Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN

PALIATIF PADA PASIEN CHF

Disusun kelompok :
Fahrizal Amri 1907090
Dwi Sunarji 1907082

PROGRAM STUDI S1 TRANSFER KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KARYA HUSADA SEMARANG
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam
jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007).
Beberapa penyakit yang biasanya menjadi sebuah keharusan dalam perawatan paliatif adalah
penyakit kronik, penyakit infeksi, penyakit menurun seperti penyakit jantung, kanker, gangguan
pernapasan kronik, HIV/AIDS, diabetes dan lainnya. Pada penyakit gagal jantung atau CHF
sangat diperlukan karena perlunya dukungan orang sekitar untuk meminimalisir kekambuhan.
Pada saat ini gagal jantung kongesti merupakan satu-satunya penyakit kariovaskuler yang
terus meningkat insiden dan prevalensinya. Risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara
5- 10 % pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal
jantung kongestif merupakan penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di
Rumah Sakit meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal. (R. Miftah,2004)
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan palatif pada pasien CHF ?
C. Tujuan
Mengetahui asuhan keperawatan paliatif pada passion CHF.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam
jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. (KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007)
Pasien paliatif adalah pasien/orang yang sedang menderita sakit dimana tingkat sakitnya telah
mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat menyembuhkan
lagi. Oleh karena itu, perawatan paliatif bersifat meredakan gejala penyakit, namun tidak lagi
berfungsi untuk menyembuhkan. Jadi fungsi perawatan paliatif adalah mengendalikan nyeri yang
dirasakan serta keluhan-keluhan lainnya dan meminimalisir masalah emosi, sosial, dan spiritual
yang dihadapi pasien. (Tejawinata, 2000)
B. Pengertian CHF
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah dalam mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan
nutrien dan oksigen secara adekuat.
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal. (Mansjoer, 2007)
C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif
Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013). Klasifikasi dari gagal jantung
kongestif yaitu sebagai berikut :
1. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum
ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala
(symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A
umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
2. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya kerusakan
struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung
tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi
sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
3. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan
dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat
berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
4. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun intervensi
khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien yang perlu
dimonitoring secara ketat.
D. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah
jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO = HR X SV dimana curah jantung (CO :
Cardiac Output) adalah fungsi frekwensi jantung (HR : Heart Rate) x volume sekuncup (SV:
Stroke Volume).
Frekwensi jantung adalah fungsi saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, system saraf
simpatis akan mempercepat frekwensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila
mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah
jantung.
Pada gagal jantung, jika satu atau lebih lebih dari ketiga faktor tersebut terganggu, hasilnya
curah jantung berkurang. Kemudahan dalam menenukan pengukuran hemodinamika melalui
prosedur pemantauan invasive telah mempermudah diagnose gagal jantung kongestif dan
mempermudah penerapan terapi farmakologis efektif.(Brunner & Suddarth,2002)
E. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif
CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya ;dipsnea ,ortopnea , pernapasan cheyne-
stoke , paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), asites piting edema ,berat badan meningkat dan
gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak nafas pada malam hari, yang mungkin muncul
tiba-tiba dan menyebabkan penderitaterbangun (udjianti,2011) , munculnya berbagai gejala jenis
pada pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah tidur seperti adanya nyeri dada pada
aktivitas , dispnea pada istirahat atau aktivitas , letargi dan gangguan tidur.
F. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
1. Terapi non farmakologi
a. Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang
sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl
harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai
berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan.
c. Aktivitas fisik
Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal
jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
e. Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab
(Nafrialdi dan Setiawati, 2007).
G. Tahapan perawatan pada pasien CHF
1. Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untuk
memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan pengasuh, dan
didukung manajemen diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang kondisi mereka
termasuk nama, etiologi, pengobatan, dan prognosisnya Pemantauan reguler dan peninjauan
