Anda di halaman 1dari 9

LITERATUR REVIEW

“PENGOBATAN DYSPNEA PADA PASIEN DENGAN CONGESTIVE HEART


FAILURE (CHF)”

Oleh:

IRFANI S
R014181002

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR LAHAN

[ ] [ ]

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


PEMINATAN KARDIOVASKULER
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LITERATUR REVIEW : PENGOBATAN DYSPNEA PADA PASIEN DENGAN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

A. PENDAHULUAN
Penyakit gagal jantung adalah penyakit sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Salah satu
penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi adalah congestive heart failure
(CHF) atau yang sering dikenal dengan penyakit gagal jantung. Penyebab dari gagal
jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar,
aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Gagal jantung merupakan suatu kondisi
dimana jantung tidak mampu memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 26 juta orang di seluruh
dunia dan prevalensi gagal jantung berkembang pesat di negara maju dan berkembang
di seluruh dunia (Savarese & Lund, 2017). Ini adalah masalah kesehatan global dan
penyebab utama kematian. Di AS, hampir 5,7 juta orang dewasa hidup dengan gagal
jantung dan hampir setengah dari mereka meninggal dalam 5 tahun diagnosis
(National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2019).
Tanda yang dapat diamati pada pasien gagal jantung mengindikasikan lokasi atau
kondisi gagal jantung yang dialami seperti gagal jantung pada sisi kiri atau gagal
jantung pada sisi kanan. Gagal jantung pada sisi kiri dapat menampakkan gejala
seperti aritmia, batuk, dedas yang bisa disertai bunyi menciut, sianosis atau pucat,
dispnea, tekanan darah naik, hipoksia, ortopnea, palpitasi, pulsus alternans, dan
asidosis respiratorik. Gagal jantung pada sisi kanan menampakkan gejala seperti
distensi abdominal, anoreksia,aritmia, asites, edema periferal dependen, pusing, letih,
refleks hepatojugular, distensi vena jugular, mual dan muntah, berat badan naik secara
perlahan, splenomegali, sinkope, dan lemah (Paramita, 2011).
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah penyakit Coronary Artery
Diasease (CAD). CAD dapat terjadi ketika arteri yang berfungsi untuk mensuplai
darah ke jantung (arteri koroner) mengalami penyempitan akibat adanya timbunan
lemak yang sering disebut sebagai plak. Hal lain yang diduga menjadi faktor risiko
terjadinya gagal jantung yakni adanya riwayat serangan jantung yang mengakibatkan
kerusakan pada otot jantung, kecacatan pada jantung sejak lahir, hipertensi, penyakit
katup jantung, penyakit otot jantung, infeksi pada jantung/ katup jantung, aritmia,
obesitas, diabetes,masalah tiroid, alkohol dan berbagai jenis kemoterapi (American
Heart Association, 2015).
Penyakit gagal jantung menimbulkan berbagai gejala klinis yang dirasakan klien
beberapa diantaranya dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea (PND).
Gejala lain yang muncul adanya keluhan mudah lelah akibat meningkatnya energy
yang digunakan untuk bernapas dan insomnia (gangguan tidur) yang terjadi akibat
distress pernapasan dan batuk. Keluhan gelisah dan cemas pada klien terjadi akibat
gangguan oksigenasi jaringan. Stress pada klien diakibatkan oleh adanya kesakitan
saat bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik. Berbagai
gejala pada klien gagal jantung akan menggangu kebutuhan dasar manusia, antara lain
kebutuhan sirkulasi seperti adanya edema, perubahan dalam kekuatan denyutan nadi,
aritmia, takikardi, dan perubahan bunyi napas. Kebutuhan eliminasi adanya nokturia,
