Kep
padlibinahmad@gmail.com
Selayang Pandang
Materi yang diuraikan dalam makalah ini membahas tentang teori dan keterampilan
terkait tindakan Resusitasi Jantung Paru yang lazim disingkat dengan RJP.
Cakupan dari materi ini meliputi rangkaian langkah-langkah prosedur mulai dari
mengenali, mengatasi dan mengevaluasi kondisi henti napas dan henti jantung
pada pasien. Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca mendapatkan
informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk dapat melakukan tindakan
penyelamatan nyawa dengan tindakan resusitasi jantung paru. Materi ini memuat
tentang:
1. Tujuan RJP,
2. Indikasi RJP,
3. Fase RJP,
4. Rantai kelangsungan hidup
5. Langkah-langkah (sekuens) pertolongan pertama berdasarkan pedoman terkini
dari American Heart Association tahun 2010, baik dengan satu orang penolong
maupun lebih (tim).
Tentu saja karya kecil ini belum bisa dianggap sempurna, sehingga masukan dan
saran yang membangun dari para teman sejawat akan semakin berkontribusi dalam
perbaikan baik dalam aspek konten materi maupun dalam aspek penuturan bahasa
penulisan. Masukan dapat dikirm ke adhamners@yahoo.com
Makalah ini dapat diakses dan dibaca oleh siapa saja yang berminat tanpa
royalti apapun yang harus ditujukan kepada penulis, selama makalah ini
dipergunakan bukan dalam rangka mencari profit atau keuntungan materi.
Terima kasih atas perhatian yang telah dicurahkan, mudah-mudahan dapat
membawa manfaat.
padlibinahmad@gmail.com
Ns.Padli, S.Kep
Pendahuluan
Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun
perempuan di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang mengalami
serangan jantung, dimana setiap 34 detik terdapat satu orang yang mengalami
serangan jantung. Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar 300.000
orang di Amerika Serikat yang mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan
kurang dari 15% yang dapat tetap bertahan hidup. Dari data statistik ini,
menunjukkan tingginya kebutuhan kemampuan pertolongan pertama pada pasien
serangan jantung yang berakibat pada henti jantung baik pada orang awam maupun
pada tenaga kesehatan utamanya perawat.
Tujuan RJP
Pemberian RJP memiliki dua tujuan utama, yaitu:
a. Mencegah berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan ventilasi
(melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti jantung atau henti
napas.
Indikasi RJP
RJP dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung atau cardiac arrest.
Cardiac arrest ialah tidak adanya aktivitas mekanis jantung, yang dapat dikonfirmasi
dengan tidak terabanya denyut nadi, tidak ada respon dan apnea atau napas
gasping (terengah-engah). Istilah cardiac arrest lebih umum digunakan jika
dibandingkan dengan cardiopulmonary arrest karena istilah ini lebih ditujukan pada
pasien yang tidak bernapas (atau hanya gasping) sekaligus nadinya tidak teraba.
Pernapasan gasping merupakan pernapasan abnormal dan tidak dapat dianggap
sebagai tanda pernapasan yang adekuat.
padlibinahmad@gmail.com
Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang berlangsung
tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest (SCD). SCD merupakan
suatu kondisi kematian alamiah yang didahului dengan hilangnya kesadaran dalam
waktu satu jam sejak onset perubahan akut pada status kardiovaskuler. Berikut
ditampilkan skema yang menunjukkan tahapan SCD dari empat persepktif
kronologis yaitu: (1) tanda peringatan (warning sign atau prodromal), (2) onset
peristiwa terminal, (3) cardiac arrest, (4) perkembangan pada kematian biologis.
Prodromal
Cardiac Arrest
Onset peristiwa
terminal
Gejala
kardiovaskuler
baru atau
Perburukan
Nyeri dada
Palpitasi
Dispnea
Fatig (lelah)
Kolaps tiba-tiba
Hilangnya
sirkulasi
efeketif
Hilang
kesadaran
Hingga 1 jam
Kematian biologis
Kegagalan sirkulasi
ATAU
kegagalan fungsi
elektris, mekanis
jantung atau SSP
setelah resusitasi
awal
Menit s.d. minggu
Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:
a. Takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia atau VT),
dimana EKG menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur dengan
frekuensi lebih dari 120 kali/menit.
b. Fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation atau VF), dimana EKG menunjukkan
gelombang yang tidak teratur dengan bentuk yang berbeda-beda yang
menunjukkan terjadinya kontraksi ventrikel yang tidak terkoordinasi.
c. Asistol, dimana EKG menunjukkan tidak adanya
berlangsung pada jantung
d. Aktivitas listrik tanpa nadi (pulseless electrical activity atau PEA), dimana
aktivitas listrik pada jantung menunjukkan adanya gelombang EKG, tapi nadi
sentral (karotis) tidak teraba.
padlibinahmad@gmail.com
Fase RJP
Penelitian telah menunjukkan bahwa cardiac arrest akibat VF terjadi dalam tiga
fase, yaitu :
1. Fase 1 (fase elektris). Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF
hingga 5 menit setelah henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi tindakan
paling penting selama periode ini.
2. Fase 2 (fase sirkulasi atau hemodinamik). Fase ini berlangsung sejak 5 menit
hingga 15 menit setelah henti jantung. RJP menjadi tindakan paling penting
selama periode ini, setelah itu diikuti dengan pemberian tindakan defibrilasi jika
tersedia.
3. Fase 3 (Fase metabolik). Fase ini berlangsung setelah 15 menit terjadinya henti
jantung. Selama fase ini, efektifitas defibrilasi dan RJP sudah menurun.
Penelitian menunjukkan adanya manfaat pada pemberian terapi hipotermia
dalam jangka waktu beberapa menit hingga beberapa jam setelah munculnya
tanda sirkulasi spontan (spontaneous circulation).
Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan sebagai bagian dari strategi
terapi standar pada korban henti jantung yang mengalami koma. Hipotermia
terapeutik akan memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a. Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera
reperfusi
b. Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c.Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler
sistemik tetapi tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan
darah arteri.
padlibinahmad@gmail.com
Bantuan hidup dasar meliputi mata rantai 1 sampai dengan mata rantai 3,
sedangkan mata rantai 4 dan 5 termasuk pemberian bantuan hidup lanjut (BHL).
padlibinahmad@gmail.com
Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi penolong pada
korban
yang
tiba-tiba
mengalami
henti
jantung.
Keterampilan
RJP
dan
Komplikasi RJP
RJP merupakan tindakan yang tidak akan menimbulkan komplikasi jika dilakukan
dengan tepat. Namun komplikasi yang dapat muncul akibat pemberian napas
bantuan dan kompresi dada yaitu:
a. Akibat napas buatan
Inflasi gaster
Regurgitasi
padlibinahmad@gmail.com
Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan napas dan hindari tidal volume yang
besar dan laju pemberian napas buatan yang terlalu cepat
b. Akibat kompresi dada
Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua.
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang
salah saat melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
Pneumothoraks
Hemothoraks
Kontusio paru
Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa
Emboli lemak
Penghentian RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah
ini, yaitu:
a. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
b. Ada yang lebih bertanggung jawab
c. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
d. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
e. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
Lebam mayat, muncul sekitar 20 30 menit setelah kematian, darah akan
berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi.
Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah
kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian
Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negatif
padlibinahmad@gmail.com
Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak ada
langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Pedoman baru ini berisi
beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu:
Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak
pada bayi baru lahir.
- Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
padlibinahmad@gmail.com
dengan
adekuat
dan
padlibinahmad@gmail.com
Korban ditemukan
Cek respon korban
Tidak ada respon (unresponsive)
Tidak bernapas atau tidak bernapas normal
(hanya gasping/terengah-engah)
Ada denyut
Cek nadi :
Pastikan nadi
dalam 10 detik?
nadi
Berikan 1 shock
Segera lanjutkan RJP
untuk 5 siklus (2 menit)
padlibinahmad@gmail.com
a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa
disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak
menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil
nama/sebutan yang umum dengan keras seperti
Pak! / Bu! / Mas! / Mbak! disertai menyentuh atau
menggoyangkan bahu dengan lembut dan mantap
untuk
mencegah
pergerakan
yang
berlebihan.
padlibinahmad@gmail.com
ada
mengaktifkan
orang
tidak
emergency
sadar
medical
untuk
service
(EMS).
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak
dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau
menggeser lutut.
a. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korban
Ada
tidaknya
denyut
nadi
korban
berada
di
daerah
leher
padlibinahmad@gmail.com
merekomendasikan
agar
kompresi
dada
b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka
sehingga memungkinkan pasien dapat diberi bantuan
napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua tahapan,
yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
-
finger),
ibu
jari
diletakkan
padlibinahmad@gmail.com
Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien
yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7%
mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien
mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8.
c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara
memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik dan volume udara yang
padlibinahmad@gmail.com
dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada pasien/korban
tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk memberikan hembusan
napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta
perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban.
