Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman sekarang banyak penyakit yang disebabkan oleh pola makan
yang tidak baik maupun karena aktivitas yang kurang. Salah satunya
Congestive Heart Failure (CHF) atau sering dikenal sebagai gagal jantung.
Gagal jantung adalah sindrom yang ditandai dengan sesak napas, dispnea saat
aktifitas fisik, dispnea nokturnal paroksimal, ortopnea, dan edema perifer atau
edema paru (Morton, 2011 dalam Wardani dkk, 2018).
CHF adalah keadaan patofisiologis yaitu jantung tidak stabil untuk
menghasilkan curah jantung yang adekuat sehingga perfusi jaringan tidak
adekuat dan meningkatkan tekanan diastolik pada ventrikel kiri, sehingga
tekanan kapiler paru meningkat (Hudak & Gallo, 2012 dalam Wardani dkk,
2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukan bahwa
pada tahun 2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total kematian
disebabkan oleh gagal jantung kongestif. Pada penelitian di Amerika risiko
berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia ≥40 tahun dengan
kejadian >650.000 kasus baru yang diagnosis gagal jantung selama beberapa
dekade terakhir . kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya
usia. Tingkat kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu lima
tahun (Arini, 2015 dalam Suratiyono, dkk 2016)
Barita (2003) dalam Nurcholifah (2017) menyatakan penderita gagal
jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari
Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat
inap di rumah sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita
CHF dan menjalani rawat inap. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013,
prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar 0,3%.
Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara
pada responden umur ≥ 15 tahun berupa gabungan kasus penyakit yang
pernah
didiagnosis dokter atau kasus yang mempunyai gejala penyakit gagal jantung
(Riskesdas, 2013 dalam Nurcholifah, 2017). Prevalensi faktor risiko jantung
dan pembuluh darah, seperti makan makanan asin 24,5%, kurang sayur dan
buah 93,6%, kurang aktivitas fisik 49,2%, perokok setiap hari 23,7% dan
konsumsi alkohol 4,6% (Depkes RI, 2009 dalam Nurcholifah, 2017). Setiap
tahunnya diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah.
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
meningkat (Arjatmo, 2004 dalam Nurcholifah, 2017).
Berdasarkan data di atas, maka penulis tertarik menyusun Makalah
dengan judul Asuhan Keperawatan pada Lansia yang mengalami CHF dan
terapi yang sering digunakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas penulis menuliskan masalah yaitu
bagaimanakah Asuhan Keperawatan CHF pada lansia dan terapi yang sering
digunakan?.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
Asuhan Keperawatan pada Lansia yang mengalami CHF dan terapi yang
sering digunakan.
2. Tujuan khusus
a. Apa itu pengertian lansia
b. Apa itu pengertian CHF.
c. Apa saja etiologi CHF.
d. Apa saja klasifikasi CHF.
e. Apa saja patofisiologi CHF.
f. Apa saja manifestasi dari CHF.
g. Apa saja Komplikasi CHF.
h. Apa saja pemeriksaan penunjang dari CHF
i. Apa saja penatalaksanaan dari CHF
BAB II
Tinjaun Teori
A. Defini Lansia

Masa lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari
siklus kehidupan seseorang. WHO (2009) dalam (Naftali, Ranimpi, & Anwar,
2017) menyatakan bahwa masa lanjut usia dibagi menjadi empat golongan,
yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas
90 tahun. Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009) lanjut usia (getriatric
age) dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-75 tahun), old
(usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan seseorang yang
berusia di atas 60 tahun.

