Anda di halaman 1dari 131

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam sistem sirkulasi, jantung berfungsi untuk memompa darah dan
kerjanya sangat berhubungan erat dengan sistem pernafasan. Pada umumnya,
semakin cepat kerja jantung berlaku, semakin cepat pula frekuensi pernafasan
dan sebaliknya. Terdapat banyak sebab jantung dapat berhenti bekerja
antaranya penyakit jantung, gangguan pernafasan, syok, penurunan
kesadaran, dan komplikasi penyakit lain,seperti stroke. (Ganthikumar,2016)
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak menetap kalau tindakan
tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut,penyakit kronis
tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest.
(Ganthikumar,2016). World Health Organization (WHO) pada tahun 2004
melakukan survey yang menyimpulkan bahwa, diperkirakan 17,1 juta orang
meninggal (29% dari jumlah kematian total) karena penyakit jantung dan
pembuluh darah. Dari kematian 17,1 jutaorang tersebut, diperkirakan 7,2 juta
kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Kasus penyakit jantung
koroner meningkat pada negara maju dan Negara berkembang dan
diperkirakan pada tahun 2020 kasus penyakit jantung koroner sudah
mencapai 82 juta kasus. Lebih dari 60% beban kasus penyakit jantung
koroner secara global terjadi di negara berkembang (Mackay, 2004:13)

Kejadian henti jantung di dunia cukup meningkat. Seseorang yang sedang


dirawat dirumah sakit khususnya pada ruang gawat darurat mempunyai risiko
terjadinya henti jantung. 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit dibeberapa
negara berkembang diperkirakan mengalami henti jantung dan kurang dari
20% dari jumlah pasien tersebut tidak mampu bertahan hingga keluar dari
rumah sakit (Goldbelger, 2012). Amerika Serikat dan Kanada mengalami
henti jantung setiap tahunnya mencapai 350.000 yang mana setengahnya
meninggal dirumah sakit. Suatu penelitian menerangkan bahwa 81% henti
jantung disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Orang yang memiliki
penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk terjadinya henti jantung
(Vanden, 2010).

Menolong orang dengan henti jantung mendadak, perlu adanya “rantai


keselamatan” (chain of survival) yang meliputi pengenalan tanda-tanda henti
jantung dan memanggil bantuan; pemberian resusitasi jantung paru (RJP);
pemberian kejut jantung (defibrilasi) apabila tersedia; serta pemberian
pertolongan lanjutan di fasilitasi kesehatan (dengan obat dan peralatan
lanjutan). (IKAPI,2013)
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Tindakan RJP ini tidak
hanya berlaku dalam ruangan operasi, tapi dapat juga diluar jika terdapat
suatu kejadian dimana ada seorang pasien atau korban, dalam usaha
mempertahankan hidupnya dalam keadaan mengancam jiwa. Hal ini dikenal
dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau Basic Life Support (BLS).
Sedangkan bantuan yang dilakukan dirumah sakit sebagai lanjutan dari BHD
disebut Bantuan Hidup Lanjut atau Advance Cardiac Life Support (ACLS).
(Ganthikumar,2016)

Angka kejadian kasus yang memerlukan resusitasi jantung paru (RJP)


sebagian besar adalah akibat henti jantung mendadak (cardiac arrest).
Jantung merupakan organ vital, gangguan atau menghilangnya fungsi dari
salah satu organ ini dapat berakibat kematian. Proses kematian pada cardiac
arrest berlangsung dengan mulai berhentinya jantung, dan diikuti dengan
hilangnya fungsi sirkulasi berakibat pada kematian jaringan. (IKAPI,2013)

Resusitasi harus dimulai sedini mungkin. Semakin dini RJP, semakin besar
pula kemungkinan bertahan hidup korban. Setiap menit penundaan RJP akan
mengurangi angka keselamatan hingga 1-10%. Kematian klinis terjadi ketika
korban berhenti bernafas dan jantung berhenti berdetak. Setelah 30 menit
dilakukan RJP. Jika pupil tetap lebar atau melebar, berarti telah terjadi
kerusakan otak. Sel otak tidak dapat bertahan kurang dari 4 menit tanpa
oksigen. Setelah 6-10 menit, kematian biologis terjadi dan sel otak mulai
mati. (IKAPI,2013)
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif),
antara lain: bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit
(oleh karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi pada saat ini),
pada keganasan stadium lanjut, payah jantung refrakter, edema paru-paru
refrakter, syok yang mendahului arrest, kelainan neurologic yang berat, serta
pada penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut. (Alkatiri dkk, 2007)

Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention(CDC) di United


States selama periode 1 Oktober 2005–31 December 2010 didapatkan sekitar
31,689 kasus cardiac arrest , sejumlah 33, 3% memperoleh bantuan CPR dan
hanya 3,7% yang mendapatkan bantuan automated external defibrillator
(AED) sebelum personel EMS dating (Bryan, 2011). Di Jepang angka
keberhasilan RJP mencapai 50-74 persen. Resusitasi elektif yang dilakukan
pada tahun 1940an dan awal 1950 seperti perawatan pernafasan intensif
meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis bulbar dari 15% menjadi
lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20 pasien (70%) yang
ditangani dengan pemijatan jantung paru tertutup dapat bertahan hidup.
Keuntungan terbesar dari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih
dari 20%, telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi,
overdosis obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer.
Pada tahun 1995 tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17% (Sampurna,
2009).
Tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak untuk peningkatan derajat
kesehatan seharusnya lebih meningkatkan pengetahuan untuk menunjang
perilaku dalam melakukan pelayanan kesehatan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang yaitu tingkat pengetahuan. Pengetahuan
adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (melihat dan mendengar). Pengetahuan juga sangat
erat dengan pendidikan, sebab pengetahuan didapat baik melalui pendidikan
formal maupun informal (Notoatmodjo, 2010). Memahami diartikan sebagai
suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari (Notoatmodjo, 2010).Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru
tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Untuk
memfasilitasi peningkatan pengetahuan dan kompetensi tenaga kesehatan
dalam menangani pasien gawat darurat, menyelenggarakan Pelatihan Basic
Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) bagi Perawat (Alihsan, 2010).

Perawat adalah seorang profesional yang mempunyai kemampuan, tanggung


jawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan pada
berbagai jenjang pelayanan keperawatan. Pemenuhan kebutuhan kepuasan
pasien selama di rumah sakitdiperlukan tenaga kesehatan yang harus
mempunyai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) yang tinggi serta
mempunyai sikap profesional (attitude) dan dapat menunjang pembangunan
kesehatan. Pelayanan yang diberikan akan berkualitas dan dapat memberikan
kepuasan pada pasien sebagai penerima pelayanan (Hamid, 2007).

Karakteristik dari perawat terdiri dari kemampuan dan keterampilan fisik dan
mental dari individu sebagai perawat. Karakteristik ini dipengaruhi juga oleh
latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, usia, jenis kelamin, dan
etnis. Perawat sebagai pekerja memiliki karakteristik individu yang
berpengaruh terhadap hasil manajemen. Karakteristik ini dapat memberikan
hasil manajemen baik dan tidak baik. Demikian pula dengan tingkat
pengetahuan perawat sebagai pekerja, dapat mempengaruhi keterampilan
dalam melaksanakan apa yang sudah direncanakan oleh manajemen (Widya,
2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and
Prevention dari 2005-2010 didapatkan usia rata-rata penderita cardiac arrest
adalah 64 tahun (Standar deviasi 18,2), 61% (19.360) penderita OHCA adalah
laki-laki, 21,6% pasien meninggal setelah mendapat resusitasi, 26,3%
berhasil dilarikan ke rumah sakit dan hanya 9,6% berhasil bertahan sampai
keluar dari rumah sakit. Sejumlah 36,7% penderita OHCA diketahui oleh
seorang bystander. Hanya 33,3% dari pasien tersebut yang mendapatkan CPR
dari bystander, 3,7% nya juga mendapatkan penanganan defibrilator (AED)
(Gathikumar, 2016)
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang
dilakukan oleh Balitbangkes pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
nasional penyakit jantung koroner sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi untuk
kejadian henti jantung mendadak belum didapatkan. Namun hasil Riset
Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan data bahwa kematian yang disebabkan
oleh penyakit jantung mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3
tahun. Negara Indonesia tidak ada data statistik yang pasti mengenai jumlah
kejadian henti jantung di rumah sakit setiap tahunnya (Suharsono & Ningsih,
2012)

Data yang peneliti dapatkan di RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi


jumlah kunjungan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) tahun 2015
sebanyak 15709 orang. Dari 15709 didapatkan 3808 orang pasien menderita
Congestive Heart Failure (CHF) yang dilakukan resusitasi jantung paru
sebanyak 173 orang. 33 diantaranya berhasil diselamatkan. Tahun 2016
Jumlah kunjungan di IGD sebanyak 17417 didapatkan 4112 orang pasien
menderita CHF yang dilakukan resusitasi jantung paru sebanyak 192
orang,
45 diantaranya berhasil diselamatkan. Penyakit CHF menempati urutan
pertama dari 10 penyakit terbanyak sebanyak 261 yang dirawat di ICU tahun
2015 ,114 orang diantaranya dilakukan resusitasi jantung paru dan 18
diantaranya berhasil dilakukan resusitasi jantung paru. Tahun 2016 penyakit
CHF masih menempati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak sebanyak
342 ,213 orang diantaranya dilakukan resusitasi jantung paru dan 23
diantaranya berhasil dilakukan resusitasi jantung paru. Jumlah total pasien
menderita CHF di IGD dan ICU tahun 2015 adalah 4069 dilakukan RJP 287
diantaranya 51 berhasil dilakukan RJP dan mengalami peningkatan pada
tahun 2016 sebanyak 4454, dilakukan RJP 405 diantanya 68.

Jumlah perawat yang ada 17 orang dimana terdapat 9 orang perawat laki –
laki dan 8 orang perawat perempuan dengan masa kerja 2 orang < 3 tahun, 15
orang > 3 tahun. Adapun tingkat pendidikan perawat di IGD adalah 1 orang
pendidikan S2, 5 orang dengan pendidikan S1, dan 11 orang dengan
pendidikan DIII. Sedangkan diruang ICU ada 16 orang perawat dimana
terdapat 3 orang perawat laki – laki dan 13 orang perempuan dengan masa
kerja 4 orang < 3 tahun, 12 orang > 3 tahun. Adapun tingkat pendidikan
perawat di ICU adalah 6 orang dengan pendidikan S1, dan 10 orang dengan
pendidikan DIII. Usia perawat di IGD dan ICU berkisar antara 24 – 45 tahun
dengan status pekerjaan 19 orang pegawai tetap dan 11 orang pegawai
kontrak dengan jumlah perawat IGD dan ICU 33 orang. Pelatihan yang sudah
didapatkan perawat IGD dan ICU adalah pelatihan BTCLS, namun belum
semua perawat yang mengikuti pelatihan tersebut karena ada 4 orang yang
masih melanjutkan kuliah.

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilaksanakan peneliti pada bulan
April didapatkan hasil observasi di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang
Intensive Care Unit (ICU) di RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dari 10
orang perawat yang dinas pagi 4 orang dintaranya saat pasien yang
membutuhlan pertolongan pertama resusitasi jantung paru perawat , perawat
dengan masa kerja 5 – 15 tahun lebih cekatan, memanggil dan memberikan
respon nyeri untuk membangunkan pasien. setelah tidak ada respon dari
pasien, perawat langsung melakukan pengecekan nadi karotis setelah tidak
ada denyut jantung, perawat langsung memberikan bantuan sirkulasi dengan
cara resusitasi jantung paru (RJP) sebelum dilakukan RJP perawat
menentukan terlebih dahulu posisinya.

Saat melakukan RJP posisi tangan dipertahankan lurus, berbeda dengan


perawat dengan masa kerja 2 – 5 tahun yang langsung melakukan pengecekan
nadi karotis setelah tidak ada denyut jantung, perawat langsung memberikan
bantuan sirkulasi dengan cara resusitasi jantung paru (RJP) sebelum
dilakukan RJP perawat menentukan terlebih dahulu posisinya, saat
melakukan RJP posisi tangan tidak dipertahankan lurus. Dan hasil wawancara
yang yang peneliti lakukan di ruangan IGD dan ICU terhadap 4 orang
perawat berpendidikan DIII Keperawatan dengan usia 22-25 tahun, dengan
masa kerja <3 tahun didapatkan bahwa pada penalataksanaan pasien yang
membutuhlan pertolongan pertama resusitasi jantung paru perawat melakukan
pengecekan nadi karotis setelah tidak ada denyut jantung, perawat langsung
memberikan bantuan sirkulasi dengan cara resusitasi jantung paru (RJP)
sebelum dilakukan RJP perawat menentukan terlebih dahulu posisinya, saat
melakukan RJP posisi tangan dipertahankan lurus. Hal ini disebabkan karena
usia yang masih muda, tingkat pendidikan yang rendah dan masa kerja <3
tahun, dimana usia semakin meningkat dan meningkat pula kebijaksanaan
kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan, berfikir rasional,
kinerja akan meningkat dan kepuasan kerja akan tercapai. Tingkat pendidikan
menurut Gibson (2000) mengatakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi
pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu dan bersedia menerima
posisi dan tanggung jawabnya. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja dan
kepuasan kerja.

Dari uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan
Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Ruangan IGD Dan
ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017”.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, telah diketahui Hubungan Karakterisitik


Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di
Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini telah dilakukan untuk mengetahui Hubungan Karakterisitik


Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di
Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2017
.
1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahui Usia Perawat Di Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.2 Diketahui Tingkat Pendidikan Perawat Di Ruangan IGD Dan ICU RSUD
Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.3 Diketahui Masa Kerja Di Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.4 Diketahui Jenis Kelamin Perawat Di Ruangan IGD Dan ICU RSUD
Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.5 Diketahui Pemahaman Penerapan RJP Perawat Di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.

