Anda di halaman 1dari 25

Ns. Padli, S.

Kep

padlibinahmad@gmail.com

Resusitasi Jantung Paru

Selayang Pandang
Materi yang diuraikan dalam makalah ini membahas tentang teori dan keterampilan
terkait tindakan Resusitasi Jantung Paru yang lazim disingkat dengan RJP.
Cakupan dari materi ini meliputi rangkaian langkah-langkah prosedur mulai dari
mengenali, mengatasi dan mengevaluasi kondisi henti napas dan henti jantung
pada pasien. Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca mendapatkan
informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk dapat melakukan tindakan
penyelamatan nyawa dengan tindakan resusitasi jantung paru. Materi ini memuat
tentang:
1. Tujuan RJP,
2. Indikasi RJP,
3. Fase RJP,
4. Rantai kelangsungan hidup
5. Langkah-langkah (sekuens) pertolongan pertama berdasarkan pedoman terkini
dari American Heart Association tahun 2010, baik dengan satu orang penolong
maupun lebih (tim).

Tentu saja karya kecil ini belum bisa dianggap sempurna, sehingga masukan dan
saran yang membangun dari para teman sejawat akan semakin berkontribusi dalam
perbaikan baik dalam aspek konten materi maupun dalam aspek penuturan bahasa
penulisan. Masukan dapat dikirm ke adhamners@yahoo.com

Makalah ini dapat diakses dan dibaca oleh siapa saja yang berminat tanpa
royalti apapun yang harus ditujukan kepada penulis, selama makalah ini
dipergunakan bukan dalam rangka mencari profit atau keuntungan materi.
Terima kasih atas perhatian yang telah dicurahkan, mudah-mudahan dapat
membawa manfaat.

padlibinahmad@gmail.com

Ns.Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Pendahuluan
Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun
perempuan di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang mengalami
serangan jantung, dimana setiap 34 detik terdapat satu orang yang mengalami
serangan jantung. Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar 300.000
orang di Amerika Serikat yang mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan
kurang dari 15% yang dapat tetap bertahan hidup. Dari data statistik ini,
menunjukkan tingginya kebutuhan kemampuan pertolongan pertama pada pasien
serangan jantung yang berakibat pada henti jantung baik pada orang awam maupun
pada tenaga kesehatan utamanya perawat.

Tujuan RJP
Pemberian RJP memiliki dua tujuan utama, yaitu:
a. Mencegah berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan ventilasi
(melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti jantung atau henti
napas.

Indikasi RJP
RJP dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung atau cardiac arrest.
Cardiac arrest ialah tidak adanya aktivitas mekanis jantung, yang dapat dikonfirmasi
dengan tidak terabanya denyut nadi, tidak ada respon dan apnea atau napas
gasping (terengah-engah). Istilah cardiac arrest lebih umum digunakan jika
dibandingkan dengan cardiopulmonary arrest karena istilah ini lebih ditujukan pada
pasien yang tidak bernapas (atau hanya gasping) sekaligus nadinya tidak teraba.
Pernapasan gasping merupakan pernapasan abnormal dan tidak dapat dianggap
sebagai tanda pernapasan yang adekuat.

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang berlangsung
tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest (SCD). SCD merupakan
suatu kondisi kematian alamiah yang didahului dengan hilangnya kesadaran dalam
waktu satu jam sejak onset perubahan akut pada status kardiovaskuler. Berikut
ditampilkan skema yang menunjukkan tahapan SCD dari empat persepktif
kronologis yaitu: (1) tanda peringatan (warning sign atau prodromal), (2) onset
peristiwa terminal, (3) cardiac arrest, (4) perkembangan pada kematian biologis.

