Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH VITAMIN C TERHADAP WARNA URIN DAN

KEJERNIHAN URIN

LAPORAN HASIL PENGAMATAN

Disusun oleh :

Zakia Intan Tiara

NIM : 20711158

Kelompok Tutorial 06

Tutor : dr. Anisa Rachmawati

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. HASIL PENGAMATAN URIN

Pengamatan Urin kali ini dilaksanakan dengan mengambil 2 sampel urin


pada hari Sabtu tanggal 12 Juni 2021.

Sample Gambar Warna Kejernihan Keterangan


Ke-
I Kuning Jernih Urin bewarna
bening kuning bening
dan memiliki
tingkat
kejernihan yang
jernih.

Gambar 1.1 Pengambilan


urin pada menit ke 0. Pada
pukul 07.00 WIB sebelum
mengonsumsi vitamin C
II Kuning Jernih Urin berubah
gelap menjadi warna
kuning gelap
dan kejernihan
sama dengan
sampel I.

Gambar 1.2 Pengambilan


urin pada menit ke 90 setelah
mengonsumsi vitamin c
dengan dosis 500 mg
B. PEMBAHASAN

Vitamin C (Askorbat) adalah vitamin yang larut dalam air dan vitamin
essensial karena tidak dapat dihasilkan oleh tubuh, sehingga harus mendapat
asupan dari luar (Padayatty and Levine, 2016). Vitamin C dibutuhkan untuk
sintesis kolagen dan protein utama tulang, jika kekurangan menyebabkan
penurunan produksi kolagen akan memperlambat pertumbuhan dan menunda
perbaikan tulang yang patah (Tortora, Gerard J & Derrickson, 2011). Tanpa asam
askorbat, maka serabut kolagen yang terbentuk di semua jaringan tubuh menjadi
cacat dan lemah. Oleh sebab itu, vitamin C penting untuk pertumbuhan dan
kekuatan serabut di jaringan subkutan, kartilago, tulang, dan gigi (Guyton AC,
2016). Pada asupan di atas sekitar l00mg/hari, kapasitas tubuh untuk
memetabolisme vitamin C mengalami kejenuhan, dan asupan yang lebih tinggi
akan diekskresi dalam urine (Graner, Daryl K., Murray, 2012).

Vitamin C terutama dimetabolisme secara reversibel menjadi asam


dehidroaskorbat (DHA) apabila tidak didaur ulang selanjutnya akan menjadi
asam 2,3diketo-L-gulonat (DKGA) dan oksalat yang diekskresikan dalam urin
(Spoelstra-de Man et al., 2018). Vitamin C diangkut secara spesifik melalui
pengangkut atau transporter yaitu Sodium Ascorbate CoTransporter-1 (SVCT1)
dan Sodium Ascorbate CoTransporter-2 (SVCT2) (Lindblad et al., 2013). Vitamin
C di absorpsi melalui saluran cerna, pada bagian atas usus halus secara difusi lalu
masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Vitamin C terdistribusi luas dalam
jaringan tubuh (Padayatty and Levine, 2016).

Vitamin C dicerna, diserap dari lumen usus dan diangkut ke berbagai


organ perifer dengan darah. Akhirnya, vitamin C diekskresikan di glomerulus
ginjal dan diserap kembali melalui sistem tubulus proksimal (Lindblad et al.,
2013). Di glomerulus ginjal Ascorbic Acid (ASC) dalam darah disaring ke dalam
urin. Namun, tergantung pada seberapa banyak setiap individu menkonsumsi
vitamin C, sebagian besar direabsorbsi di sepanjang tubulus proksimal.
Reabsorpsi ini terutama terjadi di sisi apikal membran epitel melalui SVCT1.
Diasumsikan bahwa DHA juga diserap kembali dari filtrat glomerulus, meskipun
belum dikonfirmasi secara pasti. Ketersediaan DHA untuk reabsorpsi dapat
diabaikan, karena konsentrasi DHA yang sangat rendah dalam plasma (Padayatty
and Levine, 2016).

