Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma muskuloskeletal merupakan hal yang sering terjadi, salah satu


penyebab tersering adalah trauma karena kecelakaan lalu lintas. Trauma
muskuloskeletal dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi. Fraktur adalah pecah
atau rusaknya kontinuitas struktur dari tulang. Hal ini dapat saja hanya sekedar
retak, remahan atau pecahan dari cortex; seringkali pecahnya komplit dan
pecahan tulang tergusur. Fraktur dapat disebabkan karena adanya cedera,
penekanan dan dapat juga terjadi secara patologis.2
Fraktur juga dapat terjadi dengan dislokasi. Dislokasi terjadi saat tulang
tergelincir dari sendi, khasnya terjadi karena sendi mengalami penekanan tidak
stabil tiba- tiba. Dislokasi berarti tulang tidak lagi berada di tempat yang
semestinya, hal ini termasuk kegawatdaruratan yang jika tidak ditangani dapat
menyebabkan kerusakan pada ligamen, nervus, dan pembuluh darah.3
Dislokasi sendi bahu merupakan hal paling umum di kegawatdaruratan.
Kerusakan saraf dapat terjadi dikarenakan dislokasi dan bisa terjadi berulang.
Dislokasi anterior paling sering terjadi yaitu 90,9% dengan 34,5% yang
mengalami komplikasi fraktur-dislokasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG

Sistem skeletal berfungsi untuk menjaga postur tubuh dan melindungi


organ vital seperti otak dan jantung. Tulang manusia sangat kuat dan dapat
menahan tekanan tanpa patah.
Klasifikasi tulang menurut
bentuknya yaitu10 :
1. Tulang panjang
Terdapat daerah batas pada
tulang panjang, dimana daerag
batas disebut diafisis dan
daerah yang berdekatan dengan
garus epifisis disebut metafisis.
Daerah ini daerah yang
sering ditemukan
penyakit atau kelainan, karena
daerah ini banyak Gambar 1. Bentuk Tulang
mengandung pembuluh
darah dan merupakan daerah
metabolik aktif. Kerusakan atau
kelainan perkembangan pada
daerah lempeng epifisis
akan menyebabkan
kelainan pertumbuhan
tulang. Femur, tibia, fibula,
ulna dan humerus
merupakan tulang panjang.
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek yaitu
Gambar 2. Tulang Panjang
tulang vertebra dan tulang-tulang
karpal.
3. Tulang pipih
Tulang iga, skapula dan pelvis merupakan tulang pipih.
Tulang terdiri atas daerah kompak yang pada bagian luar nya disebut
korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan
diluarnya dilapisi oleh periosteum. Periosteum pada anak lebih tebal
daripada dewasa, yang memungkinkan penyembuhan tulang pada anak
lebih cepat dibandingkan orang dewasa.
Berdasarkan histologisnya, maka dikenal:
a. Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone)
Tulang ini dibentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan
embrional dan kemudian terbentuk secara perlahan menjadi tulang
matur dan pada umur satu tahun, tulang imatur tidak terlihat lagi.
Jaringan kolagen dengan substansi semen dan mineral pada tulang
imatur lebih sedikit dibanding dengan tulang matur.
b. Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
(1) Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
(2) Tulang trabekuler (cancellous bone, trabecular bone, spongiosa)
Secara histologik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam
jumlah sel, jaringan kolagen dan mukopolisakarida. Tulang imatur ditandai
dengan sistem Haversian atau osteon yang memberiksan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks tebal.

Gambar 3. Osifikasi Endokondral


SEL – SEL TULANG DAN FUNGSINYA10
Osteoblas merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim
yang sangat penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel,
osteoblas dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana
kalsifikasi terjadi dikemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium
disebut osteoid dan apabila kalsifikasi pada matriks maka jaringan disebut tulang.
Sesaat osteoblas dikelilingi substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana
keadaan ini terjadi dalam lakuna.
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang
dengan sifat dan fungsi resorpsi serta mengeluarkan tulang disebut osteoklas.
Kalsium hanya dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang
menghilangkan matriks organik dan kalsium secara bersamaan dan disebut
deosifikasi.

Ada dua lokasi pertumbuhan tulang rawan pada tulang panjang, yaitu:
1. Tulang rawan artikuler: Pertembuhan tulang panjang terjadi pada daerah
tulang rawan artikuler dan merupakan tempat satu-satunya bagi tulang
untuk bertumbuh pada daerah epifisis. Pada tulang pendek, pertumbuhan
tulang dapat terjadi pada seluruh daerah tulang.
2. Tulang rawan lempeng epifisis
Tulang rawan lempeng epifisis memberikan kemungkinan metafisis dan
diafisis untuk bertumbuh memanjang.

Pada daerah pertumbuhan ini terjadi keseimbangan antara dua proses,


yaitu:
a. Proses pertumbuhan
Adanya pertumbuhan interstisial tulang rawan dari lempeng epifisis
memungkinan terjadinya penebalan tulang.
b. Proses kalsifikasi
Kematian dan penggantian tulang rawan pada daerah permukaan metafisis
terjadi melalui proses osifikasi endokondral.
Dikenal tiga zona lempeng epifisis, yaitu:
a. Zona pertumbuhan
Pada zona ini terdapat lapisan germinal yang merupakan daerah intertisial,
yang melekat pada epifisis dengan sel – sel kondrosit muda serta
pembuluh darah hulus. Juga terdapat lapisan proliferasi yang merupakan
daerah intertisial yang paling aktif dalam zona ini dan lapisan palisade di
sebelah dalam dari lapisan proliferasi.
b. Zona transformasi tulang rawan
Pada zona ini terdapat lapisan hipertrofi, kalsifikasi dan degenerasi yang
merupakan daerah tulang rawan yang mengalami maturasi.
c. Zona osifikasi
Zona osifikasi daerah yang tipis dengan sel – sel kondrosit yang telah mati
akibat kalsifikasi matriks.
2.2 FRAKTUR
2.2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini dapat
saja hanya berupa retakan atau serpihan dari kortex, namun lebih sering
putusnya kontinuitas ini komplit dan fragmen tulang berpindah.

2.2.2 Etiologi

Fraktur dapat terjadi dikarenakan1 :


a. Injury / Kecelakaan
b. Repetitive Stress
Fraktur yang terjadi pada tulang normal dikarenakan sering melakukan
aktifitas berat yang memicu stress secara berulang. Bila terjadi stress dan
deformasi yang berulang dan berlangsung lama, resorpsi terjadi lebih
cepat daripada deposisi yang mengakibatkan area tersebut lebih mudah
terjadi fraktur.
c. Kelemahan abnormal pada tulang ‘fraktur patologis’
Fraktur dapat terjadi pada tulang yang lemah dikarenakan perubahan
struktur, seperti pada osteoporosis, osteogenesis imperfekta atau penyakit
Paget.

2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

(1) Berdasarkan sifat fraktur :


a. Fraktur tertutup / closed fracture
Fraktur dengan keadaan kulit yang masih intak. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang dikembangkan oleh
Tscherene1 :
Grade 0 – fraktur simple dengan sedikit atau tanpa kerusakan
jaringan sekitar
Grade 1 – fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit
dan jaringan subkutan
Grade 2 – fraktur berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
bengkak
Grade 3 – kecelakaan berat dengan kerusakan jaringan lunak sekitar dan
ancaman mengalami sindrom kompartement

b. Fraktur terbuka / open fracture


Fraktur dengan keadaan kulit yang sudah tidak intak. Menurut R.Gustilo,
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat3 :
Derajat I :
Luka < 1 cm
Kerusakan jaringan sedikit
Pola fraktur simple dengan komunitif ringan

Derajat II :
Luka > 1 cm
Kerusakan jaringan sedang
Komunitif sedang

Derajat III :
a. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringan berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
b. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringa berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
Dibutuhkan free tissue flap atau rotational flap coverage
c. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringa berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah
Grade I Grade II

Grade IIIA Grade IIIB

Grade IIIC
Gambar 4. Klasifikasi fraktur terbuka

(2) Berdasarkan komplit / inkomplit1 :


a. Fraktur Komplit
Fraktur Komplit adalah patah tulang yang terbagi menjadi dua atau lebih
fragmen.
b. Fraktur Inkomplit
Fraktur Inkomplit adalah patah tulang yang terbagi secara inkomplit.
(a) (b) (c) (d) (e) (f)

Gambar 5. Tipe Fraktur. Fraktur komplit: (a) transverse; (b) segmental dan (c)
spiral. Fraktur inkomplit: (d) torus dan (e,f) greenstick.
(Solomon L, et al., 2010)

(3) Berdasarkan bentuk garis patah dengan mekanisme trauma


Fraktur sering terjadi dikarenakan gaya tekanan yang terjadi secara tiba-
tiba dan berlebihan, terbagi secara langsung dan tidak langsung.
Gaya tekanan langsung / direct force mengakibatkan patah tulang pada titik
tekanan berasal dan terdapat kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. Pola
fraktur yang terjadi antara lain transverse pattern dan butterfly fragment.
Pada gaya tekanan tidak langsung / indirect force, terdapat jarak antara titik
tekanan berasal dan patahan tulang dan tidak terdapat kerusakan pada jaringan
lunak disekitarnya.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 6. Mechanism of injury: (a) spiral pattern; (b) short


oblique pattern; (c) triangular ‘butterfly’ fragment; (d) transverse
pattern
(Solomon L, et al., 2010)
(4) Klasifikasi Müller
Klasifikasi alfanumerik telah dikembangkan oleh (Müller et al., 1990)1. Angka
pertama menunjukkan tulang yaitu :
1 = humerus
2 = radius/ulna
3 = femur
4 = tibia/fibula