Prodromal

Cardiac Arrest

Onset peristiwa
terminal

Gejala
kardiovaskuler
baru atau
Perburukan
Nyeri dada
Palpitasi
Dispnea
Fatig (lelah)

Perubahan tibatiba pada status


klinis
Aritmia
Hipotensi
Nyeri dada
Dispnea
Pusing

Hari s.d. bulan

Kolaps tiba-tiba
Hilangnya
sirkulasi
efeketif
Hilang
kesadaran

Hingga 1 jam

Kematian biologis

Kegagalan sirkulasi
ATAU
kegagalan fungsi
elektris, mekanis
jantung atau SSP
setelah resusitasi
awal
Menit s.d. minggu

Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:
a. Takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia atau VT),
dimana EKG menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur dengan
frekuensi lebih dari 120 kali/menit.
b. Fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation atau VF), dimana EKG menunjukkan
gelombang yang tidak teratur dengan bentuk yang berbeda-beda yang
menunjukkan terjadinya kontraksi ventrikel yang tidak terkoordinasi.
c. Asistol, dimana EKG menunjukkan tidak adanya
berlangsung pada jantung

aktivitas listrik yang

d. Aktivitas listrik tanpa nadi (pulseless electrical activity atau PEA), dimana
aktivitas listrik pada jantung menunjukkan adanya gelombang EKG, tapi nadi
sentral (karotis) tidak teraba.
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Irama VT dan VF dikategorikan sebagai irama shockable, yang artinya irama-irama


ini dapat diberikan kejut listrik (shock) dengan menggunakan defibrilator untuk
mengakhiri irama tersebut. Sedangkan irama asistol dan PEA dikategorikan sebagai
irama nonshockable.

Fase RJP
Penelitian telah menunjukkan bahwa cardiac arrest akibat VF terjadi dalam tiga
fase, yaitu :
1. Fase 1 (fase elektris). Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF
hingga 5 menit setelah henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi tindakan
paling penting selama periode ini.
2. Fase 2 (fase sirkulasi atau hemodinamik). Fase ini berlangsung sejak 5 menit
hingga 15 menit setelah henti jantung. RJP menjadi tindakan paling penting
selama periode ini, setelah itu diikuti dengan pemberian tindakan defibrilasi jika
tersedia.
3. Fase 3 (Fase metabolik). Fase ini berlangsung setelah 15 menit terjadinya henti
jantung. Selama fase ini, efektifitas defibrilasi dan RJP sudah menurun.
Penelitian menunjukkan adanya manfaat pada pemberian terapi hipotermia
dalam jangka waktu beberapa menit hingga beberapa jam setelah munculnya
tanda sirkulasi spontan (spontaneous circulation).
Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan sebagai bagian dari strategi
terapi standar pada korban henti jantung yang mengalami koma. Hipotermia
terapeutik akan memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a. Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera
reperfusi
b. Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c.Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler
sistemik tetapi tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan
darah arteri.
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)


Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa melalui
bantuan hidup dasar dan lanjut, diperlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan
terpadu yang digambarkan dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup).
Chain of survival menunjukkan rangkaian tindakan ideal yang harus dilakukan
sesegera mungkin setelah mengenali onset SCD, yang terdiri dari 5 (lima) tindakan
yang digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan, yaitu :

1. Early recognition and activation. Melakukan pengenalan segera pada kondisi


henti jantung dan mengaktivasi sistem respons gawat darurat (EMS/Emergency
Medical Responses)
2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mungkin
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin. Pada tempat dan
fasilitas umum, biasanya tersedia AED (Automated External Defibrillation)
4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian bantuan hidup lanjut
dengan efektif
5. Integration of post-cardiac arrest care. Melakukan pemberian perawatan pasca
henti jantung yang terintegrasi.

Bantuan hidup dasar meliputi mata rantai 1 sampai dengan mata rantai 3,
sedangkan mata rantai 4 dan 5 termasuk pemberian bantuan hidup lanjut (BHL).

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi penolong pada
korban

yang

tiba-tiba

mengalami

henti

jantung.

Keterampilan

RJP

dan

penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman dan


kepercayadirian penolong. Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap
penolong baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi dada
pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi
tindakan prioritas pertama setiap korban dengan usia berapapun. Penolong yang
terlatih harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi
(napas bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan
memberikan pertolongan dalam bentuk tim.

