Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BP.S


DENGAN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
DI RUANG PERAWATAN RAWAT INAP EG 4
RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA

Disusun oleh:
Stepanus Dwi Yudanto (201711073)

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
4.1 Latar Belakang
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Gejala yang muncul sesuai
dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal jantung kanan, terjadi di dada
karena peningkatan kebutuhan oksigen (Mansjoer 2009, dalam Bariyatun
2018).

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan sindrom


klinis atau sekumpulan tanda dan gejala ditandai oleh sesak nafas dan fatik
(saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah keseluruh tubuh selama adekuat, akibat
adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung
(Marulam ,2015 ,dalam Rahmatiana & Clara 2019).

Menurut Rahmatiana & Clara (2019) berdasarkan data WHO (Word


Health Organization) terjadi peningkatan angka kematian akibat gagal
jantung, 17,5 juta kasus terjadi pada tahun 2012, 23 juta kasus terjadi pada
tahun 2014 dan pada tahun 2016 tercatat 17,5 juta orang di dunia meninggal
akibat gagal jantung. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2018, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia terdapat 1,5%
kasus dan terus meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus CHF tertinggi
yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 65-74 tahun (0,49%) dan
terendah pada kelompok usia 15-24 tahunya itu sebesar (0,02%). Prevalensi
CHF berdasarkan jenis kelamin lebih banyak perempuan (0,2%)
dibandingkan dengan laki-laki (0,01%). Berdasarkan data yang didapatkan
dari buku rekam medik Ruang Flamboyan RSUD Pasar Rebo Jakarta Timur
ditemukan data pasien dengan diagnosa medis gagal jantung/ CHF terhitung
dalam 3 bulan terakhir pada tanggal 1 Desember sampai tanggal 28 Februari
2019 sebesar (14,30%) atau sekitar 89 pasien.

2
Pada pasien Bp.S awal 2019 di diagnosis kanker certum, dioperasi bulan
juli 2019 dilanjutkan kemoterapi 8x, di USG ada pembengkakan jantung
sampai saat ini, evaluasi dokter terindikasi adanya metatase diparu dan
disarankan untuk kemoterapi tetapi pasien takut, riwayat asma sejak muda.
Kondisi yang dirasakan pasien berawal dari nyeri menekan ke ulu hati dan
sakit di dada merasa sesak, ada rasa untuk mual tetapi tidak bisa keluar
disertai dengan sesak nafas. Keluhan saat ini tenggorokan serak, batuk-batuk,
terasa batuk saat pagi hari dan sesak di dada, mudah lelah dan nyeri skala 4 (0-
10).

Menurut (Suratinoyo 2016) pada pasien gagal jantung kongestifsering


kesulitan mempertahankan oksigenasi sehingga mereka cenderung sesak
nafas. Sperti yang kita ketahui bahwa jantung dan paru-parumerupakan organ
tubuh penting manusia yang angat berperan dalam pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam darah, sehingga apabila paru-paru dan jantung tersebut
mengalami gangguan maka hal tersebut akan berpengaruh dalam proses
pernapasan. Gagal jantung kongestif menyebabkan suplai darah ke paru-paru
menurun dan darah tidak masuk ke jantung. Keadaan ini menyebabkan
penimbunan cairan di paru-paru, sehingga menurunkanpertukaran oksigen dan
karbondioksida. Ketika fungsi jantung terganggu dan tidak tertangani, lama
kelamaan kinerja jantung akan mengalami penurunan drastis dan berisiko
mengalami henti jantung mendadak.

Oleh karena itu perawat pada masa sekarang ini, perawat dituntun untuk
selalu melakukan edukasi kepada masyarakat yang kurang akan pengetahuan
penyakit gagal jantung kongestif, baik itu edukasi dalam mengobati ataupun
edukasi dalam penanganan gagal jantung kongestif. Berdasarkan dari uraian
tersebut, penulis ingin mengkaji lebih kompleks dalam asuhan keperawatan
pada pasien Bp.S Dengan Congestive Heart Failure (CHF) Di Ruang
Perawatan Rawat Inap EG 4 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
4.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)?

3
4.3 Tujuan

2.1.1 Tujuan Umum


Mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan kepada Bp.S dengan
Congestive Heart Failure (CHF)
2.1.1 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mampu menguraikan hasil pengkajian pada Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)
1.3.2.2 Mampu menguraikan diagnosa keperawatan pada Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)
1.3.2.3 Mampu menguraikan rencana keperawatan pada Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)
1.3.2.4 Mampu menguraikan tindakan keperawatan pada Bp.S dengan Congestive
Heart Failure (CHF)
1.3.2.5 Mampu menguraikan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada Bp.S
dengan Congestive Heart Failure (CHF)
1.3.2.6 Mampu mengindentifikasi tindakan keperawatan pada Bp.S dengan
Congestive Heart Failure (CHF)

4.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademis
Asuhan Keperawatan Bp.S dengan CHF ini diharapkan bisa bermanfaat
sebagai bahan bacaan tentang pengembangan ilmu terutama bidang
keperawatan system kardiovaskuler agar memperoleh ilmu tentang
penanganan pasien dengan CHF.

1.4.2 Manfaat Praktis


Asuhan Keperawatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan pada Bp.S dengan
Congestive Heart Failure (CHF).

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Pengertian
Gagal Jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan
curah jantung yang adekuat guna memenuhi kebutuhan metabolik dan
kebutuhan oksigen pada jaringan meskipun aliran balik vena adekuat.
(Stillwell, 2011)
Menurut Morton, dkk (2012), gagal jantung adalah sindrom klinis yang
ditandai dengan sesak nafas, dispnea saat aktivitas fisik, dispnea nopturnal
paroksismal, ortopnea, dan edema perifer atau edema paru. Gagal jantung
kongestif, dinamakan seperti itu karena gangguan sirkulasi berhubungan
dengan kegagalan jantung untuk berfungsi secara normal yang
nmenyebabkan kongesti pada dasar vaskular paru dan jaringan perifer,
yang menimbulkan gejala pernafasan dan edema perifer.
Menurut Kurniatuti, dkk (2018), gagal jantung merupakan akibat dari
ketidakadekuatan cardiac output dan pengiriman oksigen ke jaringan. Hal
ini dapat disebabkan karena ketidakmampuan jantung untuk memompa
secara efektif (kegagalan sistolik) atau tidak adekuatnya pengisian jantung
(kegagalan diastolik). Lebih lanjut lagi gagal jantung terutama dapat
mempengaruhi ventrikel kiri, dan menyebabkan terjadinya kongesti vena
pulmonalis dan gangguan pernafasan, atau gangguan ventrikel kanan dan
mengakibatkan kongesti sirkulasi.
2.1.2 Etiologi
Faktor resiko gagal jantung antara lain : penyakit jantung iskemik,
penyakit katup jantung, kardiomiopati, dan curah jantung yang tinggi.
(Stillwell, 2011)
Menurut Kurniatuti, dkk (2018), faktor resiko gagal jantung sebagai
berikut:
2.1.2.1 SKA, terutama yang menyebabkan iskemia atau nekrosis terhadap
ventrikel.

5
2.1.2.2 Hipertensi yang tidak terkontrol.
2.1.2.3 Kardiomiopati
2.1.2.4 Disfungsi katup jantung
2.1.2.5 Infeksi pada jantung seperti mokarditis atau endokarditis.
2.1.2.6 Ketidakpatuhan pada pengobatan dan diet.
2.1.2 Klasifikasi
Menurut Morton, dkk (2012), gagal jantung dapat diklasifikasikan sebagai:
2.1.3.1 Gagal jantung akut versus gagal jantung kronis
Istilah akut dan kronis digunakan untuk menjelaskan awitan gejala gagal
jantung dan intensitas gejala.
Gagal jantung awitan akut adalah timbulnya gejala secara mendadak,
biasanya selama beberapa hari atau beberapa jam. Gejala akut berkembang
sampai pada poin ketika intervensi segera atau intervensi kedaruratan
diperlukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Gagal jantung awitan kronis adalah perkembangan gejala selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Gejala kronis menggambarkan
kondisi dasar, keterbatasan kehidupan pasien sehari-hari. Jika penyebab
awitan akut atau gejala akut tifak reversibel, gagal jantung dapat menjadi
kronis.
2.1.3.2 Gagal jantung kiri versus gagal jantung kanan
Gagal jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengosongkan
atau mengisi dengan benar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di
dalam ventrikel dan kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal jantung kiri
dapat lebih lanjut diklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik dan diastolik.
Gagal jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat. Penyebab gagal jantung kanan yang paling seirng terjadi
adalah gagal jantung kiri, tetapi gagal jantung kanan dapat terjadi dengan
adanya ventrikel kiri yang benar-benar normal dan tidak menyebabkan
gagal jantung kiri. Gagal jantung kanan juga disebabkan oleh penyakit
paru dan hipertensi arteri pulmonari primer ( yang disebut dengan kor
pulmonale). Awitan akut gagal jantung kanan sering kali disebabkan oleh
embolus paru.

6
2.1.3.3 Klasifikasi fungsional gagal jantung New York Heart Association
(NYHA)
Klasifikasi fungsional gagal jantung New York Heart Association
(NYHA) adalah ukuran seberapa gejala gagal jantung batasi aktivitas
pasien.

Tabel 1. Klasifikasi fungsional gagal jantung

Kelas I Tidak ada keterbatasan aktifitas fisik. Aktifitas fisik biasa tidak
menyebabkan yang tidak semestinya atau dispnea.

Kelas II Sedikit keterbatasan aktivitas fisik, merasa nyaman saat istirahat,


tetapi aktifitas fisik biasa menyebabkan keletihan atau dispnea

Kelas III Keterbatasan nyata aktifitas fisik tanpa gejala. Gejala terjadi bahkan
pada saat istirahat, jika aktifitas fisik dilakukan, gejala meningkat.

Kelas IV Tidak mampu melaksanakan aktifitas fisik tanpa gejala. Gejala


terjadi bahkan pada saat istirahat, jika aktifitas fisik dilakukan,
gejela meningkat.

Sumber :Disadur dari ESC Guidelines For The Diagnosis and


treatment of acute and chronic heart failure 2008 dalam PDSKI (2015)
hal 10
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2013), tanda dan gejala gagal jantung dapat
dihubungkan dengan ventrikel yang mengalami gangguan. Gagal jantung
kiri memiliki manifestasi yang berbeda dengan gagal jantung kanan. Pada
gagal jantung kronik, pasien dapat menunjukkan tanda dan gejala dari
kedua tipe gagal jantung tersebut.
Tabel.2 Manifestasi gagal jantung

Gagal jantung kiri Gagal jantung kanan

1. Kongesti pulmonal : 1. Kongesti pada jaringan visceral dan


dispnea ,batuk ,krekles paru ,kadar perifer

7
saturasi oksigen yang 2. Edema ekstermits bawah (edema
rendah ,adanya bunyi jantung dependen), hepatomegali, asites
tambahan ,bunyi jantung s3 atau (akumulasi cairan pada rongga
“gallop ventrikel” bisa dideteksi peritoneum) kehilangan nafsu makan,
melalui aukultasi mual, kelemahan, dan peningkatan
2. Dispnea saat beraktifitas berat badan akibat penumpukan cairan
(DOE),orthopnea, dispnea nocturnal
paroksismal (PND)
3. batuk kering dan tidak berdahak
diawal, lama kelamaan dapat
berubah menjadi batuk berdahak.
4. Sputum yang berbusa, banyak,
dan berwarna pink (berdarah)
5. Krekles pada kedua basal paru
dan dapat dapat berkembang
menjadi krekles diseluruh area paru.
6. Perfusi jaringan yang tidak
memadai itu oliguria dan nokturia.
7. Dengan berkembannya gagal
jantung akan timbul gejela-gejala
seperti : gangguan pencernaan,
pusing, sakit kepala, konfusi,
gelisah, ansietas, kulit pucat atau
dingin dan lembab
8. Takikardia, lemah, pulsasi lemah,
keletihan.

Sumber : Smeltzer (2013) hal 807

8
2.1.5 Pathway

Sumber : Handayani (2015)


2.1.6 Penatalaksaan
Penatalaksanaan tindakan bagi pasien gagal jantung dibedakan menjadi
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan.

2.1.6.1 Penatalaksanaan Medis


Menurut Smeltzer (2013), tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah
untuk meredakan gejala memperbaiki status fungsional dan memperbaiki
kualitas hidup, serta meningkatkan harapan hidup. Pemilihan terapi

9
sangat bergantung pada tingkat keparahan dan kondisi pasien dan dapat
meliputi medikasi oral dan IV, perubahan besar pada gaya hidup,
pemberian tambahan oksigen, pemasangan alat bantu, dan dengan
pembedahan meliputi transpalntasi jantung. Perubahan gaya hidup
mencakup pembatasan diet natrium; menghindari konsumsi cairan
berlebihan, alcohol dan merokok; upaya menurunkan berat badan jika
diindikasikan dan olahraga teratur.
2.1.6.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Kurniatuti, dkk (2018), penatalaksanaan keperawatan pada
pasien gagal jantung sebagai berikut:
a. Mengkaji dan mempertahankan kepatenan airway breathing dan
circulation sebagai prioritas utama.
b. Berikan oksigen tambahan untuk menjaga saturasi diatas 90%.
c. Pasang akses IV berikan cairan dan lakukan dengan hati – hati untuk
mencegah kelebihan cairan.
d. Noninvasive positive ventilation (BiPAP) dapat memperbaiki kongesti
pulmonal dengan cara memaksa cairan alveolar kembali ke kapiler paru.
e. Berikan diuretic loop. Furosemide menyebabkan pelebaran vena dengan
cepat (penurunan preload). Diikuti oleh dieresis dalam waktu 10 menit
dari pemberian IV. Namun, banyak pasien dengan gagal jantung kronis
mungkin sudah resisten dengan diuretic loop.
f. Morfin juga menyebabkan pelebaran vena dan penurunan preload dengan
mengurangi kecemasan pasien, pasien mengurangi stimulasi simpatis dan
mengurangi beban kerja jantung.
g. Nitrogliserin IV melebarkan kapasitas pembuluh darah vena sehingga
dapat menurunkan preload. Nitrogliserin merupakan kontraindikasi jika
tekanan darah pasien kurang dari 90 mmHg.
h. Nitroprusside menyebabkan dilatasi pada arteri dan vena sehingga dapat
menurunkan preload dan afterload serta menurunkan kebutuhan oksigen
jantung.
i. Nesiritide, a recombinant BNP, merupakan vasodilator kuat yang
diberikan secara kontiyu melalui infuse IV.

10
j. Pemberian nitroprusside dan nesiritide membutuhkan monitor yang tetap
terutama pada tekanan darah pasien karena respon terhadap kedua obat
ini dapat sangat cepat dan tidak dapat diprediksi monitoring tekanan
darah sebaiknya menggunakan arterial line.
k. Uji coba secara random dengan control tidak mendukung penggunaan
obat inotropik positif pada gagal jantung kecuali pasien mengalami shock
kardiogenik dalam kondisi seperti ini pasien harus masuk ke unit
perawatan intensif (ICU) untuk diberikan dobutamin, dopamine, atau
milrinone.
l. ACE inhibitor patut dipertimbangkan untuk mencegah siklus rennin-
angiotensin terjadi dan meminimalkan retensi cairan. Angiotensin
receptor blocker (ARB) dapat digunakan jika pasien tidak dapat
mentoleriri ACE inhibitor.
m. Monitor secara ketat respons pasien terhadap pengobatan/treatment,
terutama kaji:
1. Suara nafas, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen.
2. Sesak nafas dan penggunaan otot pernafasan / work of breathing
3. Tekanan darah arteri dan heart rate (HR).
4. Tingkat kesadaran.
5. Distensi vena jugular.
6. Urine output- kateter urine sebaiknya dipasang.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi dari adanya gagal jantung yaitu :
Tabel 3. Komplikasi gagal jantung
Komplikasi Tanda Gejala
Edema paru Gagal jantung yang memburuk dispnea, peningkatan
frekuensi pernafasan, penurunan tekanan darah, batuk
berdahak, sputum yan berbusa, diaforesis, krekels, sianosis,
Pao2
Infrak Perubahan EKG dan penurunan enzim jantung sama dengan
miokardium akut infrak miokardium akut, distritmia, penurunan tekanan darah,

11
gangguan hemodinamik, nyeri dada
Syok Penurunan tingkat kesadaran, peningkatan frekuensi jantung,
kardiogenik tekanan darah sistolik <90mm/Hg, indeks jantung <2
L/mnt/m2, haluran urin <20 ml/jam : kulit dingin, embab, dan
berbintik-bintik
Kejadian emboli Nyeri kuadran atas kiri yang tajam, splenomegali, nyeri
limfa tekanan lokal, rigiditas abdomen
Kejadian ginjal Nyeri pinggang hematuria, peingkatan Bum dan kreatinin,
penurunan haluaran urin
Pembuluh darah Kulit berbintik-bintik, kulit dingin, nyeri perifer, penrunan
kecil perifer denyut nadi
SSP Perubahan tingkat kesadaran, tanda-tanda lokal, perubahan
pengelihatan, gangguan motorik
Paru-paru Peningkatan frekuensi pernafasan, sesak nafas, penurunan
pao2, nyeri dan pleuritis

Sumber : Kidd, dkk (2011)


2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
Menurut (Ramadhani, 2020)
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Identitas :
a. Identitas pasien : Nama,umur,tempat tanggal lahir,jenis kelamin,
alamat,pekerjaan,suku/bangsa,agama,status
perkawinan,tanggal masuk rumah sakit (MRS),nomor
register,dan diagnosa medik.

b. Identitas Penanggung Jawab


Meliputi :Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, serta status
hubungan dengan pasien.

2.2.1.2 Keluhan utama


a. Sesak saat bekerja, dipsnea nokturnal paroksimal, ortopnea

12
b. Lelah, pusing
c. Nyeri dada
d. Edema ektremitas bawah
e. Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
f. Urine menurun
2.2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan
pertanyaan tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat
dengan gejala-gejala kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya
dispnea, ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut. Tanyakan juga
gajala-gejala lain yang mengganggu pasien.
2.2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien
apakah pasien sebelumnya menderita nyeri dada khas infark
miokardium, hipertensi, DM, atau hiperlipidemia. Tanyakan juga obat-
obatan yang biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang
mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki pasien.
2.2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit jantung, dan
penyakit keteurunan lain seperti DM, Hipertensi.
2.2.1.6 Pengkajian data
a. Aktifitas dan istirahat : adanya kelelahan,
insomnia, letargi, kurang istirahat, sakit dada,
dipsnea pada saat istirahat atau saat
beraktifitas.
b. Sirkulasi : riwayat hipertensi, anemia, syok septik, asites,
disaritmia, fibrilasi atrial,kontraksi ventrikel prematur,
peningkatan JVP, sianosis, pucat.

c. Respirasi : dipsnea pada waktu aktifitas, takipnea, riwayat penyakit


paru.

d. Pola makan dan cairan : hilang nafsu makan, mual dan muntah.

e. Eliminasi : penurunan volume urine, urin yang pekat, nokturia,

diare atau konstipasi.


13
f. Neuorologi : pusing, penurunan kesadaran, disorientasi.

g. Interaksi sosial : aktifitas sosial berkurang

h. Rasa aman : mperubahan status mental, gangguan pada


kulit/dermatitis

2.2.1.7 Pemeriksaan fisik


a. Keadaan Umum : Kesadaran dan keadaan emosi,
kenyamanan, distress, sikap dan tingkah laku pasien.
b. Tanda-tanda Vital :
1.Tekanan Darah
Nilai normalnya :
Nilai rata-rata sistolik : 110-140 mmHg
Nilai rata-rata diastolik : 80-90 mmHg
2. Nadi
Nilai normalnya : Frekuensi : 60-100x/menit (bradikardi atau
takikkardi)

3. Pernapasan
Nilai normalnya : Frekuensi : 16-20 x/menit
Pada pasien : respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat /
aktivitas
4. Suhu Badan
Metabolisme menurun, suhu menurun
c. Head to toe examination :
1. Kepala : bentuk , kesimetrisan
2. Mata: konjungtiva: anemis, ikterik atau tidak ?
3. Mulut: apakah ada tanda infeksi?
4. Telinga : kotor atau tidak, ada serumen atau tidak,
kesimetrisan
5. Muka; ekspresi, pucat
6. Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
7. Dada: gerakan dada, deformitas
14
8. Abdomen : Terdapat asites, hati teraba dibawah arkus kosta kanan

9. Ekstremitas: lengan-tangan:reflex, warna dan tekstur kulit, edema,


clubbing, bandingakan arteri radialis kiri dan kanan.

d. Pemeriksaan khusus jantung :

(1)Inspeksi : vena leher dengan JVP meningkat, letak ictus cordis


(normal : ICS ke5)

(2)Palpasi : PMI bergeser kekiri, inferior karena dilatasi atau


hepertrofi ventrikel

(3)Perkusi : batas jantung normal pada orang dewasa

Kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra

Kanan bawah : SIC IV Linea Para Sternalis Dextra

Kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis sinistra

Kiri bawah : SIC IV Linea Medio Clavicularis


Sinistra

(4)Auskulatsi : bunyi jantung I dan II


BJ I : terjadi karena getaran menutupnya katup
atrioventrikular, yang terjadi pada saat kontraksi
isimetris dari bilik pada permulaan systole

BJ II : terjadi akibat getaran menutupnya katup aorta dan


arteri pulmonalis pada dinding toraks. Ini terjadi
kira-kira pada permulaan diastole.

(BJ II normal selalu lebih lemah daripada BJ I)

e. Pemeriksaan penunjang
1.Foto thorax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung,
edema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF

15
2.EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung
dan iskemi (jika disebabkan AMI), ekokardiogram

3.Pemeriksaan laboratorium : Hiponatremia, hiperkalemia pada tahap


lanjut dari gagal jantung,Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin
meningkat, peninkatan bilirubin dan enzim hati

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Menurut SDKI (2017) bahwa diagnosis keperawatan pada pasien gagal


jantung kongestif yaitu:

2.2.2.1Gangguan pertukaran gas

2.2.2.2Pola nafas tidak efektif

2.2.2.3 Penurunan curah jantung

2.2.2.4Nyeri akut

2.2.2.5Hipervolemia

2.2.2.6Intoleransi aktifitas

2.2.3 Perencanaan Keperawatan

Dx. Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil

1.Gangguan pertukaran Setelah dilakukan 1.Monitor frekuensi


gas berhubungan dengan tindakan keperawatan irama, kedalaman dan
membran alveolus - selama ...x24 jam upaya nafas
kapiler diharapkan pertukaran
2.Monitor pola nafas
gas meningkat dengan
kriteria hasil : 3.Monitor kemampuan
batuk efektif
1.Dipsnea menurun
4.Monitor saturasi
2.Bunyi nafas tambahan
oksigen
menurun
5.Auskultasi bunyi

16
3.Pola nafas membaik nafas

4. PCO2 dan O2 6.Kolaborasi


membaik penggunaan oksigen
saat aktifitas dan/atau
tidur

2.Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1.Monitor pola nafas


berhubungan dengan tindakan keperawatan
2.Monitor bunyi nafas
hambatan upaya nafas selama ...x24 jam
tambahan (gagling,
(mis: nyeri saat bernafas) diharapkan pola nafas
mengi, wheezing,
membaik dengan
ronkhi)
kriteria hasil :
3.Monitor sputum
1.Frekuensi nafas
(jumlah, warna, aroma)
dalam rentang normal
4.posisikan semi fowler
2.Tidak ada
atau fowler
penggunaan otot bantu
pernafasan 5.Ajarkan teknik batuk
efektif
3.Pasien tidak
menunjukan tanda
dipsnea

3.Penurunan curah Setelah dilakukan 1.Monitor intake dan


jantung berhubungan tindakan keperawatan output cairan
denganperubahan selama ...x24 jam
2.Monitor keluha nyeri
preload/perubahan diharapkan curah
dada
afterload/perubahan jantung meningkat
kontraktilitas dengan kriteria hasil : 3.berikan terapi
relaksasi untuk
1.TTV dalam rentang
mengurangi stress
normal
4.Identifikasi
2.Kekuatan nadi perifer
tanda/gejala
meningkat
primer,sekunder
17
3.Tidak ada edema penurunan curah
jantung

4.Nyeri akut Setelah dilakukan 1.Identifikasi lokasi,


berhubungan dengan gen tindakan keperawatan karakteristik
penedra fisiologs (Mis: selama ...x 24 nyeri,durasi, frekuensi,
Iskemia) jamdiharapkan tingkat intensitas nyeri
nyeri menurun dengan
2.Identifikasi skala
kriteria hasil :
nyeri
1.Pasien mengatakan
3.Anjurkan memonitor
skala nyeri berkurang
nyeri secara mandiri
2.Pasien menunjukan
4.Kolaborasi pemberian
ekspresi wajah tenang
analgetik jika perlu
3.Pasien dapat
beristirahat dengan
nyaman

5.Hipervolemia Setelah dilakukan 1.Periksa tanda gejala


berhubungan dengan tindaan keperawatn hipervolemia (mis:
gangguan mekanisme selama ...x24 ortopnes, dipsnea,
regulasi jamdiharapkan edema JVP/CVP
keseimbangan cairan meningkat, suara nafas
meningkat dengan tambahan
kriteria hasil:
2.Monitor intake dan
1.Terbebas dari edema output cairan

2.Haluaran urin 3.Batasi asupan cairan


meningkat dan garam

3.Mampu mengontrol 4.Anjurkan lapor


asupan cairan haluaran urin
<0,5mL/kg/jam dalam 6

18
jam

5.Ajarkan cara
membatasi cairan

6.Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan 1.Monitor kelelahan


berhubungan dengan tindakan keperawatan fisik dan emosional
kelemahan selama ..x24 jam
2.Monitor pola dan jam
diharapkan toleransi
tidur
meningkat dengan
kriteria hasil : 3.sediakan lingkungan
yang nyaman
1.Kemampuan
melakukan aktifitas 4.Anjurkan melakukan
sehari-hari meningkat aktifitas secara bertahap

2.Pasien mampu 5.Kolaborasi dengan ahi


berpindah dengan atau gizi tentang cara

tanpa bantuan meningkatkan asupan


makanan
3.Pasien mengatakan
dipsnea saat dan/atau
setelah aktifitas
menurun

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
faktor- faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari
pelaksanaan adalah membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan

19
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Selama
tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan pengumpulan data dan
memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan
pasien (Nursalam, 2008 dalam Sari 2018).

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi


proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa
keperawatan, rencana asuhan keperawatan, dan pelaksanaan
keperawatan. Evaluasi keperawatan sebagai sesuatu yang direncanakan
dan perbandingan yang sistematik pada status kesehatan pasien. Dengan
mengukur perkembangan pasien dalam mencapai suatu tujuan maka
perawat dapat menentukan efektivitas asuhan keperawatan. Meskipun
tahap evaluasi keperawatan diletakkan pada akhir proses keperawatan
tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses
keperawatan.mDiagnosa keperawatan perlu dievaluasi dalam hal
keakuratan dan kelengkapannya. Evaluasi diperlukan pada tahap
rencana asuhan keperawatan untuk menentukan apakah tujuan rencana
asuhan keperawatan tersebut dapat dicapai secara efektif. Tujuan
evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai
tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon pasien terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat
mengambil keputusan.Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi
kegiatan mengukur pencapaian tujuan pasien dan menentukan keputusan
dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan
pencapaian tujuan (Nursalam, 2008 dalam Sari 2018).

2.2.6 Dokumentasi Keperawatan

20
Menurut Nusatirin (2018) pendokumentasian yang dgunakan dalam
kasus ini adalah model dokumentasi POR (Problem Oriented Record)
menggunakan SOAPIE (subyek, obyek, analisa, planning, evaluasi).
Dalam setiap diagnose keperawatan penulis melakukan tindakan
keperawatan kemudian penulis mendokumentasikan yaitu dalam
memberikan tanda tangan, waktu, dan tanggal, jika ada kesalahan
dicoret diberi paraf oleh penulis.

21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab 4 ini penulis akan melakukan pembahasan dengan membandingkan
antara tinjauan teori dan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan penulis
kepada Bp.S dengan Conghestive Heart Failure (CHF).
4.1.1 Pengkajian
Penulis dalam melakukan asuhan keperawatan di Ruang Elisabeth Gruytrs
4 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang dilakukan pada tanggal 17-19
Juni 2021. Pada saat melakukan asuhan keperawatan, penulis mendapatkan
kasus Congestive Heart Failure (CHF). Penulis medapatkan data tentang
pasien yaitu wawancara dengan pasien, keluarga, melakukan observasi,
pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi. Dalam pengkajian penulis
mendapatkan data senjang sehingga dapat mendukung diagnosa medis
Conghestive Heart Failure (CHF).
4.1.1 Identitas Pasien
Pada pengkajian didapatkan data bahwa pasien Bp.S berusia 75 tahun,
pasien berjenis kelamin laki-laki, alamat di Jembatan Merah DD III No.20 C,
Rt 05 Rw 35 Condong Catur, dengan nomor rekam medis 093064, status
perkwinan kawin, agama pasien katholik, suku jawa, pendidikan pasien S2,
pekerjaan pasien dulu sebagai masinis, diagnosa medis saat masuk Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta yaitu OBS CHEST PAIN, AFRVR, CA RESTI
METASTASE, diagnosa medis saat ini CHEST PAIN, AFRVR, CA RECTI,
pasien masuk rumah sakit pada tanggal 14 Juni 2021 jam 19.23WIB, sumber
informasi yang diperoleh penulis dari pasien, keluarga dan RM.
Menurut Akhmad (2016) Gagal jantung menjadi penyakit yang umum
diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat menderita gagal
jantung kongestif (GJK), dimana jumlah tersebut didominasi oleh orang tua,
dengan hampir 80% kasus terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun. Namun
demikian, beberapa studi telah menemukan bahwa GJK dikaitkan dengan
angka kematian sekitar 45-50% selama kurun waktu dua tahun terakhir,

23
jumlah ini mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit
keganasan (O’Connor et al, dalam Akhmad 2016).
Kualitas hidup pasien dengan GJK dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York
Heart Assosiation). Umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat
penting pada pasien GJK. Semakin bertambah tua umur seseorang, maka
penurunan fungsi tubuh akan terjadi baik secara psikologis maupun fisik
(Nurchayati, dalam Akhmad 2016). Begitu juga dengan jenis kelamin, pria
lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi tubuh yang lebih baik daripada
wanita terutama fisik (Juenger et al, Akhmad 2016). Dampak dari
kemampuan fungsi fisik yang menurun akan mempengaruhi derajat GJK
seseorang.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor yang berkaitan
dengan kualitas hidup pasien GJK (Rognerud & Zahl5 f cd, dalam Akhmad
2016). Pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
mudah untuk mendapatkan informasi terkait kondisi yang sedang dialami,
maupun menganalisis masalah yang akan timbul, serta bagaimana mengatasi
masalah tersebut (Nurchayati, dalam Akhmad 2016). Semakin tinggi tingkat
pengetahuan seseorang maka akan semakin baik dalam memilih tindakan
terapi yang tepat dalam pemulihan kondisinya sehigga kualitas hidup pasien
juga akan meningkat (Van Der et al, dalam Akhmad 2016).
Berdasarkan penjelasan diatas maka antara usia, jenis kelamin dan
pendidikan dimana pada Pasien Bp.S yang berumur 75 tahun berjenis
kelamin laki-laki dengan pendidikan S2, disimpulkan bahwa kasus yang
berada di Bp.S sesuai dengan teori yang ada.
4.1.2 Data Fokus
4.1.2.1 Riwayat Penyakit Dahulu
Berdasrkan pengkajian yang dilakukan oleh penulis kepada Bp.S awal
2019 Bp.S diagnosis kanker ceftum, dilakukan operasi bulan juli 2019 dan
dilanjutkan kemoterapi 8x, saat USG aada pembengkakan jantung sampai saat
ini. Evaluasi dokter terindikasi adanya metatase di paru dan disarankan untuk
kemoterapi, punya riwayat asma sejak muda. Hal ini sesuai dengan Wisman

24
(2017) Radiasi dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan pembuluh
darah. Secara histologis, miokardium yang rusak akibat radiasi akan
mengalami fibrosis yang luas dan terjadi penyempitan pada lumen arteri dan
kapiler-kapiler. Selain pada miokard, perikardium juga dapat mengalami
fibrosis setelah terpapar radiasi. Fibrosis pada miokard dapat menyebabkan
kardiomiopati restrikstif dan gagal jantung diastolik. Kerusakan jantung akibat
radiasi dapat terjadi secara akut maupun kronis dan dampaknya terjadi secara
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Dalam beberapa menit setelah terpapar
radiasi, kerusakan seluler akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskuler. Selain itu menurut Racma (2014) tanda
yang biasanya akan tampak pada pasien dengan congestive gagal jantung
adalah letak apek jantung yang terletak lebih lateral (akibat pembesaran dari
jantung), adanya gallop rhytm. Suara murmur mengindikasikan adanya
penyakit pada katup jantung, misalkan regurgitasi aorta, atau mitral stenosis.
Kegagalan pada jantung kiri memberikan tanda berupa takipnea, rales atau
crackles yang mana mengindikasikan telah terjadinya edema pulmonary,
perkusi yang redup pada area paru dan penurunan suara nafas terutama pada
basal paru mengindikasikan telah terjadinya efusi pleura, dan terjadinya
sianosis akibat penurunan difusi oksigen pada kapiler pulmonary.
4.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan dari nyeri menekan ke ulu hati dan sakit di dada,
merasa sesak ada rasa mual tetapi mual tidak bisa keluar disertai dengan sesak
nafas. Data tersebut sejalan dengan Pangestu (2020) yang mengatakan
berdasarkan hasil anamnesis riwayat perjalanan penyakit pasien, didapatkan
bahwa keluhan utama yang membawa pasien datang ke puskesmas saat
pertama kali didiagnosa mengalami serangan jantung adalah sesak nafas.
Keluhan sesak nafas dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari
hati. Dari anamnesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan
khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan
dilakukannya pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat
dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal ataupun
hati. Menurut American family physician, sensasi sesak nafas subjektif atau

25
yang disebut dyspnea secara umum dapat disebabkan oleh adanya kelainan
pulmonari, kardiak, kardiopulmoner, dan non kardiopulmoner. Sesak nafas
pulmoner disebabkan oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi
dari dalam paru-paru, seperti pada kasus asma. Sesak nafas kardiak disebabkan
oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi dari jantung misalnya
pada kasus gagal jantung, sedangkan sesak nafas kardiopulmoner disebabkan
oleh karena adanya gangguan pada paru-paru maunpun jantung seperti pada
kasus penyakit paru obstruktif kronik dengan hipertensi pulmonal dan cor
pulmonal. Sesak nafas non kardiopulmoner berasal dari organ lain selain
jantung dan paru-paru, seperti misalnya pada kondisi asidosis pada kasus gagal
ginjal.
4.1.3 Keluhan Utama Saat Ini
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis, pasien mengeluh
tenggorokan serak, batuk-batuk, terasa batuk saat pagi hari dan sesak di dada,
mudah lelah dan dada nyeri skala 4 (0-10). Hal tersebut sejalan dengan teori
Arneliwati (2015) yang mengatakan CHF menimbulkan berbagai gejala klinis
diantaranya;dipsnea, ortopnea, pernapasan Cheyne-Stokes, Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), asites, piting edema, berat badan meningkat, dan
gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak nafas pada malam hari, yang
mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun (Udjianti,
dalam Arneliwati 2015). Munculnya berbagai gejala klinis pada pasien gagal
jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satudiantaranya adalah tidur seperti adanya
nyeri dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan
gangguan tidur.
4.1.4 Keluhan Penyerta
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis pasien tidak ada keluhan.
4.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian yang didapatkan pasien mengatakan punya keturunan penyakit
asma sejak kecil dan jantung. Hal ini sesuai dengan Maulidta (2015) yang
menyatakan faktor risiko terjadinya gagal jantung bersifat multifaktorial.
Beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung adalah bertambahnya usia,

