Anda di halaman 1dari 16

Laporan Pendahuluan

1. Konsep Penyakit
Anatomi dan fisiologi sistem penghidu, yaitu:

Sistem penginderaan adalah organ akhir yang dikhususkan untuk menerima jenis


rangsangan tertentu. Serabut saraf yang menanganinya merupakan alat perantara yang
membawa kesan rasa (sensory inferdion) dari organ indera menuju ke otak di mana
perasaan ini ditafsirkan. Rangsangan atau stimulus pada saraf sensoris diterima oleh
reseptor khusus sesuai dengan jenis rangsanagnnya. Reseptor sensoris merupakan sel
yang yang dapat menerima informasi kondisi dalam dan dari luar tubuh untuk dapat
direspon oleh saraf pusat. Implus listrik yang dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan
menjadi sensasi. Sensasi dibagi atas sensasi umum dan sensasi khusus. Yang termasuk
sensasi umum adalah suhu, nyeri, sentuhan, tekanan, getaran, dan proprioreseptor
(reseptor yang pada tubuh bagian dalam seperti otot, tendon, persendian dan lain-lain).
Reseptor sensori umum ini tersebar diseluruh tubuh. Sedangkan sensasi khusus misalnya
sensasi bau, lihat, rasa, keseimbangan dan pendengaran. Reseptor sensori khusus berada
dilokasi pada organ khusus seperti pengelihatan dan pendengaran dan berfungsi
melindungi jaringan sekitar. Berdasarkan sumber lokasi sensasi, reseptor dibagi atas
ekteroseptor, proprioseptor, dan interoseptor. Eksteroseptor merupakan reseptor yang
sangat sensitive terhadap sensasi eksternal tubuh dan terletak pada dekat permukaan
tubuh seperti sensasi sentuhan, tekanan, nyeri, penciuman, penglihatan, maupun
pendengaran. Proprioseptor terletak pada tubuh dalam, otot, tendon, persendiaan, telinga
bagian dalam untuk keseimbangan. Sedangkan intereseptor merupakan reseptor yang
berada pada organ tubuh bagian dalam dan pembuluh darah. Untuk mendeteksi adanya
stimulus, reseptor mempunyai karakteristik khusus yang sensitif terhadap stimulus
tertentu. Misalnya mekanoreseptor yang sensitif terhadap regangan, vibrasi,pendengaran,
tekanan darah, termoreseptor yang sensitif terhadap perubahan suhu, nosiseptor sensitive
terhadap kerusakan jaringan dan kemoreseptor yang sensitif terhadap perubahan kimia.

Hidung (indera penciuman)


Merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan
gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan kombinasi penciuman dan
pengecapan. Reseptor penciuman merupakan kemoreseptor yang dirangsang oleh
molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman juga merupakan reseptor jauh
(telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalm talamus dan tidak di proyeksikan
neokorteks bagi penciuman. Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari
makanan. Pada manusia, bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau
membangkitkan rasa penolakan dan keterlibatan memori, selain itu bau juga penting
untuk nafsu makan. Di dalam hidung (nasus) terdapat organum olfactorium perifer.
Fungsi hidung dan cavitas nasi berhubungan dengan :
- Fungsi penghidu
- Pernapasan
- Penyaring debu
- Pelembapan udara pernapasan
- Penampungan sekret dari sinus paranasales dan ductus nasolacrimalis

Bagian-bagian hidung manusia

Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian rongga yang sama besar yang di sebut
dengan nostril. Dinding pemisah di sebut dengan septum, septum terbuat dari tulang
yang sangat tipis. Rongga hidung di lapisi dengan rambut dan membran yang mensekresi
lendirlengket.
Rongga hidung (nasal cavity) berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke
tenggorokan menuju paru paru. Rongga hidung ini di hubungkan dengan bagian
belakang tenggorokan. Rongga hidung di pisahkan oleh langit-langit mulut kita yang di
sebut dengan palate.

Mucous membrane berfungsi mengahangatkan udara dan melembabkannya. Bagian ini


membuat mucus (lendir atau ingus) yang berguna untuk menangkap debu, bagkteri, dan
partikel-partikel kecil lainnya yang dapat merusak paru-paru.
Cara kerja alat penciuman (hidung) manusia

Indera penciuman mendeteksi zat yang melepaskan molekul-molekul di udara. Di atap


rongga hidung terdapat olfactory epithelium yang sangat sensitif terhadap molekul-
molekul bau, karena pada bagian ini ada bagian pendeteksi bau(smell receptors).
Receptor ini jumlahnya sangat banyak ada sekitar 10 juta. Ketika partikel bau tertangkap
oleh receptor, sinyal akan di kirim ke the olfactory bulb melalui saraf olfactory. Bagian
inilah yang mengirim sinyal ke otak dan kemudian di proses oleh otak bau apakah yang
telah tercium oleh hidung kita, apakah itu harumnya bau sate padang atau menyengatnya
bau selokan.

1.2 Definisi Anosmia

Istilah anosmia berasal dari kata Yunani “an” (tidak) dan “osmia” (membau).Jadi anosmia
adalah hilang atau terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu
objek karena beberapa sebab.