yang tepat sesuai dengan pedoman nasional dan protokol local.
2. Tahap 2: Fase perawatan suportif dan paliatif (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional kunci
diidentifikasi di masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja sama dengan
spesialis gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya Tujuan perawatan bergeser
untuk mempertahankan kontrol gejala dan kualitas hidup yang optimal Sebuah penilaian
holistik dan multidisipliner terhadap kebutuhan pasien dan perawat dilakukan Kesempatan
untuk mendiskusikan prognosis dan kemungkinan penyakit yang diderita secara lebih rinci
disediakan oleh para profesional, termasuk rekomendasi untuk menyelesaikan rencana
perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja didokumentasikan dalam rencana perawatan
jika terjadi kerusakan akut
3. Tahap 3: Fase perawatan Terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan ginjal,
hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung untuk kontrol
gejala dilanjutkan dan status resusitasi diklarifikasi, didokumentasikan, dan dikomunikasikan
kepada semua penyedia perawatan Jalur perawatan terpadu untuk orang yang sekarat dapat
diperkenalkan untuk menyusun perencanaan perawatan Peningkatan dukungan praktis dan
emosional untuk pengasuh disediakan, terus mendukung berkabung Penyediaan dan akses ke
tingkat yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan
perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009)
H. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif
1. Home Based Exercise Training (HBET)
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bed rest yang
bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akut terlewati, pasien berada
pada fase recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatu saran yang kontroversial karena
dapat memicu menurunnya level toleransi aktivitas dan memperberat gejala gagal jantung
seperti sesak disertai batuk. Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan kekuatannya
termasuk dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2013). Pasien gagal jantung biasanya
berpikiran bahwa melakukan aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien
dengan gagal jantung sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebih memilih untuk bed
rest pada fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas
secara bertahap dengan tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula.
Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari akan
mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan kemampuan fungsional. Pada
pasien gagal jantung, kapasitas fungsional sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup pasien.
Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan melakukan latihan fisik.
Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi, dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi
pasien (Suharsono, 2013). Aktivitas dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan
nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga
gejala gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal
dan lebih efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson,
2007). Aktivitas latihan fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk
mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga
dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik
seperti sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010).
Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah satu pilihan latihan fisik
dan alternatif solusi rendahnya partisipasi pasien mengikuti latihan fisik. Pasien yang stabil
dan dirawat dengan baik dapat memulai program home based exercise training setelah
mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan dan instruksi. Tindak lanjut yang sering
dilakukan dapat membantu menilai manfaat program latihan di rumah, menentukan masalah
yang tidak terduga, dan akan memungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan yang
lebih tinggi jika tingkat kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi dengan baik (Piepolli,
2011). Menurut Suharsono (2013), intervensi yang dilakukan berupa home based exercise
training berupa jalan kakiselama 30 menit, 3 kali dalam semingguselama 4 minggu dengan
intensitas 40-60% heart rate reserve, dan peningkatan kapasitas fungsional dilakukan dengan
SixMinute Walk Test (6MWT).
2. Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan dengan gejala seperti
sesak napas saat beraktivitas dan membaik saat beristirahat, tanda retensi cairan berupa
kongesti pulmoner, edema ekstremitas, serta abnormalitas struktur dan fungsi jantung.
Keadaan tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi pompa jantung. Penurunan fungsi
pompa jantung dapat terjadi akibat infark miokard, hipertensi kronis, dan kardiomiopati.
Dalam hal ini, jantung mengalami remodelling sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi
yang kompleks daakhirnya menurunkan fungsi jantung. Metroprolol merupakan salah satu
jenis beta blocker yang berfungsi meningkatkan fungsi jantung dengan menghambat
remodelling pada jantung. Metoprolol secara signifikan meningkatkan fungsi ventrikel dosis
tinggi 200 mg (n=48) sebagai terapi anti remodeling, terbukti dengan penurunan LVESV 14
mL/m2 dan peningkatan EF sebanyak 6% (Amin, 2015).
Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh (Siswanto dkk, 2015) bahwa
penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup Indikasi pemberian penyekat β yaitu:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).
Sedangkan kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu:

