Anda di halaman 1dari 46

PRAKTIKUM 2

BASIC LIFE SUPPORT

(BLS)
KETRAMPILAN KLINIS 2
BASIC LIFE SUPPORT

I. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa mampu memahami dan dapat melakukan bantuan hidup
dasar dengan baik
B. Tujuan Instruksional Khusus
• Mahasiswa mampu mengidentifikasi penderita henti napas dan
henti jantung
• Mahasiswa mampu melakukan tindakan membebaskan jalan
napas
• Mahasiswa mampu melakukan pijat jantung luar dan pemberian
nafas buatan
• Mahasiswa mampu melakukan basic life support pada henti napas
dan henti jantung

II. STRATEGI DAN CARA PEMBELAJARAN (pembelajaran langsung)


a. Instruktur menjelaskan dasar teori dan procedural skill tentang
basic life support.
b. Intruktur melakukan demo keterampilan basic life support sesuai
dengan skenario.
c. C. Masing-masing mahasiswa melakukan keterampilan
basic life support dibawah pengawasan instruktur.
d. Diskusi dan feedback dari instruktur

III. STRATEGI PEMBELAJARAN


a. Instruktur memberikan pre test kepada mahasiswa untuk
mengetahui persiapan praktikum skill lab (10 menit)
b. Overview materi praktikum dari instruktur (15 menit)
c. Instruktur melakukan ketrampilan sesuai dengan prosedur
tindakan (20 menit)
d. Mahasiswa secara bergantian melakukan ketrampilan sesuai yang
di ajarkan, dalam pengawasan instruktur (60 menit)
e. Instruktur memberi feedback kepada mahasiswa (15 menit)

IV. DASAR TEORI


Penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu sebab
(penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera
ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh, atau meninggal.
Dalam menghadapi penderita gawat darurat maka faktor waktu sangat
memegang peranan yang penting (time saving is life saving )tindakan pada
menit-menit pertama dalam menangani kegawatan tersebut, dapat berarti besar
dan sangat menentukan hidup atau matinya penderita. Karena itu harus
dilakukan dengan cara yang cepat tepat dan adekuat.
Dalam menangani penderita, kita kenal adanya initial assesment, sehingga
pengelolaan penderita berlangsung dengan tepat dan cepat. Initial assesment
ini meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Survey primer
4. Resusitasi
5. Tambahan dari survey primer dan resusitasi
6. Survey sekunder ( head to toe dan anamnesa )
7. Tambahan dari survey sekunder
8. Pemantauan dan re-evaluasi lanjut
9. Penanganan definitive
Dalam praktek urutan di atas disajikan berurutan, namun kenyataannya
memerlukan tindakan yang simultan. Triase adalah cara mendiagnosa dan
memilah penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Survey primer mendiagnosa fungsi vital penderita, yang meliputi :
Airway, Breathing, dan Circulation. Survey sekunder dilakukan setelah fungsi
vital telah teratasi/normal kembali dan stabil. Survey sekunder adalah
pemeriksaan dari ujung kepala sampai kaki dengan pemeriksaan penunjang
untuk melakukan terapi selanjutnya.
Prioritas penanganan penderita gawat darurat harus dilandaskan kenyataan
bahwa terdapat urutan sistem yang dapat menyebabkan kematian lebih cepat,
yaitu:
1. Breath : masalah dengan pernapasan
2. Bleed : masalah dengan sirkulasi
3. Brain : masalah dengan kesadaran dan susunan saraf
4. Bladder : masalah dengan urogenetal
5. Bowel: masalah dengan tractus digestivus
6. Bone : masalah dengan tulang
Keterlambatan penanganan sesuai prioritas dapat menyebabkan gangguan,
cacat, sesuai dengan tingkat keterlambatan. Resusitasi jantung paru otak
merupakan tindakan awal untuk mencegah kematian akibat gangguan fungsi
vital apapun penyebab gangguan fungsi vital tersebut. Kematian sendiri terdiri
dari 3 tingkatan, yaitu kematian klinis (clinical death), kematian otak (brain
death) dan kematian biologis (biological death). Kematian klinis di tandai
dengan henti napas dan henti jantung. Usaha resusitasi dimaksudkan untuk
mencegah berlanjutnya tingkat kematian dari kematian klinis ke kematian otak.
Kematian karena jantung berhenti secara mendadak (cardiac arrest) dinamakan
kematian mendadak. Gejala klinis utama henti jantung adalah individu secara
tiba-tiba kehilangan kesadaran. Hal ini disebabkan oleh karena sel-sel kortex
cerebri mengalami hypoxia/anoxia. Gejala lain adalah penderita tidak teraba
denyut nadi besar (arteri karotis), pasien henti nafas, pupil melebar, Death like
appearance, dan gambaran EKG berupa fibrilasi ventrikel, asistole.
Faktor yang menjadi penyebab henti jantung adalah:
o Penyakit cardiovasculer misalkan acute myocard infarct, emboli
paru
o Kekurangan oksigen akut misalkan berhentinya nafas,
tersumbatnya jalan nafas
o Kelebihan dosis obat misalkan digitalis, antidepresan
o Ketidakseimbangan elektrolit misalkan hiperkalemia,
hipokalemia, hiperkalsemia, asidosis, alkalosis
o Kecelakaan misalkan sengatan listrik, tenggelam
o Anestesi dan pembedahan
Resusitasi harus dilakukan secepat mungkin, lebih cepat lebih besar
keberhasilannya. Tindakan yang dilakukan sebelun henti jantung 1 menit akan
jauh lebih baik daripada setelah 2 menit. Keberhasilan pertolongan tergantung
pada 4 mata rantai:
1. Segera menjangkau pelayanan gawat darurat
2. Segera lakukan bantuan hidup dasar
3. Segera defibrilasi
4. Segera bantuan hidup lanjut.
Pedoman Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan
sekarang telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Bulan
Oktober 2010, American Heart Association (AHA) mengeluarkan pedoman
baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam Bantuan Hidup Dasar ini, terdapat
beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantuan Hidup
Dasar yang telah dikenal sebelumnya, seperti :
1. Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan
penilaian respon penderita dan tidak adanya napas.
2. Perintah Look, Feel, and Listen dihilangkan dari algoritme Bantuan
3. Hidup Dasar
4. Penekanan bantuan kompresi dada yang berkelanjutan dalam
melakukan resusitasi
5. Jantung paru oleh penolong yang tidak terlatih Perubahan urutan
pertolongan Bantuan Hidup Dasar dengan mendahulukan kompresi
sebelum melakukan pertolongan bantuan napas (CAB
dibandingkan dengan ABC)
6. Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang efektif dilakukan
sampai didapatkan kembalinya sirkulasi spontan atau penghentian
upaya resusitasi
7. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang
lebih baik
8. Penyederhanaan Algoritme Bantuan Hidup Dasar
Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu satu jenis
keterampilan. Tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan
tidak terputus antara pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam
pertolongan. Keberhasilan pertolongan yang dilakukan ditentukan oleh
kecepatan dalam memberikan tindakan awal Bantuan Hidup Jantung
Dasar. Para ahli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu Tindakan
Bantuan Hidup Jantung Dasar yang efektif serta melatih sebanyak mungkin
orang awam dan paramedis yang dapat melakukan tindakan tersebut secara
baik dan benar. Secara umum, pengamatan serta intervensi yang dilakukan
dalam Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan suatu rantai tak
terputus, disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of survival) :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat
darurat segera (Early Access)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat
darurat
b. b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan
RJP pada orang dewasa atau sekitar 1 menit setelah
memberikan pertolongan RJP pada bayi dan anak.
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post
Cardiac Arrest Care)
SURVEI PRIMER BANTUAN HIDUP DASAR
Dalam melakukan pertolongan menggunakan pendekatan sistematis Bantuan
Hidup Jantung Lanjut (ACLS), maka kita harus melakukan pengamatan dan
pemeriksaan secara sistematis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut
dimulai dari survei primer Bantuan Hidup Dasar dilanjutkan dengan survei
Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer merupakan dasar tindakan penyelamatan
jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh
seorang penolong ataupun secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan Survei
Bantuan Hidup Dasar Primer adalah memperbaiki sirkulasi sistemik yang
hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan kompresi
dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang
efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau
tindakan dihentikan karena tidak ada respon dari penderita setelah tindakan
dilakukan beberapa saat. Jikalau setelah dilakukan survei Bantuan Hidup
Dasar Primer secara efektif didapatkan kembalinya sirkulasi secara
spontan, maka tindakan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer langsung
dilanjutkan Survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Tujuan survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah berusaha memberikan
bantuan sirkulasi sistemik, ventilasi, dan oksigenasi tubuh secara efektif dan
optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah
tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan Bantuan Hidup Jantung
Lanjut.

