Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

H DENGAN DIAGNOSA MEDIS


CONGESTIVE HEART FAILURE DI RSUD dr. DORID SYLVANUS
PALANGKA RAYA

OLEH:
MANOAH ALMIN YOHANNIS
(2019.NS.A.07.052)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Studi Kasus ini disusun oleh :

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Manoah Almin Yohannis, S.Kep


Program : Studi Ners
Angkatan : Ners 7
Judul : ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. H DENGAN
DIAGNOSA MEDIS CONGESTIVE HEART FAILURE DI
RSUD dr. DORID SYLVANUS PALANGKA RAYA

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Keperawatan kritis pada Program Studi Ners di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

PEMBIMBING

Pembimbing I Pembimbing II

Takesi Arisandy, Ners., M.Kep Margareta, S.Kep., Ners


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah
kesehatan dalam system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus
meningkat. Menurut data dari WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000
warga Amerika menderita CHF. Menurut American Heart Association
( AHA ) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika
Serikat yang menderita gagal jantung ( Padila, 2012 ).
Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012
menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita
yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah
terdapat 520 penderita CHF dan menjalani rawat inap. Selain itu, penyakit
yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah
gagal jantung ( readmission ), walaupun pengobatan dengan rawat jalan
telah diberikan secara optimal. Hal serupa juga dibenarkan oleh
Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 % pasien Medicare yang dirawat
dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada 6 bulan kemudian.
Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun,
CHF merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di
rumah sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase sekitar 75 % pasien
yang dirawat dengan CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF
adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian,
sebagian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup
lebih dari 5 tahun ( Kowalak, 2011 ).
Berdasarkan uraian diatas kami tertarik mengadakan seminar
kegawatdaruratan tentang CHF untuk memenuhi tugas Praktik Praklinik
Keperawatan 3 dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Ny. H dengan
diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan bagaimana
penerapan asuhan keperawatan pada Ny. H dengan diagnosa medis CHF di
IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Didapatkan atau diperoleh kemampuan menyusun dan menyajikan laporan
asuhan keperawatan pada Ny. H dengan diagnosa medis CHF di IGD RSUD
dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menerapkan proses keperawatan pada Ny. H dengan
diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
1) Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien Ny. H dengan CHF
2) Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien Ny. H dengan CHF
3) Membuat intervensi/perencanaan keperawatan pada Ny. H dengan CHF
4) Melakukan implementasi sesuai dengan intervensi pada Ny. H dengan
CHF
1.3.2.2 Mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Ny. H
dengan diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka
Raya.
1.3.2.3 Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada Ny. H dengan
diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya baik
dengan memeriksa fisik dan dengan memberikan penyuluhan.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan
Laporan ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi tentang asuhan
keperawatan pada Ny. H dengan diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Wahana Praktik
Sebagai sumber informasi bagi penentu kebijakan dalam upaya
meningkatkan program pelayanan dan penanganan dengan masalah CHF.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah wawasan pembaca terutama untuk mahasiswa sebagai
masukan informasi tentang Asuhan Keperawatan pada Ny. H dengan
diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Congestive Hearth Failure (CHF)
2.1.1 Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk
dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal.
Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai
akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan
mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan,
kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan Triyanti,
2015:434).
Gagal jantung mengacu pada kumpulan tanda dan geajala yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan cukup darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Tambayong, 2001:86).

2.1.2 Klasifikasi
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam
4 kelainan fungsional:
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III.Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat
2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial
dan penyakit degeneratif atau inflamasi
2.1.3.2 Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
2.1.3.3 Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
2.1.3.4 Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
2.1.3.5 Penyakit jantung lain
Terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara
langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium,
perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load
2.1.3.6 Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam,
tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
2.1.4 Patofisiologi
Fungsi jantung sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh kemampuannya
untuk memenuhi suplai darah yang adekuat keseluruh bagian tubuh, baik dalam
keadaan istirahat maupun saat mengalami stress fisiologis (Kasron, 2015:58).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-
keadaan :
2.1.4.1 Prelood (beban awal)
Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan
yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2.1.4.2 Kontraktilitas
Perubahan kekuatan kontriksi berkaitan dengan panjangnya regangan
serabut jantung.
2.1.4.3 Afterlood (beban akhir)
Besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah
melawan tekanan yang diperlukan oleh tekanan arteri (Kasron, 2015:59).
Pada keadaan gagal jantung, bila salah satu/lebih dari keadaan di atas
terganggu, menyebabkan curah jantung menurun, meliputi keadaan yang
menyebabkan prelood meningkat contoh regurgitasi aorta, cacat septum ventrikel.
Menyebabkan afterlood meningkat yaitu pada keadaan stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kelainan otot jantung (Kasron, 2015:59).
Adapun mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi menurunnya
kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang di pompa pada setiap
kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan darah keseluruh tubuh. Apabila
suplai darah kurang ke ginjal akan mempengaruhi mekanisme pelepasan renin-
angiotensin dan akhirnya terbentuk angiotensin II mengakibatkan terangsangnya
sekresi aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut
meningkatkan cairan ektra-intravaskuler sehingga terjadi ketidakseimbangan
volume cairan dan tekanan selanjutnya terjadi edema. Edema perifer terjadi akibat
penimbunan cairan dalam ruang interstial. Proses ini timbul masalah seperti
nokturia dimana berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat dan juga
redistribusi cairan dan absorpsi pada waktu berbaring. Gagal jantung berlanjut
dapat menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, anoreksia
(Kasron, 2015:59).
Apabila suplai darah tidak lancar di paru-paru (darah tidak masuk
kejantung), menyebabkan penimbunan cairan di paru-paru yang dapat
menurunkan pertukaran O₂ dan Co₂ antara udara dan darah di paru-paru, sehingga
oksigenisasi arteri berkurang dan terjadi peningkatan CO₂, yang akan membentuk
asam di dalam tubuh. Situasi ini akan memberikan suatu gejala sesak napas
(dyspnea), artopnea (dypsnea saat berbaring) terjadi apabila aliran darah dari
ektrimitas meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan paru-paru (Kasron,
2015:59).
2.1.5 Manifestasi Klinis
2.1.5.1 Tanda Dominan:
1) Meningkatnya volume intravaskuler
2) Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat
penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung
pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
2.1.5.2 Gagal Jantung Kiri:
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak
mampu memompa darah yang dating dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi
yaitu:
1) Dispnea
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat
mengalami ortopnoe pada malam hari yang dinamakan Paroksimal
Nokturnal Dispnea (PND)
2) Batuk
Mudah lelah, Terjadi karena curah jantung yang kurang yang
menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena
meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia
yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
3) Kegelisahan atau kecemasan
Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat
kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
dengan baik
2.1.5.3 Gagal Jantung Kanan:
1) Kongestif jaringan perifer dan visceral
2) Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema
pitting, penambahan BB.
3) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena hepar
4) Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen
5) Nokturia
6) Kelemahan

