Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa jika

tidak mendapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan adalah cardiac

arrest atau henti jantung. Henti jantung adalah hilangnya fungsi jantung untuk

memompa darah yang terjadi secara mendadak. Angka kejadian henti jantung

berkisar 10 dari 10.000 orang normal yang berusia dibawah 35 tahun dan setiap

tahunnya dapat mencapai 300.000-350.000 kejadian. Hal ini menyebabkan

kurangnya oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh terutama otak dan

jantung itu sendiri. Bila kurang oksigen ke otak, maka sel-sel otak akan mati dan

hilangnya kesadaran dan fungsi otak lainnya. Pada jantung, sel-sel jantung akan

kekurangan oksigen, dan akan mati. Sel-sel yang telah mati tidak dapat

dihidupkan kembali. Bila tidak cepat di tangani, maka dapat berujung pada

kematian (Indonesian Heart Association, 2015).

Perawatan untuk semua pasien pasca henti jantung, dimanapun lokasi

terjadi, akan dipusatkan di rumah sakit, biasanya di ruang unit perawatan

Intensive Care Unit (ICU). Elemen struktur dan proses yang diperlukan sebelum

pemusatan dilakukan sangat berbeda diantara kedua kondisi tersebut. Pasien yang

mengalami OHCA (Out of Hospital Cardiac Arrest ) mengandalkan masyarakat

untuk memberikan dukungan. Penolong tidak terlatih harus mengenali tanda-

tanda henti jantung, meminta bantuan, dan memulai Resusitasi Jantung Paru, serta

memberikan defibrilasi(misalnya Public Access Defibrilation) hingga tim

penyedia layanan medis darurat EMS (Emergency Medical Service) yang terlatih

1
secara profesional mengambil alih tanggung jawab, lalu memindahkan pasien ke

unit gawat darurat dan/atau laboratorium kateterisasi jantung. Pada akhirnya,

pasien dipindahkan ke unit perawatan kritis untuk lebih lanjut. Sebaliknya, pasien

yang mengalami HCA (Hospital Cardiac Arrest) mengandalkan sistem

pengawasan yang sesuai (misalnya, sistem tanggapan cepat atau sistem peringatan

dini) untuk mencegah henti jantung (American Heart Association, 2014). Jika

terjadi henti jantung, pasien segera diberikan Resusitasi Jantung Paru, diberikan

oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah monitor

siap, dilakukan pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat

dilakukan shock dengan defibrilator atau tidak (Medicinesia, 2015). Kematian

akibat henti jantung dapat dicegah dengan segera memberikan tindakan resusitasi

jantung paru.

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu tindakan darurat, sebagai

suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas dan/atau jantung (yang

dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian

biologis (Muttaqin, 2014). Kualitas Resusitasi Jantung Paru (RJP) memberi

pengaruh sangat besar terhadap angka ketahanan hidup, perlu diketahui bahwa

resusitasi jantung paru yang dilakukan mengikuti pedoman hanya mampu

menyediakan sejumlah 10-30% dari aliran darah normal ke jantung dan 30-40%

ke otak (Ferianto, Ahsan, & Rini, 2016). Untuk memberikan resusitasi jantung

paru yang berkualitas, diperlukan adanya pelatihan. Pelatihan tersebut harus

diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Salah satu lapisan masyarakat yang

sering menjumpai kasus henti jantung adalah tenaga kesehatan termasuk perawat.

2
Peran perawat dalam pelayanan kegawatdaruratan memberikan

perawatan yang berkualitas terhadap pasien dengan cara penggunaan sistem yang

efektif serta menyeluruh dan terkoordinasi dalam perawatan pasien gawat darurat,

pencegahan cedera, dan kesiagaan menghadapi bencana. Kemampuan melakukan

tindakan penyelamatan nyawa merupakan kemampuan yang mutlak harus dimiliki

oleh perawat gawat darurat. Tindakan penyelamatan nyawa ini meliputi terapi

cairan pada pasien syok, pemasangan intubasi bersama dokter anestesi,

pemasangan ventilator atau alat bantu nafas, RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan

menggunakan defibrilator (Nurul, 2015). Perawat gawat darurat harus memiliki

keterampilan dan pelatihan dalam kegawatdaruratan diantaranya pemberian

resusitasi seperti pelatihan Basic Life Support (BLS), pelatihan Basic Trauma and

Cardiac Life Support (BTCLS), pelatihan Advanced Cardiac Life Support

(ACLS), pelatihan Emergency Nursing Intermediate Level (ENIL) dan Pelatihan

Advanced Trauma Life Support (ATLS).