Profisiensi penolong pada Bantuan Hidup Dasar

Survei Bantuan Hidup Dasar Primer dilakukan baik untuk penderita yang
mengalami henti jantung mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita
saksikan atau datang ke Rumah Sakit sudah tidak sadarkan diri. Kita
memeriksa respon penderita dengan memanggil dan menepuk-nepuk
pundak atau menggoyangkan badan penderita bertujuan untuk mengetahui
respon kesadaran penderita (Check responsiveness) dengan AVPU Scale :
A: sadar (alert)
V: memberikan reaksi pada suara (verbal)
P: memberikan reaksi pada rasa sakit (pain)
U: tidak respon (unresponsive)
Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta
bantuan orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat Rumah
Sakit terdekat dan meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga
serta peralatan medis yang lengkap (Call for Help). Jika saat melakukan
pertolongan hanya seorang diri, setelah melakukan pemeriksaan respon
kesadaran, penolong segera menghubungi Rumah sakit terdekat atau ambulans
dan melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan dengan cepat dan kuat
dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian bantuan napas 2 kali (1 detik
setiap napas bantuan) sampai bantuan datang.

Urutan sistematis yang digunakan saat ini adalah C - A – B. Sebelum


melakukan Bantuan Hidup Dasar harus diperhatikan langkah yang tepat
dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Setelah dilakukan
pemeriksaan (kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu tidaknya defibrilasi),
harus dianalisis secara cepat dan tepat tindakan yang perlu dilakukan. Sebagai
contoh :
Periksa respon penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan
sadar atau tidak sadar.
Periksa denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau sebelum
melakukan penempelan sadapan AED.
Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut
lsitrik pada jantung (defibrilasi).
Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan
memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP
tidak perlu dilaksanakan seperti :
- Henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan
1. Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang
berhak secara sah dan ditandatangani oleh penderita atau
keluarga penderita
2. Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir
yang telah mendapat pengobatan secara optimal
3. Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki
angka mortalitas tinggi, misalnya bayi sangat prematur,
anensefali atau kelainan kromosom seperti trisomi 13
- Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan
1. Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku
mayat, lebam mayat, dekapitasi, atau pembusukan.
2. Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong
3. Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan
seperti hangus terbakar, dekapitasi atau hemikorporektomi.
Kapan Menghentikan RJP
Ada beberapa alasan bagi penolong untuk menghentikan RJP, antara lain :
1. Penolong sudah melakukan Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut secara
optimal, antara lain: RJP, defibrilasi pada penderita VF/VT tanpa
nadi, pemberian vassopressin atau epinefrin intravena, membuka
jalan napas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan bantuan
napas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan
irama sesuai dengan pedoman yang ada.
2. Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar
bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan
menghambat susunan sistem saraf pusat
3. Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.
4. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang
menetap selama 10 menit atau lebih.
Implementasi penghentian usaha resusitasi ;
1. Asistol yang menetap atau tidak terdapat denyut nadi pada neonatus
lebih dari 10 menit
2. Penderita yang tidak respon setelah dilakukan Bantuan Hidup
Jantung Lanjut minimal 20 menit.
3. Secara etik penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang
layak untuk memperpanjang usaha pertolongan (misalnya oleh
karena konsekuensi psikologis dan emosional). Juga menerima
alasan klinis untuk mengakhiri resusitasi dengan segera (karena
kemungkinan hidup yang kecil).
4. Menurunnya kemungkinan keberhasilan resusitasi sebanding dengan
makin lamanya waktu melaksakanan bantuan hidup. Perkiraan
kemungkinan keberhasilan resusitasi dan pulang ke rumah, mulai
dari 60-90% dan menurun secara jelas 3-10 % permenit.
Tindakan RJP pada Asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan
kondisi sebagai berikut :
· Usia Muda
· Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit
· Hipotermia
· Overdosis Obat
· Usaha bunuh diri
· Permintaan Keluarga
· Korban tenggelam di air dingin
Teknik Pelaksanaan Survey Primer Bantuan Hidup Dasar (C-A-B -D) :
1. Kita harus memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk
melakukan pertolongan. Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras
posisi telentang.
2. Dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil
meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan
menyediakan AED. Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan
tidak sadar, maka kita meminta bantuan orang lain menghubungi
ambulans atau sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan meminta
bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan medis yang
lengkap.
Memeriksa respon : dengan memanggil dan menepuk-nepuk pundak
atau menggoyangkan badan penderita (check responsiveness); “
Pak....Pak.... (sambil menepuk pundak)......pak....anda baik-baik saja ?”
(Call for Help)
Menunjuk orang disekitar ; “ Tolong Telpon 118/ambulan, beritahukan
ada pasien cardiac arrest, mohon bantuan tenaga medis dan AED”
3. Penilaian denyut nadi
Caranya jika penolong di sebelah kanan penderita, dengan meletakkan
jari telunjuk dan jari tengah pada garis median leher (trachea), kemudian
geser ke lateral (ke arah penolong atau tidak boleh menyeberangi garis
tengah, lalu raba pulsasi arteri carotisnya.
Periksa teraba nadi atau tidak. Langkah ini tidak boleh lebih dari 10 detik

