Anda di halaman 1dari 51

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN TEORI ROY PADA KASUS CHF

TUGAS MATA KULIAH


KMB LANJUT 1

KELOMPOK 2

I NYOMAN ARYA MAHA PUTRA (1506805263)


DWI KARTIKA RAHAYUNINGTYAS (1606859342)
INDARGAIRI (1606859481)
MEGAWATI (1606947490)
RUTH BERLIAN M.T.S. (1606859733)
BUDI SANTOSO (1606859704)
DESTIAWAN EKO (1606859815)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI PASCASARJANA ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
SEPTEMBER 2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem kardiovaskular mempunyai peranan penting pada kehidupan


manusia terutama fungsi dari jantung sendiri. Menurut Depkes (2014), Setiap
tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena Penyakit Tidak Menular
(PTM) (63% dari seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan
oleh penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian
“dini” tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan


oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum
usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan
oleh penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi
sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah.

Secara global Penyakit Tidak Menular penyebab kematian nomor satu


setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah
penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah,
seperti:Penyakit Jantung Koroner, Hipertensi, Stroke dan Penyakit Gagal jantung
(CHF)

Congestive heart failure (CHF) merupakan keadaan abnormal dimana


terdapat gangguan fungsi jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan jantung
dalam memompa darah keluar untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh waktu i s t i r a h a t
maupun aktivitas n o r m a l . Banyak faktor risiko terjadinya CHF
diantaranya hipertensi, diabetes mellitus, kehamilan, anemia, gangguan paru-paru,
gangguan hormon tyroid, faktor usia, pola hidup dan lain sebagainya. Penanganan
klien dengan CHF tidak terlepas dari peran perawat, karena perawatlah dalam 24
jam yang terus memantau keadaan dan perkembangan klien yaitu dalam
memenuhi kebutuhan dasar klien dan meningkatkan harapan hidup klien melalui
pemantauan yang ketat.

Menurut Mary dkk (2008), pada pasien CHF dilakukan pengkajian secara
subjektif dan obejektif.Secara subjektif meliputi dyspnea, batuk, ortopnea, berat
badan bertambah, edema kaki, pusing, bingung, cepat lelah, nyeri angina atau
abdominal, cemas pengetahuan tentang penyakit dan mekanisme koping.
Sedangkan secara objektif adanya gawat napas: dispnea, banyak memakai otot
pernapasan, distensi vena jugularis, ada bunyi napas adventisius, bunyi jantung,
irama gallop, edema lokasi dan beratnya pitting edema, ekstremitas teraba dingin,
perubahan nadi, berat badan bertambah, serta perubahan tingkat kesadaran.
Salah satu teori keperawatan yang dapat digunakan dalam pengkajian
Congestive Heart Failure(CHF) adalah teori adaptasi roy. Perawat memberikan
peran penting dalam membantu individu yang sakit atau sehat untuk mengatasi
berbagai stres baru, menuju kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas
hidup mereka melalui adaptasi. Model Adaptasi Roy (Roy & Andrews , 1991)
memberikan kerangka kerja yang efektif untuk menangani kebutuhan adaptasi dari
individu, keluarga, dan kelompok. Model konseptual Roy berpusat pada
kemampuan seseorang dalam berespon secara efektif terhadap stimulus dari
lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman sebagai dasar
pemilihan dan pembentukan mekanisme koping yang ditampilkan. Teori ini
menjelaskan bagaimana individu/klien mampu meningkatkan kesehatannya
dengan mempertahankan perilaku secara adaptif dan merubah perilaku yang
maladaptif (Roy,1981 dalam Tommey & Alligood, 2014). Berdasarkan uraian di
atas, penulis akan membahas pengkajian keperawatan pada kasus Congestive
Heart Failure dengan menggunakan teori adaptasi roy.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengaplikasikanteori Model Adaptasi Roy pada klien dengan Congestive
Heart Failure

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mampu memahami konsep dasar Congestive Heart Failure
b. Mampu memahami konsep model adaptasi Roy
c. Mampu menerapkan teori Model Adaptasi Roy pada pengkajian kasus
Congestive Heart Failure
d. Mampu menerapkan teori Model Adaptasi Roy padadiagnosakasus
Congestive Heart Failure
e. Mampu menerapkan teori Model Adaptasi Roy padaperencanaan kasus
Congestive Heart Failure
f. Mampu menerapkan teori Model Adaptasi Roy padaimplementasikasus
Congestive Heart Failure
g. Mampu menerapkan teori Model Adaptasi Roy pada evaluasi kasus
Congestive Heart Failure
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep CHF


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi CHF
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah
kumpulan gejala (syndrome) yang merupakan reaksi fisiologis akibat
jantung tidak mampu lagi memompa darah untuk mencukupi sirkulasi darah
ke seluruh tubuh (Smeltzer, 2010).

Pada tahun 2001, The American Heart Association (AHA) dan


American College of Cardiology (ACC) mengembangkan tahapan heart
failure. Tahapan ini diperbaharui pada tahun 2005 yang menjelaskan bahwa
heart failure biasanya merupakan penyakit yang timbul secara progresif dan
memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Stage CHF menurut AHA dan
ACC (2005):
1. Stage A (beresiko): pasien dengan kondisi medis yang dapat
menyebabkan gagal jantung (DM, hipertensi, obesitas, dll).
2. Stage B (penyakit jantung): pasien yang didiagnosis dengan penyakit
jantung (serangan jantung, penyakit katup).
3. Stage C (gejala): pasien dengan penyakit jantung dan beberapa
keterbatasan aktivitas fisik karena sesak nafas/kelelahan.
4. Stage D (berat): stadium akhir gagal jantung dan butuh perawatan rumah
sakit.

Menurut kriteria Framingham (2005) diagnosis dari gagal jantung


didasarkan atas 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor saat bersamaan.
Kriteria mayor:
1. Paroksimal nokturnal dispnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Rhonki basah
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena > 16 cmH2O
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea de effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital menurun menjadi ½ maksimum
7. Takikardi

Berdasarkan gejala sesak yang terjadi, New York Heart Association (NYHA)
membagi gagal jantung kongestif menjadi 4 kelas, yaitu:

Kelas 1: Berupa penyakit ringan dan masih dapat melakukan aktivitas biasa.
Ketika melakukan aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala lelah,
palpitasi, sesak nafas atau angina.
Kelas 2: Aktivitas fisik sedikit terbatas. Ketika melakukan aktivitas biasa
dapat menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina
tetapi akan merasa nyaman ketika istirahat.
Kelas 3: Ditandai dengan keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan
aktivitas. Ketika melakukan aktivitas yang sangat ringan dapat
menimbulkan lelah, palpitasi, sesak nafas.
Kelas 4: Keluhan-keluhan seperti gejala insufisiensi jantung atau sesak nafas
sudah timbul pada waktu pasien beristirahat. Keluhan akan semakin
berat pada aktivitas ringan.
Ternyata kelas NYHA bersifat reversible artinya pasien dapat naik kelas dari
kelas II ke III, namun dapat juga turun kelas dari III menjadi II setelah
pengobatan.Akan tetapi kerusakan struktur jantung bersifat ireversibel
artinya sekali rusak maka tetap rusak.Sedangkan proses yang menimbulkan
kerusakan struktur jantung berlangsung lambat (kecuali pada miokard infark
akut), maka American Collage of Cardiology/American Heart Associatoin
2005 Guidelines Update membagi gagal jantung menjadi 4 tingkat (stage)
menurut keparahan yaitu:
a. Pasien memiliki risiko menderita gagal jantung namun belum ada tanda-
tanda gagal jantung misalnya penderita PJK, DM, Kardiomiopati, dan
hipertensi. Penanganan yang baik dari penyakit-penyakit ini dapat
mencegah terjadinya gagal jantung.
b. Pasien menderita structural heart disesase. Namun belum ada tanda-
tanda gagal jantung misalnya infark miokard, LVH atau penyakit katup
jantung. Penanggulangan yang tepat penyakit ini dengan ACE inhibitor,
β-blockers atau operasi katup efektif untuk mencegah timbulnya gagal
jantung.
c. Pasien menderita structural hearts disease dengan gejala gagal jantung.
Penanganan yang lebih agresif dengan ACE-inhibitor, β-blockers,
diuretik, angiotensin reseptor blockers (ARB) dan perubahan pola
hidup akan meringankan gejala.
d. Gagal jantung yang refrakter walaupun telah mendapat terapi maksimal.
Pada golongan ini maka dibutuhkan intervensi khusus seperti
transplantasi jantung, pemberian obat inotropic kronis dan permanen
mekanikal support.
2.1.2 Etiologi CHF
Penyebab gagal jantung kongestif diantaranya adalah:
1. Kelainan otot jantung
Kelainan otot jantung ini merupakan penyebab terbanyak yang akan
menurunkan kontraktilitas jantung. Kondisi penyebab kelainan fungsi
otot ini adalah aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
otot degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Kondisi ini menyebabkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis karena
penumpukan asam laktat. Infark miokardium biasanya tanda terjadinya
gagal jantung.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Hipertensi sistemik atau pulmonal akan meningkatkan beban kerja
jantung sehingga mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung
(hipertropi miokard). Sebenarnya hipertropi miokard termasuk
mekanisme kompensasi karena meningkatnya kontraktilitas jantung.
Tetapi hipertropi otot jantung ini tidak berfungsi normal sehingga terjadi
gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Kondisi ini merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
5. Penyakit jantung lain
Penyakit jantung yang sebenarnya tidak mempengaruhi jantung secara
langsung, seperti gangguan aliran darah melalui jantung (ex: stenosis
katup semiluner), ketidakmampuan jantung mengisi darah (ex:
tamponade perikardium, perikarditaskonstriktif, stenosis katup AV),
pengosongan jantung abnormal (ex: insufisiensi katup AV),
peningkatan mendadak afterload karena meningkatnya tekanan darah
sistemik (hipertensi ’maligna’ menyebabkan gagal jantung meski tidak
ada hipertropi miokardial.

6. Faktor Sisitemik
Meningkatnya laju metabolisme (ex: demam, tirotoksikosis), hipoksia
dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia/anemia dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorius & metabolik) serta
abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Disritmia jantung dapat terjadi secara sendirinya atau sekunder akibat
gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

2.1.3 Mekanisme Kompensasi CHF


a. Dilatasi Ventrikel
Membesarnya ruang jantung terutama ventrikel. Hal ini terjadi
ketika tekanan di ventrikel meningkat secara terus menerus. Serabut otot
jantung meregang yang kemudian akan meningkatkan kekuatan
kontraksinya. Peningkatan kontraksi ini akan memicu peningkatan
Cardiac output dan mempertahankan tekanan arteri dan perfusinya.
Pada akhirnya mekanisme ini menjadi inadekuat karena elemen elastik
dari serabut otot terlalu tegang dan terlalu meregang. Kekuatan
kontraksi akan bertahap melemah.
b. Hipertropi ventrikel
Adalah bertambahnya massa otot dan ketebalan dinding jantung
sebagai respon terhadap kerja otot jantung yang lebih berat. Kompensasi
ini terjadi secara lambat karena membutuhkan waktu untuk terjadinya
penambahan jaringan massa otot. Biasanya terjadi mengikuti dilatasi
ventrikel yang persisten/menetap. Sampai batas tertentu, penambahan
massa otot ini masih dapat memperkuat kontraksi yang akan memicu
peningkatan Cardiac output.
Namun bagaimanapun juga, membesarnya massa otot lambat laun
akan menimbulkan penurunan kontraktilitas jantung yang akhirnya
berdampak pada kegagalan jantung untuk melakukan kompensasi
tubuh.
c. Aktivasi sistem saraf simpatis
Stroke Volume & Cardiac Output yang rendah akan mengaktivasi
sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan pelepasan epinefrin &
norepinefrin. Kehadiran neurotransmitter ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan denyut jantung, kontraksi miokard dan
konstriksi perifer yang kesemua itu akan memicu peningkatan Cardiac
output. Namun kondisi ini juga akan menyebabkan peningkatan
kebutuhan jantung akan oksigen (O2). Kerja yang lebih berat dapat
membuat jantung lebih lemah. Vasokonstriksi selain dapat
meningkatkan aliran darah, juga dapat meningkatkan aliran balik vena
(venous return), sementara sudah terjadi overload di ventrikel, maka
akan dapat memperburuk keadaan dan menyebabkan terjadinya
kompensasi gagal jantung.
d. Respon Hormonal
Ketika cardiac output menurun, maka akan menurunkan pula
aliran darah ke ginjal. Sebagai responnya, ginjal akan melepaskan Renin
yang akan mengubah Angiotensinogen di pembuluh darah menjadi
Angiotensin. Aktifnya Angiotensin akan menyebabkan: (1) memicu
korteks adrenal untuk melepaskan Aldosteron yang akan menimbulkan
retensi natrium, (2) meningkatkan vasokonstriksi perifer yang akan
meningkatkan tekanan arteri. Peningkatan tekanan osmotik juga akan
menstimulus kelenjar Pituitary untuk melepaskan Antidiuretik hormon.
Kondisi respon hormonal tersebut akan menyebabkan terjadinya retensi
cairan dalam tubuh sehingga diharapkan cardiac output kembali normal.
Namun jika kondisi ini berlangsung secara terus menerus maka bisa
menyebabkan peningkatan beban kerja jantung. Jantung akan semakin
berat bekerja untuk berkontraksi memompa retensi cairan yang terjadi.
Kondisi ini akan memperburuk kerja jantung yang akhirnya
menyebabkan jantung gagal berkompensasi.
2.1.4 Patoflow CHF (lihat bagan)
PATOFLOW CHF

Ateriosklerosis Koroner Hipotensi Penyakit Miokardium Degeneratif Laju Metabolisme Meningkat(Demam), Hipoksia, Anemia

Aliran darah ke otot jantung terganggu Beban kerja jantung meningkat Serabut otot jantung rusak Suplai O2 ke jantung menurun

Hipoksia miokard Hipertrofi Miokard

Infark Miokard

Kontraktilitas Miokard menurun

Penurunan Curah Jantung

Gagal jantung kanan Gagal Jantung kiri

Jantung Kanan tidak mampu mengosongkan darah


Nutrisi jaringan dan organ kurang

Bendungan Atrium kanan Metabolisme terganggu

Bendungan Vena Energi tubuh menurun

Darah terbendung di vena ekstremitas bawah Posisi baring malam hari Terjadi glikolisis dan glukoneogenesis

Kurang nutrisi
Peningkatan vena portal Edema Perifer Statis perifer Peningkatan bendungan Penatalaksanaan medis

Cairan terdorong keluar Peningkatan tek. Volume obat diuretik


Peningkatan Vol Gangguan
cairan Tubuh perfusi
Rongga abdomen Cairan terdorong ke Aorta Efek diuresis
jar.perifer
Ascites Paru - paru
Kehilangan
Menekan diagfragma Edema Paru Meningkat Na, K