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, proporsi


populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total
populasi dunia dan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan usia
harapan hidup. Jumlah lansia tahun 2009 telah mencapai 737 juta jiwa dan
sekitar dua pertiga dari jumlah lansia tersebut tinggal di negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Diproyeksikan pada tahun 2020 populasi
lansia meningkat 7,2%, hampir sepadan dengan proporsi lansia di negara-
negara maju saat ini Tamher (2009) dalam (Naftali, Ranimpi, & Anwar,
2017)
B. Pengertian Congestive Heart Failure (CHF)
Zaman sekarang banyak penyakit yang disebabkan oleh pola makan
yang tidak baik maupun karena aktivitas yang kurang. Salah satunya
Congestive Heart Failure (CHF) atau sering dikenal sebagai gagal jantung
yang dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang termasuk di
Indonesia. Gagal jantung adalah sindrom yang ditandai dengan sesak napas,
dispnea saat aktifitas fisik, dispnea nokturnal paroksimal, ortopnea, dan
edema perifer atau edema paru (Morton, 2011 dalam Wardani dkk, 2018).
CHF adalah keadaan patofisiologis yaitu jantung tidak stabil untuk
menghasilkan curah jantung yang adekuat sehingga perfusi jaringan tidak
adekuat dan meningkatkan tekanan diastolik pada ventrikel kiri, sehingga
tekanan kapiler paru meningkat (Hudak & Gallo, 2012 dalam Wardani dkk,
2018).
Rampengan (2014) dalam Purnawati (2018) menyatakan gagal jantung
adalah kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah keseluruh tubuh,
sehingga mempengaruhi aliran balik vena dan erat kaitanya dengan
kebutuhan metabolism ke sel-sel tubuh. Semua bentuk penyakit jantung dapat
menyebabkan dekompensasi dan kegagalan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Klabunde (2015) dalam Purnawati (2018) yaitu gagal jantung baik sistolik
maupun diastolik menyebabkan penurunan isi sekuncup dan curah jantung
sehingga, mengakibatkan jantung tidak mampu memasok aliran darah
keseluruh tubuh, dan menyebabkan pengangkutan oksigen ke jaringan dan
organ perifer terjadi secara tidak memadai, atau hanya dapat memasoknya
dengan tekanan pengisian yang tinggi.
Yancy, et al (2013) dalam Purnawati (2018) menyatakan gagal jantung
adalah sindrom klinis yang kompleks yang dihasilkan dari penurunan nilai
struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi darah, dengan
gejala utama adalah dyspnea, kelelahan, intoleran aktivitas dan retensi cairan.
C. Etiologi Congestive Heart Failure (CHF)
Ada beberapa etiologi/penyebab dari gagal jantung menurut Brunner dan
Suddarti dalam Kasron (2012) adalah sebagai berikut:
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi
pada penderita kelianan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang menyadari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup anteriosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit degeratif atau inflamasi.
b. Anterosklerosis koroner
Anterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laknat), infark miokardium (kematian sel
jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
pemyakit miokardium degeratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
c. Hipertensi sistematik atau pulmonal
Meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrophi serabut otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit Miokardium Degeneratif
Sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain
Gagal jantung terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
maka secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencangkup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis
kutup seminuler), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau sionis AV),
peningkatan mendadak afteer load.
f. Faktor sistematik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal ginjal. Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia dan
anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistematik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respratorik atau
metabolik dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.
D. Klasifikasi Congestive Heart Failure (CHF)
Menurut Karson (2012) kalisifikasi CHF meliputi:
a. Gagal jantung akut-kronik
1) Gagal jantung akut terjadinya secara tiba-tiba, ditandai dengan
penurunan kardiak output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan, ini
dapat mengakibatkan edema paru.
2) Gagal jantung kronik terjadinya secara perlahan ditandai dengan
penyakit jantung iskemik, penyakit paru kronis, penyakit paru
kronis. Pada gagal jantung kronik terjadi retensi air dan sodium pada
ventrikel sehingga menyebabkan hipervolemia, akibatnya ventrikel
dilatasi dan hipertrofi.
b. Gagal jantung kiri-kanan
1) Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memopa
darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal,
hipertensi dan kelinan pada kutub aorta/mitral
2) Gagal jantung kanan, disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat
gagal jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan
yang terbendung akan berakumulasi secara sistematik di kaki, asites,
hepatomegali, efusi pluera, dll.
c. Gagal jantung sistolik-diastolik
1) Sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
sehingga ventrikel kiri tidak mampu memompa darah akibatnya
kardiak output menurun dan ventrikel hipertrofi.
2) Diastolik karena ketidakmampuan ventrikel dalam pengisian darah
akibatnya stroke volume cardiac output menurun.
E. Patofasiologi Congestive Heart Failure (CHF)
1. Mekanisme dasar
Kelainan kontraktilitas pada gagal jantung akan mengganggu
kemampuan pengosongan ventrikel. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi cardiac output dan meningkatkan volume ventrikel
artinya dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik ventrikel)
maka terjadi pula peningkatan tekanan darah diastolik kiri (LEDV)
selanjutnya dengan meningkatnya LEDV, maka terjadi pula peningkatan
tekanan atrium (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung
kedalam anyaman vaskuler paru-paru meningkatkan tekanan kapiler dan
pena paru-paru. Jika tekanan hidrostaltik dari anyaman kapiler paru-paru
melebihi tekanan osmatik vaskuler, maka akan terjadi transudasi cairan
melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema
interstitial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke alveoli dan terjadilah edema paru-paru (Wijaya & Putri,
2013).
2. Respon kompensatorik
a) Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik
Menurunnya cardiac output akan meningkatkan aktivitas
adrenergik yang dengan merangsang pengeluaran katekolamin dan
saraf-saraf adregenik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung
dan kekuatan kontraktil akan meningkat untuk menambah cardiac
output (CO), juga terjadi vasokontraksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan retribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah keorgan-organ yang rendah
metabolismenya, seperti kulit dan ginjal agar perfusi kejantung dan
keotak dapat dipertahankan. Vasokontraksi akan meningkatkan
aliran balik vena kesisi kanan jantung yang selanjutnya akan
menambah kekuatan kontriksi (Wijaya & Putri, 2013).
b) Meningkatnya beban awal akibat aktivitas sistem renin angiotensin
alsosteron (RAA)
Aktivitas RAA menyebabkan retensi Na dan air oleh ginjal.
Meningkatkan volume ventrikel-ventrikel tegangan tersebut.
Peningkatan beban awal ini akan menambah kontrakbilitas
miokardium (Wijaya & Putri, 2013).
3. Atropi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hidrotropi
miokardium akan bertambah tebalnya dinding (Wijaya & Putri, 2013).
4. Efek negatif dari respon kompensatorik
Pada awalnya respon kompensatorik menguntungkan namun pada
akhirnya dapat menimbulkan berbagai gejala, meningkatkan laju jantung
dan memperburuk tingkat gagal jantung. Resistensi jantung yang
dimaksud untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas dini
mengakibatkan bendungan paru-paru dan vena sistematik dan edema,
fase kontruksi arteri dan redistribusi aliran darah mengganggu perfusi
jaringan pada anyaman vaskuler yang terkena menimbulkan tanda dan
gejala, misalnya berkurangnya jumlah air kemih yang dikeluarkan dan
kelemahan tubuh. Vasokontraksi arteri juga menyebabkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap enjeksi ventrikel, beban akhir
juga meningkat kalau dilatasi ruang jantung. Akibat kerja jantung dan
keburuhan miokard akan oksigen juga meningkat, yang juga ditambah
lagi adanya hipertensi miokard dan perangsangan simpatik lebih lanjut.
Jikakebutuhan miokard akan oksigen tidak terpenuhi makan akan tejadi
iskemia miokard, akhirnya dapat timbul beban miokard yang tinggi dan
serangan gagal jantung yang berulang (Wijaya & Putri, 2013)
Skema Pathway
Hipervolemia Hipertensi Stenosis Katup Kerusakan
katup inkompetent miokardium

Peningkatan Peningkatan
Preload afterload

Peningkatan
beban kerja

Penurunan
Penurunan
MK: kekuatan
kekuatan
Penurunan Kontraksi
Kontraksi
Curah jantung
Peningkatan
Depan Belakang RA preload
Peningkatan
LVEDV
Penurunan perpusi Penurunan aliran
Organ sistematik balik sistematik
Peningkatan Penurunan venous
preload return
Penurunan TD MK:
Sistematik intoleransi
Aktivitas
Peningkatan Mendesak Edema
LA preload Peningkatan lobus hepar Ekstremitas
Peningkatan Penurunan LA preload
ADH Renal boold
Peningkatan MK: resiko
Kematian sel
tek kepiler tinggi
hepar, fibrosis,
Aktivitas pulmoner integritas kulit
sirosis
Renin-angiotensin-
aldosteron
Edema Peningkatan
pulmoner tekanan
Retensi NA & air vena porta