Komplikasi RJP
RJP merupakan tindakan yang tidak akan menimbulkan komplikasi jika dilakukan
dengan tepat. Namun komplikasi yang dapat muncul akibat pemberian napas
bantuan dan kompresi dada yaitu:
a. Akibat napas buatan
Inflasi gaster
Regurgitasi
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan napas dan hindari tidal volume yang
besar dan laju pemberian napas buatan yang terlalu cepat
b. Akibat kompresi dada
Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua.
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang
salah saat melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
Pneumothoraks
Hemothoraks
Kontusio paru
Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa
Emboli lemak

Penghentian RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah
ini, yaitu:
a. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
b. Ada yang lebih bertanggung jawab
c. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
d. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
e. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
Lebam mayat, muncul sekitar 20 30 menit setelah kematian, darah akan
berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi.
Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah
kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian
Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negatif
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga


hampir dapat dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan
hidup.

Langkah-langkah (Sekuens) Resusitasi Jantung Paru


Sejak tahun 1966, American Heart Assocation (AHA) telah menetapkan pedoman resusitasi
dengan urutan langkah-langkah (sekuens) BHD dengan akronim A-B-C yaitu membuka
jalan napas korban (Airway), memberikan bantuan napas (Breathing) dan kemudian
memberikan kompresi dada (Circulation). Namun ternyata sekuens ini berdampak pada
penundaan bermakna sekitar 30 detik untuk memberikan kompresi dada lebih awal untuk
mempertahankan sirkulasi pada korban. Pada menit-menit awal korban/pasien mengalami
henti jantung, dalam darah pasien masih terkandung residu oksigen dalam bentuk ikatan
oksihemoglobin yang dapat diedarkan dengan bantuan sirkulasi buatan melalui kompresi
dada. Sehingga dalam Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari A-B-C
menjadi C-A-B, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada
sesegera mungkin.

Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak ada
langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Pedoman baru ini berisi
beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu:

Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan


pada pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti,
korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong tidak
boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan
nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak ada
nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator)
jika tersedia.

Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak
pada bayi baru lahir.
- Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

- Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit


-

Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation


(ROSC)

Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 - 2 inchi


menjadi 2 inchi (5 cm)

Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-quality


didasarkan pada :
o

Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan


memungkinkan full chest recoil antara kompresi

dengan

adekuat

dan

o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada


o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Korban ditemukan
Cek respon korban
Tidak ada respon (unresponsive)
Tidak bernapas atau tidak bernapas normal
(hanya gasping/terengah-engah)
Ada denyut

Cek nadi :
Pastikan nadi
dalam 10 detik?

nadi

Tak ada denyut nadi

Beri 1 napas tiap 5


6 detik
Cek ulang
tiap
2
menit

Mulai siklus 30 KOMPRESI dan 2 NAPAS


AED / defibrilator datang

Rekam irama jantung, apakah bisa didefibrilasi atau tidak ?

Berikan 1 shock
Segera lanjutkan RJP
untuk 5 siklus (2 menit)

Segera lanjutkan RJP selama 2 menit Cek


irama setiap 2 menit, sampai tim dengan
alat lebih lengkap datang.

Catatan : Kotak dengan garis putusputus dilakukan oleh penolong


profesional, bukan oleh penolong
awam

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

1. Resusitasi Jantung Paru dengan Satu Orang Penolong


Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih dahulu dilakukan
prosedur awal pada korban/pasien, yaitu:

a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa
disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak
menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil
nama/sebutan yang umum dengan keras seperti
Pak! / Bu! / Mas! / Mbak! disertai menyentuh atau
menggoyangkan bahu dengan lembut dan mantap
untuk

mencegah

pergerakan

yang

berlebihan.

Memanggil korban juga dapat disertai dengan


memberikan instruksi sederhana seperti Pak, buka
matanya!, Pak, siapa namanya pak?. Prosedur ini
disebut sebagai teknik touch and talk. Hal ini cukup
untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi.
Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Jika pasien berespon
atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan perlunya
bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara dan
meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang secara reguler.

