Anda di halaman 1dari 11

Fayara Aretha Kunaefi

Calon Anggota TBM FKUI 2024

Basic Life Support


BLS, atau Basic Life Support, adalah serangkaian tindakan medis darurat yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memulihkan fungsi vital dasar seseorang
yang mengalami keadaan seperti henti jantung, henti napas, atau sumbatan jalan
napas. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan perawatan yang cepat dan
efektif untuk meningkatkan kesempatan bertahan hidup pasien dalam situasi
kegawatdaruratan medis; BLS bisa dilakukan oleh praktisi kesehatan, petugas
keselamatan publik, atau siapapun individu pertama yang merespons. Karena itu,
penting untuk memiliki pengetahuan mengenai resusitasi kardiopulmoner (CPR),
penggunaan defibrillator eksternal otomatis (AED), dan pengentasan penghalang
jalan napas pada pasien dari segala usia.1

CPR harus segera dilakukan pada setiap orang yang tidak sadar dan ditemukan
tidak memiliki nadi. Indikasi dapat meliputi henti jantung / serangan jantung
mendadak akibat penyakit arteri paru, penyakit arteri koroner, atau perfusi yang
buruk, stroke, dan henti / obstruksi jalan nafas (akibat tenggelam, keracunan,
sesak napas, overdosis narkoba). Tindakan yang dilakukan termasuk resusitasi
kardiopulmoner (CPR) dan penggunaan defibrilasi dengan defibrillator eksternal
otomatis. Memahami BLS dan melakukan CPR dengan benar dapat meningkatkan
peluang bertahan hidup pasien sampai bantuan medis profesional tiba, bahkan
dalam situasi kegawatdaruratan medis yang serius. Semua orang yang mungkin
berada di tempat kejadian henti jantung, terutama mereka di sekitar, perlu
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan resusitasi yang tepat.2

Mati klinis terjadi ketika jantung berhenti memompa darah. Tanpa CPR, kematian
biologis mulai terjadi sekitar 4-6 menit kemudian. Kematian biologis adalah
ketika otak korban mengalami kerusakan dan sel-sel di jantung, otak, dan organ
tubuh lainnya mati karena kekurangan oksigen. Kerusakan yang disebabkan oleh
kematian biologis bersifat permanen. CPR akan menyediakan darah yang kaya
oksigen ke otak dan organ utama untuk mencegah timbulnya kematian biologis.
Jika korban berhasil diresusitasi dalam 4 menit pertama setelah henti jantung,
kemungkinan kerusakan permanen menurun. Jika korban tidak mendapatkan
oksigen selama 4-6 menit, kematian biologis akan terjadi dan ada kemungkinan
kerusakan otak permanen. Setelah terjadinya kematian biologis, jumlah kerusakan
yang dialami tubuh korban akan terus meningkat. Setelah 11 menit tanpa oksigen,
korban akan memiliki sedikit kesempatan untuk bertahan hidup.3,4

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah suatu sistem


yang dirancang untuk memberikan penanganan yang holistik dan terkoordinasi
terhadap pasien gawat darurat dari respons awal di lapangan hingga perawatan
lanjutan di rumah sakit atau transfer antar rumah sakit. Terdiri dari tiga unsur
utama, SPGDT mencakup pelayanan pra rumah sakit seperti layanan ambulans
dan pertolongan pertama (BLS), pelayanan di rumah sakit termasuk diagnosis dan
perawatan intensif (Advanced Life Support / ALS), serta koordinasi antar rumah
sakit untuk perpindahan pasien yang memerlukan perawatan spesialis. Algoritma
BLS dimulai dengan mengevaluasi keadaan keselamatan pasien dan memanggil
bantuan darurat. Kemudian, periksa responsivitas korban dengan memanggil
namanya dan periksa apakah ada tanda-tanda pernapasan normal. Jika tidak ada
respons, segera mulai CPR dengan memberikan 30 kompresi dada diikuti dengan
dua napas bantuan. Selanjutnya, jika tersedia, gunakan AED untuk menilai dan
memberikan defibrilasi jika diperlukan. Lanjutkan siklus CPR dan penggunaan
AED sampai tim medis darurat tiba atau korban menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Selama proses ini, pastikan untuk melanjutkan kompresi dada dan
napas bantuan secara terus-menerus dengan konsisten untuk meningkatkan
peluang keselamatan pasien.5

