Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN GAWAT DARURAT

DENGAN HENTI JANTUNG DIRUANG ICCU

RSD dr.SOEBANDI JEMBER

Disusun oleh:

KUKOH AGENG FITRIANI


NIM: 14.401.17.046

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA

PRODI D-III KEPERAWATAN

KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI

2019-2020
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba aktivitas pompa jantung efektif,
mengakibatkan penghentian sirkulasi (Muttaqin, 2009).
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak,
bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun
tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu
gejala dan tanda tampak (American Heart Association, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompaan
jantung dan hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung,
penghantaran oksigen dan pengeluaran karbon dioksida terhenti, metabolisme sel
jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis metabolik dan respiratorik terjadi. Pada
keadaan tersebut, inisiasi langsung dari resusitasi jantung paru diperlukan untuk
mencegah terjadinya kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan
kematian.

2. Etiologi
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko
tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung
Karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain, jantung yang terjejas atau
mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang
mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerosis
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub
jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti
aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac
arrest.Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang
bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam
jiwa dan cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-
Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan
cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal
Jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan
kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga
atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac
arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f. Penyalahgunaan obat
Merupakan faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya
tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia (Diklat
Ambulans Gawat Darurat 118, 2010) :
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya,jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah
CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel
kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah keventrikel juga berkurang
sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil,
pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan
gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian
terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah
tindakan yang harus segera dilakukan.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

3. Manifestasi klinik
a. Tidak ada denyut jantung
b. Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas) (Muttaqin,
2009).

4. Patofisiologi
a. Akibat dari ateroklerosis menimbulkan plak pada pembuluh darah.
b. Penebalan otot jantung dan fibrilasi ventrikel mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara optimal
c. Takikardi ventrikel terjadi karena pembentukan impuls sehingga frekuensi nadi
cepat yang mengakibatkan pengisian ventrikel menurun.
Dari ketiga penyebab diatas mengakibatkan hambatan aliran darah sehingga sirkulasi
darah terhenti terjadilah cardiac arrest. Akibat cardiac arrest terjadi kemampuan pompa
jantung menurun akibatnya curah jantung menurun sehingga terjadi:
a. Suplai oksigen keseluruh tubuh menurun, dimana darah membawa oksigen
otomatis kebutuhan oksigen keparu-paru tidak terpenuhi terjadilah gangguan
pertukaran gas
b. Suplai oksigen ke otak tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi serebral
c. Suplai oksigen ke jaringan tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi jaringan
(Muttaqin, 2009).
Pathway

Infark Myocard, cardio myopathy,


kelistrikan abnormal, penyalah
gunaan obat

Aliran darah ke jantung menurun

Oksigen dan nutrisi menurun

Ketidak seimbangan demand dan


suplay oksiten otot jantung

Penurunan suplay oksigen ke otot


jantung

Iskemia otot jantung

Ritme jantung tidak normal


1. Fibrilasi ventrikel
2. Takikardia ventrikel
3. PEA
4. Asistol

Henti jantung

Dilakukan CPR

Kembalinya nadi dan pernapasan


dengan gejala: akral dingin, pucat
dan basah serta penurunn kesadaran

Penurunan CO

Gangguan perfusi cerebral


Gangguan pertukaran gas Penurunan curah jantung

5. Komplikasi
Henti jantung dapt menyebabkan kematian dini pada penderitanya
6. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh
lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan
bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal,
seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian
mendadak.
b. Tes darah
1) Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat
penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
2) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada
pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan
impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
3) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-
obatan terlarang.
4) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.

c. Imaging tes
1) Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah.
Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
2) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil,
seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus
dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
3) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung 
telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada
kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4) Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia, Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama
tes, kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien.
Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang
jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu atau
menghentikan-aritmia. Hal ini memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5) Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah
seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan kapasitas
pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini
mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel  setiap
detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi
ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini
dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan
ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda,
pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT)
scan jantung.
6) Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk
arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat
pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu,
sementara kateter diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka
(Muttaqin, 2009).

