Disusun oleh:
Stepanus Dwi Yudanto (201711073)
2
Pada pasien Bp.S awal 2019 di diagnosis kanker certum, dioperasi bulan
juli 2019 dilanjutkan kemoterapi 8x, di USG ada pembengkakan jantung
sampai saat ini, evaluasi dokter terindikasi adanya metatase diparu dan
disarankan untuk kemoterapi tetapi pasien takut, riwayat asma sejak muda.
Kondisi yang dirasakan pasien berawal dari nyeri menekan ke ulu hati dan
sakit di dada merasa sesak, ada rasa untuk mual tetapi tidak bisa keluar
disertai dengan sesak nafas. Keluhan saat ini tenggorokan serak, batuk-batuk,
terasa batuk saat pagi hari dan sesak di dada, mudah lelah dan nyeri skala 4 (0-
10).
Oleh karena itu perawat pada masa sekarang ini, perawat dituntun untuk
selalu melakukan edukasi kepada masyarakat yang kurang akan pengetahuan
penyakit gagal jantung kongestif, baik itu edukasi dalam mengobati ataupun
edukasi dalam penanganan gagal jantung kongestif. Berdasarkan dari uraian
tersebut, penulis ingin mengkaji lebih kompleks dalam asuhan keperawatan
pada pasien Bp.S Dengan Congestive Heart Failure (CHF) Di Ruang
Perawatan Rawat Inap EG 4 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
4.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)?
3
4.3 Tujuan
4.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademis
Asuhan Keperawatan Bp.S dengan CHF ini diharapkan bisa bermanfaat
sebagai bahan bacaan tentang pengembangan ilmu terutama bidang
keperawatan system kardiovaskuler agar memperoleh ilmu tentang
penanganan pasien dengan CHF.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
5
2.1.2.2 Hipertensi yang tidak terkontrol.
2.1.2.3 Kardiomiopati
2.1.2.4 Disfungsi katup jantung
2.1.2.5 Infeksi pada jantung seperti mokarditis atau endokarditis.
2.1.2.6 Ketidakpatuhan pada pengobatan dan diet.
2.1.2 Klasifikasi
Menurut Morton, dkk (2012), gagal jantung dapat diklasifikasikan sebagai:
2.1.3.1 Gagal jantung akut versus gagal jantung kronis
Istilah akut dan kronis digunakan untuk menjelaskan awitan gejala gagal
jantung dan intensitas gejala.
Gagal jantung awitan akut adalah timbulnya gejala secara mendadak,
biasanya selama beberapa hari atau beberapa jam. Gejala akut berkembang
sampai pada poin ketika intervensi segera atau intervensi kedaruratan
diperlukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Gagal jantung awitan kronis adalah perkembangan gejala selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Gejala kronis menggambarkan
kondisi dasar, keterbatasan kehidupan pasien sehari-hari. Jika penyebab
awitan akut atau gejala akut tifak reversibel, gagal jantung dapat menjadi
kronis.
2.1.3.2 Gagal jantung kiri versus gagal jantung kanan
Gagal jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengosongkan
atau mengisi dengan benar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di
dalam ventrikel dan kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal jantung kiri
dapat lebih lanjut diklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik dan diastolik.
Gagal jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat. Penyebab gagal jantung kanan yang paling seirng terjadi
adalah gagal jantung kiri, tetapi gagal jantung kanan dapat terjadi dengan
adanya ventrikel kiri yang benar-benar normal dan tidak menyebabkan
gagal jantung kiri. Gagal jantung kanan juga disebabkan oleh penyakit
paru dan hipertensi arteri pulmonari primer ( yang disebut dengan kor
pulmonale). Awitan akut gagal jantung kanan sering kali disebabkan oleh
embolus paru.
6
2.1.3.3 Klasifikasi fungsional gagal jantung New York Heart Association
(NYHA)
Klasifikasi fungsional gagal jantung New York Heart Association
(NYHA) adalah ukuran seberapa gejala gagal jantung batasi aktivitas
pasien.
Kelas I Tidak ada keterbatasan aktifitas fisik. Aktifitas fisik biasa tidak
menyebabkan yang tidak semestinya atau dispnea.
Kelas III Keterbatasan nyata aktifitas fisik tanpa gejala. Gejala terjadi bahkan
pada saat istirahat, jika aktifitas fisik dilakukan, gejala meningkat.
