Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif


Congestive Heart Failure (CHF)

Dosen: Ns. Kristianus Triyaspodo, M. Kep., Sp. Kep. Jiwa

Nama Mahasiswa

Ali Yahya 2210269 P

Arienda Septi 2210242 P

Aulia Roza 2210249 P

Berliana Sinaga 2210271 P

Christina Mayasari 2210268 P

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

INSTITUT CITRA INTERNASIONAL TAHUN AKADEMIK 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah
inidapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasihatas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baikmateri maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyakkekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pangkalpinang, 25 Oktober 2023

Kelompok I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................

DAFTAR ISI.................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................

A. Latar Belakang..........................................
B. Rumusan Masalah.......................................
C. Tujuan................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................

A. Definisi Perawatan Paliatif.................................


B. Definisi Kongestif Heart Failure (CHF).......................
C. Klasifikasi Gagal jantung Kongestif..........................
D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif.........................
E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif.....................
F. TahapanPerawatan pada pasienCHF..........................
G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif................
H. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif......................
I. Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif...

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................
B. Saran...................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit
melaluiidentifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health
Organization(WHO), 2016). Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk
dalam perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%,
kanker34%, penyakit pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes 4.6% dan
memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%.Pada tahun 2011 terdapat 29 jutaorang
meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan perawatan paliatif.Kebanyakan
orang yang membutuhkan perawatan paliatif berada pada kelompok dewasa 60% dengan
usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25%, padausia 0-14 tahun yaitu 6%.
Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu
BenuaPasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22%
(WHO,2014). Kasus stroke sekitar 1.236.825 dan 883.447 kasus penyakit jantung
dan penyakit diabetes sekitar 1,5% (KEMENKES, 2014).Penyakit dengan perawatan pali
atif merupakan penyakit yang sulit atau sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan
paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016)
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan
psikososial,emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan
yangtepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien.
Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan penyakit, bersamaan dengan
terapi lain danmenggunakan pendekatan tim kesehatan yang serius. CHF (Congestive
Heart Failure) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam sistem kardiovaskular,
yang angkakejadiannya terus meningkat. Menurut data WHO dilaporkan bahwa ada
sekitar 3000warga Amerika Serikat menderita CHF. Menurut American
Heart Association (AHA) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika
Serikat yang menderita gagal jantung (Padila, 2012). Penderita gagal jantung di Indonesia
pada tahun 2012menurut data Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita
yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Resiko kematian yag diakibatkan oleh CHF
adalah skitar 5-10% per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi
3040% pada gagl jantung berat. Menurut penelitia, sebagian besar lansia yang didiagnosi
s menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Kowalak, 2011)

1.1. Rumusan Masalah


Bagaimanakah perawatan paliatif pada penderita gagal jantung kongestif?

1.2. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami definisi dan perawatan paliatif.
b. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal jantung kongestif.
c. Mengetahui dan memahami klasifikasi gagal jantung kongestif.
d. Mengetahui dan memahami manifestasi pada gagal jantung kongestif.
e. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gagal jantung kongestif
f. Mengetahui dan memahami perawatan paliatif pada gagal jantung kongestif.

BAB II
PEMBAHASAN.
A. Definisi Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitashidup pasien


dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain,
fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

B. Definisi Kongestive Heart Failure (CHF)

Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di manakelainan


fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untukmemenuhi kebutuhan
jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringandengan meningkatkan tekanan
pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu
gagal jantung kiri, kanan,dan kombinasi atau kongestif.Pada gagal jantung kiri terdapat
bendungan paru,hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan
perfusi jaringan.Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan penin
gkatan tekanan vena jugularis.Gagal jantung kongestif adalah gabungan darikedua gambaran
tersebut.Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupunkanan sering terjadi secara
bersamaan (McPhee, 2010)

C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif

Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013) klasifikasi dari gagal


jantungkongestif yaitu sebagai berikut :
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi,
tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanyatanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yangdidiagnosa gagal jantung
stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins)
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yangmengalami
keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanyakerusakan
struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejaladari gagal jantung
tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasiendengan infark miokard, disfungsi
sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakitvalvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan
dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.Gejala yang timbul
dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.

d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupunintervensi
khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat,serta pasien yang perlu
dimonitoring secara ketat.

