Anda di halaman 1dari 32

Panduan

Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Rumah Sakit Nu Baitussyifa


Jl. Raya Kalisalak Limpung Kabupaten Batang
Kota Batang 51271
Phone :
BAB I
PENDAHULUAN

Cardio pulmonary resuscitation (CPR) adalah serangkaian tindakan


menyelamatkan idup setelah henti jantung arrest. Meskipun pendekatan optimal untuk
CPR dapat bervariasi, tergantung pada penyelamat, korban, dan sumber daya yang
tersedia, tantangan mendasar tetap: bagaimana untuk mencapai CPR dini dan efektif.
Mengingat tantangan ini, tindakan yang cepat oleh HA untuk CPR dan ECC tahun 2010.
Henti jantung masih merupakan masalah kessehatan dunia dan menyebabkan Henti
jantung terjadi didalam dan diluar rumah sakit. Di Amerika serikat dan Kanada
diperkirakan sekitar 350.000 orang/tahun terkena henti jantung dan mendapat resusitasi.
Perkiraan ini tidak termasuk pasien yang tidak diresusitasi. Sementara itu resusitasi tidak
selalu tepat. Ada banyak nyawa yang hilang akibat resusitasi yang tidak tepat.
Diperkirakan sekitar 50-55/100.000 penduduk di AS dan Kanada terkena henti
jantung, sekitar 25% terkena ventrikel aritmia. Sedangkan kejadian di rumah sakit
diperkirakan sekitar 5-6/000 orang/tahun dan sekitar 25% nya terkena ventrikel aritmia.
Korban henti jantung dengan ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi prognosisnya
lebih baik dibandingkan pasien asystole.
Dalam melakukan pelayanan kegawatdaruratan, kita memperhatikan dua
komponen utama, yaitu komponen bantuan hidup jantung dasar serta komponen bantuan
hidup jantung lanjut sebagai pelengkap jika bantuan hidup jantung dasar berhasil
dilakukan. Bantuan jantung hidup dasar umumnya tidak menggunakan obat-obatan dan
dapat
dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan singkat.Seiring dengan perkembangan
pengetahuan dibidang kedokteran, maka pedoman bantuan jantung hidup dasar yang
sekarang dilaksanakan telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan
sebelumnya.bulan oktober 200, American Heart Association mengeluarkan pedoman
baru hidup dasar dewasa. Dalam bantuan hidup dasar ini, terdapat beberapa perubahan
sangat mendasar dan berbeda
dengan panduan bantuan hidup dasar yang telah dikenal sebelumnya seperti :
1. Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan penilaian
respon pasien dan tidak adanya nafas.
2. Perintah “ Look, Listen, Feel” dihilangkan dari algoritma bantuan hidup
dasar.
3. Penekanan bantuan kompresi dada yang kontinu dalam melakukan resusitasi
jantung paru oleh tenaga yang tidak terlatih.
4. Perubahan urutan pertolongan bantuan hidup dasar dengan mendahulukan
kompresi sebelum melakukan pertolongan bantuan nafas (CAB dibandingkan
dengan ABC).
5. Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif dilakukan sampai didapatkan
kembalinya sirkulasi spontan atau penghentian upaya resusitasi.
6. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang baik.
7. Penyederhanaan Algoritma Bantuan Hidup Dasar.
Komponen yang harus dikuasai sebelum melakukan bantuan hidup jantung dasar
adalah pengetahuan untuk menilai keadaan pasien, tehnik penilaian pernafasan yang
baik serta pemberian ventilasi buatan yang baik dan benar, dilanjutkan dengan tehnik
kompresi dada yang baik serta kompresi yang ade kuat, serta penggunaan automated
external defibrillator jika memang tersedia, selain komponen pengetahuan serta tehnik
yang sudah disebutkan diatas, para penolong pertama yang melakukan bantuan hidup
jantung dasar, juga harus menguasai tehnik mengeluarkan obstruksi jalan nafas karena
sumbatan benda asing.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1) Pendahuluan
Dalam melakukan pertolongan menggunakan pendekatan sistematis Bantuan Hidup
Dasar Lanjutan (ACLS), maka kita harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
secara sistematis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut dimulai dari survey
primer bantuan hidup dasar dilanjutkan dengan survey bantuan hidup jantung
lanjutan.
Survey bantuan hidup dasar primer merupakan dasar untuk tindakan penyelamatan
jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang
penolong ataupun lebih secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan survey bantuan
hidup dasar primer adalah memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada
penderita henti jantung mendadak dengan melakukan kompresi dada secara efektif
dan benar, diikkuti dengan pemberian ventilasi yang efektif sampai didapatkan
kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau tindakan dihentikan karena tidak
ada respon dari penderita setelah tindakan dilakukan beberapa saat. Jika setelah
dilakukan survey bantuan hidup jantung lanjutan. Pendekatan yang dilakukan saat
ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh American Heart Association
tahun200 dengan skuens survey bantuan hidup dasar CAB.
a) Survei bantuan hidup dasar primer
Survey bantuan hidup dasar primer merupakan awal dari rangkaian
sistematis pertolongan yang dilakukan bagi penderita yang mengalami keadaan
henti jantung mendadak baik yang disaksikan atau tidak disaksikan. Jika
penolong melakukan tindakan survey bantuan hidup dasar primer secara benar
dan efektif serta penderita didapatkan sudah kembali ke keadaan sirkulasi
spontan, maka tindakan survey bantuan hidup dasar ini, awalnya dittunjukan
untuk dilakukan tenaga kesehatan yang terlatih, kemudian diikuti oleh tenaga
non kesehatan sepeti petugas pemadam kebakaran atau polisi. Namun beberapa
decade belakangan ini, peranan serta animo masyarakat awam untuk mengetahui,
mengerti dan mampu melaksanakan survey bantuan hidup dasar primer semakin
meningkat.
Survey bantuan hidup dsasar primer berkembang seiring dengan kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran. Berdasarkan panduan yang dikeluarkan American
Heart Association tahun 200, bantuan hidup dasar lebih menitik beratkan
pelaksanaan RJP dengan memompa secara cepat dan kuat segera baik oleh
penolong atau lebih dan dilanjutkan dengan pemberan bantuan nafas dasar dan
defibrilasi segera. Tujuan survey bantuan hidup dasar adalah berusaha
memberikan bantuan sirkulasi sistemik beserta ventilasi dan oksigenasi tubuh
secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sitemik secara
spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk
melkasanakan tindakan bantuan hidup dasar jantung lanjutan. Pelaksanana
survey bantuan hidup dasar primer sesegera dan seefektif mungkin memperbesar
peluang keberhasilan untuk selamat serta mengurangi gangguan neurologis yang
terjadi.