26
hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, diabetes melitus, penyakit jantung
koroner, riwayat keluarga, anemia, kardiomiopati, kelainan katup jantung,
infark miocard, merokok, drug abuse, alkoholism, dari beberapa faktor di atas
hipertensi dan penyakit jantung koroner merupakan faktor risiko tersering
terjadinya gagal jantung.
4.1.6 Data Pemenuhan Kebutuhan Dasar Pasien
Pengkajian yang didapatkan bahwa pasien makan 3x sehari sesuai yang
diberikan oleh rumah sakit, pasien mengatakan minum 6-8 gelas sehari tapi
untuk sekarang disrankan dokter untuk mengurangi, pasien terpasang
oksigenasi nasal kanul 3 l/menit. Hal ini sesuai dengan teori (Black & Hawks,
dalam Sariyudin 2019) yang menyatakan pemberian oksigen dengan nasal
kanula bertujuan untuk mengurangi hipoksia, sesak napas dan membantu
pertukaran oksigen dan karbondioksida. Oksigenasi yang baik dapat
meminimalkan terjadinya gangguan irama jantung, salah satunya aritmia.
Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien gagal jantung adalah atrial
fibrilasi (AF) dengan respon ventrikel cepat. Pengontrolan AF dilakukan
dengan dua cara, yakni mengontrol rate dan rithm. Mengurangi retensi cairan
dapat dilakukan dengan mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan.
Pembatasan natrium digunakan digunakan dalam diet sehari-hari untuk
membantu mencegah, mengontrol, dan menghilangkan edema. Restriksi
natrium hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat.
4.1.7 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pengkajian Bp.S didapatkan hasil TD : 120/60mmHg, N :
105x/menit kuat, tidak teratur, RR : 19x/menit, saturasi 96%, kesadaran
compos mentis, dada simetris, pola nafas teratur, irama nafas normal, bunyi
nafas vesikular, kelembapan kulit lembab, turgor kulit elastis, warna kulit sawo
matang CRT kurang dari 3 detik, batas jantung kiri ICS ke 4 linea mid axilaris,
batas atas jantung ICS ke 2 linea sternalis dextra, ada edema di kaki kanan. Hal
ini sejalan dengan Doenges (2012) dalam Bariyatun (2018) dasar data
pengkajian gagal jantung kongestif biasanya diperoleh kesadaran compos
mentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi.
Pasien gagal jantung kongestif biasanya mengalami kelelahan/keletihan

27
sepanjang hari, insomnia, nyeri dada, dyspnea pada istirahat atau aat
pengerahan tenaga, gelisah, perubahan status mental seperti letargi, dan tanda
vital berubah waktu aktifitas. Pasien juga didapati bengkak pada kaki,
abdomen, takikardi,disritmia, kulit pucat, punggung kuku sianotik, bunyi napas
krekels, ronkhi.
4.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang terdapat 3 pemeriksaan yaitu pemeriksaan
laboraturium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan
laboraturium didapatkan hasil Natrium dibawah nilai rujukan ini sesuai dengan
pernyataan Pangestu (2020) hiponatremia adalah kelaianan elektrolit yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas berbagai kondisi klinis.
Gagal jantung dapat terjadi bila natrium dalam serum < 135 mEq / I.
Hemoglobin dibawah nilai rujukan Hendrata (2010) konsentrasi Hb merupakan
petunjuk penting terhadap distribusi oksigen ke otot rangka selama aktifitas.
Pada pasien dengan gagal jantung kemampuan kompensasi fisiologik terhadap
penurunan kadar Hb berkurang, sehingga terjadi penurunan kapasitas aerobik
sebagai respons terhadap anemia. Beberapa peneliti melaporkan adanya
hubungan antara penurunan Hb dengan makin memburuknya klas fungsional
gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA. Eritosit dan Hematokrit dibawah
nilai rujukan Putri (2019) Jumlah eritrosit berhubungan dengan nilai
hematokrit. Semakin banyak jumlah eritrosit, semakin banyak pula jumlah
hematokrit dalam darah. Menurut Sloane (2002) dalam Putri (2019) persentase
hubungan sel-sel darah dengan seluruh volume darah disebut nilai hematokrit.
viskositas darah dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan nilai hematokrit.
Kerusakan eritrosit disebabkan karena penurunan nilai hematokrit.
Dalam pemeriksaan foto thorax AP cor : CTR> 0,56 ,aorta normal, pulmo
tampak 2 buah nodul kecil di paracardinal dextra, hilus normal, sinus kanan
sedikit tumpul dan kiri lancip, diafragma kanan licin . Hal ini sejalan dengan
National Clinical Guideline Centre, dalam Rachma (2014) yang menyatakan
Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic
ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan postanterior. Pada pemeriksaan
ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi siltolik karena ukuran

28
bias terlihat normal. Foto thorax PA Lateral cor : CTR> 50% apek melebar
kekiri, tampak lesi bulat opak ringan kecil pada paru kanan, kiri tengah tak
tampak perselubungan retrocardiac space, hillus tak melebar, sinus diafragma
normal tak tampak lesi. Hal ini sejalan dengan Astuti (2017) yang menyatakan
pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH,
atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan
dengan fungsi ventrikel kiri.
Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan hasil AFRVR 144x/menit, hal ini
sejalan dengan Soeparman dalam Rachma (2014) beban pengisian (preload)
dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau
hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang
lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih
besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah
meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.
4.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh penulis pada pasien
Bp.S dengan Congestive Heart Failure (CHF), maka penulis menemukan 3
diagnosis keperawatan yaitu :
4.2.1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak mampuan jantung
memompa sejumlah darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengalami nyeri pada dada skal 4
(0-10), mudah lelah, N 105x/menit kuat, tidak teratur, Hb 11,1 gr/dl. Hal
tersebut sesuai dengan teori Tarigan (2019) yang menyatakan Manifestasi
utama dari penurunan curah jantung adalah kelemahan dan kelelahan dalam
melakukan aktivitas. Hal tersebut didukung oleh teori Sari, dkk (2016) yang
menyatakan Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Gagal jantung kanan
terjadi kelainan yang melemahkan pada ventrikel kanan seperti hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi

29
vena jugularis. Sedangkan pada gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan
pada ventrikel kiri, meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru
menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea.
4.2.2 Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Sekresi Yang
Tertahan
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengalami batuk dahak sulit
keluar, dada sesak dan terpasang oksigenasi nasal kanul 3 l/mnt. Hal ini sejalan
dengan teori Bariyatun (2018) yang menyatakan kondisi pernapasan pada
pasien CHF yaitu dispnea, tidur sambil duduk, batuk dengan/ tanpa
pembentukan sputum, riwayat penyakit paru kronis, penggunaan bantuan
pernapasan seperti oksigen atau medikasi, takipnea, napas dangkal, pernapasan
labored, penggunaan otot aksesori pernapasan, nasal faring, batuk kering/
nyaring/ nonproduktif terus menerus, sputum mungkin bersemu darah, merah
muda/berbuih (edema pulmonal), bunyi napas mungkin tidak terdengar, ada
krakels basilar, mengi, sianosis.
4.2.3 Intoleransi Aktifitas Berhubungan Ketidak Seimbangan Suplai Dan
Kebutuhan Oksigen
Masalah tersebut diangkat karena Bp.S mengatakan sesak dan mudah
lelah,Bp.S terpasang kateter, hasil EKG menunjukkan takikardi. Hal ini sejalan
dengan Wilkinson dalam Hafifah (2012) dalam melakukan asuhan keperawatan
pada klien CHF hasil yang diharapkan adalah: berpartisipasi pada aktivitas
yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. Mencapai
peningkatan toleransi aktivitas yang dapat di ukur, dibuktikan oleh
menurunnya kelemahan, dan kelelahan dan TTV dalam batas normal. Pada
kasus Ny S kriteria hasil sudah terpenuhi.
4.2.4 Rencana keperawatan
Perencanaan pada Bp.S merupakan hasil dan tujuan yang akan dicapai
dengan batas waktu 2x24 jam. Dalam penulisan tujuan menggunakan
(SMART) spesifik (tidak memberikan makna ganda), measurable (dapat
dilihat, diukur, diraba, dibantu), achievable (secara realistisdapat dicapai),
Reasonable (dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah), time (punya batas

30
waktu yang sesuai. Dan rencana keperawatan menggunakan ONEC (observasi,
nursing treatment, edukasi, dan kolaborasi).
4.2.5 Diagnosa keperawatan penurunan curah jantung
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
curah jantung adekuat dengan kriteria hasil : ttv dalam batas normal TD : 120/60
mmHg N : 60-100x/menit RR : 16-20x/menit S : 36,5-37,5C Saturasi 95-100%,
irama jantung teratur, denyut jantung dalam batas normal. Kriteria hasil diambil
dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga sesuai dengan SIKI
(2017) yaitu auskultasi nadi apical,irama, monitor ttv intake dan outout cairan,
anjurkan pasien istirahat dengan posisi semi fowler, lanjutkan pemberian obat
sesuai anjuran dokter letoral 1x25 mg, digoxin, concor 1,25 mg, ramipric 10 mg,
isdn 1x1
4.2.6 Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil : pasien bebas dari gejala
gangguan pernafasan, ttv dalam batas normal TD : 120/60 mmHg N :
60-100x/menit RR : 16-20x/menit S : 36,5-37,5C Saturasi 95-100%. Kriteria
hasil diambil dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga sesuai
dengan SIKI (2017) yaitu monitor ttv, pertahankan posisi semi fowler, ajarkan
batuk efektif dan nafas dalam, lanjutkan pemberian obat sesua anjuran dokter.
4.2.7 Diagnosa keperawatan intoleransi aktifitas
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
toleransi terhadap aktifitas meningkat dengan kriteria hasil : keluhan lelah
menurun, perasaan lemah berkurang, dispnea saat/setelah aktifitas menurun.
Kriteria hasil diambil dari SLKI (2017). Dalam rencana tindakan penulis juga
sesuai dengan SIKI (2017) yaitu ukur tanda-tanda vital, berikan lingkungan yang
tenang dan batasi pengunjung, anjurkan pasien beristirahat bila terjadi kelelahan,
lakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif.
4.2.8 Implementasi keperawatan
Penulis dalam melakukan implementasi sesuai dengan prinsip
implementasi menurut teori Kemenkes (2017) yang mengatakan Implementasi
keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk

31
membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
4.2.9 Evaluasi keperawatan
Penulis dalam melakukan evaluasi sesuai dengan prinsip implementasi
menurut teori Kemenkes (2017) yang mengatakan Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah
tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu
pendekatan lain.
4.2.10 Dokumentasi keperawatan
Penulis dalam melakukan dokumentasi keperawatan mengenai tujuan
dokumentasi sudah sesuai dengan Kemenkes (2016) dokumentasi secara umum
merupakan suatu catatan otentik atau semua warkat asli yang dapat dibuktikan
atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum, sedangkan dokumentasi
keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat
dalam melakukan catatan perawatan yang berguna untuk kepentingan klien,
perawat, dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan
dasar komunikasi yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung
jawab perawat (Hidayat, dalam Kemenkes 2016). Dalam pendokumentasian juga
terdapat tanggal, waktu, nama terang, serta tanda tangan penulis.

32
DAFTAR PUSTAKA
Bariyatun, S. (2018). Penerapan Pemberian Oksigen Pada Pasien Congestive
Heart Failure (Chf) Dengan Gangguan Kebutuhan Oksigenasi.
Kidd, P, S., Sturt, P, A & Fultz, J. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi
(2 ed.). Jakarta : EGC.
Kurniati, Trisyani, & Theresia. (2018). Keperawatan Gawat Darurat Bencana
Sheehy (edisi Indonesia pertama ed.). Singapura: Elsevier.
Martanti, H. T. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien
Kardiovaskuler Dengan Kasus Kongestive Heart Failure (CHF) Dan
Peripartum Cardiomyopathy Di Ruang Intensive Cardiac Unit RSUD
Abdul Wahab Syahranie Samarinda.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M. & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan
Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular(2015). Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung. 10.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Ramadhani, F. N. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Gagal Jantung Kongestif (CHF) Yang Dirawat Di Rumah Sakit.
Rahmatiana, F., & Clara, H. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn. A
Dengan Congestive Heart Failure. Buletin Kesehatan: Publikasi Ilmiah
Bidang kesehatan, 3(1), 7-25.
Sari, D. V. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Pada Ny.S Dengn Kongestif Heart Failure (CHF) Di Pavilium
Marwah Atas Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.
Smeltzer, S, C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth (12
ed). Jakarta : EGC
Stillwell, S. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis (3 ed.). Jakarta: EGC.
Suratinoyo, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping
pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Ruangan CVBC (Cardio Vaskuler
Brain Centre) Lantai III di RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado
Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 1

33

Anda mungkin juga menyukai