Anda di halaman 1dari 26

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI JAKARTA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID
SUKANTO 2021
PERIODE 21 FEBRUARI - 13 MARET2021

RESUSITASI
JANTUNG
PARU
NABILA NUR FIDIYAH 1102015153
VERANISA SUCIA 1102015244
ISTRI BELA CANTIKA 1102015107
PRIMADILLA RAHMA A.A. 1102015178 Pembimbing:
LUFTHI FAHREZA 1102015120 dr. Andri Julianto, Sp.An-KIC
Pendahuluan
Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun
perempuan di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang
mengalami serangan jantung, dimana setiap 34 detik terdapat satu orang yang
mengalami serangan jantung. Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar
300.000 orang di Amerika Serikat yang mengalami serangan jantung setiap
tahunnya dan kurang dari 15% yang dapat tetap bertahan hidup. Dari data
statistik ini, menunjukkan tingginya kebutuhan kemampuan pertolongan pertama
pada pasien serangan jantung yang berakibat pada henti jantung baik pada orang
awam maupun pada tenaga kesehatan utamanya perawat.
Tujuan RJP

Pemberian RJP memiliki dua tujuan utama, yaitu:


a.Mencegah berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan
b.Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan
ventilasi (melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti jantung
atau henti
napas.
Indikasi RJP

RJP dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung atau cardiac arrest. Cardiac
arrest ialah tidak adanya aktivitas mekanis jantung, yang dapat dikonfirmasi dengan
tidak terabanya denyut nadi, tidak ada respon dan apnea atau napas gasping (terengah-
engah). Istilah cardiac arrest lebih umum digunakan jika dibandingkan dengan
cardiopulmonary arrest karena istilah ini lebih ditujukan pada pasien yang tidak
bernapas (atau hanya gasping) sekaligus nadinya tidak teraba. Pernapasan gasping
merupakan pernapasan abnormal dan tidak dapat dianggap sebagai tanda pernapasan
yang adekuat.
Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang
berlangsung tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest
(SCD).
Hingga 1 jam

ONSET KEMATIAN
• Gejala
kardiovaskuler baru TERMINAL • Kolaps tiba-tiba BIOLOGIS
atau perburukan • Hilangnya sirkulasi
• Nyeri dada • Perubahan tiba-
efeketif • Kegagalan sirkulasi
tiba pada status
• Palpitasi
klinis • Hilang kesadaran ATAU kegagalan
• Dispnea • Aritmia fungsi elektris,
• Fatig (lelah) mekanis jantung
• Hipotensi atau SSP setelah

PRODORMAL
• Nyeri dada
• Dispnea
CARDIAC resusitasi awal

• Pusing ARREST

Hari s.d bulan Menit s.d minggu


Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:

TAKIKARDI

• tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia atau VT), dimana EKG


menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur dengan frekuensi
lebih dari 120 kali/menit.

FIBRILASI VENTRIKEL

• dimana EKG menunjukkan gelombang yang tidak teratur dengan bentuk


yang berbeda-beda yang menunjukkan terjadinya kontraksi ventrikel yang
tidak terkoordinasi.

ASISTOL

• dimana EKG menunjukkan tidak adanya aktivitas listrik yang berlangsung


pada jantung

Aktivitas listrik tanpa nadi

• dimana aktivitas listrik pada jantung menunjukkan adanya gelombang EKG,


tapi nadi sentral (karotis) tidak teraba.
FASE RJP

Fase 1 (fase elektris)


Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF hingga 5 menit setelah henti
jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi tindakan paling penting selama periode ini

Fase 2 (fase
Fase ini berlangsung sirkulasi
sejak 5 menit hingga atau hemodinamik
15 menit setelah henti jantung. RJP
menjadi tindakan paling penting selama periode ini, setelah itu diikuti dengan
pemberian tindakan defibrilasi jika tersedia

Fase 3 (Fase metabolik).


berlangsung setelah 15 menit terjadinya henti jantung. Selama fase ini, efektifitas
defibrilasi dan RJP sudah menurun
Penelitian menunjukkan adanya manfaat pada pemberian terapi hipotermia
dalam jangka waktu beberapa menit hingga beberapa jam setelah munculnya
tanda sirkulasi spontan (spontaneous circulation).
Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan sebagai bagian dari strategi
terapi standar pada korban henti jantung yang mengalami koma. Hipotermia
terapeutik akan memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a.Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera
reperfusi
b.Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c.Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler
sistemik tetapi tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan darah
arteri.
Resusitasi Jantung Paru

Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)


Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa melalui bantuan hidup dasar dan lanjut, diperlukan suatu
tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang digambarkan dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup). Chain of survival
menunjukkan rangkaian tindakan ideal yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah mengenali onset SCD, yang terdiri dari 5
(lima) tindakan yang digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan, yaitu :

1. Early recognition and activation. Melakukan pengenalan segera pada kondisi henti jantung dan mengaktivasi sistem respons
gawat darurat (EMS/Emergency Medical Responses)
2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mungkin
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin. Pada tempat dan fasilitas umum, biasanya tersedia AED (Automated
External Defibrillation)
4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian bantuan hidup lanjut
dengan efektif
5. Integration of post-cardiac arrest care. Melakukan pemberian perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi.

Bantuan hidup dasar meliputi mata rantai 1 sampai dengan mata rantai 3, sedangkan mata rantai 4 dan 5 termasuk pemberian
bantuan hidup lanjut (BHL).

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba mengalami henti jantung.
Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman dan kepercayadirian penolong.
Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi
dada pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan prioritas pertama setiap korban
dengan usia berapapun. Penolong yang terlatih harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas
bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan memberikan pertolongan dalam bentuk tim.

Komplikasi RJP
RJP merupakan tindakan yang tidak akan menimbulkan komplikasi jika dilakukan dengan tepat. Namun komplikasi yang dapat
muncul akibat pemberian napas bantuan dan kompresi dada yaitu:
a. Akibat napas buatan
– Inflasi gaster
– Regurgitasi

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan napas dan hindari tidal volume yang besar dan laju pemberian napas buatan yang terlalu
cepat
b. Akibat kompresi dada
– Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang
tua. RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang salah saat melakukan kompresi dada dapat
menyebabkan fraktur iga.
– Pneumothoraks
– Hemothoraks
– Kontusio paru
– Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada
hati dan limpa
– Emboli lemak

Penghentian RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah ini, yaitu:
c. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
d. Ada yang lebih bertanggung jawab
e. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
f. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
g. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
adhamners@yahoo.com
– Lebam mayat, muncul sekitar 20 – 30 menit setelah kematian, darah akan berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah

tasi Jantung Paru


akibat daya tarik bumi. Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
– Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian
Resusitasi Jantung Paru

– Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga hampir dapat dipastikan pasien/korban tersebut tidak
mungkin bertahan hidup.

Langkah-langkah (Sekuens) Resusitasi Jantung Paru

Sejak tahun 1966, American Heart Assocation (AHA) telah menetapkan pedoman resusitasi dengan urutan langkah-langkah (sekuens)
BHD dengan akronim “A-B-C” yaitu membuka jalan napas korban (Airway), memberikan bantuan napas (Breathing) dan kemudian
memberikan kompresi dada (Circulation). Namun ternyata sekuens ini berdampak pada penundaan bermakna sekitar 30 detik untuk
memberikan kompresi dada lebih awal untuk mempertahankan sirkulasi pada korban. Pada menit-menit awal korban/pasien
mengalami henti jantung, dalam darah pasien masih terkandung residu oksigen dalam bentuk ikatan oksihemoglobin yang dapat
diedarkan dengan bantuan sirkulasi buatan melalui kompresi dada. Sehingga dalam Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens
RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B”, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin.

Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak ada langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil
yang optimal. Pedoman baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu:
- Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada pemeriksaan kondisi unresponsive dan
tidak adanya napas normal
(seperti, korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong
tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10
detik, maka dianggap tidak ada nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator) jika tersedia.
- Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak pada bayi baru lahir.
- “Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar

adhamners@yahoo.com

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam
Resusitasi Jantung Paru

- Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit


- Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation (ROSC)
- Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1½ - 2 inchi
menjadi 2 inchi (5 cm)
- Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-quality
o Kecepatan
didasarkan pada : dan kedalaman kompresi diberikan memungkinkan full dengan adekuat dan
chest recoil antara kompresi
o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

adhamners@yahoo.com

Muh ama dA dam tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

Korban ditemukan

Cek respon korban

Tidak ada respon (unresponsive)


Tidak bernapas atau tidak bernapas normal
(hanya gasping/terengah-engah)
Ada denyut
Cek nadi : Pastikan nadi  Beri 1 napas tiap 5 – 6 detik
nadi dalam 10 detik?  Cek ulang tiap 2 menit
Tak ada denyut nadi

Mulai siklus 30 KOMPRESI dan 2 NAPAS

AED / defibrilator datang

Rekam irama jantung, apakah bisa


didefibrilasi atau tidak ?

Berikan 1 shock Segera Segera lanjutkan RJP selama 2 menit Cek irama
lanjutkan RJP untuk 5 siklus (2 setiap 2 menit, sampai tim dengan alat lebih lengkap
menit) datang.
Catatan : Kotak dengan garis putus-putus dilakukan oleh penolong profesional, bukan oleh
penolong awam

adhamners@yahoo.com

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam
Resusitasi Jantung Paru

1. Resusitasi Jantung Paru dengan Satu Orang Penolong


Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu:

a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan
penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.

b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang umum dengan keras
seperti
“Pak! / Bu! / Mas! / Mbak!” disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan. Memanggil korban juga dapat disertai
dengan memberikan instruksi sederhana seperti “Pak, buka matanya!”, “Pak, siapa namanya
pak?”. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup
untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien
tidak sadar. Jika pasien berespon atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan perlunya bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian,
tinggalkan pasien sementara dan meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang secara reguler.

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

c. Call for Help


Jika pasien/korban tidak memberikan respon
terhadap panggilan atau instruksi, segera
bantuan dengan cara berteriak
meminta
ada orang tidak sadar” untuk
“Tolong!,
mengaktifkan emergency medical (EMS). service

d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien
dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau menggeser lutut.

Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur selanjutnya yang harus dilakukan, yaitu:
e. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korban
Ada tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri karotis yang berada
di daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua jari tangan (jari telunjuk dan
tengah)
adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

diletakkan pada pertengan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 – 3 cm ke sisi kanan atau kiri
(sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera
dimulai.

AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena
penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Korban dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal
(hanya gasping).

2) Melakukan bantuan sirkulasi


Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai
lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi, dengan teknik sebagai berikut:
- Penolong berlutut di sisi bahu korban
- Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan.
- Penolong meletakkan salah satu tumit telapak tangan p ada ½ sternum, diantara 2 puting
susu
dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari s aling bertaut.
- Dengan posisi badan tegak lurus, penolong mekan dada lurus ke bawah secara teratur
dengan kecepatan 100x/menit (hampir 2 x/detik) dengan kedalaman adekuat. AHA
Guideline 2010 merekomendasikan agar kompresi dada
dilakukan cepat dan dalam (push and hard)
dengan kedalaman yang adekuat, yaitu:
 Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam
adhamners@yahoo.com
Resusitasi Jantung Paru

 Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
 Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).

Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada seperti
semula setelah kompresi sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan
mencapai tekanan sistolik 60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output)
hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar
sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka
sehingga memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua
tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
- Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan berlawanan
dengan
jari telunjuk pada mulut korban.
- Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger
sweep (sapuan jari) yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kasaatau potongan kain untuk
menyerap cairan. Jika ditemukan sumbatan benda padat, dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Namun teknik ini harus dilakukan dengan

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong sumbatan semakin dalam. Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih
dari 10 detik.

2) Membuka jalan napas


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan napas pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada
korban yang tidak sadar tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum sehingga palatum dapat turun
dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini menjadi penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar. Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga teknik yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan
jaw thrust (dorongan rahang). Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway Manuveur.

AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :


- Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan
leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera
kraniofasial dan/atau GCS <8.
- Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal. Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan
dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien) dari pada menggunakan spinal immobilization devices karena dapat
mengganggu jalan napas, namun alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.

c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan
untuk memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi
tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban.

Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:


1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)
Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan udara ke
paru–paru korban
Pad a saat / pasien.
dilakukan napas penolong hembusan
harus napas terlebih dahulu penolong mengambil dan
harus dapat mulut menutup
seluruh mulut pasien/korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong
harus menutup lubang hidung pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari
hidung.
2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada mulut
korban mengalami luka yang berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya pada saat memberikan
hembusan pada hidung pasien/korban, penolong harus harus menutup mulut pasien/korban.
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma) pada area leher yang menghubungkan trakhea
langsung ke kulit. Bila pasien ini mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan bantuan pernapasan dari mulut
ke stoma.