2.1.6 Komplikasi
1) Syok kardiogenik
2) Episode tromboemboli karena pembentukan bekuan vena karena
stasis darah.
3) Efusi dan temponade perikardium
4) Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat digitalis.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


2.1.7.1 Foto torax
Dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusi
pleura yang menegaskan diagnosa CHF
2.1.7.2 EKG
Dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan
iskemi (jika disebabkan AMI), Ekokardiogram
2.1.7.3 Pemeriksaan Lab
Meliputi Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang
rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na,
Cl, Ureum, gula darah

2.1.8 Penatalaksanaan
2.1.8.1 Kelas I: Non Farmakologi, meliputi diet rendah garam, batasi cairan,
menurunkan BB, menghindari alcohol, rokok, aktivitas fisik, dan manajemen
stress.
2.1.8.2 Kelas II, III: terapi pengobatan meliputi: diuretik, vasodilator, ace
inhibitor, digitalis, dopamineroik, dan oksigen.
2.1.8.3 Kelas IV: kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor.
2.1.9 Cardio Thoracic Rasio ( CTR )
Cardio Thoracic Rasio ( CTR ) atau Cardio Thoracic Index ( CTI )
merupakan salah satu pengukuran jantung secara kasar dan mendekati jantung
yang sebenarnya.
2.1.9.1 Syarat-Syarat Pengukuran Jantung
2.2 Posisi penderita tidak boleh miring (scoliosis)
2.3 Foto tidak dalam keadaan ekspirasi.
2.4 Tidak ada kelainan columna vertebralis (kyposis scoliosis)\
2.4.1.1 Teknik Perhitungan CTR
Setelah foto thorax PA sudah jadi, maka untuk membuat perhitungan CTR
nya kita harus membuat garis-garis yang akan membantu kita dalam perhitungan
CTR ini.

Rumus CTR = A+B  < ½ ( < 50%)

 C
Keterangan :
2.4.1.2 Garis  A: Diameter Transversal Dextra
Jarak terpanjang antara batas jantung kanan dengan garis tengah yang
melalui tengah- tengah columna vertebralis thoracalis.
2.4.1.3  Garis B: Diameter Transversal Sinistra
Jarak terpanjang antara batas jantung kiri dengan garis tengah yang
melalui tengah- tengah columna vertebralis thoracalis.
2.4.1.4 Garis C: Diameter Interna
Garis yang ditarik dengan diameter transversal yang melalui puncak
tertinggi dari hemiodiafragma kanan dan merupakan diameter dari cavum
thoracic.
Jika CTR > 0.5 ( 50%) maka dikategorikan sebagai Cardiomegaly
BAB 3
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Congestive Hearth Failure (CHF)