Survey bantuan hidup dasar primer dilakukan baik untuk penderita yang
mengalami henti jantung mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita saksikan
atau datang kerumah sakit yang sudah tidak sadarka diri. Pertama-tama yang
harus kita lakukan adalah memeriksa respon penderita dengan memanggil
penderita sambil menepuk-nepuk pundak atau sambil menggoangkan badan
pasien yang bertujuan untuk mengetahui respon kesadaran penderita. Setelah kita
yakin penderita dalam keadaan tidak sadarkan diri maka kita meminta bantuan
orang lain untuk menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat atau rumah
sakit terdekat untuk meminta pertolongan bantuan datang dengan tambahan
tenaga serta peralatan medis yang lebih lengkap. Jika melakukan pertolongan
kita hanya seorang diri, setelah melakukan pemeriksaan respon kesadaran,
penolong segera menghubungi rumah sakit terdekat atau ambulans dan
melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan cepat dan kuat dengan
frekuensi 30x dan diselingi dengan pemberian nafas bantuan 2x dalam satu detik
setiap nafas bantuan per 30x kompresi sampai bantuan datang.

Sistematis survey bantuan hidup dasar primer saat ini sekarang lebih
dipermudah, yang memungkinkan orang yang tidak terlatih dapat melakukan
bantuan hidup dasar primer secara baik. urutan sistematis yang digunakan saat in
adalah C-A-B. Perlu diingat sebelum kita melakukan bantuan hidup dasar kita
harus memastikan bahwa langkah yang kita kerjakan adalah langkah yang tepat
dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan
(kesadaran, sirkulasi, pernafasan, perlu tidaknya defibrilasi), kita harus
menganalis secara cepat dan tepat sebelum melakukan tindakan yang diperlukan.
Setiap langkah yang akan dilakukan dimulai dari pemeriksaan, diikuti dengan
tindakan, sebagai contoh :

 Pemeriksaan respon penderita untuk memastikan pasien dalam keadaan


sadar atau tidak sadar.

 Pemeriksaan dan denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau


sebelum melakukan penempelan sadapan AED.

 Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum malakukan tindakan kejut


listrik pada jantung (DC shock).

Sebelum melakukan survey bantuan hidup dasar primer, kita harus


memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan
pertolongan, dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita,
sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistim gawat darurart dan
menyediakan AED.