MK: gangguan
Edema pertukaran gas Akumulasi
Gangguan pola tidur cairan
di sirkulasi
MK: resiko masenteriks
tinggi
Asites MK:
Gangguan
kelebihan
Integritas
volume cairan
kulit
Sumber: (Wijaya & Putri, 2013)
F. Manifestasi klinis Congestive Heart Failure (CHF)
Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume
intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang
meningkat akibat turunnya curah jangtung pada kegagalan jantung. Ventrikel
kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikeln
kiri paling sering mendahului gagal ventrikel kanan. Kegagalan salah satu
ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan, tetapi manifestasi
kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mangagal a yang
terjadi (Kasron, 2012).
1. Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada ventrikel kiri karena ventrikel kiri tidak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifetasi yang terjadi
menurut Wijaya & Putri (2013) ; Kasron (2012):
Manifestasi klinis:
a) Dipsnea
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu. Beberapa pasien dapat
mengalami ortopnu pada malam hari yang dinamakan Paroksimal
Noktral Dispnea (PND)
b) Orthopnea
c) Paroximal nocturnal dispnea
d) Batuk
e) Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang mengahambat
jaringan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme juga terjadi karena meningkatnya
energi uyang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi
karena distress pernafasan dan batuk.
f) Kegelisah dan Kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesulitan
bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan
baik.
g) Sianosis
2. Gagal jantung kanan
Menurut Wijaya & Putri (2013); Kasron (2012) manifestasi klinis gagal
jantung kanan yaitu:
a) Kongesif jaringan perifer dan viseral
b) Edema ekstremitas bawah (edema dependen), biasanya edema
pitting, penambahan berat badan.
c) Distensi vena juguralis
d) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar.
e) Asites
f) Anorexsia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen.
g) Nokturia
h) kelemahan
3. Secara luas peningkatan COP dapat menyebabkan perfusi oksigen
kejaringan rendah, sehingga menimbulkan gejala:
a) Pusing
b) Kelelahan
c) Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d) Ekstremitas dingin
4. Perfusi pada ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin serta sekresi
aldosteron dan retensi cairan dan natrium yang menyebabkan
peningkatan volume intravasluker.
Menurut New York Heart Assosiation (NYHA) dalam Kasron (2012)
membuat klasifikasi fungsional CHF dalam 4 kelas yaitu:
a. Kelas I: bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tanpa keluhan.
b. Kelas II: bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari
aktofits sehari-hari tanpa keluhan.
c. Kelas III: bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan
d. Kelas IV: bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring.
G. Komplikasi Congestive Heart Failure (CHF)
Wijaya & Putri, (2013) menyatakan bahwa komplikasi CHF meliputi:
1. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri
2. Syok kardiogenik: stadium dari gagal jantung kiri, kongesif akibat
penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital (jantung dan otak)
3. Episode trombolik
Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi
dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah
4. Efusi perikardial dan tamponade jantung
Masuknya cairan kekantung perikardium, cairan dapat meregangkan
perikardium sampai ukuran maksimal. COP menurun dan aliran balik
vena ke jantung sehingga menyebabkan tanponade jantung (Wijaya,
2013).
H. Pemeriksaan penunjang Congestive Heart Failure (CHF)
Wijaya & Putri (2013) dan Karson (2012) menyatakan bahwa pemeriksaan
penunjang CHF meliputi:
1. EKG, mengetahui hipertrofi atrial atau vestikuler, infark, penyimpanan
aksis, iskemia, dan kerusakan pola.
2. Tes raboratorium darah
Enzim hepar: meningkat dalam gagal jantung atau kongesti
Elektrolit: kemungkinan berubah karena perpindahan cairan, penurunan
fungsi ginjal.
Oksimetri nadi: kemungkinan situasi oksigen rendah
AGD: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan
atau hipoksemia dengan peningkatan CO2.
Albumin: mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein.
3. Radiologis
Sonogram Ekokardiogram, dapat menunjukan pembesaran bilik
perubahan dalam fungsi struktur katup, penurunan kontraktilitas
ventrikel.
Scan jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
garakan dinding.
Rontgen dada: menunjukan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminan dilatasi atau hipertrofi balik atau perubahan dalam
pembuluh darah atau peningakatan tekanan pulmonal.
I. Penatalaksanaan Congestive Heart Failure (CHF)
New York Heart Assosiation (NYHA) dalam Kasron (2012)
penatalaksanaannya berdasarkan:
1. Kelas I : Non farmakologi, meliputi diet rendah garam, batasi cairan,
menurunkan berat badan, menghindari alkohol dan rokok, aktivitas fisik,
dan menejemen stress.
2. Kelas II, III: Terapi pengobatan, meliputi: diuretic, vasodilator, ace
inhibator, digitalis, dopamineroik, dan oksigen.
3. Kelas IV: kombinasi diuretic, digitalis ACE inhibator dan seumur hidup.

Menurut Karson (2012) pelatalaksanaan CHF meliputi:


1. Non farmakologis
a) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan
menurunkan komsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan
aktivitas.
b) Diet pembatasan natrium (< 4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
c) Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAIDs
karena efek prostagladin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium.
d) Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-15—cc/hari).
e) Olahraga secara teratur.
2. Farmakologis
Tujuan: untuk mengurangi afterload dan preload
a) First line drugs; diuretic
Tujuan: mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan
mengurangi kongesti pulmonal pada disfungsi diastolic.
Obatnya adalah: thiazide diuretics untuk CHF sedang, loop
diuretic, metalazon (kombinasi dari loop diuretic untuk
meningkatkan pengeluaran cairan), kalium sparing diuretic.
b) Second line drugs: ACE inhibilator
Tujuan: membantu meningkatkan COP dan menurunkan kerja
jantung. Obatnya adalah:
 Digoxin: meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak
digunakan untuk kegagalan diastolic yang mana dibutuhkan
pengembangan ventrikel untuk relaksasi.
 Hidralazin: menurunkan afterload pada disfungsi sistolik.
 Isobarbide dinitrat: mengurangi preload untuk disfungsi
sistolik, hindari vasodilatorpada disfungsi sistolik.
 Calsium chennel blocker: untuk kegagalan diastolic,
meningkatkan relaksasi dan pengisian ventrikel (jangan
dipakai pada CHF kronik).
 Beta blocker: sering dikontraindikasikan karena menekan
respon miokard. Dugunakan pada disfungsi diastoloc untuk
mengurangi HR, mencegah iskemi miocard, menurunkan TD,
hipertrofi ventrikel kiri.
3. Pendidikan kesehatan
a) Informasikan pada klien, keluarga dan pemberi perawatan tentang
penyakit dan penanganannya.
b) Informasi difokuskan pada: monitoring BB setiap hari dan intake
natrium.
c) Diet yang sesuai untuk lansia CHF: pemberian makanan
tambahan yang banyak mengandung kalium seperti pisang, jeruk,
dll.
d) Teknik konservasi energi dan latihan aktivitas yang dapat
ditoleransi dengan bantuan terapis (Karson, 2012).
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Proses keperawatan adalah serangkaian tindakan sitematis berkesinambungan,