7
saturasi oksigen yang 2. Edema ekstermits bawah (edema
rendah ,adanya bunyi jantung dependen), hepatomegali, asites
tambahan ,bunyi jantung s3 atau (akumulasi cairan pada rongga
“gallop ventrikel” bisa dideteksi peritoneum) kehilangan nafsu makan,
melalui aukultasi mual, kelemahan, dan peningkatan
2. Dispnea saat beraktifitas berat badan akibat penumpukan cairan
(DOE),orthopnea, dispnea nocturnal
paroksismal (PND)
3. batuk kering dan tidak berdahak
diawal, lama kelamaan dapat
berubah menjadi batuk berdahak.
4. Sputum yang berbusa, banyak,
dan berwarna pink (berdarah)
5. Krekles pada kedua basal paru
dan dapat dapat berkembang
menjadi krekles diseluruh area paru.
6. Perfusi jaringan yang tidak
memadai itu oliguria dan nokturia.
7. Dengan berkembannya gagal
jantung akan timbul gejela-gejala
seperti : gangguan pencernaan,
pusing, sakit kepala, konfusi,
gelisah, ansietas, kulit pucat atau
dingin dan lembab
8. Takikardia, lemah, pulsasi lemah,
keletihan.
8
2.1.5 Pathway
9
sangat bergantung pada tingkat keparahan dan kondisi pasien dan dapat
meliputi medikasi oral dan IV, perubahan besar pada gaya hidup,
pemberian tambahan oksigen, pemasangan alat bantu, dan dengan
pembedahan meliputi transpalntasi jantung. Perubahan gaya hidup
mencakup pembatasan diet natrium; menghindari konsumsi cairan
berlebihan, alcohol dan merokok; upaya menurunkan berat badan jika
diindikasikan dan olahraga teratur.
2.1.6.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Kurniatuti, dkk (2018), penatalaksanaan keperawatan pada
pasien gagal jantung sebagai berikut:
a. Mengkaji dan mempertahankan kepatenan airway breathing dan
circulation sebagai prioritas utama.
b. Berikan oksigen tambahan untuk menjaga saturasi diatas 90%.
c. Pasang akses IV berikan cairan dan lakukan dengan hati – hati untuk
mencegah kelebihan cairan.
d. Noninvasive positive ventilation (BiPAP) dapat memperbaiki kongesti
pulmonal dengan cara memaksa cairan alveolar kembali ke kapiler paru.
e. Berikan diuretic loop. Furosemide menyebabkan pelebaran vena dengan
cepat (penurunan preload). Diikuti oleh dieresis dalam waktu 10 menit
dari pemberian IV. Namun, banyak pasien dengan gagal jantung kronis
mungkin sudah resisten dengan diuretic loop.
f. Morfin juga menyebabkan pelebaran vena dan penurunan preload dengan
mengurangi kecemasan pasien, pasien mengurangi stimulasi simpatis dan
mengurangi beban kerja jantung.
g. Nitrogliserin IV melebarkan kapasitas pembuluh darah vena sehingga
dapat menurunkan preload. Nitrogliserin merupakan kontraindikasi jika
tekanan darah pasien kurang dari 90 mmHg.
h. Nitroprusside menyebabkan dilatasi pada arteri dan vena sehingga dapat
menurunkan preload dan afterload serta menurunkan kebutuhan oksigen
jantung.
i. Nesiritide, a recombinant BNP, merupakan vasodilator kuat yang
diberikan secara kontiyu melalui infuse IV.
10
j. Pemberian nitroprusside dan nesiritide membutuhkan monitor yang tetap
terutama pada tekanan darah pasien karena respon terhadap kedua obat
ini dapat sangat cepat dan tidak dapat diprediksi monitoring tekanan
darah sebaiknya menggunakan arterial line.
k. Uji coba secara random dengan control tidak mendukung penggunaan
obat inotropik positif pada gagal jantung kecuali pasien mengalami shock
kardiogenik dalam kondisi seperti ini pasien harus masuk ke unit
perawatan intensif (ICU) untuk diberikan dobutamin, dopamine, atau
milrinone.
l. ACE inhibitor patut dipertimbangkan untuk mencegah siklus rennin-
angiotensin terjadi dan meminimalkan retensi cairan. Angiotensin
receptor blocker (ARB) dapat digunakan jika pasien tidak dapat
mentoleriri ACE inhibitor.
