KELOMPOK 2
PENDAHULUAN
Menurut Mary dkk (2008), pada pasien CHF dilakukan pengkajian secara
subjektif dan obejektif.Secara subjektif meliputi dyspnea, batuk, ortopnea, berat
badan bertambah, edema kaki, pusing, bingung, cepat lelah, nyeri angina atau
abdominal, cemas pengetahuan tentang penyakit dan mekanisme koping.
Sedangkan secara objektif adanya gawat napas: dispnea, banyak memakai otot
pernapasan, distensi vena jugularis, ada bunyi napas adventisius, bunyi jantung,
irama gallop, edema lokasi dan beratnya pitting edema, ekstremitas teraba dingin,
perubahan nadi, berat badan bertambah, serta perubahan tingkat kesadaran.
Salah satu teori keperawatan yang dapat digunakan dalam pengkajian
Congestive Heart Failure(CHF) adalah teori adaptasi roy. Perawat memberikan
peran penting dalam membantu individu yang sakit atau sehat untuk mengatasi
berbagai stres baru, menuju kesehatan yang optimal dan meningkatkan kualitas
hidup mereka melalui adaptasi. Model Adaptasi Roy (Roy & Andrews , 1991)
memberikan kerangka kerja yang efektif untuk menangani kebutuhan adaptasi dari
individu, keluarga, dan kelompok. Model konseptual Roy berpusat pada
kemampuan seseorang dalam berespon secara efektif terhadap stimulus dari
lingkungan dengan menggunakan sifat dasar dan pengalaman sebagai dasar
pemilihan dan pembentukan mekanisme koping yang ditampilkan. Teori ini
menjelaskan bagaimana individu/klien mampu meningkatkan kesehatannya
dengan mempertahankan perilaku secara adaptif dan merubah perilaku yang
maladaptif (Roy,1981 dalam Tommey & Alligood, 2014). Berdasarkan uraian di
atas, penulis akan membahas pengkajian keperawatan pada kasus Congestive
Heart Failure dengan menggunakan teori adaptasi roy.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengaplikasikanteori Model Adaptasi Roy pada klien dengan Congestive
Heart Failure
Berdasarkan gejala sesak yang terjadi, New York Heart Association (NYHA)
membagi gagal jantung kongestif menjadi 4 kelas, yaitu:
Kelas 1: Berupa penyakit ringan dan masih dapat melakukan aktivitas biasa.
Ketika melakukan aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala lelah,
palpitasi, sesak nafas atau angina.
Kelas 2: Aktivitas fisik sedikit terbatas. Ketika melakukan aktivitas biasa
dapat menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina
tetapi akan merasa nyaman ketika istirahat.
Kelas 3: Ditandai dengan keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan
aktivitas. Ketika melakukan aktivitas yang sangat ringan dapat
menimbulkan lelah, palpitasi, sesak nafas.
Kelas 4: Keluhan-keluhan seperti gejala insufisiensi jantung atau sesak nafas
sudah timbul pada waktu pasien beristirahat. Keluhan akan semakin
berat pada aktivitas ringan.
Ternyata kelas NYHA bersifat reversible artinya pasien dapat naik kelas dari
kelas II ke III, namun dapat juga turun kelas dari III menjadi II setelah
pengobatan.Akan tetapi kerusakan struktur jantung bersifat ireversibel
artinya sekali rusak maka tetap rusak.Sedangkan proses yang menimbulkan
kerusakan struktur jantung berlangsung lambat (kecuali pada miokard infark
akut), maka American Collage of Cardiology/American Heart Associatoin
2005 Guidelines Update membagi gagal jantung menjadi 4 tingkat (stage)
menurut keparahan yaitu:
a. Pasien memiliki risiko menderita gagal jantung namun belum ada tanda-
tanda gagal jantung misalnya penderita PJK, DM, Kardiomiopati, dan
hipertensi. Penanganan yang baik dari penyakit-penyakit ini dapat
mencegah terjadinya gagal jantung.
b. Pasien menderita structural heart disesase. Namun belum ada tanda-
tanda gagal jantung misalnya infark miokard, LVH atau penyakit katup
jantung. Penanggulangan yang tepat penyakit ini dengan ACE inhibitor,
β-blockers atau operasi katup efektif untuk mencegah timbulnya gagal
jantung.
c. Pasien menderita structural hearts disease dengan gejala gagal jantung.
Penanganan yang lebih agresif dengan ACE-inhibitor, β-blockers,
diuretik, angiotensin reseptor blockers (ARB) dan perubahan pola
hidup akan meringankan gejala.
d. Gagal jantung yang refrakter walaupun telah mendapat terapi maksimal.
Pada golongan ini maka dibutuhkan intervensi khusus seperti
transplantasi jantung, pemberian obat inotropic kronis dan permanen
mekanikal support.
2.1.2 Etiologi CHF
Penyebab gagal jantung kongestif diantaranya adalah:
1. Kelainan otot jantung
Kelainan otot jantung ini merupakan penyebab terbanyak yang akan
menurunkan kontraktilitas jantung. Kondisi penyebab kelainan fungsi
otot ini adalah aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
otot degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Kondisi ini menyebabkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis karena
penumpukan asam laktat. Infark miokardium biasanya tanda terjadinya
gagal jantung.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Hipertensi sistemik atau pulmonal akan meningkatkan beban kerja
jantung sehingga mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung
(hipertropi miokard). Sebenarnya hipertropi miokard termasuk
mekanisme kompensasi karena meningkatnya kontraktilitas jantung.
Tetapi hipertropi otot jantung ini tidak berfungsi normal sehingga terjadi
gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Kondisi ini merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
5. Penyakit jantung lain
Penyakit jantung yang sebenarnya tidak mempengaruhi jantung secara
langsung, seperti gangguan aliran darah melalui jantung (ex: stenosis
katup semiluner), ketidakmampuan jantung mengisi darah (ex:
tamponade perikardium, perikarditaskonstriktif, stenosis katup AV),
pengosongan jantung abnormal (ex: insufisiensi katup AV),
peningkatan mendadak afterload karena meningkatnya tekanan darah
sistemik (hipertensi ’maligna’ menyebabkan gagal jantung meski tidak
ada hipertropi miokardial.
6. Faktor Sisitemik
Meningkatnya laju metabolisme (ex: demam, tirotoksikosis), hipoksia
dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia/anemia dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorius & metabolik) serta
abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Disritmia jantung dapat terjadi secara sendirinya atau sekunder akibat
gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.
Ateriosklerosis Koroner Hipotensi Penyakit Miokardium Degeneratif Laju Metabolisme Meningkat(Demam), Hipoksia, Anemia
Aliran darah ke otot jantung terganggu Beban kerja jantung meningkat Serabut otot jantung rusak Suplai O2 ke jantung menurun
Infark Miokard
Darah terbendung di vena ekstremitas bawah Posisi baring malam hari Terjadi glikolisis dan glukoneogenesis
Kurang nutrisi
Peningkatan vena portal Edema Perifer Statis perifer Peningkatan bendungan Penatalaksanaan medis
LVED Naik
Suplai darah jar. Suplai O2 otak Renal Flow Tekanan vena pulmonalis meningkat
3. Elektrokardiogram (EKG)
EKG terutama sangat berguna untuk mengevaluasi kondisi yang
berbeda dengan fungsi normal, seperti gangguan kecepatan dan irama,
gangguan hantaran, pembesaran kamar-kamar pada jantung, adanya
infark miokard, dan ketidakseimbangan elektrolit.
5. Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung biasanya dilakukan bersama angiografi yaitu suatu
teknik memasukkan media kontras ke dalam sistem pembuluh darah
untuk menggambarkan jantung dan pembuluh darah. Empat tempat
yang sering digunakan untuk angiografi yaitu aorta, arteri koronaria, dan
sisi kanan dan kiri jantung.
6. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah tes ultrasound non invasif yang digunakan untuk
memeriksa ukuran, bentuk, dan pergerakan struktur jantung.
Ekokardiografi merupakan tes yang sangat aman, non invasif, yang
mampu memberikan data yang mirip dalam beberapa hal dengan data
yang diperoleh melalui angiografi. Alat ini sangat berguna untuk
mendiagnosa dan membedakan berbagai bunyi murmur jantung. Teknik
ekokardiografi yang terbaru dilakukan dengan memasukkan transduser
kecil melalui mulut ke esofagus.Teknik ini, yang dinamakan
ekokardiografi transesofageal (TEE), mampu menghasilkan gambar
yang lebih jelas karena gelombang ultrasound sedikit melalui jaringan.