Perhatian : selalu melakukan pemeriksaan sebelum melakukan satu tindakan


2) Pelaksanaan tindakan resusitasi jantung paru
Tujuan utama melakukan resusitasi jantung paru RJP adalah untuk mempertahankan
kehidupan, memperbaiki kesehatan, mengurangi penderitaan dan membatasi disabilitas
tanpa melupakan hak dan keputusan pribadi. Dalam pelaksanaannya, keputusan untuk
melakukan tindakan RJP sering kali hanya diambil dalam hitungan detik oleh penolong
yang mungkin tidak mengenal penderita yang mengalami henti jantung atau tidak
mengerti dengan permintaan yang lebih lanjut. Kita akan melakukan pertolongan,
penolong harus mengetahui dan memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang
mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti :
a) Henti jantung terjadi dalam sarana tatau fasilitas kesehatan Pertolongan dapat
dilakukan bila
i) Ada permintaan dari pasien atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditanda
tangani oleh pasien atau keluarga pasien.
ii) Henti jantung terjadi pada penyakit stadium akhir yang telah mendapat
pengobatan secara optimal.
iii) Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas dini,
tinggi sebagai contoh bayi sangat premature, anensefali atau kelainan kromosom
seperti trisomi 3.
iv) Henti jantung yang terjadi diluar sarana atau fasilitas kesehatan
v) Tanda klinis kematian yang ireversibel seperti kaku mayat, lebam mayat,
dekapitasi atau tanda-tanda pembusukan.
vi) Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong.
vii) Penderita dengan trauma yang tdak bisa diselamatkan seperti hangus terbakar,
dekapitasi atau hemikorporektomi.
b) Kapan menghentikan RJP
i) Ada beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentikan RJP antara lain :2
ii) Penolong sudah melakukan bantuan hidup dasar dan lanjut secara optimal, antara
lain : RJP, defibrilasi pada pasien VF/VT tanpa nadi, pemberian vasopressin atau
epinefrin intravena, membuka jalan nafas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan
bantuan jalan nafas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan
bantuan jalan nafas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan irama
sesuai dengan pedoman yang ada.
iii) Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun
atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susunan sistem saraf
pusat.
iv) Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.
v) Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 0
menit atau lebih.
c) Implementasi penghentian usaha resusitasi
i) Asistol yang menetap atau tidak terdengar denyut nadi pada neonatus lebih dari 0
menit.
ii) Penderita yang tidak respon setelah dilakukan bantuan hidup jantung lanjutan
minimal 20 menit.
iii) Secara etik, penolong RJP selalu menirima keputusan klinik yang layak untuk
memperpanjang usaha pertolongan. Juga menerima alasan klinis untuk
mengakhiri resusitasi dengan segera.
d) Tindakan RJP pada asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan kondisi
sebagai berikut :
i) Usia muda Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit
ii) Hipotermia
iii) Overdosis obat
iv) Usaha bunuh diri
v) Permintaan keluarga
vi) Korban tenggelam di air dingin
3) Teknik pelaksanaan survey primer bantuan hidup dasar
Tahapan pelaksanaan survey primer bantuan hidup dasar yang terbaru makin
disederhanakan dengan mengutamakan sirkulasi daripada pemberian bantuan nafas,
langkah-langkahnya terdiri dari CAB yaitu :
a) Circulation (penilaian denyut nadi)
i) Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi menunjukkan bahwa baik
penolong awam maupun tenaga kesehatan kadangkala mengalami kesulitan dalam
melakukan pengecekkan pulsasi arteri karotis. Kadangkala tenaga kesehatan juga
memerlukan waktu lama untuk memastikan adanya pulsasi pada pasien tidak
sadarkan diri. Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan
seperti :
(1) Penolong tidak perlu untuk memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan
pasien menderita henti jantung jika pederita mengalami pingsan mendadak
atau penderita yang tidak berespon dan tidak bernafas atau bernafas tidak
normal.
(2) Penilaian pulasasi sebaiknya dilakukan tidak lebih dari 0 detik. Jika dalam 0
detik atau lebih, penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka kompresi
dada harus dilakukan. Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan secara
kuat dan berirama pada setengah bawah dinding sternum. Penekanan ini
menciptakan aliran darah yang akan melalui peningkatan tekanan intratorakal
serta penekan langsung pada dinding jantung. Komponen yang perlu
diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
(a) Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi (minimal
00x/menit).
(b) Untuk dewasa, berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inci(5
cm).
(c) Bayi dan anak, kompresi dengan kedalaman minimal sepertiga diameter
didinding anterior posterior dada atau pada bayi 4 cm (,5 inci) dan pada
anak sekitar 5 cm (2 inci).
(d) Berikan untuk kesempatan dada mengembang kembali secara sempurna
setelah setiap kompresi.
(e) Usahakan seminimal mungkin melakukan intrupsi terhadap
kompresi. Kompresi-ventilasi yang dianjurkan yaitu 30 : 2.
(f) Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.
Tidak ada respon, tidak
bernafas/tidak ada nafas
normal (misal : hanya
gasping)

Aktifkan sistem emergensi Ambil


defibrilator

Mulai RJP

Cek irama/kejut
listrik bila
indikasi (ulangi
NB : kompresi dengan cepat setiap 2 menit
.

b) Air way (pembukaan jalan nafas)

Dalam teknik ini diajarkan bagaimana cara membuka jalan nafas serta
mempertahankan jalan nafas untuk membantu memperbaiki oksigenasi tubuh serta
ventilasi. Dalam prakteknya, tindakan ini sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah
menerima pelatihan bantuan hidup dasar atau tenaga kesehatan professional dengan
menggunakan teknik angkat kepala dan angkat dagu (head tilt chin lift). Cara ini
dilakukan untuk penderita yang tidak diketahui mengalami cedera leher dengan
mengangkat dagu keatas dan mendorong kepala/dahi kebelakang. Sedangkan untuk
penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt chin lift tidak bisa
dilakukan. Teknik yang digunakan pada saat tersebut adalah menarik rahang tanpa
melakukan ekstensi kepala (jaw thrust). Sedangkan untuk penolong yang hanya
mampu kompresi dada saja, belum didapatkan bukti ilmiah yang cukup untuk
melakukan teknik mempertahankan jalan nafas secara pasif seperti mengerjakan
hiperekstensi leher.

c) Breathing (penilaian jalan nafas dan pemberian nafas buatan)

Pemberian nafas buatan dilakukan setelah jalan nafas terlihat aman. Tujuan primer
pemberian bantuan nafas adalah untuk mempertaankan oksigenasi yang adekuat
dengan tujuan skunder untuk membuang CO2. Sesuai dengan revisi panduan yang
dikeluarkan oleh American Heart Association mengenai bantuan hidup jantung dasar,
penolong tidak perlu melakukan observasi nafas spontan dengan look, listen and feel ,
karena langkah pelaksanaan yang tidak konsisten dan menghabiskan terlalu banyak
waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan nafas antara lain :,2

i) Berikan nafas bantuan dalam waktu detik.

ii) Berikan nafas buatan sesuai dengan volume tidal yang cukup untuk mengangkat
dinding dada.

iii) Berikan bantuan nafas sesuai dengan kompresi dengan perbandingan 2 kali
bangtuan nafas setelah 30 kali kompresi.

iv) Pada kondisi terdapat 2 penollong atau lebih, jika penolong berhasil memasukkan
alat bantuan nafas lanjut untuk mempertahankan jalan nafas seperti pipa
endotrakeal, combitube atau sungkup laring, maka bantuan nafas diberikan setiap
6-8 detik, ini akan menghasilkan pernafsan dengan frekuensi 8-0 kali/menit.

v) Pasien dengan hambatan jalan nafas atau komplians paru yang memburuk,
memerlukan bantuan nafas dengan tekanan yang lebih tinggi untuk sampai
memperlihatkan dinding dada terangkat.

vi) Pemberian bantuan nafas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat
menimbulkan distensi lambung beserta komplikasintya seperti regurgitasi dan
aspirasi.
d) Defibrilasi

Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan kritis untuk keberhasilan


pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan sebagai berikut :

i) Irama dasar jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung
mendadak yang disaksikan diluar rumah sakit adalah fibrilasi ventrikel.

ii) Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi.

iii) Kemungkinan tindakan defibrilasi berkurang seiring dengan bertambahnya waktu.

iv) Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan
berjalannya waktu.

Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrillator manual atau


menggunakan automated external defibrillator (AED). Pada penderita dewasa yang
mengalami fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, maka untuk terapi
diberikan energy kejutan sebesar 360 J untuk alat defibrillator monofasik 200 J untuk
yang bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti jantung mendadak sangat jarang,
energy kejut listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/kg yang dapat diulang dengan dosis
4-0 J/kg atau tidak melebihi energy yang dberikan kepada penderita dewasa. Pada
kasus neonatus, pengguanana defibrillator manual lebih dianjurkan.

Hal penting yang perlu diingat adalah penggunaan defibrillator untuk tindakan kejut
listrik tidak diindikasikan pada penderita dengan asistol atau pulsuless electrical
activity (PEA).

e) Protocol penggunaan Auotomated External Defibrillator

Detail penggunaan AED dipengaruhi oleh jenis alat dan merek. Tapi pada garis
besarnya adalah sebagai berikut :

i) Hidupkan AED (dengan menekan sakelar “on” atau beberapa alat dengan
membuka tutup AED).

ii) Pasang bantalan elektroda pada dada penderita.

iii) Jangan melakukan kontak langsung dengan penderita saat sedang dilakukan
analisis irama penderita oleh alat AED.

iv) Tekan tombol shock setelah alat AED memerintahkan bahwa irama penderita
adalah irama yang memerlukan tindakan kejut listrik.

v) Setelah kejut listrik segera lakukan RJP. Setelah dilakukan 5 siklus RJP,
dilakukan pemeriksaan ulang irama menggunakan alat AED. Setelah dilakukan
pemeriksaan irama dan AED tidak menginstrusikan kejut listrik, maka dilakukan
tindakan RJP sebanyak 5 siklus

f) Protocol penggunaan alat kejut listrik konvensional (manual defibrillator)

i) Pada kasus henti jantung, RJP adalah tindakan yang mutlak dilakukan dan intrupsi
terhadap kompresi harus diminimalisirkan. Prinsip ini tetap berlaku pada
penggunaan difebrilator. Selama persiapan alat dan pengisisan energy listrik,
korban tetap di RJP.

ii) Tekan tombol power on atau putar kearah gambar EKG atau on untuk menyalakan
monitor.

iii) Tempelkan kancing elektroda atau gunakan pedal defibrillator untuk melakukan
analisis secara cepat
iv) Lihat irama monitor, bila akan melakukan tindakan kejut listrik berikan gel di
defibrillator atau dada pasien agar tidak luka bakar yang berat serta memperbaiki
hantaran listrik sdari pedal ketubuh pasien.

v) Bila irama terlihat pada monitor adalah fibrilasi ventrikel/ventrikel takikardia


tanpa nadi, maka dilakukan pemberian kejut listrik dengan memilih energi sebesar
360 J pada alat defibrillator monofasik atau 200 J pada alat bifasik. Setelah
dilakukan pengisian sxampai ke energi yang diinginkan, satu pedal diletakkan di
apex jantung dan yang lain diletakkan di strernum dengan disetrtai pemberian
tekanan sebesar 2,5 kg saat ditempelkan kedinding dada. Listrik dialirkan dengan
menekan tombol. Discharge yang berada dikedua ganggang

vi) Segera lakukan RJP selama 2 menit, setelah 2 menit lakukan evaluasi. Bila irama
yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik yaitu VT
tanpa nadi atau VF, maka dilakukan kejut listrik kembali. Bila irama yang terlihat
adalah PEA atau asistol , maka dilakukan pemberian RJP sebanyak 2 menit/5
siklus, selanjutnya penatalaksanaan dikerjakan sesuai dengan algoritma
PEA/asistol
Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar
4) Bantuan Hidup Dasar Pada Dewasa
a) Definisi
Bantuan hidup dasar dewasa adalah tindakan pertolongan medis sederhana yang
dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung sebelum diberikan tindakan
pertolongan medis lanjutan.
b) Tujuan
Memberikan bantuan sirkulasi dan pernafasan yang adekuat sampai keadaan henti
jantung teratasi atau sampai pasien dinyatakan meninggal.
i) Henti nafas dan henti jantung
ii) Henti nafas adalah berhentinya pernafasan spontan disebabkan karena gangguan
jalan nafas baik persial maupun tital atau karena gangguan dipusat pernafasan.
Henti jantung adaalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena kegagalan
jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan tetrsebut bisa
disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau penyakit skunder non jantung.
Henti nafas dan henti jantung merupakan dua keaadaan yang sering berkaitan
sehingga penatalaksanaannya tidak bisa dipisahkan.
c) Penyebab henti nafas
i) Sumbatan jalan nafas
Jalan nafas dapat mengalami sumbatan total ataupun parsial. Sumbatan jalan nafas
total dapat menimbulkan henti jantung secara mendadak karena berhentuinya
suplai oksigen baik ke otak maupun miokard. Sumbatan jalan nafas parsial
umumnya lebih lambat menimbulkan keadaan henti jantung namun usaha yang
dilakukan tubuh untuk bernafas dapat menyebabkan kelelahan.
Kondisi-kondisi yang menyebabkan sumbatan jalan nafas.
(1) Benda asing (termasuk darah)
(2) Muntahan
(3) Edema laring atau bronkus akibat trauma langsung pada wajah atau
tenggorokan
(4) Spasme laring atau bronkus baik akibat radang atau trauma
(5) Tumor
ii) Gangguan paru
Kondisi-kondisi paru yang menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi antara
lain
(1) Infeksi
(2) Aspirasi
(3) Edema paru
(4) Kontusio parukeadaan tertentu yang menyebabkan rongga paru tertekan oleh
benda asing seperti pneumotoraks, hematotoraks, efusi pleura.