3.1.1. Pengkajian
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh sejumlah
gejala dan tanda, serta disebabkan oleh berbagai kelainan jantung, seperti:
gangguan irama jantung, gangguan endokardial, pericardial, valvular, atau
miokardial. Kelainan miokardial dapat bersifat sistolik (berhubungan dengan
kontraksi dan pengosongan ventrikel), diastolic (berhubungan dengan relaksasi
dan pengisian pengisian ventrikel), atau kombinasi keduanya (Muttaqin,
2015:206).
Pengkajian pada klien dengan gagal jantung merupakan salah satu aspek
penting dalam proses perawatan. Hal ini penting untuk merencanakan tindakan
selanjutnya. Perawat mengumpulkan data dasar mengenai informasi status terkini
klien tentang pengkajian sistem kardiovaskular sebagai prioritas pengkajian.
Pengkajian sistematis pasien mencakup riwayat yang cermat, khususnya yang
berhubungan dengan gambaran gejala. Terjadi kelemahan fisik secara umum,
seperti: nyeri dada, sulit bernpas (dyspnea), palpitasi, pingsan (sinkop), atau
keringat dingin (diaphoresis). Masing-masing gejala harus dievaluasi waktu dan
durasinya serta faktor yang mencetuskan dan meringankan (Muttaqin, 2015:206).
3.1.1.1. Anamnesis
Pada anamnesis, bagian yang dikaji adalah keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, dan riwayat penyakit dahulu.
1) Keluhan utama
Keluhan yang paling sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan, meliputi: dyspnea, kelemahan fisik, dan edema
sistemik.
(1) Dyspnea
Keluhan dyspnea atau sesak napas merupakan manifesatsi kongesti
pulmonal sekunder dari kegagalan ventrikel kiri dalam melakukan
kontraktilitas sehingga akan mengurangi curah sekuncup. Dengan
meningkatnya LVDEP, maka terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri (LAP), karena atrium dan ventrikel berhubungan
langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang
masuk ke dalam anyaman vascular paru-paru, meningkatkan
tekanan kapiler, dan vena paru-paru.
Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi
tekanan onkotik vascular, maka akan terjadi transudasi cairan ke
dalam intersisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi
kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intersisial.
Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru
(Muttaqin, 2015:208).
(2) Kelemahan fisik
Manifestasi utama dari penurunan curah jantung adalah kelemahan
dan kelelahan dalam melakukan aktifitas (Muttaqin, 2015:208).
(3) Edema sistemik
Tekanan arteri paru dapat meningkat sebagai respons terhadap
peningkatan kronis terhadap tekanan vena paru. Hipertensi
pulmonal meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.
Mekanisme kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga
akan terjadi pada jantung kanan, di mana akhirya akan terjadi
sistemik dan edema sistemik (Muttaqin, 2015:208).
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dengan melakukan
serangkaian pertanyaan tentang kronologis keluhan utama. Pengkajian
yang didapat dengan adanya gejala-gejala kongesti vascular pulmonal
adalah dyspnea, ortopnea, dyspnea nocturnal paroksimal, batuk, dan
edema pulmonal akut. Pada pengkajian dyspnea (dikarakteristikan oleh
pernapasan cepat, dangkal, dan sensasi sulit dalam mendapatkan udara
yang cukup dan menekan klien) apakah mengganggu aktifitas lainnya
seperti keluhan tentang insomnia, gelisah, atau kelemahan yang
disebabkan oleh dyspnea (Muttaqin, 2015:209).
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian RPD yang mendukung dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada khas infark
miokardium, hipertensi, diabetes mellitus, dan hyperlipidemia.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada
masa lalu yang masih relevan. Obat-obat ini meliputi obat diuretic,
nitirat, penghambat beta, serta obat-obat antihipertensi. Catat adanya
efek samping yang terjadi di masa lalu. Juga harus tanyakan adanya
alergi obat, dan tanyakan reaksi alergi apa yang timbul. Sering kali
klien mengacaukan suatau alergi dengan efek samping obat (Muttaqin,
2015:210).
4) Riwayat Keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh
keluarga, serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka
penyebab kematian juga ditanyakan. Penyakit jantung iskemik pada
orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan faktor resiko
utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya (Muttaqin,
2015:210).
5) Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya.
Kebiasaan sosial: menanyakan kebiasaan dalam pola hidup, misalnya
minum, alcohol, atau obat tertentu. Kebiasaan merokok: menanyakan
tentang kebiasaan merokok, sudah berapa lama, berapa batang per hari,
dan jenis rokok. Di samping pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas,
maka data biografi juga merupakan data yang perlu diketahui, yaitu;
nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, suku, dan agama yang
dianut oleh klien. Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien,
hendaknya diperhatikan kondisi klien. Bila klien dalam keadaan kritis,
maka pertanyaan yang diajjukan bukan pertanyaan terbuka tetapi
pertanyaan yang jawabannya adalah ya dan tidak. Atau pertanyaan
yang dapat dijwab dengan gerak tubuh, yaitu mengangguk atau
menggelengkan kepala saja, sehingga tidak meemrlukan energy yang
besar (Muttaqin, 2015:211).
6) Psikososial
Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi
jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa
jantung tidak berfungsi dengan baik. Penurunan lebih lanjut dari curah
jantung dapat disertai insomnia atau kebingungan.
Terdapat perubahan integritas ego didapatkan klien menyangkal, takut
mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit yang tak perlu,
khawatir dengan keluarga, kerja, dan keuangan. Tanda: menolak,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
meneyrang, focus pada diri sendiri. Interaksi sosial: stress karena
keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, kesulitan koping dengan
stressor yang ada (Muttaqin, 2015:211).
3.1.1.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terdiri atas keadaan umum dan pengkajian B1-B6.
1) Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum klien gagal jantung biasanya
didapatkan kesadaran yang baik atau compos mentis dan akan berubah
sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
(1) B1 (Breathing)
Pengkajian yang didapat dengan adanya tanda kongesti vascular
pulmonal adalah dyspnea, ortopnea, dyspnea nocturnal paroksimal,
batuk, dan edema pulmonal akut. Crackles atau ronki basah halus
secara umum terdengar pada dasar posterior paru. Hal ini dikendali
sebagai bukti gagal ventrikel kiri. Sebelumcrackles dianggap
sebagai kegagalan pompa, klien harus diinstruksikan untuk batuk
dalam guna membuka alveoli basilaris yang mungkin dikompresi
dari bawah diafragma (Muttaqin, 2015:211).
(2) B2 (Bleeding)
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pengkajian apa saja yang
dilakukan pada pemeriksaan jantung dan pembuluh darah.
a) Inspeksi
Inspeksi adanya parut pasaca pembedahan jantung. Lihat
adanya dampak penurunan curah jantung. Selain gejala-gejala
yang diakibatkan dan kongesti vascular pulmonal, kegagalan
venrtikel kiri juga dihubungkan dengan gejala tidak spesifik
yang berhubungan dengan penurunan curah jantung. Klien
dapat mengeluh lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan
berkonsentrasi, deficit memori, dan penurunan toleransi
latihan. Gejala ini mungkin timbul pada tingkat curah jantung
rendah kronis dan merupakan keluhan utama klien. Sayangnya,
gejala ini tidak spesifik dan sering dianggap depresi, neurosis,
atau keluhan fungsional. Oleh karena itu, secara potensi hal ini
merupakan indicator penting penyimpanan fungsi pompa yang
sering tidak dikenali kepentingannya, dank lien juga diberi
keyakinan dengan tidak tepat atau diberi tranquilizer (sediaan
yang meningkatkan suasana hati-mood). Ingat, adanya gejala
tidak spesifik dari curah jantung rendah memerlukan evaluasi
cermat terhadap jantung serta pemeriksaan psikis yang akan