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan napas (ventilasi) maka penolong segera melanjutkan kembali pemberian
kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali hingga 5 siklus.

d. Evaluasi (Penilaian Ulang)


Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi (kira-kira 2 menit), penolong kemudian melakukan evaluasi, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan
ventilasi dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus
- Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas sebanyak 10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2
menit.
- Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi jalan napas tetap terbuka dan bila pasien muntah
tidak terjadi aspirasi. Waspada
terhadap kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali, jika terjadi segera terlentangkan pasien dan lakukan
bantuan napas kembali. Langkah-
langkah pemberian posisi pemulihan dapat dilihat pada gambar berikut:

1 2
3 4

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

AHA Guideline 2010 memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :


- Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA 2005, yaitu :
 Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
 Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama pemberian
RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha sinkronisasi antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak
boleh dihentikan untuk pemberian ventilasi.
- Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik profesional maupun awam kemungkinan tidak dapat
menentukan secara akurat ada
atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak terbuka atau karena pasien mengalami occasional
gasping yang dapat
terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
- Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED.

e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung
(cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat
untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat
tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat
tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi.

adhamners@yahoo.com

tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru

2. Resusitasi Jantung Paru dengan Metode Tim


RJP dengan metode tim dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai. Biasanya di rumah sakit telah ditunjuk
beberapa personil yang tergabung dalam tim resusitasi (Resuscitation Team). Tim resusitasi ini akan bertugas saat emergency
medical system (EMS) diaktifkan. EMS dapat diaktifkan dalam bentuk menekan tombol kode (“Code button”) yang berada di
ruangan atau di samping tempat tidur pasien atau memanggil nomor telepon ekstensi khusus dan menyampaikan ke operator
telepon tentang lokasi dan jenis kegawatdaruratan yang terjadi agar tim resusitasi dapat didatangkan.

Tim resusitasi ini dipimpin oleh seorang Team Leader (ketua tim) yang biasanya seorang intensivis atau dokter IGD yang
memiliki pengalaman dalam penanganan henti jantung. Pada beberapa rumah sakit, ketua timnya adalah seorang perawat yang
telah terlatih untuk melakukan penanganan henti jantung. Perawat dapat memakai standing order dokter untuk mengarahkan
pengambilan keputusan selama upaya resusitasi, walaupun pada kebanyakan rumah sakit, sertifikasi pelatihan penanganan
henti jantung tahap lanjut (intermediate atau advance) dijadikan sebagai prasyarat bagi perawat untuk dapat melakukan
penanganan henti jantung dan saat dokter tidak ada, penanganan kegawatdaruratan dapat dipimpin oleh seorang perawat yang
terlatih. Pada lahan prehospital, upaya resusitasi biasanya dipimpin oleh seorang paramedis namun harus bertugas di bawah
standing order dokter, atau protokol tetap lokal yang berlaku.

Upaya resusitasi membutuhkan koordinasi pada empat tugas utama, yaitu:


a. Kompresi dada
b. Pengelolaan jalan napas
c. Monitor EKG dan defibrilasi
d. Akses IV dan pemberian obat

Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan bertanggung jawab menjalankan satu tugas yang
telah ditetapkan sebelumnya namun jika pembagian tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi
adhamners@yahoo.com

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam
Resusitasi Jantung Paru

tanggung jawab ke setiap anggota tim. Berikut ini diuraikan tugas masing-masing personil dari tim resusitasi yaitu:

a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:


- Mengkaji pasien
- Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
- Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
- Mengawasi anggota tim (dan memastikan bahwa setiap anggota tim melaksanakan tugasnya
masing-masing dengan benar dan aman)
- Mengevaluasi keadekuatan kompresi dada (termasuk posisi tangan,
kedalaman, kompresi, ketepatan frekuensi dan rasio kompresi-ventilasi)
- Memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi oksigen yang tepat
- Mengevaluasi keadekuatan ventilasi (dengan mengkaji ekspansi dada pada setiap ventilasi)
- Memastikan defibrilasi dilaksanakan dengan tepat dan aman
- Memastikan pemilihan akses intravena yang tepat
- Memastikan pemberian posisi yang tepat saat akan dilakukan pemasangan jalan napas lanjut (intubasi)
- Memastikan kesesuaian obat, dosis dan rute pemberian obat (juga memastikan bahwa obat diberikan dengan tepat
pada situasi disritmia dan obat bolus IV dilakukan flushing 20 ml NaCL kemudian ekstremitas dielevasikan.
- Memastikan kemanan seluruh anggota tim (terutama saat defibrilasi dilakukan)
- Melakukan pemecahan masalah (termasuk re-evaluasi kemungkinan penyebab henti jantung dan mengenali adanya
alat yang tidak berfungsi dengan atau
adanya selang yang terlepas)
- Memustuskan kapan menghentikan upaya resusitasi (dengan berkonsultasi dengan anggota tim).

b. Tanggung Jawab Anggota Tim adhamners@yahoo.com

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam
Anggota tim resusitasi terdiri atas empat anggota yang memiliki tanggung jawab masing-masing yaitu :
Resusitasi Jantung Paru

1) Anggota tim manajemen jalan napas


Anggota tim ini sering disebut dengan ventilator, memiliki tanggung jawab untuk:
- Melakukan head tilt – chin lift manuveur atau jaw thrust
- Mengukur dan memasang OPA atau NPA
- Memasang dengan tepat dan memahami indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, komplikasi, rentang flow, dan
konsentrasi oksigen pada setiap alat
bantu pernapasan seperti kanul nasal, simple mask, pocket mask, rebreathing mask, nonrebreathing mask dan bag
valve mask.
- Melakukan penghisapan jalan napas atas dengan memilih alat dan selang suction yang tepat
- Mengetahui indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, komplikasi, peralatan, dan teknik insersi jalan napas lanjut
ETT (intubasi), jika tindakan ini menjadi wewenangnya
- Mengatahui bagaimana mengkonfirmasi ketepatan penempatan ETT
- Mengetahui bagaimana memfiksasi dan mengamankan ETT dengan tepat
2) Anggota tim kompresi dada
Anggota tim ini sering disebut compressor, memiliki tanggung jawab untuk melakukan RJP dengan tepat dan memberikan
kompresi dada dengan frekuensi, kekuatan dan kedalaman yang adekuat pada lokasi yang tepat.
3) Anggota tim defibrilasi/elektrokardiografi
Anggota tim ini sering disebut dengan defibrillator, memiliki tanggung jawab untuk:
- Mengoprasikan mesin AED atau defibrilator manual
- Mengatahui perbedaan defibrilasi dan kardioversi, termasuk indikasi dan potensial komplikasi akibat tindakan tersebut
- Menempatkan padle dengan tepat
- Memastikan keamanan seluruh anggota sebelum melakukan discharge
- Mengatasi dan mencari jalan keluar jika mesin defibrilasi tidak berfungsi/bermasalah
4) Anggota tim akses intravena dan medikasi

Res tasi Jantung Paru


Muhamad AdamAnggota tim ini sering disebut dengan circulator, memiliki tanggung jawab untuk:
- Memilih vena yang tepat dan memasang akses IV
Resusitasi Jantung Paru

- Memberikan obat dan melakukan flushing dengan NaCl 20 mL serta elevasi ektremitas (sekitar 10-20 detik) pada
ekstremitas yang terpasang akses intravena
- Memahami rute pemberian obat dan dosis yang tepat seperti pemeberian obat melalui IV, IO dan trakeal.

Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses intravena dijalankan oleh satu orang yaitu
oleh circulator dimana circulator selain menjalankan tanggung jawabnya memberikan akses intravena dan medikasi juga
menjalankan tanggung jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang terdiri dari empat orang (atau 5 orang
dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang (atau empat orang dengan leader). Kondisi ini tergantung ketersediaan staf
yang ada atau prosedur standar di rumah sakit.

Referensi
Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2010). Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122,
122;S685- S705.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri:
Elsevier Saunders.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses Association. 5th Ed.
USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010. Section 2. Adult
basic life support and use of automated external defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 – 1292.

Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing: Assesment and Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th
Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2010). Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association,
122, 122;S729-S767.

Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
adhamners@yahoo.com
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684.

Res tasi Jantung Paru


Muhamad Adam

Anda mungkin juga menyukai