iii) Gangguan neuromuscular


Kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan kemampuan otot-otot utama
pernafasan (otot dinding dada, diafragma dan otot inteercostal) untuk
mengembangkempiskan paru antara lain:
(1) Miastenia gravis
(2) Sindroma guillan barre
(3) Multiple sclerosis
(4) Poliomyelitis
(5) Kiposkoliosis
(6) Muscular distrofi
(7) Penyakit motor neuron

iv) Penyebab henti jantung


Henti jantung dapat disebabkan karena primer atau skunder jantung : Kondisi
primer penyebab henti jantung
(1) Gagal jantung
(2) Tamponade jantung
(3) Miokarditis
(4) Kardiomiopati hipertrofi
(5) Fibrilasi ventrikel yang mungkin disebabkan oleh iskemia miokard, infark
miokard, tersengat listrik, gangguan elektrolit atau karena konsumsi obat-
obatan.
v) Indikasi bantuan hidup dasar
(1) Henti jantung
(2) Henti nafas
(3) Tidak sadarkan diri

D. Penatalaksanaan bantuan hidup dasar

Urutan sekuens pelaksanaan bantuan hidup dasar yang benar akan


memperbaiki tingkat keberhasilan. Berdasarkan panduan bantuan hidup dasar
terbaru yang dikeluarkan oleh American Heart Association dan European Society
Resuscitation, pelaksanaan bantuan hidup dasar dimulai dari penilaian kesadaran
penderita, aktivasi layanan gawat darurat dan diteruskan dengan tindakan
pertolongan yang diawali dengan CABD (Circulation-Airway-Breathing-
Defibrillator).

E. Penilaian respon

Penilaian respon dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman
untuk melakukan petolongan. Penilaian respon dilakukan dengan cara menepuk-
nepuk dan menggoyang-goyangkan penderita sambil berteriak memanggil
penderita.

Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respon penderita :

Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respon yang diberikan , maka
usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti pada saat ditemukan atau
usahakan pasien diposisikan kedalam posisi mantap, sambil terus melakukan

pemantauan terhadap tanda-tanda vital penderita tersebut secara terus


menerus sampai bantuan datang.
1. Bila penderita tidak memberikan respon serta tidak bernafas tidak normal
maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung, maka
langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan aktivasi sistem
layanan gawat darurat.

F. Pengaktifan sistem layanan gawat darurat


Setelah melakukan pemeriksaan kesadaran penderita dan tidak
didapatkan respon dari penderita, sambil melanjutkan bantuan hendaknya
penolong meminta
bantuan orang terdekat untuk menelpon system layanan gawat darurat. Bila
tidak ada orang lain didekat penolong untuk membantu, maka sebaliknya
penolong menelepon sistem layanan gawat darurat. Saat melaksanakan
percakapan dengan petugas layanan gawat darurat, hendaknya dijelaskan
lokasi pasien, kondisi pasien serta bantuan yang sudah diberikan kepada
pasien.
1) Kompresi jantung

Kompresi jantung merupakan tindakan yang dilakukan untuk


menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan intracranial
untuk menekan jantung secara tidak langsung. Dilakukan dengan
menekan secara kuat dan berirama dibagian setengah bawah sternum.
Tekanan tersebut diharapkan menciptakan aliran darah serta
menghantarkan oksigen terutama untuk otot miokardium serta otot.
Sebelum melakukan kompresi pada penderita, penolong harus
melakukan
pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan
nadi saat akan dilakukan pertolongan. Pemeriksaan dilakukan dengan
melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 60
detik.
Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukan hal yang mudah untuk
dilakukan bahkan tenaga kesehatan yang menolong mungkin
memerlukan waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut nadi,
sehingga:
 Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan oleh penolong
awam dan langsung mengasumsikan tejadi henti jantung jika seorang
dewasa mendadak tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respon
yang bernafas tidsak normal.
 Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher pasien
dan mencari trakea dengan 2-3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan
bergeser ke lateral sampai menmukan batas trakea dengan otot
samping leher.
2) Pelaksanaan kompresi dada

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan secara kuat dan berirama
pada setengah bawah sternum. Penekanan ini menciptakan aliran darah
yang akan melalui peningkatan tekanan intratorakal serta penekanan
langsung pada dinding jantung. komponen yang perlu diperhatikan saat
melakukan kompresi dada.
 Penderita dibaringkan ditempat yang datar dan keras.

 Tentukan lokasi kompresi didada dengan cara meletakkan telapak


tangan yang telah saling berkaitan dibagian bawah sternum, 2 jari diatas
processus xypoideus.
 Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi.

 Untuk dewasa, berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2


inci (5cm).
 Penolong awam lakukan kompresi 00x/menit tanpa intrupsi. Penolong
terlatih tanpa alat bantu nafas lanjutan lakukan kompresi dan ventilasi
dengan perbandingan 30:2.
 Evaluasi penderita dengan melakukan pemeriksaan denyut arteri karotis
setelah 5 siklus kompresi.
 Dalam keadaan berlutut, harus diperhatikan posisi setengah berlutut
penolong agar dapat memberikan kekuatan kompresi yang memadai.

Gambar .

3) Airway dan Breathing (ventilasi)

Penderita yang mengalami henti jantung umumnya memiliki penyebab primer


ganggguan jantung. Sehingga kompresi kompresi secepatnya harus dilakukan
daripada menghabiskan waktu untuk mencari sumbatan benda asing pada jalan
nafas. Setelah melakukan tindakan kompresi sebanyak 30 kali maka dilanjutkan
dengan pemberian bantuan nafas sebanyak 2 kali yang diawali dengan membuka
jalan nafas. Posisi penderita saat diberikan bantuan nafas tetap terlentang , jika
mungkin dengan dasar yang keras dan datar dengan posisi penolong tetap berada
disamping penderita. Hal ini yang diperhatikan dalam ventilasi:

1. Berikan nafas bantuan 2 kali dalam waktu detik setiap tiupan.

2. Berikan bantuan nafas sesuai dengan kapasitas volume tidal yang cukup
untuk memperlihatkan pengangkatan dinding dada.

3. Berikan bantuan nafas sesuai dengan kompresi dengan perbandingan 2


kali bantuan nafas setiap 30 kali kompresi.

4. Buka jalan nafas

Pada penderita yang tidak sadarkan diri, maka tonus otot-otot


tubuh akan melemah termasuk otot rahang dan leher. keadaan tersebut dapat
mengakibatkan lidah dan epiglottis terjatuh kebelakang dan menyumbat jalan
nafas. Jalan nafas dapat dibuka oleh penolong dengan metode :
 Head tilt chin lift maneuver (mendorong kepala kebelakang sambil
mengangkat dagu). Tindakan ini aman dilakukan bila penderita tidak
dicurigai mengalami gangguan atau trauma tulang leher.
 Bila penderita dicurigai mengalami gangguan atau trauma leher, maka
tindakan untuk membuka jalan nafas dilakukian dengan cara menekan
rahang bawah ke arah belakang atau posterior ( jaw thrust).
Gambar 2.
Head tilt dan chin lift

Gambar 3. Jaw thrust


Setelah dilakukan tindakan membuka jalan nafas, langkah selanjutnya
adalah dengan pemberian nafas bantuan. Tindakan pembersihan jalan nafas,
serta maneuver look, listen and feel tidak dikerjakan lagi kecuali jika
tindakan pemberian nafas buatan tidak menyebabkan paru terkembang secara
baik.

Breathing (ventilasi)

Tindakan pemberian nafas buatan dilakukan kepada penderita henti


jantung setelah satu siklus kompresi selesai dilakukan (30x kompresi).
Pemberian nafas buatan bisa dilakukan dengan metode :
1. Mulut ke mulut

Metode pertolongan ini merupakan metode yang paling mudah dan cepat
oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan oleh penolong.
Cara melakukan pertolongan adalah :
 Mempertahankan posisi head tilt chin lift, yang akan dilanjutkan
dengan menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan
yang melakukan head tilt chin lift .
 Buka sedikit mulut pasien, tarik nafas panjang dan tempelkan rapat
bibir

penolong melingkar mulut pasien, kemudian tiupkan lambat, setiap


tiupan selama detik dan pastikan sampai dada terangkat.
 Tetap pertahankan head tilt chin lift , lepaskan mulut penolong dari
pasien, lihat apakah dada pasien pasien turun waktu ekshalasi.
2. Mulut ke hidung

Nafas buatan ini dilakukan bila pernafasan mulut ke mulut sulit


dilakukan misalnya karena trismus, caranya adalah katupkan mulut pasien
disertai chin lift , kemudian tiupkan udara seperti pernafasan mulut ke
mulut. Buka mulut pasien waktu ekshalasi.2

3. Mulut ke sungkup

Penolong meniupkan udara melalui sungkup yang diletakkan


diatas dan tmelingkupi mulut dan hidung pasien. Sungkup in terbuat dari
plastik transparan sehingga muntahan dan warna bibir pasien dapat
terlihat.
Cara melakukan pemberian nafas mulut ke sungkup :

 Letakkan sungkup pada muka pasien dan dipenga dengan kedua ibu
jari

 Lakukan head tilt chin lift/jaw thrust, tekan sungkup ke muka pasien
agar rapat kemudian tiup melalui lubang sungkup sampai dda
terangkat
 Hentikan tiupan dan amati turunnya pergerakkan dinding dada.

4. Dengan kantung pernafasan

Alat ini terdiri dari kantung yang berbentuk balon dan katup satu
arah yang menempel pada sungkup muka. Volume dari kantung nafas ini
600 ml. alat ini bisa digunakan untuk pemberian nafas buatan dengan atau
disumbangkan dengan sumber oksigen. Bila alat tersebut disambungkan
dengan oksigen, maka kecepatan aliran oksigen bisa sampai 2 L/menit.
Penolong hanya memompa sekitar 400-600 ml (6-7 ml/kg) dalam detik ke
pasien, bila tanpa oksigen dipompakan 0 ml/kg BB pasien dalam detik.
Caranya dengan menempatkan tangan untuk membuka jalan nafas dan
meletakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-C clamp (bila
seorang diri), yaitu ibu jari dan jari telunjuk penolong membentuk huruf
“C” dan mempertahankan sungkup dimuka pasien. Jari- jari ketiga, empat
dan lima membentuk huruf “E” dengan meletakkannya dibawah rahang
bawah untuk mengangkat dagu dan rahang bawah, tindakan ini akan
mengangkat lidah dari belakang faring dan membuka jalan nafas.
Hal yang harus diperhatika pada tindakan ini antara lain :