memberi informasi untuk menentukan penatalaksanaan yang
tepat (Muttaqin, 2015:212).
(a) Distensi vena jugularis: bila ventrikel kanan tidak mampu
berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi ruang,
peningkatan volume dan tekanan pada diastolic akhir
ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel, dan
peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan. Peningkatan
tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan
dapat diketahui dengan peningkatan pada tekanan vena
jugularis. Seseorang dapat mengevaluasi hal yang paling
baik ini dengan melihat pada vena-vena di leher dan
memerhatikan ketinggian kolom darah. Pada klien yang
berbaring di tempat tidur dengan kepala tempat tidur
ditinggikan anatara 30° dan 60°, pada orang normal kolom
darah di vena-vena jugularis eksternal akan hanya beberapa
millimeter di atas batas atas klavikula, bila ini terlihat sama
sekali (Muttaqin, 2015:212).
(b) Edema: Edema sering di pertimbangkan sebagai tanda
gagal jantung yang dapat dipercaya. Tentu saja sering ada
bila ventrikel kanan telah gagal. Setidaknya hal ini
merupakan tanda yang dapat dipercaya dari disfungsi
centrikel. Banyak orang, terutama lansia yang
menghabiskan waktu mereka untuk duduk di kursi dengan
kaki tergantung. Sebagai akibat dari posisi tubuh ini, terjadi
penurunan turgor jaringan subkutan yang berhubungan
dengan usia lanjut, dan mungkin penyakit vena primer
seperti varikositis. Edema pergelangan kaki dapat terjadi
yang mewakili factor ini dari pada kegagalan ventrikel
kaknan.
Edema yang berhungan dengan kegagalan di ventrikel
kanan, bergantung pada lokasinya, bila klien berdiri atau
bangun, perhatikan pergelangan kakinya dan tinggikan kaki
bila kegagalan makin buruk. Bila klien berbaring di tempat
tidur, bagian yang bergesekan dengan tempat tidur menjadi
area sakrun. Edema harus diperhatikan di tempat tersebut.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas
bawah (edema dependen), yang biasannya merupakan
pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali
(pembesaran hepar), distensi vena leher, asites
(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneum),
anoreksia dan mual, nokturia, serta kelemahan.
Edema di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen dan
secara bertahap bertambah ke atas tungkai yang pada
akhirnya ke genitelia eksterna serta tubuh bagian bawah.
Edema sacral sering jarang terjadi pada klien yang
berbaring lama, karena daerah sacral menjadi daerah yang
dependen. Pitting edema adalah yang akan tetap cekung
bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari
(Muttaqin, 2015:212).
b) Palpasi
Oleh karena peningkatan frekuensi jantung merupakan respons
awal jantung terhadap stress, sinus takikardia mungkin
dicurigai dan sering ditemukan pada pemeriksaan klien dengan
kegagalan pompa jantung. Irama lain yang berhungan dengan
kegagalan pompa meliputi : kontraksi atrium prematur,
takikardia atrium paroksimal, dan denyut ventrikel premature
(Muttaqin, 2015:213).
(a) Perubahan Nadi
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung
menunjukkan denyut yang cepat dan lemah. Denyut jantung
yang cepat atau takikardia, mencerminkan respons terhadap
perangsangan saraf simpatis. Penurunan yang bermakna
dari curah sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer
mengurangi tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik), sehingga menghasilkan denyut yang lemah
atau thready pulse. hipotensi sistolik ditemukan pada gagal
jantung yang lebih berat.
Selain itu, pada gagal jantung kiri yang dapat dapat timbul
pulsus alternans (suatu perubahan kekuatan denyut arteri).
Pulsus alternans menunjukkan gangguan fungsi mekanis
yang berat dengan berulangnya variasi denyut ke denyut
pada curah sekuncup (Muttaqin, 2015:213).
c) Auskultasi
Tekanan darah biasannya menurun akibat penurunan isi
sekuncup.
Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri
dapat dikenali dengan mudah di bagian yang meliputi : bunyi
jantung ke tiga dan ke empat (S3,S4) serta crakles pada paru-
paru, S4 atau gallop atrium, mengikuti kontraksi atrium dan
terdengar paling baik dengan bel stestokep yang ditempelkan
dengan tepat pada apeks jantung (Muttaqin, 2015:215).
Posisi lateral kiri mungkin diperlukan untuk mendapatkan
bunyi. Ini terdengar sebelum bunyi jantung pertama (S1) dan
tidak selalu tanda pasti kegagalan kongestif, tetapi dapat
menurunkan complains (peningkatan kekakuan) miokard. Ini
mungkin indikasi awal premonitori menuju kegagalan. Bunyi
S4 adalah bunyi yang umum terdengar pada klien dengan
infark miokardium akut dan mungkin tidak mempunyai
pronogsis bermakna, tetapi mungkin menunjukkan kegagalan
yang baru terjadi.
S3 atau gallop ventrikel adalah tanda penting dari gagal
ventrikel kiri dan pada orang dewasa hampir tidak pernah ada
pada adanya penyakit jantung signifikan. Kebanyakan dokter
akan setuju bahwa tindakan terhadap gagal kongestif
diindikasikan dengan adanya tanda ini. S3 terdengar pada awal
diastolic setelah bunyi jantung kedua (S2), dan berkaitan
dengan periode pengisian ventrikel pasif yang cepat. Ini juga
dapat di dengar paling baik dengan bel stestoskop yang di
letakan tepat di apeks, dengan klien pada posisi lateral kiri dan
pada akhir ekspirasi. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan
katup biasannya di dapatkan apabila penyebab gagal jantung
karena kelainan katup (Muttaqin, 2015:215).
d) Perkusi
Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya
hipertrofi jantung (kardiomegali).
(3) B3 (Brain)
Kesadaran biasannya compos mentis, di dapatkan sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif klien :
wajah meringis, menangis, merintih, mengerang, dan menggeliat
(Muttaqin, 2015:215).
(4) B4 (bladder)
Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan
cairan, karena itu perawat perlu memantau adanya oliguria karena
merupakan tanda awal dari syok kardiogenik. Adanya edema
ekstremitas menandakan adanya retensi cairan yang parah
(Muttaqin, 2015:215).
(5) B5 (Bowel)
Klien biasanya didapatkan mual dan muntah, penurunan nafsu
makan akibat pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga
abdomen, serta penurunan berat badan (Muttaqin, 2015:215).
a) Hepatomegali
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas
abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar merupakan
manifestasi dari kegagalan jantung. Bila proses ini
berkembang, maka tekanan di pembuluh portal meningkat,
sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, yaitu suatu
kondisi yang dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam
rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada
diafragma dan distress pernapasan (Muttaqin, 2015:216).
(6) B6 (Bone)
Hal-hal yang biasanya terjadi dan ditemukan pada pengajian B6
adalah sebagai berikut.
a) Kulit Dingin
Gagal depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda
berkurangnya perfungsi keorgan-organ. Oleh karena darah di
alihkan dari organ-organ non vital demi mempetahankan
perfusi ke jantung dan otak, maka manifestasi paling dini dari
gagal kedepan adalah berkurangnya perfusi organ-organ seperti
kulit dan otot-otot rangka. Kulit yang pucat dan dingin di
akibatkan oleh vasokonstraksi perifer, penurunan lebih lanjut
dari curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin
tereduksi mengakibatkan sianosis. Vasokonstriksi kulit
menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas. Oleh
karena itu, demam ringan dan keringat yang berlebihan dapat
ditemukan (Muttaqin, 2015:216).
b) Mudah lelah
Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta
serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga
terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distres pernapasan
dan batuk. Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka
menyebabkan kelemahan dan keletihan. Gejala-gejala ini dapat
ekserbasi oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau
anoreksia. Pemenuhan personal higiene mengalami perubahan
(Muttaqin, 2015:216).