Angka kedua menunjukkan segmen yaitu :


1 = proksimal
2 = diaphyseal
3 = distal
4 = malleolar

Huruf menunjukkan pola fraktur untuk diafisis :


A = simple
B = wedge
C = complex

Pola fraktur untuk metafisis :


A = extra-articular
B = partial articular
C = complete articular
Gambar 7. Klasifikasi Müller2

5. Berdasarkan Pergeseran Fragmen Tulang


Fraktur undisplaced (tidak bergeser) yaitu garis patah komplit tapi fragmen
tidak bergeser. Fraktur displaced (bergeser) yaitu yerdapat pergeseran fragmen
jika terjadi fraktur komplit, dikarenakan tekanan dari kecelakaan, gaya berat dan
tarikan otot pada tulang tersebut.

Pergeseran fragmen terbagi atas1 :


a. Translation (shift)
Fragmen tergeser berdekatan dengan tulang
b. Angulation (tilt)
Fragmen miring dan membentuk sudut
c. Rotation (twist)
Salah satu fragmen terputar pada axis longitudinal tulang
d. Length
Fragmen terpisah dan tumpang tindih dikarenakan spasme otot
yang mengakibatkan pemendekan tulang.

2.2.4 Diagnosis
Hal pertama yang perlu diketahui adalah mekanisme traumanya. Hal ini
penting untuk memperkirakan lokasi terjadinya fraktur. Kemudian yang
kedua, kita harus dapat mengenali keadaan ABC; Airway obstruction,
Breathing problems, Circulatory problems dan Cervical spine injury.

Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir
dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan
fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan
gejala-gejala lain.

Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi / Look
Hal terpenting dalam inspeksi adalah melihat apakah kulit masih intak. Jika kulit
tidak intak dan luka sekitar berhubungan dengan fraktur, maka disebut ‘open’
(‘compound’). Postur dari ekstremitas bagian distal dan warna kulit sekitar juga
diperhatikan. Bengkak, memar dan deformitas (angulasi, rotasi dan kependekan)
terlihat.
b. Palpasi / Feel  ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi

c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan
dengan lokasi fraktur.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan X-Ray wajib dilakukan dan dengan rule of twos1 :
1) Two views
Fraktur atau dislokasi dapat tidak terlihat dalam satu foto saja, jadi
diperlukan 2 foto yaitu anteroposterior dan lateral.2 Untuk beberapa
fraktur, terutama pada tulang kecil dan vertebra, foto oblique kadang-
kadang diperlukan.7
2) Two joints
Sendi pada atas dan bawah fraktur harus dimasukan.2
3) Two limbs
Foto pada bagian yang tidak terkena fraktur juga diperlukan untuk
perbandingan. 2
4) Two injuries
Gaya yang kuat sering mengakibatkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Maka dari itu, fraktur dari calcaneum atau femur penting juga
untuk dilakukan foto pelvis dan spine.2
5) Two occasions
Beberapa fraktur tidak langsung terdeteksi setelah cedera pada
radiografi, tapi foto 1- 2 minggu setelah kejadian mungkin akan
memperlihatkan lesi. Contohnya adalah fraktur undisplaced dan
fraktur impaksi.2
Special Imaging
a. CT Scan
Pemeriksaan CT scan berguna untuk mendeteksi lesi pada tulang belakang
atau fraktur yang kompleks. Pemeriksaan ini juga untuk visualisasi yang
akurat pada bagian yang ‘sulit’ seperti calcaneum atau acetabulum.

b. MRI
Pada fraktur vertebra, pemeriksaan MRI merupakan satu-satu nya cara untuk
menentukan apakah fraktur vertebra menekan sumsum tulang belakang.

c. Radioisotope scanning
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosis fraktur yang dikarenakan
stress atau fraktur tidak bergeser lainnya.

2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan khusus dari terapi fraktur adalah:7
1) Untuk meringankan nyeri
Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya berasal
dari cidera jaringan lunak yang terkena seperti periosteum dan
endosteum. Nyeri muncul oleh gerakan dari fragmen fraktur,
berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang progresif di ruangan
tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur bisa diringankan dengan
imobilisasi area fraktur dan menghindari bidai ataupun gips yang
terlalu ketat. Pada awal terjadinya fraktur, analgesik mungkin
dibutuhkan.
2) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen
fraktur
Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin tidak
semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur berguna untuk
mendapatkan posisi yang pas yang diindikasikan hanya saat sekiranya
reduksi dapat membantu dalam mendapatkan fungsi yang baik, untuk
mencegah penyakit sendi degeneratif selanjutnya atau untuk
mendapatkan penampakan klinis yang baik, tapi tidak perlu untuk
sampai mendapatkan penampakan radiologis yang sempurna.
3) Untuk mendorong terjadinya union dari tulang
Pada kebanyakan fraktur, union akan terjadi dengan sendirinya.
Namun pada beberapa fraktur, seperti yang terdapat robekan berat
dari periosteum dan jaringan lunak sekitarnya atau adanya nekrosis
avaskular di satu atau kedua fragmen, union harus dibantu dengan
penggunaan alat/ bone graft.
4) Untuk mengembalikan fungsi optimal tidak hanya dari tungkai/lengan
atau tulang belakang yang terkena namun juga untuk pasien secara
keseluruhan.
Saat periode imobilisasi selama proses penyumbuhan fraktur, disuse
atrophy dari otot di sekitarnya harus dicegah dengan active static
exercise dari otot yang mengontrol imobilisasi sendinya dan active
dynamic exercise dari semua otot pada tungkai ataupun lengannya.
Setelah imobilisasi selesai, active exercise harus dilanjutkan secara
lebih intensif.

a. Fraktur Tertutup
Penatalaksaaan pada fraktur tertutup terdiri dari manipulation untuk reposisi
fragmen, splintage untuk memfiksasi hingga fragmen dan tulangnya menyatu
kembali dan movement merupakan menggerakkan sendi. Aktifitas otot dan
pembebanan berat badan (weightbearing) harus dilakukan dalam proses
penyembuhan.

Ketiga hal ini merupakan :


 Reduce
 Hold
 Exercise
Terdapat dua masalah dalam penatalaksanaan. Masalah pertama adalah
bagaimana mempertahankan posisi fraktur secara adekuat, tetapi pasien harus
tetap menggerakan ekstremitas yang mengalami fraktur. Konflik pertama ini
dinamakan Hold versus Move. Konflik kedua adalah Speed versus Safety. Kedua
konflik ini merupakan empat faktor yang mendominasi management fraktur
(fracture quartet).
Faktor terpenting dalam menentukan kecepatan penyembuhan yaitu jaringan
lunak dan suplai darah disekitar fraktur.
REDUKSI
Reduksi fraktur dilakukan pada fragmen tulang untuk aposisi adekuat dan
mengembalikan kesejajarannya. Semakin besar kontak permukaan antar fragmen,
semakin cepat juga proses penyembuhannya. Pada umumnya, jarak antar ujung
fragmen menyebabkan delayed union atau non-union. Reduksi harus segera
dilakukan, dikarenakan bengkak pada 12 jam pertama membuat reduksi sulit
dilakukan. Reduksi tidak harus dilakukan pada keadaan berikut1 :
1. Terdapat sedikit atau tidak ada pergeseran
2. Ketika pada awalnya pergeseran tidak membuat masalah
3. Ketika reduksi dianggap tidak berpengaruh

Terdapat dua metode dalam melakukan reduksi1 :


a. Reduksi Tertutup
Dalam keadaan anastesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan three-
fold manoeuvre :
(1) Bagian distal dari ektremitas di tarik sejajar dengan tulang
(2) Saat fragmen terlepas, akan terjadi reposisi
(3) Penyesuaian dalam kesejajaran

(1) (2)

(3)

Gambar 12. Reduksi Tertutup


(1) Traksi sejajar dengan tulang. (2) Disimpaksi. (3) Tekan fragmen
pada posisi reduksi

Metode ini sangat efektif ketika periosteum dan otot disekitar fraktur masih
intak. Pada umumnya reduksi tertutup dilakukan untuk semua fraktur dengan
pergeseran minimal, fraktur pada anak dan fraktur stabil setelah reduksi dan bisa
dipertahankan dengan pembidaian. Fraktur tidak stabil bisa direduksi dengan
metode tertutup sebelum stabilisasi dengan fiksasi internal atau eksternal.

b. Reduksi Tebuka
Indikasi reduksi operatif pada fraktur yaitu:
(1) Ketika reduksi tertutup gagal, dikarenakan kesulitan dalam mengontrol
fragmen atau terdapat jaringan lunak diantaranya
(2) Ketika ada fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat
(3) Untuk traksi (avulsi) fraktur yang fragmennya terpisah.
Reduksi terbuka merupakan tahap pertama dalam fiksasi internal

MEMPERTAHANKAN REDUKSI / Hold Reduction


Metode untuk mempertahankan reduksi yaitu:
(1) Traksi kontinu
Traksi dilakukan pada bagian distal fraktur, agar terjadi penarikan kontinu
pada aksis tulang, dengan kekuatan melawan pada arah kebalikannya. Hal
ini berguna untuk fraktur shaft yang oblik atau spiral dan mudah tergeser
oleh kontraksi otot. Traksi tidak bisa mempertahankan reposisi; traksi bisa
menarik tulang panjang tetapi sulit mempertahankan reduksi dengan
akurat. Sementara pasien bisa menggerakkan sendi dan otot.
Traksi cukup aman, tidak berlebihan dan fraktur sudah terawat ketika
memasukkan pin traksi. Masalahnya ada kecepatan: bukan karena fraktur
menyatu dengan lambat tapi karena traksi tungkai bawah membuat pasien
tetap berada di rumah sakit. Konsekuensinya, saat fraktur ‘menempel’
(deformable tapi tidak bisa tergeser), traksi harus diganti dengan bracing,
bila metode ini memungkinkan. Traksi meliputi:
(a) Traksi oleh gaya berat – hanya bisa diterapkan pada kecelakaan
tungkai atas. Jadi dengan adanya berat di pergelangan tangan, tangan
memberikan traksi kontinu pada humerus. Pada fraktur transversal, untuk
kenyamanan dan stabilitas, plester U-slab dari aksilla sampai siku atas tertahan
dengan Velcro.

(b) Traksi kulit – traksi kulit akan menopang tarikan tidak lebih dari 4
atau 5 kg. Holland strapping atau one-way-stretch Elastoplast menempel
pada kulit yang tercukur dan tertahan dengan perban. Malleoli terlindungi oleh
jaringan Gamgee, dan tali atau plester digunakan untuk traksi.
(c) Traksi skeletal – kawat kaku atau pin dimasukkan – biasanya
dibelakang tuberkel tibia untuk kecelakaan pada panggul, paha dan lutut
atau melalui calcaneum untuk fraktur tibia – dan kawat terikat di area
tersebut untuk traksi.
Traksi kulit atau skeletal, fraktur akan berkurang dan tertahan dengan satu
dari tiga cara: fixed traction, kesimbangan traksi atau kombinasi dari
keduanya. Komplikasi dari traksi yaitu hambatan sirkulasi, kerusakan
saraf dan infeksi pada pin yang dimasukkan.

Gambar 13. Traksi

(2) Pembidaian
Kecepatan penyatuan bisa lebih cepat atau lambat dengan traksi, tetapi
pasien bisa di rawat jalan dengan cepat. Mempertahankan reduksi biasanya
tidak ada masalah dan pasien dengan fraktur tibia bisa menopang berat
pada gips. Namun, sendi yang terbungkus plester tidak bisa gerak dan
cenderung menjadi kaku; kekakuan merupakan masalah dalam
pemasangan gips konvensional. Ketika sudah tidak ada pembengkakan
dan hematoma, adhesi yang mengikat serat antar otot dan tulang mungkin
bisa terbentuk. Kekakuan bisa di minimalisir dengan:
(a) Tunda pembidaian – dengan menggunakan traksi sampai pergerakan
bisa kembali dilakukan dan menggunakan plester sampai bisa
digerakkan.
(b) Mulai menggunakan gips konvensional, tapi setelah beberapa minggu,
ketika tungkai tersebut bisa mengatasi tanpa rasa tidak nyaman, ganti
gips dengan functional brace yang bisa membiarkan pergerakan sendi.
Komplikasi dalam pembidaian yaitu gips terlalu ketat, nyeri pada saat
ada tekanan, abrasi / laserasi kulit dan gips longgar.
(c) Functional bracing
Functional bracing, menggunakan plester Paris atau material
thermoplastic yang lebih ringan, merupakan cara untuk mencegah
kekakuan sendi. Segmen gips di pasang hanya pada tulang, sendi tetap
bebas; segmen gips tersambung oleh logam atau engsel plastik yang
membiarkan terjadi pergerakan. Functional bracing sering digunakan pada
fraktur femur atau tibia, tapi karena penjepit / brace tidak terlalu kaku,
biasanya digunakan ketika fraktur mulai menyatu (3 – 6 minggu setelah
traksi atau plester konvensional. Jika digunakan dengan cara ini, hasilnya
akan baik jika:
(1) Held : reposisi fraktur bisa dipertahankan dengan baik
(2) Moved : sendi bisa digerakkan
(3) Speed : kecepatan sendi pada fraktur normal (atau mungkin sedikit
lebih cepat)
(4) Safe : metodenya aman

Gambar 14. Functional Bracing

(d) Fiksasi internal


Fragmen tulang bisa diperbaiki dengan sekrup, metal plate yang
dipertahankan dengan sekrup dll. Jika dilakukan dengan benar, fiksasi
internal dapat mempertahankan fraktur agar pergerakan bisa terjadi;
dengan pergerakan lebih awal, ‘penyakit fraktur’ (kekakuan dan edema)
tidak terjadi. Pasien bisa menjalani rawat jalan secepatnya, tapi perlu
diingat, walaupun tulang dapat digerakkan, fraktur masih belum menyatu
– hanya di pertahankan oleh metal bridge.
Bahaya terbesar yaitu terjadinya sepsis; jika infeksi terjadi, semua
keuntungan dilakukannya fiksasi internal (reposisi yang tepat, stabilitas
yang cepat dan pergerakan lebih awal) akan hilang. Resiko infeksi
tergantung pada:
(1) Pasien – jaringan melemah, luka yang kotor dan pasien tidak dalam
kondisi stabil
(2) Dokter – pelatihan yang teliti
(3) Fasilitas – rutinitas aseptik yang terjamin

Indikasi fiksasi internal :


(1) Fraktur yang tidak bisa direduksi kecuali dengan operasi
(2) Fraktur yang tidak stabil dan cenderung akan re-displace setelah
reduksi (contoh: mid-shaft fracture pada lengan dan pergeseran pada
fraktur pergelangan kaki). Termasuk juga fraktur yang terpisah saat
tertarik oleh aktifitas otot (contoh: fraktur transveral pada patella dan
olecranon)
(3) Fraktur yang menyatu dengan buruk dan lambat; fraktur pada leher
femur
(4) Fraktur patologis
(5) Fraktur multipel dimana fiksasi awal menurunkan resiko terjadinya
komplikasi dan kerusakan multisistem organ.
(6) Fraktur pada pasien yang sulit untuk dilakukan perawatan (paraplegik,
multiple injuries dan sangat tua)
Tipe fiksasi internal :
a. Interfragmentary screws
Sekrup dimasukkan parsial dengan
kompresi atau efek ‘tinggal’ ketika
dimasukkan berseberangan dua fragmen.
Teknik ini berguna untuk mengurangi
fragmen tunggal diatas shaft utama pada
tulang tubular atau mengaitkan fragmen
pada fraktur metaphyseal.

Gambar 15. Interfragmentary scews

b. Wires (transfixing, cerclage dan


tension-bend)
Transfixing wires, sering melewati
perkutaneus, bisa menahan fragmen
fraktur besar, digunakan pada saat
proses penyembuhan fraktur diprediksi
cepat dan bidai eksternal digunakan
sebagai pendukung. Cerclage dan

tension-band wires merupakan Gambar 16. Wires


wire yang utama yang melewati
dua fragmen tulang, lalu mempererat untuk menekan fragmen. Ketika
menggunakan cerclage wires, pastikan wires mengikat tulang dan
jangan mengikat saraf atau pembuluh darah disekitarnya.
c. Plate dan screws
Fiksasi bentuk ini digunakan pada fraktur metaphyseal pada tulang
panjang dan fraktus diaphyseal pada radius dan ulna. Plates memiliki
lima fungsi yang berbeda:
1. Neutralization – ketika digunakan untuk menjebatani fraktur dan
menambah efek pada intrafragmentary lag screws; plate untuk
menahan putaran (torque) dan pemendekan (shortening).
2. Compression – sering
digunakan pada fraktur
metaphyseal dimana
penyembuhan pada gap
fraktur cancellous timbul
langsung, tanpa periosteal
callus. Teknik ini kurang
tepat untuk fraktur
diaphyseal.
3. Buttressing - plate
menyokong metaphyses Gambar 17. Plate and screws
pada tulang panjang yang
‘menggantung’.
4. Tension-band – menggunakan plate pada permukaan tulang,
mengakibatkan terjadinya kompresi yang menguntungkan pada
fraktur secara biomekanik.
5. Anti-glide – dengan menggunakan plate pada fraktur spiral atau
oblik, lalu menggunakan plate untuk reduksi, anatomi dari fraktur
kembali dengan pelepasan jaringan lunak minimal. Posisi plate
berguna untuk mencegah pemendekan (shortening) dan pergeseran
fragmen yang berulang.
d. Intramedullary nails
Tipe fiksasi ini sesuai untuk tulang panjang.
Nail dimasukkan ke canal medullary untuk
membidai fraktur; gaya rotasi dilawan oleh
interlocking screw transversal yang
merekatkan korteks tulang, nail proksimal
dan distal ke fraktur. Nails digunakan
dengan atau tanpa melebarkan kanal
medullary sebelumnya; melebarkan nails
berfungsi untuk menambah stabilitas dari

interlocking screws. Gambar 18. Intermedullary nails

Komplikasi fiksasi internal :


Pada umumnya komplikasi fiksasi internal terjadi karena tekni, peralatan
atau kondisi operasi yang buruk:

a. Infeksi
Infeksi iatroenik merupakan penyebab tersering pada osteomyelitis kronik;
bukan dikarenakan metal nya, tetapi karena operasi dan kualitas jaringan
pasien.
b. Non – union
Jika tulang telah diperbaiki dengan adanya gap antar ujung tulang,
kemungkinan fraktur gagal untuk menyatu. Keadaan ini sering terjadi pada
kaki atau lengan jika satu tulang mengalami fraktur dan tulang yang
lainnya masih intak. Penyebab lain adalah terlepasnya jaringan lunak dan
merusak suplai darah pada operasi fiksasi.
c. Implant failure
Pemasangan metal bisa gagal kecuali penyatuan fraktur sudah terjadi.
Stress harus dihindari dan pasien dengan patah tulang tibia yang sudah
dilakukan fiksasi internal harus berjalan dengan tongkat penopang dan
tidak mengangkat beban berat selama 6 minggu atau lebih, sampai kalus
atau tanda penyembuhan fraktur terlihat pada X-Ray. Rasa nyeri pada
daerah fraktur merupakan tanda bahaya yang harus diperhatikan.
d. Refracture
Penting untuk tidak melepas implan metal terlalu cepat, atau tulang akan
fraktur kembali. Minimal pemasangan dalam 1 tahun dan 18 atau 24 bulan
lebih aman; untuk beberapa minggu setelah pelepasan metal tulang akan
lemah dan perawatan perlindungan dibutuhkan.

(5) Fiksasi eksternal


Fraktur bisa ditahan posisinya dengan transfixing screw atau tensioned
wires yang melewati tulang di atas atau di bawah fraktur. Keadaan ini
khusus dilakukan untuk tibia dan pelvis, tetapi metode ini juga bisa
digunakan untuk fraktur femur, humerus, lower radius dan tulang pada
tangan.

Indikasi fiksasi eksternal :


(1) Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak yang berat
atau terdapat kontaminasi dan jika fiksasi internal beresiko.
(2) Fraktur di daerah sendi yang berpotensi sesuai untuk fiksasi internal
tetapi jaringan lunak nya bengkak untuk dilakukan operasi yang aman;
pada kondisi ini, spanning external fixator digunakan untuk stabilitias
sampai kondisi jaringan lunak membaik.
(3) Pasien dengan luka multipel berat, khususnya jika terdapat fraktur
femur bilateral, fraktur pelvis dengan perdarahan berat dll.
(4) Fraktur yang tidak menyatu, yang bisa dikompres; kadang dikombinasi
dengan pemanjangan tulang untuk mengganti segmen tulang.
(5) Fraktur terinfeksi, dimana fiksasi internal tidak sesuai untuk dilakukan.
Komplikasi
(1) Merusak struktur jaringan lunak, transfixing pins atau wires bisa
melukai saraf atau pembuluh darah, atau membatasi ligamen dan
menghalangi pergerakan sendi.
(2) Overdistraction. Jika tidak ada kontah antar fragmen, penyatuan tidak
memungkinkan.
(3) Infeksi pin-track. Kejadian ini jarang dengan teknik operasi yang
baik. Namun, perawatan pin-site yang teliti merupakan hal yang
penting, dan antibiotik harus diberikan jika infeksi timbul.

Gambar 19. Fiksasi Eksternal

EXERCISE
Pengembalian fungsi – bukan hanya pada bagian yang trauma tetapi juga pada
pasien seutuhnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi edema, menjaga
pergerakan sendi, mengembalikan kekuatan otot dan menuntun pasien agak bisa
menjalankan aktifitas normal;

(1) Mencegah edema


Pembengkakan merupakan hal yang umum terjadi setelah fraktur dan
mengakibatkan peregangan dan lecet pada kulit. Persisten edema adalah
penyebab dari kekakuan sendi, khususnya pada tangan; harus segera
dicegah jika memungkinkan, dilakukan kombinasi elevasi dan exercise.
Pada fraktur yang dilakukan tindakan fiksasi internal, pembengkakan
sering terjadi; tungkai harus di elevasi dan exercise aktif harus dilakuakan
secepat mungkin untuk mencegah pembengkakan. Hal penting dalam
perawatan jaringan lunak; elevasi dan exercise.

(2) Elevasi / elevation


Tungkai yang mengalami trauma harus di elevasi; setelah reduksi pada
fraktur kaki, kaki kasur diangkat dan mulai melakuakan exercise. Jika kaki
di plester, tungkai harus dependent untuk periode jangka pendek; diantara
periode ini, kaki elevasi di kursi. Pasien diperbolehkan melakukan
exercise tungkai secara aktif. Ketika pester dilepas, aktifitas rutin elevasi
dilakukan sampao sirkulasi kembali seperti normal. Trauma pada tungkai
atas juga dibutuhkan elevasi.

(3) Active Exercise


Gerakan aktif membantu untuk mendorong cairan edema, menstimulasi
sirkulasi, mencegah adhesi jaringan lunak dan memicu penyembuhan
fraktur. Ketika pembidaian dilepas, sendi termobilisasi dan latihan
pembangunan otot akan meningkat.