1. Bila dengan dua penolong, satu penolong pada posisi diatas kepala
pasien menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan
untukm encegah agar tidak terjadi kebocoran disekitar sungkup dan
mulut, jari-jari yang lain mengangkat rahang bawah dengan
mengekstensikan kepala sembari melihat
pergerakkan dada. Penolong kedua secara perlahan (2 detik)
memompa kantung sampai terangkat.
2. Bila penolong , dengan ibu jari dan jari telunjuk melingkari pinggir
sungkup dan jari-jari lainnya mengangkat rahang bawah (E-C clamp),
tangan yang lain memompa kantung nafas sembari melihat dada
terangkat.
Bantuan hidup dasar dengan 2 penolong

Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan bantuan hidup


dasar dengan 2 penolong :
1. Tiap penolong harus mengerti peranan masing-masing. Satu orang
penolong memberikan pernafasan buatan sedangkan penolong yang lain
melakukan kompresi dada. Bila penolong kedua tiba ditempat kejadian
saat pertolongan sedang dilakukan oleh penolong pertama maka penolong
kedua memberikan
bantuan setelah penolong pertama melakukan satu siklus bantuan yang
diakhiri dengan nafas bantuan.
2. Penolong yang melakukan kompresi dada memberikan pedoman dengan
cara menghitung dengan suara yang kuat
3. Sebaiknya perputaran penolong dilakukan setiap 5 siklus. Sebelum
melakukan perpindahan tempat, penolong yang melakukan kompresi
memberikan aba-aba bahwa akan melakukan perppindahan tempat
setelah kompresi ke 30 dan melanjutkan pemberian 2 nafas bantuan.
Sedangkan penolong yang memberikan nafas buatan, segera mengambil
tempat disamping pasien untuk melakukan kompresi. Hal ini terus
melanjut sampai bantuan dinyatakan boleh dihentikan.

Komplikasi yang mungkin terjadi saat melakukan bantuan hidup dasar :


1. Aspirasi regurgitasi
2. Fraktur costae-sternum
3. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru
4. Laserasi hati atau limpa

Bantuan hidup lanjut pada dewasa

Advanced cardiovaskular life support (ACLS) memberikan


beberapa dampak dalam rantai kelangsungan hidup yang mencakup
intervensi untuk mencegah henti jantung, mengobati henti jantung, dan
meningkatkan outcome pasien yang mencapai reverse of spontaneous
circulation (ROSC) setelah henti
jantung. ACLS bertujuan untuk mencegah henti jantung meliputi manajemen
jalan nafas, dukungan ventilasi, dan pengobatan bradiaritmia dan takiaritmia.
Untuk pengobatan henti jantung, ACLS dibangun berdasarkan basic life
support (BLS) dari sistem aktivasi respon darurat, CPR dini, defibrilasi cepat
untuk lebih meningkatkan kemungkinan ROSC dengan terapi obat,
manajemen jalan napas, dan pemantauan fisiologis. Setelah ROSC, hasil
neurologis dapat ditingkatkan dengan perawatan
post – cardiac arrest.

Perubahan pedoman ACLS tahun 2005 yaitu :

 Gelombang kapnografi kuantitatif terus-menerus dianjurkan untuk


konfirmasi dan pemantauan endotrakeal tube.
 Algoritma henti jantung disederhanakan dan didesain ulang untuk
menekankan pentingnya CPR (termasuk kompresi dada yang adekuat dan
dalam, chest recoil lengkap setelah setiap kompresi dada, meminimalkan
gangguan dalam kompresi dada dan menghindari ventilasi berlebihan.
 Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk penggunaan rutin
pada pengelolaan pulseless electric aktivity (PEA) /asystole.
 Ada peningkatan penekanan pada pemantauan fisiologis untuk
mengoptimalkan kualitas CPR dan mendeteksi ROSC.
 Chronotropic infus obat yang direkomendasikan sebagai alternatif untuk
bradikardia simtomatik dan tidak stabil.
 Adenosin direkomendasikan sebagai terapi yang aman dan berpotensi
efektif dalam pengelolaan awal stable undifferentiated regular
monomorphic widecomplex tachycardia.

G. Tambahan Untuk Kontrol Airway dan Ventilasi

Tinjauan Manajemen airway ini direkomendasikan untuk mengamati dan


mendukung ventilasi dan oksigenasi selama CPR dan periode peri-arrest. Tujuan
ventilasi selama CPR adalah untuk mempertahankan oksigenasi dan eliminasi karbon
dioksida. Namun, penelitian belum mengidentifikasi optimal tidal volume, laju
pernapasan, dan konsentrasi oksigen inspirasi diperlukan selama resusitasi pada henti
jantung. Baik ventilasi dan kompresi dada dianggap penting bagi korban fibrilasi
ventrikel berkepanjangan (VF) jantung penangkapan dan untuk semua korban dengan
ritme lainnya. Karena perfusi baik sistemik dan pulmonal substansial berkurang
selama CPR, ventilation perfusion yang normal dapat dipertahankan dengan ventilasi
satu menit yang jauh lebih rendah dari normal. Selama CPR dengan jalan napas yang
bagus, rata-rata pernapasan yang lebih rendah diperlukan untukmenghindari
hiperventilasi.

H. Ventilasi dan Administrasi Oksigen Selama CPR

Selama keadaan aliran darah rendah seperti pada CPR, pengiriman oksigen ke
jantung dan otak dibatasi oleh aliran darah bukan oleh isi arteri oksigen. Oleh
karena itu, penyelamatan nafas kurang penting daripada penekanan dada selama
beberapa menit pertama resusitasi dari VF dan dapat mengurangi CPR karena
gangguan keberhasilan dalam kompresi dada dan peningkatan tekanan intratoraks
yang menyertai positive pressure ventilasi. Jadi, selama beberapa menit pertama
serangan jantung menyaksikan penyelamat tunggal tidak boleh mengganggu
kompresi dada untuk ventilasi.

Oksigen Selama CPR

Konsentrasi oksigen optimal yang terinspirasi saat dewasa CPR


belum ditetapkan dalam penelitian pada manusia atau hewan. Selain itu, tidak
diketahui apakah oksigen inspirasi 00% (Fio 2 =.0) bermanfaat atau apakah
oksigen dititrasi lebih baik. Meskipun lama paparan oksigen inspirasi 00%
(Fio2=.0) memiliki potensi toksisitas, terdapat kurangnya bukti untuk
menunjukkan bahwa ini terjadi selama
periode singkat dewasa yang di CPR. penggunaan oksigen inspirasi 00%
selama CPR mengoptimalkan konten oksihemoglobin arteri dan pengiriman
oksigen, sehingga penggunaan oksigen inspirasi 00% (Fio2=.0) secepat
mungkin menjadi wajar selama resuscitasi pada henti jantung.

Manajemen Henti Jantung


Bagian ini menjelaskan perawatan umum pasien henti jantung dan
memberikan gambaran ACLS dewasa 200. Henti jantung dapat disebabkan
oleh 4 irama: fibrilasi ventrikel (VF), takikardia ventrikel pulseless (VT),
pulseless Aktivitas listrik (PEA), dan asistole. VF merupakan aktivitas listrik
yang teratur, sedangkan pulseless VT mewakili aktivitas listrik ventrikel
miokardium. ini menghasilkan irama aliran darah yang signifikan. PEA
ditandai suatu keadaan klinis dengan adanya gambaran elektrik pada monitor
EKG, tetapi tidak ditemukan denyut nadi pada perabaan arteri karotis. Asistole
merupakan keadaan pada saat jantung berhenti berkontraksi.Kelangsungan
hidup dari ritme henti jantung ini membutuhkan BLS dan
ACLS terintegrasi dengan perawatan post-cardiac arrest . Dasar dari
suksesnya ACLS adalah highquality CPR, dan, untuk VF / VT pulseless,
mencoba defibrilasi dalam beberapa menit dari runtuh. Untuk VF, CPR dini
dan defibrilasi yang cepat secara signifikan dapat meningkatkan kesempatan
untuk bertahan hidup. Dibandingkan, terapi ACLS seperti beberapa obat dan
jalan nafas, meskipun dikaitkan dengan peningkatan ROSC, tetapi belum
terbukti meningkatkan kelangsungan hidup.
ACLS 200 Dewasa Algoritma Cardiac Arrest disajikan dalam
kotak tradisional dan format melingkar baru. Secara keseluruhan algoritma
ini telah disederhanakan dan didesain ulang untuk menekankan pentingnya
kualitas tinggi CPR yang mendasari manajemen dari semua ritme henti
jantung.
Periodik jeda dalam CPR harus sesingkat mungkin dan hanya
diperlukan untuk menilai ritme, syok VF / VT, melakukan cek nadi ketika
ritme terdeteksi, atau menempatkan airway. Monitoring dan mengoptimalkan
kualitas CPR berdasarkan parameter mekanik baik (Tingkat kompresi dada
dan kedalaman, kecukupan relaksasi, dan minimalisasi jeda) atau, jika layak,
parameter fisiologis (tekanan
parsial end-tidal CO2 [PETCO2], tekanan arteri selama fase relaksasi
kompresi dada, atau saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) dianjurkan. Dengan
tidak adanya jalan napas yang canggih, disinkronkan kompresi-ventilasi rasio
30:2 direkomendasikan pada tingkat kompresi minimal 00 per menit. Setelah
penempatan jalan napas supraglottic atau endotrakeal tube, penyedia
melakukan penekanan dada harus memberikan minimal 00 kompresi per
menit terus-menerus tanpa jeda. Untuk ventilasi penyedia memberikan
ventilasi kali setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 0 napas per menit) dan harus
sangat berhati-hati untuk menghindari memberikan jumlah berlebihan dari
ventilasi.
Gambar 5. Algoritma Cardiac arrest
Gambar 6 . Algoritma bradikardi
Gambar 7. Algoritma takikardi
BAB III KESIMPULAN

Pada saat ini CPR lebih mengutamakan sirkulasi dibandingkan pemberian


bantuan nafas, sehingga terjadi perubahan urutan pertolongan bantuan hidup dasar
dengan mendahulukan kompresi sebelum melakukan pertolongan bantuan nafas (CAB
dibandingkan dengan ABC). Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera
berdasarkan penilaian respon pasien dan tidak adanya nafas. Perintah “ Look, Listen,
Feel” dihilangkan dari algoritma bantuan hidup dasar.

Penekanan bantuan kompresi dada yang kontinu dalam melakukan resusitasi


jantung paru oleh tenaga yang tidak terlatih. Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif
dilakukan sampai didapatkan kembalinya sirkulasi spontan atau penghentian upaya
resusitasi. Terdapat penyederhanaan algoritma bantuan hidup dasar.Intervensi untuk
mencegah henti jantung pada pasien sakit kritis pasien sangatideal. Ketika terjadi henti
jantung, CPR adalah dasar bagi keberhasilan ACLS berikutnya .

Selama resusitasi tenaga kesehatan harus melakukan penekanan dada yang


adekuat dan kedalaman, memungkinkan recoil dada setelah setiap kompresi,
meminimalkan gangguan dalam kompresi dada, dan menghindari ventilasi berlebihan,
terutama dengan advanced airway. Kualitas CPR harus terus dipantau. Pemantauan
fisiologis mungkin berguna untuk mengoptimalkan upaya resusitasi. Untuk pasien di
VF/ pulseless VT, shock segera dilakukan dengan meminimalkan gangguan dalam
penekanan dada.

Anda mungkin juga menyukai