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

c. Call for Help


Jika pasien/korban tidak memberikan respon
terhadap panggilan atau instruksi, segera
meminta bantuan dengan cara berteriak
Tolong!,

ada

mengaktifkan

orang

tidak

emergency

sadar

medical

untuk
service

(EMS).
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak
dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau
menggeser lutut.

Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur selanjutnya yang


harus dilakukan, yaitu:

a. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korban
Ada

tidaknya

denyut

nadi

korban

ditentukan dengan meraba arteri karotis


yang

berada

di

daerah

leher

pasien/korban dengan menggunakan dua


jari tangan (jari telunjuk dan tengah)

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

diletakkan pada pertengan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua


jari digeser kira 2 3 cm ke sisi kanan atau kiri (sebaiknya sisi yang terdekat
dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi
dada harus segera dimulai.

AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai


mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami
kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa
denyut nadi karotis. Korban dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak
sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).

2) Melakukan bantuan sirkulasi


Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai
lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi,
dengan teknik sebagai berikut:
- Penolong berlutut di sisi bahu korban
-

Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu


pada kedua tangan.

Penolong meletakkan salah satu tumit telapak


tangan p ada sternum, diantara 2 puting susu
dan telapak tangan lainnya di atas tangan
pertama dengan jari s aling bertaut.

Dengan posisi badan tegak lurus, penolong


mekan dada lurus ke bawah secara teratur
dengan kecepatan 100x/menit (hampir 2 x/detik)
dengan kedalaman adekuat. AHA Guideline 2010

merekomendasikan

agar

kompresi

dada

dilakukan cepat dan dalam (push and hard)

dengan kedalaman yang adekuat, yaitu:

Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2


(1 atau 2 penolong)
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada ( 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong)


dan 15 : 2 (2 penolong)
Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada ( 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan
15 : 2 (2 penolong).

Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete


chest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi
sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar
hanya akan mencapai tekanan sistolik 6080 mmHg, dan diastolik yang sangat
rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan
prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi
dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka
sehingga memungkinkan pasien dapat diberi bantuan
napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua tahapan,
yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
-

Membuka mulut dengan cara jari silang


(cross

finger),

ibu

jari

diletakkan

berlawanan dengan jari telunjuk pada


mulut korban.
-

Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan


sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger sweep
(sapuan jari) yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa
dilapisi dengan kasaatau potongan kain untuk menyerap cairan.
Jika ditemukan sumbatan benda padat, dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Namun teknik ini
harus dilakukan dengan

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong sumbatan semakin dalam.


Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik.
2) Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan
napas pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada korban yang tidak sadar
tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum sehingga
palatum dapat turun dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini menjadi
penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar. Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga teknik yaitu head tilt
(tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan jaw thrust (dorongan rahang).
Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway Manuveur.
AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :
-

Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien
yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7%
mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien
mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8.

Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal.


Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien) dari pada
menggunakan spinal immobilization devices karena dapat mengganggu
jalan napas, namun alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran
spinal selama transportasi.

c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara
memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik dan volume udara yang
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada pasien/korban
tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk memberikan hembusan
napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta
perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban.
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:
1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut) Teknik
ini merupakan cara yang cepat dan
efektif untuk memberikan udara ke paru
paru korban / pasien. Pad a saat
dilakukan hembusan napas penolong
harus mengambil napas terlebih dahulu
dan mulut penolong harus dapat
menutup
seluruh mulut pasien/korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung
pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara
keluar kembali dari hidung.
2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut korban
tidak memungkinkan, misalnya pada mulut korban mengalami luka yang
berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya pada saat
memberikan hembusan pada hidung pasien/korban, penolong harus harus
menutup mulut pasien/korban.
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma) pada
area leher yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien ini
mengalami

kesulitan

pernapasan

maka

harus

dilakukan

bantuan

pernapasan dari mulut ke stoma.


padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan napas (ventilasi) maka penolong


segera melanjutkan kembali pemberian kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali
hingga 5 siklus.
d. Evaluasi (Penilaian Ulang)
Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi (kira-kira 2 menit), penolong
kemudian melakukan evaluasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan
ventilasi dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus
- Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas
sebanyak 10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2 menit.
- Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi
jalan napas tetap terbuka dan bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi.
Waspada terhadap kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali,
jika terjadi segera terlentangkan pasien dan lakukan bantuan napas
kembali. Langkah-langkah pemberian posisi pemulihan dapat dilihat pada
gambar berikut:
1

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

AHA Guideline 2010 memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :


- Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA 2005,
yaitu :

Pemberian dilakukan sesuai tidal volume

Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama


pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha
sinkronisasi antara

kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak boleh dihentikan untuk pemberian
ventilasi.

- Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik profesional


maupun awam kemungkinan tidak dapat menentukan secara akurat ada
atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak
terbuka atau karena pasien mengalami occasional gasping yang dapat
terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
-

Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED.

e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal
ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama
jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah
tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat
mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika
perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada
penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan
bantuan sirkulasi.

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

2. Resusitasi Jantung Paru dengan Metode Tim


RJP dengan metode tim dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai.
Biasanya di rumah sakit telah ditunjuk beberapa personil yang tergabung dalam tim
resusitasi (Resuscitation Team). Tim resusitasi ini akan bertugas saat emergency
medical system (EMS) diaktifkan. EMS dapat diaktifkan dalam bentuk menekan tombol
kode (Code button) yang berada di ruangan atau di samping tempat tidur pasien atau
memanggil nomor telepon ekstensi khusus dan menyampaikan ke operator telepon
tentang lokasi dan jenis kegawatdaruratan yang terjadi agar tim resusitasi dapat
didatangkan.

Tim resusitasi ini dipimpin oleh seorang Team Leader (ketua tim) yang biasanya seorang
intensivis atau dokter IGD yang memiliki pengalaman dalam penanganan henti jantung.
Pada beberapa rumah sakit, ketua timnya adalah seorang perawat yang telah terlatih
untuk melakukan penanganan henti jantung. Perawat dapat memakai standing order
dokter untuk mengarahkan pengambilan keputusan selama upaya resusitasi, walaupun
pada kebanyakan rumah sakit, sertifikasi pelatihan penanganan henti jantung tahap
lanjut (intermediate atau advance) dijadikan sebagai prasyarat bagi perawat untuk dapat
melakukan penanganan henti jantung dan saat dokter tidak ada, penanganan
kegawatdaruratan dapat dipimpin oleh seorang perawat yang terlatih. Pada lahan
prehospital, upaya resusitasi biasanya dipimpin oleh seorang paramedis namun harus
bertugas di bawah standing order dokter, atau protokol tetap lokal yang berlaku.
Upaya resusitasi membutuhkan koordinasi pada empat tugas utama, yaitu:
a. Kompresi dada
b. Pengelolaan jalan napas
c. Monitor EKG dan defibrilasi
d. Akses IV dan pemberian obat

Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan
bertanggung jawab menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun
jika pembagian tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

tanggung jawab ke setiap anggota tim. Berikut ini diuraikan tugas masing-masing
personil dari tim resusitasi yaitu:
a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:
- Mengkaji pasien
- Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
- Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
-

Mengawasi

anggota

tim

(dan

memastikan

bahwa

setiap

anggota

tim

melaksanakan tugasnya masing-masing dengan benar dan aman)


-

Mengevaluasi keadekuatan kompresi dada (termasuk posisi tangan, kedalaman,


kompresi, ketepatan frekuensi dan rasio kompresi-ventilasi)
- Memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi oksigen yang tepat

Mengevaluasi keadekuatan ventilasi (dengan mengkaji ekspansi dada pada


setiap ventilasi)
- Memastikan defibrilasi dilaksanakan dengan tepat dan aman
- Memastikan pemilihan akses intravena yang tepat

Memastikan pemberian posisi yang tepat saat akan dilakukan pemasangan jalan
napas lanjut (intubasi)