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal
jantung dalam empat kelas, meliputi :
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
tidakmenyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normalmenyebabkan
kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF)
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja
mampumenimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat
(severe CHF).

D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif

CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya ;dipsnea ,ortopnea , pernapasan


cheyne-stoke , paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), asites piting edema,berat badan
meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak
nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita
terbangun (udjianti,2011) , munculnya berbagai gejala jenis pada pasiengagal jantung tersebut
akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu kebutuhan dasar manusia salah
satu diantaranya adalah tidur seperti adanya nyeri dada pada aktivitas , dispnea pada istirahat
atau aktivitas , letargi dan gangguan tidur.

E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


1.Terapi non farmakologia.
a. Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harusdiberi diet yang
sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl
harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai
berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/harihanya untuk gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan.
c. Aktivitas fisik
Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal
jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yangnyaman bagi pasien.
d. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
e. Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panasatau lembab (Nafrialdi
dan Setiawati, 2007).

F.Tahapan perawatan pada pasien CHF


Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untukmemperpanjang
kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan pengasuh,dan didukung
manajemen diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang kondisimereka termasuk nama,
etiologi, pengobatan, dan prognosisnya Pemantauan regulerdan peninjauan yang tepat sesuai
dengan pedoman nasional dan protokol local.
Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional
kuncidiidentifikasi di masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja
samadengan spesialis gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya
Tujuan perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol gejala dan kualitas hidup yangop
timal Sebuah penilaian holistik dan multidisipliner terhadap kebutuhan pasien
dan perawat dilakukan Kesempatan untuk mendiskusikan prognosis dan kemungkinan peny
akit yang diderita secara lebih rinci disediakan oleh para profesional, termasuk rekomendasi
untuk menyelesaikan rencana perawatan lanjutan Layanan di luar jamkerja
didokumentasikan dalam rencana perawatan jika terjadi kerusakan akut
Tahap 3: fase perawatan Terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan ginjal,hipotensi,
edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung untuk kontrol gejala
dilanjutkan dan status resusitasi diklarifikasi, didokumentasikan, dan dikomunikasikan
kepada semua penyedia perawatan Jalur perawatan terpadu untuk orang yang sekarat dapat
diperkenalkan untuk menyusun perencanaan perawatan. Peningkatan dukungan praktis dan
emosional untuk pengasuh disediakan, terus mendukung berkabung Penyediaan dan akses
ke tingkat yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan
perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009).

G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif

1. Home Based Exercise Training (HBET)


Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bedrest yang
bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akut terlewati, pasien
berada pada fase recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatu saran yang kontroversial
karena dapat memicu menurunnya level toleransi aktivitas dan memperberat gejala gagal
jantung seperti sesak disertai batuk. Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan
kekuatannya termasuk dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2013).
Pasien gagal jantung biasanya berpikiran bahwa melakukan aktivitas termasuk
latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal jantung sesak dan timbul kelelahan,
sehingga mereka lebih memilih untuk bed rest pada fase pemulihan. Oleh karena itu,
pasien perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi
aktivitas dapat meningkat pula.
Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari
akan mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan kemampuan fungsional.
Pada pasien gagal jantung, kapasitas fungsional
sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup pasien. Kapasitas fungsional dapat
ditingkatkan, salah satunya dengan melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi:tipe,
intensitas, durasi, dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien (Suharsono, 2013).
Aktivitas dilakukan dengan melihat respon
sepeti peningkatan nadi, sesak napas dan kelelahan.

Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala gagal jantung
semakin minimal. Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif
apabila dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson, 2007).

Aktivitas latihan
fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik
tubuh, memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan
dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami
gangguan jantung (Arovah, 2010).

Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah satu pilihan latihan
fisik dan alternatif solusi rendahnya partisipasi pasien mengikuti latihan fisik. Pasien
yang stabil dan dirawat dengan baik dapat memulai program home based exercise
training setelah mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan dan instruksi.
Tindak lanjut yang sering dilakukan dapat membantu menilai
manfaat program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga, dan akanme
mungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan yang lebih tinggi jika tingkat kerja
yang lebih rendah dapat ditoleransi dengan baik (Piepolli, 2011).