Pendekatan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) adalah


metode universal yang dapat diterapkan pada pasien dari segala usia, termasuk
dewasa dan anak-anak. Metode ini memungkinkan para penyedia layanan
kesehatan untuk secara sistematis mengevaluasi dan mengobati kondisi kritis
berdasarkan tanda-tanda klinis yang serupa, terlepas dari penyebab yang
mendasarinya. Namun, pendekatan ABCDE tidak dianjurkan selama situasi henti
jantung. Dalam kasus tersebut, memastikan keselamatan pribadi dan segera
memulai resusitasi kardiopulmoner sesuai dengan pedoman menjadi prioritas.
Setiap komponen dari pendekatan ABCDE melibatkan poin penilaian spesifik dan
opsi pengobatan yang sesuai yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang
berpotensi mengancam jiwa secara efisien dan efektif.

Komponen A berfokus pada penilaian apakah jalan napas pasien terbuka. Periksa
respons pasien terhadap suara untuk menentukan kepatenan jalan napas. Obstruksi
jalan napas dapat mengakibatkan perubahan suara, pernafasan berbunyi (seperti
stridor), atau pernapasan yang terlihat sulit. Jika terjadi obstruksi total, tidak akan
ada tanda-tanda pernapasan meskipun ada upaya yang besar. Tindakan termasuk
menggunakan manuver kepala dan dagu untuk membuka jalan napas dan
menyedot untuk menghilangkan obstruksi. Komponen B mengevaluasi apakah
pernapasan pasien cukup. Ini meliputi penilaian laju pernapasan, gerakan dinding
dada, penggunaan otot bantu pernapasan, dan perkusi dada. Komponen C menilai
apakah sirkulasi pasien memadai. Ini termasuk penilaian waktu pengisian kembali
kapiler dan denyut nadi. Inspeksi kulit memberikan petunjuk tentang masalah
sirkulasi, seperti perubahan warna kulit, keringat berlebihan, atau penurunan
kesadaran. Hipotensi adalah tanda klinis yang penting. Efek dari hipovolemia
dapat dikurangi dengan membaringkan pasien dan mengangkat kakinya.
Komponen D mengevaluasi tingkat kesadaran pasien. Ini dapat dilakukan dengan
metode AVPU, di mana pasien dinilai sebagai sadar (Alert), responsif suara (Voice
Responsive), responsif rasa sakit (Pain Responsive), atau tidak responsif
(Unconscious). Gerakan anggota tubuh dan pencahayaan refleks pupil juga harus
dievaluasi, dan kadar glukosa darah harus diukur. Komponen E meliputi
pemeriksaan tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit, bekas jarum, dan
lain-lain yang dapat menjelaskan kondisi pasien. Pakaian pasien harus dibuka
untuk memungkinkan pemeriksaan fisik menyeluruh. Suhu tubuh dapat diestimasi
dengan meraba kulit atau menggunakan termometer jika tersedia.6
Resusitasi Jantung Paru (RJP) melibatkan beberapa tindakan penting. Pertama,
membuka jalan napas pasien dengan memiringkan kepala. Langkah selanjutnya
adalah memberikan kompresi dada dengan kekuatan penuh dan tekanan berirama
pada bagian bawah tulang dada. Kompresi dada harus dilakukan dengan tepat,
dengan kedalaman tekanan sekitar 5 cm dan ritme 100-120 kompresi per menit
tanpa henti. Setelah 30 kompresi dada, dilakukan dua kali napas bantuan. Hal ini
sangat penting untuk memberikan aliran darah dan oksigen ke otak dan otot
jantung pasien yang mengalami serangan jantung. Oleh karena itu, setiap pasien
yang mengalami serangan jantung harus segera mendapatkan CPR.7