Memastikan kesesuaian obat, dosis dan rute pemberian obat (juga memastikan
bahwa obat diberikan dengan tepat pada situasi disritmia dan obat bolus IV
dilakukan flushing 20 ml NaCL kemudian ekstremitas dielevasikan.
- Memastikan kemanan seluruh anggota tim (terutama saat defibrilasi dilakukan)

Melakukan pemecahan masalah (termasuk re-evaluasi kemungkinan penyebab


henti jantung dan mengenali adanya alat yang tidak berfungsi dengan atau
adanya selang yang terlepas)

Memustuskan kapan menghentikan upaya resusitasi (dengan berkonsultasi


dengan anggota tim).

b. Tanggung Jawab Anggota Tim


Anggota tim resusitasi terdiri atas empat anggota yang memiliki tanggung jawab
masing-masing yaitu :

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

1) Anggota tim manajemen jalan napas


Anggota tim ini sering disebut dengan ventilator, memiliki tanggung jawab untuk:
- Melakukan head tilt chin lift manuveur atau jaw thrust
- Mengukur dan memasang OPA atau NPA
-

Memasang dengan tepat dan memahami indikasi, kontraindikasi, keuntungan,


kerugian, komplikasi, rentang flow, dan konsentrasi oksigen pada setiap alat
bantu pernapasan seperti kanul nasal, simple mask, pocket mask, rebreathing
mask, nonrebreathing mask dan bag valve mask.

Melakukan penghisapan jalan napas atas dengan memilih alat dan selang
suction yang tepat

Mengetahui indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, komplikasi, peralatan,


dan teknik insersi jalan napas lanjut ETT (intubasi), jika tindakan ini menjadi
wewenangnya
- Mengatahui bagaimana mengkonfirmasi ketepatan penempatan ETT
- Mengetahui bagaimana memfiksasi dan mengamankan ETT dengan tepat
2) Anggota tim kompresi dada
Anggota tim ini sering disebut compressor, memiliki tanggung jawab untuk
melakukan RJP dengan tepat dan memberikan kompresi dada dengan frekuensi,
kekuatan dan kedalaman yang adekuat pada lokasi yang tepat.
3) Anggota tim defibrilasi/elektrokardiografi
Anggota tim ini sering disebut dengan defibrillator, memiliki tanggung jawab
untuk:
- Mengoprasikan mesin AED atau defibrilator manual

Mengatahui perbedaan defibrilasi dan kardioversi, termasuk indikasi dan


potensial komplikasi akibat tindakan tersebut
- Menempatkan padle dengan tepat
- Memastikan keamanan seluruh anggota sebelum melakukan discharge

Mengatasi

dan

mencari

jalan

keluar

jika

mesin

defibrilasi

tidak

berfungsi/bermasalah
4) Anggota tim akses intravena dan medikasi
Anggota tim ini sering disebut dengan circulator, memiliki tanggung jawab
untuk: - Memilih vena yang tepat dan memasang akses IV
padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Resusitasi Jantung Paru

Memberikan obat dan melakukan flushing dengan NaCl 20 mL serta elevasi ektremitas
(sekitar 10-20 detik) pada ekstremitas yang terpasang akses intravena

Memahami rute pemberian obat dan dosis yang tepat seperti pemeberian obat melalui
IV, IO dan trakeal.

Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses
intravena dijalankan oleh satu orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain
menjalankan tanggung jawabnya memberikan akses intravena dan medikasi juga
menjalankan tanggung jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang
terdiri dari empat orang (atau 5 orang dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang
(atau empat orang dengan leader). Kondisi ini tergantung ketersediaan staf yang
ada atau prosedur standar di rumah sakit.

Referensi
Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2010). Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S685S705.
Ignatavicius, D. D., & Workman,
M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses Association. 5th Ed.
USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 1292.
Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing: Assesment and
Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2010). Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association,
122, 122;S729-S767.
Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684.

padlibinahmad@gmail.com

Ns. Padli, S.Kep

Anda mungkin juga menyukai