a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:

a. Inisiasi pemberian penyekat β


b. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien dekompensasi
secara hati-hati
c. Naikan dosis secara titrasi
d. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan dosis
jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50
x/menit)
e. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β adalah:

a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardia
3. Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Barofleks Arteri
Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang berdampak
pada kualitas hidup klien. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada
baroreflek arteri. Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Hasil penerapan evidance based nursing, latihan nafas dalam
dapat memberikan pengaruh terhadap sensitivitas barorefleks. Hasil setelah diberikan
intervensi selama seminggu terdapat peningkatan tekanan darahsistolik dari 80 mmHg
menjadi 100 mmHg, nilai denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali/menit menjadi 80
kali/menit dan pada frekuensi pernafasan terjadi penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18
kali/menit.
Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan dengan bernafas lambat.
Halini menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis
yang dapat menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan tekanan darah dan reflek
kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup nafas secara lambat dan dalam. Metode
latihan relaksasi nafas dalam adalah dalam sistem saraf manusia terdapat sistemsaraf pusat
dan sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan yang
dikehendaki, misalnya gerakantangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom
berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis misalnya fungsi digestif dan kardiovaskuler.
Sistem saraf otonom terdiridari dua sistem yang kerjanya saling berlawanan yaitu saraf
simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau
memacu organ-organ tubuh meningkatkan denyut jantung dan pernapasan serta
menimbulkan penyempitan pembuluh darah perifer dan pembesaran pembuluh pusat. Saraf
parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf
simpatis. Pada waktuorang mengalami ketegangan dan kecemasanyang bekerja adalah sistem
saraf simpatis sehingga denyut jantung, tekanan darah, jumlah pernafasan, aliran darah
keotot sering meningkat. (Balady, 2007)
I. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif
1. Mendengarkan Murrotal
Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik di otot, perubahan
sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit (Asman, 2008).
Perubahan tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan saraf reflektif yang
mengakibatkan terjadinya vasodi-latasi dan peningkatan kadar darah dalam kulit, diiringi
dengan penurunan frekuensi detak jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti
mengaktifan sel-sel tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang
ditangkap oleh tubuh, menurunkan rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan
opioid natural endogen. Opioid ini bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri.
Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui telinga,
kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di telinga dalam serta
menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea. Selanjutnya melalui saraf Koklearis
menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang berperan dalam gelombang suara yaitu jaras
retikuler-talamus, hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagian otak yang
mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak yang
berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia. Kemudian melalui Hipotalamus
memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem limbik. Hipotalamus merupakan
pusat saraf otonom yang mengatur fungsi perna-pasan, denyut jantung, tekanan darah,
pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain. Selanjutnya, melalui akson
neuron berdifusi mempersarafi neo-korteks (Qadri, 2003).
Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa mendegarkan
bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan
ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan
kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer. Adapun pengaruh yang terjadi berupa adanya
perubahan arus listrik di otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik,
perubahan pada sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit.
Perubahan tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf
reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan penambahan kadar darah dalam
kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekuensi denyut jantung.
Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat bahwa mendengarkan ayat-ayat
Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan organ tubuh, serta memberikan
aura positif pada tubuh manusia. Bacaan Al-Quran berefek pada sel-sel dan dapat
mengembalikan keseimbangan. Otak merupakan organ yang mengontrol tubuh, dan darinya
muncul perintah untuk relaksasi tubuh, khususnya sistem imunitas. (Rilla, 2014)
J. Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif
Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi :
1. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta
nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan
pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan
di rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat perawat praktikan dengan
melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan
berdasarkan keilmuannya
2. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi tentang penatalaksanaan
keperawatan di klinik, mengkaji pasien dan keluarganya serta semua anggota tim menerima
hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuan/pendidikannya yang meliputi
mengatasi nyeri neuropatik,berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan
resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi,
berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan yang
berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak mudah diatasi.
3. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian
dan memulai pendekatan baru yang ditunjukan padapertanyaan-pertanyaan penelitian.
Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
4. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosialspiritual dan
penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan
mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat
memfasilitasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam pelayanan,
kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan
lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.
5. Penasihat (Consultan)
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan
komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-
kebutuhan pasien dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam proses
penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk mengetahui proses asuhan
keperawatan dalam perawtan paliatif.
Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek
keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien paliatif dengan menggunakan
pendekatan metodologi proses keperawatan berpedoman pada standar keperawatan,
dilandasi etika profesi dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang
mencakup seluruh proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan
biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. (Ilmi, 2016)
K. Asuhan Keperawatan Paliatif
1. Pengkajian Psikologis
a. Gejala fisik yang sering dikaitkan dengan depresi mungkin karena penyakit fisik atau
Pengobatannya jadi kurang membantu dalam melakukan diagnosa.
1) Perubahan berat badan / nafsu makan
2) Insomnia
3) Hilangnya energi
4) Kelelahan
5) Lambatnya psikomotor
6) Hilangnya libido
b. Gejala depresi pada pasien perawatan paliatif meliputi :
1) Tingkat keparahan dysphoric yang lebih parah.
2) Perasaan putus asa yang berlebihan, rasa bersalah, tidak berharga.
3) Penarikan sosial; kehilangan kenikmatan dalam aktivitas sehari-hari.
4) Sebuah harapan untuk kematian dini (atau pikiran untuk bunuh diri).
5) Respon positif terhadap pertanyaan "Apakah Anda merasa tertekan?
c. Sosial
1) Kaji aktivitas sehari-hari
2) Kaji apakah masih bekerja atau tidak
3) Kaji apakah hubungan dengan keluarga atau saudara terdekat
2. Pengkajian Spiritual
a. Afiliasi agama
1) Partisipasi agama klien dalam kegiatan keagamaan
2) Jenis partisipasi dalam kegiatan keagamaan
b. Keyakinan / spiritual agama
1) Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi / upacara keagamaan
2) Dalam awal diagnosa pasien dengan CHF akan menyangkal atau tidak terima dengan
penyakit yang di alaminya sehingga pada awal pengobatan pasien akan menolak
semua terapi kesehatan yang di berikan kepadanya sehingga pasien tidak mau
menerima semua pengobatan, tetapi dengan berjalan nya waktu pasien akan mencari
dan menerima terapi terkhusus upacara keagmaan sebagai kebutuhannya.
3) Persepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
4) Strategi koping
c. Pengkajian data subyektif meliputi :
1) Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
2) Sumber harapan dan kekuatan
3) Praktik agama dan ritual
4) Hubungan antara keyakinan dan kondisi kesehatan.
d. Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi :
1) Afek dan sikap
2) Perilaku
3) Verbalisasi
4) Hubungan interpersonal
5) Lingkungan.
3. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler
b. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload/perubahan afterload/perubahan
kontraktilitas
4. Intervensi
a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler (D.0003)
SLKI SIKI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Respirasi (I.01014)
diharapkan pertukaran gas meningkat. 1. Monitor frekuensi irama, kedalaman
Kriterian hasil : (L.01003) dan upaya nafas
1. Dipsnea menurun 2. Monitor pola nafas
2. Bunyi nafas tambahan menurun 3. Monitor kemampuan batuk efektif
3. Pola nafas membaik 4. Monitor nilai AGD
4. PCO2 dan O2 membaik 5. Monitor saturasi oksigen
6. Auskultasi bunyi nafas
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
8. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
9. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
10. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktifitas dan/atau tidur

b. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas (D.0005)


SLKI SIKI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas (I.01011)
diharapkan pola nafas membaik. 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
Kriteria hasil : (L.01004) kedalaman, usaha nafas)
1. Frekuensi nafas dalam rentang 2. Monitor bunyi nafas tambahan (mis:
normal gagling, mengi, Wheezing, ronkhi)
2. Tidak ada pengguanaan otot bantu 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
pernafasan aroma)
3. Pasien tidak menunjukkan tanda 4. Posisikan semi fowler atau fowler
dipsnea 5. Ajarkan teknik batuk efektif
6. Kolaborasi pemberian bronkodilato,
ekspetoran, mukolitik, jika perlu.
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload/perubahan afterload/perubahan
kontraktilitas (D.0008)
SLKI SIKI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan jantung (I.02075)
diharapkan curah jantung meningkat. 1. Identifikasi tanda/gejala primer
Kriteria hasil : (L.02008) penurunan curah jantung
1. Tanda vital dalam rentang normal 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder
2. Kekuatan nadi perifer meningkat penurunan curah jantung
3. Tidak ada edema 3. Monitor intake dan output cairan
4. Monitor keluhan nyeri dada
5. Berikan terapi terapi relaksasi untuk
mengurangi strees, jika perlu
6. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai
toleransi
7. Anjurkan berakitifitas fisik secara
bertahap
8. Kolaborasi pemberian antiaritmia,
jika perlu
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan diskusi dan mencari sumber literature yang dapat dipercaya, gagal jantung
sering juga disebut Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
kondisi jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah dalam mencukupi kebutuhan sel-
sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Intervensi Perawatan Paliatif pada Gagal
Jantung Kongestif yaitu dengan melakukan pengkajian pola nafas, dukungan psikologis,
mengkaji nyeri dan melakukan intervensi Home Based Exercise Training (HBET), Terapi
Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada Gagal Jantung, Latihan Nafas Dalam Terhadap
Sensitivitas Barofleks Arteri.
B. Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat atau pembaca
dalam melakukan perawatan paliatif pada pasien dengan gagal jantung kongestif serta selalu
memberi dukungan psikologis bagi para penderita gagal jantung kongestif.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart.2002.Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8.Vol 2. Jakarta: EGC

Carepenito, L.J.2009.Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Jakarta:EGC

Cemy Nur Fitria. 2010. Jurnal Palliative Care pada Penderita Penyakit Terminal. Diakses Tanggal 17
Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai