PENDAHULUAN
Ada dua lokasi pertumbuhan tulang rawan pada tulang panjang, yaitu:
1. Tulang rawan artikuler: Pertembuhan tulang panjang terjadi pada daerah
tulang rawan artikuler dan merupakan tempat satu-satunya bagi tulang
untuk bertumbuh pada daerah epifisis. Pada tulang pendek, pertumbuhan
tulang dapat terjadi pada seluruh daerah tulang.
2. Tulang rawan lempeng epifisis
Tulang rawan lempeng epifisis memberikan kemungkinan metafisis dan
diafisis untuk bertumbuh memanjang.
2.2.2 Etiologi
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
Derajat II :
Luka > 1 cm
Kerusakan jaringan sedang
Komunitif sedang
Derajat III :
a. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringan berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
b. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringa berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
Dibutuhkan free tissue flap atau rotational flap coverage
c. Luka > 10 cm
Kerusakan jaringa berat
Komunitif berat atau fraktur segmental
Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah
Grade I Grade II
Grade IIIC
Gambar 4. Klasifikasi fraktur terbuka
Gambar 5. Tipe Fraktur. Fraktur komplit: (a) transverse; (b) segmental dan (c)
spiral. Fraktur inkomplit: (d) torus dan (e,f) greenstick.
(Solomon L, et al., 2010)
2.2.4 Diagnosis
Hal pertama yang perlu diketahui adalah mekanisme traumanya. Hal ini
penting untuk memperkirakan lokasi terjadinya fraktur. Kemudian yang
kedua, kita harus dapat mengenali keadaan ABC; Airway obstruction,
Breathing problems, Circulatory problems dan Cervical spine injury.
Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir
dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan
fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan
gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi / Look
Hal terpenting dalam inspeksi adalah melihat apakah kulit masih intak. Jika kulit
tidak intak dan luka sekitar berhubungan dengan fraktur, maka disebut ‘open’
(‘compound’). Postur dari ekstremitas bagian distal dan warna kulit sekitar juga
diperhatikan. Bengkak, memar dan deformitas (angulasi, rotasi dan kependekan)
terlihat.
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan
dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan X-Ray wajib dilakukan dan dengan rule of twos1 :
1) Two views
Fraktur atau dislokasi dapat tidak terlihat dalam satu foto saja, jadi
diperlukan 2 foto yaitu anteroposterior dan lateral.2 Untuk beberapa
fraktur, terutama pada tulang kecil dan vertebra, foto oblique kadang-
kadang diperlukan.7
2) Two joints
Sendi pada atas dan bawah fraktur harus dimasukan.2
3) Two limbs
Foto pada bagian yang tidak terkena fraktur juga diperlukan untuk
perbandingan. 2
4) Two injuries
Gaya yang kuat sering mengakibatkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Maka dari itu, fraktur dari calcaneum atau femur penting juga
untuk dilakukan foto pelvis dan spine.2
5) Two occasions
Beberapa fraktur tidak langsung terdeteksi setelah cedera pada
radiografi, tapi foto 1- 2 minggu setelah kejadian mungkin akan
memperlihatkan lesi. Contohnya adalah fraktur undisplaced dan
fraktur impaksi.2
Special Imaging
a. CT Scan
Pemeriksaan CT scan berguna untuk mendeteksi lesi pada tulang belakang
atau fraktur yang kompleks. Pemeriksaan ini juga untuk visualisasi yang
akurat pada bagian yang ‘sulit’ seperti calcaneum atau acetabulum.
b. MRI
Pada fraktur vertebra, pemeriksaan MRI merupakan satu-satu nya cara untuk
menentukan apakah fraktur vertebra menekan sumsum tulang belakang.
c. Radioisotope scanning
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosis fraktur yang dikarenakan
stress atau fraktur tidak bergeser lainnya.
2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan khusus dari terapi fraktur adalah:7
1) Untuk meringankan nyeri
Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya berasal
dari cidera jaringan lunak yang terkena seperti periosteum dan
endosteum. Nyeri muncul oleh gerakan dari fragmen fraktur,
berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang progresif di ruangan
tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur bisa diringankan dengan
imobilisasi area fraktur dan menghindari bidai ataupun gips yang
terlalu ketat. Pada awal terjadinya fraktur, analgesik mungkin
dibutuhkan.
2) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen
fraktur
Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin tidak
semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur berguna untuk
mendapatkan posisi yang pas yang diindikasikan hanya saat sekiranya
reduksi dapat membantu dalam mendapatkan fungsi yang baik, untuk
mencegah penyakit sendi degeneratif selanjutnya atau untuk
mendapatkan penampakan klinis yang baik, tapi tidak perlu untuk
sampai mendapatkan penampakan radiologis yang sempurna.
3) Untuk mendorong terjadinya union dari tulang
Pada kebanyakan fraktur, union akan terjadi dengan sendirinya.
Namun pada beberapa fraktur, seperti yang terdapat robekan berat
dari periosteum dan jaringan lunak sekitarnya atau adanya nekrosis
avaskular di satu atau kedua fragmen, union harus dibantu dengan
penggunaan alat/ bone graft.
4) Untuk mengembalikan fungsi optimal tidak hanya dari tungkai/lengan
atau tulang belakang yang terkena namun juga untuk pasien secara
keseluruhan.
Saat periode imobilisasi selama proses penyumbuhan fraktur, disuse
atrophy dari otot di sekitarnya harus dicegah dengan active static
exercise dari otot yang mengontrol imobilisasi sendinya dan active
dynamic exercise dari semua otot pada tungkai ataupun lengannya.
Setelah imobilisasi selesai, active exercise harus dilanjutkan secara
lebih intensif.
a. Fraktur Tertutup
Penatalaksaaan pada fraktur tertutup terdiri dari manipulation untuk reposisi
fragmen, splintage untuk memfiksasi hingga fragmen dan tulangnya menyatu
kembali dan movement merupakan menggerakkan sendi. Aktifitas otot dan
pembebanan berat badan (weightbearing) harus dilakukan dalam proses
penyembuhan.
(1) (2)
(3)
Metode ini sangat efektif ketika periosteum dan otot disekitar fraktur masih
intak. Pada umumnya reduksi tertutup dilakukan untuk semua fraktur dengan
pergeseran minimal, fraktur pada anak dan fraktur stabil setelah reduksi dan bisa
dipertahankan dengan pembidaian. Fraktur tidak stabil bisa direduksi dengan
metode tertutup sebelum stabilisasi dengan fiksasi internal atau eksternal.
b. Reduksi Tebuka
Indikasi reduksi operatif pada fraktur yaitu:
(1) Ketika reduksi tertutup gagal, dikarenakan kesulitan dalam mengontrol
fragmen atau terdapat jaringan lunak diantaranya
(2) Ketika ada fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat
(3) Untuk traksi (avulsi) fraktur yang fragmennya terpisah.
Reduksi terbuka merupakan tahap pertama dalam fiksasi internal
(b) Traksi kulit – traksi kulit akan menopang tarikan tidak lebih dari 4
atau 5 kg. Holland strapping atau one-way-stretch Elastoplast menempel
pada kulit yang tercukur dan tertahan dengan perban. Malleoli terlindungi oleh
jaringan Gamgee, dan tali atau plester digunakan untuk traksi.
(c) Traksi skeletal – kawat kaku atau pin dimasukkan – biasanya
dibelakang tuberkel tibia untuk kecelakaan pada panggul, paha dan lutut
atau melalui calcaneum untuk fraktur tibia – dan kawat terikat di area
tersebut untuk traksi.
Traksi kulit atau skeletal, fraktur akan berkurang dan tertahan dengan satu
dari tiga cara: fixed traction, kesimbangan traksi atau kombinasi dari
keduanya. Komplikasi dari traksi yaitu hambatan sirkulasi, kerusakan
saraf dan infeksi pada pin yang dimasukkan.
(2) Pembidaian
Kecepatan penyatuan bisa lebih cepat atau lambat dengan traksi, tetapi
pasien bisa di rawat jalan dengan cepat. Mempertahankan reduksi biasanya
tidak ada masalah dan pasien dengan fraktur tibia bisa menopang berat
pada gips. Namun, sendi yang terbungkus plester tidak bisa gerak dan
cenderung menjadi kaku; kekakuan merupakan masalah dalam
pemasangan gips konvensional. Ketika sudah tidak ada pembengkakan
dan hematoma, adhesi yang mengikat serat antar otot dan tulang mungkin
bisa terbentuk. Kekakuan bisa di minimalisir dengan:
(a) Tunda pembidaian – dengan menggunakan traksi sampai pergerakan
bisa kembali dilakukan dan menggunakan plester sampai bisa
digerakkan.
(b) Mulai menggunakan gips konvensional, tapi setelah beberapa minggu,
ketika tungkai tersebut bisa mengatasi tanpa rasa tidak nyaman, ganti
gips dengan functional brace yang bisa membiarkan pergerakan sendi.
Komplikasi dalam pembidaian yaitu gips terlalu ketat, nyeri pada saat
ada tekanan, abrasi / laserasi kulit dan gips longgar.
(c) Functional bracing
Functional bracing, menggunakan plester Paris atau material
thermoplastic yang lebih ringan, merupakan cara untuk mencegah
kekakuan sendi. Segmen gips di pasang hanya pada tulang, sendi tetap
bebas; segmen gips tersambung oleh logam atau engsel plastik yang
membiarkan terjadi pergerakan. Functional bracing sering digunakan pada
fraktur femur atau tibia, tapi karena penjepit / brace tidak terlalu kaku,
biasanya digunakan ketika fraktur mulai menyatu (3 – 6 minggu setelah
traksi atau plester konvensional. Jika digunakan dengan cara ini, hasilnya
akan baik jika:
(1) Held : reposisi fraktur bisa dipertahankan dengan baik
(2) Moved : sendi bisa digerakkan
(3) Speed : kecepatan sendi pada fraktur normal (atau mungkin sedikit
lebih cepat)
(4) Safe : metodenya aman
a. Infeksi
Infeksi iatroenik merupakan penyebab tersering pada osteomyelitis kronik;
bukan dikarenakan metal nya, tetapi karena operasi dan kualitas jaringan
pasien.
b. Non – union
Jika tulang telah diperbaiki dengan adanya gap antar ujung tulang,
kemungkinan fraktur gagal untuk menyatu. Keadaan ini sering terjadi pada
kaki atau lengan jika satu tulang mengalami fraktur dan tulang yang
lainnya masih intak. Penyebab lain adalah terlepasnya jaringan lunak dan
merusak suplai darah pada operasi fiksasi.
c. Implant failure
Pemasangan metal bisa gagal kecuali penyatuan fraktur sudah terjadi.
Stress harus dihindari dan pasien dengan patah tulang tibia yang sudah
dilakukan fiksasi internal harus berjalan dengan tongkat penopang dan
tidak mengangkat beban berat selama 6 minggu atau lebih, sampai kalus
atau tanda penyembuhan fraktur terlihat pada X-Ray. Rasa nyeri pada
daerah fraktur merupakan tanda bahaya yang harus diperhatikan.
d. Refracture
Penting untuk tidak melepas implan metal terlalu cepat, atau tulang akan
fraktur kembali. Minimal pemasangan dalam 1 tahun dan 18 atau 24 bulan
lebih aman; untuk beberapa minggu setelah pelepasan metal tulang akan
lemah dan perawatan perlindungan dibutuhkan.
EXERCISE
Pengembalian fungsi – bukan hanya pada bagian yang trauma tetapi juga pada
pasien seutuhnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi edema, menjaga
pergerakan sendi, mengembalikan kekuatan otot dan menuntun pasien agak bisa
menjalankan aktifitas normal;
b. Fraktur Terbuka
Pada semua fraktur terbuka, penting untuk mencegah terjadinya infeksi.
Empat hal penting yang harus dilakukan yaitu:
(1) Antibiotik profilaksis
Luka harus tetap ditutup sampai pasien masuk ke ruang operasi. Pada
umumnya co-amox-iclav atau cefuroxime diberikan. Pada saat dilakukan
debridement, gentamisin ditambah sebagai dosis ke-2 dari antibiotik
pertama.
(2) Debridement
Bertujuan untuk memperluas area luka bebas benda asing dan jaringan
mati, meninggalkan area operasi yang bersih dan jaringan dengan suplai
darah yang baik. Luka ditutup dengan bantalan steril dan luka disekitarnya
harus dibersihkan. Bantalan di lepas dan luka diiirigasi berulang dengan
saline. Luka ditutup lagi dan tungkai pasien di persiapkan untuk operasi.
Torniquet juga biasa digunakan agar hanya sedikit darah yang berada di
area luka. Tetapi cara ini memicu terjadinya iskemia pada trauma luka
berat dan bisa membuat sulit untuk di mengidentifikasi struktur yang mana
yang lemah. Hal – hal yang perlu diperhatikan saat debridement:
a. Eksisi luka
Pinggiran luka dieksisi, tapi pinggiran kulit sehat dibiarkan.
b. Ekstensi luka
Ekstensi paling aman dilakukan dengan mengikutri garis insisi
fasciotomy; ini menghindari kerusakan pembuluh darah yang bisa
digunakan untuk membentuk skin flap untuk menutupi fraktur.
c. Delivery of the fracture
Pemeriksaan permukaan struktur tidak bisa dilakukan dengan adekuat
tanpa mengekstraksi tulang dari luka. Cara termudah dengan menekuk
tungkai tersebut dimana hal ini terjadi saat kecelakaan; permukaan
fraktur akan terlihat melalui luka tanpa kerusakan jaringan lunak
tambahan. Pengungkit tulang dan retraktor tidak digunakan.
d. Membersihkan jaringan yang lemah
Jaringan yang lemah menyediakan nutrisi untuk bakteri. Otot mati bisa
diidentifikasi dengan oto warna keunguan, konsistensi yang lunak,
kegagalan untuk kontak ketika distimulasi dan tidak berdarah saat
sayat. Seluruh jaringan yang tidak sehat, lunak atau keras, harus
diangkat.
e. Pembersihan luka
Seluruh benda asing dan jaringan bekas diangkat dengan eksisi atau
dibersihkan berulang dengan saline. 6 – 12 L saline dibutuhkan untuk
irigasi dan membersihkan fraktur terbuka pada tulang panjang.
f. Saraf dan tendon
Cara terbaik adalah dengan tidak melakukan apa – apa pada saraf dan
tendon yang terpotong.
PENUTUPAN LUKA
Luka yang kecil dan tidak terkontamintasi pada fraktur grade I atau II,
dilakukan penjahitan tanpa tekanan. Pada luka dengan grade yang
lebih berat, stabililasi fraktur secepatnya dan luka ditutup dengan split-
skin grafts, lokal atau distant flap, luka yang sehat telah didapat setelah
debridement.