Untuk berlatih mahasiswa dapat meraba pulsasi arteri carotisnya sendiri


terlebih dahulu, kemudian meraba pulsasi arteri carotis mahasiswa lain
secara berpasangan.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi menunjukkan baik
penolong awam maupun tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam
melakukan pemeriksaan pulsasi arteri carotis.
Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan, seperti :
a. Penolong tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan
penderita menderita henti jantung jika penderita mengalami pingsan
mendadak, atau tidak berespons tidak bernapas, atau bernapas tidak
normal.
b. Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika
dalam 10 detik penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka
segera lakukan kompresi dada.
Catatan : Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2
menit. Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi.
4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah
bawah sternum/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae
memotong mid line pada sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas
tangan kanan/ sebaliknya. Yang dipakai adalah tumit tangan, bukan telapak
tangan. Hal ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan
intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
o Frekuensi minimal 100 kali permenit
o Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)
o Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter diding
anterposterior dada, atau 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm
(2 inch) pada anak.
o Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara
sempurna setelah setiap kompresi.
o Seminimal mungkin melakukan interupsi
o Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan.
Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal,
dan biarkan dada recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan
menekan adalah pinggul bukan bahu. Tekan dada dengan kedalaman minimal
5 cm.

Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi


kesempatan venous return mengisi jantung.
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
“ satu, dua................sepuluh”.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua....
tigapuluh”
5. Airway (pembukaaan jalan napas)
Dalam teknik ini diajarkan bagaimana cara membuka dan
mempertahankan jalan napas untuk membantu ventilasi dan memperbaiki
oksigenasi tubuh. Tindakan ini sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah
menerima pelatihan Bantuan Hidup Dasar atau tenaga kesehatan
profesional dengan menggunakan teknik angkat kepala –angkat dagu (Head
Tilt-Chin Lift) pada penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher.
Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt
chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang digunakan pada keadaan tersebut
adalah menarik rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (Jaw Thrust). Pada
penolong yang hanya mampu melakukan kompresi dada saja, belum
didapatkan bukti ilmiah yang cukup untuk melakukan teknik mempertahankan
jalan napas secara pasif, seperti hiperekstensi leher.

6. Breathing (pemberian napas bantuan)


Pemberian napas bantuan dilakukan setelah jalan napas terlihat aman. Tujuan
Primer pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan oksigenasi
yang adekuat dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2. Sesuai dengan
revisi panduan yang dikeluarkan American Hearth Association mengenai
Bantuan Hidup Jantung Dasar, penolong tidak perlu melakukan observasi
napas spontan dengan Look, Listen, Feel, karena langkah pelaksanaan tidak
konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan bantuan napas antara lain :
• Mahasiswa memasang mouth barrier untuk proteksi diri
• Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.
• Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada
• Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi
• Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil
memasukkan alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa
endotrakheal, combitube, atau sungkup laring), maka napas
bantuan diberikan setiap 6-8 detik, sehingga menghasilkan
pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak sinkron
dengan kompresi : memberikan bantuan napas tiap 6-8 detik selama
kompresi berlangsung, Ingat Interupsi minimal saat kompresi
• Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang
buruk memerlukan bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi
sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.
• Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan
dapat menimbulkan distensi lambung serta komplikasinya, seperti
regurgitasi dan aspirasi.

Cara pemberian napas bantuan :


a. Mulut ke mulut
b. Mulut ke hidung
c. Mulut ke sungkup
d. Dengan Kantung Pernafasan
7. Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis, jika pulsasi tidak
ada dan bantuan belum tiba teruskan RJP. Jika bantuan datang dan
membawa peralatan (AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung
dengan menggunakan AED atau monitor defibrilator.
Apabila irama jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila not shockable
teruskan RJP ikuti algoritme.

8. Defibrilasi
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk
keberhasilan pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan
berikut :
• Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung
mendadak yang disaksikan di luar rumah sakit adalah Fibrilasi
ventrikel
• Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi
• Kemungkinan keberhasilan tindakan defibrilasi berkurang seiring
dengan bertambahnya waktu
• Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring
dengan berjalannya waktu.
Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator
manual atau menggunakan Automated External Defibrilator (AED). Penderita
dewasa yang mengalami fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi
diberikan energi kejutan 360 J pada defibrilator monofasik atau 200 J pada
bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti jantung mendadak sangat jarang,
energi kejutan listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang dengan
dosis 4-10 J/Kg dan tidak melebihi energi yang diberikan kepada penderita
dewasa. Pada neonatus, penggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan.
Penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut listrik tidak diindikasikan
pada penderita dengan asistol atau pulseless electrical activity (PEA)

Shockable Waves
PROTOKOL PENGGUNAAN AED
• Hidupkan AED dengan menekan sakelar ON atau beberapa alat
dengan membuka tutup AED
• Pasang bantalan elektroda pada dada penderita

• Jangan melakukan kontak langsung dengan penderita saat sedang


dilakukan analisis irama penderita oleh alat AED
• Tekan tombol SHOCK jika alat AED memerintahkan tindakan kejut
listrik, atau langsung lakukan RJP 5 siklus petugas kesehatan terlatih
tanpa mencek nadi terlebih dahulu jika alat tidak memerintahkan
tundakan kejut listrik
• Tindakan tersebut terus diulang sampai tindakan RJP boleh
dihentikan sesuai indikasi.

PROTOKOL PENGGUNAAN ALAT KEJUT LISTRIK


KONVENSIONAL (MANUAL DEFIBRILATOR)
• Pada kasus henti jantung, RJP adalah tindakan yang mutlak dilakukan
dan interupsi terhadap kompresi harus minimal. Prinsip ini tetap
berlaku pada penggunaan defibrilator. Selama persiapan alat dan
pengisian tenaga, korban tetap dilakukan kompresi dada.
• Tekan tombol ON atau putar saklar ke arah gambaran EKG untuk
menghidupkan monitor
• Tempelkan elektroda atau gunakan pedal defibrilator untuk
melakukan analisis secara cepat (quick look analysis)
• Lihat irama di monitor. Bila akan melakukan tindakan kejut listrik,
berikan gel di pedal defibrilator atau dada penderita untuk
mencegah luka bakar yang berat serta memperbaiki hantaran listrik
dari pedal ke tubuh penderita
• Bila irama yang terlihat pada monitor adalah fibrilasi ventrikel dan
ventrikel takikardi tanpa nadi, maka lakukan pemberian kejut
lsitrik dengan energi 360 J pada alat defibrilator monofasik atau
200 J pada alat bifasik. Lakukan pengisian (charge) sampai ke
energi yang diinginkan (biasanya ditandai dengan bunyi alarm. satu
pedal diletakkan di apeks jantung dan yang lain diletakkan di
sternum dengan disertai pemberian tekanan sebesar 12,5 kg saat
ditempelkan ke dinding dada. Listrik dialirkan dengan menekan
tombol discharge (bergambar listrik) yang berada di kedua gagang
• Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh anggota
tim untuk tidak dengan pasien maupun tempat tidurnya sambil
memastikan diri sendiri juga tidak bersentuhan.
Contoh aba-aba:
I'm going to shock on three:
o One, I'm clear
o Two, you are clear
o Three, Every body is clear.

• Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua sudah


tidak bersentuhan dengan pasien, lihat ke monitor untuk pastikan
irama belum berubah
• Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit
lakukan evaluasi. Bila irama yang terlihat dimonitor adalah irama
yang harus diberikan kejut listrik (shockable rhytm) yaitu VT tanpa
nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila
irama yang terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan
pemberian RJP selama 2 menit atau 5 siklus dan penatalaksanaan
sesuai algoritma PEA/Asystole.
Algoritma Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Rekomendasi
Komponen Dewasa Anak tidak sadarkan bayi
pengenal diri
Tidak ada nafas Tidak bernafas atau ada usaha nafas
awal
atau tidak
Tidak teraba nadi dalam 10 detik(hanya dilakukan oleh tenaga
bernafas normal
professional)
Urutan CAB CAB CAB
Frekuensi
BHD Minimal 100x/menit
Kompresi
Kedalaman Minimal 5 cm Minimal 1/3 Minimal
kompresi (2 inci) diameter dinding 1/3diameter
Anterior posterior dinding Anterior
Recoil Usahakan terjadi recoil sempurna setiap kompresi
toraks (sekitar 5cm posterior toraks
dinding Untuk penolong terlatih, pergantian posisi penolong setiap 2
Interupsi Interupsi seminimal/ 2inci)
mungkin, jikalaummemungkinkan
(sekitar 4cm /1,5
dada menit.
bantuan
Jalan nafas interupsi
Head Tiltkurang dari(untuk
Chin Lift 10 detik inci)leher lakukan
kecurigaan trauma
(airway) jaw thrust)
Kompresi 30:2 30:2 (satu penolong) 30:2 (satu penolong)
Ventilasi (1 atau
Jika 2
penolong 15:2
tidak (dua penolong)
terlatih, 15:2 (dua penolong)
kompresi saja.
penolong)
Pada penolong terlatih, dengan jalan nafas lanjutan berikan
Defibrilasi Pasang dan tempelkan
nafas setiap AED sesegera
6-8 detik (8-10x / menit). mungkin, interupsi
kompresi minimal baik sebelum atau sesudah kejut listrik.
Lanjutkan RJP diawali dengan kompresi setelah kejut listrik.
ALGORITMA ACLS (Advance Cardiac Life Support)

V. PROSEDURAL KLINIS
1. Memastikan bahwa lingkungan dan penderita aman untuk
dilakukan pertolongan.
• Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras posisi
telentang.
2. Memeriksa kemampuan respon penderita dengan AVPU Scale,
sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat
darurat dan menyediakan AED.
• Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak
sadar,maka kita meminta bantuan orang lain menghubungi
ambulans atau sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan
meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta
peralatan medis yang lengkap.
3. Penilaian denyut nadi
• Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik.
Jika dalam 10 detik penolong belum bisa meraba pulsasi
arteri, maka segera lakukan kompresi dada.
• Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap
2menit
• Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi
4. Circulation (lakukan Kompresi Dada)
• Dilakukan pada setengah bawah sternum/ Membuat garis
bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line
pada sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan
kanan/ sebaliknya.
• Frekuensi minimal 100 kali permenit
• Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)
• Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter
diding anterposterior dada, atau 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan
sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.
• Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali
secara sempurna setelah setiap kompresi.
• Seminimal mungkin melakukan interupsi
• Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan
5. Airway (melakukan pembukaaan jalan napas)
• Lakukan head Tilt-Chin Lift pada penderita yang diketahui
tidak mengalami cedera leher.
• Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal,
teknik head tilt chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang
digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa
melakukan ekstensi kepala (Jaw Thrust)
6. Breathing (pemberian napas bantuan)
• Mahasiswa memasang mouth barrier untuk proteksi diri
• Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.
• Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada
• Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi
• Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan
telah berhasil memasukkan alat untuk mempertahankan jalan
napas (seperti pipa endotrakheal, combitube, atau sungkup
laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik,
sehingga menghasilkan pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali
permenit.
• Tidak sinkron dengan kompresi : memberikan bantuan napas
tiap 6-8 detik selama kompresi berlangsung, ingat Interupsi
minimal saat kompresi
• Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang
buruk memerlukan bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi
sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.
• Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan
dan dapat menimbulkan distensi lambung serta
komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
• Cara pemberian napas bantuan :
a. Mulut ke mulut b. Mulut ke hidung
b. Mulut ke sungkup
c. Dengan Kantung Pernafasan
7. Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis (evaluasi).
8. Jika pulsasi tidak ada dan bantuan belum tiba teruskan RJP.
Jika bantuan datang dan membawa peralatan
(AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung dengan
menggunakan AED atau monitor defibrilator. Apabila irama
jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila not shockable
teruskan RJP
Contoh kasus :

Skenario Klinik
Seorang laki-laki usia 40 tahun, tiba-tiba tidak sadarkan diri saat jogging
di suatu taman.

Instruksi:

Lakukan Basic Life Support (BLS)


BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS

VI. CHECKLIST

NILAI
No ASPEK KETRAMPILAN DAN MEDIS YANG DILAKUKAN
0 1 2 3
Melakukan tahap-tahap CPR basic dan advance sesuai algoritme
Memastikan bahwa lingkungan dan penderita aman untuk
1 dilakukan pertolongan.
Memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta
pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan
2
menyediakan AED.
3 Melakukan penilaian denyut nadi a. Carotis communis.
Jika denyut nadi tidak ada, lakukan kompresi dada
4
(Circulation)
5 Melakukan pembukaan jalan napas (Airway)
6 Melakukan pemberian napas bantuan (Breathing)
Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis
7
(evaluasi).
Jika pulsasi tidak ada dan bantuan belum tiba teruskan
RJP. Jika bantuan datang dan membawa peralatan
(AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung
dengan menggunakan AED atau monitor defibrilator.
8
Apabila irama jantung shockable lakukan defibrilasi,
apabila not shockable teruskan RJP
Tambahan : Melakukan prosedur defibrilasi
PROTOKOL PENGGUNAAN AED
Hidupkan AED dengan menekan sakelar ON atau
beberapa alat dengan membuka tutup AED
Pasang bantalan elektroda pada dada penderita
Jangan melakukan kontak langsung dengan penderita saat
sedang dilakukan analisis irama penderita oleh alat AED
9
Tekan tombol SHOCK jika alat AED memerintahkan
tindakan kejut listrik, atau jika alat tidak memerintahkan
tindakan kejut listrik, petugas kesehatan terlatih tanpa men-
cek nadi terlebih dahulu langsung lakukan RJP 5 siklus.
Tindakan tersebut terus diulang sampai tindakan RJP boleh
dihentikan sesuai indikasi.
PROTOKOL PENGGUNAAN ALAT KEJUT LISTRIK
10 KONVENSIONAL
(MANUAL DEFIBRILATOR)

31
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS

Selama persiapan alat dan pengisian tenaga, korban tetap


dilakukan kompresi dada.
Tekan tombol ON atau putar saklar ke arah gambaran
EKG untuk menghidupkan monitor
Tempelkan elektroda atau gunakan pedal defibrilator untuk
melakukan analisis secara cepat (quick look analysis)
Lihat irama di monitor. Bila akan melakukan tindakan kejut
listrik,
berikan gel di pedal defibrilator atau dada penderita.
- Bila irama yang terlihat pada monitor adalah fibrilasi
ventrikel dan ventrikel takikardi tanpa nadi, maka lakukan
pemberian kejut lsitrik dengan energi 360 J pada alat
defibrilator monofasik atau 200 J pada alat bifasik. Lakukan
pengisian (charge) sampai ke energi yang diinginkan
(biasanya ditandai dengan bunyi alarm. satu pedal
diletakkan di apeks jantung dan yang lain diletakkan di
sternum dengan disertai pemberian tekanan sebesar 12,5
kg saat ditempelkan ke dinding dada. Listrik dialirkan
dengan menekan tombol discharge(bergambar listrik) yang
berada di kedua gagang.
Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh
anggota tim: I’m going to shock on three:
o One, I’m clear
o Two, you are clear
o Three, Every body is clear.
Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua
sudah tidak bersentuhan dengan pasien, lihat ke monitor
untuk pastikan irama belum berubah
- Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus.
Setelah 2 menit lakukan evaluasi. Bila irama yang terlihat
dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik
(Shockable rhytm) ya itu VT tanpa nadi atau VF, maka
lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila irama yang
terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan pemberian
RJP selama 2 menit atau 5 siklus dan penatalaksanaan
sesuai algoritma PEA/Asystole.
Keterangan kriteria penilaian : Nilai batas lulus 75 %
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan, tetapi tidak sempurna Nilai = Jumlah x 100%=

32
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS

2 : dilakukan dengan kurang sempurna


3 : dilakukan dengan sempurna
Mengetahui:
Koordinator/Instruktur, Mhs.
Penilai

( ) ( )

Referensi
1. American Heart Association: Management of Cardiac Arrest.
Circulation 2010;112;IV-58-IV 66. Lippincott Williams & Wilkins, a
division of Wolters Kluwer Health, 351 West CamdenStreet, Baltimore.
2. Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation
5thedition. BMJ Publishing Group 2004.
3. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Dasar edisi 2012, BCLS
Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP-
PERKI) 20

33
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE

I. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Instruksional Umum:
Mahasiswa mampu melakukan intubasi dengan baik
B. Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mahasiswa mengetahui indikasi intubasi pipa endotrakeal (Endo tracheal Tube =


ETT).
2. Mahasiswa trampil melakukan intubasi Endotrakeal pada penderita dewasa dan bayi
atau anak
II. DASAR TEORI
Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat efektif . Jalan nafas yang
terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi
cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan
dan penggunaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan
mengatur katup ekspirasi.

INDIKASI
1. Proteksi jalan nafas
- Hilangnya refleks pernafasan (cedera cerebrovascular, kelebihan dosis obat)
- Obstruksi jalan nafas besar (epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara) baik
secara anatomis maupun fungsional.
- Perdarahan faring (luka tusuk, luka tembak pada leher)
- Tindakan profilaksis (pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit lain
atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses
transportasi pasien)
2. Optimalisasi jalan nafas
- saluran untuk pelaksanaan pulmanary toilet darurat (sebagai contoh : penghisapan
atau bronchoscopy untuk aspirasi akut atau pun trakheitis bakterialis berat)
- tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada jalan nafas
(respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan penyakit membran hyalin) (
Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP).

3. Ventilasi mekanik,
Ventilasi mekanik pada kegagalan respirasi yang dikarenakan :
- Pulmonar : penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia.

34
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
("Work of breathing" berlebihan)
- Penyakit jantung atau edema pulmoner
- Neurologi : berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol pernafasan dari
susunan saraf pusat)
- Mekanik : paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit neuromuskuler
- Hiperventilasi therapeutik untuk pasien - pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial.

ALAT DAN BAHAN


a. Laryngoscope lengkap dengan handle dan bladenya
b. Pipa endotrakeal ( orotracheal) dengan ukuran : perempuan no. 7; 7,5 ; 8 . Laki-laki : 8 ;
8,5. Keadaan emergency : 7.5
c. Forceps (cunam) magill ( untuk mengambil benda asing di mulut)
d. Benzokain atau tctrakain anestesi lokal semprot
e. Spuit 10 cc atau 20 cc
f. Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen
g. Alat penghisap lendir
h. Plester, gunting Jelli
i. Stilet

LARINGOSKOP
Ada 2 jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu laringoskop berdaun lurus (
Miller) dan lengkung (Macintosh) (gambar 2).

Gambar 2. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung


Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah , kemudian membuka dan melihat
daerah laring.Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus digunakan dengan
meletakkan ujung pada epiglottis , kemudian mengangkat seluruh daun laringoskop tegak
lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun
pada vallecula kemudian mengungkitnya dengan menggerakkan tuas ke belakang.( gb. 3)

35
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS

Gambar 3. Teknik penggunaan laringoskop daun lurus dan lengkung

Laringsokop daun lurus juga dapat diletakkan di vallecula. Keuntungan bila


diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita suara dengan lebih jelas.
Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah mengurangi rangsang epiglotis yang dapat
berakibat spasme laring. Karena bentuk anatomis jalan nafas neonatus , laringoskop
berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus. Sangat penting diingat bahwa dalam
persiapan selalu disediakan lampu dan batu batere cadangan. Sebelum digunakan,
laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan dengan daun yang akan dipilih.

PIPA ENDOTRAKEAL
Pipa ET yang paling banyak digunakan untuk resusitasi adalah pipa plastik lengkung
dengan kedua ujung yang terbuka. Pada bagian proksimalnya, pipa ET dihubungkan
dengan adaptor yang berdiameter 15 mm, sesuai daengan adaptor balon resusitasi.
Terdupat juga adapator dengan baku lain, yaitu 8,5 mm. Karena itu pada tas resusitasi,
adaptor ini harus diseragamkan. Bagian distal pipa terdapat garis yang menunjukkan lokasi
yang tepat setinggi pita suara agar posisi pipa setelah terpasang tepat pada trakea (Gb. 4)

Gambar 4. Pipa Endotrakeal dengan adaptor


Ada pula pipa ET yang memiliki lubang pada sisinya, dikenal dengan istilah Murphy eye.
Lubang ini dirancang sebagai penyelamat bila terjadi obstruksi pada ujung pipa. Untuk anak
di bawah usia 8 - 10 tahun atau lebih, biasanya tidak digunakan pipa yang menggunakan
cuff ( baton) untuk mencegah edema setinggi rawan krikoid. Pipa karet merah tidak banyak
lagi digunakan karena lebih sering menyebabkan edema.

36
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
Tabel 1.
Pedoman ukuran laringoskop, pipa endotrakeal dan kateter penghisap

Panjang = (usia /2) + 12 (pipa oral)


= (usia /2) + 15 (pipa nasal)

Rumus di atas dapat berlaku untuk usia di atas 1 tahun. Neonatus umumnya
menggunakan pipa berukuran 3 - 3,5 mm, kecuali bayi prematur yang mungkin memerlukan
pipa berdiameter 2,5 mm. Cara lain untuk memperkirakan diameter pipa adalah dengan
membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau diameter yang tepat dengan
liang hidung. Pemilihan diameter yang tepat dapat diketahui bila dalam penggunaannya
terjadi kebocoran udara melaui tepi pipa pada tekanan di atas 20 -30 cm H20. Bila
digunakan pipa dengan cuff, pengisian udara ke dalam cuff, juga harus dapat menghasilkan
kebocoran udara melalui tepi cuff pada tekanan di atas 20 -30 cm H20

CUNAM MAGILL
Cunam Magill adalah alat penjepit bersudut agar dalam penggunaannya tidak mengganggu
lapangan pandang. Alat ini digunakan untuk menjepit pipa endotrakeal, terutama yang
dimasukkan melalui liang hidung,dan mendorongnya hingga melewati pita suara. Cunam ini
dapat juga untuk mengeluarkan benda asing dari jalan nafas atas.

TEKNIK PEMASANGAN ET PADA DEWASA


a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan
dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau
keluarga (informed consent)
b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa
endotrakeal (ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai
ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan
cek fungsi baton dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik,
kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.
c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan
kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan)
d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan
bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam.
e. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan FiO2 100 %.
f. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop.
g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan

37
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai
dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.
h. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis
pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.
i. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan
kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke
faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 - 2 cm atau pada
orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm
j. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 - 10 ml. Waktu
intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
k. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi
(asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada paru kanan dan kiri sambil
memperhatikan pengembangan dada. Bila terdengar gurgling pada lambung dan
dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa
harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya
bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam
bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
l. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit
10 cc.
m. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
n. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar.
o. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 sampai 12 liter per menit).

38
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
TEKNIK PEMASANGAN ET PADA BAYI
1. Memilih dan menyiapkan pipa ET.
Pipa ET sekali pakai ( disposable) ukuran disesuaikan dengan beral badan bayi.
Tabel 2. Perbandingan berat badan bayi dengan ukuran pipa ET yang dibutuhkan
Berat (gram) Ukuran pipa ET (mm)

<1000 2,5
1000-2000 3,0
2001-3000 3,5
>3000 4,0

Pipa ET dipotong secara diagonal pada angka 13, sambungkan dengan sambungan
yang sesuai. Agar pipa lebih kaku dan mudah dilegkungkan, masukkan stilet yang
ujungnya tidak melebihi panjang pipa ET.
2. Menyiapkan laringoskop
Pilih laringoskop dengan lidah / daun lurus, no. 1 (cukup bulan) dan 0 ( kurang bulan).
Pasang daun laringoskop pada pegangannya. Hidupkan lampu laringoskop, periksa
lampu dan baterenya
3. Menyiapkan perlengkapan lain
Alat dan kateter penghisap no 10 F.
Balon dan sungkup , sumber oksigen 100 %, stetoskop, plester.
4. Posisi bayi
Kepala sedikit ekstensi / tengadah
Untuk anak di atas 2 tahun, posisi optimal dapat dicapai dengan meletakkan ganjal pada
kepala anak, kemudian melakukan sniffing position. Pada bayi hal ini tidak perlu
dilakukan karena oksiput bayi yang prominen . Pada trauma leher intubasi harus
dilakukan dalam posisi netral.

Gambar 5. A. Sudut antara oral (0), faringeal (P) dan trakea (T) pada anak berusia 2 tahun bila anak
terbaring datar. B. Dengan meletakkan ganjal pada oksiput, sumbu p dan t menjadi hampir segaris.
C. Dengan mengekstensikan sendi atlanto-oksipital, ketiga sumbu hampir segaris.

39
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
5. Menyiapkan pemasukan laringoskop.
a. Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi.
b. Nyalakan lampu laringoskop
c. Pegang laringoskop dengan ibu jari dan ketiga jari tangan kiri ( normal atau pun
kidal), arahkan daun laringoskop ke sisi berlawanan dengan penolong.
d. Pegang kepala bayi dengan tangan kanan.
6. Memasukkan daun laringoskop
a. masukkan daun laringoskop antara palatum dan lidah
b. ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah secara perlahan ke
pangkallidah sampai vallecula ( lekuk antara pangkal lidah dan epiglotis)
7. Melihat glottis
a. angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh laringoskop ke arah
batang laringoskop menunjuk, lidah akan terjulur sedikit sehingga terlihat faring.
b. Menentukan letak dan posisi daun laringsokop :

Tabel 3. Tanda penunjuk tampilan bring melalui laringoskop apabila terpasang


dengan benar, kurang dalam, dan terlalu dalam
Letak Tanda penunjuk
Benar Glottis tampak di sebelah atas dengan muara di bawah
Kurang Lidah terlihat menutupi daun
Terlalu
dalam dalam Terlihat dinding esofagus
Lebih ke kiri Di belakang faring terlihat sebagian trakea di samping i

Gambar 6. Tampilan liang glottis melalui laringoskop


c. Penekanan di daerah laring akan memperlihatkan glottis, dengan menggunakan jari
ke -4 dan ke-5 tangan kiri . atau dilakukan asisten dengan telunjuk
8. Batasan waku 20 detik
Tindakan dibatasi 20 detik untuk mencegah hipoksia. Sambil menunggu, bayi diberikan
VTP dengan oksigen 100 %.
9. Memasukkan pipa ET
a. Glottis dan pita suara harus terlihat. b. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan,
dimasukkan dari sebelah kanan mulut.
b. Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka.

40
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
c. Jika dalam 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan, sementara lakukan VTP.
d. Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas garis tanda pita suara, ujung
pipa pada pertengahan pita suara dan karina. Hindari mengenai pita suara, dapat
mengakibatkan spasme.
10. Mengeluarkan laringoskop.
a. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada muka bayi, tekan ibir.
b. Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa mengganggu atau menggeser
pipa ET.
c. Cabut stilet dari pipa ET
11. Memastikan letak pipa ET
a. Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan pipa ke balon resusitasi
dan lakukan ventilasi sambil mengamati dada dan perut bayi.
b. Jika letak ET benar akan terlihat:
- dada mengembang perut
- tidak mengembung
c. Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada atas kiri dan
kanan.
Jika letak ET benar :
- udara masuk ke kedua sisi dada
- suara nafas kiri = kanan
12. Letak pipa ET
a. Pipa ET tepat di tengah trakea :
- kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi
- suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada
- tidak terdengar suara di lambung
- perut tidak kembung
b. pipa Et terletak di bronkus
- suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru
- suara nafas terdengar tidak sama keras
- tidak terdengar suara di lambung
- perut tidak kembung
c. pipa ET terletak di esofagus
- tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas
- terdengar suara udara masuk lambung
- perut tampak gembung
Tindakan :
Cabut pipa ET, beri VTP degnan balon dan sungkup, ulangi intubasi pipa ET.

41
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
13. Fiksasi pipaET
Perhatikan tanda cm pada pipa ET setinggi batas bibir atas. Tanda ini digunakan untuk :
- mengetahui apakah pipa ET berubah letaknya
- jarak pipa ET ke bibir menentukan dalamnya pipa
Fiksasi pipa ET ke wajah bayi dengan plester

BEBERAPA KEADAAN YANG MENYEBABKAN PENGEMBANGAN PARU TIDAK


ADEKUAT DENGAN MASKER RESUSITASI DAN PIPA ET
o pipa ET terlalu kecil
o katup pelindung kelebihan tekanan pada balon resusitasi lupa ditutup, hingga udara
tekan keluar melalui katup ini
o kebocoran pada konektor
o volume tidal yang diberikan kurang
o sumbatan pada pipa ET
o pneumothorax

KOMPLIKASI
1. Pipa ET masuk ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan hipoksia.
2. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.
3. Gigi patah.
4. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa.
5. Kerusakan pita suara
6. Perforasi pada faring dan esofagus
7. Muntah dan aspirasi
8. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi
hipertensi, takikardi, dan aritmia.
9. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke bronkus kanan. Untuk
mengatasinya, tank pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan auskultasi
bilateral.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kumpulan Materi pelatihan resusitasi Pediatrik Tahap Lanjut. Unit Kerja Koordinasi
Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak Indonesia.Semarang. 2001
2. Brigade Siaga Bencana (BSB) RS dr. Sardjito. Ed. Materi Pelatihan General emergency
Life Support (GELS). Yogyakarta, 2004.

42
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
TEKNIK PEMASANGAN ETT PADA DEWASA
Nama:
NIM :

NO TEKNIK 1 2 3
1 Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai
prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan
komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita
atau keluarga (informed consent)
2 Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi
dengan baik dan pilih pipa endotrakeal (ET) yang sesuai
ukuran.
3 Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada
penonjolan keluar pada ujung baton
4 Buat lengkungan pada pipa dan stilet
5 Cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara
10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon.
6 Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.
7 Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10
cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika
resiko fraktur cervical dapat disingkirkan)
8 Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan
faring dan berikan semprotan benzokain atau tetrakain jika
pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam.
9 Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker
dengan Fi 02 100 %.
10 Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri
memegang laringoskop.
11 Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri
mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri.
12 Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung
laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah
atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien
13 Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan
kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan
sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.
14 Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi
laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan
pergelangan tangan.
15 Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring
sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara
±1 - 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa
ET ±19 -23 cm.
16 Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan
udara 5-10 ml.

43
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
17 Hubungan pipa ET dengan ambubag dan iakukan ventilasi
sambil melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada
lambung, kemudian pada paru kanan dan kiri sambil
memperhatikan pengembangan dada.
18 Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak
mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan
pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan
hiperventilasi ulang selama 30 detik.
19 Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon
cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.
20 Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong
atau tercabut
21 Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa
ET jika mulai sadar.
22 Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10
sampai 12 liter per menit).
JUMLAH

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna.

Batas lulus 75%, dengan tidak ada critical point yang bernilai = 0

Nilai = (jumlah/44) x 100 = .............

Mengetahui,
Koordinator Instruktur Probandus Mahasiswa Penilai

( Nama Terang) ( Nama Terang ) ( Nama Terang )

44
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
TEKNIK PEMASANGAN ETT PADA BAYI

Nama:
NIM :
NO LANGKAH 1 2 3
Memilih dan menyiapkan pipa ET.
1 Pilih pipa ET sekali pakai (disposable) ukuran disesuaikan
dengan berat badan bayi.
2 Pipa ET dipotong secara diagonal pada angka 13,
sambungkan dengan sambungan yang sesuai.
3 Agar pipa lebih kaku dan mudah dilegkungkan, masukkan
stilet yang ujungnya tidak melebihi panjang pipa ET.
Menyiapkan laringoskop
4 Pasang daun laringoskop pada pegangannya.
5 Hidupkan lampu laringoskop, periksa lampu dan batere
nya*
Menyiapkan perlengkapan lain
6 Persiapkan alat dan kateter penghisap no 10 F.
7 Persiapkan balon dan sungkup , sumber oksigen 100 %,
stetoskop, plester.
8 Memposisikan bayi: Kepala sediit ekstensi / tengadah
Menyiapkan pemasukan laringoskop.
9 Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi.
10 Nyalakan lampu laringoskop
11 Pegang laringoskop dengan ibujari dan ketiga jari tangan
kiri (normal atau pun kidal), arahkan daun laringoskop ke
sisi beriawanan dengan penolong.
12 Pegang kepala bayi dengan tangan kanan.
Memasukkan daun laringoskop
13 Masukkan daun laringoskop antara palatum durum dan
lidah
14 Ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah
secara perlahan ke pangkal lidah sampai vallecula
epiglottica
Melihat glottis
15 Angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh
laringoskop ke arah batang laringoskop menunjuk, lidah
akan terjulur sedikit sehingga terlihat faring.
16 Menentukan letak dan posisi daun laringsokop :
17 Penekanan di daerah laring akan memperiihatkan glottis,
dengan menggunakan jari ke -4 dan ke-5 tangan kiri . atau
dilakukan asisten dengan telunjuk
Batasan waku 20 detik
18 Sambil menunggu, bayi diberikan VTP dengan oksigen 100
%.
Memasukkan pipa ET: Glottis dan pita suara harus terlihat.

45
BUKU PANDUAN KETRAMPILAN MEDIK
SEMESTER 1 KBK-PBL
Skill Lab Fakultas Kedokteran UMS
19 Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, dimasukkan dari
sebelah kanan mulut.
20 Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka.
Jika dalam 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan,
sementara lakukan VTP.
21 Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas
garis tanda pita suara, ujung pipa pada pertengahan pita
suara dan karina.*
Mengeluarkan laringoskop.
22 Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada
muka bayi, tekan bibir.
/
23 Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa
mengganggu atau menggeser pipa ET.
24 Cabut stilet dari pipa ET
Memastikan letak pipa ET
25 Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan
pipa ke balon resusitasi dan lakukan ventilasi sambil
mengamati dada dan perut bayi.
26 Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan
stetoskop di dada atas kiri dan kanan.*
27 Fiksasi pipa ET ke wajah bayi dengan plester
JUMLAH

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna.

Batas lulus 75% , dengan tidak ada critical point yang bernilai = 0

Nilai = (jumlah/54) x 100 = .............

Mengetahui,
Koordinator Instruktur Probandus Mahasiswa Penilai

( Nama Terang) ( Nama Terang ) ( Nama Terang )

46

Anda mungkin juga menyukai