Anda di halaman 1dari 9

“RESUME RESUSITASI JANTUNG PARU”

Di Susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi Keperawatan Gawat


Darurat dan Manajemen Bencana

Dosen Pembimbing: Zulfikar M, S.kep, Ns, M.KEP

OLEH :

Dwi Winarsih(1910011)

PRODI KEPERAWATAN PROGRAM DIPLOMA III


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
MALANG
2021
RESUME RESUSITASI JANTUNG

A. Pengertian BHD dan Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah


kematian biologis dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan
napas (kematian klinis) ke fungsi yang optimal (Muttaqin, 2009). RJP terdiri dari
pemberian bantuan sirkulasi dan napas, dan merupakan terapi umum, diterapkan
pada hampir semua kasus henti jantung atau napas. kompresi dan ventilasi
merupakan tindakan yang efektif dalam melakukan RJP. Orang awam dan orang
terlatih dalam bidang kesehatanpun dapat melakukan tindakan RJP (Kaliammah,
2013 ). Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa

Bantuan hidup dasar harus segera dilaksanakan oleh penolong apabila


dalampenilaian dini penderita ditemukan salah satu dari masalah antara lain :
tersumbatnya jalan nafas, tidak menemukan adanya nafas serta tidak ditemukan
adanya tanda-tanda nadi. Seperti diketahui bahwa tujuan dari P3K (Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan) salah satunya ialah menyelamatkan jiwa penderita
sehingga dapat selamat dari kematian. Pengertian mati sendiri terbagi menjadi 2
(dua) yaitu mati klinis dan mati biologis. Mati klinis berarti tidak ditemukan
adanya pernafasan dan nadi. Mati klinis dapat bersifat reversibel (dapat
dipulihkan). Penderita mati klinis mempunyai waktu 4-6 menit untuk dilakukan
resusitasi tanpa kerusakan otak. Sedangkan mati biologis berarti kematian sel
dimulai terutama sel otak & bersifat ireversibel (tidak bisa dipulihkan) yang biasa
terjadi 8-10 menit dari henti jantung. Dalam memberikan bantuan hidup dasar
dikenal 3 (tiga) tahap utama yaitu : penguasaan jalan nafas, bantuan pernafasan
dan bantuan sirkulasi darah yang lebih dikenal juga dengan istilah pijatan jantung
luar dan penghentian perdarahan besar.

B. Indikasi dilakukan RJP

a. Henti NapasHenti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh


banyak  hal,misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas,obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir,serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas, jantung masih
berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya
masih cukup sampai beberapamenit. Kalau henti napas mendapat pertolongan
segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau
terlambat akan berakibat henti jantung

b. Henti JantungHenti jantung primer (cardiac arrest ) ialah ketidak sanggupan


curah jantunguntuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya secara mendadak  dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan
yang tepat atauakan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti
jantung terminalakibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk
henti jantung. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atautakikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis
henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang.Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis femoralis,radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhentiatau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi
terhadap rangsangcahaya dan pasien tidak sadar .Pengiriman O ke otak
tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin(Hb), saturasi Hb terhadap
O dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap,walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembal

C. Kontraindikasi Resusitasi Jantung Paru


Kontraindikasi pelaksanaan RJP adalah permintaan do-not- resuscitation (DNR)
atau indikasi berat lainnya yang mengindikasikan orang tersebut untuk tidak
dilakukan tindakan RJP pada saat terjadi henti jantung. Kontraindikasi relatif
lainnya adalah adanya keputusan medis yang menilai kondisi pasien dan
memutuskan untuk tidak melakukan RJP karena melihat intervensi tersebut akan
memberikan hasil yang sia-sia (Bon et al., 2016).

D. Tahap –Tahap Melakukan Resusitasi Jantung Paru

Tindakan RJP dapat dilakukan dengan sesegera mungkin oleh penolong untuk
meminimalisir terjadinya interupsi. Tahapan tindakan RJP dilakukan dengan
urutan “CAB” yaitu memberikan compression (kompresi dada), airway
(membuka jalan nafas) dan breathing (memberikan nafas pada korban) dengan
rasio 30 kompresi : 2 ventilasi selama 5 siklus (Khalid & Juma, 2010). Tahap –
tahap melakukan RJP pada kasus henti jantung menurut Neumar et al., (2015)
adalah sebagai berikut

1. Kaji denger
Kaji danger atau bahaya adalah melakukan investigasi terkait lokasi di sekitar
korban tersebut aman. Kondisi korban yang berada pada lokasi yang tidak aman
(seperti terdapat gas beracun, kebakaran, atau yang lainnya) dianjurkan bagi
penolong agar tidak mendekati korban. Kondisi ini dikhawatirkan akan
membuat penolong dapat ikut menjadi korban. Pindahkan korban terlebih
dahulu pada kondisi yang lebih aman
2. Chest respon
Korban yang ditemukan tiba-tiba tidak sadarkan diri, maka hal pertama yang
perlu penolong lakukan adalah memastikan apakah korban mengalami henti
jantung atau tidak. Cara yang perlu dilakukan adalah memeriksa respon korban
dengan memanggil nama / sebutan yang umum dengan keras disertai menyentuh
atau menggoyangkan bahu dengan pelan. Korban yang berespon akan
menjawab, bergerak atau mengerang. Korban yang tidak berespon, maka
penolong harus segera mengaktifkan sistem tanggap darurat serta mengecek
pernafasan korban hingga tim bantuan medis datang. Cek nadi korban kurang
dari 10 detik dan apabila tidak terdeteksi maka kompresi dada harus dimulai

3. Chest Compressions
Kompresi dada (chest compressions) dapat mengalirkan darah ke organ- organ
vital dan meningkatkan kemungkinan kembalinya sirkulasi. Kompresi yang
kuat, cepat, meminimalisir interupsi, memaksimalkan recoil dan menghindari
pemberian napas yang berlebihan adalah beberapa komponen dari “High
Quality CPR” atau RJP yang berkualitas tinggi. Korban harus dipastikan
terbaring dalam permukaan keras dan rata sebelum diberikan tindakan RJP.
Bila korban tidak berespon dan tidak bernapas maka mulai dilakukan siklus
30 kompresi. Karakteristik RJP yang berkualitas tinggi adalah kompresi dada
dengan kekuatan dan kedalaman yang tepat. Push fast, mendorong pada
kecepatan minimal 100-120 kompresi per menit. Push hard, mendorong dengan
kekuatan yang cukup untuk menekan setidaknya sepertiga anterior-posterior
(AP) diameter dada atau maksimum 2 inchi (5 cm) dan tidak melebihi 2,4 inci
(6 cm) pada anak-anak dan dewasa. Membiarkan dada kembali (rekoil penuh)
setelah masing-masing kompresi untuk memungkinkan jantung terisi dengan
darah
4. Airway

Penolong harus bisa memastikan jalan napas terbuka dan bersih yang
memungkinkan korban bernapas. Membersihkan jalan napas dapat dilakukan
dengan menyisir rongga mulut menggunakan teknik jari silang (cross finger)
untuk membuka mulut. Penolong dapat membuka jalan napas dengan cara
mengangkat dahi dan dagu korban secara perlahan (head tilt and chin lift).
Teknik lain untuk membuka jalan napas adalah dengan menggunakan teknik
jaw trust. Neumar et al., (2015) merekomendasikan untuk menggunakan teknik
head tilt-chin lift jika pada korban tidak ditemukan adanya trauma kepala / leher
dan gunakan teknik jaw thrust apabilla korban memiliki cidera servikal.

5. Breathing
Breathing ditujukan untuk memastikan oksigen pada korban adekuat dan dapat
tetap tersirkulasi dengan baik pada seluruh organ vital. Nafas buatan yang
diberikan pada korban adalah dua kali napas buatan selama 5 siklus dengan
volume 500-600 mL. Cara pertama yang dapat dilakukan adalah melalui mulut
ke mulut. Langkahnya adalah tutup hidung korban, ambil napas panjang dan
segera tiupkan pada mulut korban perlahan
E. Penatalaksanaan

Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya.Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada
dan melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya.Harus dipikirkan satu
bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama
perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca
kejadian cedera.Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus
tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik
yang bertujuan untuk :
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru
(RJP).
Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :
– Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
– Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga
medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer

F. Langkah-Langkah Bantuan Hidup Dasar


a. Pada saat tiba di lokasi kejadian
Tahap ini merupakan tahapan umum pada saat tiba di suatu lokasi kejadian, baik
pada kasus trauma ataupun kasus medis. Pada saat tiba di tempat kejadian, kenali
dan pelajari segala situasi dan potensi bahaya yang ada. Sebelum melakukan
pertolongan, pastikan keadaan aman bagi si penolong.
a. Amankan keadaan
Perhatikan dahulu segala yang berpotensi menimbulkan bahaya sebelum
menolong pasien, seperti lalu lintas kendaraan, jalur listrik, asap, cuaca
ekstrim, atau emosi dari orang di sekitar lokasi kejadian. Lalu menggunakan
alat perlindungan diri (APD) yang sesuai.
b. Evaluasi ancaman bahaya
Bila tidak ada ancaman bahaya jangan memindahkan korban, misalnya api
atau
gas beracun. Jika penolong harus memindahkan korban, maka harus
dilakukan
secepat mungkin dan seaman mungkin dengan sumber daya yang tersedia.
c. Evaluasi penyebab cedera atau mekanisme cedera
Evaluasi petunjuk yang mungkin menjadi pertanda penyebab terjadinya
kegawatan dan bagaimana korban mendapatkan cederanya, misalnya
terjatuh dari tangga, tabrakan antar kendaraan, atau adanya tumpahan obat
dari botolnya. Gali informasi melalui saksi mata apa yang terjadi dan
menggunakan informasi tersebut untuk menilai apa yang terjadi. Penolong
juga harus memikirkan kemungkinan korban telah dipindahkan dari tempat
kejadian, baik oleh orang di sekitar lokasi atau oleh si korban sendiri.
d. Jumlah korban
Evaluasi pula keadaan sekitar bilamana terdapat korban lain. Jangan sekali-
kali
berpikir hanya ada satu korban, oleh sebab itu sangat penting untuk segera
mengamati keadaan sekitar kejadian.
e. Meminta pertolongan
Minta bantuan ke orang sekitar tempat kejadian. Hal ini sangat penting
karena akan sangat sulit menolong pasien seorang diri, apabila ada lebih
dari satu penolong maka akan lebih efektif menangani korban, seperti
pengaktivan EMS dan mengamankan lokasi.
f. Evaluasi kesan awal Anda
Evaluasi gejala dan tanda yang mengindikasikan kedaruratan yang
mengancam nyawa korban, seperti adanya sumbatan jalan nafas,
perdarahan dan sebagainya
DAFTAR PUSTAKA

Yunanto, R. A. (2017). Pengaruh Pelatihan Resusitasi Jantung Paru (Rjp) Dengan Mobile
Application Dan Simulasi Terhadap Pengetahuan, Keterampilan Dan Kesediaan Menjadi
Bystander Rjp Pada Siswa Smk Negeri 2 Singosari (Doctoral dissertation, Universitas
Brawijaya).

Widyarani, L. (2018). Analisis Pengaruh Pelatihan Resusitasi Jantung Paru RJP Dewasa
terhadap Retensi Pengetahuan dan Ketrampilan RJP pada Mahasiswa Keperawatan di
Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Soedirman, 12(3), 143-149

http://repository.unissula.ac.id/7342/4/BAB%201.pdf

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pengabdian_dir/09b5c1cf7ba2db097e75d1a8bb79d
4df.pdf

Anda mungkin juga menyukai