yang meliputi tindakan atau menidentifikasi masalah kesehatan individu atau
kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian merencanakan tindakan
untuk menyelesaikan. Mengurangi atau mencegah terjadinya masalah baru dan
melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan
keperawatan serta megevaluasi keberhasilan dari tindakan yang dilakukan
(Rohmah & walit, 2014).
1. Pengkajian
a. Pengkajian
Wijaya dan Putri (2013) mengatakan bahwa data dasar pengkajian
fisik pada klien gagal jantung meliputi:
1) Aktivitas/istirahat
Gejala:
a) Keletihan, kelelahan terus sepanjang hari.
b) Insomnia.
c) Nyeri dada dengan aktivitas.
d) Dispnea pada saat istirahat atau pada pengarahan tenaga.
Tanda:
Gelisah, perubahan status mental: letergi, TTV berubah pada
aktivitas.

2) Sirkulasi
Gejala:
a) Riwayat hipertensi, MCI, episode gagal jantung kanan
sebelumnya.
b) Penyakit kutub jantung, bedah jantung, endokarditis, SLE,
anemia, syok septik, bengkak pada kaki, telapak kaki,
abdomen, sabuk terlalu kuat (pada gagal jantung kanan).
Tanda:
a) TD mungkin menurun (gagal pemompaan), normal gagal
jantung kongestif ringan/kronis atau tinggi ) kelebihan volume
cairan/peningkatan TD).
b) Tekanan nadi menunjukan peningkatan volume sekuncup.
c) Frekuensi jantung takikardi (gagal jantung kiri).
d) Irama jantung: sistematik, misalnya; fibrilasi atrium, kontraksi
ventrikel prematur/takikardia blok jantung.
e) Nadi apikal disritmia, misalnya: PMI mungkin menyebar dan
berubah posisi secara inferior kiri.
f) Bunyi jantung S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi,
S1 dan S2 mungkin lemah.
g) Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya kutup
atau insufiensi.
h) Nadi: nadi perifer berkurang, perubahan dalam kekuatan
denyutan dapat terjadi, nadi sentral mungkin kuat, misal; nadi
juguralis coatis abdominal terlihat.
i) Warna kulit: kebiruan, pucat, abu-abu, sianotik.
j) Punggung kuku: pucat atau sianotik dengan pengisisan kapiler
lambat.
k) Hepar: pembesaran/dapat teraba, reflek hepato jaguralis.
l) Bunyi nafas: krekels, ronchi.
m) Edema: mungkin dependen, umum atau pitting, khususnya
pada ekstremitas.
n) DVJ
3) Integritas ego
Gejala:
a) Ansietas, khawatir, takut.
b) Stres yang berhubungan dengan penyakit atau finansial
Tanda:
Berbagai manifestasi perilaku, misal: ansietas, marah, ketakutan.
4) Eliminasi
Gejala:
Penurunan berkemih, urine berwarna gelap berkemih, malam hari
(nokturia), diare atau konstipasi.
5) Makan atau cairan
Gejala:
a) Kehilangan nafsu makan.
b) Mual atau muntah.
c) Penurunan BB signifikan.
d) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
e) Pakian atau sepatu terasa sesak.
f) Diet tinggi garam atau makanan yang telah diproses, lemak dan
kafein.
g) Penggunaan diuretik.
Tanda:
a) Penambahan BB cepat.
b) Distensi abdomen (asites), edema (umum, dependen, atau
pitting).
6) Hygiene
Gejala: Keletihan, kelemahan, kelelahan selama aktivitas
perawatan diri.
Tanda: penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7) Neorosensori
Gejala: Kelemahan, peningkatan episode pingsan.
Tanda: Letergi, kuat fikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah
tersinggung.
8) Nyeri atau kenyamanan
Gejala:
a) Nyeri dada, angina akut atau kronis.
b) Nyeri abdomen kanan atas.
Tanda:
a) Tidak tenang, gelisah.
b) Fokus menyempit (menarik diri).
c) Perilaku melindungi diri.
9) Pernapasan
Gejala:
a) Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk dengan beberapa
bantal.
b) Batuk dengan atau tanpa sputum.
c) Riwayat penyakit paru kronis.
d) Penggunaan bantuan pernapasan, misal oksigen atau medikasi
Tanda:
a) Pernafasan takipnea, napas dangkal, pernapasan laboral,
penggunaan otot aksesori.
b) Pernapasan nasal faring.
c) Batuk kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan tanpa sputum.
d) Sputum: Mungkin bercampur darah, merah muda atau berbuih,
edema pulmonal.
e) Bunyi napas: mungkin tidak terdengar dengan krakles benner
dan megi.
f) Fungsi mental: mungkin menurun, letargik, kegelisahan, warna
kulit pucat/sianosis.
10) Pemeriksaan penunjang
a) Radiogram paru: Kongesti vena paru, redistribusi vaskuler pada
lobus-lobus atas paru, kardiomegali.
b) Kimia darah: hiponatremia, hiperkalemia pada tahap lanjut dari
gagal jantung, BUN dan kreatin meningkat.
c) Urine: lebih pekat, BJ meningkat, Na meningkat.
d) Fungsi hati: pemanjangan masa protombin, peningkatan
bilirubin dan enzime hati (SGOT dan SGPT meningkat).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wijaya dan Putri (2013) menyatakan bahwa diagnosa
keperawatan CHF meliputi:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miocard,
perubahan struktural, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
c. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan membran
kapiler alveolus.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium dan air.
e. Gangguan perfusi jaringan periferberhubungan dengan stasis vena.
f. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan
akibat oksigenasi yang tidak adekuat.
g. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah.
h. Resiko kurang pengetahuan mengenai program perawat berhubungan
dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup baru yang
dianjurkan.
i. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret, sekret tertahan, sekret kental, peningkatan energi dan
kelemahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miocard,
perubahan struktural, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik.
Tujuan: diharapkan curah jantung kembali adekuat, TTV dalam batas
normal, ortopnea tidak ada, nyeri dada tidak ada, terjadi penurunan
episode dispnea, hemodinamika DBN.
Intervensi:
1) Auskultasi nadi apikal, kaji frekuensi dan irama janatung.
2) Cacat bunyi jantung.
3) Palpasi nadi perifer.
4) Pantau TD.
5) Kaji kulit terhadap pucat atau sianosis.
6) Kaji perubahan sensai (letargi, bingung, orientasi cemas).
7) Berikan istirahat psikologis dan lingkungan yang tenang, bantu
pasien mengatasi stress.
8) Berikan istirahat semi fowler pada tempat tidur/kursi.
9) Tinggikan kaki, hindari tekanan pada lutut.
10) Beriakan oksigen sesuai indikasi:
a) Vasodilator nitrat, digoxin (lanaxin).
b) Captopril.
c) Pantau EKG dan perubahan foto dada.
d) Pantau pemeriksaan lab BUN, kreatin (Wijaya & Putri, 2013).
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
Tujuan: diharapkan klien dapat beraktivitas dengan bantuan minimal
atau peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria hasil: menurunnya kelemahan dan kelelahan, HB meningkat,
diaporesis berkurang/tidak ada, TTV DBN.
Intervensi:
1) Periksa TTV sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila
pasien menggunakan vasodilator, diuretik.
2) Catat respon kardio pulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,
distritmia, dispnea, pucat.
3) Kaji penyebab kelemahan, contoh pengobatan nyeri otot.
4) Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.
5) Implementasi program rehabiloitas jantung aktivitas.
6) Diet yang sesuai (Wijaya & Putri, 2013).
c. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan membran
kapiler alveolus.
Tujuan: respitory status; gas exchange, respiratory status; ventilation,
vital sign status.
Kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenisasi yang
adekuat.
2) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda
distres pernapasan.
3) Mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dipsneu (mampu mengeluarkan skutum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed litf.
4) Tanda-tanda vital dalam rentan normal.
Intervensi:
1) posisikan psien untuk memaksimalkan ventilasi.
2) Identifitasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas bantuan.
3) Pemasangan mayo bila perlu.
4) Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
5) Keluarkan secret dengan batul atai saction.
6) Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan
7) Lakukan suction pada mayo.
8) Berikan bronkudilator bila perlu.
9) Berikan pelembab udara.
10) Atur intake untuk cairan, melanjutkan keseimbangan
11) Monitor respirasi dan status O2 (Nurarif & Kusuma, 2016).
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium dan air.
Tujuan: electrolit and acid base balance, fluid balance, hydration.
Kriteria hasil:
1) Terbebasa dari edema, efusi, anaskara.
2) Bunyi nafas bersih, tidak ada dispneu atau ortopneu.
3) Terbebas dari distensi vena juguralis, reflek hepatojagular (+)
4) Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output
jantung dan vital sign dalam batas normal.
5) Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan.
6) Menjelaskan indikator kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2) Pasang urin kateter bila diperlukan.
3) Monitor Hb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
osmolalitas urin)
4) Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan
PCWP.
5) Monitor vital sign.
6) Monitor indikasi retensu/kelebihan cairan
7) Kaji lokasi dan luas edema.
8) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori.
9) Monitor status nutrisi
10) Kolaborasi pemberian diuretik sesuai intruksi
11) Batasi amsukan cairan pada keadaan hiponatremidilusi dengan
serum Na <130 mEq/l
12) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk
(Nurarif & Kusuma, 2016).
e. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan stasis vena.
Tujuan: circulation status, tissue perfusion: cerebral.
Kriteria hasil: tekanan sistol dan diastol dalam rentan yang diharapkan,
tidak ada ortostatik hipertensi, tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensi:
1) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tumpul.
2) Monitor aadanya paretese
3) Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau
laserasi.
4) Gunakan sarung tangan untuk proteksi.
5) Batasi gerakan pada kepala leher dan punggung.
6) Monitor kemampuan BAB
7) Kolaborasi pemberian analgetik
8) Monitor adanya tromboplebitis.
9) Diskusikan penyebab perubahan sensi (Nurarif & Kusuma, 2016).
f. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan
akibat oksigenasi yang tidak adekuat.
Tujuan: anxiety level, sosial anxiety level.
Kriteria hasil:
1) klien mampu menidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2) mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan tekhnik untuk
mengontrol cemas.
3) Vital sign dalam batas normal.
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukan berkurangnya kecemasan.
Intervensi:
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan menyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku pasien.
2) Jalankan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
3) Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress
4) Temani pasien untuk memberikan keamanan untuk mengurangi
takut
5) Dorong keluarga untuk menemani anak.
6) Lakuakn back/neckrub
7) Dengarkan dengan penuh perhatian.
8) Identifikasi tinhkat kecemasan bantu pasien meneganl situasi yang
menimbulkan kecemasan.
9) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi
10) Instriksikan psien menggunakan teknik relaksasi.
11) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan (Nurarif & Kusuma,
2016).
g. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah.
Tujuan: nutritional status; food and fluid intake, nutritional status;
nutrient intake, weight control.
Kriteria hasil:
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan berat badan
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada mal nutrisi
5) Meninhkatkan pengecapan atau menelan.
6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi:
1) Kaji adanya elergi makanan
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nurtisi yang dibutuhkan pasien
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
5) Berikan substansi gula.
6) Yakinkan diet yang dimakan menggandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
7) Berikan makan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi)
8) Anjarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian
9) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
10) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
11) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan (Nurarif & Kusuma, 2016).
h. Resiko kurang pengetahuan mengenai program perawat berhubungan
dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup baru yang
dianjurkan.
Tujuan: knowledge; disease process, knowledge; health behavior.
Kriteria hasil:
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit
kondisi prognosis, dan program pengobatan.
2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar.
3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat atau tim kesehatan lainnya.
Intervensi:
1) Jelaskan patosisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi fisiologi
2) Gambarkan proses pemyakit dengan cara yang tepat
3) Sediakan informasi pada pasien tentamg kondisi dengan cara yang
tepat.
4) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa munculpada pemyakit,
dengan cara yang tepat (Nurarif & Kusuma, 2016).
i. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret, sekret tertahan, sekret kental, peningkatan energi dan
kelemahan.
Tujuan: respiratori status; ventilation, respitari staus; arway atence.
Kriteria hasil:
1) Mendemostrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih tidak
ada sianoss dan dispneu
2) Menunjukan jalan napas yang paten mampu menidentifikasikan
dan mencegah faktor yang dapat menhambat jalan napas.
Intervensi:
1) Monitor oksigen pasien
2) Informasikan pada klien dan keluarga tentamg suction.
3) Minta klien napas dalam sebelum suction dilakukan .
4) Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
suction nasotrakeal.
5) Anjurkan pasien istirahat dan napas dalam setelah kateter
dikeluarkan dari nasotrakeal.
6) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan (Nurarif
& Kusuma, 2016).
4. Implementasi
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Ketgiatan dengan pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah &
Walid, 2014).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria
hasil yang dibuat pada pelaksanaan (Rohmah & Walid, 2014).
KASUS
Tn. A tinggal di panti sosial tresna werdha bengkulu. Tn. A masuk ke panti
pada tanggal 30 september 2015. Tn. A mempunyai anak 1 dan istri 1. Tn. A sring
di kunjungi oleh keluarga setiap minggu. Pada bulan oktober Tn. A mengeluh
merasa letih sepanjang hari, insomnia, nyeri dada saat beraktifitas dan dispnea
saat istirahat dan klien mengatakan sudah mengalami batik selama 2 minggu dan
1 minggu terakhir ini batuk terhambat karena ada penyumbatan.
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 63 tahun
Alamat : Panti Sosial Tresna werdha bengkulu
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Jenis kelamin : laki-laki
Suku : Jawa
Status : Menikah
Tanggal Masuk Panti Werdha: 30 September 2015
2. Status Kesehatan saat ini
a. Nutrisi: makan 3x sehari dengan diet rendah garam. Jenis makanan
bubur, ikan sayur. Klien hanya makan 5-6 sendok, klien tidak nafsu
makan
b. Cairan dan elektrolit: klien minum 350cc
c. Aktivitas: keletihan atau kelelahan terus sepanjang hari
d. Keluhan-keluhan kesehatan utama (sekarang): Tn. A mengeluh
merasa letih sepanjang hari, insomnia, nteri dada saat beraktifitas dan
dispnea saat istirahat dan klien mengatakan sudah mengalami batik
selama 2 minggu dan 1 minggu terakhir ini batuk terhambat karena
ada penyumbatan.
3. Riwayat penyakit terdahulu
a. Nutrisi: makan 3x sehari, jenis makanan: nasi dan makan makanan
yang mengandung garam serta nafsu mkan baik dan klien terbiasa
merokok sebelum dan sesudah mkan.
b. Cairan dan elektrolit: klien minum air putih 4-5 gelas/hari
c. Aktivitas: baik, bisa melakukan aktivitas secara mandiri, misalnya
makan, minum dan porson hygiene.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Tn. A mengakatan dikeluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat sakit
jantung tetapi ibunya mempunyai riwayat hipertensi tetapi sekarang sudah
meninggal.

No Nama Hubungan JK Umur Pendidika Pekerjaan Status Imunisasi


keluarga n Kesehatan

1 Ny. Istri Pr 55 SMP IRT - -


K thn

2 Ny. P Anak Pr 30 SMA Pegawai - -


thn toko

5. Tinjauan sistem
a) Keadaan umum: keadaan Tn. A tampak lemah/letih, berat badan 85
Kg
b) Integumen: kulit pucat dan sianosis, turgor kulit elastis
c) Kepala: tidak bulat, tidak ada benjolan, keadaan rambut bersih, tidak
ada ketombe, rambut rontok, rambut putih.
d) Mata: bentuk tampak simetris, konjungtiva tampak anemis, sclera
tidak ikterik, pupil isokor, pengelihatan kabur, tidak ada peradangan,
tampak menggunakan kaca mata, tidak ada nyeri, dan tidak ada
benjolan.
e) Hidung; bentuk tampak simetris, tidak ada luka tidak ada peradangan,
tidak ada sekret pada hidung, tidak ada nyeri tekan, dan penciuman
masih cukup baik.
f) Mulut dan tenggorokan: kebersihan mulut baik, tidak ada caries, gigi
tidak lengkap, tidak ada gangguan menelan, mukosa basah.
g) Telinga: bentuk simetris, tidak ada luka, tidak ada serumen, tidak ada
peradangan, tidak nyeri tekan pada bagian belakang telinga
(mastoideus), tidak ada benjolan, pendarahan masih bagus.
h) Leher: tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada luka, tidak
ada bendungan vena juguralis
i) Payudara: simetris, tidak ada benjolan
j) Sistem pernafasan: paru-paru tampak simetris kiri dan kanan,
pergerakan dada mengikuti irama pernafasan, bentuk dada normal
terdengar bunyi krekles, ronkhi. RR=12x/menit.
k) Sistem kardiovalkuler: irama jantung distritmia, frekuensi jantung
takikardi, nadi 105x/menit, tekan darah 120/75 mmHg, bunyi jantung
S1 dan S2 terdengar pelan, bunyi jantung S3 (gallop) terdengar, dan
terdengar murmur sistolik dan diastolik.
l) Sistem gastrointestinal
I : simetris, tidak ada bekas luka
A : bising usus 8x/menit
P : tidak ada nyeri tekan
P : timpani
m) Sistem perkemihan: klien mengatakan bisa buang air kecil dikamar
mandi, klien buang air kecil kurang dari 400 ml/hari. Ngompol (-)
n) Sistem genitotreproduksi: tidak ada keluhan, normal. Klien memiliki 1
orang anak perempuan.
o) Sistem muskoloskeletal: klien kurang seimbang dalam berjalan,
kemampuan menggenggam lemah, otot ektremitas kaki sama kuat,
terdapat edema pada ektremitas klien, tidak ada kelainan tulang, atrofi
dll.
p) Sistem saraf
Nervus I (olfactorius): Tn A dapat membedakan bau dari minyak
kayu putih dan minyak wangi/parfum.
Nervus II (opticus): Tn A sudah tidak dapat melihat jauh tulisan,
orang dan benda-benda yang kecil, Tn A menggunakan bantuan
kacamata.
Nervus III, IV, V (Oculomotoris, Trochlearis, Abdusen):
Nervus VI (Trigeminus): sensasi sensorik kulit wajah klien baik, dapat
merasakan goresan kapas pada pipi kanan.
Nervus VII (Facialis): Tn A dapat menggerakan alis dan mengerutkan
dahi.
Nervus VIII (Vastibulococlear): fungsi keseimbangan kurang baik.
Nervus IX, X (Glasopharingeus, Vagus): reflek menelan baik
Nervus XI (accesorius): Tn A dapat menggerakan kedua bahunya dan
menggerakan kepalanya.
Nervus XII (Hipoglasus): Tn A dapat berbicara dengan jelas dan lidah
berfungsi baik
q) Sistem endokrin: klien mengatakan tidak menderita kencing manis.
Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
6. Psikosial dan spiritual
a. Psikososial
1) Hubungan antara keluarga: Tn A sering dikunjungi keluarga setiap
1 minggu sekali.
2) Hubungan dengan orang lain: Tn A termaksut orang yang ramah,
mudah bergaul dengan penghuni panti yang lain maupun dengan
pegawai dan pengasuhan panti, tetapi Tn A kurang ikut serta
dalam kegiatan yang diadakan panti karena mengalami mudah
lelah dan penurunan kekuatan tonus otot.
3) Klien mengalami susah tidur. Klien tidur hanya 3-4 jam/hari
4) Klien mengalami rasa gelisah
5) Klien tidak sering murung atau menangis
6) Klien suka meras was-was atau khawatir.
b. Spiritual: Tn A mengatakan selalu menjalankan ibadah sholat lima
waktu. Tn A merasakan semuanya pada Allah SWT.

B. Analisa Data

No Data Problem Etiologi

1 Ds: Resiko Perubahan


1. Klien mengeluh cepat Penurunan kontraktilitas
lelah curah jantung miokardial/perubahan
2. Klien mengeluh inotropik
susah bernafas
3. Klien mengatakan
sandal yang
digunakannya
menjadi lebih sempit

Do:
1. Frekuensi jantung
klien takikardi
2. Klien tampak letih
3. Eksremitas klien
mengalami edema
4. Terhadap bunyi
murmur pada
auskultasi jantung
klien
5. RR klien 12x/menit
2 Ds: Bersihan jalan Penurunan reflek
nafas tidak batuk, penumpukan
1. Klien mengatakan efektif sekret
sulit bernafas
2. Klien mengatakan
sulit batuk karena ada
yang menahan
3. Klien mengatakan
sesak nafas

Do:
1. Klien mengalami sulit
bernafas (dispnea)
2. Terdengar bunyi
ronkhi pada klien
3. RR 12x/menit

C. Diagnosa
1. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas miokardial atau perubahan inotropik
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
reflek batuk, penumpukan sekret
D. Perencanaan

N Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


o Keperawata
n

1 Resiko Setelah 1. Auskultasi 1. Biasanya


penurunan diberikan nadi terjadi takikardi
curah asuhan apical, (meskipun pada
jantung keperawatan observasi saat istirahat)
berhubunga diharapkan frekuensi, untuk
n dengan tanda vital irama mengkompensa
perubahan dalam batas jantung si penurunan
kontraktilita yang dapat 2. Catat bunyi kontraktilitas
s diterima jantung ventrikuler.
miokardial (disritmia 3. Palpasi nadi 2. S1 dan S2
atau terkontrol perifer mungkin lemah
perubahan atau hilang) 4. Pantau TD karena
inotropik dan bebas 5. Kaji kulit menurunnya
gejala gagal terhadap kerja pompa.
jantung pucat dan Irama gollop
Kriteria sianosis umum (S3 dan
Hasil: 6. Tinggikan S4) dihasilkan
1. Malaporka kaki, sebagai aliran
n hindari darah ke dalam
penurunan tekanan serabi yang
episode pada bawah distensi.
dipsnea, lutut. Murmur dapat
angina. 7. Berikan menunjukan
2. Ikut serta oksigen inkompetensi
dalam tambahan atau stenosis
aktivitas dengan katup
yang nasal janul 3. Penurunan
mengurang atau masker curah jantung
i beban sesuai dapat
kerja indikasi menunjukan
jantung menurunnya
nadi radial,
poplitea,
dorsalis pedis
dan postibial.
Nadi mungkin
cepat hilang
atau tidak
teratur untuk
palpasi dan
pulsus slternan
(denyut kuat
lain dengan
denyut lemah)
mungkin ada.
4. Pada GJk dini,
sedang atau
kronis, TD
dapat
meningkat
sehubungan
dengan SVR
5. Pucat
menunjukan
menurunnya
perfusi perifer
sekunder
terhadap tidak
adekuatnya
curah jantung,
vasokontraksi
dan anemia.
Sianosis dapat
terjadi sebagai
refraktori GJK
6. Menurunkan
stasis vena dan
dapat
menurunkan
insiden
thrombus atau
pembentukan
embolus
7. Meningkatkan
sediaan oksigen
untuk
kebutuhan
miokard untuk
melawan efek
hypoxia atau
iskemia.
2 Bersihan Setelah 1. Auskultasi 1. Beberapa
jalan nafas diberikan nafas. derajat spesme
tidak efektif askep Catat bronkus terjadi
berhubunga diharapkan adanya dengan
n dengan kepatenan bunyi obstruksi jalan
penurunan jalan nafas nafas, nafas dan dapat
reflek klien terjaga misalnya atau tidak
batuk, dengan krekels, dimanifestasika
penumpuka Kriteria ronki n adanya bunyi
n secret Hasil: 2. Pantau nafas
1. RR dalam frekuensi adventisius,
batas pernafasan, misal
normal catat rasio penyebaran,
2. Irama inspirasi krekels basah
nafas dan (bronchitis):
dalam ekspirasi bunyi nafas
batas 3. Ajarkan redup dengan
normal klien posisi ekspirasi atau
3. Pergeraka fpwler bunyi nafas
n sputum dengan (asma berat)
keluar sudut 45 2. Takipnea
dari jalan derajat biasanya ada
nafas 4. Dorong pada beberapa
4. Bebas atau bantu derajat dan
dari suara latihan dapat
nafas nafas ditimbulkan
tambahan abdomen pada
atau bibir penerimaan
5. Memberika atau selama
n air sistress
hangat 3. Sudut posisi
tidur 45 derajat
akan lebih
membantu
menurunkan
konsumsi
oksigen dan
meningkatkan
ekspansi paru-
paru maksimal
serta mengatasi
kerusakan
pertukatran gas
yang
berhubungan
dengan
perubahan
membran
elveolus
sehingga sesak
napas
berkurang dan
sekaligus akan
meningkatkan
durasi tidur
pasien
4. Memberikan
klien beberapa
cara untuk
mengatasi dan
mengontrol
dispnea
5. Hindari air
membantu
menurunkan
kekentalan
secret,
mempermudah
pengeluaran.