7. Penatalaksanaan
Respons awal
a. Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar
disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada
tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat
menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang
singkat setelah henti jantung
b. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner (RKP;
CPR; Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang
definitive dapat dilaksanakan.
Untuk penanganan awal henti jantung yaitu dengan CAB :
a. Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau
menggoyangkan pasien sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”.Jika
tidak berespon berikan rangsangan nyeri.
Rasionalisasi: hal ini akan mencegah timbulnya injury pada korban yang
sebenarnya masih dalam keadaan sadar.

b. Apabila pasien tidak berespon segera telfone Emergency Medical Service (EMS)
1) Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi sejajar
dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan
gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.
Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat memberikan
bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah posisi.
2) Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi
pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral
selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan
kompresi dada.
a) Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal
dari salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke
arah cranial dari procecus xyphoideus) . Jari-jari bisa saling menjalin atau
dikeataskan menjauhi dada.
Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga
tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana akan
mengurangi resiko patah tulang rusuk.
b) Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada
tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian
tengah bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)
c) Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal.
Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian
tekanan. Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi.
Rasionalisasi: pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan
darah mengalir ke jantung.
d) Lakukan CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) dengan dua kali nafas
buatan dan 30 kali kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2
menit).
e) Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien.
Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada.
Periksa nadi di arteri carotis, jika belum teraba lanjutkan pemberian
bantuan nafas dan kompresi dada.
f) Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga menyiapkan
perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan perawatan definitive.
Rasionalisasi: perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian
defibrilasi, terapi obat-obatan, cairan untuk mengembalikan keseimbangan
asam-basa, monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.
g) CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan,sedangkan
untuk bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dibagian
tengah tulang dada.
3) Airway
Buka jalan nafas
a) Head-tilt/chin-lift maneuver : letakkan salah satu tangan di kening pasien,
tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk
mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang
lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang dan angkat rahang ke
depan sampai gigi mengatub.
Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan nafas dari sumbatan
oleh lidah.
b) Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah pasien pada
masing-masing sisinya dengan kedua tangan,angkat mandibula ke atas
sehingga kepala mendongak.
Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk membuka
jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.
c) Breathing
Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita
arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada
dan rasakan adanya udara yang berhembus selama expirasi
Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan.
d) Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau
dengan menggunakan amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan
pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang
keluar. Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing
selama 2-4 detik).
Rasionalisasi: pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan
dengan dada terlihat mengembang dan mengempis, terasa adanya udara
yang keluar dari jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar saat
expirasi.
e) Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap,
kepala menoleh ke samping).
Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan
aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah
jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai
tujuan ini mencakup:
a. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
Pemasangan endotracheal tube (ETT) atau intubasi adalah memasukkan pipa jalan
nafas buatan kedalam trachea melalui mulut.Tindakan intubasi dilakukan bila cara
lain untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal,perlu memberikan nafas buatan
dalam jangka panjang dan ada resiko besar terjadi aspirasi paru.
b. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
Defibrilasi adalah suatu tindakan pengobatan menggunakan aliran listrik secara
asinkron.Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel.
c. Pemasangan lini infuse.
Asuhan pasca resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung.
Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive
terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan
setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4
mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan
respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan
stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi.
Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa
kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil
diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh
ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh
kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan
gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan
kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai
penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil
diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari
serangan henti jantung tersebut.  Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system
saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka
kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit.
Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti jantung yang buruk akibat
penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan
elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan
mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan
cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
Pengobatan
a. Epinephrine.
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest,
utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat meningkatkan CPP
(coronary perfusion pressure/aortic relaxation “diastolic” pressure minus right
atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi cerebral selama RJP.
Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek
meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi subendokardial.
Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika pemberian 1 mg
epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis lebih tinggi
hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-blocker atau
calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat atau tidak ditemukan,
epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.
b. Dapat diberikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih besar
jika diperlukan. Dapat diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti
jantung lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut
nadi.
c. Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
d. Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
e. Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan juga
memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat dipertimbangkan
untuk terapi VF (fibrilsi ventrikel) atau Pulseless VT (takikardi ventrikel) yang
tidak memberikan respon terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama
dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada blinded-RCTs
didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara bermakna
dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah sakit,
dibandingkan pemberian placebo atau lidocaine 1,5 mg/KgBB (American Heart
Association, 2010).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Data Umum
Henti jantung lebih banyak menyerang laki-laki pada usia diatas 50 tahun. Risiko
semakin meningkat dengan bertambahnya usia (Mutaqin, 2009).
b. Pengkajian Primer
1) Airway/jalan nafas
a) Pasien tidak dapat berbicara dan gangguan napas
b) Terdapat tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan napas antara lain hipoksia ,
penggunaan otot bantu pernapasan dan
c) Sianosis
2) Breathing
a) Sianosis
b) Menggunakan otot aksesoris saat bernapas
c) Napas dangkal
d) Nadi perifer lemah
e) Peningkatan nadi jugularis
3) Sirkulasi
a) Tekanan nadi terasa lemah
b) Warna kulit pucat/sianosis
c) Punggung kuku pucat atau sianotik dan pengisian kapiler lambat >2 detik
4) Disability
Dikaji dengan menggunakan skala AVPU
a) Alert yaitu merespon suara dengan tepat , pasien tidak mematuhi perintah
yang diberikan
b) Vocalises yaitu mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
c) Responds to pain only yaitu ekstremitas gagal merespon
d) Unresponsive to pain yaitu hanya merespon pada stimulus nyeri
e) Expose , Examine dan Evaluate
(1) Terdapat pembesaran JVP
(2) Terdapat odem ekstremitas
(3) Tampak gelisah
5) Exposure
Tidak ditemuan luka bekas kecelakaan
c. Scondary Survey
1) Five intervensi
a) EKG : Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik
normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi.
ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
b) Kateter : terpasang kateter
c) NGT : tidak terpasan NGT
d) SPO2 : terjadi penurunan SPO2
e) Lab : pemriksaan enzim jantung
2) Vital sign
a) TD : tekanan darah menurun
b) Nadi : nadi melemah
c) RR : terjadi peningkatan dan sesak
d) Suhu : dapat normal
e) BB : obesitas atau kenaikan berat badan
d. History and head to toe
1) History
a) Keluhan utama
Tiba-tiba mengeluh merasa sesak
b) Riwayat penyakit sekarang
Tiba-tiba mengeluh merasa sesak, dada terasa nyeri tangan kiri dan kaki
kiri terasa lemas
2) Head to toe
a) Kepala : pucat, pernapasan cuping hidung
b) Leher : terjadi peningkatan distensi vena jugularis
c) Dada : retraksi otot pernapasan, peningkatan usaha napas
d) Abdomen : datar, tidak atampak jejas
e) Ekstrimitas: lemah, penurunan kekuatan otot
f) Integument: dingin, pusat dan basah sebagai tanda awal syok (Muttaqin,
2009)

2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai  oksigen ke otak
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen  tidak adekuat
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun

3. Intervensi
a. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai  oksigen ke otak
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali lancer
Kriteria Hasil : Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas
normal. Warna dan suhu kulit normal. CRT  < 2 detik.
INTERVENSI RASIONAL
 Pantau adanya pucat, sianosis dan  Sirkulasi yang terhenti menyebabkan
kulit dingin atau lembab transport O2 ke seluruh tubuh juga
terhenti sehingga akral sebagai bagian
yang paling jauh dengan jantung
menjadi pucat dan dingin.
 Posisikan kaki lebih tinggi dari  Mempercepat pengosongan vena
jantung superficial, mencegah distensi
berlebihan dan meningkatkan aliran
 Berikan vasodilator misal balik vena
nitrogliserin, nifedipin sesuai  Obat diberikan untuk meningkatkan
indikasi sirkulasi miokardia.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat
berlangsung
Kriteria hasil : Nilai Gas Darah Analisis normal dan tidak ada distress pernafasan

INTERVENSI RASIONAL
 Pantau pernapasan klien  Untuk evaluasi distress pernapasan
 Pantau GDA Pasien  Nilai GDA yang normal menandakan
pertukaran gas semakin membaik
 Berikan O2  sesuai indikasi  Peningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat memperbaiki
hipoksemia jaringan

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung


menurun
Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria hasil : Nadi perifer teraba dan tekanan darah dalam batas normal

INTERVENSI RASIONAL
 Pantau tekanan darah  Pada pasien Cardiac Arrest tekanan
darah menjadi rendah atau mungkin
 Palpasi nadi perifer tidak ada.
 Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi radial,
dorsalis pedis dan postibial. Nadi
mungkin hilang atau tidak teratur
 Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis untuk dipalpasi
 Pucat menunjukkkan menurunnya
perfusi sekunder terhadap tidak
 Lakukan pijat jantung adekuatnya curah jantung
 Berikan oksigen tambahan dengan  Untuk mengaktifkan kerja pompa
kanula nasal/masker dan obat  jantung
sesuai indikasi  (kolaborasi)  Meningkatkan sediaan oksigen untuk
kebutuhan miokard untuk melawan
efek hipoksia/iskemia. Banyak obat
dapat digunakan untuk meningkatkan
volume sekuncup, memperbaiki
kontraktilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Caroline Bunker Rosdahl. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.

Judith M. Wilkinson. (2016). Diagnosa Keperawatan . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

M. Asikin, dkk. (2016). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Kardiovaskuler. Jakarta:


Erlangga.

Nixson Manurung,S.Kep.,Ns.,M.Kep. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem


Kardiovaskular. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Jogja.

PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan


Keperawatan Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Reymond R Tjandrawinata dkk. (2014). MEDICINUS HEPATIC ENCEPHALOPATI Vol.


27. Jakarta: IDI.

Rini Sulistyowati, SST.,M.Kes. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah 1.


Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Rini, Haryanto. (2015). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Soetomo, F. K. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press (AUP).

Anda mungkin juga menyukai