah oksigen


yang disalurkan ke organ vital tubuh dan menghindari terjadinya demam yang
tinggi. Menghindari hiperventilasi sangatlah penting setelah terjadinya serangan
jantung, karena pengurangan tekanan parsial karbondioksida akan menyebabkan
reduksi aliran darah serebral, vasokontriksi dan berpontensi memperburuk cidera
serebral sehingga mampu menyebabkan hipoksia dan iskemik.

Menurut Bellomo (2011) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia akan


dapat menyebabkan henti jantung berulang dan berperan mengakibatkan cedera otak
sekunder. Pada umumnya setelah ROSC pasien akan diberikan oksigen 100%
dengan atau tanpa intubasi endotrakheal. Namun demikian, beberapa percobaan
binatang menunjukan bahwa hiperoksemia dapat menimbulkan oxidative stress dan
membahayakan neuron pasca iskhemik.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik garis kesimpulan terkait dengan
manajemen oksigenasi dan ventilasi. Proses oksigenasi dan ventilasi sangat
dibutuhkan saat pasien mengalami ROSC yang berfungsi untuk meningkatkan
jumlah oksigen yang disalurkan ke organ vital untuk menghindari terjadinya
hipertermia. Jumlah fraksi oksigen inspirasi yang disarankan untuk mempertahankan
saturasi oksigen arteri lebih dari 94% dan PaO2 sekitar 100 mmHg.

5. Manajemen Metabolik (Kadar Gula Darah)

Menurut Finfer (2009) mengungkapkan pada pasien yang mengalami serangan


jantung biasanya akan mengalami hiperglikemia dan perlu memerlukan pemantauan
secara ketat, sehingga perlu adanya pengelolaan gula darah pada pasien. Tujuan dari
pengelolaan gula darah adalah untuk mempertahankan glukosa kurang dari 180
mg/dL.

Pendapat Cueni (2011) mengungkapkan adanya variabilitas gula darah dapat


terjadi selama terapi hipotermia karena penggunaan glukosa berkurang, penurunan
sekresi insulin endogen, dan peningkatan resistensi insulin, sehingga perlu adanya
pengontrolan insulin dengan baik. Pemberian infuse insulin dan pemantauan kadar
gula darah setiap 1-2 jam agar tidak terjadi hipoglikemia.
Kembalinya sirkulasi spontan Return of
spontaneous circulation (ROSC)

Optimalisasi ventilasi dan oksigenasi


Pertahankan saturasi oksigen ≥ 94%
Pertimbangkan penggunaan alat bantu jalan napas lanjut dan
capnography
Jangan hyperventilasi

Atasi hipotensi (TD) sistolik <90 mmHg


Bolus IV
Infus Vasopresor
Cari penyebab
EkG 12 lead

Tidak
Pertimbangkan hipotermia Mengikuti instruksi

Ya

Reperfusi koroner Ya STEMI atau kecurigaan besar IMA

Tidak
Advand critical care

Gambar 2.8 Alogaritma Perawatan Pasca Henti Jantung (AHA 2010)


BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. (2010). American Hearth Association Guide lines For
Cardiopulomonary Resuscitation and Emergency Cardiov askular Care. AHA
Journals.

American Heart Association. (2014). American Hearth Association Guide lines For
Cardiopulomonary Resuscitation and Emergency Cardiov askular Care. AHA
Journals, 122 (4):676-684

Alhidayat, N,A., Rahmat, A., Simunati. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat
Instalasi Gawat Darurat tentang Pengkajian terhadap Pelaksanaan Tindakan Life
Support di Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Vol. 2, No. 4

Alkatri. (2007). Resusitasi Kardio-pulmoner. Edisi IV. Jakarta: pusat penerbitan


departemant Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Unversitas Indonesia, 173-176Hartaji
(2015). Psikologi Perkembangan anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.

American Heart Association (2015). About Cardiac Arrest (SCA) Face Sheet, CPR
Statistics.http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/
AboutCardia UCM 307905 Article.jsp.

Hermawan. (2011). Napas Buatan (Resusitasi Jantung Paru).Dalam


http://duniakeperawatan.wordpress.com/2009/02/28/143/(Diakses pada tanggal 4
September 2015

Mayo Clinic. (2012). Suddanth Cardiac Aresst. Dikutip dari


http://www.mayoclinic.org/diseases- conditions/sudden-cardiacarrest/basic/cau
ses/com-20042982. Pada tanggal 1 Desember 2015

Musliha (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medikal.

Tim keperawatan gawat darurat. (2013). Buku praktik laboratorium standar operating
procedur (SOP) praktik keperawatan gawat darurat. Purwokerto: Fikes UMP

Umi, N (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Keterampilan Perawat Dalam


Melakukan Tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Di RSUD Kabupaten
Karanganyar. Stikes Kusuma Husada. Indonesia.

Uscher, J. (2014). Sudden Cardiac Arrest: Why it happens. Ejournal Keperawatan, 3(21):
81.

Anda mungkin juga menyukai