Anda di halaman 1dari 33

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI JAKARTA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID
SUKANTO 2021
PERIODE 21 FEBRUARI - 13 MARET2021

RESUSITASI
JANTUNG
PARU
NABILA NUR FIDIYAH 1102015153
VERANISA SUCIA 1102015244
ISTRI BELA CANTIKA 1102015107
PRIMADILLA RAHMA A.A. 1102015178 Pembimbing:
LUFTHI FAHREZA 1102015120 dr. Andri Julianto, Sp.An-KIC
Pendahuluan

Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun perempuan di
Amerika Serikat.
Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang mengalami serangan jantung, dimana setiap 34 detik
terdapat satu orang yang mengalami serangan jantung.
Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar 300.000 orang di Amerika Serikat yang
mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan kurang dari 15% yang dapat tetap bertahan
hidup.
Tujuan RJP

Memberikan bantuan
eksternal terhadap sirkulasi
Mencegah berhentinya (melalui kompresi dada) dan
sirkulasi darah atau ventilasi (melalui bantuan
berhentinya pernapasan napas penolong) dari pasien
yang mengalami henti
jantung atau henti napas.
Indikasi RJP
tidak adanya
aktivitas mekanis
Pernapasan
jantung, yang
gasping
dapat
merupakan
dikonfirmasi
pernapasan
Henti jantung dengan tidak
abnormal dan
atau cardiac terabanya denyut
tidak dapat
arrest. nadi, tidak ada
dianggap
respon dan
sebagai tanda
apnea atau
pernapasan yang
napas gasping
adekuat.
(terengah-
engah).
Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang
berlangsung tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest (SCD).

Hingga 1 jam

ONSET KEMATIAN
• Gejala kardiovaskuler
baru atau TERMINAL • Kolaps tiba-tiba BIOLOGIS
perburukan • Hilangnya sirkulasi
• Nyeri dada • Perubahan tiba- tiba
pada status klinis efeketif • Kegagalan sirkulasi
• Palpitasi • Hilang kesadaran ATAU kegagalan
• Dispnea • Aritmia
fungsi elektris,
• Hipotensi
• Fatig (lelah) mekanis jantung atau
• Nyeri dada SSP setelah

PRODORMAL
• Dispnea
• Pusing CARDIAC resusitasi awal

ARREST

Hari s.d bulan Menit s.d minggu


Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:

TAKIKARDI

• tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia atau VT), dimana EKG


menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur dengan
frekuensi lebih dari 120 kali/menit.

FIBRILASI VENTRIKEL

• dimana EKG menunjukkan gelombang yang tidak teratur dengan


bentuk yang berbeda-beda yang menunjukkan terjadinya kontraksi
ventrikel yang tidak terkoordinasi.

ASISTOL

• dimana EKG menunjukkan tidak adanya aktivitas listrik yang


berlangsung pada jantung

Aktivitas listrik tanpa nadi

• dimana aktivitas listrik pada jantung menunjukkan adanya


gelombang EKG, tapi nadi sentral (karotis) tidak teraba.
Fase
FASE RJPRJP

Fase 1 (fase elektris)


Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF hingga 5 menit setelah henti
jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi tindakan paling penting selama periode ini

Fase 2 (fase
Fase ini berlangsung sirkulasi
sejak 5 menit hingga atau hemodinamik
15 menit setelah henti jantung. RJP
menjadi tindakan paling penting selama periode ini, setelah itu diikuti dengan
pemberian tindakan defibrilasi jika tersedia

Fase 3 (Fase metabolik).


berlangsung setelah 15 menit terjadinya henti jantung. Selama fase ini, efektifitas
defibrilasi dan RJP sudah menurun
Penelitian Manfaat pada pemberian terapi hipotermia
dalam jangka waktu beberapa menit hingga
beberapa jam setelah munculnya tanda
sirkulasi spontan (spontaneous circulation).

Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan


sebagai bagian dari strategi terapi standar pada
korban henti jantung yang mengalami koma.

Hipotermia terapeutik akan memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:


a.Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera
reperfusi
b.Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c.Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler
sistemik tetapi tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan darah
arteri.
1. Early recognition and activation. Melakukan pengenalan
segera pada kondisi henti jantung dan mengaktivasi sistem
respons gawat darurat (EMS/Emergency Medical Bantuan hidup dasar meliputi

Responses) mata rantai 1 sampai dengan


2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mata rantai 3, sedangkan
mungkin mata rantai 4 dan 5 termasuk
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin.
Pada tempat dan fasilitas umum, biasanya tersedia AED pemberian bantuan hidup
(Automated External Defibrillation) lanjut (BHL).
4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian
bantuan hidup lanjut
dengan efektif
5. Integration of post-cardiac arrest care. Melakukan pemberian
perawatan pasca henti jantung yang
Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)

Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa melalui bantuan hidup
dasar dan lanjut, diperlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang digambarkan
dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup). Chain of survival menunjukkan rangkaian
tindakan ideal yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah mengenali onset SCD, yang terdiri
dari 5 (lima) tindakan yang digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan, yaitu :
Gambar tadi menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba
mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah
dijalani, pengalaman dan kepercayadirian penolong.

Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus
mampu memberikan kompresi dada pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi
dada harus menjadi tindakan prioritas pertama setiap korban dengan usia berapapun.

Penolong yang terlatih harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas
bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan memberikan pertolongan dalam
bentuk tim.
Penghentian RJP

Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah ini, yaitu:
a. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
b. Ada yang lebih bertanggung jawab
c. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
d. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
e. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
– Lebam mayat, muncul sekitar 20 – 30 menit setelah kematian, darah akan berkumpul pada
bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi. Terlihat sebagai warna ungu pada
kulit.
– Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian. Terjadi
1- 23 jam kematian
– Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negatif
Akibat kompresi dada
– Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua.
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang salah saat
melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
– Pneumothoraks
– Hemothoraks
– Kontusio paru
– Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa
– Emboli lemak
– Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga hampir dapat
dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan hidup.
Langkah-langkah (Sekuens) Resusitasi
Jantung Paru

Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B”,
sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin.
Pedoman baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu:
- Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada pemeriksaan
kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti, korban tidak bernapas atau
hanya gasping/terengah-engah).
- Penolong tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan nadi.
Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak ada nadi dan RJP harus
dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator) jika tersedia.
- Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak pada bayi baru lahir.
- “Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
- Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit
- Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation (ROSC)
- Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1½ - 2 inchi
menjadi 2 inchi (5 cm)
- Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-quality
didasarkan pada :
o Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan memungkinkan full
chest recoil antara kompresi
o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
Korban ditemukan

Cek respon korban

Tidak ada respon (unresponsive)


Tidak bernapas atau tidak bernapas normal
(hanya gasping/terengah-engah)
Ada denyut
Cek nadi : Pastikan nadi  Beri 1 napas tiap 5 – 6 detik
nadi dalam 10 detik?  Cek ulang tiap 2 menit
Tak ada denyut nadi

Mulai siklus 30 KOMPRESI dan 2 NAPAS

AED / defibrilator datang

Rekam irama jantung, apakah bisa


didefibrilasi atau tidak ?

Berikan 1 shock Segera Segera lanjutkan RJP selama 2 menit Cek irama
lanjutkan RJP untuk 5 siklus (2 setiap 2 menit, sampai tim dengan alat lebih lengkap
menit) datang.
Catatan : Kotak dengan garis putus-putus dilakukan oleh penolong profesional, bukan oleh
penolong awam

Res tasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru
dengan Satu Orang
Penolong
• harus terlebih dahulu dilakukan
prosedur awal pada korban/pasien

RJResusitasi Jantung Paru


dengan Metode Tim
• tim dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas yang memada
Prosedu •

Danger (Bahaya)
Respone
• Call for help
r dasar • Pengaturan posisi

• Circulation
• Airway
C – A- B •

Breathing
Evaluasi
• Defibrilation
Resusitasi Jantung Paru

1. Resusitasi Jantung Paru dengan Satu Orang Penolong


Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu:

a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan
penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.

b. Response

Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang umum dengan keras
seperti
“Pak! / Bu! / Mas! / Mbak!” disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan. Memanggil korban juga dapat disertai
dengan memberikan instruksi sederhana seperti “Pak, buka matanya!”, “Pak, siapa namanya
pak?”. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup
untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien
tidak sadar. Jika pasien berespon atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan perlunya bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian,
tinggalkan pasien sementara dan meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang secara reguler.
Resusitasi Jantung Paru

c. Call for Help


Jika pasien/korban tidak memberikan respon terhadap panggilan atau
instruksi, segera meminta bantuan dengan cara berrteriak “Tolong! Ada
orang tidak sadar” untuk mengaktifkan emergency medical service (EMS)
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien
dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau menggeser lutut.

Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur selanjutnya yang harus dilakukan, yaitu:
e. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korbanAda tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri
karotis yang berada di daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua jari tangan (jari telunjuk dan tengah)
Resusitasi Jantung Paru

diletakkan pada pertengan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 – 3 cm ke sisi kanan atau kiri
(sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera
dimulai.

AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena
penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Korban dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal
(hanya gasping).

2) Melakukan bantuan sirkulasi


Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai
lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi, dengan teknik sebagai berikut:
- Penolong berlutut di sisi bahu korban
- Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan.
- Penolong meletakkan salah satu tumit telapak tangan p ada ½ sternum, diantara 2 puting
susu
dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari s aling bertaut.
- Dengan posisi badan tegak lurus, penolong mekan dada lurus ke bawah secara teratur
dengan kecepatan 100x/menit (hampir 2 x/detik) dengan kedalaman adekuat. AHA
Guideline 2010 merekomendasikan agar kompresi dada
dilakukan cepat dan dalam (push and hard)
dengan kedalaman yang adekuat, yaitu:
 Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)
Resusitasi Jantung Paru

 Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
 Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).

Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada seperti
semula setelah kompresi sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan
mencapai tekanan sistolik 60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output)
hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar
sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka
sehingga memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua
tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
- Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan berlawanan
dengan
jari telunjuk pada mulut korban.
- Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger
sweep (sapuan jari) yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kasaatau potongan kain untuk
menyerap cairan. Jika ditemukan sumbatan benda padat, dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Namun teknik ini harus dilakukan dengan
Resusitasi Jantung Paru

hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong sumbatan semakin dalam. Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih
dari 10 detik.

2) Membuka jalan napas


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan napas pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada
korban yang tidak sadar tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum sehingga palatum dapat turun
dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini menjadi penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar. Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga teknik yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan
jaw thrust (dorongan rahang). Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway Manuveur.

AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :


- Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan
leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera
kraniofasial dan/atau GCS <8.
- Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal. Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan
dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien) dari pada menggunakan spinal immobilization devices karena dapat
mengganggu jalan napas, namun alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.

c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang
Resusitasi Jantung Paru

dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan
untuk memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi
tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban.

Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:


1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)
Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan udara ke
paru–paru korban / pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas,
penolong harus napas terlebih dahulu. Penolong harus dapat mengambil dan menutupseluruh mulut pasien/korban dengan
baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung
pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada mulut korban
mengalami luka yang berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya pada saat memberikan hembusan pada
hidung pasien/korban, penolong harus harus menutup mulut pasien/korban.
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma) pada area leher yang menghubungkan trakhea langsung
ke kulit. Bila pasien ini mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan bantuan pernapasan dari mulut ke stoma.
Resusitasi Jantung Paru

Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan napas (ventilasi) maka penolong segera melanjutkan kembali pemberian
kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali hingga 5 siklus.

d. Evaluasi (Penilaian Ulang)


Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi (kira-kira 2 menit), penolong kemudian melakukan evaluasi, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan
ventilasi dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus
- Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas sebanyak 10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2
menit.
- Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi jalan napas tetap terbuka dan bila pasien muntah
tidak terjadi aspirasi. Waspada
terhadap kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali, jika terjadi segera terlentangkan pasien dan lakukan
bantuan napas kembali. Langkah-
langkah pemberian posisi pemulihan dapat dilihat pada gambar berikut:

1
2
3

4
Resusitasi Jantung Paru

AHA Guideline 2010 memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :


- Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA 2005, yaitu :
 Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
 Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama pemberian
RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha sinkronisasi antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak
boleh dihentikan untuk pemberian ventilasi.
- Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik profesional maupun awam kemungkinan tidak dapat
menentukan secara akurat ada
atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak terbuka atau karena pasien mengalami occasional
gasping yang dapat
terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
- Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED.

e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung
(cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat
untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat
tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat
tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi.
RJP Resusitasi Jantung Paru dengan Metode
Tim
Dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai. Biasanya di rumah sakit telah ditunjuk
beberapa personil yang tergabung dalam tim resusitasi (Resuscitation Team). Tim resusitasi ini akan
bertugas saat emergency medical system (EMS) diaktifkan. EMS dapat diaktifkan dalam bentuk
menekan tombol kode (“Code button”) yang berada di ruangan

Upaya resusitasi membutuhkan koordinasi pada empat tugas utama, yaitu:


a. Kompresi dada
b. Pengelolaan jalan napas
c. Monitor EKG dan defibrilasi
d. Akses IV dan pemberian obat

Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan bertanggung
jawab menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun jika pembagian
tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi
Tugas masing-masing personil dari tim resusitasi
a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:
- Mengkaji pasien
- Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
- Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
- Mengawasi anggota tim (dan memastikanbahwa setiap anggota tim melaksanakan tugasnya
masing-masing dengan benar dan aman)
- Mengevaluasi keadekuatan kompresi dada (termasuk posisi tangan,
kedalaman, kompresi, ketepatan frekuensi dan rasio kompresi-ventilasi)
- Memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi oksigen yang tepat
- Mengevaluasi keadekuatan ventilasi (dengan mengkaji ekspansi dada pada setiap ventilasi)
- Memastikan defibrilasi dilaksanakan dengan tepat dan aman
- Memastikan pemilihan akses intravena yang tepat
- Memastikan pemberian posisi yang tepat saat akan dilakukan pemasangan jalan napas lanjut
(intubasi)
- Memastikan kesesuaian obat, dosis dan rute pemberian obat (juga memastikan bahwa obat diberikan
dengan tepat pada situasi disritmia dan obat bolus IV dilakukan flushing 20 ml NaCL kemudian
ekstremitas dielevasikan.
- Memastikan kemanan seluruh anggota tim (terutama saat defibrilasi dilakukan)
- Melakukan pemecahan masalah (termasuk re-evaluasi kemungkinan penyebab henti jantung dan
mengenali adanya alat yang tidak berfungsi dengan atau
adanya selang yang terlepas)
- Memustuskan kapan menghentikan upaya resusitasi (dengan berkonsultasi dengan anggota tim).
Tugas masing-masing personil dari tim resusitasi
a. Tanggung Jawab Anggota Tim
Anggota tim resusitasi terdiri atas empat anggota yang memiliki tanggung jawab masing-masing

1) Anggota tim manajemen jalan napas


Anggota tim ini sering disebut dengan ventilator, memiliki tanggung jawab 2) Anggota tim kompresi dada
untuk: Anggota tim ini sering disebut compressor, memiliki tanggung jawab
- Melakukan head tilt – chin lift manuveur atau jaw thrust
untuk melakukan RJP dengan tepat dan memberikan kompresi
- Mengukur dan memasang OPA atau NPA
dada dengan frekuensi, kekuatan dan kedalaman yang adekuat
- Memasang dengan tepat dan memahami indikasi, kontraindikasi,
pada lokasi yang tepat.
keuntungan, kerugian, komplikasi, rentang flow, dan konsentrasi
3) Anggota tim defibrilasi/elektrokardiografi
oksigen pada setiap alat
Anggota tim ini sering disebut dengan defibrillator, memiliki tanggung
bantu pernapasan seperti kanul nasal, simple mask, pocket mask,
jawab untuk:
rebreathing mask, nonrebreathing mask dan bag valve mask. - Mengoprasikan mesin AED atau defibrilator manual
- Melakukan penghisapan jalan napas atas dengan memilih alat dan
- Mengatahui perbedaan defibrilasi dan kardioversi, termasuk
selang suction yang tepat
indikasi dan potensial komplikasi akibat tindakan tersebut
- Mengetahui indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, - Menempatkan padle dengan tepat
komplikasi, peralatan, dan teknik insersi jalan napas lanjut ETT - Memastikan keamanan seluruh anggota sebelum melakukan
(intubasi), jika tindakan ini menjadi wewenangnya discharge
- Mengatahui bagaimana mengkonfirmasi ketepatan penempatan - Mengatasi dan mencari jalan keluar jika mesin
ETT defibrilasi tidak berfungsi/bermasalah
- Mengetahui bagaimana memfiksasi dan mengamankan ETT
dengan tepat
Tugas masing-masing personil dari tim resusitasi
a. Tanggung Jawab Anggota Tim
Anggota tim resusitasi terdiri atas empat anggota yang memiliki tanggung jawab masing-masing

4) Anggota tim akses intravena dan medikasi


Anggota tim ini sering disebut dengan circulator, memiliki tanggung jawab untuk:
- Memilih vena yang tepat dan memasang akses IV
- Memberikan obat dan melakukan flushing dengan NaCl 20 mL serta elevasi ektremitas (sekitar
10-20 detik) pada ekstremitas yang terpasang akses intravena
- Memahami rute pemberian obat dan dosis yang tepat seperti pemeberian obat melalui IV, IO dan
trakeal.

Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses intravena dijalankan oleh satu
orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain menjalankan tanggung jawabnya memberikan akses intravena
dan medikasi juga menjalankan tanggung jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang terdiri dari
empat orang (atau 5 orang dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang (atau empat orang dengan leader).
Kondisi ini tergantung ketersediaan staf yang ada atau prosedur standar di rumah sakit.
Referensi

Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2010). Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S685- S705.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses Association. 5th Ed.
USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life support and use of automated external
defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 – 1292.

Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing: Assesment and
Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2010). Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122,
122;S729-S767.

Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684

Anda mungkin juga menyukai