Disstress Pernafasan Batuk malam hari

Pola nafas tidak


efektif Gangguan Pola
tidur
Gagal Jantung Kiri

Forward Failure Backward Failure

LVED Naik

Suplai darah jar. Suplai O2 otak Renal Flow Tekanan vena pulmonalis meningkat

Metab. Anaerob Sinkop RAA Tekanan kapiler paru meningkat

Asidosis Metabolik Aldosteron meningkat


Penurunan
perfusi jaringan
Penimbunan As. Laktat ADH Meningkat Edema paru Beban ventrikel kanan meningkat

& ATP Retensi Na +H2O Ronkhi basah

Iritasi mukosa paru Hipertropi ventrikel kanan


Kelebihan Volume Cairan
Fatique Refleks batuk menurun Penyempitan lumen ventrikel kanan
Vaskular
Penumpukan sekret Penyempitan lumen ventrikel kanan
Intoleransi Aktivitas
(Pemenuhan ADL)

Gangguan pertukaran gas


2.1.4 Manifestasi Klinis CHF
Manifestasi klinis gagal jantung kanan antara lain :
1. Pembesaran ventrikel kanan
2. Murmur
3. Edema perifer, terlokalisir, anasarka
4. Peningkatan BB
5. Peningkatan HR
6. Asites
7. Distensi venajugularis
8. Hepatomegali
9. Efusi pleura
Manifestasi klinis gagal jantung kiri antara lain :
1. Pembesaran ventrikel kiri
2. Pernafasan cheyne-Stokes
3. Pulsus alternans
4. Peningkatan HR
5. Hipertropi ventrikel kiri
6. Pertukaran O2 buruk
7. Crackles
8. Bunyi jantung S3 dan S4

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Tes Laboratorium
Tes laboratorium dilakukan untuk membantu diagnosa infark miokard
akut (angina pektoris yaitu nyeri dada akibat kekurangan suplai darah
ke jantung, tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan darah dan
urine). Untuk Mengukur abnormalitas kimia darah yang dapat
mempengaruhi prognosis pasien jantung. Mengkaji derajat proses
radang, Skrining faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit arteri
koronaria aterosklerosis. Menentukan nilai dasar sebelum intervensi
terapeutik. Mengkaji kadar serum obat. Mengkaji efek pengobatan.
Skrining terhadap segala abnormalitas. Tes laboratorium dilakukan
untuk menguji beberapa kandungan berikut:
a. Enzim Jantung
Analisa enzim jantung dalam plasma merupakan bagian dari profil
diagnostik yang meliputi riwayat, gejala, dan elektrokardiogram
untuk mendiagnosa infark miokard. Enzim dilepaskan dari sel bila
sel mengalami cedera dan membrannya pecah. Kreatinin kinase
(CK) dan isoenzimnya (CK-MB) adalah enzim paling spesifik yang
dianalisa untuk mendiagnosa infark jantung akut dan merupakan
enzim pertama yang meningkat. Laktat dehidrogenase(LDH) dan
isoenzimnya juga perlu diperiksa pada pasien yang datang
terlambat berobat, karena kadarnya baru meningkat dan mencapai
puncaknya pada hari ke 2 sampai 3 hari, jauh lebih lambat dari CK.
b. Kimia Darah
1) Profil lemak. Kolesterol total, trigliserida dan lipoprotein diukur
untuk mengukur resiko aterosklerotik, khususnya bila ada
riwayat keluarga yang positif, atau untuk mendiagnosa
abnormalitas lipoprotein tertentu. Kolesterol serum total yang
meningkat di atas 200 mg/ml merupakan prediktor peningkatan
resiko penyakit jantung koroner (CAD).
2) Elektrolit serum. Elektrolit serum mempengaruhi prognosis
pasien dengan infark miokard akut atau setiap kondisi jantung.
Natrium serum mencerminkan keseimbangan cairan relatif.
Secara umum, hiponatremia menunjukkan kelebihan cairan dan
hipernatremi menunjukkan kekurangan cairan. Kalsium sangat
penting koagulasi darah dan aktivitas neuromuskuler.
3) Kalium serum. Dipengaruhi oleh fungsi ginjal dan dapat
menurun akibat bahan diuretik yang sering digunakan untuk
merawat gagal jantung kongestif.
4) Nitrogen urea darah (BUN), adalah produk akhir metabolisme
dan diekskresikan oleh ginjal. Pada pasien ginjal, peningkatan
BUN dapat mencerminkan penurunan perfusi ginjal (akibat
penurunan curah jantung) atau kekurangan volume cairan
intravaskuler (akibat terapi diuretik).
5) Glukosa. Glukosa serum harus dipantau karena kebanyakan
pasien jantung juga menderita diabetes mellitus (DM).

2. Sinar-X dan Fluoroskopi


Pemeriksaan ini tidak membantu diagnosa infark miokard akut namun
dapat menguatkan adanya komplikasi tertentu (misal, gagal jantung
kongestif).Pemeriksaan fluoroskopi dapat memberikan gambaran visual
jantung pada luminescent x-ray screen. Fluoroskopi adalah alat yang
tepat untuk penempatan dan pemasangan elektroda pemacu intravena
serta untuk membimbing pemasukan kateter pada katerisasi jantung.

3. Elektrokardiogram (EKG)
EKG terutama sangat berguna untuk mengevaluasi kondisi yang
berbeda dengan fungsi normal, seperti gangguan kecepatan dan irama,
gangguan hantaran, pembesaran kamar-kamar pada jantung, adanya
infark miokard, dan ketidakseimbangan elektrolit.

4. Tes Toleransi Latihan


Tes toleransi latihan adalah cara noninvasif untuk mengkaji berbagai
aspek fungsi jantung. Tes ini digunakan untuk berbagai keperluan,
yaitu: Membantu mendiagnosa penyebab nyeri dada, Menapis penyakit
jantung iskemi, menentukan kapasitas fungsional jantung setelah MI
atau setelah pembedahan jantung, mengkaji efektivitas terapi
pengobatan antiangina dan antidisritmia, membantu pengembangan
program kesegaran jasmani.
Tes ini dilakukan dengan cara pasien berjalan pada ban berjalan, sepeda
statis, naik turun tangga. Pasien dilatih dengan meningkatkan kecepatan
berjalan dan mencondongkan ban berjalan atau meningkatkan beban
sepeda statis. Elektroda EKG dipasang pada pasien, dan pencatatan
dilakukan sebelum, selama, dan setelah latihan. Tes harus dihentikan
segera bila pasien mengalami nyeri dada, kelelahan yang berlebihan,
penurunan tekanan tekanan darah dan denyut nadi, perubahan EKG
maligna, atau komplikasi lain.

5. Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung biasanya dilakukan bersama angiografi yaitu suatu
teknik memasukkan media kontras ke dalam sistem pembuluh darah
untuk menggambarkan jantung dan pembuluh darah. Empat tempat
yang sering digunakan untuk angiografi yaitu aorta, arteri koronaria, dan
sisi kanan dan kiri jantung.

6. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah tes ultrasound non invasif yang digunakan untuk
memeriksa ukuran, bentuk, dan pergerakan struktur jantung.
Ekokardiografi merupakan tes yang sangat aman, non invasif, yang
mampu memberikan data yang mirip dalam beberapa hal dengan data
yang diperoleh melalui angiografi. Alat ini sangat berguna untuk
mendiagnosa dan membedakan berbagai bunyi murmur jantung. Teknik
ekokardiografi yang terbaru dilakukan dengan memasukkan transduser
kecil melalui mulut ke esofagus.Teknik ini, yang dinamakan
ekokardiografi transesofageal (TEE), mampu menghasilkan gambar
yang lebih jelas karena gelombang ultrasound sedikit melalui jaringan.