3.1.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dari proses keperawatan
yang mana didukung oleh penyebab serta tanda-tanda dan gejalanya. Diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien dengan CHF menurut Doenges (2015)
yaitu :
3.1.2.1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama
dan konduksi listrik, perubahan struktural.
3.1.2.2. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan volume
paru, keletihan
3.1.2.3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar
suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.
3.1.2.4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju
filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi
ADH dan retensi natrium/air.
3.1.2.5. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan membran kapiler-alveolus
3.1.2.6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.

3.1.3. Rencana Keperawatan


Merupakan tahap ketiga proses keperawatan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan klien berdasarkan diagnosa keperawatan yaitu prioritas
masalah, menetapkan tujuan, menetapkan kriteria hasil, mengidentifikasi tindakan
keperawatan yang tetap untuk mencapai tujuan.
3.1.3.1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama
dan konduksi listrik, perubahan struktural.
Tujuan: Tidak terjadi penurunan curah jantung.
Kriteria hasil:  Tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia
terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung,  melaporkan
penurunan episode dispnea, angina, ikut serta dalam aktivitas yang
mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi:
1) Auskultasi nadi apikal, kaji frekuensi dan irama jantung.
Rasional: biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat)
untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
2) Catat bunyi jantung.
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa.
Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke
serambi yang distensi. Murmur dapat menunjukkan inkompetensi/
stenosis katup.
3) Palpasi nadi perifer.
Rasional: penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya
nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin
cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulsus alternan.
4) Pantau TD.
Rasional: pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah dapat
meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi
dan hipotensi tidak dapat normal lagi.
5) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis.
Rasional: pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder
terhadap tidak adekuatnya curah jantung, vasokontriksi dan anemia.
Sianosis dapat terjadi sebagai refraktori GJK. Area yang sakit sering
berwarna biru atau belang karena peningkatan kongesti vena.
6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi).
Rasional: meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard
untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan
untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan
menurunkan kongesti.
7) Berikan obat sesuai indikasi : diuretik, vasodilator, antikoagulan.
Rasional: tipe dan dosis diuretik tergantung pada derajat gagal jantung
dan status fungsi ginjal. Penurunan preload paling banyak digunakan
dalam mengobati pasien dengan curah jantung relative normal
ditambah dengan gejala kongesti. Diuretik mempengaruhi reabsorpsi
natrium dan air. Vasodilator digunakan untuk meningkatkan curah
jantung, menurunkan volume sirkulasi dan tahanan vaskuler sistemik,
juga kerja ventrikel. Antikoagulan digunakan untuk mencegah
pembentukan thrombus/emboli pada adanya faktor risiko seperti statis
vena, tirah baring, disritmia jantung.
8) Pemberian cairan IV.
Rasional: karena adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri, pasien
tidak dapat mentoleransi peningkatan volume cairan (preload). Pasien
GJK juga mengeluarkan sedikit natrium yang menyebabkan retensi
cairan dan meningkatkan kerja miokard.
9) Pantau seri EKG dan perubahan foto dada.
Rasional: depresi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi
karena peningkatan kebutuhan oksigen miokard, meskipun tak ada
penyakit arteri koroner. Foto dada dapat menunjukan pembesaran
jantung.
10) Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, kreatinin.
Rasional: peningkatan BUN/Kreatinin menunjukan hipoperfusi/gagal
ginjal.
3.1.3.2. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru,
gangguan pertukaran gas, kelemahan
Tujuan: pola nafas klien kembali efektif
Kriteria hasil: irama nafas klien teratur, klien tidak memakai alat bantu
nafas
Intervensi:
1) Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan serak, dispnea,
perubahan tanda vital.
2) Rasional : distress pernafasan dan perubahan pada tanda vital dapat
terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan
terjadinya syok sehubungan dengan pendarahan.
3) Auskultasi bunyi napas dan catat bunyi napas tambahan
4) Rasional : Bunyi napas menurun / tak ada bila jalan napas abstruksi
sekunder terhadap perdarahan, bekuan, atau kolaps jalan napas kecil.
5) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi semi fowler
Rasional : Merangsang fungsi pernapasan / ekspansi paru
6) Bantu klien untuk melakukan batuk efektif dan napas dalam
Rasional : Meningkatkan gerakan secret ke jalan nafas, sehingga
mudah untuk dikeluarkan
7) Berikan tambahan oksigen masker atau oksigen nasal sesuai indikasi
Rasional : Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk
kebutuhan sirkulasi, khususnya pada adanya penurunan/gangguan
ventilasi.
8) Bantu pasien mengatasi takut
Rasional : Perasaan takut dan ansietas berat berhubungan dengan
ketidakmampuan bernapas / terjadinya hipoksemia dan dapat secara actual
meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan.
9) Berikan fisioterapi dada.
Rasional : Memberikan kelembapan pada membrane mukosa dan
membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.
10) Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian expectoran