E. Implementasi

No Tanggal Implementasi Respon hasil Paraf

1 Kamis, 1 1. Mengkaji nadi 1. Frekuensi


oktober apical, observasi jantung klien
2015, frekuensi, irama mengalami
14.00 jantung takikardi yaitu
2. Mencatat bunyi 105x/menit
jantung 2. Bunyi jantung
3. Mengkaji nadi klien S1 dan
klien S2 terdengar
4. Mengajarkan pelan, bunyi
klien posisi fowler jantung S3
45 derajat (gallop)
terdengar, dan
diastolik
3. Nadi klien
cepat hilang
dan tidak
teratur
4. Klien tampak
mendengarkan
perawat dan
melakukan
posisi fowler
45 derajat

2 Sabtu, 2 1. Mengkaji bunyi 1. Nafas klien


oktober nafas klien terdengar
2015, 2. Memberikan ronki
08.30 klien air hangat 2. Napas
3. Mengajarkan kooperatif
klien latihan 3. Klien tampak
nafas abdomen mendengarkan
untuk dan mengikuti
mengontrol instruksi
dispnea perawat
4. Mengajarkan 4. Klien tampak
klien posisi semi mendengarkan
fowler 45 derajat dan
melakukan
posisi fowler
45 derajat.

F. Evaluasi

Hari/Tgl/Jam No Catatan perkembangan Paraf


Dx

Kamis, 1-10- 1 S: klien mengatakan sesaknya


15, 18.00 sudah berkurang
O: Klien tampak rileks , klien
tidak terlihat letih
A: masalah keperawatan
penurunan curah jantung teratasi
sebagian
P: pada intervensi pemberian
posisi fowler 45 derajat
dilanjutkan

Jum’at, 2-10- 2 S: klien mengatakan batuknya


15, 10.00 sudah berkurang dan tidurnya
sudah nyaman karena tidak terlalu
sesak
O: irama nafas klien dalam batas
normal ronkhi pada klien
terdengar berkurang, RR dalam
batas normal yaitu 15x/menit
A: masalah keperawatan bersihan
jalan nafas tidak efektif teratasi
sebagian
P: intervensi dilanjutkan pada
pemberian posisi fowler 45
derajat.
BAB IV

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan
Masa lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari
siklus kehidupan seseorang. WHO (2009) dalam (Naftali, Ranimpi, & Anwar,
2017) menyatakan bahwa masa lanjut usia dibagi menjadi empat golongan,
yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas
90 tahun. Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009) lanjut usia (getriatric
age) dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-75 tahun), old
(usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan seseorang yang
berusia di atas 60 tahun.
CHF adalah keadaan patofisiologis yaitu jantung tidak stabil untuk
menghasilkan curah jantung yang adekuat sehingga perfusi jaringan tidak
adekuat dan meningkatkan tekanan diastolik pada ventrikel kiri, sehingga
tekanan kapiler paru meningkat (Hudak & Gallo, 2012 dalam Wardani dkk,
2018).
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal ginjal melalui
penekan sirkulasi yang mendadak dapat berupa aritmia, infeksi sistematik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Gagal jantung ditangani dengan
tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan memanipulasi
selktif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara
sendiri-senduri maupun gabungan dari beban awal, kontraktilitas dan beban
akhir.
B. Saran
Sangat berharap agar terhindar dari penyakit gagal jantung kongesif ini
dilakukan dengan menghindari penyakit ini misalnya menjaga gaya hidup
sehat terutama pada makanan yang dikonsumsi diharapkan tidak yang melihat
venaknya saja tetapi juga mempertimbangkan gizi yang terkandung dalam
makanan.
DAFTAR PUSTAKA

Karson. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta. Nuha


Medika.
Naftali, A. R., Ranimpi, Y. Y., & Anwar, M. A. (2017). KESEHATAN
SPIRITUAL DAN KESIAPAN LANSIA DALAM MENGHADAPI
KEMATIAN. Buletin Psikologi , 124-125.
Nurcholifah, Frischalia. (2017). Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Masalah Pola Nafas Tidak Efektif Pada Pasien CHF Diruang
Instalasi Gawat Darurat RSUD Cilacap. STIKES MUHAMMADIYAH
GOMBONG.
Purnamawati, D. A. (2018). Pengaruh Supportive-Educative System Terhadap
Peningkatan Activity Daily Living (Adl) Dan Kualitas Hidup Pada Pasien
Gagal Jantung (Doctoral dissertation, MKEP UMY).
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/21315
Suratiyono, Imelda, Julia V. Rottie, Gresty N. Massi. (2016). Hubungan Tingkst
Kecemsasan Dengan Mekanisme Koping Pada Pasien Gagal Jantung
Kongesif Diruangan CVBC (Cardio Vaskuler Brain Center) Lantai III di
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Ejournal Keperawatan Vol 4 No. 1.
Wardani, Ida Wilantika, Yuyun Setyorini, Akhmad Rifai. (2018). Gangguan Pola
Nafas Tidak Efektif pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF). Jurnal
Keperawatan Global, Vol 3 No 2.
Wijaya, Andra Safitri dan Ns. Yessie Mariza Putri, S.Kep. (2013). Keperawatan
Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta.
Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai