CARDIAC ARREST
Disusun Oleh :
dr. Kurnia Halim
Pembimbing :
dr. Tubagus Yuli Rohmawanur, Sp.An
1
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmatNya kepada
penulis sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada
waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi UKP yang di seminarkan
dalam rangkaian kegiatan Program Internship Dokter Indonesia.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis telah mendapat banyak bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. dr. Tubagus Yuli, Sp.An dan dr. Eling Handayani selaku pembimbing
dokter internship di Rumkit Tk. IV Kencana Serang.
2. Rekan – rekan dokter intership yang hadir dalam presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik
di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000
orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada.
Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti
jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi
tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya
resusitasi.1,2
Henti jantung adalah suatu keadaan bila jantung berhenti berkontraksi dan tidak
memompa darah. Henti jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut
yang dihadapi oleh staf medik yang sering tidak menunjukkan tanda-tanda awal
sebelumnya.3
Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan
fungsi sirkulasi dan atau pernafasan pada henti jantung (cardiac arrest) dan atau
henti nafas (respiratory arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh
suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi
tersebut bekerja kembali yang merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke
otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi
pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat. 1,2
Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan
mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi
penderita yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera
maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali
Namun, pada beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada
keadaan henti jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi
kerusakan otak yang permanen.1
Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan
pertolongan yang berarti bagi pasien.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari surat kematian beberpa rumah
sakit, didapatkan bahwa kejadian henti jantung mendadak terjadi sekitar 15% dari
semua kematian di negara-negara Barat (330.000 per tahun di Amerika Serikat).
Analisi dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa risikonya tiga kali lebih
besar pada laki-laki (12,3%) dibandingkan perempuan (4,2%). Namun perbedaan
gender ini menghilang setealh pasien melampaui usia 85 tahun.1,2
2.3 Etiologi
Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik di dalam
jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantung
tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama jantung
abnormal, yang biasa kita sebut dengan aritmia. Terdapat banyak tipe dari aritmia,
jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti
berdetak. Ketika aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada
darah ke dalam sirkulasi.4,5
Secara garis besar penyebab henti jantung dibagi menjadi 2 yaitu penyebab yang
5
bersumber dari kardiak yang meliputi penyakit arteri koroner, arterosklerosis,
penyakit jantung kongenital, inflamasi miokardial dll. Sedangkan yang bersumber
dari non kardiak adalah perdarahan, emboli pulmonal, penyakit paru, gangguan
elektrolit, perdarahan subarakhnoid, overdosis obat dll. Sedangkan faktor resiko
terjadinya henti jantung sendiri meliputi riwayat IMA, penurunan fungsi ventrikel
kiri, usia, hipertensi, peningkatan kadar kolesterol, kurangnya aktivitas fisik,
perokok, pecandu alkohol, diabetes dll.4
Terdapat juga pembagian yang mengakatan bahwa secara umum henti jantung
disebabkan oleh malfungsi sistem kelistrikan jantung yang dimanifestasikan
melalui 4 irama jantung yang tidak normal, diantaranya adalah fibrilasi
ventrikular (VF), takikardi ventrikel (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan
asistole.5
pada ventrikel miokard. Ada beberapa faktor pada tingkat organ (misalnya,
break, and action potential duration alternans), tingkat seluler (triggered activity
saluran ion) yang terlibat dalam terjadinya VT atau VF pada kondisi yang
berbeda. Sebuah blok anatomis atau fungsional dalam penjalaran impuls dapat
mengakibatkan VT. Mekanisme lain seperti gelombang istirahat (wave break) dan
pada tingkat sel meningkatnya eksitasi atau penurunan cadangan repolarisasi dari
6
natrium (Na+ channelopathy) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya VT
dan VF.5 Gambaran EKG dari VT seperti pada gambar 2.1 dibawah
7
Karakteristiknya meliputi6:
irregular
b. VF (ventricular fibrillation)
sangat cepat dan tidak teratur. Ketika kondisi ini terjadi menyebabkan jantung
akan memompa sedikit darah atau tidak ada darah yang mengalir ke tubuh.5
8
Gambaran EKG dari VF seperti pada gambar 2.2 dibawah. Karakteristiknya
meliputi6:
ventricular (Neumar et al., 2010). PEA terjadi pada seorang yang memiliki
dalam kondisi tidak adanya pemendekan miosit jantung yang sinkron. Ada
9
PEA merupakan kondisi patofisiologi yang lebih kompleks karena tidak adanya
d. Asistole
10
2.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran; napas
dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas); tekanan darah sangat
rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri; dan
tidak ada denyut jantung. Henti jantung dapat datang secara tiba–tiba dan berat,
sehingga penderita tidak sadar apa yang dialaminya. Akan tetapi tidak jarang
gejala henti jantung berawal dari yang ringan, berupa nyeri ringan atau
untuk mencari pertolongan. Di bawah ini adalah tanda dan gejala yang sering
2.5 Diagnosa
Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya pulsasi
terutama pada arteri karotis . Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis adalah
standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi
(khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misalnya
shock).4
11
2.6 Penatalaksanaan
Henti jantung (Cardiac arrest) merupakan keadaan yang berbahaya yang dapat
menyebabkan kematian. Tujuh puluh persen dari pasien henti jantung yang berada
sekitar 50% tidak mendapat pertolongan atau tidak diketahui. Pasien yang mengalami
menjadi sangat buruk, dimana hanya 10.8% dari pasien dewasa yang mengalami henti
jantung tanpa kasus trauma yang mendapatkan penatalaksanaan resusitasi dari tim
Berbeda dengan OHCAs, In-hospital cardiac arrest (IHCA) atau henti jantung yang
berada di rumah sakit memiliki prognosis yang lebih baik yakni 22.3% hingga 25.5%
dari semua kasus yang dapat bertahan.1 BLS (Basic Life Support) merupakan prinsip
dasar untuk menghentikan serta menyelamatkan seseorang dari keadaan henti jantung.
Aspek-aspek yang menjadi dasar dari BLS ini yaitu pengenalan segera keadaan henti
12
2.6.1 Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) / Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas
atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian
biologis. Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri
femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan
terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan
otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh
karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan
dan tepatnya teknik yang dilakukan. BLS membebaskan jalan napas, diikuti dengan
ventilasi bantuan dan ketersediaan dari sirkulasi. Tujuan utama resusitasi adalah untuk
mengembalikan denyut jantung dan mengembalikan fungsi sirkulasi, serta memberikan
bantuan dasar untuk mempertahankan hidup. Umumnya pasien yang memerlukan
resusitasi jantung paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu1,8:
1. Tanpa denyutan nadi tapi masih ada pernapasan
13
1) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan
curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan
yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti
jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk henti jantung. 3,6
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis
henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi
besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis)
atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu),
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak
sadar.3,6
14
a. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:6
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin, untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular
complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
15
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang. 6
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang
16
tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan
memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest
compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR kerana
perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression
merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.1
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan
hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi
koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada
pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi
kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)
atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of
survival” pada kondisi HCA maupun OHCA.1
17
Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA1
Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American
Heart Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini
digunakan secara global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma
dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa.
18
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa1
Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive
maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan
memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.
19
Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan.
Penolong harus
20
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa 1
21
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu
memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit)
untuk pasien dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan
kompresi dada berkelanjutan1
22
4) Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi
Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama
seperti pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa
perbedaan ini seperti yang tercantum pada tabel 2.
23
Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi1
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang
penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu
orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu
30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi
24
Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong1
25
Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong1
26
27
2.6.2 Terapi Obat
Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat
antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut
dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk
menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis
terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.9
28
adalah 0.5-1.0 mg secara intravena atau dapat diencerkan dengan
akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada anakanak yaitu 10
mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui pipa
endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades
steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian
pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC,
untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20
mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera mungkin. Pemberian
adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi
berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan
vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga
pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan
vasopressin.9,10
b. Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal
natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta
adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan
farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan
ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron
diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan
keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian
vasopressor dan terapi defibrillator.9 Dosis pemberian amiodaron adalah
sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali dan
kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron
dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis
pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam.9
29
Pemberian amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai
profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel.
Amiodaron memiliki efek hipotensi dan bradikardi, sehingga
pemberiannya perlu diperhatikan.9,10
30
lambat. Namun Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk digunakan
rutin dalam pengelolaan pulseless electrical activity (PEA)/asistol.
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan
mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling
berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi
sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. 9
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa
adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3
mg. Untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB
dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3
mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5 menit. Dosis pemberian
atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg
IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan juga
bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia
setelah resusitasi.9
31
f. Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam
regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel.
Magnesium tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien
dengan henti jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau
neurologis sehingga pemberian magnesium tidak direkomendasikan. 11
Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti
jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes. 9,11 Dosis yang
diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian
diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas.11
g. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.
Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker. 11 Kalsium
sangat diperlukan pada kasus henti jantung karena disosiasi
elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan
pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung
disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.10,11
Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung
tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan
angka survival rate di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus
henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan
otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat
mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.9, Dosis yang
biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10%
kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium
glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.11
32
BAB III
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34
35