1.3.2.6 Diketahui Hubungan Usia Perawat dengan Pemahaman Penerapan


Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.7 Diketahui Hubungan Tingkat Pendidikan Perawat dengan Pemahaman
Penerapan Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD Dan
ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.8 Diketahui Hubungan Masa Kerja Perawat dengan Pemahaman Penerapan
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.3.2.8 Diketahui Hubungan Usia Perawat dengan Pemahaman Penerapan
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Mengembangkan ilmu pengetahuan, meningkatkan pemahaman dalam


bidang riset keperawatan dan menambah wawasan peneliti dalam
menyusun skripsi penelitian serta pemahaman tentang konsep resusitasi
jantung paru (RJP).
1.4.2 Bagi Peneliti Lain

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi bagi


peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama dan
variabel yang berbeda.

1.4.3 Bagi Perawat

Di harapkan perawat dapat meningkatkan kemampuan pemahaman tentang


penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sehingga dapat meningkatkan
kemampuan skill dengan pemahaman yang sudah baik.
1.4.4 Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan hususnya


dalam penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sehingga dapat
mengurangi angka kematian pasien dengan henti nafas dan henti jantung.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti membahas tentang “Hubungan Karakteristik


Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di
Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2017”. Variable dalam penelitian ini adalah karakteristik perawat yakni
usia, tingkat pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan pemahaman
penerapan resusitasi jantung paru (RJP). Populasi dalam penelitian ini
adalah semua perawat yang dinas diruang IGD dan ICU RSUD dr.Achmad
Mochtar Bukittinggi yang berjumlah 33 orang dan teknik pengambilan
sampel secara Total Sampel. Penelitian ini merupakan studi korelas dengan
menggunakan pendekatan cross sectional dan pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan aplikasi SPSS. Penelitian ini dilakukan tanggal 5
Juni sampai 9 Juni 2017.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resusitasi Jantung Paru (RJP)

2.1.1 Pengertian

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi uang bertujuan


untuk mengembalikan dan mempertahakan fungsi vital organ pada korban
henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi
dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014). Caldiopulmonary Resuscitation
(CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) diberikan ketika tidak ada tanda –
tanda kehidupan, tidak bernafas, tidak berespons, dan tidak bergerak
(Aryono, 2011).
Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi.. Dalam empat sampai lima menit
tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati dan tidak
berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016)

Resusitasi jantung paru adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang


ditujukan untuk serangan jantung dan pada henti nafas (Aryono, 2011).
Menurut Krisanty (2009) bantuan hidup dasar adalah memberikan bantuan
eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi pada pasien henti jantung atau
henti nafas melalui RJP/ CPR. RJP merupakan salah satu yang mendasari
bantuan hidup dasar dan dapat bervariasi dalam pendekatan optimal
terhadap RJP, tergantung pada penolong, korban dan sumber daya yang
bersedia. Tetapi hal-hal yang mendasar tidak mengalami perubahan, yaitu
bagaimana melakukan RJP segera dan efektif. Mengingat hal ini terus
menjadi prioritas. (Ambulans gawat darurat 118, 2010)

Pada tahun 2015 America Heart Association (AHA) membuat perubahan


dalam melakukan resusitasi jantung paru (RJP) dan memberikan
rekomendasi ini memungkinkan flesibilitas untuk pengaktifan sistem
penanggulangan penderita gawat darurat terpadu (SPGDT) untuk lebih
menyesuaikan dengan kondisi klinis penyedia pelayanan kesehatan.
Penolong terlatih didorong untuk menjalankan tahapan – tahapan tindakan
secara bersamaan (misal: memeriksa pernafasan dan denyut nadi secara
bersamaan) dalam upaya mengurangi waktu untuk kompresi dada pertama.

2.1.2 Indikasi RJP

a. Henti nafas

Henti nafas dapat disebabkan karena tenggelam, stroke, obstruksi jalan


nafas oleh benda asing, inhalasi asap, kelebihan dosis, obat, terkena
aliran listrik, trauma, suffocation, Miocard Cardiac Infark (MCI) , koma.
b. Henti jantung

Henti jantung dapat mengakibatkan : fibrilasi ventrikel, takhikardi


ventrikel, asistol. (Krisanty, 2009)
2.1.3 Tujuan utama RJP

Tindakan resusitasi jantung paru (RJP) memiliki berbagai macam tujuan


(Krisanty, 2009), yaitu:
a. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ-organ
vital (otak, jantung dan paru).
b. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

c. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari


korban yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui
resusitasi jantung paru (RJP).

2.1.4 Tahap pemberian resusitasi jantung paru (RJP) (AHA 2015)

1. Safety

Keamanan merupakan hal yang harus diingat setiap penolong karena


merupakan hal yang utama dalam melaksanakan rumus penanganan
prehospital, yaitu “do not further harm” (jangan membuat cidera lebih
lanjut ). Urutan perioritas keamanan saat memasuki daerah tugas :
a. Keamanan diri sendiri

Keamanan diri sendiri lebih diutamakan karena apabila anda cidera


maka perhatian teman anda (sesama penolong) akan beralih kepada
anda dan penderita menjadi tidak diperhatikan (yang semula
menjadi fokus utama). Rumus “do not further harm” berlaku juga
pada diri anda. Tentu kita semua tidak menginginkan adanya korban
baru. Untuk menjaga keamanan diri anda dari penyakit menular,
penolong idealnya melakukan PPD (persiapan pengamanan diri),
yaitu dengan memakai alat-alat proteksi diri (mis.,sarung tangan,
kaca mata, masker, dan lain-lain.)
b. Keamanan lingkungan

Lingkungan sekitar korban yang belum terkena cedera.

c. Keamanan korban

Apapun yang dilakukan pada korban, ingatlah untuk “do not further
harm” .

2. Response

a. Respons panggil (shout)

Mulailah dengan berbicara kepada penderita, katakana nama dan


jabatan anda. Apabila korban tampak pingsan, anda dapat
memanggil “pak, pak, bagaimana keadaan bapak?”. Respons
panggil ini dapat dilakukan bersamaan dengan respons sentuh.
b. Respons sentuh/goyang (shake)

Lakukan dengan menepuk-nepuk tangannya, pipinya (jika keadaan


mengizinkan) atau menggoyang-goyangkan pundaknya.
Gambar 2.1 Respons sentuh/goyang (shake) (Charles, 2010)
3. Pengaktifan SPGDT

Jika anda sendiri tanpa telepon selular, tinggalkan korban untuk


mengaktifkan SPGDT dan mengambil Automated External Defiblator
(AED) sebelum memulai RJP atau meminta bantuan orang lain untuk
melakukan dan memulai RJP secepatnya, gunakan AED segera setelah
tersedia.

Gambar 2.2 Panggil Bantuan (Charles, 2010)

4. Memperbaiki posisi korban dan posisi penolong

1) Posisi korban

a) Supin, permukaan datar dan lurus

b) Memperbaiki posisi korban dengan log rool / in line bila dicurigai


cidera spinal.
c) Jika pasien tidak terlentang, misalnya operasi tulang belakang
lakukan RJP dengan posisi tengkurap.

2) Posisi penolong
Posisi penolong harus diatur senyaman mungkin dan memudahkan
untuk melakukan pertolongan yakni disamping atau diatas kepala
korban.

5. Circulation

Periksa apakah nafas pasien berhenti atau tersengal (misalnya: nafas


tidak normal) tidak ada denyut nadi yang teraba dalam 10 detik
(pemeriksaan nafas dan denyut nadi dapat dilakukan secara bersamaan
kurang dari 10 detik). Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban
cukup dengan melihat langsung pergerakan dada atau tidak. Sulitnya
menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan alasan dasar dalam
hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat disalah artikan
sebagai nafas uyang adekuat oleh professional maupun bukan.
Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering kali
terdapat nafas terengah yang disalah artikan sebagai pernafasan yang
adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look,
listen and feel” dan direkomendasikan untuk menganggap pernafasan
terengah sebagai tidak ada pernafasan.
a. Bernafas normal, ada denyut

b. Bernafas tidak normal, ada denyut

Berikan nafas buatan: 1 nafas buatan setiap 5 – 6 detik atau sekitar


10 – 12 nafas buatan permenit
Gambar 2.3 Pemeriksaan Nadi Karotis (Charles,
2010)

Aktifkan sistem tanggapan darurat (jika belum dilakukan) setelah 2


menit

Terus berikan nafas buatan, periksa denyut kurang lebih setiap 2


menit. Jika tidak ada denyut, mulai RJP (lanjutkan dengan kontak
RJP). Berikan bantuan sirkulasi atau yang disebut kompresi jantung
luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang
iga kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada
(sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih
2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk
meletakkan tangan penolong dalam memberikan bantuan
sirkulasi.
 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk
satu telapak tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari –
jari tangan menyentuh dinding dada korban / korban, jari – jari
tangan dapat diluruskan atau menyilang.
 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding
dada korban dengan tengah dari badannya secara teratur
sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan minimum 2 inci
(5 cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhan dan dada
dibiarkan mengembang kembali keposisi semula setiap kali
melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan
untujk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat
melakukan kompresi (50% duty cycle).
 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada atau merubah
posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian nafas adalah 30:2,
dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban / korban tidak
terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 – 120 x / menit.
Berikan 1 nafas buatan setiap 6 detik (10 nafas buatan/menit).
Rasio kompresi – bantuan nafas tanpa airway definitive :
Lakukan kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Rasio kompresi –
bantuan nafas dengan airway definitive : Kompresi
berkelanjutan pada kecepatan 100 – 120/menit. Berikan 1 nafas
buatan setiap 6 detik (10 nafas buatan/menit). Untuk bayi harus
2 jari diatas sternum, dan menekan dengan kedalaman 1 ½ inci
atau 4 cm, dengan rasio kompresi dan ventilasi 30 : 2 untuk 1
penolong dan 15 : 2 untuk 2 penolong.

 Lakukan recoil penuh dada setelah setiap kali kompresi,


jangan bertumpu diatas dada setiap kali kompresi
 Batasi gangguan dalam kompresi dada menjadi kurang dari
10 detik.
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai
tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan diastolic yang sangat
rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25%
dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menentukan
korban dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya.
Tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh
melebihi 30 detik. (Sudiharjo, 2013)

Gambar 2.4 Posisi Tangan Kompresi Dada (Charles, 2010)


Gambar 2.5 melakukan penekanan dada (Charles, 2010)

Indikasi Dihentikannya Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Rjp dihentikan apabila :
a. Sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik,

b. Pelayanan dilanjutkan oleh tenaga medis ditempat rujukan atau


ditingkat pelayanan yang lebih tingginseperti ICU,
c. Ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah terjadi kematian
yang irreversible, (seperti pupil mata dilatasi maksimal, refleks
cahaya negatif, rigormotis atau kayu mayat, dekapitasi,
dekomposisi atau pucat) atau tidak ada manfaat fisiologis yang
dapat diharapkan karena fungsi vital telah menurun walau telah
diberi terapi maksimal,
d. Penolong sudah tidak bisa meneruskan tindakan karena lelah
atau ada keadaan lingkungan yang membahayakan atau
meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan orang lain
cidera,
e. Pasien berada pada stadium terminal suatu penyakit atau
keterangan DNAR (do not attempt resuscitation) diperlihatkan
kepeda penolong. (Hadisman, 2014)

6. Airway control

Pada orang yang tidak sadar, tindakan pembukaan jalan nafas harus
dilakukan. Satu hal penting untuk diingat adalah, bahwa hanya dengan
melikat pergerakan pipi pasien tidaklah menjamin bahwa pasien
tersebut benar – benar bernafas (pertukaran gas), tetapi secara
sederhana pasien itu sedang berusaha untuk bernafas, pengkajian pada
airway juga harus melihat tanda – tanda adanya sumbatan benda asing
dalam mulut yakni dengan menggunakan teknik cross finger , jika
terdapat benda asing dalam mulut yakni dengan menggunakan teknik
cross finger, jika terdapat benda asing dalam mulut maka harus
dikeluarkan dengan usapan jari atau dikenal dengan teknik finger swab.
Teknik yang digunakan dalam membuka jalan nafas yakni dengan chin
lift – head tilt dan jika dicurigai terdapat trauma servikal dapat
menggunakan teknik jaw thrust.

Cara melakukan teknik chin lift – head tilt :

1) Teknik chin lift – head tilt :

a) Posisikan pasien dalam keadaan terlentang, letakkan satu tangan


didahi dan letakkan ujung jari tangan yang lain dibawah daerah
tulang pada bagian tengah ranhang bawah pasien (dagu)
b) Tengadahkan kepala dengan menekan perlahan dahi pasien

c) Gunakan ujung jari anda untuk mengangkat dagu dan


menyokong rahang bagian bawah. Jangan menekan jaringan
lunak dibawah rahang karena dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas
d) Usahakan mulut tidak menutup. Untuk mendapatkan
pembukaan mulut yang adekut, anda dapat menggunakan ibu
jari untuk menahan dagu supaya bibir bawah pasien tertarik
kebelakang

Gambar 2.6 Chin Lift – Head Tilt (Charles, 2010)

2) Teknik Jaw Thrust

a) Pertahankan dengan hati – hati agar posisi kepala, leher dan


spinal pasien tetap satu garis
b) Ambil posisi diatas kepala pasien, letakkan lengan sejajar
dengan permukaan pasien berbaring
c) Pertahankan letakkan tangan pada masing – masing sisi rahang
bawah pasien, pada sudut rahang dibawah telinga
d) Stabilkan kepala pasien dengan lengan anda

e) Dengan menggunakan jari telunjuk, dorong sudut rahang bawah


pasien kearah atas dan depan
f) Anda mungkin membutuhkan mendorong kedepan bibir bagian
bawah pasien dengan menggunakan ibu jari untuk
mempertakankan mulut tetap terbuka
g) Jangan mendingakkan atau memutar kepala pasien

Gambar 2.7 Jaw Thrust (Charles, 2010)

7. Breathing Support

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang
baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat selama 5 detik,
paling lama 10 detik.
1) Bantuan nafas dilakukan dengan cara :
a) Mulut ke mulut

Penolong memberikan bantuan nafas ke mulut korban dengan


menutup hidung dan meniup udara langsung kemulut, namun
hal ini sangat beresiko untuk melakukan apalagi pasien yang
tidak dikenal memngingat penyakit menular.