m. Monitor secara ketat respons pasien terhadap pengobatan/treatment,
terutama kaji:
1. Suara nafas, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen.
2. Sesak nafas dan penggunaan otot pernafasan / work of breathing
3. Tekanan darah arteri dan heart rate (HR).
4. Tingkat kesadaran.
5. Distensi vena jugular.
6. Urine output- kateter urine sebaiknya dipasang.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi dari adanya gagal jantung yaitu :
Tabel 3. Komplikasi gagal jantung
Komplikasi Tanda Gejala
Edema paru Gagal jantung yang memburuk dispnea, peningkatan
frekuensi pernafasan, penurunan tekanan darah, batuk
berdahak, sputum yan berbusa, diaforesis, krekels, sianosis,
Pao2
Infrak Perubahan EKG dan penurunan enzim jantung sama dengan
miokardium akut infrak miokardium akut, distritmia, penurunan tekanan darah,
11
gangguan hemodinamik, nyeri dada
Syok Penurunan tingkat kesadaran, peningkatan frekuensi jantung,
kardiogenik tekanan darah sistolik <90mm/Hg, indeks jantung <2
L/mnt/m2, haluran urin <20 ml/jam : kulit dingin, embab, dan
berbintik-bintik
Kejadian emboli Nyeri kuadran atas kiri yang tajam, splenomegali, nyeri
limfa tekanan lokal, rigiditas abdomen
Kejadian ginjal Nyeri pinggang hematuria, peingkatan Bum dan kreatinin,
penurunan haluaran urin
Pembuluh darah Kulit berbintik-bintik, kulit dingin, nyeri perifer, penrunan
kecil perifer denyut nadi
SSP Perubahan tingkat kesadaran, tanda-tanda lokal, perubahan
pengelihatan, gangguan motorik
Paru-paru Peningkatan frekuensi pernafasan, sesak nafas, penurunan
pao2, nyeri dan pleuritis
12
b. Lelah, pusing
c. Nyeri dada
d. Edema ektremitas bawah
e. Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
f. Urine menurun
2.2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan
pertanyaan tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat
dengan gejala-gejala kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya
dispnea, ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut. Tanyakan juga
gajala-gejala lain yang mengganggu pasien.
2.2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien
apakah pasien sebelumnya menderita nyeri dada khas infark
miokardium, hipertensi, DM, atau hiperlipidemia. Tanyakan juga obat-
obatan yang biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang
mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki pasien.
2.2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit jantung, dan
penyakit keteurunan lain seperti DM, Hipertensi.
2.2.1.6 Pengkajian data
a. Aktifitas dan istirahat : adanya kelelahan,
insomnia, letargi, kurang istirahat, sakit dada,
dipsnea pada saat istirahat atau saat
beraktifitas.
b. Sirkulasi : riwayat hipertensi, anemia, syok septik, asites,
disaritmia, fibrilasi atrial,kontraksi ventrikel prematur,
peningkatan JVP, sianosis, pucat.
d. Pola makan dan cairan : hilang nafsu makan, mual dan muntah.
3. Pernapasan
Nilai normalnya : Frekuensi : 16-20 x/menit
Pada pasien : respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat /
aktivitas
4. Suhu Badan
Metabolisme menurun, suhu menurun
c. Head to toe examination :
1. Kepala : bentuk , kesimetrisan
2. Mata: konjungtiva: anemis, ikterik atau tidak ?
3. Mulut: apakah ada tanda infeksi?
4. Telinga : kotor atau tidak, ada serumen atau tidak,
kesimetrisan
5. Muka; ekspresi, pucat
6. Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
7. Dada: gerakan dada, deformitas
14
8. Abdomen : Terdapat asites, hati teraba dibawah arkus kosta kanan
e. Pemeriksaan penunjang
1.Foto thorax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung,
edema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
15
2.EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung
dan iskemi (jika disebabkan AMI), ekokardiogram
2.2.2.4Nyeri akut
2.2.2.5Hipervolemia
2.2.2.6Intoleransi aktifitas
16
3.Pola nafas membaik nafas
18
jam
5.Ajarkan cara
membatasi cairan
19
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Selama
tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan pengumpulan data dan
memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan
pasien (Nursalam, 2008 dalam Sari 2018).
20
Menurut Nusatirin (2018) pendokumentasian yang dgunakan dalam
kasus ini adalah model dokumentasi POR (Problem Oriented Record)
menggunakan SOAPIE (subyek, obyek, analisa, planning, evaluasi).
Dalam setiap diagnose keperawatan penulis melakukan tindakan
keperawatan kemudian penulis mendokumentasikan yaitu dalam
memberikan tanda tangan, waktu, dan tanggal, jika ada kesalahan
dicoret diberi paraf oleh penulis.
21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab 4 ini penulis akan melakukan pembahasan dengan membandingkan
antara tinjauan teori dan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan penulis
kepada Bp.S dengan Conghestive Heart Failure (CHF).
4.1.1 Pengkajian
Penulis dalam melakukan asuhan keperawatan di Ruang Elisabeth Gruytrs
4 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang dilakukan pada tanggal 17-19
Juni 2021. Pada saat melakukan asuhan keperawatan, penulis mendapatkan
kasus Congestive Heart Failure (CHF). Penulis medapatkan data tentang
pasien yaitu wawancara dengan pasien, keluarga, melakukan observasi,
pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi. Dalam pengkajian penulis
mendapatkan data senjang sehingga dapat mendukung diagnosa medis
Conghestive Heart Failure (CHF).
4.1.1 Identitas Pasien
Pada pengkajian didapatkan data bahwa pasien Bp.S berusia 75 tahun,
pasien berjenis kelamin laki-laki, alamat di Jembatan Merah DD III No.20 C,
Rt 05 Rw 35 Condong Catur, dengan nomor rekam medis 093064, status
perkwinan kawin, agama pasien katholik, suku jawa, pendidikan pasien S2,
pekerjaan pasien dulu sebagai masinis, diagnosa medis saat masuk Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta yaitu OBS CHEST PAIN, AFRVR, CA RESTI
METASTASE, diagnosa medis saat ini CHEST PAIN, AFRVR, CA RECTI,
pasien masuk rumah sakit pada tanggal 14 Juni 2021 jam 19.23WIB, sumber
informasi yang diperoleh penulis dari pasien, keluarga dan RM.
Menurut Akhmad (2016) Gagal jantung menjadi penyakit yang umum
diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat menderita gagal
jantung kongestif (GJK), dimana jumlah tersebut didominasi oleh orang tua,
dengan hampir 80% kasus terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun. Namun
demikian, beberapa studi telah menemukan bahwa GJK dikaitkan dengan
angka kematian sekitar 45-50% selama kurun waktu dua tahun terakhir,
23
jumlah ini mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit
keganasan (O’Connor et al, dalam Akhmad 2016).
Kualitas hidup pasien dengan GJK dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York
Heart Assosiation). Umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat
penting pada pasien GJK. Semakin bertambah tua umur seseorang, maka
penurunan fungsi tubuh akan terjadi baik secara psikologis maupun fisik
(Nurchayati, dalam Akhmad 2016). Begitu juga dengan jenis kelamin, pria
lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi tubuh yang lebih baik daripada
wanita terutama fisik (Juenger et al, Akhmad 2016). Dampak dari
kemampuan fungsi fisik yang menurun akan mempengaruhi derajat GJK
seseorang.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor yang berkaitan
dengan kualitas hidup pasien GJK (Rognerud & Zahl5 f cd, dalam Akhmad
2016). Pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
mudah untuk mendapatkan informasi terkait kondisi yang sedang dialami,
maupun menganalisis masalah yang akan timbul, serta bagaimana mengatasi
masalah tersebut (Nurchayati, dalam Akhmad 2016). Semakin tinggi tingkat
pengetahuan seseorang maka akan semakin baik dalam memilih tindakan
terapi yang tepat dalam pemulihan kondisinya sehigga kualitas hidup pasien
juga akan meningkat (Van Der et al, dalam Akhmad 2016).
Berdasarkan penjelasan diatas maka antara usia, jenis kelamin dan
pendidikan dimana pada Pasien Bp.S yang berumur 75 tahun berjenis
kelamin laki-laki dengan pendidikan S2, disimpulkan bahwa kasus yang
berada di Bp.S sesuai dengan teori yang ada.