Rasional : Membantu mengencerkan secret, sehingga mudah untuk


dikeluarkan
3.1.3.3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar
suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.
Tujuan:  Klien dapat melakukan aktifitas yang di inginkan
Kriteria hasil: Berpartisipasi pada aktivitas yang di inginkan, memenuhi
perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang
dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi:
1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya
bila klien menggunakan vasodilator, diuretik dan penyekat beta.
Rasional : hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena
efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretik) atau pengaruh
fungsi jantung.
2) Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,
disritmia, dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional: penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat menyebabkan
peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga
peningkatan kelelahan dan kelemahan.
3) Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional: dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung
daripada kelebihan aktivitas.
4) Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi
jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik
kembali.
3.1.3.4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju
filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi
ADH dan retensi natrium/air.
Tujuan: Tidak terjadi kelebihan volume cairan
Kriteria hasil: Klien akan mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan
keseimbangan masukan dan pengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda
vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada
edema, menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi:
1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat hari dimana
diuresis terjadi.
Rasional: pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga
pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2) Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24
jam.
Rasional: terapi diuretik dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-
tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
3) Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama
fase akut.
Rasional: posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Pantau TD dan CVP (bila ada).
Rasional: hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru,
gagal jantung.
5) Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
Rasional: kongesti viseral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu
fungsi gaster/intestinal.
6) Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) : diuretik, tiazid.
Rasional: diuretik meningkatkan laju aliran urine dan dapat
menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada tubulus ginjal. Tiazid
meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan.
7) Konsultasi dengan ahli diet.
Rasional: perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang
memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
3.1.3.5. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan membran kapiler-alveolus.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan pertukaran gas
Kriteria hasil: Klien akan mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi
adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal
dan bebas gejala distress pernapasan, berpartisipasi dalam program
pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.
Intervensi:
1) Pantau bunyi nafas, catat krekles.
Rasional: menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan secret
menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
2) Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional: membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
3) Dorong perubahan posisi.
Rasional: membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
4) Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
Rasional: hipoksemia dapat terjadi berat selama oedem paru.
5) Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat
memperbaiki/ menurunkan hipoksemia jaringan.
3.1.3.6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil: Klien akan mempertahankan integritas kulit,
mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi:
1) Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya
terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
Rasional: kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi
fisik dan gangguan status nutrisi.
2) Pijat area kemerahan atau yang memutih.
Rasional: meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia
jaringan.
3) Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak
pasif/aktif.
Rasional: memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu
aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.
Rasional: terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat
kerusakan.
5) Hindari obat intramuskuler.
Rasional: edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi.
3.1.4. Implementasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Implementasi merupakan tidakan
yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan
mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi.
Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan
pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
Implementasi keperawatan dapat berbentuk:
1) Bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk
mengidentifikasi masalah baru atau mempertahankan masalah yang
ada.
2) Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu
menambah pengetahuan tentang kesehatan.
3) Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien
4) Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan
lainnya sebagai bentuk perawatan holistik.
5) Bentuk pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan
masalah kesehatan.
6) Membantu pasien dalam melakukan kesehatan sendiri.
7) Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi yang
mungkin terjadi terhadap pengobatan atau penyakit yang dialami.

3.1.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat
menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya
adalah membandingkan status keadaan kesehatan pasien dengan tujuan atau
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Tujuan dari evaluasi adalah:
1) Mengevaluasi status kesehatan pasien
2) Menentukan perkembangan tujuan perawatan
3) Menentukan efektivitas dari rencana keperawatan yang telah
ditetapkan.
4) Sebagai dasar menentukan diagnosis keperawatan sudah tercapai atau
tidak, atau adanya perubahan diagnosis.
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasil tindakan
keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan
dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan.
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut:
1) Daftar tujuan-tujuan pasien
2) Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu
3) Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.
4) Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.
5) Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya,
dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta
apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
3.1.6. Dokumentasi
Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian dari proses asuhan
keperawatan yang dilakukan secara sistematis dengan cara mencatat tahap-tahap
proses perawatan yang diberikan kepada pasien. Dokumentasi asuhan
keperawatan merupakan catatan penting yang dibuat oleh perawat baik dalam
bentuk elektronik maupun manual berupa rangkaian kegiatan yang dikerjakan
oleh perawat meliputi lima tahap yaitu: 1) pengkajian, 2) penentuan diagnosa
keperawatan, 3) perencanaan tindakan keperawatan, 4) pelaksanaan/implementasi
rencana keperawatan, dan 5) evaluasi perawatan.
Tujuan pendokumentasian keperawatan, antara lain sebagai berikut:
3.1.6.1. Sebagai media untuk mendefinisikan fokus keperawatan bagi klien
dan kelompok.
3.1.6.2. Untuk membedakan tanggung gugat perawat dengan anggota tim
kesehatan lainnya.
3.1.6.3. Sebagai sarana untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan yang
telah diberikan kepada klien.
3.1.6.4. Sebagai data yang dibutuhkan secara administratif dan legal
formal.
3.1.6.5. Memenuhi persyaratan hukum, akreditasi dan professional.
3.1.6.6. Untuk memberikan data yang berguna dalam bidang pendidikan
dan penelitian.
Komponen dokumentasi asuhan keperawatan yang konsisten harus
meliputi beberapa hal berikut ini:
1. Riwayat keperawatan yang terdiri dari masalah-masalah yang sedang
terjadi maupun yang diperkirakan akan terjadi.
2. Masalah-masalah yang aktual maupun potensial,.
3. Perencanaan serta tujuan saat ini dan yang akan datang.
4. Pemeriksaan, pengobatan dan promosi kesehatan untuk membantu
pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Evaluasi dari tujuan keperawatan serta modifikasi rencana tindakan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Secara spesifik lingkup dokumentasi asuhan keperawatan secara spesifik
antara lain:
1. Data awal pasien berupa identitas diri, keluhan yang dirasakan.
2. Riwayat keperawatan dan pemeriksaan.
3. Diagnosis keperawatan yang ditetapkan.
4. Rencana asuhan keperawatan yang terdiri dari rencana tindakan,
tujuan, rencana intervensi serta evaluasi dari tindakan keperawatan.
5. Pendidikan kepada pasien.
6. Dokumentasi parameter pemantauan dan intervensi keperawatan lain
nya.
7. Perkembangan dari hasil yang telah ditetapkan dan yang diharapkan.
8. Evaluasi perencanaan.
9. Rasionalisasi dari proses intervensi jika diperlukan.
10. Sistem rujukan.
11. Persiapan pasien pulang.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT

4.1. Pengkajian Keperawatan


4.1.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. H

Umur : 56 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

No. MR : 35.05.79

Diagnosa Medis : CHF

Tanggal Pengkajian : Selasa, 6 Oktober 2020

4.1.2. Keluhan Utama : Pasien mengatakan sesak nafas, mual.


4.1.3. Data Primer
1. Airway: tidak ada penumpukan secret di jalan nafas
2. Breathing: RR: 33x/menit, tidak ada bunyi nafas tambahan, klien ada
menggunakan otot bantu pernafasan.
3. Circulation: TD: 130/80 mmHg, Nadi: 129x/menit, S: 36,7oC, Spo2
80%, CRT <2 detik, akral klien dingin.
4. Disability: Keadaan umum klien sadar, dengan nilai GCS: E(4), V(5),
M(6) =15 dengan tingkat kesadaran Compos Methis pupil +/+, reflek
cahaya +/+, Besar pupil : 2/2.
5. Exposure: Tidak ada
3.1.5 Pasien masuk dengan triase prioritas 1 berwarna : Merah
3.1.6 Data Sekunder
PemeriksaanFisik
B1-B6
1. B1 (Breathing)
Terpasang oksigen nasal canul 4 liter/menit, Pergerakan dinding dada
klien masih teraba, bunyi perkusi tidak adanya penumpukan cairan
dalam rongga dada.

32
2. B2 (Blood)
TD: mmHg, 130/80Nadi: 129x/menit, S: 36,7oC, RR 33 x/menit, CRT <2
detik, akral klien dingin
3. B3 (Brain)
Pada pemeriksaan persyarafan didapatkan uji sensasi jarum reflek
hamer pada telapak kaki (+) positif, t ada pergerakan kelopak mata saat
dirangsang menggunakan cotton buds.
4. B4 (Bladder)
Frekuensi urin: tidak ada terpasang kateter, volume urin 200cc/7 jam,
warna kuning jernih, tidak ada penumpukan cairan saat di palpasi atau
benjolan area kantong kemih.
5. B5 (Bowel)
Tidak ada Terpasang NGT , Tidak ada perut kembung, bising usus 20
x/menit, bentuk perut simetris, perkusi suara timpani.
6. B6 (Bone)
Tidak ada
3.1.7 Riwayat Penyakit
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 05 Oktober 2018 jam 18.03 WIB klien datang ke IGD
Doris Sylvanus dengan keluhan nyeri perut, kepala terasa pusing,terasa
seperti berputar putar,perut terasa mual TD: 130/80 mmhg N:
129x/menit RR: 33x/menit S: 36,7oC. Spo2 80% dan di berikan obat
terapin ranitidin 50 mg melalui IV,furosemide 40 g melalui IV pasien
terpasang infus NACL 0,9% 20 tpm di tangan sebelah kiri,pasien
terpasang oksigen nasal canul 4 lpm pasien ada pemeriksaan radiologi
pemeriksaan thorax
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan sejak 3 tahun yang lalu mengetahui penyakit
jantung
3. RiwayatPenyakitKeluarga
Klien mengatakan dikeluarganya ada memiliki riwayat jantung
3.1.8 Data Penunjang (Radiologis, Laboratorium, PenunjangLainnya)
1. PemeriksaanLaboratorium

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai normal


pemeriksaan
06 Oktober Glukosa S 108 mg/dl <200 mg/dl
2018 Creatinin 1,9mg/dl 0,7-1,5 mg/dl
WBC 6.98 x 10^3/uL 4.00 - 10.00 uL
RBC 5.20 x 10^6/uL 3.50 - 5.50 uL
HGB 16,0 g/dL 11.0 - 16.0 g/dL
PLT 152 x 10^3uL 150 - 400 uL
Antibodi
Anti-SARS-
Cov-2
IgG (-)Negatif (-) Negatif
IgM (-)Negatif

3.1.9 Penatalaksanaan Medis


Pada tanggal 06 oktober 2018
Jam 18.20 wib
No Terapi Dosis Indikasi
1 Ranitidin 50 mg Mengurangi peningkatan asam
lambung
2 Kalnex 50 mg Untuk menghentikan pendarahan
3 ODR 8 mg Pencegahan mual muntah
4 Nacl 0,9% Menambah kebutuhan cairan
20 tpm
4.2. Analisa Data
DS DAN DO PENYEBAB MASALAH
DS: Pasien mengatakan Gagal pompa vertikal
sesak nafas.saat kanan Pola nafas tidak ektif
beraktivitas
DO: Tekanan diastole
TTV:
TD: 140/80 mmhg
N: : 129x/menit Bendungan atrium kuman
RR: 33x/menit
S: : 36,7oC
Spo2: 80% Hepar
-Tipe pernafasan tidak
hematomigali
teratur
- irama pernafasan tidak
teratur mendesak diafragma
-Batuk sejak 1 hari
yang lalu
-suara nafas tambahan sesak nafas
ronchi basah (rales)
-terpasang O2 nasal
kanul 4 l/ menit
-posisi pasien semi
fowler.
DS: pasien mengatakan Gagal Jantung
nyeri Penurunan curah
P: nyeri di rasakan saat jantung
beraktivitas Volume darah dari atrium
Q: nyeri seperti di tusuk- ke ventrikel menurun
tusuk
R: nyeri di rasakan di
bagian dada sebelah Hipertrophy ventrikel kiri
kiri jantung ( LVH)
S: skala nyeri 6 ( sedang)
T: nyeri dirasakan 3-4
menit Volume skuncup
DO: Volume resido
TTV:
TD: 140/80 mmhg
N: : 45x/menit
RR: 25x/menit
S: : 36,7oC
Spo2: 80%
- Vena jagularis
meningkat
- Warna kulit pucat
- Terpasang oksigen
nasal kanul 4 lpm
- Suara jantung s1 s2
adanya s3 (gallup)

DS DAN DO PENYEBAB MASALAH


DS: pasien mengatakan Suplai darah jaringan
selama di IGD Intoleransi aktivitas
aktivitasnya di bantu Metab anserob
oleh keluarganya
DO:
Pasien tampak terbaring Asidosis mentabolik
terlentang
Aktivitas d i bantu oleh Penimbunan asam laktat
dan atp
keluarga
fatigue

4.3. Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan pengkajian dananalisa data yang di dapat:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru di tandai
dengan tanda tada vital TD:140/80 N:45x/menit RR:25x/menit S:36,7 oC
Spo2: 80 %,tipe pernafasan dada,irama nafas tidak teratur,suara nafas
tambahyan ronchi basah(roles) terpasang o2 nasal canul 4 lpm posisi
pasien semi fowler

2. Penurunan curah jantung brhubungan dngan gagal pompa ventrikel di


tandai dengan tanda tanda vital TD: 140/80 N:45x/menit RR:25x/menit
S:36,7 oC , Spo2 : 80%, Jugularis meningkat, warna kulit pucat , terpasang
02 nasal kanul 4 L / menit suara jantung s1 , s2 adanya s3 (gallop ).
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue di tandai dengan pasien
tampak terbaring terlentang, aktivitas pasin di bantu oleh kelurga , skala
ADL 3.
4.4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur tanda-tanda vital 1. Mengatahui keadaan umum pasien.
berhubungan dengan 2. Memantau pergerakan dada dan
keperawatan selama 1x1jam 2. Evaluasi pergerakan dada dan
ekspansi paru mendengarkan suara nafas
diharapkan pola nafas auskultasi suara nafas 3. Meningkatkan ekspansi paru
4. Mengurangi sesak nafas
kembali efektif dengan 3. Berikan posisi senyaman mungkin
5. Agar pemberian terapi tepat pada
kriteria hasil : 4. Berikan oksigen tambahan sesuai kondisi pasien
-TTVdalam batas normal indikasi.
TD: 120/80 mmhg 5. Kolaborasi dalam pemberian obat.
N: : 60-100x/menit
RR: 15-20x/menit
S: : 36,5-37,5oC
Spo2: 97>%
-Tipe pernafasan dada dan perut
-Irama pernafasan teratur
-Tidak ada suara nafas
tambahan
–Pasien tidak tampak sesak
4.5. Implementasi Keperawatan

Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) TTD Perawat


1. Mengukur tanda-tanda vital S : pasien mengatakan sesak
TTV:
TD: 140/80 mmhg O:
Diagnosa pertama N: : 45x/menit
TD: 140/80 mmhg
RR: 25x/menit
Selasa 06/10/ 2020 N: : 45x/menit
S: : 36,7oC
Pukul 19:00 WIB RR: 25x/menit
Spo2: 97
S: : 36,7oC
2. Mengauskultasi pergerakan dada dan Spo2: 97.
auskultasi suara nafas : kiri kanan Manoah A. Y
- Posisi pasien semi fowler
simetris dan suara nafras ronchi - Pemberian terapi O2 nasal canul 4
3. Memberikan posisi senyaman Lpm
mungkin : semi fowler
4. Berkolaborasi dengan pemberian O2:
A : Masalah belum teratasi
nasal canul 4 lpm
P : lanjutkan observasi /jam
- ukur tanda –tanda vital
- kolaborasi dalam pembrian O2
Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur tanda-tanda vital 1. Mengtahui keadaan umum
jantung berhubungan pasien
keperawatan 1x1 jam tidak terjadi 2. Kaji skala nyeri
dengan gagal pumpa 2. Mengetahui skala nyeri pasien
pertikal penurunan curah jatung kriteria 3. Auskultasi bunyi Jantung 3. Mengetahui suara jantung
4. Untuk megurangi nyeri pasien
hasil. 4. Kolaborasi dengan dokter
- Ttv dalam batas normal dalam pemberian obat

TD: 140/80 mmhg


N: : 45x/menit
RR: 25x/menit
S: : 36,7oC
Spo2: 97
- Vena jagularis tidak meningkat
- Pasien tidak tanpa sesak
- Nyeri berkurang 5-4 selanjutnya
jatung kembali normal
Implementasi Keperawatan
Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) TTD Perawat
1. Mengukur tanda-tanda vital S : pasien mengatakan nyeri dada
O : TD: 140/80 mmhg
TTV:
N: : 45x/menit
Diagnosa kedua TD: 140/80 mmhg RR: 25x/menit
N: : 45x/menit S: : 36,7oC
Selasa, 06/10/ 2020 RR: 25x/menit Spo2: 97
Pukul 19:00 WIB S: : 36,7oC
- Adanya suara jantung S3
Spo2: 97
- Skala nyeri 6 ( sedang )
2. mengkaji skala nyeri 6 ( sedang) Manoah A. Y
- Terapi oksigen nasal Canul 4 lpm
3.mengauskultasi bunyi jantung adanya - Pemberian obat Ranitidin 50 ML
jantung s3 ODR 8 mg
4,berkolaborasi dengan dokter dalam
A : Masalah belum teratasi
pemberian obat

- Ranitidin 50 mg P : lanjutkan observasi /jam


- ODR 8 mg - ukur tanda –tanda vital
- kaji skala nyeri
- auskultasi bunyi jantung
- kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat
Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur tingkat kemampuan 1, untuk mengtahui tingkat
berhubungan dengan kemampuan pasien
keperawatan 1x1 jam tidak terjadi pasien
fatigue 2. untuk mengetahui
penurunan curah jatung kriteria 2. Observasi keadaan umum keadaan umum pasien
3. mendapat program
hasil. pasien
terapi yang tepat.
TTV dalam batas normal 3. Kolaborasi dengan rehabilitasi
medik
TD: 140/80 mmhg
N: : 45x/menit
RR: 25x/menit
S: : 36,7oC
Spo2: 97
- Keadaan umum baik
- Pasien dapat melakukan aktivitas
scara mandiri
- Tidak mengalami kesulitan saat
beraktivitas
Implementasi Keperawatan

Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) TTD Perawat


1. Mengukur tingkat kemampuan pasien S : pasien mengatakan aktivitas di bantu saat
saktit
2. mengobservasi keadaan umum O : - tampak berbaring terlentang dan berjalan
di bantu oleh keluarga
Diagnosa ketiga
3. berkolaborasi dengan rehabilisasi medik
A : Masalah belum teratasi
Selasa, 06/10/ 2018
Pukul 19:00 WIB P : lanjutkan observasi /jam
- ukur tingkat kemampuan pasien
- observasi kedaan umum pasien
- kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi Manoah A. Y
medik
DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. 2015. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada Usia
Lanjut dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi. Semarang:
UNDIP
Doenges M E. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien) Edisi 3. Jakarta :
EGC
Kasron. 2015. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Mansjoer, A dkk. 2015. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2015. Buku Ajara Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Tarwoto, dan Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai