Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan di mana saja,
dan memerlukan penanganan yang segera, karena dapat mengancam jiwa atau
menimbulkan kecacatan permanen. Kejadian gawat darurat dapat disebabkan
antara lain karena kecelakaan lalu lintas, penyakit, kebakaran maupun
bencana alam (Depkes, 2016). Kasus kegawatdaruratan merupakan bagian
penting yang perlu diperhatikan, karena secara jumlah dan dampak yang
ditimbulkan terjadi peningkatan dari waktu ke waktu (Fikriana, 2018).
Saat ini Congestive Heart Failure (CHF) atau yang biasa disebut
gagal jantung kongestive merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler
yang terus meningkat insiden dan prevelensinya. Resiko kematian akibat
gagal jantung berkisar 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Penyakit
kardiovaskuler disebabkan oleh perubahan pola dan gaya hidup manusia
seperti mengkonsumsi makanan siap saji, gaya hidup yang santai (sedentary
lifestyle) dan kurangnya aktivitas olahraga. Salah satu penyakit
kardiovaskuler yang paling sering menyebabkan kematian ialah Congestive
Heart Failure atau lebih dikenal dengan penyakit Congestive Heart Failure
(CHF) (Hamm, 2011).
Congestive Heart Failure (CHF) merupakan ketidakmampuan
otot jantung memompakan sejumlah darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. CHF adalah sebuah kondisi dari kardiovaskuler dimana
jantung tidak bisa memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme dari jaringan tubuh (Desai, Lewis, Li, &
Solomon, 2012; Kasron, 2016).
Congestive Heart Failure (CHF) disebabkan oleh kelainan otot
jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik atau pulmonal,
peradangan, penyakit jantung lain seperti gangguan aliran darah,
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah atau pengosongan jantung
abnormal (Brunner & Suddarth, 2013).
World Health Organization 2016 (WHO, 2016) menyampaikan data
bahwa penyakit kardiovaskuler sebanyak 17,5 juta orang di dunia meninggal
akibat gangguan kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular
terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan 80%
kematian kardiovaskuler disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.
Jumlah kejadian penyakit jantung di Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah
136 per 100.000 orang. Sedangkan di Asia Tenggara menunjukkan Indonesia
termasuk kelompok dengan jumlah kejadian tertinggi yaitu 371 per 100.000
orang lebih tinggi (WHO, 2016).
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan
Indonesia pada tahun 2018, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter diperkirakan sebesar 1,5% atau diperkirakan
sekitar 29.550 orang. Paling banyak terdapat di provinsi kaltara yaitu 29.340
orang atau sekitar 2,2%. Estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung
berdasarkan diagnosis atau gejala, terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat
sebanyak 96.487 orang atau sekitar (0,3%). Penyebab kematian terbanyak
yang sebelumnya ditempati oleh penyakit infeksi sekarang telah beralih
menjadi ke penyakit kardiovaskular dan degeneratif dan diperkirakan akan
menjadi penyebab kematian 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan
penyakit infeksi pada tahun 2013.
Congestive Heart Failure (CHF) telah meningkat dan menjadi
peringkat pertama sebagai penyebab utama kematian di Indonesia. Prevalensi
Congestive Heart Failure (CHF) di Indonesia menurut Riskesdas (2016)
sebesar 0,3% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Data prevalensi
penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara pada responden umur ≥ 15
tahun berupa gabungan kasus penyakit yang pernah di diagnosis dokter atau
kasus yang mempunyai gejala penyakit gagal jantung (Riskesdas, 2016).
Diagnosis dokter/gejala penderita Congestive Heart Failure (CHF)
akibat penyakit Congestive Heart Failure (CHF) di Kota Bengkulu sebesar
0.3% yang menderita Congestive Heart Failure (CHF) (Infodatin, 2013).
Setelah tahun 2016 angka penderita gagal jantung di kota Bengkulu
mengalami peningkatan sebesar 1,2%, Ini merupakan peningkatan yang
sangat pesat dan diharapkan pemerintah dapat memberikan perhatian khusus
terhadap penderita Congestive Heart Failure (CHF) kongestif ini (Kesehatan
& Indonesia, n.d.). Berdasarkan data medical record 4 tahun terakhir di
RSUD dr. M.Yunus Bengkulu jumlah penderita Congestive Heart Failure
(CHF) di RSUD M. Yunus Bengkulu pada tahun 2017 angka penderita
adalah 456 orang, sedangkan pada tahun 2018 angka penderita Congestive
Heart Failure (CHF) yaitu sebanyak 332 orang, (Medikal Record RSUD Dr.
M. Yunus Bengkulu, 2020).
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi menurunnya
kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang dipompa pada setiap
kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan darah keseluruh tubuh.
Apabila suplai darah tidak lancar diparu-paru (darah tidak masuk kejantung),
menyebabkan penimbunan cairan diparu-paru (Pulmonary Edema) yang
dapat menurunkan pertukaran oksigen dan karbondioksida antara udara dan
darah di paru-paru (Smeltzer & Bare, 2015).
Pulmonary Edema terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat
alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pertukaran gas. Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema)
terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih
besar daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura
viseral yang menyebabkan efusi pleura. Peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena
pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri dan tekanan atrium kiri (Murray JF, 2011).
Gambaran klinis Pulmonary Edema yaitu dari anamnesis ditemukan
adanya sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat
nyeri dada dan riwayat sakit jantung. Gejala umum lain yang mungkin
ditemukan salah satunya adalah lebih cepat merasa sesak napas dengan
aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion). Tingkat oksigenasi darah yang
rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan Pulmonary Edema.
Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti ronki
atau crakles (Huldani H, 2014).
Dyspnea menurut definisi American Thoracic Society (ATS)
didefinisikan sebagai pengalaman subyektif ketidaknyamanan dalam
bernapas yang terdiri dari berbagai sensasi yang bervariasi dalam intensitas
secara kualitatif. Pengalaman kompleks antara pikiran dan tubuh yang
berkaitan dengan interaksi antara faktor fisiologis, psikologis, sosial, dan
lingkungan. Dispnea dapat timbul secara konstan atau episodik. Dispnea
insidental (breakthrough dyspnea) dilaporkan terjadi pada 80% pasien
dimana terjadi serangan dispnea yang memberat pada saat bebas gejala dalam
hitungan detik atau jam, sedangkan dispnea kontinu terjadi pada 39% pasien.
Secara umum, episode dispnea insidental terjadi sebanyak 5-6 kali per hari
dan berlangsung selama kurang dari 5 menit. Hal ini mengindikasikan
perlunya paradigma tatalaksana bahwa diperlukan aksi cepat untuk
mentatalaksana dispnea tersebut (Kamal AH et.al, 2011). Dyspnea yang
merupakan manifestasi klinis yang ada pada penyakit Congestif Heart
Failure (CHF) sehingga muncul masalah keperawatan pola nafas tidak efektif
(Sudiharto & Sartono, 2011).
Pola napas tidak efektif merupakan suatu keadaan dimana inspirasi dan
atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Pola napas tidak
efektif ini jika tidak ditangani secara cepat maka bisa menimbulkan masalah
yang lebih berat saperti pasien akan mengalami sesak yang hebat bahkan bisa
menimbulkan kematian (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Intervensi farmakologi dan nonfarmakologi telah dinilai untuk
manajemen dispnea pada pasien. beberapa treatment pada pasien CHF
sesuai dengan kondisi penyerta yang mengganggu baik menggunakan
oksigenasi pada manajemen farmakologi, maupun training exercise,
breathing exercise & fisioterapi pada manajemen non farmakologi.
Training exercise pada pasien CHF masuk dalam kategori aktifitas
cardiac rehabilitation exercise. Training exercise merupakan terapi
dengan melakukan aktifitas fisik tertentu yang dilakukan secara terarah
dan terukur pada pasien CHF dengan indikator tekanan darah, denyut nadi
dan respirasi. (Antunes-Correa. et al., 2014).
Salah satu terapi non farmakologis yang baik untuk mengatasi
masalah pola nafas tidak efektif yaitu bisa dengan menerapkan beberapa
terapi keperawatan yang bisa dilakukan secara mandiri seperti yang dapat
dilakukan dalam manajemen dyspnea. Tindakkan ini diharapkan dapat
membuat pola nafas lebih teratur dengan menerapkan evidence based
tersebut atau beberapa hasil penelitian rekan sejawat yang terbaru tanpa
memberikan efek samping bagi tubuh yang akan dibahas dalam Karya Ilmiah
Akhir Ners ini, sehingga diharapkan bisa di implementasiakan kepada pasien
dengan harapan penyembuhan akan cepat lebih optimal dan anak yang
terkena bronkopneumonia (Alexander, 2017)
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan dalam manajemen
dyspnea yaitu Training exercise dengan melakukan pemberian
Ventilatory muscle training (VMT). Sedangkan untuk intervensi
Breathing Control Exercise dengan melakukan Diafraghmatic Breathing
Exercise, Thoracic Expansion Exercise, Latihan Huffing, Relaxation
Techniques, Body Position Exercise. sedangan pada penatalaksanaan
fisioterapi dapat menggunakan intervensi yaitu Myofascial release
Efek pemberian terapi non farmakologis tersebut mengontrol
pernafasan pada pasien CHF adalah terjadinya peningkatan kekuatan otot
aksesori pernafasan, menurunkan dyspnea, menurunkan hospitalisasi dan
mortality serta meningkatkan quality of life (QOL) pasien CHF. (Fleg et
al., 2015) Evidence based tersebut pada pasien CHF dapat juga digunakan
untuk meningkatkan transport oksigen dan memaksimalkan penggunaan
oksigen tersebut pada otot-otot pernafasan, dapat meningkatkan aliran
darah, meningkatkan pertukaran gas dan meningkatkan exercise
tolerance, functional class, quality of life dan mental depression pada
pasien CHF. (Hirai, Musch, & Poole, 2015; Poole, Hirai, Copp, & Musch,
2012).
Berdasarkan permasalahan pada kasus di atas penulis tertarik untuk
melakukan studi kasus pada pasien dengan masalah Pulmonary Edema akibat
Congestif Heart Failure (CHF) yang dituangkan dalam Karya Tulis Ilmiah
Akhir Ners dengan judul “Asuhan Keperawatan: Manajemen Dyspnea
Pada Pasien Pulmonary Edema Akibat Congestif Heart Failure
(CHF) Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Tahun 2021”