Teknik resusitasi jantung paru (RJP) melibatkan serangkaian langkah yang harus
dilakukan secara efektif. Pertama, mulai dengan menilai responsivitas pasien
dengan cara mengetuk bahu dan bertanya dengan keras apakah mereka baik-baik
saja. Jika tidak ada respons, lanjutkan segera ke langkah berikutnya. Aktifkan
layanan medis darurat (EMS) atau instruksikan seseorang di sekitar untuk
melakukannya, dan jika tersedia, ambil defibrillator eksternal otomatis (AED) dan
bawa ke sisi pasien. Letakkan pasien telentang di atas permukaan yang keras,
pastikan tidak ada halangan di sekitar pasien untuk memudahkan proses resusitasi.
Kemudian, buka jalan napas dengan memiringkan kepala pasien sedikit ke
belakang dan mengangkat dagu. Selanjutnya, periksa pernapasan dengan
mengamati gerakan dada, mendengarkan suara napas, dan meraba aliran udara;
secara bersamaan, periksa denyut nadi di arteri karotis (dewasa) atau arteri
brakialis (anak-anak dan bayi) selama <10 detik. Mulailah kompresi dada jika
pasien tidak responsif, tidak bernapas, atau hanya menghela nafas (pernapasan
agonal), dan tidak ada denyut nadi yang pasti. Pada orang dewasa, kompresi dada
dilakukan dengan kedalaman minimal 5 cm, sementara pada anak-anak dan bayi,
kedalaman kompresi adalah sekitar sepertiga diameter anteroposterior dada.
Setelah setiap 30 kompresi dada, berikan dua nafas buatan menggunakan masker
wajah atau alat bantu napas lainnya. Jika tersedia, gunakan AED dan defibrilator
sesegera mungkin dan ikuti instruksi perangkat. Ulangi siklus kompresi dada dan
nafas buatan secara terus menerus sampai bantuan medis tiba dan mengambil alih
perawatan pasien. Lakukan penilaian kondisi pasien secara berkala dan sesuaikan
pengobatan sesuai kebutuhan.8

Teknik posisi pemulihan, atau yang sering disebut sebagai "recovery position,"
adalah langkah penting dalam pertolongan pertama setelah berhasil melakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau ketika korban sudah dapat bernapas secara
konsisten tetapi masih mengalami kelelahan. Langkah-langkahnya dimulai dengan
mempersiapkan area sekitar agar aman dari bahaya. Kemudian, letakkan korban
telentang di atas permukaan yang datar dan keras, pastikan kepala, leher, dan
badan korban tetap sejajar. Berdiri di samping korban, arahkan tangan yang
berada di sisi yang berlawanan dari arah yang ingin digulingkan ke daerah kuping
/ pipi supaya bisa mensupport kepala, dan dengan lembut dorong lutut korban
yang berada di sisi yang ingin digulingkan ke atas sementara tangan lainnya masih
memegang kepala korban. Setelah tubuh korban digulingkan ke samping, tekuk
lutut yang di atas membentuk sudut 90 derajat (kaki yang di bawah tetap lurus).
Sesuaikan posisi tangan untuk meningkatkan stabilitas dan kenyamanan korban,
dan pantau secara terus-menerus agar posisi tersebut tetap stabil dan aman. Posisi
pemulihan ini penting untuk menjaga jalannya pernapasan dan sirkulasi korban
yang membutuhkan pemulihan setelah keadaan darurat, sehingga mereka dapat
mendapatkan istirahat yang cukup sambil tetap mendapatkan perawatan yang
diperlukan.9

Indikasi untuk menghentikan Resusitasi Jantung Paru (RJP) meliputi beberapa


situasi yang penting untuk diperhatikan. Pertama, jika terjadi pernapasan spontan
dari korban, menandakan bahwa fungsi pernapasan telah pulih secara mandiri,
maka RJP dapat dihentikan. Selanjutnya, jika tim medis atau tenaga kesehatan
telah tiba di lokasi kejadian dan mengambil alih prosedur RJP, maka penolong
pertama dapat menghentikan RJP. Jika penolong merasa tidak mampu untuk
melanjutkan RJP karena kelelahan atau kondisi fisik yang tidak mendukung, ini
juga menjadi indikasi untuk menghentikan prosedur. Selain itu, jika ritme
kompresi dada tidak sesuai dengan yang direkomendasikan, atau jika pasien
dinyatakan meninggal, maka RJP harus dihentikan. Terakhir, jika terdapat bukti
yang jelas bahwa fungsi otak korban tidak akan pulih meskipun RJP dilakukan
selama 30-60 menit, maka menghentikan RJP adalah langkah yang bijaksana
untuk diambil. Semua indikasi ini harus dievaluasi dengan cermat oleh penolong
pertama dan tim medis yang hadir untuk memastikan keputusan yang tepat dan
profesional diambil.9