Gambar 2.8 Menutup Hidung Korban Sedangkan Posisi Kepala


Tetap Ekstensi (Charles, 2010)

b) mulut ke hidung

Gambar 2.9 pemberian nafas dari mulut ke mulut (Charles,


2010)
c) Ventilasi mulut ke mask

Gambar 2.10 Mountho-Mask Ventilation (Charles, 2010)

d) Ventilasi mulut ke bagvalvemask

Gambar 2.11 Mulut ke Bagvalvemask (Charles, 2010)

8. Defibrilasi dengan AED (Automatic External Defibrilation)

AED adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energy


listrik. Hal ini dilakukan jika oenyebab henti jantung (cardiac arrest)
adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan fibrasi ventrikel
tubuh. Perawat seharusnya dilatih menggunakan defiblirasi AED,
karena ventrikel fibrilasi (VF) umumnya merupakan irama awal yang
dapat ditanggulangi pada henti jantung. Untuk korban dengan VF
kelangsungan hidup tinggi ketika RJP segera dilakukan dengan
defibrilasi dilakukan dalan 3 sampai 5 menit setelah tidak sadar.
Kompresi dada dapat mengembalikan aliran darah ke mikrovaskuler
dalam 1 menit.

9. Evaluasi dan posisi pemulihan (recorvery position)

Setelah pemberian 5 siklus kompresi dada dan ventilasi (2 menit)


penolong kemudian melakukan evaluasi dengan ketentuan; jika tidak
ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan RJP. Jika ada nadi dan
nafas belum ada, korban / pasien diberikan bantuan nafas 1 nafas buatan
setisp 5 – 6 detik atau sekitar 10 – 12 x / menit. Jika ada nafas dan ada
nadi tetapi pasien belum sadar, letakkan pasien atau korban pada posisi
pemulihan. Posisi ini dirancang untuk menjaga jalan nafas paten dan
mengurangi resiko obstruksi jalan nafas dan aspirasi.

Langkah – langkah pemberian posisi pemulihan, sebagai berikut :

1) Lengan yang dekat penolong diluruskan kearah kepala

2) Lengan yang satunya menyilang dada, kemudian tekankan tangan


tersebut kepipi korban
3) Tangan penolong yang lain aih tungkai diatas lutut dan angkat

4) Tarik tungkai hingga tubuh pasien terguling kearah penolong.

Baringkan miring dengan tungkai atas membentuk sudut dan


menahan tubuh dengan stabil agai tidak menelungkup
5) Periksa pernafasan terus - menerus
Gambar 2.12 Posisi Pemulihan (Recovery Position) (Charles, 2010)
Amankan lokasi kejadian

Korban tidak menunjukkan reaksi. Berikan nafas buatan: 1


Teriaklah untuk mendaptkan pertolongan nafas buatan setiap 5 – 6
terdekat. detik atau sekitar 10 – 12
Aktifkan SPGDT melalui perangkat nafas buatan permenit
bergerak (jika tersedia). Ambilah AED 1. Aktifkan sistem
dan perawatan gawat darurat (atau minta tanggapan darurat
seseorang untuk melakukannya) (jika belum
dilakukan) setelah 2
menit
2. Terus berikan nafas
Perhatikan apakah nafas berhenti buatan, periksa
denyut
atau tersengal dan periksa kurang lebih setiap 2
Bernafas denyut nadi (secara Bernafas menit. Jika tidak ada
normal, Ada bersamaan). Apakah denyut tidak denyut, mulai RJP
medis terlatih tiba
Pantau hingga tenaga denyut nadi benar – benar teraba (lanjutkan dengan
dalam 10 detik ? norm kontak RJP).
al, Ada 3. Jika kemungkinan
denyut terjadi overdosis
RJP opoi, berikan
nalokson sesuai
protocol, jika
Mulai siklus 30 kompresi dan 2 berlaku
nafas buatan. Gunakan AED .
segera setelah tersedia

AED tersedia
Periksa irama denyut jantung,
irama dapat dikejut ?

Ya, irama
dapat
dikejut Berikan 1 kejut. Segera Segera lanjutkan dengan RJP kurang
lanjutkan dengan RJP kurang lebih selama 2 menit (sampai AED
lebih selama 2 membacairama
menit (sampai AED membaca jantung). Lanjutkan hingga tenaga ALS
irama jantung). Lanjutkan hingga mengambil alih atau korban
tenaga ALS mengambil alih atau memulai bergerak.
korban mulai bergerak.
Skema 2.1 : Algoritma BLS (Basic Life Support) menurut AHA 2015
2.2 Pemahaman

2.2.1 Definisi Pemahaman

Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.


Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah kemampuan
seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk menangkap makna
dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang dinyatakan dengan
menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau mengubah data yang disajikan
dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran, buku,
dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto (2013)
menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan
seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau konsep, situasi, serta
fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak hanya hafal secara
verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah atau fakta yang
ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001) mengungkapkan bahwa,
dalam suatu domain belajar, pemahaman merupakan prasyarat mutlak untuk
tingkatan kemampuan kognitif yang lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi.
Sudjana (2010) membagi pemahaman kedalam tiga kategori, yakni sebagai
berikut:
1. Tingkat pertama atau tingkat rendah, yaitu pemahaman terjemahan, mulai
dari terjemahan dalam arti sebenarnya.
2. Tingkat kedua atau sedang adalah pemahaman penafsiran, yaitu
menghubungkan bagian – bagian terdahulu dengan yang diketahui
berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan
kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok.
3. Pemahaman tingkat tiga atau tingkat tertinggi, yakni pemahaman
ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan mempu melihat dibalik yang
tertulis, dapat membuat ramalan tantang konsekuensi atau dapat
memperluas persepsi dalam waktu dimensi kasus ataupun masalah.
Sedangkan pengkategorian pemahaman yang umum digunakan yaitu:
a. Tingkat tinggi dengan nilai 76 – 100 %

b. Tingkat sedang dengan nilai 56 – 75 %

c. Tingkat rendah dengan nilai <56%

2.2.2 Tingkatan Pemahaman

Tingkatan dalam pemahaman.Menurut Daryanto (2005) kemampuan


pemahaman berdasarkan tingkat kepekaan dan derajat penyerapan materi
dapat dijabarkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Menerjemahkan (translation).

Pengertian menerjemahkan bukan hanya berarti pengalihan arti dari


bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Tetapi dapat berarti dari
konsepsi abstrak menjadi suatu model simbolik untuk mempermudah
orang dalam mempelajarinya.
2. Menafsirkan (interpretation).

Kemampuan ini lebih luas daripada menerjemahkan. Hal ini


merupakan kemampuan untuk mengenal dan memahami. Menafsirkan
dapat dilakukan dengan cara menghubungkan pengetahuan yang lalu
dengan pengetahuan yang diperoleh berikutnya, menghubungkan
antara grafik dengan kondisi yang dijabarkan sebenarnya, serta
membedakan yang pokok dan tidak pokok dalam pembahasan.

3. Mengekstrapolasi (extrapolation).

Berbeda dari menerjemahkan dan menafsirkan, tetapi lebih tinggi


sifatnya karena menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi
sehingga seseorang dituntut untuk bisa melihat sesuatu yang tertulis.
Menurut Ngalim Purwanto (2013), Pemahaman atau komprehensi juga
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Komprehensi terjemahan seperti dapat menjelaskan arti Bhineka
Tunggal Ika dan dapat menjelaskan fungsi hijau daun bagi suatu
tanaman.
b. Komprehensi penafsiran seperti dapat menghubungkan bagian -
bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, dapat
menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian atau
dapat membedakan yang pokok dari yang bukan pokok.
c. Komprehensi ekstrapolasi, seseorang diharapkan mampu melihat
dibalik yang tertulis, atau dapat membuat ramalan tentang
konsekuensi sesuatu, atau dapat memperluas persepsinya dalam
arti waktu, dimensi, kasus, atau masalahnya.
Pendapat lain juga disampaikan oleh Kilpatrick dan Findel (2001),
bahwa indikator pemahaman konsep dibagi menjadi tujuh, antara
lain:
1) Kemampuan menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari.

2) Kemampuan mengklarifikasi objek-objek berdasarkan dipenuhi


atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut.
3) Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma.

4) Kemampuan memberikan contoh dari konsep yang dipelajari.

5) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk


representasi matematis.
6) Kemampuan mengaitkan berbagai konsep.

7) Kemampuan mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup


suatu konsep.
2.3 Karakteristik Perawat

Karakteristik adalah kemampuan untuk memadukan nilai – nilai yang


menjadi filosofi atau pandangan yang utuh, memperhatikan komitmen yang
teguh, dan respons yang konsisten terhadap nilai – nilai itu dengan
menggenerasikan pengalaman tertentu menjadi suatu sistem nilai
(Notoatmodjo, 2003).
Karakteristik adalah merupakan salah satu aspek kepribadian yang
menggambarkan suatu susunan bathin manusia yang nampak pada kelakuan
dan perbuatan (Purwanto Heri,2000).

2.3.1 Usia

Usia atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal, usia
manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu usia
itu dihitung. Oleh yang demikian, usia itu diukur dari tarikh ianya lahir
sehingga tarikh semasa(masa kini). Manakala usia pula diukur dari tarikh
kejadian itu bermula sehinggalah tarikh semasa(masa kini) (Depkes RI,
2009).
Usia adalah variable yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan –
penyelidikan epidemiologi. Angka – angka kesakitan maupun kematian di
dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan usia
(Notoatmojo, 2003).
Usia berkaitan dengan kedewasaan atau maturitas seseorang. Kedewasaan
adalah kedewasaan tehnis dalam melaksanakan tugas-tugas maupun
kedesawaan psikologis (Kurniadi,2013). Menurut Siagian (2001), semakin
lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnis maupun
psikologisnya, serta menunjukkan kematangan jiwa. Usia semakin
meningkat akan meningkatkan pula kebijakan kemampuan seseorang dalam
mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi dan
bertoleransi terhadap pandangan orang lain.
Menurut Hasibuan (1995) karyawan yang masih muda tuntutan kepuasan
kerjanya tinggi, sedangkan karyawan yang tua tuntutan kepuasa kerja dapat
tercipta karena adanya perspsi yang positif terhadap sesuatu yang berkaitan
dengan pekerjaannya. Pendapat ini sesuai dengan yang kemukakan oleh
Mangkunegara (2004) yang menyatakan bahwa ada kecendrungan keryawan
lebih merasa puas dari pada karyawan yang berusia relative muda. Kategori
Usia Menurut Depkes RI (2009): dewasa Awal = 26- 35 tahun, dewasa
Akhir = 36- 45 tahun.

2.3.1 Tingkat pendidikan

Menurut Hasibuan (2000), pendidikan merupakan indikator yang


mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu
pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan
mampu menduduki suatu jabatan tertentu.
Tingkat pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi
mengembangkan kemapuan dan kualitas kepribadian seseorang, dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan. (Siagian, 2001). Tingkat pendidikan lebih
tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu dan bersedia
menerima posisi dan tanggung jawabnya (Gibson, Ivancevich & Donnelly,
2011).

Jenjang Pendidikan Tinggi Keperawatan Indonesia dan sebutan Gelar:


1. Pendidikan jenjang Diploma Tiga keperawatan lulusannya mendapat
sebutan Ahli Madya Keperawatan (AMD.Kep)
2. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (Sarjana+Profesi), lulusannya
mendapat sebutan Ners(Nurse),sebutan gelarnya (Ns)
3. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, Lulusannya mendapat gelar
(M.Kep)
4. Pendidikan jenjang Spesialis Keperawatan, terdiri dari:

a)Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, lulusannya (Sp.KMB)


b)Spesialis Keperawatan Maternitas, Lulusannya (Sp.Kep.Mat)

c)Spesialis Keperawatan Komunitas, Lulusannya (Sp.Kep.Kom)

d)Spesialis Keperawatan Anak, Lulusannya (Sp.Kep.Anak)

e) Spesialis Keperawatan Jiwa, Lulusannya (Sp.Kep.Jiwa)

5. Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan, Lulusannya (Dr.Kep).


(Akademik Pendidikan keperawatan Indonesia, 2015)
Sedangkan lulusan pendidikan tinggi keperawatan sesuai dengan level
KKNI, adalah sebagai berikut:
a. DIII ( Diploma tiga ) Keperawatan - Level KKNI 5,

b. Ners ( Sarjana + Ners ) - Level KKNI 7,

c. Magister keperawatan - Level KKNI 8,

d. Ners Spesialis Keperawatan - Level KKNI 8,

e. Doktor keperawatan - Level KKNI 9.

(Akademik Pendidikan keperawatan Indonesia, 2015)


2.3.3 Masa Kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di
suatu tempat (Handoko, 2010). Masa kerja adalah jangka waktu yang telah
dilalui seseorang sejak menekuni pekerjaan. Masa kerja dapat
menggambarkan pengalamannya dalam menguasai bidang tugasnya. Pada
umumnya, pertugas dengan pengalaman kerja yang banyak tidak
memerlukan bimbingan dibangdingkan dengan petugas yang
pengalamannya sedikit. Semakin lama seseorang bekerja pada suatu
organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga
kecakapan kerjanya semakin baik. (Ranupendoyo dan Saud, 2005)
Masa kerja dikategorikan menjadi 2 yaitu:

1). Masa kerja kategori baru ≤ 3 tahun

2). Masa kerja kategori lama > 3tahun (Handoko, 2010)

2.3.4. Jenis Kelamin

Jenis kelamin (bahasa Inggris: sex) adalah kelas atau kelompok yang
terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat
digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan
keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin merupakan suatu akibat
dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-
laki dan perempuan. Pada kebanyakan hewan non-hermafrodit,
tumbuhan berumah dua (dioecious), dan berbagai organis me rendah
orang
menyebutnyajantan dan betina. Jantan adalah kelompok yang. (Depkes
RI,2009)

Penelitian menunjukkan bahwa perempuan secara keseluruhan lebih dapat


menerima perawatan medis dan mengambil risiko lebih sedikit pada
kesehatan mereka dari pada laki-laki. Hal ini mungkin karena perempuan
pada dasarnya telah ikut berperan sebagai pemberi perawatan sehingga
mereka lebih terbuka terhadap pengajaran tentang promosi kesehatan.
Selain itu, mereka lebih sering berhubungan dengan penyelenggara
kesehatan saat mengandung dan membesarkan anak. Laki-laki sebaliknya,
cenderung kurang dapat menerima intervensi perawatan-kesehatan dan
mungkin lebih beresiko. Karena banyak dari perilaku ini yang dianggap
terjadi secara sosial, maka perubahan dalam perilaku mencari-kesehatan
pada laki-laki dan perempuan mulai terlihat seiring dengan meningkatnya
perhatian yang diberikan terhadap gaya hidup yang lebih sehat dan karena
perpaduan peran gender di rumah dan di tempat kerja (Kurniadi,2016).

2.3.5 Status Perkawinan

Status perkawinan memerlukan tanggung jawab dan membuat oekerjaan


lebih berharga serta lebih penting. Karyawan yang telah menikah lebih
sedikit absensinya, mengalami pergantian yang lebih rendah dan lebih
puas dengan pekerjaan mereka dari pada rekan sekerjanya yang bujangan
(Robbins & Judge, 2013).
2.3.6 Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap


perilaku pembeli sebuah produk atau pemanfaatan jasa pelayanan.
Menurut Aday dan Anderson (1974, dalam Taylor & Cosenza, 1999, A
Conceotual choice model for hospitals service), jumlah orang didalam
rumah tangga yang merupakan karakteristik demografi dan sosial ekonomi
mempengaruhi pemanfaatan sebuah pelayanan kesehatan / rumah sakit.

2.3.7 Sumber Pembiayaan

Menurut Ahuja (1998 dalam Taylor dan Cosenza, 1999, A Conceptual


choice model for hospitals service), sumber pembiayaan (jaminan
pemeliharaan / asuransi kesehatan) yang dimiliki mempengaruhi proses
pemilihan rumah sakit. Sumber pembiayaan untuk pelayanan rawat inap
rumah sakit menurut hasil Surkesnas 2004 (Depkes, 2005)

2.3.8 Pendapatan

Pilihan produk atau pemanfaatan jasa pelayanan sangat dipengaruhi oleh


keadaan ekonomi seseorang yaitu pendapatan atau penghasilan yang dapat
dibelanjakan (Kotler, 2002; Simamora, 2002). Jika indikator ekonomi
menandakan resesi, pemasar dapat mengambil langkah untuk merancang
ulang dan menetapkan kembali harga produk dan pelayanan mereka
sehingga dapat terus ditawarkan kepada pelanggan sasaran (Kotler, 2002).
2.3.9 Domisili

Domisili adalah daerah atau tempat dimana seseorang tinggal. Tempat


tinggal seseorang mempengaruhi pemanfataannya terhadap rumah sakit
yang berada dalam kotabtempat tinggalnya (Taylor & Cosenza, 1999).
Egunjobi (1983), dalam penelitiannya tentang Factors influencing choice
of hospitals : a case study of the northern part of Oyo State, Nigeria, pada
penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang tinggal dekat dan sekota
dengan rumah sakit mempengaruhi dalam memanfaatkan rumah sakit
tersebut.
2.3.10 Tingkat Jabatan

Tingkat jabatan umumnya berkaitan erat dengan lama kerja


(Vecchio, 1995) dan tingkat pendidikan yang lebih tinggis, sehingga
oaring yang menduduki jabatan yang tinggi adalah mereka yang
mempunyai pendidikan tinggi dan masa kerja yang cukup lama dan tentu
akan cendrung akan mendapatkan kepuasan kerja atas jerih payah
sebelumnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Mangkunegara
(2003) bahwa pegawai yang menduduki jabatan yang lebih tinggi
cenderung lebih puas daripada pegawai yang menduduki jabatan yang
lebih rendah.

2.3.11 Gaji

Gaji atau penghasilan adalah pembayaran berupa uang dan pembayaran


dari keuntungan tambahan yang diterima untuk pekerjaan yang dilakukan
(Stams, 1997). Gaji dan pendapatan lainnya merupakan komponen yang
cukup penting dalam menentukan kepuasa kerja seorang pegawai. Namun
beberapa studi yang menggunakan IWS ini gaji selalu menempati nomor
enam predictor yang menentukan kepuasan kerja perawat (Stams, 1997).
2.4. Kerangka Teori

Congestive Heart Failure


(CHF)

Tanda Dominan (meningkatnya volume intravaskuler)


Gagal Jantung Kiri Karakterstik perawat :
Dispneu
Batuk - Umur
Mudah lelah - Tingkat pendidikan
Kegelisahan dan kecemasan - Masa kerja
Gagal Jantung Kanan - Jenis kelamin
Kongestif jaringan perifer dan viseral. - Status Perkawinan
Edema ekstrimitas bawah (edemadependen - Jumlah anggota
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas
d.Anoreksia dan mual e.Nokturia keluarga
f. Kelemahan - Sumber pembiayaan
- Pendapatan
- Domisi
- Tingkat Jabatan
- Gaji

Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Skema 2.2 kerangka teori : Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan
Pelaksanaan Tindakan Resusitasi Jantung Paru (Rjp). Sumber Hardisman.2014,
Notoatmojo.2003, Krisanty.2009 Sudiharto.2013, America Heart Association
(AHA).2015, Kurniadi.2016.
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi uang


bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahakan fungsi vital organ
pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari
pemberian kompresi dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014).

Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah


kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Karakteristik adalah kemampuan untuk memadukan nilai – nilai yang


menjadi filosofi atau pandangan yang utuh, memperhatikan komitmen
yang teguh, dan respons yang konsisten terhadap nilai – nilai itu dengan
menggenerasikan pengalaman tertentu menjadi suatu sistem nilai.
(Notoatmodjo, 2003)
Dari teori konsep diatas, peneliti tertarik meneliti tentang Hubungan
Karakterisitik Perawat Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru
(Rjp) Di Ruangan IGD Dan ICU Rsud Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2017.

Untuk melihat hubungan variabel tersebut dapat digambarkan dalam


kerangka konsep sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen

Usia

Tingkat pendidikan Masa kerja


Jenis kelamin

Status perkawinan Jumlah anggota keluarga Sumber pembiayaan Pendapatan


Domisili Tingkat jabatan
gaji
Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Skema 3.1 : kerangka konsep


3.2. Defenisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang


akan digunakan dalam penelitian. Definisi operasional ini bertujuan untuk
membuat variabel menjadi lebih konkrit dan dapat diukur. Dalam
mendefinisikan suatu varabel harus dijelaskan tentang apa yang harus
diukur, bagaimana mengukurnya, apa saja kriteria pengukurannya,
instrument yang digunakan untuk mengukurnya dan skala pengukurannya
(Dharma, 2011).
Tabel 3.1 : Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Ukur Hasil ukur
Operasional

Variabel
independen
Karakteristik
perawat Berbagai
macam hal yang
ada pada diri
seseorang yang
berpengaruh
terhadap sikap
dan perilaku

Masa yang
Usia dilalui oleh
seseorang mulai
dari dilahirkan Angket Kuesioner Ordinal Dewasa
sampai saat ini tertutup Awal : 26-
35 tahun

dewasa Akhir :
36- 45 tahun

(Depkes
RI, 2009)
Tinggi
Tingkat Pendidikan Angket Kuesion Ordinal : S2
pendidikan yang dilalui tertutup er Keperawatan
oleh perawat dan S1
sebagai tenaga Keperawat
profesi an
berdasarkan Renda
pendidikan h: DIII
formal dan Keperawatan
telah di uji
kompetensi

Masa kerja Waktu yang Angket Kuesion Ordinal Baru


dilalui perawat tertutup er
dimulai sejak ≤3tahu
pertama mulai n
bekerja sampai Lama :
saat sekarang >3 tahun
ini
(Handok
o, 2010)
Jenis merupakan suatu Angket Kuesion Nomin Laki – laki
kelamin er al
akibat tertutup Perempua
dari dimorfisme
seksual, yang n (Depkes
pada RI, 2009)
manusia dikenal
menjadi laki-
laki dan
perempuan
Merupakan
serangkaian
usaha
penyelamatan
hidup pada
pasien 1. Tingkat
Variabe henti nafas Angket Kuesion Ordinal tinggi
l dan henti tertutup er : bila
depend jantung responden
en mampu
Pemahaman
menjawab
penerapan
dengan
benar 76 –
100 %
resusitasi 2. Tingkat
jantung sedang:
paru bila
(RJP) responden
mampu
menjawab
dengan
benar 56 –
75 %
3. Tingkat
rendah :
bila
responden
mampu
menjawab
dengan
benar
<56

Sudja
na
(2010
)

3.3 Hipotesa

Hipotesa dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara


terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti kebenarannya melalui data
yang terkumpul (Saeban, 2008).
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
Ha : Ada Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2017.
BAB IV METODE
PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi korelasi. Studi korelasi


merupakan penelitian atau telaah hubungan antara dua variable pada suata
situasi atau sekelompok subjek. (Notoatmojo, 2005)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan karakteristik perawat
dengan pemahaman penerapan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) di
ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, dimana
pengumpulan variable independen dan variable dependen dilakukan secara
bersamaan atau sekaligus. (Notoadmojo, 2005)
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan diruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi.
4.2.2 Waktu

Waktu penelitian telah dilakukan pada tanggal 5 Juni sampai 9 juni 2017.
4.3 Populasi, Sampel dan Sampling

4.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari suatu variable yang menyangkut masalah


yang diteliti (Notoarmodjo, 2005). Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek /subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik
tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sugiyono, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
perawat yang dinas diruang IGD dan ICU di RSUD Dr.Achmad Mochtar
Bukittinggi yang berjumlah 33 orang.
4.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau yang mewakili populasi yang diteliti


(Notoarmodjo, 2005). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah semua
perawat yang dinas diruang IGD dan ICU yang berjumlah 33 orang.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Perawat yang bersedia diteliti

b. Perawat yang berada di ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.Achmad


Mochtar Bukittinggi
c. Perawat yang tidak sedang cuti

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :

a. Perawat yang tidak bersedia diteliti


b. Perawat yang sedang cuti

4.3.3 Teknik Sampling

Sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pendekatan “total


sampling”, yaitu seluruh populasi dijadikan sampel dalam penelitian.
Jumlah sampel dalam penelitian adalah 33 orang.
4.4 Pengumpulan Data

4.4.1 Alat Pengumpulan Data

Instumen yang digunakan dalam penelitian adalah lembar kuesioner pertama


untuk melihat karakteristik. Lembar kuesioner kedua untuk melihat
pemahaman penerapan resusitasi jantung paru (RJP) menggunakan skala
Guttman, dimana jawaban responden hanya terbatas 2 jawaban, ya atau
tidak. Peneliti mengambil kuesioner yang pernah diteliti oleh Shella
Rachmawaty FIK UI 2012.
4.4.2 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin


pelaksanaan penelitian dari Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
STIkes Perintis Padang. Kemudian mendapat izin dari Direktur RSAM
Bukittinggi. Selanjutnya peneliti melaksanakan pengumpulan data.
b. Melakukan sosialisasi kepada kepala ruangan dijadikan sampel
penelitian.
c. Peneliti menjelaskan kepada kepala ruangan akan melakukan
penelitian setelah selesai melaksanakan PMPKL ( Pengabdian
Masyarakat Praktek Kerja Langsung ).
d. Setelah melaksanakan PMPKL, peneliti melakukan penelitian yang
sebelumnya sudah sosialisasi dengan kepala ruangan.
e. Peneliti meminta jadwal dinas kepada kepala ruangan diruang IGD dan
ICU.
f. Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat,
prosedur pengumpulan data serta menanyakan kesediaan calon
responden, dimana calon responden dianggap telah memenuhi kriteria
penelitian.
g. Responden yang bersedia menandatangani informed consent.

h. Setelah menandatangani informed consent, penetili memberikan


lembar kuesioner kepada responden, sebelum pengisian kuesioner
peneliti menjelaskan petunjuk pengisian pernyataan. Kemudian minta
responden mengisi lembar kuesioner yang sudah diberikan, yang mana
kuesioner yang diberikan responden ditunggu oleh peneliti sampai
responden selesai mengisinya.
i. Peneliti melakukan penelitian sesuai jadwal dinas responden. Bagi
responden yang sedang libur dinas, peneliti memberikan kuesioner saat
responden sudah masuk dinas.
j. Bagi responden sudah mengisi kuesioner, peneliti memberikan tanda
ceklis pada jadwal dinas yang sudah diberikan.
4.5 Cara Pengolahan dan Analisa Data

4.5.1 cara pengolahan data

Data yang telah terkumpul pada peneliti ini dianalisa melalui tahap – tahap
berikut :
a. Editing (pemeriksaan data)

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang


diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. (Hidayat, 2009)
b. Coding (pemberian kode)

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap


data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.
Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya
dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi
dan arti suatu kode dari suatu variable (Hidayat, 2009: 108). Untuk
kategori usia Dewasa Awal : 26- 35 tahun di beri kode 1 dewasa Akhir :
36- 45 tahun diberi kode 2. Untuk kategori tingkat pendidikan S2
keperawatan dan S1 Keperawatan diberi kode 1, DIII Keperawatan
diberi kode 2. Untuk kategori masa kerja ≤ 3 tahun diberi kode 1, >
3tahun diberi kode 2. Untuk kategori jenis kelamin Laki – laki diberi
kode 1, Perempuan diberi kode 2. Untuk Kategori tingkat tinggi diberi
kode 1, tingkat sedang diberi kode 2, tingkat rendah diberi kode 3.

c. Scoring (pemberian nilai)

Pada tahap ini peneliti memberikan nilai atau skor pada tiap – tiap
pernyataan kuesioner untuk variable dependen jika jawaban ya diberi
nilai 1 jika tidak diberi nilai 0.

d. Tabulasi data (membuat tabel)

Setelah instrument diisi dengan baik kemudian ditabulasi dan disajikan


dalam bentuk master tabel dan tabel distribusi frekuensi.
e. Prosesing (memproses data)

Hasil tabel distribusi frekuensi masing – masing variabel diolah


menggunakan program komputer untuk mengetahui hubungan kedua
variabel yang diteliti dengan menggunakan chi-square.

f. Clearning (pembersihan data)

Setelah semua tahapan dilakukan, maka dilakukan pembersihan data


atau pemeriksaan kembali semua tahapan yang telah dilakukan,
sehingga diyakini hasil pengolahan data dan hasil yang diperoleh adalah
benar.

4.5.2 Analisa Data

a. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan dengan distribusi frekuensi dan statistik
deskriptif. Untuk melihat distribusi frekuensi dari masing – masing
variabel yang diteliti, yaitu karakteristik perawat dan pelaksanaan
tindakan resusitasi ajntung paru (RJP). Hasil sebaran distribusi frekuensi
dari masing – masing variabel kemudian dikelompokkan dalam kategori
yang telah ditetapkan, yaitu sebagai berikut :
Untuk karakteristik usia responden dikategorikan atas :

Dewasa Awal : 26- 35 tahun

dewasa Akhir : 36- 45 tahun

(Depkes RI, 2009)

Untuk karakteristik tingkat pendidikan responden dikategorikan atas :

Tinggi : S2 Keperawatan dan S1


Keperawatan

: DIII Keperawatan
Rendah

Untuk karakteristik masa kerja responden dikategorikan atas :

Masa kerja kategori baru : ≤ 3 tahun

Masa kerja kategori lama : > 3tahun


(Handoko, 2010)

Untuk karakteristik jenis kelamin responden dikategorikan atas :


Laki – laki
Perempuan
(Depkes RI,2009)
Untuk pemahaman penerapan resusitasi jantung paru (RJP)
dikategorikan atas :
Tingkat tinggi dengan nilai : 76 – 100 %

Tingkat sedang dengan nilai : 56 – 75 %

Tingkat rendah dengan nilai : <56%


(Sudjana 2010)

b. Analisa Bivariat

analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui


hubungan antara dua variabel yang diteliti. Pengujian hipotesis untuk
mengambil keputusan apakah hipotesis yang diujiakan cukup
meyakinkan ditolak atau diterima, dengan menggunakan chi-square test.
Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan batasan
kemaknaan 95% dam α = 0,05 sehingga P value ≤ 0,05 maka statistic
“bermakna” jika P value > 0,05 maka statistic disebut “tidak bermakna”.
4.6 Etika Penelitian

Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu peneliti melakukan pengurusan


proses penelitian ke pendidikan, mulai dari perizinan dari Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Padang, kemudian peneliti kr
bagian Diklat di RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi untuk mendapatkan
izin pengambilan data dan penelitian. Setelah mendapat izin, peneliti
melanjutkan menghubungi kepala ruangan untuk meminta izin pengambilan
data dan penelitian, dan selanjutnya melakukan pengambilan data.
Pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan pendekatan secara total
sampling.
4.6.1 Informed Consent

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan


responden penelitian dengan dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed Consent tersebut diberikan sebelum penelitan dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan Informed
Consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,
mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia,maka
peneliti harus menghormati hak pasien (Hidayat, 2009).
4.6.2 Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan


dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
akan disajikan (Hidayat, 2009)
4.6.3 confidentiality (kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan


kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah – masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset. (Hidayat, 2009).
4.6.4 Nonmaleficense

Proses penelitian yang dilakukan haruslah tidak menimbulkan dampak


respon pada responden
4.6.5 Beneficense

Prinsip ini yang penting untuk menumbuhkan kerja sama yang baik dengan
responden, dan penelitian ini akan memberikan manfaat yang baik terhadap
responden baik secara langsung ataupun tidak langsung
4.6.6 Justice

Keadilan harus diperlakukan secara adil, baik sebelum, selama, sesudah


keikutsertaannya dalam penelitian tenpa deskriminasi.
BAB V HASIL
PENELITIAN

5.1 Hasil Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada responden sebanyak 33 orang


responden dengan judul Hubungan karakteristik perawat dengan pemahaman
penerapan resusitasi jantung paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017. Penelitian ini telah dilakukan pada
tanggal 5 Juni sampai tanggal 9 Juni 2017.
Pada penelitian ini 33 orang dijadikan sebagai subjek penelitian. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan membagikan kuesioner
kepada responden yaitu perawat yang berada Di Ruangan IGD dan ICU
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, Sesuai dengan kondisi responden
pada saat itu tanpa pengaruh ataupun paksaan dari orang lain termasuk
peneliti.
5.2 Analisa Univariat

Dari hasil penelitian yang peneliti dapat pada responden yang berjumlah
sebanyak 33 orang responden, maka peneliti mendapatkan hasil univariat
tentang Hubungan karakteristik perawat dengan pemahaman penerapan
resusitasi jantung paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017, sebagai berikut pada tabel dibawah ini.
5.2.1 Usia

Tabel 5.2.1.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Perawat Di
Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2017

Usia Perawat Frekuensi Persentase (%)


Dewasa Akhir 9 27,3
Dewasa Awal 24 72,7
Total 33 100

Berdasarkan tabel 5.2.1 peneliti dapat menjelaskan lebih dari sebagian


besar 24 (72,7%) orang responden yang berusia antara 26 sampai 35 yang
disebut dewasa awal. Dewasa akhir sebanyak 9 (27,3%) orang responden.
5.2.2 Pendidikan Perawat

Tabel 5.2.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Perawat
Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2017

Pendidikan Perawat Frekuensi Persentase (%)


Rendah 16 48,5
Tinggi 17 51,5
Total 33 100

Berdasarkan tabel 5.2.2 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 17 (51,5%) orang responden berpendidikan tinggi, dan sebanyak
16 (48,5%) orang responden berpendidikan rendah.
5.2.3 Masa Kerja Perawat

Tabel 5.2.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja
Perawat Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2017

Masa Kerja Perawat Frekuensi Persentase (%)


Baru 16 48,5
Lama 17 51,5
Total 33 100

Berdasarkan tabel 5.2.3 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 17 (51,5%) orang responden dengan masa kerja perawat lama,
dan sebanyak 16 (48,5%) orang responden dengan masa kerja perawat
yang baru.
5.2.4 Jenis Kelamin Perawat

Tabel 5.2.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Perawat
Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2017

Jenis Kelamin Perawat Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 14 42,4
Perempuan 19 57,6
Total 33 100

Berdasarkan tabel 5.2.4 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 19 (57,6%) orang responden berjenis kelamin perempuan, dan
sebanyak 14 (42,4%) orang responden dengan berjenis kelamin laki-laki.
5.2.5 Pemahaman Penerapan RJP

Tabel 5.2.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Pemahaman Penerapan RJP Frekuensi Persentase (%)


Tingkat Rendah 5 15,2
Tingkat Sedang 8 24,2
Tingkat Tinggi 20 60,6
Total 33 100
Berdasarkan tabel 5.2.5 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari
separoh 20 (60,6%) orang responden dengan pemahaman penerapan RJP
tingkat tinggi, 8 (24,2%) orang responden dengan pemahaman penerapan
RJP tingkat sedang, dan sebanyak 5 (15,2%) orang responden dengan
pemahaman penerapan RJP tingkat rendah.
5.3 Analisa Bivariat

5.3.1 Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi


Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.1
Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
tahun 2017

Pemahaman Penerapan Resusitasi


Usia Jantung Paru (RJP) Total p
Tingkat Tingkat Tingkat
Perawat value
Rendah Sedang tinggi
Dewasa 1 4,2% 6 25% 17 70,8% 24 100%
Awal 0,014
Dewasa 4 44,4% 2 22,2% 3 33,2% 9 100%
Akhir
Total 5 15,2% 8 24,2% 20 60,6% 33 100%
Tabel 5.3.1 menunjukkan dari 24 orang responden berusia dewasa awal,
terdapat 17 (70,8%) orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat
tinggi. Dari 9 orang responden berusia dewasa akhir, dan 4 (44,4%) orang
responden pemahaman penerapan RJP tingkat rendah. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p value = 0,014 (p<α) maka dapat disimpulkan adanya
Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017.

5.3.2 Hubungan Pendidikan Perawat Dengan Pemahaman Penerapan


Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.2
Hubungan Pendidikan Perawat Dengan Pemahaman
Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
tahun 2017

Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung p


Pendidikan Paru (RJP) Total valu
Perawat e
Tingkat Tingkat Tingkat
Rendah Sedang Tinggi
Rendah 5 31,3% 6 37,5% 5 31,3% 16 100% 0,00
Tinggi 0 0% 2 11,8% 15 88,2% 17 100%
3
Total 5 15,2% 8 24,2% 20 60,6% 33 100%

Tabel 5.3.1 menunjukkan dari 17 orang responden berpendidikan tinggi,


terdapat 15 (88,2%) orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat
tinggi. Dari 16 orang responden berpendidikan rendah, terdapat 6 (37,5%)
orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat sedang. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p value = 0,003 (p<α) maka dapat disimpulkan
adanya Hubungan pendidikan Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
5.3.3 Hubungan Masa Kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.3
Hubungan Masa Kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
tahun 2017

Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung


Masa Kerja Paru (RJP) Total p value
Tingkat Tingkat Tingkat
Perawat
Rendah Sedang Tinggi
Lama 1 5,9% 2 11,8% 14 82,4% 17 100%
Baru 4 25% 6 37,5% 6 37,5% 16 100%
0,031
Total 5 15,2% 8 24,2% 20 60,6% 33 100%

Tabel 5.3.1 dari 16 orang responden dengan masa kerja baru, terdapat 6
(37,5%) orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Dari
17 orang responden dengan masa kerja lama, terdapat 14 (82,4%) orang
responden pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p value = 0,031 (p<α) maka dapat disimpulkan adanya
Hubungan masa kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
5.3.4 Hubungan jenis kelamin Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.4
Hubungan jenis kelamin Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
tahun 2017

Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung


Jenis Paru (RJP) Total p value
Tingkat Tingkat Tingkat
kelamin
Rendah Sedang Tinggi
Perawat
Laki-laki 2 14,3% 7 50% 5 35,7% 14 100%
Perempuan 3 15,8% 1 5,3% 15 78,9% 19 100%
0,010
Total 5 15,2% 8 24,2% 20 60,6% 33 100%

Tabel 5.3.1 menunjukkan dari 14 orang responden berjenis kelamin laki-


laki, terdapat 7 (50%) orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat
sedang. Dari 19 orang responden dengan masa kerja lama, terdapat 15
(78,9%) orang responden pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Hasil
uji statistik diperoleh nilai p value = 0,010 (p<α) maka dapat disimpulkan
adanya Hubungan jenis kelamin masa kerja Perawat Dengan Pemahaman
Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
5.4 Pembahasan

5.4.1 Univariat

a. Usia Perawat

Berdasarkan tabel 5.2.1 peneliti dapat menjelaskan lebih dari separoh 24


(72,7%) orang responden yang berusia antara 26 sampai 35 yang disebut
dewasa awal. Dewasa akhir sebanyak 9 (27,3%) orang responden.

Menurut Hasibuan karyawan yang masih muda tuntutan kepuasan


kerjanya tinggi, sedangkan karyawan yang tua tuntutan kepuasa kerja
dapat tercipta karena adanya perspsi yang positif terhadap sesuatu yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Pendapat ini sesuai dengan yang
kemukakan oleh Mangkunegara (2004) yang menyatakan bahwa ada
kecendrungan keryawan lebih merasa puas dari pada karyawan yang
berumur relative muda. Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009):
dewasa Awal = 26- 35 tahun, dewasa Akhir = 36- 45 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 41% umur responden 20 sampai 30 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
(72,7%) orang responden yang berusia antara 26 sampai 35 yang disebut
dewasa awal.
Menurut asumsi peneliti usia sangat menentukan kedewasaan seseorang,
karena semakin tinggi usia seseorang maka pengalaman seseorang juga
akan tinggi pula. Orang yang dewasa maka akan memperlihatkan
kematangan berfikir, dalam menelaah sesuatu dengan pikiran yang
positive, sehingga responden yang berusia dewasa akhir akan memiliki
pola pikir yang lebih dewasa dibandingkan dewasa awal. Umur yang
semakin meningkat akan meningkatkan kebijakan kemampuan seseorang
dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi dan
bertoleransi terhadap pandangan orang lain.

b. Pendidikan Perawat

Berdasarkan tabel 5.2.2 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 17 (51,5%) orang responden berpendidikan tinggi, dan sebanyak
16 (48,5%) orang responden berpendidikan rendah.

Menurut Hasibuan (2000), pendidikan merupakan indikator yang


mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu
pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap
akan mampu menduduki suatu jabatan tertentu.
Tingkat pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi
mengembangkan kemapuan dan kualitas kepribadian seseorang, dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan. (Siagian, 2001). Tingkat pendidikan lebih
tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu dan bersedia
menerima posisi dan tanggung jawabnya (Gibson, Ivancevich & Donnelly,
2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 77% pendidikan responden tinggi.

