Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi
penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit
melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri
serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health
Organization/WHO, 2016). Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang
termasuk dalam perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan
prevalensi 38.5%, kanker34%, penyakit pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS
5.7%, diabetes 4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%. Pada
tahun 2011 terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang
membutuhkan perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan
perawatan paliatif berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60
tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25%, pada usia 0-14 tahun yaitu 6%.
Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu
Benua Pasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22%
(WHO,2014). Kasus stroke sekitar 1.236.825 dan 883.447 kasus penyakit jantung
dan penyakit diabetes sekitar 1,5% (KEMENKES,2014).
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau sudah tida
k dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas hidup
(WHO,2016).
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan
psikososial ,emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan
perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan
pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan penyakit,
bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim kesehatan yang
serius. CHF (Congestive Heart Failure) merupakan salah satu masalah kesehatan
dalam sistem kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut
data WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika Serikat menderita
CHF. Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2012 dilaporkan bahwa
ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal jantung (Padila,
2012). Penderita gagal jantung di Indonesia pada tahun 2012 menurut data
Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap
di rumah sakit. Resiko kematian yag diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10%
per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-

1
40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang didi
agnosis menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Kowalak, 2011).
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perawatan paliatif pada penderita gagal jantung Kongestif ?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dari perawatan palliatif ;
2. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal jantung Kongestif ;
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi gagal jantung Kongestif ;
4. Mengetahui dan memahami manifestasi pada gagal jantung Kongestif;
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gagal jantung Kongestif ;
6. Mengetahui dan memahami perawatan paliatif pada gagal jantung Kongestif.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NO: 812, 2007).
B. Definisi Kongestive Heart Failure (CHF)
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana
kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah
untukmemenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan
jaringandengan meningkatkan tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).
Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan,
dan kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru,
hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan. Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema
perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis.Gagal jantung kongestif ada
lah gabungan darikedua gambaran tersebut . Namun demikian, kelainan fungsi
jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara bersamaan (McPhee, 2010).
C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif
Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013) klasifikasi dari
gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi,
tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa a
danya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien
yangdidiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien
yangmengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda
dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan
pada pasiendengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri
ataupun penyakit valvular asimptomatik.

3
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada
jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi
kerusakan.Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak
dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan atau
intervensi khusus serta gejala dapat timbul pada saat stirahat, sehingga
pasien perlu di monitor secara ketat.
The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan
gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :
1) Kelas I / NYHA I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
2) Kelas II / NYHA II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina
pektoris (mild CHF).
3) Kelas III / NYHA III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja
mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
4) Kelas IV / NYHA IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas
fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan
gejala yang berat (severe CHF).

D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif


CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya ;dipsnea ,ortopnea
, pernapasan cheyne-stoke , paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), asites piting
edema,berat badan meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak
nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-
tiba dan menyebabkan penderita
terbangun (udjianti,2011) , munculnya berbagai gejala jenis pada pasien gagal
jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah tidur seperti adanya nyeri
dada pada aktivitas , dispnea pada istirahat atau aktivitas , letargi dan gangguan
tidur.
E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
1. Terapi non farmakologi

4
a.Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet
yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya.
Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hariuntuk gagal
jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/harihanya untuk
gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan
c. Aktivitas fisik
Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan
untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang
nyaman bagi pasien.
d. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
e. Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau
lembab (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

2. Terapi Farmakologi
Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada gagal jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan dengangejala
seperti sesak napas saat Sberaktivitas dan membaik saat beristirahat, tandaretensi
cairan berupa kongesti pulmoner, edema ekstremitas, serta abnormalitasstruktur
dan fungsi jantung. Keadaan tersebut berhubungan dengan penurunanfungsi pompa
jantung. Penurunan fungsi pompa jantung dapat terjadi akibatinfark miokard,
hipertensi kronis, dan kardiomiopati. Dalam hal ini, jantungmengalami remodelling
sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi yangkompleks daakhirnya
menurunkan fungsi jantung. Metroprolol merupakan salahsatu jenis beta blocker
yang berfungsi meningkatkan fungsi jantung denganmenghambat remodelling pada
jantung. Metoprolol secara signifikanmeningkatkan fungsi ventrikel dosis tinggi
200 mg (n=48) sebagai terapi antiremodeling, terbukti dengan penurunan LVESV
14 mL/m2 dan peningkatan EFsebanyak 6% (Amin, 2015).Berdasarkan pedoman
tatalaksana gagal jantung oleh (Siswanto dkk,
2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantungsimtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β m