diare atau konstipasi. Kebutuhan makanan dan cairan adana kehilangan nafsu makan,
pernambahan berat badan yang signifikan, pembengakakan pada ekstremitas, distensi
abdomen. Kebutuhan hygiene adanya kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
Kebutuhan pernapasan muncul adanya dispena saat aktivitas, batuk dan memerlukan
bantuan pernapasan seperti oksigen atau medikasi. Penatalaksaan penyakit gagal
jantung yang paling sering kita jumpai yakni penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi dilakukan dengan memberikan obat-
obatan untuk meningkatkan atau mempertahankan fungsi jantung. Sementara
penatalaksanaan nonfarmakologi dilakukan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung (Siswanto, et al., 2015).
Gangguan kebutuhan dasar pada klien gagal jantung akan menimbulkan masalah
keperawatan, diantaranya intoleransi aktivitas dan gangguan pola napas yang berefek
pada penurunan kualitas hidup pasien. Sesak napas adalah gejala dari gagal jantung
kronis yang mempengaruhi 50-70% individu dan diketahui meningkat intensitasnya
saat penyakit berkembang dan khususnya menjelang akhir hidup pasien. Gangguan
dyspnea pada pasien dengan CHF seringkali menyebabkan terbatasnya aktivitas hidup
sehari-hari, menurunkan kapasitas fungsional, dapat menyebabkan masalah gangguan
tidur, peningkatan respon cemas dan depresi, selain itu juga kondisi dyspnea akan
meningkatkan angka kematian, readmission, lama rawat inap dan biaya perawatan
pasien itu sendiri (Mentz et al., 2015).
Beban dari gejala yang tinggi, kecacatan, dan penurunan kualitas hidup adalah
akibat umum pada gagal jantung akut dan kronis. Ada berbagai macam pengobatan
untuk mengatasi sesak napas kronis dimana dapat digunakan beberapa treatment pada
pasien CHF sesuai dengan kondisi penyerta yang mengganggu baik menggunakan
oksigenasi, manajemen farmakologi, dan training exercise.
B. METODE
Pencarian literatur dilakukan dengan menelusuri hasil-hasil publikasi ilmiah
pada rentang waktu antara tahun 2016-2019 dengan menggunakan database
ScienceDirect, Pubmed, dan Google scholar dengan menggunakan kata kunci nursing
intervention, breathlessness, heart failure, quality of life
C. HASIL
Berdasarkan pencarian literatur yang telah dilakukan, di temukan beberapa
literature yang membahas terkait pengobatan pada pasien dengan gagal jantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Asano et al., (2019) untuk mengetahui dan menilai
penggunaan oksigen pada gagal jantung kronis dalam meringankan sesak napas dari
Januari 2001 hingga Januari 2019 dengan metode systematic review. Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan dari tahun 2001 hingga Januari 2019 terdapat 11 penelitian
dimana mayoritas pasien (77%) dengan dugaan sesak napas yang memiliki gagal
jantung dan 40% dari mereka memiliki riwayat rawat inap gagal jantung pada tahun
sebelumnya. Dalam sebuah studi kohort yang dilakukan di Australia, 21% dari pasien
perawatan paliatif dengan sesak napas kronis diresepkan oksigen di rumah dan
sepertiga dari mereka memiliki peningkatan signifikan dalam sesak napas; Namun,
hasil keseluruhan menunjukkan tidak ada peningkatan klinis yang signifikan dalam
sesak napas meskipun diberikan oksigen. Pada penelitiaan ini, peran oksigen masih
belum jelas dan terdapat kekurang penelitian untuk mengukur dampak oksigen pada
kualitas hidup dan sesak napas pada pasien gagal jantung.
Penelitian yang dilakukan oleh Sepehrvand et al., (2019) untuk menilai efek
oksigen terhadap oksimetri nadi tinggi dan rendah pada pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan gagal jantung. Penelitian dilakukan dengan metode randomized control
trial (RCT) dimana 50 pasien yang dirawat dengan gagal jantung diacak untuk target
SpO2 tinggi (≥96%) atau rendah (90-92%). Oksigen secara manual diberikan ke
rentang target yang ditetapkan selama 72 jam dan didapatkan hasil bahwa tingkat
baseline dan pemberian oksigen 72 jam tidak berbeda secara statistik antara kelompok
dengan target SpO2 tinggi dan rendah. Meskipun secara numerik lebih tinggi pada
kelompok SpO2 yang tinggi, perubahan NT-proBNP tidak jauh berbeda antara
kelompok penelitian. Perubahan dyspnea dari awal pemberian ke 72 jam tidak
berbeda antara kelompok studi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hossein, Pour, & Gholami (2019) untuk
mengevaluasi efek dari inspiratory muscle training (IMT) pada dispnea, kelelahan
dan klasifikasi fungsional New York Heart Association (NYHA) pada pasien dengan
gagal jantung. Penelitian ini menggunakan metode randomized controlled trial dengan
84 pasien dengan gagal jantung (NYHA II-III/IV). Didapatkan hasil bahwa kelompok
intervensi menunjukkan perbaikan signifikan dalam dispnea, kelelahan dan klasifikasi
fungsional NYHA pada kelompok IMT dibandingkan dengan kelompok kontrol (P
<.05). Analisis dalam kelompok intervensi menunjukkan peningkatan signifikan
dalam dispnea (dari 2,63 ± 0,79 hingga 1,38 ± 0,66, P <0,001), kelelahan (dari 43,36
± 8,5 hingga 28,95 ± 9,11, P <0,001) dan klasifikasi fungsional NYHA (dari 2,73 ±
0,5 hingga 2,1 ± 0,6, P = 0,001) di IMT kelompok, sementara kelelahan dan dispnea
meningkat secara signifikan pada kelompok kontrol.
Terdapat penelitian lain yang menunjukkan terapi untuk mengurangi dyspnea
pada pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan oleh Subroto (2019) untuk
mengetahui pengaruh Ventilatory Muscle Training (VMT) dalam menurunkan
dyspnea. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa skor dyspnea sebelum
intervensi dengan rerata 4,2 dan standar deviasi 0,9, dan nilai tengah 4 serta nilai
terendah dan teringgi pada 3 da 6. Skor dyspnea setelah intervensi dengan rerata 3,6
dan standar deviasi 1,1, dan nilai tengah 4 serta nilai terendah dan teringgi pada 1 da
6. Perubahan skor dyspnea menunjukan dengan rerata 0,6 dan standar deviasi 0,8, dan
nilai tengah 1 serta nilai terendah dan teringgi pada -1 dan 2. Hasil analisis
perbandingan skor dyspnea sebelum dan setelah perlakuan pemberian VMT
menjunjukan ada perbedaan yang bermakna antar kedua pengukuran dengan p-value
0,012.
D. PEMBAHASAN
Dyspnea merupakan gejala khas pada pasien gagal jantung yang sangat dominan,
lebih dari 60% penderita gagal jantung mengeluhkan dyspnea. yang sangat
menggangu (McKelvie et al., 2011). Pasien gagal jantung akan sering mengalami
penurunan dalam kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan yang bekerja dalam
fase inspirasi (inspiratory muscle) yang sering juga berdampak pada intoleransi
aktifitas dan buruknya prognosis penyakit (Dall’Ago, Chiappa, Guths, Stein, &
Ribeiro, 2006). Gangguan dyspnea pada pasien dengan gagal jantung seringkali
menyebabkan terbatasnya aktivitas hidup sehari-hari, menurunkan kapasitas
fungsional, dapat menyebabkan masalah gangguan tidur, peningkatan respon cemas
dan depresi (Mentz et al., 2015). Oleh karena itu upaya penurunan dyspnea pasien
gagal jantung merupakan tujuan utama pengobatan dan merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan pasien gagal jantung (Solomonica, Burger, & Aronson, 2013).
Terdapat beberapa pengobatan yang dapat diberikan antara lain pemberian oksigen,