7. Pencitraan Radionuklida
Pemeriksaan radionuklida sangat berguna untuk mendeteksi infark
miokard dan penurunan aliran darah miokardium, dan untuk
mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.Radioisotop diinjeksi secara
intravena, dan dilakukan pemindaian dengan menggunakan kamera
skintilasi gamma.
a. Pencitraan perfusi miokardium
Talium-201 dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi
diagnosa gangguan perfusi miokardium.Talium yang
terkonsentrasi pada jaringan miokardium normal namun tidak
pada jaringan iskemik atau nekrotik, sangat sensitif untuk
mendeteksi MI akut dalam 6 jam.
b. Evaluasi fungsi ventrikel dan gerakan dinding.
Equilibrium radionuclide angiocardigraphy (ERNA), juga
dikenal sebagai pemindaian multiple-gated acquisition
(MUGA), merupakan teknik noninvasive biasa yang
menggunakan kamera skintilasi konvensional dan diinterfase
dengan komputer untuk menampilkan gambar jantung selama
denyut jantung.
c. Tomografi emisi positron.
Positron emission tomography (PET) adalah pemindahan
noninvasif yang digunakan di masa lalu terutama untuk
mempelajari disfungsi neurologis.

8. Tes Elektrofisiologis
Pemeriksaan elektrofisiologis (EPS) adalah proedur serial diagnostik
noninvasif yang dilakukan berdasarkan hasil laboratorium untuk
mencatat aktivitas listrik jantung selama irama sinus dan
disrirmia.Tes ini paling sering dilakukan untuk menetukan titik awal
(fokus iritabel) pada disritmia, palpitasi dan sinkop yang tidak dapat
dijelaskan. EPS digunakan untuk mengevaluasi kebutuhan perlunya
pemasangan pacu jantung atau implantable cardioverter defibrilator
(ICD).uji ini juga digunakan untuk menentukan tempat dan (bila
perlu) menghancurkan fokus aritmogenik.

9. Pemantauan Hemodinamika
Pemantauan hemodinamik meliputi penggunaan kateter invasif yang
diletakkan dalam sistem vaskuler pasien untuk memantau fungsi
jantung, volume darah dan sirkulasi secara dekat.Pasien yang
memerlukan pemantauan hemodinamik biasanya sakit kritis dan berada
dalam ruang perawatan intensif, meskipun beberapa pasien stabil berada
dalam ruang perawatan intermediet dipasang kateter tekanan vena
sentral atau arteri.
a. Pemantauan tekanan vena sentral (CVP)
Adalah tekanan di dalam atrium kanan dan dalam vena-vena besar di
thoraks.CVP berperan sebagai pemandu pemberian cairan pada
pasien sakit serius dan sebagai pengukur volume efektif darah yang
beredar.CVP adalah pengukuran yang bersifat dinamis dan selalu
berubah.
b. Pemantauan tekanan arteri pulmonal (PA)
Kateterisasi arteri pulmonalis merupakan alat pengkajian yang sangat
berguna untuk mengukur dan menghitung berbagai tekanan
intrakardiak sisi kanan dan kiri secara efektif.Pasien dengan kateter
arteri pulmonalis hanya dipantau di unit perawatan kritis dan tidak
boleh dilakukan di unit perawatan medis bedah umum.Komplikasi
pemantauan arteri paru meliputi infeksi, ruptur arteri paru,
tromboemboli paru, infark paru, kateter melipat, disritmia, dan
emboli udara.
c. Pemantauan tekanan arteri sistolik
Pemantauan intraarteri digunakan untuk memperoleh tekanan darah
langsung dan berkesinambungan pada pasien yang menderita
tekanan darah sangat tinggi atau hipotensi.Kateter arteri juga sangat
berguna untuk memperoleh gas darah arteri dan sampel darah
serial.Pemantauan intraarteri biasanya hanya dibatasi pada perawatan
kritis.

2.1.7 Penatalaksanaan CHF


1. Terapi Non Farmakologi
Terapi ini dapat berupa:
a. Pemberian diet, Pasien gagal jantung dengan obesitas harus diberi
diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan
berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 gr/hari
untuk gagal jantung ringan, atau < 2 gr/hari untuk gagal jantung
berat.
b. Merokok harus dihentikan.
c. Aktivitas, olah raga yang teratur seperti berjalan dan naik sepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA Kelas II-
III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d. Istirahat dianjurkan untuk gagal jantung akut dan gagal jantung
tidak stabil (NYHA Kelas IV).

2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis antara lain:
a. Diuretik digunakan untuk mengendalikan retensi natrium dan air,
diantaranya Furosemid 40mg/hari, dan Bumetamide 1mg/hari.
b. Inhibitor ACE dapat menghambat perubahan Angiotensin I menjadi
Angiotensin II, menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah.
c. Bloker Beta seperti Bisoprolol, Carvedilol, yang dimulai dari dosis
yang sangat rendah dan bisa ditambahkan untuk menurunkan
aktivitas simpatis yang berlebihan dan mendorong remodeling otot
jantung.
d. Digoksin, diindikasikan untuk mengendalikan fibrilasi atrium yang
terjadi bersamaan

Menurut Peter Kabo (2010), konsep terapi farmakologis saat ini ditujukan
untuk :
a. Menurunkan preload melalui pemberian diuretic termasuk aldosterone
reseptor antagonis dan nitrat.
Diuretik dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi cairan
tubuh.Diuretikyang sering digunakan ialah Thiazid, Furosemid (loop
diuretic), dan spironolakton (potassium sparing, anatgonis
aldosterone).Hydro-Cloro Thiazide (HCT) dan Spironolakton
dianjurkan terutama pada gagal jantung NYHA kelas II.Apabila kondisi
memburuk baru diberikan Furosemide.Kontraindikasi pemberian
diuretik ialah: tamponade jantung, infark miokard ventrikel kanan,
hepatic failure, hipoklaemia dan hipersensitif.
Nitrat ISDN, Cedocard, Farsobid, pemberian nitrat sangat berguna bagi
gagal jantung yang juga memiliki riwayat penyakit jantung koroner.
Atau bagi mereka yang telah menerima furosemide dosis tinggi namun
belum mampu mengatasi syndrome gagal jantung.Pemberian nitrat
selalu harus dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk mencegah
sinkope.Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena
daripada dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulkan nitrat
menurunkan pre load sehingga menurunkan ukuran ruang atrium kanan
dan kiri serta tekanan akhir diastolic, dengan demikian meningkatkan
perfusi miokard. Efek lainnya bisa menurunkan TD sedikit, kadang
menyebabkan reflek takikardia, nyeri kepala atau hot flush di
muka.Nitrat juga dibuktikan menyebabkan dilatasi arteri koronaria yang
besar dan juga arteri koronaria yang mengalami stenosis.
b. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan
kontraktilitas miokard) melaluipemberian digitalis, ibopamin, β-
blockers generasi ketiga atau fosfodiesterase inhibitor. Obat inotropic
hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan kontraktilitas.
c. Menurunkan after load (bagi yang terjadi peningkatan afterload)
d. Mencegah miokardial remodeling dan menghambat progresifitas gagal
jantungdengan ACE inhibitor dan ARB.
e. Memperbaiki metabolisme energi miokard dengan Carnitine, Ko-
Enzim Q10, D-ribose, magnesium dan vitamin-vitamin.