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:
1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut) Teknik
ini merupakan cara yang cepat dan
efektif untuk memberikan udara ke paru
paru korban / pasien. Pad a saat
dilakukan hembusan napas penolong
harus mengambil napas terlebih dahulu
dan mulut penolong harus dapat
menutup
seluruh mulut pasien/korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung
pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara
keluar kembali dari hidung.
2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut korban
tidak memungkinkan, misalnya pada mulut korban mengalami luka yang
berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya pada saat
memberikan hembusan pada hidung pasien/korban, penolong harus harus
menutup mulut pasien/korban.
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma) pada
area leher yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien ini
mengalami
kesulitan
pernapasan
maka
harus
dilakukan
bantuan
padlibinahmad@gmail.com
kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak boleh dihentikan untuk pemberian
ventilasi.
e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal
ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama
jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah
tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat
mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika
perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada
penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan
bantuan sirkulasi.
padlibinahmad@gmail.com
Tim resusitasi ini dipimpin oleh seorang Team Leader (ketua tim) yang biasanya seorang
intensivis atau dokter IGD yang memiliki pengalaman dalam penanganan henti jantung.
Pada beberapa rumah sakit, ketua timnya adalah seorang perawat yang telah terlatih
untuk melakukan penanganan henti jantung. Perawat dapat memakai standing order
dokter untuk mengarahkan pengambilan keputusan selama upaya resusitasi, walaupun
pada kebanyakan rumah sakit, sertifikasi pelatihan penanganan henti jantung tahap
lanjut (intermediate atau advance) dijadikan sebagai prasyarat bagi perawat untuk dapat
melakukan penanganan henti jantung dan saat dokter tidak ada, penanganan
kegawatdaruratan dapat dipimpin oleh seorang perawat yang terlatih. Pada lahan
prehospital, upaya resusitasi biasanya dipimpin oleh seorang paramedis namun harus
bertugas di bawah standing order dokter, atau protokol tetap lokal yang berlaku.
Upaya resusitasi membutuhkan koordinasi pada empat tugas utama, yaitu:
a. Kompresi dada
b. Pengelolaan jalan napas
c. Monitor EKG dan defibrilasi
d. Akses IV dan pemberian obat
Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan
bertanggung jawab menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun
jika pembagian tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi
padlibinahmad@gmail.com
tanggung jawab ke setiap anggota tim. Berikut ini diuraikan tugas masing-masing
personil dari tim resusitasi yaitu:
a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:
- Mengkaji pasien
- Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
- Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
-
Mengawasi
anggota
tim
(dan
memastikan
bahwa
setiap
anggota
tim
Memastikan pemberian posisi yang tepat saat akan dilakukan pemasangan jalan
napas lanjut (intubasi)
Memastikan kesesuaian obat, dosis dan rute pemberian obat (juga memastikan
bahwa obat diberikan dengan tepat pada situasi disritmia dan obat bolus IV
dilakukan flushing 20 ml NaCL kemudian ekstremitas dielevasikan.
- Memastikan kemanan seluruh anggota tim (terutama saat defibrilasi dilakukan)
padlibinahmad@gmail.com
Melakukan penghisapan jalan napas atas dengan memilih alat dan selang
suction yang tepat
Mengatasi
dan
mencari
jalan
keluar
jika
mesin
defibrilasi
tidak
berfungsi/bermasalah
4) Anggota tim akses intravena dan medikasi
Anggota tim ini sering disebut dengan circulator, memiliki tanggung jawab
untuk: - Memilih vena yang tepat dan memasang akses IV
padlibinahmad@gmail.com
Memberikan obat dan melakukan flushing dengan NaCl 20 mL serta elevasi ektremitas
(sekitar 10-20 detik) pada ekstremitas yang terpasang akses intravena
Memahami rute pemberian obat dan dosis yang tepat seperti pemeberian obat melalui
IV, IO dan trakeal.
Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses
intravena dijalankan oleh satu orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain
menjalankan tanggung jawabnya memberikan akses intravena dan medikasi juga
menjalankan tanggung jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang
terdiri dari empat orang (atau 5 orang dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang
(atau empat orang dengan leader). Kondisi ini tergantung ketersediaan staf yang
ada atau prosedur standar di rumah sakit.
Referensi
Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2010). Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S685S705.
Ignatavicius, D. D., & Workman,
M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses Association. 5th Ed.
USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 1292.
Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing: Assesment and
Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2010). Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association,
122, 122;S729-S767.
Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684.
padlibinahmad@gmail.com