terapi farmakologi dan training exercise.
Terapi pemberian oksigen digunakan untuk mengelola sesak napas pada gagal
jantung, sebagian pasien dengan hipoksemik saat istirahat, dengan aktivitas, atau
selama tidur, dimana terapi oksigen dapat memperpanjang kelangsungan hidup
pasien. namun, ketika digunakan dengan pasien hipoksemia ringan sampai sedang, hal
itu tidak meningkatkan kelangsungan hidup pasien (Cranston, Crockett, Currow,
Ekström, & Abernethy, 2013). Selain itu, pasien yang mengalami dyspena sangat
dipengaruhi oleh faktor psikologis dan perilaku, seperti kecemasan, yang dikenal
dapat memperburuk sesak napas. Sehingga untuk memberikan perawatan optimal
yang dapat meningkatkan manajemen gejala, kualitas hidup, dan mencegah rawat inap
yang tidak perlu, diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang manajemen sesak
napas (Asano et al., 2019).
Training exercise pada pasien gagal jantung masuk dalam kategori aktifitas
cardiac rehabilitation exercise. Training exercise merupakan terapi dengan
melakukan aktifitas fisik tertentu yang dilakukan secara terarah dan terukur pada
pasien gagal jantung dengan indikator tekanan darah, denyut nadi dan respirasi
(Antunes-Correa et al., 2014;Nicholson, 2014). Secara spesifik training execise ada
banyak jenis macamnya salah satunya ventilatory muscle training (VMT) dan
Inspiratory muscle training (IMT) .
VMT merupakan salah satu tindakan dalam training exercise pada pasien
gagal jantung. Training exercise ataupun terapi fisik pada pasien gagal jantung dengan
kelas II dan III sangat aman dan hasil signifikan terhadap peningkatan waktu aktifitas,
kapasitas anaerobic, peningkatan ventilasi dan peningkatan kualitas hidup pasien.
Dari hasil penelitian menunjukan terdapat perubahan dyspnea pada pasien gagal
jantung yang setelah diberikan intervensi VMT selama 3 hari dengan p-value <0,012.
Pasien gagal jantung yang rutin melakukan terapi fisik dapat meningkatkan kekuatan
otot pada serabut otot tipe I (type I fiber) yang akan berdampak pada peningkatan
kapasitas oksidatif pada perfusi jaringan-jaringan perifer. Training exercise ataupun
terapi fisik pada pasien gagal jantung dapat juga digunakan untuk meningkatkan
transport oksigen dan memaksimalkan penggunaan oksigen tersebut pada otot-otot
pernafasan, dapat meningkatkan aliran darah, meningkatkan pertukaran gas dan
meningkatkan exercise tolerance, functional class, quality of life dan mental
depression pada pasien gagal jantung (Hirai, Musch, & Poole, 2015). Hasil penelitian
Subroto (2019) menunjukan adanya pengaruh VMT terhadap skala dyspnea pada
pasien CHF dengan p-value: 0,012 yang secara statistik dan secara klinis menunjukan
ada penurunan dyspnea pada pasien gagal jantung.
Berbagai macam exercise training yang digunakan pada pasien CHF akan
berdampak positif terhadap pasien seperti penurunan gejala-gejala yang sering
dikeluhkan seperti, sesak nafas, penurunan aliran darah, pusing, gangguan tidur dan
dapat menurunkan dampak mortalitas (Fleg et al., 2015). Hasil penelitian Hossein,
Pour, & Gholami (2019), pemberian training aktifitas fisik berupa IMT pada pasien
gagal jantung, hasil menunjukan peningkatan kekuatan otot aksesori pernafasan,
menurunkan dyspnea, menurunkan hospitalisasi dan mortality serta meningkatkan
quality of life (QOL) pasien CHF. Training exercise pernafasan dengan
menggunakan terapi Inspiratory Muscle Training maupun ventilatory muscle training
pada pasien gagal jantung dapat meningkatkan oksigenasi, aliran darah dan sirkulasi
ke area kaki (Dall’Ago et al., 2006).
E. KESIMPULAN
Studi literatur menunjukkan beberapa tatalaksana pada pasien CHF yang
mengalami dyspnea dan pentingnya peran perawat dalam memberikan pengobatan
yang tepat. Perawat merupakan salah satu petuga kesehatan yang memiliki peran
dalam peningkatan kualitas hidup pasien dengan congestive heart failure (CHF).
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. (2015). Cardiovascular Conditions. What is Heart Failure, pp.
1-2.
Asano, R., Mathai, S. C., Macdonald, P. S., Newton, P. J., Currow, D. C., Phillips, J., …
Davidson, P. M. (2019). Oxygen use in chronic heart failure to relieve breathlessness: A
systematic review. Heart Failure Reviews. https://doi.org/10.1007/s10741-019-09814-0
Cranston, J. M., Crockett, A., Currow, D., Ekström, M., & Abernethy, A. (2013). Oxygen
therapy for dyspnoea in adults. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013(11).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD004769.pub3
Dall’Ago, P., Chiappa, G. R. S., Guths, H., Stein, R., & Ribeiro, J. P. (2006). Inspiratory
muscle training in patients with heart failure and inspiratory muscle weakness: A
randomized trial. Journal of the American College of Cardiology, 47(4), 757–763.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2005.09.052
Hirai, D. M., Musch, T. I., & Poole, D. C. (2015). Exercise training in chronic heart failure :
improving skeletal muscle O 2 transport and utilization. (322).
https://doi.org/10.1152/ajpheart.00469.2015
Hossein, A., Pour, H., & Gholami, M. (2019). The effect of inspiratory muscle training on
fatigue and dyspnea in patients with heart failure : A randomized , controlled trial.
(August 2018), 1–13. https://doi.org/10.1111/jjns.12290
McKelvie, R. S., Moe, G. W., Cheung, A., Costigan, J., Ducharme, A., Estrella-Holder, E.,
… Ross, H. J. (2011). The 2011 Canadian cardiovascular society heart failure
management guidelines update: Focus on sleep apnea, renal dysfunction, mechanical
circulatory support, and palliative care. Canadian Journal of Cardiology, 27(3), 319–
338. https://doi.org/10.1016/j.cjca.2011.03.011
Mentz, R. J., Mi, X., Sharma, P. P., Qualls, L. G., DeVore, A. D., Johnson, K. W., …
Hernandez, A. F. (2015). Relation of dyspnea severity on admission for acute heart
failure with outcomes and costs. American Journal of Cardiology, 115(1), 75–81.
https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2014.09.048
National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion. (2019). Heart Failure
Fact Sheet. Retrieved from
https://www.cdc.gov/dhdsp/data_statistics/fact_sheets/fs_heart_failure.htm
Paramita. (2011). Nursing memahami berbagai macam penyakit. Jakarta: Indeks.
Savarese, G., & Lund, L. H. (2017). Global public health burden of heart failure. Cardiac
Failure Review. Radcliffe Cardiology.
Sepehrvand, N., Alemayehu, W., Rowe, B. H., Mcalister, F. A., Van, S., Stickland, M., &
Ezekowitz, J. A. (2019). High vs . low oxygen therapy in patients with acute heart
failure : HiLo-HF pilot trial. https://doi.org/10.1002/ehf2.12448
Siswanto, B. B., Hersunarti, N., Erwinanto, Barack, R., Pratikto, R. S., Nauli, S. E., et al. (2015).
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.

Solomonica, A., Burger, A. J., & Aronson, D. (2013). Hemodynamic determinants of


dyspnea improvement in acute decompensated heart failure. Circulation: Heart Failure,
6(1), 53–60. https://doi.org/10.1161/CIRCHEARTFAILURE.112.970335
Subroto, W. (2019). Pengaruh ventilatory muscle training (VMT) terhadap penurunan
dyspnea pada penderita gagal jantung. 2, 31–37.

Anda mungkin juga menyukai