Menurut Suharsono (2013), intervensi yang dilakukan berupa home based


exercise training berupa jalan kaki selama 30 menit, 3 kali dalam seminggu selama 4
minggu dengan intensitas 40-60% heart rate reserve, dan peningkatan kapasitas
fungsional dilakukan dengan Six Minute Walk Test (6MWT).

2. Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan dengangejala


seperti sesak napas saat beraktivitas dan membaik saat beristirahat, tandaretensi cairan
berupa kongesti pulmoner, edema ekstremitas, serta abnormalitasstruktur dan fungsi
jantung. Keadaan tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi pompa jantung.
Penurunan fungsi pompa jantung dapat terjadi akibat infark miokard, hipertensi kronis,
dan kardiomiopati. Dalam hal ini, jantung mengalami remodelling sel melalui berbagai
mekanisme biokimiawi yang kompleks dan akhirnya menurunkan fungsi jantung.
Metroprolol merupakan salah satu jenis beta blocker yang berfungsi meningkatkan fungsi
jantung dengan menghambat remodelling pada jantung. Metoprolol secara signifikan
meningkatkan fungsi ventrikel dosis tinggi 200 mg (n=48) sebagai terapi antiremodeling,
terbukti dengan penurunan LVESV 14 mL/m2 dan peningkatan EF sebanyak 6% (Amin,
2015).
Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh (Siswanto dkk,
2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup Indikasi pember
-ian penyekat β yaitu:
a.Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA).
c.ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan.
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
e.tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi.cairan berat).

Sedangkan kontra indikasi pemberian penyekat β yaitu:


a. Asma.
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:


1. Inisiasi pemberian penyekat β
2. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
3. Naikan dosis secara titrasi
4. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4minggu.
5. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung,hipotensi
simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit).
6. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β
adalah:
 Hipotensi simtomatik.
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia

3. Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Barofleks Arteri


Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang berdampak
pada kualitas hidup klien. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada
baroreflek arteri.
Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam pengaturan
tekanan darah. Hasil penerapan evidance based nursing , latihan nafas dalam dapat
memberikan pengaruh terhadap sensitivitas barorefleks.
Hasil setelah diberikan intervensi selama seminggu terdapat peningkatan tekanan
darah sistolik dari 80 mmHg menjadi 100 mmHg,
Nilai denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali/menit menjadi 80 kali/menit
dan pada frekuensi pernafasan terjadi penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18kali/menit.
Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan dengan bernafas lambat. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis
yang dapat menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan tekanan darah dan
reflek kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup nafas secara lambat dan dalam.
Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah dalam sistem saraf manusia terdapat system
saraf pusat dan system saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan
gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari.
Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis misalnya
fungsi digestif dan kardiovaskuler. Sistem saraf otonom terdiri dari dua sistem yang
kerjanya saling berlawanan yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Saraf simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh
meningkatkan denyut jantung dan pernapasan serta menimbulkan
penyempitan pembuluh darah perifer dan pembesaran pembuluh pusat.
Saraf parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan
oleh saraf simpatis. Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan yang
bekerja adalah sistem saraf simpatis sehingga denyut jantung, tekanan darah, jumlah
pernafasan,aliran darah keotot sering meningkat (Balady, 2007).

H. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif

1. Mendengarkan Murrotal

Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik di otot,


perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit (Asman,
2008). Perubahan tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan saraf reflektif yang
mengakibatkan terjadinya vasodi-latasi dan peningkatan kadar darah dalam kulit, diiringi
dengan penurunan frekuensi detak jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti
mengaktifan sel- sel tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang
ditangkap oleh tubuh, menurunkan rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan
opioid natural endogen. Opioid ini bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri.

Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui telinga,
kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di telinga dalam serta
menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea. Selanjutnya melalui saraf Koklearis
menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang berperan dalam gelombang suara yaitu jaras
retikuler-talamus, hipotalamus.

Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagian otak yang
mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak
yang berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia. Kemudian melalui Hipotalamus
memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem limbik. Hipotalamus merupakan
pusat saraf otonom yang mengatur fungsi perna-pasan, denyut jantung, tekanan darah,
pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain. Selanjutnya, melalui akson
neuron berdifusi mempersarafi neo-korteks (Qadri, 2003).

Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa mendegarkan


bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan
ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan
kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer. Adapun pengaruh yang terjadi berupa
adanya perubahan arus listrik di otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi
listrik, perubahan pada sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada
kulit. Perubahan tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat
saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan penambahan kadar darah
dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekuensi denyut
jantung.

Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat bahwa mendengarkan ayat-


ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan organ tubuh, serta
memberikan aura positif pada tubuh manusia. Bacaan Al-Quran berefek pada sel-sel dan
dapat mengembalikan keseimbangan. Otak merupakan organ yang mengontrol tubuh, dan
darinya muncul perintah untuk relaksasi tubuh, khususnya sistem imunitas (Rilla, 2014)

I. Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif Menurut Matzo dan
Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi:

a. Praktik di Klinik

Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta


nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan
pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan di
rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan keperawatan,
maka keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat perawat praktikan dengan melakukan
pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan
keilmuannya

b. Pendidik

Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi tentang penatalaksanaan


keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan keluarganya serta semua anggota tim menerima
hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuan/pendidikannya yang meliputi
mengatasi nyeri neuropatik, berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan
resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi,
berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan yang berbeda
dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang
tidak mudah diatasi.

c. Peneliti

Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian dan


memulai pendekatan baru yang ditunjukan pada pertanyaan- pertanyaan penelitian. Perawat
dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.

d. Bekerja sama (collaborator)


Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosial spiritual dan
penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan
mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat
memfasilitasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam pelayanan,
kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya, dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan
lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.

e. Penasihat (Consultan)

Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk
menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien
dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam proses penatalaksanaan perawatan
paliatif sangat penting untuk mengetahui proses asuhan keperawatan dalam perawtan paliatif.
Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek
keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien paliatif dengan menggunakan
pendekatan metodologi proses keperawatan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi
etika profesi dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang mencakup seluruh
proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan
biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (Ilmi, 2016)

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainan
fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan
pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015). Umumnya pasien yang mengalami penyakit ini yang
sudah berada pada fase akhir sulit untuk melakukan aktivitas dan biasanya pasien sudah tidak
kooperatif lagi untuk melakukan berbagai macam hal dalam proses penyembuhan, sehingga
diperlukan peranana perawat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga pasien dalam
proses menjelang ajal dalam keadaan damai.

B. Saran

Diharapkan kepada pembaca makalah ini mengetahui hal apa saja yang dapat dilakukan
dalam melakukan penanganan pada pasien yang menderita penyakit terminal, pasien menjelang
ajal. seorang perawat harus senantiasa memperbarui ilmu pengetahuannya sehingga ketika turun
di lapangan seorang perawat tersebut mampu mengaplikasikannya dalam dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Arovah, N. I. (2010). Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Gagal Jantung.
Medikora (Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga), Vol. 6, No. 1, 11-22. Balady, G. (2007). Core
Components of cardiac rehabilitation/secondary prevetion

programs. Corculation AHA, 115.

Fachrunnisa, & dkk. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KUALITAS TIDUR PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILUR. JOM Vol 2 No 2,
1094-1105.

Ilmi, N. (2016). Analisi Perilaku Perawat dalam Melakukan Perawatan Paliatif Pada pasien
Gagal Ginjal Kronik Du RSI Faisal Makassar Dan RSUD Labuang Baji Makassar. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 66-72.

Jaarsma, T. e. (2009). Palliative care in heart failure: a position statement from the palliative care
workshop of the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. European
Journal of Heart Failure, 433-443.

McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC.

Nicholson, C. (2007). Heart Failure, A Clinical Nursing Handbook. John Willey &

Sons.

Piepolli, M. F. (2011). Exercise training in heart failure: from theory to practice. A consensus
document of the Heart Failure Association and the European Association for Cardiovascular
Prevention and Rehabilitation. European Journal of Heart Failure, Volume 13, Issue 4, 347-357.

Rilla, E. (2014). Terapi Murttal Efektif Menurunkan Tingkat Nyeri Dibandingkan Terapi Musik
Pada Pasien Pasca Bedah. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 17, No.2, Juli 2014, hal 74-80,
74-80.

Suharsono, T. d. (2013). Dampak Home Based Exercise Training terhadap Kapasitas.

Jurnal Keperawatan, Volume 1, No. 1, 12-18.

Wirawan, R. P. (2009). Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer.

Majalah Kedokteran Indonesia, 61-71.

Anda mungkin juga menyukai