RESUSITASI
JANTUNG
PARU
NABILA NUR FIDIYAH 1102015153
VERANISA SUCIA 1102015244
ISTRI BELA CANTIKA 1102015107
PRIMADILLA RAHMA A.A. 1102015178 Pembimbing:
LUFTHI FAHREZA 1102015120 dr. Andri Julianto, Sp.An-KIC
Pendahuluan
Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun perempuan di
Amerika Serikat.
Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang mengalami serangan jantung, dimana setiap 34 detik
terdapat satu orang yang mengalami serangan jantung.
Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar 300.000 orang di Amerika Serikat yang
mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan kurang dari 15% yang dapat tetap bertahan
hidup.
Tujuan RJP
Memberikan bantuan
eksternal terhadap sirkulasi
Mencegah berhentinya (melalui kompresi dada) dan
sirkulasi darah atau ventilasi (melalui bantuan
berhentinya pernapasan napas penolong) dari pasien
yang mengalami henti
jantung atau henti napas.
Indikasi RJP
tidak adanya
Pernapasan
aktivitas mekanis
gasping
jantung, yang
merupakan
dapat dikonfirmasi
pernapasan
Henti jantung dengan tidak
abnormal dan
atau cardiac terabanya denyut
tidak dapat
arrest. nadi, tidak ada
dianggap
respon dan apnea
sebagai tanda
atau napas
pernapasan yang
gasping
adekuat.
(terengah-engah).
Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang
berlangsung tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest (SCD).
Hingga 1 jam
ONSET KEMATIAN
• Gejala kardiovaskuler
baru atau perburukan TERMINAL • Kolaps tiba-tiba BIOLOGIS
• Nyeri dada • Hilangnya sirkulasi
• Perubahan tiba- tiba
• Palpitasi pada status klinis efeketif • Kegagalan sirkulasi
• Dispnea • Hilang kesadaran ATAU kegagalan fungsi
• Aritmia
• Fatig (lelah) elektris, mekanis
• Hipotensi jantung atau SSP
• Nyeri dada setelah resusitasi awal
• Dispnea
PRODORMAL • Pusing CARDIAC
ARREST
TAKIKARDI
FIBRILASI VENTRIKEL
ASISTOL
2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mata rantai 3, sedangkan
mungkin mata rantai 4 dan 5 termasuk
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin.
pemberian bantuan hidup
Pada tempat dan fasilitas umum, biasanya tersedia AED
(Automated External Defibrillation) lanjut (BHL).
4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian
bantuan hidup lanjut
dengan efektif
5. Integration of post-cardiac arrest care. Melakukan pemberian
perawatan pasca henti jantung yang
Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)
Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa melalui bantuan hidup
dasar dan lanjut, diperlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang digambarkan
dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup). Chain of survival menunjukkan rangkaian
tindakan ideal yang harus dilakukan sesegera mungkin setelah mengenali onset SCD, yang terdiri
dari 5 (lima) tindakan yang digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan, yaitu :
Gambar tadi menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba
mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah
dijalani, pengalaman dan kepercayadirian penolong.
Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus
mampu memberikan kompresi dada pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi
dada harus menjadi tindakan prioritas pertama setiap korban dengan usia berapapun.
Penolong yang terlatih harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas
bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan memberikan pertolongan dalam
bentuk tim.
Penghentian RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawah ini, yaitu:
a. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
b. Ada yang lebih bertanggung jawab
c. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
d. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
e. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
– Lebam mayat, muncul sekitar 20 – 30 menit setelah kematian, darah akan berkumpul pada
bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi. Terlihat sebagai warna ungu pada
kulit.
– Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian. Terjadi 1-
23 jam kematian
– Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negatif
Akibat kompresi dada
– Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua.
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang salah saat
melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
– Pneumothoraks
– Hemothoraks
– Kontusio paru
– Laserasi hati dan limpa
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa
– Emboli lemak
– Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga hampir dapat
dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan hidup.
Langkah-langkah (Sekuens) Resusitasi
Jantung Paru
Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B”,
sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin.
Pedoman baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu:
- Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada pemeriksaan
kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti, korban tidak bernapas atau
hanya gasping/terengah-engah).
- Penolong tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan nadi.
Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak ada nadi dan RJP harus
dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator) jika tersedia.
- Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak pada bayi baru lahir.
- “Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
- Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit
- Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation (ROSC)
- Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1½ - 2 inchi
menjadi 2 inchi (5 cm)
- Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-quality
didasarkan pada :
o Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan memungkinkan full chest
recoil antara kompresi
o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
Korban ditemukan
Berikan 1 shock Segera Segera lanjutkan RJP selama 2 menit Cek irama
lanjutkan RJP untuk 5 siklus (2 setiap 2 menit, sampai tim dengan alat lebih lengkap
menit) datang.
Catatan : Kotak dengan garis putus-putus dilakukan oleh penolong profesional, bukan oleh
penolong awam
• Circulation
• Airway
C – A- B •
•
Breathing
Evaluasi
• Defibrilation
Resusitasi Jantung Paru
a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan
penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang umum dengan keras
seperti
“Pak! / Bu! / Mas! / Mbak!” disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan. Memanggil korban juga dapat disertai
dengan memberikan instruksi sederhana seperti “Pak, buka matanya!”, “Pak, siapa namanya
pak?”. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup
untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak
sadar. Jika pasien berespon atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan hindari kemungkinan
resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan perlunya bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian, tinggalkan
pasien sementara dan meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang secara reguler.
Resusitasi Jantung Paru
c. Call forHelp
Jika pasien/korban tidak memberikan respon terhadap panggilan atau
instruksi, segera meminta bantuan dengan cara berrteriak “Tolong! Ada
orang tidak sadar” untuk mengaktifkan emergency medical service (EMS)
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien
dengan teknik log roll, yaitu
Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur selanjutnya yang harus dilakukan, yaitu:
a. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korbanAda tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri
karotis yang berada di daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua jari tangan (jari telunjuk dan tengah)
Resusitasi Jantung Paru
diletakkan pada pertengan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 – 3 cm ke sisi kanan atau kiri
(sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera
dimulai.
AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena
penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Korban dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal
(hanya gasping).
▪ Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
▪ Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).
Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada seperti
semula setelah kompresi sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan
mencapai tekanan sistolik 60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output)
hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar
sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.
b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka
sehingga memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua
tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
- Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan berlawanan dengan
hati-hati, karena teknik ini dapat mendorong sumbatan semakin dalam. Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih
dari 10 detik.
c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang
Resusitasi Jantung Paru
dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan
untuk memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi
tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban.
Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan napas (ventilasi) maka penolong segera melanjutkan kembali pemberian kompresi
30 kali dan ventilasi 2 kali hingga 5 siklus.
1
2
3
4
Resusitasi Jantung Paru
e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung
(cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat
untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat
tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat
tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi.
RJP Resusitasi Jantung Paru dengan Metode Tim
Dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai. Biasanya di rumah sakit telah ditunjuk
beberapa personil yang tergabung dalam tim resusitasi (Resuscitation Team). Tim resusitasi ini akan
bertugas saat emergency medical system (EMS) diaktifkan. EMS dapat diaktifkan dalam bentuk
menekan tombol kode (“Code button”) yang berada di ruangan
Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan bertanggung
jawab menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun jika pembagian
tugas belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi
Tugas masing-masing personil dari tim resusitasi
Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses intravena dijalankan oleh satu
orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain menjalankan tanggung jawabnya memberikan akses intravena
dan medikasi juga menjalankan tanggung jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang terdiri dari
empat orang (atau 5 orang dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang (atau empat orang dengan leader).
Kondisi ini tergantung ketersediaan staf yang ada atau prosedur standar di rumah sakit.
Referensi
Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S., et al. (2010). Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S685- S705.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses Association. 5th Ed.
USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L., et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life support and use of automated external
defibrillators. Resuscitation, 81, 1277 – 1292.
Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al. (2012). Medical Surgical Nursing: Assesment and
Management of Clinical Problems. Vol. 2. 7th Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., et al. (2010). Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122,
122;S729-S767.
Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J., et al. (2010). Part 4: CPR Overview 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684