Range of Movement dilakukan sesegara mungkin setelah dilakukan setelah


dioperasi dan dibagi menjadi dua yaitu isotonic exercise (terjadi gerakan minimal)
dan isometric exercise (kontraksi tapi tidak terjadi gerakan)1. Weightbearing
parsial dilakukan 4 – 6 minggu setelah terbentuknya kalus dan aktifitas normal
dilakukan 6 – 8 minggu setelahnya.

b. Fraktur Terbuka
Pada semua fraktur terbuka, penting untuk mencegah terjadinya infeksi.
Empat hal penting yang harus dilakukan yaitu:
(1) Antibiotik profilaksis
Luka harus tetap ditutup sampai pasien masuk ke ruang operasi. Pada
umumnya co-amox-iclav atau cefuroxime diberikan. Pada saat dilakukan
debridement, gentamisin ditambah sebagai dosis ke-2 dari antibiotik
pertama.
(2) Debridement
Bertujuan untuk memperluas area luka bebas benda asing dan jaringan
mati, meninggalkan area operasi yang bersih dan jaringan dengan suplai
darah yang baik. Luka ditutup dengan bantalan steril dan luka disekitarnya
harus dibersihkan. Bantalan di lepas dan luka diiirigasi berulang dengan
saline. Luka ditutup lagi dan tungkai pasien di persiapkan untuk operasi.
Torniquet juga biasa digunakan agar hanya sedikit darah yang berada di
area luka. Tetapi cara ini memicu terjadinya iskemia pada trauma luka
berat dan bisa membuat sulit untuk di mengidentifikasi struktur yang mana
yang lemah. Hal – hal yang perlu diperhatikan saat debridement:
a. Eksisi luka
Pinggiran luka dieksisi, tapi pinggiran kulit sehat dibiarkan.
b. Ekstensi luka
Ekstensi paling aman dilakukan dengan mengikutri garis insisi
fasciotomy; ini menghindari kerusakan pembuluh darah yang bisa
digunakan untuk membentuk skin flap untuk menutupi fraktur.
c. Delivery of the fracture
Pemeriksaan permukaan struktur tidak bisa dilakukan dengan adekuat
tanpa mengekstraksi tulang dari luka. Cara termudah dengan menekuk
tungkai tersebut dimana hal ini terjadi saat kecelakaan; permukaan
fraktur akan terlihat melalui luka tanpa kerusakan jaringan lunak
tambahan. Pengungkit tulang dan retraktor tidak digunakan.
d. Membersihkan jaringan yang lemah
Jaringan yang lemah menyediakan nutrisi untuk bakteri. Otot mati bisa
diidentifikasi dengan oto warna keunguan, konsistensi yang lunak,
kegagalan untuk kontak ketika distimulasi dan tidak berdarah saat
sayat. Seluruh jaringan yang tidak sehat, lunak atau keras, harus
diangkat.
e. Pembersihan luka
Seluruh benda asing dan jaringan bekas diangkat dengan eksisi atau
dibersihkan berulang dengan saline. 6 – 12 L saline dibutuhkan untuk
irigasi dan membersihkan fraktur terbuka pada tulang panjang.
f. Saraf dan tendon
Cara terbaik adalah dengan tidak melakukan apa – apa pada saraf dan
tendon yang terpotong.
PENUTUPAN LUKA
Luka yang kecil dan tidak terkontamintasi pada fraktur grade I atau II,
dilakukan penjahitan tanpa tekanan. Pada luka dengan grade yang
lebih berat, stabililasi fraktur secepatnya dan luka ditutup dengan split-
skin grafts, lokal atau distant flap, luka yang sehat telah didapat setelah
debridement.

(3) Stabilisasi fraktur


Stabilisasi fraktur penting dilakukan untuk mengurangi resiko infeksi dan
membantu perbaikan jaringan lunak. Metode fiksasi dilakukan tergantung
dari derajat kontaminasi, lamanya operasi dan banyaknya kerusakan
jaringan lunak. Jika tidak
ada kontaminasi dan
penutupan luka bisa
dilakukan saat
debridement, fraktur
terbuka pada derajat
apapun bisa dirawat
sebagai fraktur tertutup;
internal atau eksternal
fiksasi dilakukan tergantung
Gambar 20. Stabilisasi Fraktur
pada tipe fraktur dan luka. Jika
penutupan luka tertunda, metode fiksasi eksternal lebih aman.
(4) Menutup luka lebih awal
AFTERCARE
Di bangsal, tungkai yang elevasi dan sirkulasi nya harus di perhatikan.
Antibiotik dilanjutkan tetapi hanya untuk 72 jam pada luka yang berat.
2.3 DISLOKASI

Anda mungkin juga menyukai