Seperti prosedur medis lainnya, RJP juga memiliki potensi untuk menyebabkan
komplikasi. Salah satu komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi dan
muntah karena resusitasi yang berulang-ulang. Misalnya, saat melakukan
kompresi dada, tekanan yang kuat dapat menyebabkan muntah pada pasien, dan
jika tidak ditangani dengan baik, muntah tersebut dapat mengakibatkan aspirasi,
yaitu masuknya isi lambung ke dalam saluran napas. Komplikasi lainnya adalah
patah tulang iga, yang dapat terjadi jika kompresi dada dilakukan dengan terlalu
kuat atau berlebihan. Jika seorang penyelamat melakukan kompresi dada dengan
terlalu kencang atau tanpa memperhatikan teknik yang benar, tulang iga pasien
dapat patah sebagai akibat dari tekanan yang diberikan. Cedera otak dalam adalah
komplikasi lainnya yang dapat terjadi jika RJP tidak dilakukan dengan hati-hati
atau jika terjadi kekurangan oksigen yang signifikan selama prosedur. Distensi
perut juga bisa terjadi sebagai akibat dari tekanan yang terlalu kuat pada bagian
perut saat melakukan kompresi dada, yang dapat menyebabkan kerusakan organ
dalam. Terakhir, pneumonia aspirasi adalah kondisi di mana cairan atau bahan
lainnya masuk ke dalam paru-paru melalui saluran napas. Semua komplikasi ini
menunjukkan pentingnya pelaksanaan RJP dengan hati-hati dan dengan
memperhatikan teknik yang benar untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi
yang serius pada pasien.10

Automatic External Defibrillator (AED) adalah alat yang dapat mendeteksi irama
jantung pasien dan akan memberikan instruksi berdasarkan irama yang terdeteksi.
Ketika AED mengidentifikasi irama "shockable", yang menunjukkan kebutuhan
untuk melakukan defibrilasi, AED akan memberikan instruksi untuk melanjutkan
RJP dan melakukan prosedur defibrilasi. Setelah itu, AED akan memberikan
instruksi untuk menilai kondisi pasien kembali setelah 2 menit. Di sisi lain, jika
AED mengidentifikasi irama "non-shockable", yang menunjukkan bahwa
defibrilasi tidak diperlukan, AED akan memberikan instruksi untuk melanjutkan
RJP sesuai dengan panduan yang diberikan oleh alat. Tujuan utama penggunaan
AED adalah untuk memberikan bantuan yang cepat dan efektif dalam
mengevaluasi dan mengelola kondisi pasien selama proses RJP, sehingga
membantu penanganan yang lebih baik.9,11

Sumbatan jalan nafas, yang umumnya dikenal sebagai tersedak, adalah kondisi
medis darurat yang terjadi ketika suatu benda menghalangi aliran udara ke dalam
saluran pernapasan seseorang, mencegah mereka untuk bernapas secara normal.
Tersedak dapat terjadi karena berbagai jenis benda asing yang menyumbat jalur
pernapasan, tergantung pada karakteristik objek tersebut. Pada orang dewasa,
sumbatan sering disebabkan oleh makanan, sedangkan pada anak-anak kecil,
mainan dan benda kecil lainnya sering menjadi penyebabnya. Sumbatan jalan
nafas ini dapat berakibat fatal karena menghalangi aliran oksigen ke otak. Oleh
karena itu, sangat penting untuk memberikan pertolongan pertama dengan segera
kepada seseorang yang mengalami kesulitan bernapas akibat tersedak.12

Pada dasarnya, ada dua jenis tersedak, yaitu tersedak sebagian (partial/mild)
dimana hanya sebagian dari jalan nafas tersumbat, dan tersedak total (total
blockage/severe) dimana jalan napas korban tertutup secara lengkap. Tersedak
total dapat menyebabkan kehilangan kesadaran. Mengenali tanda-tanda tersedak
dengan cepat merupakan langkah awal yang penting untuk penanganan yang
efektif. Tersedak sebagian bisa diidentifikasi dengan masih adanya pertukaran
udara, kesadaran korban yang tetap, kemampuan untuk batuk dengan keras, dan
kemampuan berbicara. Sementara, tersedak total ditandai dengan pertukaran udara
yang buruk, kesulitan berbatuk, peningkatan frekuensi napas, hilangnya
kemampuan berbicara, tanda universal memegang leher, dan kesulitan dalam
menarik napas.12