Kurangnya keterampilan dan pelatihan yang dimiliki oleh perawat

dalam melakukan resusitasi menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya

harapan kualitas hidup pasien dengan henti jantung. Hal tersebut menuntut

perawat untuk menguasai keterampilan resusitasi jantung paru dan berespon

dengan cepat pada pasien henti jantung baik di dalam maupun di luar rumah sakit.

Sehingga perawat pemberi resusitasi harus mampu memberikan RJP dengan

kualitas terbaik dan sedini mungkin. Resusitasi yang kualitas tinggi dan

kepercayaan diri (self efficacy) sangat penting bagi perawat yang biasanya

3
menjadi responden pertama di dalam klinik gawat darurat rumah sakit (Ferianto,

Ahsan, & Rini, 2016).

Self efficacy adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk

menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Self efficacy juga berarti

meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Mereka yakin bahwa

mempunyai energi (motivasi), sumber daya (faktor situasional) memahami

tindakan yang benar (persepsi peran) dan kompetensi (kemampuan) mengerjakan

tugas (Kreitner, Robert, & Kinicki, 2008). Self efficacy dipengaruhi oleh mastery

experience (pengalaman keberhasilan), vicarious experience (pengalaman orang

lain), verbal persuasion, dan physiological and emotional states (Prestiana &

Purbandini, 2012).

Mastery experience adalah pengalaman-pengalaman sukses yang

pernah dialami oleh seseorang, yang memiliki beberapa indikator yaitu

participant modelling (meniru individu yang berprestasi), performance

desentizization (menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu), performance

exposure (menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih), dan self istructed

performance (melatih diri untuk melakukan yang terbaik). Sedangkan pada verbal

persuasion, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga

dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimilki

yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan dengan beberapa

indikator yaitu sugestion (mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan),

exhortation (nasihat, peringatan yang mendesak), self instruction (memerintah diri

4
sendiri), dan interpretive treatment (interpretasi baru memperbaiki interpretasi

lama yang salah) (Priyoto, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5

juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5

juta kematian di seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit

kardiovaskuler terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai

sedang. Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di

antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%)

disebabkan oleh stroke. (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara

terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5%, dan berdasarkan terdiagnosis

dokter atau gejala sebesar 1,5%. Prevalensi jantung koroner berdasarkan

terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI

Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 % dan untuk provinsi Gorontalo 0,4 %.

Sementara, prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di

Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan

(2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%). prevalensi jantung koroner menurut diagnosis

atau gejala di Provinsi Gorontalo sebesar 1,8% (RISKESDAS, 2013).

Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di

Indonesia sebesar 0,13% dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3%.

Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta

(0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%) sementara untuk

Gorontalo sebesar 0,06%. Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan

5
gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%),

sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5% dan untuk Gorontalo sebesar

0,2% (RISKESDAS, 2013)

Berdasarkan data di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe 3 bulan

terakhir, pasien yang dirawat berjumlah 190 pasien. Pasien yang diberikan

tindakan Resusitasi Jantung Paru berjumlah 149 pasien. Sementara untuk data di

ruang CVCU RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe 3 bulan terakhir, pasien yang dirawat

berjumlah 168 pasien. Pasien yang diberikan tindakan Resusitasi Jantung Paru

berjumlah 96 pasien.

Dari hasil wawancara dengan 10 perawat, 6 perawat mengatakan sering

melakukan resusitasi dan 4 perawat mengatakan jarang melakukan resusitasi

dalam 2 minggu terakhir. 6 Perawat yang sering melakukan resusitasi mengatakan

mendapatkan kepercayaan diri dalam melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru

(RJP) berdasarkan pengalaman keberhasilan sebelumnya dalam melakukan

tindakan tersebut dan pernah mengikuti pelatihan Basic Trauma and Cardiac Life

Support (BTCLS). Disamping pengalaman dan pernah mengikuti pelatihan,

perawat mendapatkan kepercayaan diri dari arahan, bimbingan dan nasihat dari

atasan maupun teman sejawat. Sementara untuk 4 perawat yang jarang melakukan

resusitasi mengatakan setiap kali waktu dinas jarang menemukan pasien yang

terjadi henti jantung.

Dari uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

tentang “hubungan mastery experience dan verbal persuasion dengan self efficacy

6
perawat dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru pada pasien henti jantung di

ruang ICU dan CVCU RSUD Prof. Dr.H. Aloei Saboe”.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5

juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31%

dari 56,5 juta kematian di seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat

penyakit kardiovaskuler terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan

rendah sampai sedang. Dari seluruh kematian akibat penyakit

kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit

Jantung Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke.

2. Prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis

dokter di Indonesia sebesar 0,5%, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau

gejala sebesar 1,5%. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis

dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI

Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 % dan untuk provinsi Gorontalo 0,4 %.

Sementara, prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala

tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%),

Sulawesi Selatan (2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%). Prevalensi jantung

koroner menurut diagnosis atau gejala di Provinsi Gorontalo sebesar 1,8%.

3. Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di

Indonesia sebesar 0,13% dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar

0,3%. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi

DI Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah

7
(0,18%) sementara untuk Gorontalo sebesar 0,06%. Prevalensi gagal

jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa Tenggara

Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi

Selatan dan Papua sebesar 0,5% dan untuk Gorontalo sebesar 0,2%

(RISKESDAS, 2013)

4. Berdasarkan data di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe 3 bulan

terakhir, pasien yang dirawat berjumlah 190 pasien. Pasien yang diberikan

tindakan Resusitasi Jantung Paru berjumlah 149 pasien.

5. Berdasarkan data di ruang CVCU RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe 3 bulan

terakhir, pasien yang dirawat berjumlah 168 pasien. Pasien yang diberikan

tindakan Resusitasi Jantung Paru berjumlah 96 pasien.

6. Dari hasil wawancara dengan 10 perawat, 6 perawat mengatakan sering

melakukan resusitasi dan 4 perawat mengatakan jarang melakukan

resusitasi dalam 2 minggu terakhir. 6 Perawat yang sering melakukan

resusitasi mengatakan mendapatkan kepercayaan diri dalam melakukan

tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) berdasarkan pengalaman

keberhasilan sebelumnya dalam melakukan tindakan tersebut dan pernah

mengikuti pelatihan Basic Trauma and Cardiac Life Support (BTCLS).

Disamping pengalaman dan pernah mengikuti pelatihan, perawat

mendapatkan kepercayaan diri dari arahan, bimbingan dan nasihat dari

atasan maupun teman sejawat. Sementara untuk 4 perawat yang jarang

melakukan resusitasi mengatakan setiap kali waktu dinas jarang

menemukan pasien yang terjadi henti jantung.

8
1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah

yakni “Apakah ada hubungan mastery experience dan verbal persuasion dengan

self efficacy perawat dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru pada pasien

henti jantung di ruang ICU dan CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe?”.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan mastery experience dan verbal persuasion

dengan self efficacy perawat dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru pada

pasien henti jantung di ruang ICU dan CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi mastery experience perawat dalam melaksanakan

Resusitasi Jantung Paru pada pasien henti jantung di ruang ICU dan

CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

2. Mengidentifikasi verbal persuasion perawat dalam melaksanakan

Resusitasi Jantung Paru pada pasien henti jantung di ruang ICU dan

CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

3. Mengidentifikasi self efficacy perawat dalam melaksanakan Resusitasi

Jantung Paru pada pasien henti jantung di ruang ICU dan CVCU RSUD

Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

4. Menganalisis hubungan mastery experience dengan self efficacy perawat

dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru pada pasien henti jantung di

ruang ICU dan CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

9
5. Menganalisis hubungan verbal persuasion dengan self efficacy perawat

dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru pada pasien henti jantung di

ruang ICU dan CVCU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

khususnya tambahan ilmu bagi dunia kesehatan tentang pentingnya mastery

experience dan verbal persuasion dengan self efficacy perawat dalam

melaksanakan Resusitasi Jantung Paru.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

khususnya dalam bidang resusitasi jantung paru dengan self efficacy

perawat

2. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan informasi dan bahan

pertimbangan kepada pihak rumah sakit guna merencanakan dan

menyelenggarakan suatu pelatihan yang tepat bagi perawat di jajarannya,

yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan

meningkatkan penanganan pada pasien gawat darurat pada khususnya

10
3. Bagi Peneliti

Menambah pengalaman dan wawasan peneliti tentang pentingnya mastery

experience dan verbal persuasion dalam meningkatkan self efficacy

perawat dalam melaksanakan Resusitasi Jantung Paru.

11

Anda mungkin juga menyukai