5
emperbaikifungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup Indikasi
pemberian penyekat β yaitu:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik)
e. Tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensicairan berat).
Sedangkan kontra indikasi pemberian penyekat β yaitu:
a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:
a. Inisiasi pemberian penyekat β
b. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati
c. Naikan dosis secara titrasid.
d. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung,hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)f. jJika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis
penyekat β sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β adalah:
a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardi

F. Tahapan perawatan pada pasien CHF


Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untuk
memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan
pengasuh,dan didukung manajemen diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang
kondis imereka termasuk nama, etiologi, pengobatan, dan prognosisnya
Pemantauan reguler dan peninjauan yang tepat sesuai dengan pedoman nasional
dan protokol local.
Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional kunci
diidentifikasi di masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja sama

6
dengan spesialis gagal jantung, perawatan paliatif dan layanan lainnya. Tujuan
perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol dan
gejala dan kualitas hidup yang optimal. Sebuah penilaian holistik dan
multidisipliner terhadap kebutuhan pasien dan perawat dilakukan kesempatan
untuk mendiskusikan progosis dan kemungkinan penyakit yang diderita
secara lebih rinci disediakanoleh para profesional, termasuk rekomendasi untuk
menyelesaikan rencana perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja
didokumentasikan dalam rencana perawatan jika terjadi kerusakan akut.
Tahap 3: fase perawatan terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan
ginjal,hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung
untukkontrol gejala dilanjutkan dan status resusitasi diklarifikasi,
didokumentasikan, dandikomunikasikan kepada semua penyedia perawatan Jalur
perawatan terpadu untukorang yang sekarat dapat diperkenalkan untuk menyusun
perencanaan perawatanPeningkatan dukungan praktis dan emosional untuk
pengasuh disediakan, terusmendukung berkabung Penyediaan dan akses ke tingkat
yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan
perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009)

G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif


1. Home Based Exercise Training (HBET)
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bedrest
yang bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akutterlewati,
pasien berada pada fase recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatusaran yang
kontroversial karena dapat memicu menurunnya level toleransiaktivitas dan
memperberat gejala gagal jantung seperti sesak disertai batuk.Semua otot perlu
dilatih untuk mempertahankan kekuatannya termasuk dalam hal ini adalah otot
jantung (Suharsono, 2013). Pasien gagal jantung biasanya berpikiran bahwa
melakukan aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal
jantung sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebihmemilih untuk bed rest
pada fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien perlu untuk diajarkan melakukan
aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi aktivitasdapat meningkat pula.
Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-
hari akan mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan kemampuan
fungsional. Pada pasien gagal jantung, kapasitas fungsional sangat berkaitan erat
dengan kualitas hidup pasien. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah
satunya dengan melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi: tipe, intensitas,
durasi, dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien (Suharsono,2013).
Aktivitas dilakukan dengan melihat respon seperti peningkatan

7
nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung
sehingga gejala gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini akandapat dilakukan
secara informal dan lebih efektif apabila dirancang dalam program
latihan fisik yang terstruktur (Nicholson, 2007). Aktivitas latihan
fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas
fisik tubuh, memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam
mencegah perburukan dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik
seperti sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010).
Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah satu
pilihanlatihan fisik dan alternatif solusi rendahnya partisipasi pasien mengikuti
latihan fisik. Pasien yang stabil dan dirawat dengan baik dapat memulai program
homebased exercise training setelah mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan
dan instruksi. Tindak lanjut yang sering dilakukan dapat membantu menilai
manfaat program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga, dan a
kanmemungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan yang lebih tinggi
jikatingkat kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi dengan baik (Piepolli, 2011).
Menurut Suharsono (2013), intervensi yang dilakukan berupahome basedexercise
training, berupa jalan kaki selama 30 menit, 3 kali dalam seminggu selama 4
minggu dengan intensitas 40-60% heart rate reserve dan peningkatan kapasitas
fungsional dilakukan dengan SixMinute Walk Test (6MWT).

2. Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Baroreflek Arteri


Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan
yang berdampak pada kualitas hidup klien. Salah satu kerusakan yang
terjadi adalah kerusakan pada baroreflek arteri. Baroreflek arteri merupakan
mekanisme dasar yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah. Hasil penerapan
evidance based nursing , latihan nafas dalam dapat memberikan pengaruh terhadap
sensitivitas barorefleks. Hasil setelah diberikan intervensi selama seminggu terdap
at peningkatan tekanan darah sistolik dari 80 mmHg menjadi 100 mmHg, nilai
denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali per menit menjadi 80 kali per menit
dan pada frekwensi pernafasan juga mengalami penurunan dari
24 kali/menit menjadi 18kali/menit. Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan
secara signifikan dengan bernafas lambat. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas vagal dan penurunan
simpatis yang dapat menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan
tekanan darah dan reflek kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup nafas
secara lambat dan dalam. Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah dalam sistem
saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistemsaraf otonom. Fungsi sistem
saraf pusat adalah mengendalikan gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan
tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan
gerakan yang otomatis misalnya fungsi digestif dan kardiovaskuler. Sistem saraf

8
otonom terdiri dari dua sistem yang kerjanya saling berlawanan yaitu saraf simpatis
dan saraf parasimpatis. Saraf
simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh
meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menimbulkan penyempitan
pembuluh darah perifer dan pembesaran
pembuluh pusat. Saraf parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi
yang diturunkan oleh saraf simpatis. Pada waktu orang mengalami ketegangan dan
kecemasanyang bekerja adalah sistem saraf simpatis sehingga denyut jantung,
tekanan darah, jumlah pernafasan,aliran darah ke otot sering meningkat (Balady,
2007).
G. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif
Mendengarkan Murrotal
Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik diotot,
perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit
(Asman, 2008). Perubahan tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan
saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi
dan peningkatan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan penurunan frekuensi
detak jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti mengaktifan sel-sel
tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang ditangkap oleh
tubuh, menurunkan rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan opioid
natural endogen. Opioid ini bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri.
Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui
telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan ditelinga
dalam serta menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea . Selanjutnya melalui
saraf Koklearis menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang berperan dalam
gelombang suara yaitu jaras retikuler-talamus, hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagianotak
yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahuludicerna oleh
bagian otak yang berpikir mengenai baik buruk maupun intelegensia. Kemudian
melalui Hipotalamus memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem
limbik. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi
pernapasan,denyut jantung, tekanan darah , pergerakan otot usus, fungsi endokrin
dan memori. Selanjutnya,melalui akson neuron berdifusi mempersarafi neo-korteks
(Qadri, 2003).
Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa
mendengarkan bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam
menurunkan ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat danterukur secara
kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer.Adapun pengaruh yang
terjadi berupa adanya perubahan arus listrik di
otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada

9
sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan
tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan keteganganurat saraf
reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan penambahan kadar darah
dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekuensi
denyut jantung. Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat bahwa
mendengarkan ayat-ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan
organ tubuh, serta memberikan aura positif pada tubuh manusia. Bacaan Al-Quran
berefek pada sel-sel dan dapat mengembalikankeseimbangan. Otak merupakan
organ yang mengontrol tubuh, dan darinya muncul perintah untuk relaksasi tubuh,
khususnya sistem imunitas (Rilla,2014).
I.Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif
Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif
meliputi :
a. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasikeluhan
serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai keilmuanmengembangkan dan
mengimplementasikan rencana perawatan secaramenyeluruh. Perawat
mengidentifikasikan pendekatan baru untuk mengatasinyeri yang
dikembangkanberdasarkan standar perawatan di rumah sakit untukmelaksanakan
tindakan. Dengankemajuan ilmu pengetahuan keperawatan,maka keluhan sindroma
nyeri yangkomplek dapat perawat praktikan denganmelakukan pengukuran tingkat
kenyamanan disertai dengan memanfaatkaninovasi, etik dan berdasarkan
keilmuannya
b. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan
keluarganya sertasemua anggota tim menerima hasil yang positif. Perawat
memperlihatkandasarkeilmuan/pendidikannya yang meliputi mengatasi
nyerineuropatik,berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan
resikokehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan
ahlifarmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka
memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-
obatanintravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.
c. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditunjukan pada
pertanyaan- pertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada
penelitian perawatan paliatif.

10
d. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosialspiritual
dan penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan
kolaborasi dan mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim
perawatan paliatif,perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan anggota dalam pelayanan,kolaborasi perawat/dokter dan
komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan
keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam
memfasilitasi kemungkinan hasilterbaik.
e. Penasihat (Consultan)
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatifdan
komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang
kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat
dalam proses penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk mengetahui
proses asuhan keperawatan dalam perawtan paliatif. Asuhan keperawatan paliatif
merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang
langsung diberikan kepada pasien paliatif dengan menggunakan pendekatan
metodologi proses keperawatan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi
etika profesi dalam lingkup wewenang sertatanggung jawab perawat yang
mencakup seluruh proses kehidupan,
dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan bio psiko sosio
spiritual yangkomprehensif, dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (Ilmi,2016).

11
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di
mana kelainanfungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan
jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).
Umumnya pasien yangmengalami penyakit ini yang sudah berada pada fase akhir
sulit untuk melakukan aktivitas dan biasanya pasien sudah tidak kooperatif lagi
untuk melakukan berbagai macam hal dalam proses penyembuhan, sehingga
diperlukan peranan perawat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga
pasien dalam proses menjelang ajal dalam keadaan damai.

B.Saran
Diharapkan kepada pembaca makalah ini mengetahui hal apa saja yang
dapatdilakukan dalam melakukan penanganan pada pasien yang menderita
penyakitterminal, pasien menjelang ajal. seorang perawat harus senantiasa
memperbarui ilmu pengetahuannya sehingga ketika turun di lapangan seorang
perawat tersebut mampu mengaplikasikannya dalam dunia kerja.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arovah, N. I. (2010). Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Gagal


Jantung. Medikora (Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga), Vol. 6, No. 1, 11-
22.
Balady, G. (2007). Core Components of cardiac rehabilitation/secondary
prevetion programs.
Corculation AHA, 115.

Fachrunnisa, & dkk. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur
pada pasien congestive Heart Failur. JOM Vol 2 No 2, 1094-1105.
Jaarsma, T. e. (2009). Palliative care in heart failure: a position statement from
the palliative care workshop of the Heart Failure Association of the European
Society of Cardiology. European Journal of Heart Failure, 433 – 443.
McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis.
Jakarta: EGC.

Nicholson, C. (2007). Heart Failure, A Clinical Nursing Handbook.


John Willey &Sons.Piepolli, M. F. (2011). Exercise training in heart failure: from
theory to practice. Aconsensus document of the Heart Failure Association and
the EuropeanAssociation for Cardiovascular Prevention and
Rehabilitation. European Journal of Heart Failure, Volume 13, Issue 4, 347-
357.
Rilla, E. (2014). Terapi Murottal Efektif Menurunkan Tingkat Nyeri
DibandingkanTerapi Musik Pada Pasien Pasca Bedah.
Jurnal Keperawatan Indonesia,Volume 17, No.2, Juli 2014, hal 74-80, 74-80.
Suharsono, T. d. (2013). Dampak Home Based Exercise Training terhadap
Kapasitas. Jurnal Keperawatan, Volume 1, No. 1, 12-18.

13

Anda mungkin juga menyukai