Vitamin C yang sudah dikonsumsi akan diserap melintasi epitel usus


terutama oleh transporter membran di membran brush border apikal, bergantung
pada SVCT1 (pengangkut vitamin C yang bergantung pada natrium dan pembawa
zat terlarut dari jenis pengangkut askorbat yaitu SLC23A1) atau sebagai DHA
melalui difusi terfasilitasi transporter Glucose Transporter type 2 (GLUT2) atau
GLUT3. Begitu berada di dalam sel, DHA secara efisien diubah menjadi ASC
atau diangkut ke aliran darah oleh GLUT1 dan GLUT2 di membran basolateral,
sehingga mempertahankan konsentrasi intraseluler yang rendah dan memfasilitasi
penyerapan DHA lebih lanjut. ASC disampaikan ke plasma melalui difusi,
mungkin juga dengan difusi terfasilitasi melalui Volume-Sensitive Anion Channel.
SVCT2 yang terletak di membran basolateral memungkinkan pengambilan
kembali ASC dari plasma ke epitel usus. Transporter GLUT2 terletak di membran
basolateral, memungkinkan pengangkutan DHA ke plasma (Lindblad et al.,
2013).

Gambar 1.3 Mekanisme transportasi antara darah dan ginjal (Lindblad et al.,
2013).
Penyerapan dan distribusi jaringan vitamin C Vitamin C diserap dari usus
kecil pada manusia, mencapai konsentrasi vitamin C plasma puncak sekitar 120-
180 menit setelah konsumsi (Padayatty and Levine, 2016). Setelah penyerapan,
karena vitamin C larut dalam air, vitamin C didistribusikan dari darah ke seluruh
ruang ekstraseluler. Konsentrasi asam askorbat jauh lebih tinggi di jaringan
daripada di plasma (Lindblad et al., 2013).

Sekitar 20% dari ekskresi urin mengeluarkan asam askorbat yang tidak
dimetabolisme, 20% lainnya untuk asam 2,3-diketo-L-gulonat, 2% untuk asam
dehidroaskorbat, sedangkan rata-rata 44% dieliminasi dalam bentuk oksalat
Penggunaan dosis harian 30-60 mg, hampir tidak ada vitamin C yang
diekskresikan dalam urin dalam waktu 24 jam, sedangkan dosis 100 mg
menghasilkan 25% dari dosis vitamin C yang diekskresikan dan dosis yang setara
atau di atas 500 mg hampir seluruhnya diekskresikan. Waktu paruh eliminasi
vitamin C umumnya sekitar 2 jam (Lindblad et al., 2013).

C. KESIMPULAN

Vitamin C merupakan vitamin yang mudah teroksidasi dan larut dalam air.
Kelebihan vitamin C akan dibuang melalui urin karena tubuh menahan vitamin C
sedikit. Apabila menkonsumsi vitamin C dalam jumlah besar atau berlebih maka
akan dieksresikan melalui urin, sehingga membuat warna urin menjadi lebih pekat
dari sebelum mengonsumsi vitamin C. Hanya saja bila menkonsumsi vitamin C
terus menerus secara berlebih dalam jangka panjang akan berdampak buruk untuk
kesehatan ginjal, karena ginjal akan dipaksa bekerja lebih ekstra untuk menyaring
vitamin C yang akan dikeluarkan bersama urin. Juga ada kadar oksalat dalam
vitamin C yang bisa menjadi batu jika menumpuk terlalu lama di ginjal. Simpanan
vitamin C dalam tubuh tidak terlalu lama dan juga terbatas, jadi perlu
mengonsumsinya secara teratur.

E. DAFTAR PUSTAKA
Graner, Daryl K., Murray, R.K., 2012. Biokimia Harper, 29th ed. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Guyton AC, H.J., 2016. Textbook Of Medical Physiology, 13th ed. Philadelphia:
Elsevier.
Lindblad, M., Tveden-Nyborg, P., Lykkesfeldt, J., 2013. Regulation of Vitamin C
Homeostasis during Deficiency. Nutrients 5, 2860–2879.
https://doi.org/10.3390/nu5082860
Padayatty, S., Levine, M., 2016. Vitamin C: the known and the unknown and
Goldilocks. Oral Dis. 22, 463–493. https://doi.org/10.1111/odi.12446
Spoelstra-de Man, A.M.E., Elbers, P.W.G., Oudemans-Van Straaten, H.M., 2018.
Vitamin C. Curr. Opin. Crit. Care 24, 248–255.
https://doi.org/10.1097/MCC.0000000000000510
Tortora, Gerard J & Derrickson, B. 2011., 2011. Principles of Anatomy and
Physiology. Maintenance and Continuity of the Human Body., 13th ed. John
Wiley & Son, Inc.
F. HASIL TURNITIN

Anda mungkin juga menyukai