4.1.2 Data Fokus
4.1.2.1 Riwayat Penyakit Dahulu
Berdasrkan pengkajian yang dilakukan oleh penulis kepada Bp.S awal
2019 Bp.S diagnosis kanker ceftum, dilakukan operasi bulan juli 2019 dan
dilanjutkan kemoterapi 8x, saat USG aada pembengkakan jantung sampai saat
ini. Evaluasi dokter terindikasi adanya metatase di paru dan disarankan untuk
kemoterapi, punya riwayat asma sejak muda. Hal ini sesuai dengan Wisman
24
(2017) Radiasi dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan pembuluh
darah. Secara histologis, miokardium yang rusak akibat radiasi akan
mengalami fibrosis yang luas dan terjadi penyempitan pada lumen arteri dan
kapiler-kapiler. Selain pada miokard, perikardium juga dapat mengalami
fibrosis setelah terpapar radiasi. Fibrosis pada miokard dapat menyebabkan
kardiomiopati restrikstif dan gagal jantung diastolik. Kerusakan jantung akibat
radiasi dapat terjadi secara akut maupun kronis dan dampaknya terjadi secara
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Dalam beberapa menit setelah terpapar
radiasi, kerusakan seluler akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskuler. Selain itu menurut Racma (2014) tanda
yang biasanya akan tampak pada pasien dengan congestive gagal jantung
adalah letak apek jantung yang terletak lebih lateral (akibat pembesaran dari
jantung), adanya gallop rhytm. Suara murmur mengindikasikan adanya
penyakit pada katup jantung, misalkan regurgitasi aorta, atau mitral stenosis.
Kegagalan pada jantung kiri memberikan tanda berupa takipnea, rales atau
crackles yang mana mengindikasikan telah terjadinya edema pulmonary,
perkusi yang redup pada area paru dan penurunan suara nafas terutama pada
basal paru mengindikasikan telah terjadinya efusi pleura, dan terjadinya
sianosis akibat penurunan difusi oksigen pada kapiler pulmonary.
4.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan dari nyeri menekan ke ulu hati dan sakit di dada,
merasa sesak ada rasa mual tetapi mual tidak bisa keluar disertai dengan sesak
nafas. Data tersebut sejalan dengan Pangestu (2020) yang mengatakan
berdasarkan hasil anamnesis riwayat perjalanan penyakit pasien, didapatkan
bahwa keluhan utama yang membawa pasien datang ke puskesmas saat
pertama kali didiagnosa mengalami serangan jantung adalah sesak nafas.
Keluhan sesak nafas dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari
hati. Dari anamnesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan
khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan
dilakukannya pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat
dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal ataupun
hati. Menurut American family physician, sensasi sesak nafas subjektif atau
25
yang disebut dyspnea secara umum dapat disebabkan oleh adanya kelainan
pulmonari, kardiak, kardiopulmoner, dan non kardiopulmoner. Sesak nafas
pulmoner disebabkan oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi
dari dalam paru-paru, seperti pada kasus asma. Sesak nafas kardiak disebabkan
oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi dari jantung misalnya
pada kasus gagal jantung, sedangkan sesak nafas kardiopulmoner disebabkan
oleh karena adanya gangguan pada paru-paru maunpun jantung seperti pada
kasus penyakit paru obstruktif kronik dengan hipertensi pulmonal dan cor
pulmonal. Sesak nafas non kardiopulmoner berasal dari organ lain selain
jantung dan paru-paru, seperti misalnya pada kondisi asidosis pada kasus gagal
ginjal.
4.1.3 Keluhan Utama Saat Ini
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis, pasien mengeluh
tenggorokan serak, batuk-batuk, terasa batuk saat pagi hari dan sesak di dada,
mudah lelah dan dada nyeri skala 4 (0-10). Hal tersebut sejalan dengan teori
Arneliwati (2015) yang mengatakan CHF menimbulkan berbagai gejala klinis
diantaranya;dipsnea, ortopnea, pernapasan Cheyne-Stokes, Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), asites, piting edema, berat badan meningkat, dan
gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak nafas pada malam hari, yang
mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun (Udjianti,
dalam Arneliwati 2015). Munculnya berbagai gejala klinis pada pasien gagal
jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satudiantaranya adalah tidur seperti adanya
nyeri dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan
gangguan tidur.
4.1.4 Keluhan Penyerta
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis pasien tidak ada keluhan.
4.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian yang didapatkan pasien mengatakan punya keturunan penyakit
asma sejak kecil dan jantung. Hal ini sesuai dengan Maulidta (2015) yang
menyatakan faktor risiko terjadinya gagal jantung bersifat multifaktorial.
Beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung adalah bertambahnya usia,
26
hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, diabetes melitus, penyakit jantung
koroner, riwayat keluarga, anemia, kardiomiopati, kelainan katup jantung,
infark miocard, merokok, drug abuse, alkoholism, dari beberapa faktor di atas
hipertensi dan penyakit jantung koroner merupakan faktor risiko tersering
terjadinya gagal jantung.
4.1.6 Data Pemenuhan Kebutuhan Dasar Pasien
Pengkajian yang didapatkan bahwa pasien makan 3x sehari sesuai yang
diberikan oleh rumah sakit, pasien mengatakan minum 6-8 gelas sehari tapi
untuk sekarang disrankan dokter untuk mengurangi, pasien terpasang
oksigenasi nasal kanul 3 l/menit. Hal ini sesuai dengan teori (Black & Hawks,
dalam Sariyudin 2019) yang menyatakan pemberian oksigen dengan nasal
kanula bertujuan untuk mengurangi hipoksia, sesak napas dan membantu
pertukaran oksigen dan karbondioksida. Oksigenasi yang baik dapat
meminimalkan terjadinya gangguan irama jantung, salah satunya aritmia.
Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien gagal jantung adalah atrial
fibrilasi (AF) dengan respon ventrikel cepat. Pengontrolan AF dilakukan
dengan dua cara, yakni mengontrol rate dan rithm. Mengurangi retensi cairan
dapat dilakukan dengan mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan.
Pembatasan natrium digunakan digunakan dalam diet sehari-hari untuk
membantu mencegah, mengontrol, dan menghilangkan edema. Restriksi
natrium hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat.
4.1.7 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pengkajian Bp.S didapatkan hasil TD : 120/60mmHg, N :
105x/menit kuat, tidak teratur, RR : 19x/menit, saturasi 96%, kesadaran
compos mentis, dada simetris, pola nafas teratur, irama nafas normal, bunyi
nafas vesikular, kelembapan kulit lembab, turgor kulit elastis, warna kulit sawo
matang CRT kurang dari 3 detik, batas jantung kiri ICS ke 4 linea mid axilaris,
batas atas jantung ICS ke 2 linea sternalis dextra, ada edema di kaki kanan. Hal
ini sejalan dengan Doenges (2012) dalam Bariyatun (2018) dasar data
pengkajian gagal jantung kongestif biasanya diperoleh kesadaran compos
mentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi.
Pasien gagal jantung kongestif biasanya mengalami kelelahan/keletihan
27
sepanjang hari, insomnia, nyeri dada, dyspnea pada istirahat atau aat
pengerahan tenaga, gelisah, perubahan status mental seperti letargi, dan tanda
vital berubah waktu aktifitas. Pasien juga didapati bengkak pada kaki,
abdomen, takikardi,disritmia, kulit pucat, punggung kuku sianotik, bunyi napas
krekels, ronkhi.
4.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang terdapat 3 pemeriksaan yaitu pemeriksaan
laboraturium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan
laboraturium didapatkan hasil Natrium dibawah nilai rujukan ini sesuai dengan
pernyataan Pangestu (2020) hiponatremia adalah kelaianan elektrolit yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas berbagai kondisi klinis.
Gagal jantung dapat terjadi bila natrium dalam serum < 135 mEq / I.
Hemoglobin dibawah nilai rujukan Hendrata (2010) konsentrasi Hb merupakan
petunjuk penting terhadap distribusi oksigen ke otot rangka selama aktifitas.
Pada pasien dengan gagal jantung kemampuan kompensasi fisiologik terhadap
penurunan kadar Hb berkurang, sehingga terjadi penurunan kapasitas aerobik
sebagai respons terhadap anemia. Beberapa peneliti melaporkan adanya
hubungan antara penurunan Hb dengan makin memburuknya klas fungsional
gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA. Eritosit dan Hematokrit dibawah
nilai rujukan Putri (2019) Jumlah eritrosit berhubungan dengan nilai
hematokrit. Semakin banyak jumlah eritrosit, semakin banyak pula jumlah
hematokrit dalam darah. Menurut Sloane (2002) dalam Putri (2019) persentase
hubungan sel-sel darah dengan seluruh volume darah disebut nilai hematokrit.
viskositas darah dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan nilai hematokrit.
Kerusakan eritrosit disebabkan karena penurunan nilai hematokrit.
Dalam pemeriksaan foto thorax AP cor : CTR> 0,56 ,aorta normal, pulmo
tampak 2 buah nodul kecil di paracardinal dextra, hilus normal, sinus kanan
sedikit tumpul dan kiri lancip, diafragma kanan licin . Hal ini sejalan dengan
National Clinical Guideline Centre, dalam Rachma (2014) yang menyatakan
Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic
ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan postanterior. Pada pemeriksaan
ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi siltolik karena ukuran
28
bias terlihat normal. Foto thorax PA Lateral cor : CTR> 50% apek melebar
kekiri, tampak lesi bulat opak ringan kecil pada paru kanan, kiri tengah tak
tampak perselubungan retrocardiac space, hillus tak melebar, sinus diafragma
normal tak tampak lesi. Hal ini sejalan dengan Astuti (2017) yang menyatakan
pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH,
atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan
dengan fungsi ventrikel kiri.
Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan hasil AFRVR 144x/menit, hal ini
sejalan dengan Soeparman dalam Rachma (2014) beban pengisian (preload)
dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau
hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang
lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih
besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah
meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.
4.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis pada pasien
Bp.S dengan Congestive Heart Failure (CHF), maka penulis menemukan 3
diagnosis keperawatan yaitu :
4.2.1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak mampuan jantung
memompa sejumlah darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengalami nyeri pada dada skal 4
(0-10), mudah lelah, N 105x/menit kuat, tidak teratur, Hb 11,1 gr/dl. Hal
tersebut sesuai dengan teori Tarigan (2019) yang menyatakan Manifestasi
utama dari penurunan curah jantung adalah kelemahan dan kelelahan dalam
melakukan aktivitas. Hal tersebut didukung oleh teori Sari, dkk (2016) yang
menyatakan Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Gagal jantung kanan
terjadi kelainan yang melemahkan pada ventrikel kanan seperti hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi
29
vena jugularis. Sedangkan pada gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan
pada ventrikel kiri, meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru
menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea.
4.2.2 Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Sekresi Yang
Tertahan
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengalami batuk dahak sulit
keluar, dada sesak dan terpasang oksigenasi nasal kanul 3 l/mnt. Hal ini sejalan
dengan teori Bariyatun (2018) yang menyatakan kondisi pernapasan pada
pasien CHF yaitu dispnea, tidur sambil duduk, batuk dengan/ tanpa
pembentukan sputum, riwayat penyakit paru kronis, penggunaan bantuan
pernapasan seperti oksigen atau medikasi, takipnea, napas dangkal, pernapasan
labored, penggunaan otot aksesori pernapasan, nasal faring, batuk kering/
nyaring/ nonproduktif terus menerus, sputum mungkin bersemu darah, merah
muda/berbuih (edema pulmonal), bunyi napas mungkin tidak terdengar, ada
krakels basilar, mengi, sianosis.
4.2.3 Intoleransi Aktifitas Berhubungan Ketidak Seimbangan Suplai Dan
Kebutuhan Oksigen
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengatakan sesak dan mudah
lelah,Bp.S terpasang kateter, hasil EKG menunjukkan takikardi. Hal ini sejalan
dengan Wilkinson dalam Hafifah (2012) dalam melakukan asuhan keperawatan
pada klien CHF hasil yang diharapkan adalah: berpartisipasi pada aktivitas
yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. Mencapai
peningkatan toleransi aktivitas yang dapat di ukur, dibuktikan oleh
menurunnya kelemahan, dan kelelahan dan TTV dalam batas normal. Pada
kasus Ny S kriteria hasil sudah terpenuhi.
4.2.4 Rencana keperawatan
Perencanaan pada Bp.S merupakan hasil dan tujuan yang akan dicapai
dengan batas waktu 2x24 jam. Dalam penulisan tujuan menggunakan
(SMART) spesifik (tidak memberikan makna ganda), measurable (dapat
dilihat, diukur, diraba, dibantu), achievable (secara realistisdapat dicapai),
Reasonable (dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah), time (punya batas
30
waktu yang sesuai. Dan rencana keperawatan menggunakan ONEC (observasi,
nursing treatment, edukasi, dan kolaborasi).
4.2.5 Diagnosa keperawatan penurunan curah jantung
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
curah jantung adekuat dengan kriteria hasil : ttv dalam batas normal TD : 120/60
mmHg N : 60-100x/menit RR : 16-20x/menit S : 36,5-37,5C Saturasi 95-100%,
irama jantung teratur, denyut jantung dalam batas normal. Kriteria hasil diambil
dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga sesuai dengan SIKI
(2017) yaitu auskultasi nadi apical,irama, monitor ttv intake dan outout cairan,
anjurkan pasien istirahat dengan posisi semi fowler, lanjutkan pemberian obat
sesuai anjuran dokter letoral 1x25 mg, digoxin, concor 1,25 mg, ramipric 10 mg,
isdn 1x1
4.2.6 Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil : pasien bebas dari gejala
gangguan pernafasan, ttv dalam batas normal TD : 120/60 mmHg N :
60-100x/menit RR : 16-20x/menit S : 36,5-37,5C Saturasi 95-100%. Kriteria
hasil diambil dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga sesuai
dengan SIKI (2017) yaitu monitor ttv, pertahankan posisi semi fowler, ajarkan
batuk efektif dan nafas dalam, lanjutkan pemberian obat sesua anjuran dokter.
4.2.7 Diagnosa keperawatan intoleransi aktifitas
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
toleransi terhadap aktifitas meningkat dengan kriteria hasil : keluhan lelah
menurun, perasaan lemah berkurang, dispnea saat/setelah aktifitas menurun.
Kriteria hasil diambil dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga
sesuai dengan SIKI (2017) yaitu ukur tanda-tanda vital, berikan lingkungan yang
tenang dan batasi pengunjung, anjurkan pasien beristirahat bila terjadi kelelahan,
lakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif.
4.2.8 Implementasi keperawatan
Penulis dalam melakukan implementasi sesuai dengan prinsip
implementasi menurut teori Kemenkes (2017) yang mengatakan Implementasi
keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
31
membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
4.2.9 Evaluasi keperawatan
Penulis dalam melakukan evaluasi sesuai dengan prinsip implementasi
menurut teori Kemenkes (2017) yang mengatakan Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah
tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu
pendekatan lain.
4.2.10 Dokumentasi keperawatan
Penulis dalam melakukan dokumentasi keperawatan mengenai tujuan
dokumentasi sudah sesuai dengan Kemenkes (2016) dokumentasi secara umum
merupakan suatu catatan otentik atau semua warkat asli yang dapat dibuktikan
atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum, sedangkan dokumentasi
keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat
dalam melakukan catatan perawatan yang berguna untuk kepentingan klien,
perawat, dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan
dasar komunikasi yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung
jawab perawat (Hidayat, dalam Kemenkes 2016). Dalam pendokumentasian juga
terdapat tanggal, waktu, nama terang, serta tanda tangan penulis.
32
DAFTAR PUSTAKA
Bariyatun, S. (2018). Penerapan Pemberian Oksigen Pada Pasien Congestive
Heart Failure (Chf) Dengan Gangguan Kebutuhan Oksigenasi.
Kidd, P, S., Sturt, P, A & Fultz, J. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi
(2 ed.). Jakarta : EGC.
Kurniati, Trisyani, & Theresia. (2018). Keperawatan Gawat Darurat Bencana
Sheehy (edisi Indonesia pertama ed.). Singapura: Elsevier.
Martanti, H. T. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien
Kardiovaskuler Dengan Kasus Kongestive Heart Failure (CHF) Dan
Peripartum Cardiomyopathy Di Ruang Intensive Cardiac Unit RSUD
Abdul Wahab Syahranie Samarinda.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M. & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan
Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular(2015). Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung. 10.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Ramadhani, F. N. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Gagal Jantung Kongestif (CHF) Yang Dirawat Di Rumah Sakit.
Rahmatiana, F., & Clara, H. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn. A
Dengan Congestive Heart Failure. Buletin Kesehatan: Publikasi Ilmiah
Bidang kesehatan, 3(1), 7-25.
Sari, D. V. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Pada Ny.S Dengn Kongestif Heart Failure (CHF) Di Pavilium
Marwah Atas Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.
Smeltzer, S, C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth (12
ed). Jakarta : EGC
Stillwell, S. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis (3 ed.). Jakarta: EGC.
Suratinoyo, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping
pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Ruangan CVBC (Cardio Vaskuler
Brain Centre) Lantai III di RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado
Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 1
33