Tersedak terjadi ketika sepotong makanan atau benda lain tersangkut di saluran
napas bagian atas, yang seringkali disebabkan oleh kegagalan dalam mengunyah
makanan dengan benar, terutama saat seseorang sedang berbicara atau tertawa
saat makan. Hal ini dapat menyebabkan makanan masuk ke saluran napas karena
katup penutup trakea terbuka saat berbicara atau tertawa, mengakibatkan "salah
masuk" makanan yang seharusnya masuk ke kerongkongan. Alkohol, obat-obatan,
atau kondisi medis seperti Parkinson juga dapat menghambat mekanisme menelan
alami, meningkatkan resiko tersedak pada orang dewasa. Pada orang tua, resiko
tersedak dapat meningkat karena faktor usia lanjut, perawatan gigi yang tidak
memadai, dan konsumsi alkohol. Sedangkan pada anak-anak, tersedak sering
disebabkan oleh perilaku mengunyah makanan yang tidak benar, mencoba
menelan makanan dalam jumlah besar, atau memasukkan benda-benda kecil ke
dalam mulut, seperti kacang, pin, kelereng, dan koin, yang dapat menyebabkan
sumbatan di tenggorokan.13

Tanda-tanda tersedak pada orang dewasa meliputi batuk atau tersedak, gerakan
isyarat tangan yang menunjukkan kesulitan bernapas, serta reaksi panik yang
seringkali disertai dengan menunjuk ke arah tenggorokan. Ketika tersedak,
seseorang juga mungkin tidak dapat berbicara secara tiba-tiba, yang merupakan
cara umum untuk mengindikasikan kesulitan bernapas kepada orang di sekitar.
Gejala lain yang dapat diperhatikan adalah mengi atau suara seperti siulan saat
bernapas, serta kemungkinan kehilangan kesadaran. Tanda-tanda fisik seperti
perubahan warna pada wajah, bibir, dan bantalan kuku juga dapat menjadi
indikasi sianosis, yang menyebabkan kulit tampak biru karena kekurangan
oksigen. Pada bayi, penting untuk memperhatikan tanda-tanda tersedak dengan
lebih cermat, karena mereka mungkin tidak dapat menunjukkan tanda universal
seperti orang dewasa; perhatikan tanda-tanda seperti kesulitan bernapas, batuk,
atau tangisan lemah.13

Penanganan pasien yang tersedak tergantung pada kondisi pasien; jika pasien
sadar, dapat menggunakan Abdominal Thrust / Heimlich Maneuver dan Back
Blow. Jika pasien dalam kondisi hamil, obesitas, atau tidak sadar, maka bisa
menggunakan Chest Thrust. Sebelum melakukan manuver-manuver tersebut,
pastikan terlebih dahulu bahwa pasien benar-benar tersedak, membedakan dengan
riwayat penyakit lainnya. Lalu, minta pasien untuk batuk sekeras-kerasnya
sebagai usaha untuk mengeluarkan benda / makanan yang menghambat jalan
nafasnya. Jika jalan nafasnya tetap tersumbat, maka lakukan Abdominal Thrust /
Heimlich Maneuver. Untuk melakukan heimlich maneuver atau abdominal thrust,
berdiri atau berlutut di belakang korban, sesuai dengan tinggi tubuh korban (jika
korban adalah anak-anak, maka berlutut). Tubuh korban harus sedikit condong ke
depan, dan penolongnya berdiri dengan kaki kanannya di antara kedua kaki
korban. Kepalkan salah satu telapak tangan dan letakkan dengan ibu jari
menempel di perut korban, posisikan dua jari di atas pusat korban (sejajar dengan
tulang pinggul atas), hindari menempatkan telapak tangan di ulu hati korban.
Setelah itu, rapatkan kepalan tangan dengan tangan lainnya sehingga kedua
lengan penolong melingkar di daerah perut korban; lakukan tekanan ke arah
belakang dan atas sebanyak 5 kali.14

Heimlich Maneuver sebaiknya dilanjutkan dengan Back Blow untuk memastikan


bahwa benda yang menghambat keluar dari saluran nafas. Untuk melakukan back
blow, tangan kiri penolong harus menahan dada pasien, sementara tangan
kanannya di posisi untuk memberikan pukulan dorongan ke arah punggung
pasien. Pukulan dorongan dilakukan dengan tumit tangan kanan tepat di antara
kedua tulang belikat (scapula) pasien. Lakukan pukulan dengan gerak yang cepat
hingga mencapai lima kali; ulangi sampai benda asing berhasil dikeluarkan atau
bantuan tiba. Jika korban masih tampak sesak, berikan oksigen dengan laju aliran
2 liter per menit sampai pernapasannya kembali normal. Namun, jika korban tidak
sabar, maka pastikan bahwa korban masih bisa nafas. Jika masih bisa nafas
dengan cukup, maka korban harus diposisikan dengan Recovery Position. Jika
korban mengalami kesulitan nafas, maka berikan Rescue Breath.14

Lakukan Chest Thrust pada korban jika korban dalam kondisi tidak sadar,
obesitas, atau hamil. Untuk melakukan chest thrust, letakkan kepalan tangan di
tengah-tengah dada orang tersebut dengan ibu jari menghadap ke dalam, dan
letakkan tangan lain di atas kepalan tangan tersebut. Berikan hingga lima kali
tekanan pada dada dengan menarik lurus ke belakang.14
Referensi
1. What is BLS? [Internet]. Red Cross. [cited 2024 Mar 13]. Available from:
https://www.redcross.org/take-a-class/performing-bls/what-is-bls
2. Almased A, Almeman A, Alakhtar AM, AlAboudi AA, Alotaibi AZ,
Al-Ghasham YA, Aldamegh MS. Basic life support knowledge of
healthcare students and professionals in the Qassim University. Int J
Health Sci (Qassim). 2014 Apr;8(2):141-50. doi: 10.12816/0006080.
PMID: 25246881; PMCID: PMC4166986.
3. Indriati E. Mati: tinjauan klinis dan antropologi forensik [Internet].
Ugm.ac.id. 2003 [cited 2024 Mar 13]. Available from:
https://journal.ugm.ac.id/bik/article/download/4083/3361
4. Gustinerz. Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis [Internet].
Gustinerz.com. 2019 [cited 2024 Mar 13]. Available from:
https://gustinerz.com/perbedaan-mati-klinis-dan-mati-biologis/
5. Thim T. Initial Assessment and Treatment with the airway, breathing,
circulation, disability, Exposure (ABCDE) Approach. International Journal
of General Medicine [Internet]. 2012 Jan 31 [cited 2024 Mar
14];5(5):117–21. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3273374/
6. First aid - After an incident [Internet]. nhs.uk. 2022 [cited 2024 Mar 13].
Available from: https://www.nhs.uk/conditions/first-aid/after-an-accident/
7. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan [Internet]. Kemkes.go.id. [cited
2024 Mar 13]. Available from:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/560/yuk-mengenal-resusitasi-jan
tung-paru-rjp
8. Timmis GC, Westveer DC. Cardiopulmonary resuscitation (CPR). In:
Cardiovascular Review 1982. Elsevier; 1981. p. 293–4
9. Hammett E. Cardiac Arrests – How to perform CPR and using an AED
[Internet]. First Aid For Life. 2023 [cited 2024 Mar 14]. Available from:
https://firstaidforlife.org.uk/how-to-perform-cpr-and-use-an-aed/#:~:text=
Stop%20CPR%20if%20the%20casualty
10. CPR: What You Need to Know [Internet]. Compassion & Choices. [cited
2024 Mar 14]. Available from:
https://www.compassionandchoices.org/resource/cpr-what-you-need-to-kn
ow
11. AED steps [Internet]. Red Cross. [cited 2024 Mar 13]. Available from:
https://www.redcross.org/take-a-class/aed/using-an-aed/aed-steps
12. Choking: First aid [Internet]. Mayo Clinic. 2022 [cited 2024 Mar 13].
Available from:
https://www.mayoclinic.org/first-aid/first-aid-choking/basics/art-20056637
13. Cunha JP, Stöppler MC. Choking [Internet]. eMedicineHealth. [cited 2024
Mar 13]. Available from:
https://www.emedicinehealth.com/choking/article_em.htm
14. Ristanto R. Penanganan Choking (Tersedak) Pada Dewasa & Anak (>1
Tahun) [Internet]. Prinsip Dan Aplikasi Dasar Kegawatdaruratan Jantung
Paru. [cited 2024 Mar 14]. Available from:
http://repository.itsk-soepraoen.ac.id/597/3/Bab%202.pdf

Anda mungkin juga menyukai