2.2 Konsep Sentral Adaptasi Menurut Sister Callista Roy

2.2.1 Teori Adaptasi Sister Calista Roy


Pengembangan model adaptasi Roy didasari oleh asumsi filosofis
dan ilmiah yang mendasari konsep dari model adaptasi. Adaptasi dipandang
sebagai proses dan hasil, dimana pemikiran dan perasaan seseorang, baik
sebagai individu maupun kelompok, menggunakan kesadarannya dan
memilih untuk menciptakan manusia dan lingkungan yang berintegrasi (
Callista Roy, 2008, hal 138 ). Menurut Roy (1991) sebagai penerima asuhan
keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang
dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan.
Sistem adalah Suatu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya
sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan
dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol
dan umpan balik (Roy, 1991), yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat
menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus
fokal, kontekstual dan stimulus residual.
1) Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi.
2) Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami
seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi
dan dapat diobservasi, diukur dan secara subjektif dilaporkan.
Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat
menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia,
isolasi sosial.
3) Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan
dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi
kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman
yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya
pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang
tidak.

b. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping
yang digunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan
kognator yang merupakan subsistem.
1) Subsistem regulator.
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen: input-proses
dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter
regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom
adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang
diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak
proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator
subsistem.
2) Subsistem kognator.
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.
Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus
umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses
berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,
penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan
dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan
mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement
(penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang
berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses
pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian
dan kasih sayang.

c. Output.
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat di amati, diukur
atau secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun
dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy
mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon
yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila
seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan
keunggulan.Sedangkan respon yang maladaptif perilaku yang tidak
mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk
menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa
mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel
darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti
penggunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan
konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang
disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan
bagian subsistem adaptasi.Dalam memelihara integritas seseorang,
regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama.
Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme
koping.Penggunaan mekanisme koping yang maksimal
mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang
stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator,
Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka
untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator
sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy.
Skematik keterkaitan konsep stimulus, proses, efektor dan output
dalam model adaptasi Roy dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema Model Adaptasi Roy

Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai


sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi
meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
1. Pengkajian Fungsi Fisiologi
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.
Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus
dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua
bagian, pengkajian fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5
kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari
4 bagian yaitu :
a. Oksigenasi: kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu
ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam Roy
1991).
b. Nutrisi: mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk
mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti
jaringan yang rusak. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991).
c. Eliminasi: yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan
ginjal. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)
d. Aktivitas dan Istirahat: kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan
istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis
dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-komponen
tubuh. (Cho,1984 dalam Roy, 1991).
e. Proteksi/Perlindungan: sebagai dasar pertahanan tubuh termasuk
proses imunitas dan struktur integumen (kulit, rambut dan kuku)
dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan
perubahan suhu. (Sato, 1984 dalam Roy 1991).
f. Sensasi /perasaan: penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau
memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi
nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan. (Driscoll,
1984, dalam Roy, 1991).
g. Cairan dan elektrolit: keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya
termasuk air, elektrolit, asam basa, ekstrasel dan fungsi sistemik.
Sebaliknya inefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit. (Parly, 1984, dalam Roy 1991).
h. Fungsi Saraf /neurologis: merupakan bagian integral dari regulator
koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk
mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan
proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ
tubuh (Robertson, 1984 dalam Roy, 1991).
i. Fungsi endokrin :aksi endokrin adalah pengeluaran hormon sesuai
dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi
fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan
dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme
(Howard & Valentine dalam Roy,1991).
2. Pengkajian Konsep Diri
Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan
penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia.
Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara
lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut
Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.
The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya
berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.Kesulitan
pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah
operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas.The personal self,
yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-etik dan spiritual
diri orang tersebut.Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut
merupakan hal yang berat dalam area ini.
3. Pengkajian Fungsi Peran
Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran
primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat
memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya.
4. Pengkajian Interdependensi
Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang
dijabarkan oleh Roy.Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan
menerimacinta/kasihsayang,perhatiandansaling
menghargai.Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan
dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan
ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.
Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan
tindakan bagi dirinya.Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan
antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.

2.2.2. Paradigma Keperawatan Menurut Sister Calista Roy


Empat Elemen utama dari teori Roy adalah: 1) Manusia sebagai
penerima asuhan keperawatan, 2) Konsep lingkungan, 3) Konsep sehat
dan, 4) Keperawatan. Dimana antara keempat elemen tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain karena merupakan suatu sistem.
a. Manusia
Manusia merupakan fokus utama yang perlu diperhatikan
karena manusialah yang menjadi penerima asuhan keperawatan, baik
itu individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat, yang
dipandang sebagai “Holistic Adaptif System”. Dimana “Holistic
Adaptif System“ ini merupakan perpaduan antara konsep sistem dan
konsep adaptasi.
Konsep SistemRoy memandang manusia sebagai mahluk
holistik yang dalam sistem kehidupannya akan selalu berinteraksi
dengan lingkungannya, dimana diantara keduanya akan terjadi
pertukaran informasi, “matter” dan energi.
Manusia sebagai suatu sistem terbuka, yang terdiri dari input
berupa stimulus dan tingkatan adaptasi, output berupa respon
perilaku yang dapat menyediakan feed back/umpan balik dan proses
kontrol yang diketahui sebagai mekanisme koping (Roy and Andrew,
1991 dalam Nursing Theory; 254)
Output dalam sistem adaptasi ini berupa respon perilaku
individu yang dapat dikaji oleh perawat baik secara objektif maupun
subjektif.Respon perilaku ini dapat menjadi umpan balik bagi
individu maupun lingkungannya. Roy mengkategorikan output dari
sistem adaptasi ini berupa respon adaptif dan respon inefektif.
Respon adaptif dapat meningkatkan integritas individu sedangkan
respon inefektif tidak dapat mendukung untuk pencapaian tujuan
perawatan individu.
b. Lingkungan
Stimulus yang berasal dari individu dan sekitar individu
merupakan elemen dari lingkungan. Lingkungan didefinisikan oleh
Roy adalah “ Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh
disekitar individu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
perilaku individu dan kelompok “(Roy and Adrews, 1991 dalam
Nursing Theory: 260). Dalam hal ini Roy menekankan agar
lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan kemampuan adaptasi
individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi pada individu
terhadap adanya perubahan.
c. Sehat
Roy mendefinisikan sehat adalah “A State and a process of
being and becoming an integrated and whole person” (Roy and
Adrews, 1991 dalam Nursing Theory: 261).Integritas individu
dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk mempertahankan diri,
tumbuh, reproduksi.Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan individu dengan cara
meningkatkan respon adaptifnya.
d. Keperawatan
Tujuan keperawatan menurut Roy adalah meningkatkan
respon adaptif individu dan menurunkan respon inefektif individu,
dalam kondisi sakit maupun sehat. Selain meningkatkan kesehatan di
semua proses kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk
mengantarkan individu meninggal dengan damai. Oleh karena itu,
perawat harus dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan
residual yang ada pada individu, dengan lebih menitikberatkan pada
stimulus fokal, yang merupakan stimulus tertinggi.