Anosmia adalah kelainan pada indra penciuman atau dalam kata lain ketidakmampuan
seseorang mencium bau.Anosmia bisa berupa penyakit yang berlangsung sementara
maupun permanen.

Anosmia merupakan suatu tidak adanya/hilangnya sensasi penciuman, dalam hal ini


berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau. Hilangnya sensasi ini bisa parsial
ataupun total.

1.3 Etiologi Anosmia

- Defek konduktif

a.    Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.

b.    Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga menghalangi
aliran adorant / ke epitel olfaktorius.

c.    Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat


menyebabkan obstruksi.
- Defek sentral / sensorineural

a.    Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada transmisi
sinyal.

b.    Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf.

c.    Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan
mengakibatkan anosmia.

d.    Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi

e.    Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui pembauan.

1.4 Manifestasi Klinis Anosmia

- Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau.

- Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi seluruh bau.

- Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.

- Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat dideteksi)

- Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di makan.

- Berkurangnya nafsu makan.

1.5 Patofisiologi Anosmia

Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam sistem penginderaan kimia


(chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika
molekul–molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf
khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel–sel ini menyalurkan pesan ke otak,
dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di
stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel–
sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung
bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori)
terjadi karena adanya molekul–molekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan
mengenal olfactory membrane.

Manusia memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara
masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf. Pada mekanisme terdapat gangguan
atau kerusakan dari sel–sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls
menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak
dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari
saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk.

                

1.6 Pemeriksaan Penunjang pada Anosmia

- Biopsi neuroepitelium olfaktorius.

Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel
pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang
jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.

- CT scan

  Kelainan tulang, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya

- MRI kepala

Mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di


otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng
kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii
anterior,, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus
paranasalis.

1.7 Komplikasi Anosmia

- Berat badan menurun (diakibatkan karena tidak dapat mencium aroma masakan
sehingga mengakibatkan nafsu makan berkurang)

- Malnutrisi (kelanjutan dari berat badan menurun yang tidak diatasi)

- Depresi
1.8 Penatalaksanaan Anosmia

Penatalaksanaan anosmia adalah sebagai berikut:

- Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman


antara lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi

- Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.

- Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan
dekongostan nasal.

- Suplemen zink kadang direkomendasikan

- Kerusakan neuro olfaktorius  akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak
dapat di obati

- Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A.


1.9 Pathway Anosmia
1.10 Eviden Basic Practice

Diartikan sebagai sebuah proses yang digunakan untuk memanfaatkan atau


menggunakan evidence atau bukti (Research dan quality improvement), decision
making dan nursing expertise untuk membimbing dalam pemberian asuhan
keperawatan atau pelayanan yang holistic kepada pasien.
EBP pada dasarnya sangat diperlukan untuk dapat mencapai patient outcomes,
menghindari intervensi yang tidak perlu dan tidak sesuai dan tentu saja
mengurangi/menghindari komplikasi hasil dari perawatan dan juga pengobatan.

1.11 Terapi Komplementer pada Anosmia

Ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi komplementer invasif adalah
akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam
pengobatannya.

Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi
suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki,
rolfing, dan terapi lainnya. National Center for Complementary/Alternative Medicine
(NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima
kategori. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan
berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala
fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa,
journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni. Kategori kedua, Alternatif
sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan
pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya pengobatan tradisional
Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy.
Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan
praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan). Kategori keempat
adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh manipulasi dan
pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing,
terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang
fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari
luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong,
magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa
kombinasi antara biofield dan bioelektromagnetik.

Klasifikasi lain meliputi gaya hidup (pengobatan holistik, nutrisi), botanikal


(homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur,
refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color
healing, hipnoterapi).

Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan.
Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti
meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan,
mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses
kematian.

Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui


pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer
diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien,
menjawab pertanyaan dasar tentang terapi komplementer dan merujuk klien untuk
mendapatkan informasi yang reliabel, memberi rujukan terapis yang kompeten,
ataupun memberi sejumlah terapi komplementer.

1.12 Kajian Islam

Menurut sebuah penelitian oleh tim ahli dari University of Chicago di Amerika
Serikat, orang yang tidak bisa mencium bau punya kemungkinan besar meninggal
dunia lebih cepat.

Sedangkan dalam Islam dikatakan bahwa kematian merupakan rahasia Allah swt,
dan tidak ada satupun orang yang dapat memperkirakan kapan kematian itu datang.
Seperti dijelaskan dalam ayat di bawah ini:

Surah Ali 'Imran Ayat 145

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya“.

Ketika seseorang kehilangan fungsi indera pembau baik total ataupun parsial
(sebagian) berarti ia kehilangan salah satu nikmat dari Allah swt.
ِّ‫آاَل ء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذبَا ِن فَبِأَي‬

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman
[55] )

٣٤﴿ ‫وا نِ ْع َمتَ هّللا ِ الَ تُحْ صُوهَا إِ َّن ا ِإلن َسانَ لَظَلُو ٌم َكفَّا ٌر‬
ْ ‫﴾ َوآتَا ُكم ِّمن ُك ِّل َما َسأ َ ْلتُ ُموهُ َوإِن تَ ُع ُّد‬

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
(QS. Ibrahim [14] : 34)

2. Konsep Asuhan Klien dengan Gangguan Anosmia


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
Riwayat tindakan medis yang sedang berlangsung maupun sebelumnya.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pasien tampak kesusahan dalam mencium aroma
Palpasi : tidak teraba massa
Perkusi : -
Auskultasi : -terdapat bunyi tambahan
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang

- Biopsi neuroepitelium olfaktorius.

Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan


interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa
disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan
hati-hati.

- CT scan

  Kelainan tulang, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya

- MRI kepala
Mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak
lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan
penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus
menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior,, sinusitis paranasalis,
dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis.

2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran
pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas
2.2.2 Batasan Karekteristik
- tidak ada batuk
- Suara napas tambahan
- Perubahan irama napas
- Sianosis
- Kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara
- Penurunan bunyi napas
- Dipsneu
- Sputum dalam jumlah yang berlebihan
- Batuk yang tidak efektif
- Orthopneu
- Gelisah
- Mata terbuka lebar
2.2.3 Faktor yang Berhubungan
- Spasme jalan napas
- Mokus dalam jumlah berlebih
- Materi asing dalam jalan napas
- Sekresi bertahan atau sisa sekresi
- Sekresi dalam bronki
- Infeksi

Diagnosa 2: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


2.2.4 Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
2.2.5 Batasan Karekteristik
- Menghindari makanan
- Berat badan 20% atau lebih di bawah berat badan ideal
- Kurang makanan
- Kurang informasi
- Membrane mukosa pucat
- Ketidakmampua memakan makanan
- Kurang minat pada makanan
- Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
- Mengeluh gangguan sensasi rasa
2.2.6 Faktor yang Berhubungan
- Faktor biologis
- Faktor ekonomi
- Faktor psikologis

Diagnosa 3: Defisiensi pengetahuan


2.2.7 Definisi
Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu
2.2.8 Batasan Karekteristik
- Perilaku hiperbola
- Ketidakakuratan mengikuti perintah
- Ketidakakurata melakukan tes
- Perilaku tidak tepat (missal hysteria, bermusuhan, agitas, apatis)
- Pengungkapan masalah
2.2.9 Faktor yang Berhubungan
- Keterbatasan kognitif
- Salah inteprestasi informasi
- Kurang pajanan
- Kurang minat dalam belajar
- Kurang dapat mengigat
- Tidak familiar dengan sumber informasi
2.3 Perencanaan
Diagnose 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan:
- Respiratory status: ventilation
- Respiratory status: airway patency
Kriteria hasil:
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspnea (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
- Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat
jalan nafas
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi keperawatan:
- Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction
- Informasikan pada klien tentang suctioning
- Minta klien napas dalam sebelum suction dilakukan
- Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
nasotrakea
- Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
- Monitor status oksigen pasien
- Lakukan fisioterapi dada
- Keluarkan secret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara napas catat adanya suara tambahan
Rasional:
- Adanya bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan sekret atau
sekret berlebih di jalan nafas.
- Pasien dan keluarga tahu apa tindakan yang akan dilakukan
- Mengurangi nyeri saat suction dilakukan
- Asupan O2 terpenuhi
- Menghindari terjadinya infeksi
- Terpantau status pasien
- Mengeluarkan secret
- Mengeluarkan secret dengan cara batuk atau suction
- Suara napas tambahan dapat menjadi indikator gangguan kepatenan
jalan napas yang tentunya akan berpengaruh terhadap kecukupan
pertukaran udara.

Diagnose 2: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil

Tujuan:

- Nutritional status
- Nutrisi status: food and fluid intake
- Nutrional status: nutrient intake
- Weight control
Kriteria hasil:
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
- Tidak terjadi penurunan berat badan ideal
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi keperawatan:
- Kaji adanya alergi makanan
- Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mecegah
konstipasi
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
- Monitor adanya penurunan berat badan
- Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
Rasional:
- Menghindari terjadi alergi akibat makanan pada pasien
- Kosntipasi terjadi akibat kurang mengonsumsi serat
- Pegetahuan tentang pentingnya asupan nutrisi
- Menghindari terjadi mallnutrisi
- Kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah salah satu tanda gizi
buruk

Diagnose 3 : Defisiensi penngetahuan

2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil


Tujuan:
- Knowledge: disease process
- Knowledge: health behavior
Kriteria hasil:
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar
- Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat atau tim kesehatan lainnya
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi keperawatan:
- Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yamg tepat
- Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
- Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
Rasional:
- Pasien dan keluarga pasien mengetahui tanda dan gejala yang muncul
- Pasien dan keluarga pasien mengetahui proses perjalanan penyakit
yang di derita pasien
- Mengidentifikasi penyebab dari penyakit yang diderita pasien
DAFTAR PUSTAKA

Akil, M. Amsyar. 2007. Penghidu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin. 

Huda Arief, Amin & Hardhi Kusuma. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis Nanda NIC NOC. Yogyakarta: MediAction.

Anda mungkin juga menyukai