Menurut asumsi peneliti pendidikan yang tinggi akan mencerminkan


kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan
baik. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi maka mempunyai
pengalaman yang tinggi pula, dan memiliki pola pikir yang lebih matang
sehingga bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tingkat
pendidikan seseorang juga bisa menentukan kedudukan seseorang,
semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula jabatan
yang akan diduduki oleh seseorang tersebut. Tingkat pendidikan yang
tinggi akan mempunyai kemampuan berfikir yang matang, berfikir
rasional sehingga akan terlihat kualitas kerja yang baik dibandingkan
dengan tingkat pendidikan yang rendah.
c. Masa Kerja Perawat

Berdasarkan tabel 5.2.3 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 17 (51,5%) orang responden dengan masa kerja perawat lama,
dan sebanyak 16 (48,5%) orang responden dengan masa kerja perawat
yang baru.
Masa kerja dapat menggambarkan pengalamannya dalam menguasai
bidang tugasnya. Pada umumnya, pertugas dengan pengalaman kerja yang
banyak tidak memerlukan bimbingan dibangdingkan dengan petugas yang
pengalamannya sedikit. Semakin lama seseorang bekerja pada suatu
organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga
kecakapan kerjanya semakin baik. (Ranupendoyo dan Saud, 2005). Masa
kerja dikategorikan menjadi 2 yaitu: Masa kerja kategori baru ≤ 3 tahun,
Masa kerja kategori lama > 3tahun (Handoko, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 53% masa kerja responden antara 1
samapi 10 tahun.

Menurut asumsi peneliti masa kerja perawat sangat menentukan kualitas


perawat yang ada didalam ruangan. Perawat yang sering terpapar dengan
RJP maka pemahaman perawat tentang RJP meningkat. Karena Perawat
yang sudah lama bekerja memiliki kualitas kerja yang baik dibandingkan
dengan orang yang baru bekerja. Perawat yang mempunyai masa kerja
baru maka pengalaman perawat tersebut masih terbatas dibandingkan
dengan perawat yang telah lama berada diruangan tersebut.
d. Jenis Kelamin Perawat

Berdasarkan tabel 5.2.4 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 19 (57,6%) orang responden berjenis kelamin perempuan, dan
sebanyak 14 (42,4%) orang responden dengan berjenis kelamin laki-laki.

Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada
manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Pada kebanyakan
hewan non-hermafrodit, tumbuhan berumah dua (dioecious), dan
berbagai organisme rendah orang menyebutnyajantan dan betina. Jantan
adalah kelompok yang. (Depkes RI,2009)

Penelitian menunjukkan bahwa perempuan secara keseluruhan mengambil


risiko lebih sedikit pada kesehatan mereka dari pada laki-laki. Hal ini
mungkin karena perempuan pada dasarnya telah ikut berperan sebagai
pemberi perawatan sehingga mereka lebih terbuka terhadap pengajaran
tentang promosi kesehatan. Selain itu, mereka lebih sering berhubungan
dengan penyelenggara kesehatan saat mengandung dan membesarkan
anak. Laki-laki sebaliknya, cenderung kurang dapat menerima intervensi
perawatan-kesehatan dan mungkin lebih beresiko. Karena banyak dari
perilaku ini yang dianggap terjadi secara sosial, maka perubahan dalam
perilaku mencari-kesehatan pada laki-laki dan perempuan mulai terlihat
seiring dengan meningkatnya perhatian yang diberikan terhadap gaya
hidup yang lebih sehat dan karena perpaduan peran gender di rumah dan di
tempat kerja (Kurniadi, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang
hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 53% responden berjenis kelamin
perempuan.

Menurut asumsi peneliti jenis kelamin sangat menentukan kualitas kerja


perawat. Hal ini disebabkan perempuan pada dasarnya telah ikut berperan
sebagai pemberi perawatan sehingga mereka lebih terbuka terhadap
pengajaran yang telah diberikan. Perempuan lebih memiliki perasaan yang
bisa membuat pasiennya bisa sembuh dan menerima keadaannya pada saat
sakit. Perempuan juga memiliki kemampuan yang lebih dari pada laki-laki
ini semua dibuktikan perempuan bisa melakukan pekerjaan yang dobel
yaitunya pekerjaan yang berada di rumah, dan di rumah sakit.
e. Pemahaman Penerapan RJP

Berdasarkan tabel 5.2.5 peneliti dapat menjelaskan bahwa lebih dari


separoh 20 (60,6%) orang responden dengan pemahaman penerapan RJP
tingkat tinggi, 8 (24,2%) orang responden dengan pemahaman penerapan
RJP tingkat sedang, dan sebanyak 5 (15,2%) orang responden dengan
pemahaman penerapan RJP tingkat rendah.

Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.


Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran,
buku, dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto
(2013) menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat
kemampuan seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau
konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak
hanya hafal secara verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001)
mengungkapkan bahwa, dalam suatu domain belajar, pemahaman
merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi uang


bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahakan fungsi vital organ
pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari
pemberian kompresi dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014).
Caldiopulmonary Resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP)
diberikan ketika tidak ada tanda – tanda kehidupan, tidak bernafas, tidak
berespons, dan tidak bergerak (Aryono, 2011).

Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan


kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Dalam empat sampai lima
menit tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati
dan tidak berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016). Resusitasi jantung paru
adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan
jantung dan pada henti nafas (Aryono, 2011). Menurut Krisanty (2009)
bantuan hidup dasar adalah memberikan bantuan eksternal terhadap
sirkulasi dan ventilasi pada pasien henti jantung atau henti nafas melalui
RJP/ CPR. RJP merupakan salah satu yang mendasari bantuan hidup dasar
dan dapat bervariasi dalam pendekatan optimal terhadap RJP, tergantung
pada penolong, korban dan sumber daya yang bersedia. Tetapi hal-hal
yang mendasar tidak mengalami perubahan, yaitu bagaimana melakukan
RJP segera dan efektif. Mengingat hal ini terus menjadi prioritas.
(Ambulans gawat darurat 118, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyorini pada tahun 2011,


tentang hubungan pengetahuan perawat dengan keterampilan perawat
dalam melaksanakan RJP. Didapatkan hasil 76,7 % responden memiliki
keterampilan melakukan RJP baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti separoh 20 (60,6%) orang responden dengan
pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi.
Menurut asumsi peneliti pemahaman penerapan RJP merupakan
persayaratan yang dilakukan oleh seorang perawat untuk meningkatkan
kemampuan kognitif yang lebih tinggi dalam penerapan RJP, dan bisa
mengaplikasikan, menganalisis, dan bisa mengevaluasi kemampuan
seseorang dalam penerapan RJP. Pemahaman resusitasi jantung paru
sangat diperlukan oleh seorang perawat karena, dengan bisanya RJP
seorang perawat menolong pada saat pasiennya dalam gawat nafas, tidak
mempunyai respon, dan tidak bergerak. Pemahaman perawat dalam
penerapan resusitasi jantung paru sangat dibutuhkan sekali pada ruangan
IGD dan ruangan ICU karena pada runagan tersebut kebanyakan
pasiennya mengalami kegawatan sehingga membutuhkan resusitasi
jantung paru.
5.4.2 Bivariat

a. Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi


Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.1 menunjukkan Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman


Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017, dari 24 orang
responden berusia dewasa awal, terdapat 17 (70,8%) orang responden
pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Dari 9 orang responden berusia
dewasa akhir, dan 4 (44,4%) orang responden pemahaman penerapan RJP
tingkat rendah. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,014 (p<α)
maka dapat disimpulkan adanya Hubungan Usia Perawat Dengan
Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.

Umur berkaitan dengan kedewasaan atau maturitas seseorang.


Kedewasaan adalah kedewasaan tehnis dalam melaksanakan tugas-tugas
maupun kedesawaan psikologis (Kurniadi,2013). Menurut Siagian (2001),
semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnis
maupun psikologisnya, serta menunjukkan kematangan jiwa. Umur
semakin meningkat akan meningkatkan pula kebijakan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan
emosi dan bertoleransi terhadap pandangan orang lain.
Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.
Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran,
buku, dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto
(2013) menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat
kemampuan seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau
konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak
hanya hafal secara verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001)
mengungkapkan bahwa, dalam suatu domain belajar, pemahaman
merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan


kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Dalam empat sampai lima
menit tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati
dan tidak berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 41% umur responden 20 sampai 30 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
(72,7%) orang responden yang berusia antara 26 sampai 35 yang disebut
dewasa awal.

Menurut asumsi peneliti usia sangat mempengaruhi seseorang dalam


melakukan tindakan terutama tindakan yang membutuhkan tenaga yang
lebih seperti tindakan resusitasi jantung paru. Semakin tinggi usia
seseorang perawat maka memiliki pengalaman yang baik, pola pikir yang
matang dalam mengahadapi pasien yang mengalami kegawatan sehingga
membutuhkan tindakan resusitasi jantung paru. Usia yang matang akan
memperlihatkan kualitas kerja perawat sehingga pemahaman perawat
dalam penerapan resusitasi jantung paru sangatlah baik. Pemahaman
penerapan resusitasi jantung paru pada setiap ruangan, dan juga pada
setiap perawat merupakan hal yang wajib diberikan untuk melakukan
tindakan pada saat terjadinya kegawatan.
b. Hubungan Pendidikan Perawat Dengan Pemahaman Penerapan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.1 menunjukkan Hubungan pendidikan Perawat Dengan


Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017, dari 17
orang responden berpendidikan tinggi, terdapat 15 (88,2%) orang
responden pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Dari 16 orang
responden berpendidikan rendah, terdapat 6 (37,5%) orang responden
pemahaman penerapan RJP tingkat sedang. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p value = 0,003 (p<α) maka dapat disimpulkan adanya Hubungan
pendidikan Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung
Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi tahun 2017.

Menurut Hasibuan (2000), pendidikan merupakan indikator yang


mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu
pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap
akan mampu menduduki suatu jabatan tertentu.

Tingkat pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi


mengembangkan kemapuan dan kualitas kepribadian seseorang, dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan. (Siagian, 2001). Tingkat pendidikan lebih
tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu dan bersedia
menerima posisi dan tanggung jawabnya (Gibson, Ivancevich & Donnelly,
2011).

Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.


Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran,
buku, dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto
(2013) menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat
kemampuan seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau
konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak
hanya hafal secara verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001)
mengungkapkan bahwa, dalam suatu domain belajar, pemahaman
merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Dalam empat sampai lima
menit tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati
dan tidak berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 77% pendidikan responden tinggi.

Menurut asumsi peneliti pendidikan yang tinggi bisa mencerminkan


kualitas kerja yang baik. Perawat yang mempunyai pendidikan tinggi pada
umunya mengikuti pelatihan yang ada seperti resusitasi jantung paru,
sehingga orang yang telah mengikuti pelatihan resusitasi jantung paru akan
mengerti dengan tindakan yang dilakukan pada saat terjadinya kegawatan.
Tingkat Pemahaman orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan
berbeda dengan tingkat pemahaman orang yang berpendidikan rendah. Ini
semua dibuktikan pada orang yang memiliki tingkat pemahaman tinggi
tentang resusitasi jantung paru, pada saat terjadinya kegawatan orang
tersebut akan langsung mengambil tindakan tanpa menunggu atau
melalaikan pasien yang sedang gawat napas, tidak bergerak, tidak
berespon.

c. Hubungan Masa Kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan


Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017
Tabel 5.3.1 menunjukkan Hubungan masa kerja Perawat Dengan
Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017, dari 16
orang responden dengan masa kerja baru, terdapat 6 (37,5%) orang
responden pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Dari 17 orang
responden dengan masa kerja lama, terdapat 14 (82,4%) orang responden
pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p value = 0,031 (p<α) maka dapat disimpulkan adanya Hubungan masa
kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru
(RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
tahun 2017.

Masa kerja dapat menggambarkan pengalamannya dalam menguasai


bidang tugasnya. Pada umumnya, pertugas dengan pengalaman kerja yang
banyak tidak memerlukan bimbingan dibangdingkan dengan petugas yang
pengalamannya sedikit. Semakin lama seseorang bekerja pada suatu
organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga
kecakapan kerjanya semakin baik. (Ranupendoyo dan Saud, 2005

Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.


Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran,
buku, dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto
(2013) menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat
kemampuan seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau
konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak
hanya hafal secara verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001)
mengungkapkan bahwa, dalam suatu domain belajar, pemahaman
merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Dalam empat sampai lima
menit tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati
dan tidak berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016). Resusitasi jantung paru
adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan
jantung dan pada henti nafas (Aryono, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 53% masa kerja responden antara 1
samapi 10 tahun.

Menurut asumsi peneliti masa kerja seorang perawat sangat


mempengaruhi kualitas kerja seorang perawat yang bekerja dirungan.
Semakin lama perawat tersebut bekerja di rumah sakit maka semakin
banyak pengalaman yang didapatkan oleh perawat tersebut, sehingga
perawat tersebut mempunyai kualitas kerja yang baik, pada penelitian ini
pemahaman perawat yang sudah lama bekerja dirumah sakit sangat
berbeda dengan pemahaman orang yang baru bekerja dirumah sakit
tersebut, itu disebabkan karena perawat yang sudah lama bekerja memiliki
pemahaman yang lebih karena sering terpapar dengan tindakan tersebut
sehingga lebih paham dengan apa yang harus dikerjakannya. Pada intinya
perawat yang bekerja sudah lama memiliki pola pikir yang matang,
bersikap yang baik, dan mempunyai kualiatas kerja yang baik.

d. Hubungan Jenis Kelamin Perawat Dengan Pemahaman Penerapan


Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017

Tabel 5.3.1 menunjukkan Hubungan jenis kelamin Perawat Dengan


Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017, dari 14
orang responden berjenis kelamin laki-laki, terdapat 7 (50%) orang
responden pemahaman penerapan RJP tingkat sedang. Dari 19 orang
responden dengan masa kerja lama, terdapat 15 (78,9%) orang responden
pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p value = 0,010 (p<α) maka dapat disimpulkan adanya Hubungan jenis
kelamin masa kerja Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi tahun 2017.

Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada
manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Pada kebanyakan
hewan non-hermafrodit, tumbuhan berumah dua (dioecious), dan
berbagai organisme rendah orang menyebutnyajantan dan betina. Jantan
adalah kelompok yang. (Depkes RI,2009).
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan secara keseluruhan lebih dapat
menerima perawatan medis dan mengambil risiko lebih sedikit pada
kesehatan mereka dari pada laki-laki. Hal ini mungkin karena perempuan
pada dasarnya telah ikut berperan sebagai pemberi perawatan sehingga
mereka lebih terbuka terhadap pengajaran tentang promosi kesehatan.
Selain itu, mereka lebih sering berhubungan dengan penyelenggara
kesehatan saat mengandung dan membesarkan anak. Laki-laki sebaliknya,
cenderung kurang dapat menerima intervensi perawatan-kesehatan dan
mungkin lebih beresiko. Karena banyak dari perilaku ini yang dianggap
terjadi secara sosial, maka perubahan dalam perilaku mencari-kesehatan
pada laki-laki dan perempuan mulai terlihat seiring dengan meningkatnya
perhatian yang diberikan terhadap gaya hidup yang lebih sehat dan karena
perpaduan peran gender di rumah dan di tempat kerja (Kurniadi,2016).

Beberapa definisi tentang pemahaman telah diungkapkan oleh para ahli.


Menurut Sudaryono (2012), pemahaman (comprehension) adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah
sesuatu itu diketahui atau diingat, yang mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dari arti dan bahan yang telah dipelajari, yang
dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, atau
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain.

Menurut Eko Putro Widoyoko (2014), pemahaman merupakan proses


mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat
lisan, tulisan, atau grafik yang telah disampaikan melalui pengajaran,
buku, dan sumber-sumber belajar lainnya. Sementara Ngalim Purwanto
(2013) menyatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat
kemampuan seseorang yang diharapkan mampu memahami arti atau
konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya sehingga seseorang tidak
hanya hafal secara verbalistis tetapi juga memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan. Menurut Berns & Erickson (2001)
mengungkapkan bahwa, dalam suatu domain belajar, pemahaman
merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang
lebih tinggi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi uang


bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahakan fungsi vital organ
pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari
pemberian kompresi dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014).
Caldiopulmonary Resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP)
diberikan ketika tidak ada tanda – tanda kehidupan, tidak bernafas, tidak
berespons, dan tidak bergerak (Aryono, 2011).

Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan


kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Dalam empat sampai lima
menit tidak dilakukan resusitasi dengan kompresi maka otak sudah mati
dan tidak berfungsi lagi (Ganthikumar, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini tahun 2007, tentang


hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan fasilitas
dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rawat Inap Bprsud
Kota Salatiga. Didapatkan hasil 53% responden berjenis kelamin
perempuan.

Menurut asumsi peneliti jenis kelamin sangat menentukan kualitas kerja


perawat. Jenis kelamin perawat yang perempuan lebih peduli. Perawat
perempuan selalu ingin tahu dan selalu ingin menambah wawasan dalam
bidang pengetahuan sehingga dapat meningkatkan pemahaman untuk lebih
maksimal memberikan asuhan keperawatan pada pasiennya. Perawat
perempuan terbuka menerima saran dari pada laki. Hal ini disebabkan
perempuan pada dasarnya telah ikut berperan sebagai pemberi perawatan
sehingga mereka lebih terbuka terhadap pengajaran yang telah diberikan.
Perempuan lebih memiliki perasaan yang bisa membuat pasiennya bisa
sembuh dan menerima keadaannya pada saat sakit. Pada penelitian ini
pemahaman perawat yang berjenis kelamin perempuan lebih tinggi
dibandingkan tingkat pemahaman perawat yang berjenis kelamin laki-laki.
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Hasil penelitian menjelaskan lebih dari separoh 24 (72,7%) orang


responden yang berusia antara 26 sampai 35 yang disebut dewasa awal.
Dewasa akhir sebanyak 9 (27,3%) orang responden.
6.1.2 Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih dari separoh 17 (51,5%) orang
responden berpendidikan tinggi, dan sebanyak 16 (48,5%) orang
responden berpendidikan rendah.
6.1.3 Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih dari separoh 17 (51,5%) orang
responden dengan masa kerja perawat lama, dan sebanyak 16 (48,5%)
orang responden dengan masa kerja perawat yang baru.
6.1.4 Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih dari separoh 19 (57,6%) orang
responden berjenis kelamin perempuan, dan sebanyak 14 (42,4%) orang
responden dengan berjenis kelamin laki-laki.
6.1.5 Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih dari separoh 20 (60,6%) orang
responden dengan pemahaman penerapan RJP tingkat tinggi, 8 (24,2%)
orang responden dengan pemahaman penerapan RJP tingkat sedang, dan
sebanyak 5 (15,2%) orang responden dengan pemahaman penerapan RJP
tingkat rendah.
6.1.6 Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,014 (p<α) maka dapat
disimpulkan adanya Hubungan Usia Perawat Dengan Pemahaman
Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
6.1.7 Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,003 (p<α) maka dapat
disimpulkan adanya Hubungan pendidikan Perawat Dengan Pemahaman
Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
6.1.8 Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,031 (p<α) maka dapat
disimpulkan adanya Hubungan masa kerja Perawat Dengan Pemahaman
Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD dan ICU RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017.
6.1.9 Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,010 (p<α) maka dapat
disimpulkan adanya Hubungan jenis kelamin masa kerja Perawat Dengan
Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD
dan ICU RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2017
6.2 Saran

6.2.1 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengembangkan ilmu


pengetahuan, meningkatkan pemahaman dalam bidang riset keperawatan
dan menambah wawasan peneliti dalam menyusun skripsi serta
pemahaman tentang konsep resusitasi jantung paru (RJP).
6.2.2 Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian dapat dijadikan sumber referensi bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian dengan tema yang sama dan variabel yang
berbeda secara eksperimen dengan jumlah sampel yang lebih besar.

6.2.3 Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk meningkatkan


pemahaman penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP), serta untuk
mencegah komplikasi lanjutan yang bisa ditimbulkan apabila kurangnya
pemahaman penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

6.2.4 Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran dalam meningkatkan


pelayanan kesehatan khususnya dalam penerapan Resusitasi Jantung Paru
(RJP) di Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.
Daftar pustaka

Aryono, A., (2011). Advance Life Support (Bantuan Hidup Lanjut) Final Draft.

IDSAI

Bern, Robert G. dan Patricia M. Erickson. (2001). Contextual Teaching and


learning : Preparing Students for the New Economy. http://eric.ed.gov/?
id=ED452376 diakses pada 23 Maret 2016.
BT&CLS (Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life Support, Yayasan
Ambulans Gawat Darurat 118 & PT Ambulans Satu Satu Delapan ; editor,
Aryono Pusponegoro. Jakarta : Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118.
Charles, D, Deakin. (2010). European Resusciation Council Guidelines for
Resuciation 2010 Section 4. Adult Advanced Life Support. Resusciation.
Depkes RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depertemen Republik
Indonesia.
Depkes RI. (2005). Instrumen evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan di
rumah sakit (cetakan keempat). Jakarta : Depkes.
Ernawati. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika
Siswa SMU Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Skripsi Jurusan
Pendidikan Matematika FPMIPA UPI (tidak dipublikasikan).
Ganthikumar, K. (2016). Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung Paru
(RJP). Vol. 6 No.1, Hal:58-64.
Gibson, J. L., Ivancevich, J.M., Donelly, J.H (2011). Organization: behavior,
structur, and process. 14 edition. Kentucky: McGraw-Hill Educiation.
Goldbelger, K.G.S.2012. Pertolongan pertama dan RJP Ed.2. Jakarta: EGC.

Hidayat, A. (2009). Metode penelitan keperawatan dan Teknik Analisa Data.

Jakarta: Salemba Medika.

Hadisman. (2014). Gawat Darurat Medis – Praktik. Yogyakarta: Gosyen


Publishing.
Hamid, Achir Yani S. (2007). Buku Ajar Riset Keperawatan, Konsep Etika Dan
Instrumentasi. Jakarta : EGC
Handoko, Hani. (2010). Manajemen Personalia & Sumberdaya Manusia. Edisi
kedua. Yogyakarta: BPFE UGM.
Hasibuan, M.S.P. (1995). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hasibuan, M.S.P. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. (edisi dua), Jakarta:
Bumi Aksara.
Hasibuan, M.S.P. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. (edisi revisi),
Jakarta: Bumi Aksara.
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, D. (Eds). (2001). Adding It Up: Helping
Children Learn Mathematics. Washington: National Academy Press.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2016/12/tingkat-pemahaman-
konsep.html

Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan.

Kotler, P. (2002). Manajemen Pemasaran, Jakarta : Prehallindo.

Kutipan dari Naskah Akademik Pendidikan keperawatan Indonesia oleh


PPNI,AIPNI,AIPDIKI dan dukungan dari Kemendiknas (Project HPEQ
2009-2015).
Krisanty, P. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info
Mediksa.
Kurniadi. (2013). Analisis hubungan antara karakteristik perawat dengan
kepuasan kerja dan prestasi kerja perawat di RSUD Budi Asih. Tesis,
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan
Mackay, S.S. (2004). Asuhan Kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info Media
Mangkunegara, A.A.A.P. (2004). Manajemen sumber daya manusia perusahaan.
Cetakan ke 5. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Ngalim Purwanto. (2013). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Notoatmodjo, S. (2003). Prinsip – Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Trans Info


Media.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian . Jakarta : PT Bumi Aksara
Purwanto Heri (2000), Manajement And Leadership In Nursing And Health Care

: An Experiental Approach. Third Edition. Boston: John and Bartlett


Publiser Inc.
Ranupendoyo dan Suad, (2005). Manajemen personalia, edisi4, Pustaka Binawan
Presindo FE - UGM, Yogyakarta.
Robbins, P. S., & Jugge, T.A. (2013). Organizational Behavior: Concept,
Controversies Aplication (15 th ed.). New Jersey Prentice-Hall, Inc., Upper
Saddle River
Sampurna, M., 2009. Pertolongan pertama dan RJP Ed.3. Jakarta: EGC.

Sartono., Masudik., Suhaeni, AE. Basic Trauma Life Support. Ed.2, Cetakan ke –
XXII, revisi 2016. GADAR Medik Indonesia, Bekasi.
Siagian, S.P. (2001). Manajemen sumber daya manusia; Human resourse
management. Cetakan kedelapan, Jakarta : Bumi Aksara.
Sudaryono. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. (2004). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung :
Alfabeta.

Suharsono, T. Ningsih, D. (2012) Penatalaksanaan Henti Jantung Di Luar


Rumah Sakit. Malang : UMMP Press
Sudiharto, Sartono. (2013). Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta.

Sudjana, Nana. (2010). Evaluasi Proses dan Hasil Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.
Taylor & Cozenza, (1994). Conceptual choice model for hospitals service,
Diakses dari:http://proques.umi.com/pqdweb, diperoleh tanggal 12 Maret
2008)
Usman, Moh. Uzer. (2002). Menjadi Guru Profesional. (Cet. XIV). Ed. II.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Virlianti, Y. (2002). Analisis Pemahaman Konsep Siswa dalam Memecahkan
Masalah kontekstual pada Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan
Realistik. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UPI (tidak
dipublikasikan).
Widya A. (2015). Belajar dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta ;
Rinerka Citra.
WHO. (2004). C-Reactive Protein and primary prevention of heart disease
Lampiran 1

Jadwal Kegiatan Penelitian

Bulan/Tahun
No Uraian Kegiatan 2016-2017

Desember Januari Februari Maret April Mei

1 Pemilihan Peminatan &


Pengajuan Tema Penelitian
2 Registrasi Judul
3 Penulisan Proposal
4 Ujian Seminar Proposal
5 Perbaikan Proposal
Penelitian
6 Pengumpulan Proposal
Penelitian
7 Penelitian
8 Penulisan hasil skripsi
9 Ujian skripsi
Lampiran 2

KISI – KISI KUESIONER

Tujuan Variable Jumlah pertanyaan Nomor item


pertanyaan

Mengetahui Karakteristik 4 1, 2, 3, 4
karakteristik perawat
perawat dan
pemahaman
penerapan
resusitasi jantung
paru (RJP)
Pemahaman
penerapan
resusitasi jantung
paru (RJP) 20 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,

8, 9, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 17,

18, 19, 20
Lampiran 3

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth:
Calon Responden di RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi
Kota Bukittinggi
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKes Perintis Padang:
Nama : Misye Herlindawati
Nim 13103084105023
Akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Karakteristik Perawat
Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Di Ruangan
IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017”.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi saudara sebagai
responden. Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila saudara menyetujui, maka dengan ini saya mohon kesediaan untuk
menandatangani lembar persetujuan (informed concent) dan melakukan tindakan
yang saya berikan.
Demikian atas perhatiannya dan kesediaan saudara sebagai responden saya ucapkan
terimakasih.
Peneliti

Misye Herlindawati
Lampiran 4

FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Setelah dijelaskan maksud dari peneliti, maka saya bersedia menjadi responden yang
dilakukan oleh saudari Misye Herlindawati Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Keperawatan Perintis Padang yang akan mengadakan penelitian dengan judul
“Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) Di Ruangan IGD Dan ICU RSUD Dr.Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2017”.
Demikian persetujuan ini saya tanda tangani dengan sesungguhnya sukarela tanpa
paksaan siapapun agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bukittinggi, Juni 2017
Responden

( )
Lampiran 5

LEMBAR KUESIONER

No.Responden

HUBUNGAN KARAKTERISITIK PERAWAT DENGAN


PEMAHAMAN PENERAPAN RESUSITASI JANTUNG PARU
(RJP) DI RUANGAN IGD DAN ICU RSUD Dr.ACHMAD
MOCHTARBUKITTINGGI TAHUN 2017
Petunjuk pengisian pernyataan

1. Baca dan isilah lembaran kuesioner dengan lengkap

2. Berilah tanda ceklis ( √ ) pada salah satu yang ditentukan

3. Jika telah diisi dengan lengkap diserahkan kembali pada peneliti

4. Terimakasih atas partisipasi Bapak / Ibu dan Selamat Mengisi

A. Karakteristik Perawat
Nama :
Ruang dinas :
1. Usia :

2. Pendidikan DIII Keperawatan


: S1 Keperawatan
S2 Keperawatan
3. Masa kerja 3 tahun

:
>3 tahun

4. Jenis Kelamin Laki – laki


Perempuan
:
B. Pemahaman Perawat terhadap RJP

Petunjuk pengisian pernyataan

1. Baca dan isilah lembaran kuesioner dengan lengkap

2. Berilah tanda ceklis ( √ ) pada salah satu yang ditentukan

3. Jika telah diisi dengan lengkap diserahkan kembali pada peneliti

4. Terimakasih atas partisipasi Bapak / Ibu dan Selamat Mengisi

No. Pernyataan Ya Tidak

1. Resusitasi dilakukan kepada orang yang tidak bias bernafas, dan


tidak ada pergerakan sama sekali

2. Resusitasi jantung paru adalah prosedur kegawatdaruratan medis


yang ditujukan untuk serangan jantung dan henti nafas

3. Resusitasi jantung paru dilakukan untuk membuat seseorang


bernafas kembali

4. Resusitasi dapat dilakukan dipinggir jalan, yang penting korban


dan penolong terlindungi

5. Untuk mengecek respon korban dilakukan dengan menepuk bahu


korban
6. Jika korban tidak merespon langsung memanggil bantuan

7. Berikan nafas buatan setiap 10 detik

8. Kecepatan kompresi dada dilakukan selama 120 x / menit

9. Kedalaman penekanan dada saat resusitasi sekitar 5 cm

10. Kompresi dada merupakan penekanan dibagian garis tengah dada

11. Langsung amankan korban ketika korban sudah tersadar

12. Cek nadi dilakukan pada nadi yang ada dibagian leher

13. Apabila sudah terlihat adanya pengembangan dada berarti nafas


buatan yang diberikan penolong sudah berhasil

14. Kompresi dada yang efektif dilakukan dengan penekanan yang


tegas dan cepat

15. Semakin cepat kompresi semakin cepat korban tersadar

16. Sebagai penolong harus selalu menyiapkan alat perlindungan diri


seperti sarung tangan dan masker

17. Jika penolong sudah lelah harus ada yang menggantikan untuk
mengkompresi korban
18. Ketika melihat orang kecelakaan langsung telpo0n ambulans

19. Jika korban sudah tidak teraba nadinya langsung lakukan


kompresi dada

20. Resusitasi hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah pernah
ikut pelatihan

Skor

(Shella Rachmawaty, FIK UI, 2012)


YAYASAN PERiNTI5 PADANG (Perinlis Foundation)

Campus 1 : JI. Adinegoro Simpang ¥alumpang Lubuk Buaya PadanB, Sumatera Barat - Indonesia.
Telp. (-6275t) 481992, flax. (+62751) 48t962

Campus ? : JI. Kusuma Bhakti Gulai Bancah Bukittinggi, Sumatera Barat - Indonesia. Telp. (+62752)
34613. Fax.(+627S2) 3-4613

Nomor : 3*t /ST1Kes- YP Pend/***/ 20.17


Lamp Izin Pengambilar. Data dan
Penhal Penelitian

Kepada
Yth, Bapat
Ibu Di
Tempat

A.ssalr'.iwi’alyikutn Wr. Wh
Dengan hormat.
Dalam ranjka menyusun Tugas Akhir Program bfigi mahesiswa Semester Ganjil Program Alih
Jenjang Program Studi llmu Keperawatan Perintis Padang Tahun Ajaran 2016/ 2017 atas
mahasiswa:

Judul Penelifian

mahasiiswa
Dalam hal penulisan Tugas T° t7
Akhir Program tersebut,
m- •mbutuhkan data dan inforiiiasi untuk
menyusun proposal dan melakukan penelitian. Oleh karena itu kami mohon kesediaan Bapak/ Ibn
untuk dapat memberi izin dalam pengambilan data dvi penelitian yang dilakukan inahasiswa pada
Instansi yang Rapak/ Ii›u pimpin.

Deinikianlah surat ini kami sampa'kan, dengan hadapan Bapak/ lbu dapat mengabulkannya. atas
bantuan den keijasama yaig baik Lami ucapkan terirna kasih

Set. lah Tinggi llmu Kesehatari Perintis

â’en ’ al J afri SK i. M. Bionied


NIK: 1420106J 16893011

4.
BIDANG 9UMBER DAYA MANUSIA
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
Jalan Dr.A.Riva‘i - Bukittinggi

099/ /RSAM-SDM/II/ 2017 Bukittinggi, 21 Februari 2017,


Lamp
Hal Petigambllan Data 6 Izin Panelltfan

Kapada Yth.
1. Ka Bidang Pelayanan Medis & Rekam Medik
2. Ka Bidang Perawatan
3. KaRuangan:.,....:...:.. :::.
4. Ka Poli..............................................
5. ......... .......... .

RSUD.Dr.Achmad Nochtar

Bukitt!nggi

Dengan homat,

Bersama ini kami sanpaikan bahwa yang tersebut dibawah ini:

Ncma : MISYE HERLINDAWATI


No. NIM : 13103084105023
Instltuai : S1 Ilmu Keperawatan STIKes Perlntie Sumbar

Akan melakukan pengambilan data dan Penelitian ditempat Saudara, dengan judul ” Hubungan Karakteridik Perawat
Dengan Melaksanakan Tindakan RJP dl Ruang IGD Dan ICU RSUD Dr.ACHMAD M0chtar Buklttlnggi”

Demikianlah disampaikan atas perhatian dan ke9a samanya diucapkan terimakasih.


Kepala Bidang SDM
“/ ¿ RSUD Dr. Achmad, Mochtar Buklttlnggl
PEMERINTAH PROPINSI SUMATERA BARAT

NIItfU2f2A€RbJdDIIIf96
Jalan Dr.A.Riva’i Bukittinggi -26114
Tep. Hunting (0752) 21720 -21492 —21831-21322
Fax (0752) 21321 Telp. Dir (0752) 33825

No : 073/°TXk*/SDM-RSAM/ VII / Bukittinggi,22 Juli 2017


2017
Lamp
Hal : Penqembalian Mahasiswa

Kepada Yth.
Sdr.Ka.Prodi STlKes Perintis Sumbar
di-
BUhf7fbjGGl

Dengan hormat,

Sehubungan dengan telah selesainya Pengambilan data dan Penelitian Mahaa ¥a SI Ilmu
Keperawatan STlKes Perintis Sumbar , maka bersama ini kami kembalikan ke Institusi Pendidikan
atas nama:

Nama : MISYE HERLIN


No. NIM : 0103084105023
lnstitusi : QIlmu Keperawatan STIKes Perintis Sumbar

Dengan judul Penelitian “ Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Pemahaman Penerapan Resusitasi Jantung
Paru (RJP) di IGD DANICCU RSUD Dr.Achmad Moctar Bukittinggi
Tahun 2017”
Untuk keperluan pengembaqan Bidang SDM (Seksi Diklit) RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
diharapkan kepada Saudata untuk dapat memberikan hasil penelitian mahasiswa tersebut diatas
kepada kami sebelum ljazah yang bersangkutan diberikan.

Demikian disampaikan atas perhatian dan keqa samanya diucapkan terimakasih.

Pembl tfla Mud IP. 19610115 1 3 1003


MASTER TABEL

Karakteristik Pemahaman Penerapan RJP


Perawat
Tingk Jeni
Usi at Masa s
No
Nama a Pendidi Kerja Kela
.
kan min
La
Um KT Pen K m KT L/ KT P P P P4 P5 P6 P7 P8 P9 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P1 P2 ∑
ur G d. T a G P G 1 2 3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
G Ke
rj
a
1 Tn. M 26 1 D3 2 2 1 L 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 15
2 Ny. L 31 1 S1 1 5 2 P 2 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 16
3 Ny. E 33 1 S1 1 4 2 P 2 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 17
4 Ny. I 32 1 S1 1 4 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 18
5 Tn. R 37 2 D3 2 2 1 L 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 11
6 Ny. M 28 1 S1 1 6 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 19
7 Ny. Y 31 1 S1 1 4 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 17
8 Ny. S 33 1 S1 1 4 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 19
9 Tn. C 32 1 D3 2 3 1 L 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 16
10 Tn. M 32 1 S1 1 7 2 L 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 17
11 Tn. A 32 1 S1 1 3 1 L 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 17
12 Ny. A 38 2 D3 2 3 1 P 2 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 11
13 Tn. N 27 1 D3 2 5 2 L 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 14
14 Ny,M 4 2 S 1 7 2 P 2 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 17
3 2
15 Tn. H 2 1 D 2 3 1 L 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 15
5 3
16 Ny. G 3 2 D 2 3 1 P 2 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 11
8 3
17 Ny. D 2 1 S 1 4 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 19
8 1
18 Tn. J 2 1 S 1 2 1 L 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 17
8 1
19 Ny. K 3 2 D 2 5 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 19
7 3
20 Tn. P 3 2 D 2 1 1 L 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 11
6 3
21 Tn. Y 2 1 S 1 2 1 L 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 16
7 1
22 Ny. N 2 1 D 2 4 2 P 2 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 11
8 3
23 Ny. M 3 2 D 2 1 1 P 2 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 13
6 3
24 Ny. E 2 1 S 1 5 2 P 2 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 17
8 1
25 Tn. I 2 1 S 1 2 1 L 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 12
8 1
26 Tn. N 3 2 D 2 5 2 L 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 15
6 3
27 Ny. R 2 1 D 2 2 1 P 2 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 17
6 3
28 Tn. R 2 1 S 1 3 1 L 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 15
8 1
29 Ny. D 2 1 D 2 2 1 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 19
4 3
30 Ny. N 4 2 S 1 5 2 P 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 16
3 1
31 Tn. H 2 1 D 2 1 1 L 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 0 14
8 3
32 Ny. D 2 1 D 2 4 2 P 2 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 16
6 3
33 Ny. B 2 1 S 1 2 1 P 2 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 18
7 1

Keterangan Usia Keterangan Masa Kerja


∑ = Jumlah 1. Baru : ≤3tahun
KAT = Kategori 2. Lama : >3 tahun
1. Dewasa Awal : 26- 35 tahun
2. Dewasa Akhir : 36- 45 tahun Keterangan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1. Tingkat tinggi : bila responden mampu menjawab
dengan benar 76 – 100 %
Keterangan Pendidikan (Pend.) 2. Tingkat sedang: bila responden mampu menjawab
dengan benar 56 – 75 %
1. Tinggi : S2 Keperawatan dan S1 3. Tingkat rendah : bila responden mampu menjawab
Keperawatan dengan benar <56
2. Rendah: DIII Keperawatan

Keterangan Jenis Kelamin (JK)


1. Laki – laki = L
2. Perempuan = P
PENDIDIKAN SARJANA KEPERAWA7’AN PitOGRJ.5* SI U I I°.*•'II
KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN l’ERlii IiS PJA G

LEMBAR KONSULTASI

NAMA MAHASISWA : MISYE HERLINDAWATI

NA : 13103084105023
PEMBIMBING I : Ns. Ida Suryati, M.Kep
JUDUL :Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemahaman Penetapan
Resusitasi Jantung Pam (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU RSUD
Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017

BfMBINGAN HARI / MATERI BIMBINGAN TANDA


KE TANGGAL TANGAN
P BOMBING

2.

3.

6.
PENDIDIKAN SARJANA KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

LEMBAR KONSULTASI

NAMA MAHASISWA : MISYE HERLINDAWATI

NIM : 13103084105023
PEMBIMBING I
JUDUL : Ns. Aldo Yuliano, S.Kep,M.M

:Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemahaman Penetapan


Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU RSUD
Dr.Aehmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017

BIMBINGAN HARI / MATERI BIMBINGAN TANDA


M TANGGAL TANGAN
PE IMBING
7.

8.
LEMBAR KONSUL

Nama Mahasiswa : MISYE HERLINDAWATI

NIM : 13103084105023
Pembimbing
I Judul : Ns. Ida Suryati, M.Kep
Skripsi
: Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemaham Penerapan
Resusitasi Jantung Pam (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017

NO Hari/Tanggal Materi Bimbingan Tanda Tangan


Pembimbing
LEMBAR KONSUL REVISI

Nama Mahasiswa : MISYE HERLINDAWATI

NIM : 13103084105023
Penguji II : Ns. Ida Suryati, M.Kep
Judul : Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemaham Penetapan
Skripsi Resusitasi Jantung Pam (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017

NOHari/Tanggal Materi Bimbingan Tanda Tangan Pembimbin


LEMBAR KONSUL

Nama Mahasiswa : MISYE HERLINDAWATI


: 13103084105023

Pembimbing : Ns. Aldo Yuliano, S.Kep,M.M


II Judul : Hubungan Karakterisitik Perawat Dengan Pemaham Penerapan
Skripsi Resusitasi Jantung Pam (RJP) di Ruangan IGD Dan ICU
RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2017

NO Hari/Tanggal Materi Bimbingan T da Tangan


P bimbing

Anda mungkin juga menyukai