2.2.3 Proses Keperawatan Menurut Teori Roy


Menurut Roy elemen dari proses keperawatan meliputi pengkajian
tingkat pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan tujuan,
intervensi dan evaluasi.
a. Pengkajian
Fokus dari model ini adalah adaptasi dan tujuan pengkajian adalah
mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan potensial apakah
memperlihatkan maladaptif dan mengidentifikasi stimulus atau
penyebab perilaku maladaptif.Empat mode adaptasi dapat digunakan
sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian.Roy
merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pengkajian tahap I dan pengkajian tahap II.
1) Tahap I : Pengkajian perilaku
Proses ini merupakan tahap proses keperawatan yang bertujuan
mengumpulkan data dan memutuskan klien adaptif atau
maladaptif. Termasuk dalam model ini adalah kebutuhan dasar
manusia apakah dapat dipengaruhi oleh kekurangan atau
kelebihan.misalnya terlalu sedikit oksigen, terlalu tinggi gula
darah atau terlalu banyak ketergantungan.Perawat menggunakan
wawancara, observasi dan pengukuran untuk mengkaji perilaku
klien sekarang pada setiap mode.Berdasarkan pengkajian ini
perawat menganalisis apakah perilaku ini adaptif, maladaptif
atau potensial maladaptif.
2) Tahap II: Pengkajian faktor–faktor yang berpengaruh
Pada tahap ini termasuk pengkajian stimulus yang signifikan
terhadap perubahan perilaku seseorang yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan residual.
a) Identifikasi stimulus fokal
Stimulus fokal merupakan perubahan perilaku yang dapat
diobservasi. Perawat dapat melakukan pengkajian dengan
menggunakan pengkajian perilaku yaitu: keterampilan
melakukan observasi, melakukan pengukuran dan interview.
b) Identifikasi stimulus kontekstual
Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab
terjadinya perilaku atau presipitasi oleh stimulus fokal.Sebagai
contoh anak yang dirawat dirumah sakit mempunyai peran
perilaku yang inefektif yaitu tidak belajar.Stimulus fokal yang
dapat diidentifikasi adalah adanya fakta bahwa anak kehilangan
jadwal sekolah.Stimulus kontekstual yang dapat diidentifikasi
adalah secara internal faktor anak menderita sakit dan faktor
eksternalnya adalah anak terisolasi. Stimulus kontekstual dapat
diidentifikasi oleh perawat melalui observasi, pengukuran,
interview dan validasi.
Menurut Martinez, 1976 dalam Roy 1989, faktor kontekstual
yang mempengaruhi mode adaptif adalah genetik, sex, tahap
perkembangan, obat, alkohol, tembakau, konsep diri, peran
fungsi, interdependensi, pola interaksi sosial, koping
mekanisme, stress emosi dan fisik religi, dan lingkungan fisik.
c) Identifikasi stimulus residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa
lalu.Helson dalam Roy, 1989 menjelaskan bahwa beberapa
faktor dari pengalaman lalu relevan dalam menjelaskan
bagaimana keadaan saat ini.Sikap, budaya, karakter adalah
faktor residual yang sulit diukur dan memberikan efek pada
situasi sekarang.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan
sebagai suatu hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan
dengan kurang mampunya beradaptasi. Diagnosa keperawatan
dirumuskan dengan mengobservasi tingkah laku klien terhadap
pengaruh lingkungan.
c. Penentuan tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara umum tujuan pada
intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan
mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif
menjadi adaptif.Penentuan tujuan dibagi atas tujuan jangka panjang
dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang yang akan dicapai
meliputi: Hidup, tumbuh, reproduksi dan kekeuasaan. Tujuan jangka
pendek meliputi tercapainya tingkah laku yang diharapkan setelah
dilakukan manipulasi terhadap stimulus fokal, konteksual dan
residual.
d. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan, mengubah atau
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga
difokuskan pada koping individu atau zona adaptasi, sehingga
seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk
beradaptasi. Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus
menuju perilaku adaptif.Hal ini menekankan kembali pentingnya
mengidentifikasi penyebab selama pengkajian tahap II.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi
keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien.Perawat harus
mengkaji tingkah laku pasien setelah diimplementasi.Intervensi
keperawatan dinilai efektif jika tingkah laku pasien sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
BAB III
APLIKASI MODEL KEPERAWATAN CALLISTA ROY
PADA KASUS CONGESTIF HEART FAILURE

3.1 Kasus
Seorang laki-laki usia 56 tahun dirawat di ruang penyakit dalam
dengan keluhan sesak saat beraktifitas. Tiga bulan SMRS Os mengeluh
sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas sehari hari yaitu bila berjalan ke
toilet, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi dan tidak diikuti suara
mengi.Sesak berkurang bila duduk dan atau istirahat.Os sering terbangun di
malam hari karena sesak.Os lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal.
Pasien tidak ada keluhan nyeri dada, ada palpitasi, tidak ada batuk ,tidak ada
dahak,tidak adademam,tidak ada mual dan tidak ada muntah. Pasien
mengalami keluhan bengkak pada kedua tungkaidan berdebar.BAB dan
BAK tidak ada keluhan dan os lalu berobat ke RS A tetapi tidak ada
perubahan, lalu os berobat ke RS X ini (rawat jalan).
Satu hari SMRS os mengeluh sesak nafasmakinhebat,sesaksaat
beraktivitas ringan seperti berjalan ke toilet, sesak hilang saat istirahat,sesak
tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Os sering terbangun pada malam hari
karena sesak.Os lebih nyaman dengan posisi ½ duduk. Batuk berdahak,
berdebar, bengkak pada kedua tungkai demam hilang timbul, mual dan
tidak ada muntah.Tidak ada sembab pada mata.BAB dan BAK tidak ada
keluhan.Pasien baru mengetahui kondisi darah tinggi sejak tahun 2013 tapi
tidak teratur minum obat.Pasien menyangkal adanya riwayat kencing manis
dan penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarganya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum tampak
sakit sedang, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 92 x/m reguler, isidan
tegangan cukup, frekuensi pernapasan 40 x/m, suhu 36.7ºC. Pada
pemeriksaan paru terdapat ronkhi basah halus pada kedua basal parudan
pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung membesaryaitu batas
jantung atas ICS II linea sternalis sinistra, batas jantungkanan ICS V linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI lineaaxillaris anterior sinistra
dan pada auskultasi didapat heart rate 92x/m. Pada inspkesi abdomen
tampak datar, pada palpasi ditemukanadanya nyeri tekan epigastrium, hepar
teraba 2 jbac, dan padaekstremitas ditemukan edem pretibia. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan sinus rythm, axisnormal, HR 106 x/m, gel. P
normal, PR interval 0,06 detik, R/S di V1 < 1, S di V1 + R di V5/V6 > 35,
ST-Tchange (-) dan pada pemeriksaan rontgen thoraks terdapat
kardiomegali.
Data tambahan:
Pemeriksaan diagnostik

Gambar 3.1 Gambaran EKG Tn. L

Gambar 3.2 Foto Thorax Tn. L


Gambar 3.3 Echocardiografi Tn. L
3.2 Asuhan Keperawatan menggunakan model Adaptasi Roy
3.2.1 Data Demografi
1. Nama : Tn L
2. Umur : 56 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki

3.2.2 Pengkajian Tahap 1 (Behaviour)


1. Pengkajian Fungsi FISIOLOGI
a. Oksigenasi
1) Sesak saat beraktifitas
2) 3 bulan SMRS sesak dipengaruhi aktivitas sehari hari
yaitu bila berjalan ke toilet, tidak dipengaruhi cuaca dan
emosi dan tidak diikuti suara mengi
3) Ada palpitasi
4) Berdebar
5) Batuk berdahak
6) Ada riwayat darah tinggi dan baru tahu sejak tahun 2013
tetapi tidak teratur minum obat
7) Isi dan tegangan cukup
8) RR 40 x/i
9) Ronkhi basah halus pada kedua basal paru
10) Batas jantung membesar yaitu batas jantung atas ICS II
linea sternalis sinistra, batas jantung kanan ICS V linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI linea
axillaris anterior sinistra
11) HR92x/m
12) Pemeriksaan EKG didapatkan sinus rythm, axis normal,
HR 106 x/m, gel. P normal, PR interval 0,06 detik, R/S
di V1 < 1, S di V1 + R di V5/V6 > 35, ST-T change (-)
13) Pada pemeriksaan rontgen thoraks terdapat kardiomegali
b. Nutrisi
1) Pasien mengeluh mual
2) Tidak ada muntah
3) Abdomen tampak datar
4) Pada palpasi ditemukan adanya nyeri tekan epigastrium
5) Hepar teraba 2jbac ( 2 jari di bawah arcus aortae)
c. Eliminasi
BAB dan BAK tidak ada keluhan
d. Aktivitas dan Istirahat
1) Sesak saat beraktivitas ringan
2) Sesak berkurang bila duduk dan atau istirahat
3) Pasien sering terbangun di malam hari karena sesak
(PND)
4) Pasien lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal
5) Pasien lebih nyaman dengan posisi ½ duduk
e. Proteksi
1) Pasien mengalami keluhan bengkak pada kedua tungkai
2) Pada ekstremitas ditemukan edem pretibia
3) Pasien baru mengetahui kondisi darah tinggi sejak tahun
2013 tapi pasien tidak teratur minum obat
4) Pasien menyangkal adanya riwayat kencing manis dan
penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarganya

f. Sense/perasaan
Pasien mengeluh nyeri epigastrium
g. Cairan dan elektrolit
1) Pasien mengalami keluhan bengkak pada kedua tungkai
2) Demam hilang timbul
3) Tekanan darah 140/90 mmHg
4) Nadi 92 x/i regular
5) Suhu 36,7°C
h. Fungsi neurologi
Sadar dan orientasi penuh
i. Fungsi endokrin
Pasien menyangkal memiliki riwayat DM

2. Pengkajian Fungsi INTERDEPENDENSI


Tidak ada data

3. Pengkajian Fungsi KONSEP DIRI


Tidak ada data

4. Pengkajian Fungsi PERAN


Tidak ada data

3.2.3 Pengkajian Tahap II (Stimulasi)


1. Pengkajian Fungsi FISIOLOGI
c. Oksigenasi
1) Stimuli Fokal
a) Sesak nafas sejak tadi malam, batuk berdahak,
Respirasi Rate40 x/menit.
b) Paru :dipsnea, auskultasi terdapat suara tambahan
ronchi basah halus.
c) Jantung : batas jantung membesar yaitu batas
jantung atas ICS II linea sternalis sinistra, batas
jantung kanan ICS V linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior
sinistra dan pada auskultasi didapat heart rate
92x/menit.
EKG Aritmi, ST elevasi
Foto thorax gambaran cardiomegali
2) Stimuli Kontekstual
Kegagalan ventrikel dalam kontraktilitas, penurunan
oksigenasi jaringan, respon SSP meningkatkan respirasi,
sesak napas.
3) Stimuli Residual
Hipertensi kronik.
d. Nutrisi
1) Stimuli Fokal
Abdomen: tampak datar, pada palpasi ditemukan adanya
nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 2 jbc, pasien
mengeluh mual.
2) Stimuli Kontekstual
Penuruanan selera makan, ketidaknyamanan tubuh,
kegagalan ventrikel dalam kontraktilitas, sesak napas.
3) Stimuli Residual
Hipertensi kronik.
e. Eliminasi
BAK dan BAB tidak ada keluhan.
f. Aktifitas dan Istirahat
1) Stimuli Fokal
Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak.Pasien
lebih nyaman dengan posisi ½ duduk.
2) Stimuli Kontekstual
Kelemahan kontraktilitas, penurunan oksigenasi
jaringan, penurunan energi.
3) Stimuli Residual
Tidak ada data
g. Proteksi dan Perlindungan
Tidak ada data
h. Sense/perasaan
1) Stimuli Fokal
Pasien mengeluh nyeri epigastrik.
2) Stimuli Kontekstual
Penuaan.
3) Stimuli Residual
Penuaan.
i. Cairan dan elektrolit
1) Stimuli Fokal
Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 102 /menit.
2) Stimuli Kontekstual
Peningkatan tekanan darah, kegagalan ventrikel dalam
kontraktilitas.
3) Stimuli Residual
Hipertensi kronis.
j. Syaraf/neurologis
1) Stimuli Fokal
Pasien tampak gelisah, kesadaran composmentis.
2) Stimuli Kontekstual
Penurunan oksigenasi jaringan sereberal.
3) Stimuli Residual
Kurangnya paparan informasi.

2. Pengkajian Fungsi INTERDEPENDENSI


Tidak ada data

3.Pengkajian FungsiKONSEP DIRI

Tidak ada data


4. Pengkajian Fungsi PERAN
Tidak ada data
3.2.4 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kegagalan ventrikel
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.

No Data Etiologi Problem


1 DS : Perubahan Penurunan curah
- Pasien mengeluh sesak kontraktilitas jantung
- Pasien mengatakan sesak
berkurang jika duduk dan
istirahat
- Pasien mengatakan sesak jika
beraktifitas ringan
- Pasien mengatakan lebih
nyaman dengan posisi
setengah duduk
DO :
- TD 140/90 mmHg
- HR : 92x/i
- Auskultasi bunyi jantung I
dan II terdengar tidak jelas
dan tidak teratur, bunyi
jantung tambahan S3
terdengar.
- EKG Aritmia, ST elevasi
- Gambaran foto thorax:
cardiomegali.
- Hepar teraba 2 jbac
- Edema pretibial
2 DS: Perubahan Kerusakan
- Pasien mengeluh sesak membran kapiler pertukaran gas
- Pasien mengatakan sesak alveolar
bertambah jika beraktifitas
- Pasien mengeluh batuk berdahak
DO:
- RR : 40 X/mnt
- Pasien nampak sesak setelah
beraktifitas
- Pasien nampak lebih nyaman jika
posisi setengah duduk
- Pemeriksaan paru terdapat bunyi
ronchi basah halus pada kedua
basal paru
- Auskultasi bunyi jantung I dan II
terdengar tidak jelas dan tidak
teratur, bunyi jantung tambahan
S3 terdengar.
- EKG Aritmia, ST elevasi
- Gambaran foto thorax
kardiomegali.
3 DS : Kegagalan ventrikel Kelebihan volume
- Pasien mengeluh sesak cairan berhubungan
- Pasien mengatakan lebih dengan kegagalan
nyaman berbaring dengan ventrikel
posisi setengah duduk
DO :
- RR : 40x/mnt
- Pasien nampak sakit sedang
- Pemeriksaan paru terdapat
bunyi ronchi basah halus pada
kedua basal paru
- EKG Aritmia, ST elevasi
- gambaran foto thorax
kardiomegali.
- Hepar teraba 2 jbac
- Edema pretibial
4 DS : Ketidakseimbangan Intoleransi aktifitas
- Pasien mengatakan sesak suplai dan
berkurang jika duduk dan istirahat kebutuhan oksigen
- Pasien mengatakan sesak
bertambah jika beraktifitas ringan
DO:
- Tekanan darah (TD) 140/90
mmHg, Nadi (N) : 92x/menit
- RR (Respirasi Rate) 40x/menit
- Gambaran foto thorax:
kardiomegali
3.2.5 INTERVENSI KEPERAWATAN BERDASARKAN NIC NOC
NO Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Penurunan curah jantung b/d Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Cardiac Care
perubahan kontraktilitas keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan - Evaluasi adanya nyeri dada ( intensitas,lokasi,
miokardial/perubahan inotropik, Pasien menunjukkan respon pompa jantung durasi)
Perubahan frekuensi, irama dan efektif dengan - Catat adanya disritmia jantung
konduksi listrik ditandai dengan : Kriteria Hasil: - Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac
DS : - Menunjukkan Vital sign dalam batas putput
- Pasien mengeluh sesak normal (TD, nadi, ritme normal, nadi - Monitor status kardiovaskuler
napas perifer kuat) - Monitor status pernafasan yang menandakan gagal
- Pasien mengatakan sesak - Melakukan aktivitas tanpa dipsnea jantung
berkurang jika duduk dan dan nyeri - Monitor abdomen sebagai indicator penurunan
istirahat - Edema ekstremitas berkurang perfusi
- Pasien mengatakan sesak - Perfusi perifer adekuat - Monitor balance cairan
bertambah jika beraktifitas - Monitor adanya perubahan tekanan darah
ringan - Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
antiaritmia
- Pasien mengatakan lebih - Atur periode latihan dan istirahat untuk
nyaman dengan posisi menghindari kelelahan
setengah duduk - Monitor toleransi aktivitas pasien
DO : - Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
- TD 140/90 mmHg ortopneu
- HR : 92x/mnt - Anjurkan untuk menurunkan stress
- Pemeriksaan paru terdapat 2. Vital Sign Monitoring
bunyi ronchi basah halus - Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
pada kedua basal paru - Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Kardiomegali - Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
- Hepar teraba 2 jbac berdiri
- Edema pretibia - Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor adanya pulsus paradoksus
- Monitor adanya pulsus alterans
- Monitor jumlah dan irama jantung
- Monitor bunyi jantung
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2 Intoleransi aktivitas b/d Setelah dilakukan askep selama 3 X 24 jam 1. Cardiac care: akut
ketidakseimbangan suplai & Pasien dapat menunjukkan toleransi - Kaji v/s, bunyi, fkekuensi, dan irama jantung.
kebutuhan O2 ditandai dengan : terhadap aktivitas dgn kriteri hasil : - Kaji keadaan kulit (pucat, cianois)
DS : - Pasien mampu aktivitas minimal - Pantau seri EKG 12 lead
- Pasien mengatakan sesak - Kemampuan aktivitas meningkat secara - Catat urine output
berkurang jika duduk dan bertahap - Posiskan pasien supinasi dg elevasi 30 derajat dan
istirahat - Tidak ada keluhan sesak nafas dan lelah elevasi kaki
- Pasien mengatakan sesak selama dan setelah aktivits minimal - Berikan oksigen.
bertambah jika beraktifitas - Vital sign dalam batas normal selama - Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk istirahat
ringan dan setelah aktivitas 2. Monitoring vital sign
DO : - Pantau TD, denyut nadi dan respirasi
- RR : 40x/mnt 3. Monitoring neurologikal
- Keadaan umum tampak - Kaji perubahan pola sensori
sakit sedang - Catat adanya letargi dan cemas
- TD : 140/90 mmHg 4. Manajemen lingkungan
- Pasien nampak lelah jika - Ciptakan lingkungan ruangan yang nyaman
beraktivitas ringan. - Batasi pengunjung

3 Pola nafas tidak efektif b.d. Setelah dilakukan askep selama 3 X 24 jam, Respiratory monitoring:
kelemahan ditandai dengan : pola nafas pasien menjadi efektif dg - Monitor rata-rata irama, kedalaman dan usaha untuk
DS : Kriteria hasil: bernafas.
- Pasien mengeluh sesak - Menunjukkan pola nafas yang efektif - Catat gerakan dada, lihat kesimetrisan, penggunaan
- Pasien mengatakan sesak tanpa adanya sesak nafas, sesak nafas otot Bantu dan retraksi dinding dada.
bertambah jika beraktifitas berkurang - Monitor suara nafas
DO : - Vital sign dalam batas normal - Monitor kelemahan otot diafragma
- RR : 40 X/mnt - Catat omset, karakteristik dan durasi batuk
- Pasien nampak sesak setelah - Catat hail foto rontgen
beraktifitas
- Pasien nampak lebih nyaman
jika posisi setengah duduk
4 Kelebihan volume cairan b.d. Setelah dilakukan askep selama 3 X 24 jam 1. Fluit manajemen:
gangguan mekanisme regulasi pasien akan menunjukkan keseimbangan - Kaji lokasi edem dan luas edem
ditandai dengan : cairan dan elektrolit dengan - Atur posisi elevasi 30-45 derajat
DS : Kriteria hasil: - Kaji distensi leher (JVP)
- Pasien mengatakan batuk + - Vital sign dalam batas normal - Monitor balance cairan
dahak - Tidak menunjukkan peningkatan JVP 2. Fluid monitoring
- Klen mengeluh sesak - Tidak terjadi dyspnu, bunyi nafas - Ukur balance cairan / 24 jam atau / shif jaga
- Pasien mengatakan lebih bersih, RR; 16-20 X/mnt - Ukur V/S sesuai indikasi
nyaman berbaring dengan - Balance cairan adekuat - Timbang BB jika memungkinkan
posisi setengah duduk - Bebas dari edema - Awasi ketat pemberian cairan
DO : - Observasi turgor kulit (kelembaban kulit, mukosa,
- RR : 40x/mnt adanya kehausan)
- Pasien nampak sakit sedang - Monitor serum albumin dan protein total
- Pemeriksaan paru terdapat - Monitor warna, kualitas dan BJ urine
bunyi ronchi basah halus pada
kedua basal paru
- Kardiomegali
- Hepar teraba 2 jbac
- Edema pretibia
BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penerapan Teori Roy pada kasus CHF terlihat jelas pada pengkajian yang dibagi
menjadi pengkajian behavioural dan Stimulus.Pada masing-masing pengkajian
terbagi bagian-bagian fungsi fisiologis, interdependensi, peran konsep diri.

5.2 Saran
1 Penggunaan teori keperawatan adaptasi roy akan sangat mendetail bila
digunakan pada klien Congestive Heart Failuredengan masalah psikologis,
karena akan banyak yang bisa dibahas mengenai faktor ekternal dan internal
dari klien tersebut.
2 Diharapkan praktisi keperawatan dalam melakukanpengkajian keperawatan
yang konfrehensif dan holistik pada Congestive Heart Failure dapat
menjadikan model teori adaptasi roy sebagai salah satu acuan

DAFTAR PUSTAKA
Aligood, M. R. (2006). Nursing Theory: Utilization & Application (4th
Ed).Missouri: Elsevier.

Aligood, M. R. (2014). Nursing Theorists: and Their Work (8th Ed).Missouri:


Elsevier.

Black, J.M, & Hawks, J.H. (2009). Medical-surgical nursing: Clinical management
for positive outcome (8th ed.). St.Louis: Saunders Elsevier

Brunner & Suddarth. (2008). Texbook of Medical-Surgical Nursing (8thed).


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Hediyani, Novie. 2012. Penyakit Jantung Koroner. www.dokterku-online. Jakarta.


Diambil pada tanggal 19 September 2014 jam 11.00 WIB.

Lewis, S.L., Dirksen, S.R., Heitkemper, M.M., Bucher, L., & Camera, I.M. (2011).
Medical-surgical nursing: Asessment and management of clinical
problems. (8th ed.). St. Louis: Elsevier Mosby

Roy, S. C, & Andrews, H.A (2009).The Roy Adaption Model. Connecticut:


Appleton & Lange.

Anda mungkin juga menyukai