B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa masih tingginya angka penyakit
kardiovaskuler di Indonesia prevalensi penyakit Congestive Heart Failure
(CHF) di tahun 2013 sebesar 0,13%, di kota Bengkulu mengalami
peningkatan pada tahun 2016 sebesar 1,2% yang menderita gagal jantung
kongestif. Congestive Heart Failure (CHF) memiliki beberapa gejala. Salah
satu nya adalah Dispnea insidental (breakthrough dyspnea) dilaporkan terjadi
pada 80% pasien, ini merupakan suatu masalah yang membutuhkan perhatian
lebih bagi tenaga kesehatan bagaimana cara melakukan manajemen dyspnea
pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) ini dapat berkurang. Penderita
Congestive Heart Failure (CHF) yang mengalami dyspnea kebanyakkan
hanya tergantung terhadap obat yang diserepkan oleh dokter, pada umumnya
penderita Congestive Heart Failure (CHF) dan keluarga kebingungan
mengatasi dyspnea yang dating tiba-tiba. dyspnea akan menjadi semakin
memburuk tanpa adanya upaya non farmakologi sebagai salah satu
pertolongan pertama yang dapat dilakukan oleh secara mandiri. Berdasarkan
fenomena ini maka rumusan masalah pkarya ilmiah akhir ners adalah
“Asuhan Keperawatan: Manajemen Dyspnea Pada Pasien Pulmonary
Edema Akibat Congestif Heart Failure (CHF) Di Instalasi Gawat
Darurat Rsud Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2021”
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ASUHAN KEPERAWATAN: MANAJEMEN DYSPNEA PADA


PASIEN PULMONARY EDEMA AKIBAT CONGESTIF HEART
FAILURE (CHF) DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUD DR. M.YUNUS BENGKULU
TAHUN 2021

DISUSUN OLEH:
NOVA HIJJAH SURYANI, STR. KEP
P0. 5120420 020

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2020/2021

Anda mungkin juga menyukai