7. Pencitraan Radionuklida
Pemeriksaan radionuklida sangat berguna untuk mendeteksi infark
miokard dan penurunan aliran darah miokardium, dan untuk
mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.Radioisotop diinjeksi secara
intravena, dan dilakukan pemindaian dengan menggunakan kamera
skintilasi gamma.
a. Pencitraan perfusi miokardium
Talium-201 dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi
diagnosa gangguan perfusi miokardium.Talium yang
terkonsentrasi pada jaringan miokardium normal namun tidak
pada jaringan iskemik atau nekrotik, sangat sensitif untuk
mendeteksi MI akut dalam 6 jam.
b. Evaluasi fungsi ventrikel dan gerakan dinding.
Equilibrium radionuclide angiocardigraphy (ERNA), juga
dikenal sebagai pemindaian multiple-gated acquisition
(MUGA), merupakan teknik noninvasive biasa yang
menggunakan kamera skintilasi konvensional dan diinterfase
dengan komputer untuk menampilkan gambar jantung selama
denyut jantung.
c. Tomografi emisi positron.
Positron emission tomography (PET) adalah pemindahan
noninvasif yang digunakan di masa lalu terutama untuk
mempelajari disfungsi neurologis.
8. Tes Elektrofisiologis
Pemeriksaan elektrofisiologis (EPS) adalah proedur serial diagnostik
noninvasif yang dilakukan berdasarkan hasil laboratorium untuk
mencatat aktivitas listrik jantung selama irama sinus dan
disrirmia.Tes ini paling sering dilakukan untuk menetukan titik awal
(fokus iritabel) pada disritmia, palpitasi dan sinkop yang tidak dapat
dijelaskan. EPS digunakan untuk mengevaluasi kebutuhan perlunya
pemasangan pacu jantung atau implantable cardioverter defibrilator
(ICD).uji ini juga digunakan untuk menentukan tempat dan (bila
perlu) menghancurkan fokus aritmogenik.
9. Pemantauan Hemodinamika
Pemantauan hemodinamik meliputi penggunaan kateter invasif yang
diletakkan dalam sistem vaskuler pasien untuk memantau fungsi
jantung, volume darah dan sirkulasi secara dekat.Pasien yang
memerlukan pemantauan hemodinamik biasanya sakit kritis dan berada
dalam ruang perawatan intensif, meskipun beberapa pasien stabil berada
dalam ruang perawatan intermediet dipasang kateter tekanan vena
sentral atau arteri.
a. Pemantauan tekanan vena sentral (CVP)
Adalah tekanan di dalam atrium kanan dan dalam vena-vena besar di
thoraks.CVP berperan sebagai pemandu pemberian cairan pada
pasien sakit serius dan sebagai pengukur volume efektif darah yang
beredar.CVP adalah pengukuran yang bersifat dinamis dan selalu
berubah.
b. Pemantauan tekanan arteri pulmonal (PA)
Kateterisasi arteri pulmonalis merupakan alat pengkajian yang sangat
berguna untuk mengukur dan menghitung berbagai tekanan
intrakardiak sisi kanan dan kiri secara efektif.Pasien dengan kateter
arteri pulmonalis hanya dipantau di unit perawatan kritis dan tidak
boleh dilakukan di unit perawatan medis bedah umum.Komplikasi
pemantauan arteri paru meliputi infeksi, ruptur arteri paru,
tromboemboli paru, infark paru, kateter melipat, disritmia, dan
emboli udara.
c. Pemantauan tekanan arteri sistolik
Pemantauan intraarteri digunakan untuk memperoleh tekanan darah
langsung dan berkesinambungan pada pasien yang menderita
tekanan darah sangat tinggi atau hipotensi.Kateter arteri juga sangat
berguna untuk memperoleh gas darah arteri dan sampel darah
serial.Pemantauan intraarteri biasanya hanya dibatasi pada perawatan
kritis.
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis antara lain:
a. Diuretik digunakan untuk mengendalikan retensi natrium dan air,
diantaranya Furosemid 40mg/hari, dan Bumetamide 1mg/hari.
b. Inhibitor ACE dapat menghambat perubahan Angiotensin I menjadi
Angiotensin II, menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah.
c. Bloker Beta seperti Bisoprolol, Carvedilol, yang dimulai dari dosis
yang sangat rendah dan bisa ditambahkan untuk menurunkan
aktivitas simpatis yang berlebihan dan mendorong remodeling otot
jantung.
d. Digoksin, diindikasikan untuk mengendalikan fibrilasi atrium yang
terjadi bersamaan
Menurut Peter Kabo (2010), konsep terapi farmakologis saat ini ditujukan
untuk :
a. Menurunkan preload melalui pemberian diuretic termasuk aldosterone
reseptor antagonis dan nitrat.
Diuretik dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi cairan
tubuh.Diuretikyang sering digunakan ialah Thiazid, Furosemid (loop
diuretic), dan spironolakton (potassium sparing, anatgonis
aldosterone).Hydro-Cloro Thiazide (HCT) dan Spironolakton
dianjurkan terutama pada gagal jantung NYHA kelas II.Apabila kondisi
memburuk baru diberikan Furosemide.Kontraindikasi pemberian
diuretik ialah: tamponade jantung, infark miokard ventrikel kanan,
hepatic failure, hipoklaemia dan hipersensitif.
Nitrat ISDN, Cedocard, Farsobid, pemberian nitrat sangat berguna bagi
gagal jantung yang juga memiliki riwayat penyakit jantung koroner.
Atau bagi mereka yang telah menerima furosemide dosis tinggi namun
belum mampu mengatasi syndrome gagal jantung.Pemberian nitrat
selalu harus dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk mencegah
sinkope.Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena
daripada dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulkan nitrat
menurunkan pre load sehingga menurunkan ukuran ruang atrium kanan
dan kiri serta tekanan akhir diastolic, dengan demikian meningkatkan
perfusi miokard. Efek lainnya bisa menurunkan TD sedikit, kadang
menyebabkan reflek takikardia, nyeri kepala atau hot flush di
muka.Nitrat juga dibuktikan menyebabkan dilatasi arteri koronaria yang
besar dan juga arteri koronaria yang mengalami stenosis.
b. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan
kontraktilitas miokard) melaluipemberian digitalis, ibopamin, β-
blockers generasi ketiga atau fosfodiesterase inhibitor. Obat inotropic
hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan kontraktilitas.
c. Menurunkan after load (bagi yang terjadi peningkatan afterload)
d. Mencegah miokardial remodeling dan menghambat progresifitas gagal
jantungdengan ACE inhibitor dan ARB.
e. Memperbaiki metabolisme energi miokard dengan Carnitine, Ko-
Enzim Q10, D-ribose, magnesium dan vitamin-vitamin.
b. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping
yang digunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan
kognator yang merupakan subsistem.
1) Subsistem regulator.
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen: input-proses
dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter
regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom
adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang
diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak
proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator
subsistem.
2) Subsistem kognator.
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.
Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus
umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses
berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,
penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan
dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan
mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement
(penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang
berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses
pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian
dan kasih sayang.
c. Output.
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat di amati, diukur
atau secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun
dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy
mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon
yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila
seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan
keunggulan.Sedangkan respon yang maladaptif perilaku yang tidak
mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk
menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa
mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel
darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti
penggunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan
konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang
disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan
bagian subsistem adaptasi.Dalam memelihara integritas seseorang,
regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama.
Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme
koping.Penggunaan mekanisme koping yang maksimal
mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang
stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator,
Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka
untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator
sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy.
Skematik keterkaitan konsep stimulus, proses, efektor dan output
dalam model adaptasi Roy dapat digambarkan sebagai berikut:
3.1 Kasus
Seorang laki-laki usia 56 tahun dirawat di ruang penyakit dalam
dengan keluhan sesak saat beraktifitas. Tiga bulan SMRS Os mengeluh
sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas sehari hari yaitu bila berjalan ke
toilet, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi dan tidak diikuti suara
mengi.Sesak berkurang bila duduk dan atau istirahat.Os sering terbangun di
malam hari karena sesak.Os lebih nyaman tidur menggunakan 3 bantal.
Pasien tidak ada keluhan nyeri dada, ada palpitasi, tidak ada batuk ,tidak ada
dahak,tidak adademam,tidak ada mual dan tidak ada muntah. Pasien
mengalami keluhan bengkak pada kedua tungkaidan berdebar.BAB dan
BAK tidak ada keluhan dan os lalu berobat ke RS A tetapi tidak ada
perubahan, lalu os berobat ke RS X ini (rawat jalan).
Satu hari SMRS os mengeluh sesak nafasmakinhebat,sesaksaat
beraktivitas ringan seperti berjalan ke toilet, sesak hilang saat istirahat,sesak
tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Os sering terbangun pada malam hari
karena sesak.Os lebih nyaman dengan posisi ½ duduk. Batuk berdahak,
berdebar, bengkak pada kedua tungkai demam hilang timbul, mual dan
tidak ada muntah.Tidak ada sembab pada mata.BAB dan BAK tidak ada
keluhan.Pasien baru mengetahui kondisi darah tinggi sejak tahun 2013 tapi
tidak teratur minum obat.Pasien menyangkal adanya riwayat kencing manis
dan penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarganya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum tampak
sakit sedang, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 92 x/m reguler, isidan
tegangan cukup, frekuensi pernapasan 40 x/m, suhu 36.7ºC. Pada
pemeriksaan paru terdapat ronkhi basah halus pada kedua basal parudan
pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung membesaryaitu batas
jantung atas ICS II linea sternalis sinistra, batas jantungkanan ICS V linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI lineaaxillaris anterior sinistra
dan pada auskultasi didapat heart rate 92x/m. Pada inspkesi abdomen
tampak datar, pada palpasi ditemukanadanya nyeri tekan epigastrium, hepar
teraba 2 jbac, dan padaekstremitas ditemukan edem pretibia. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan sinus rythm, axisnormal, HR 106 x/m, gel. P
normal, PR interval 0,06 detik, R/S di V1 < 1, S di V1 + R di V5/V6 > 35,
ST-Tchange (-) dan pada pemeriksaan rontgen thoraks terdapat
kardiomegali.
Data tambahan:
Pemeriksaan diagnostik
f. Sense/perasaan
Pasien mengeluh nyeri epigastrium
g. Cairan dan elektrolit
1) Pasien mengalami keluhan bengkak pada kedua tungkai
2) Demam hilang timbul
3) Tekanan darah 140/90 mmHg
4) Nadi 92 x/i regular
5) Suhu 36,7°C
h. Fungsi neurologi
Sadar dan orientasi penuh
i. Fungsi endokrin
Pasien menyangkal memiliki riwayat DM
3 Pola nafas tidak efektif b.d. Setelah dilakukan askep selama 3 X 24 jam, Respiratory monitoring:
kelemahan ditandai dengan : pola nafas pasien menjadi efektif dg - Monitor rata-rata irama, kedalaman dan usaha untuk
DS : Kriteria hasil: bernafas.
- Pasien mengeluh sesak - Menunjukkan pola nafas yang efektif - Catat gerakan dada, lihat kesimetrisan, penggunaan
- Pasien mengatakan sesak tanpa adanya sesak nafas, sesak nafas otot Bantu dan retraksi dinding dada.
bertambah jika beraktifitas berkurang - Monitor suara nafas
DO : - Vital sign dalam batas normal - Monitor kelemahan otot diafragma
- RR : 40 X/mnt - Catat omset, karakteristik dan durasi batuk
- Pasien nampak sesak setelah - Catat hail foto rontgen
beraktifitas
- Pasien nampak lebih nyaman
jika posisi setengah duduk
4 Kelebihan volume cairan b.d. Setelah dilakukan askep selama 3 X 24 jam 1. Fluit manajemen:
gangguan mekanisme regulasi pasien akan menunjukkan keseimbangan - Kaji lokasi edem dan luas edem
ditandai dengan : cairan dan elektrolit dengan - Atur posisi elevasi 30-45 derajat
DS : Kriteria hasil: - Kaji distensi leher (JVP)
- Pasien mengatakan batuk + - Vital sign dalam batas normal - Monitor balance cairan
dahak - Tidak menunjukkan peningkatan JVP 2. Fluid monitoring
- Klen mengeluh sesak - Tidak terjadi dyspnu, bunyi nafas - Ukur balance cairan / 24 jam atau / shif jaga
- Pasien mengatakan lebih bersih, RR; 16-20 X/mnt - Ukur V/S sesuai indikasi
nyaman berbaring dengan - Balance cairan adekuat - Timbang BB jika memungkinkan
posisi setengah duduk - Bebas dari edema - Awasi ketat pemberian cairan
DO : - Observasi turgor kulit (kelembaban kulit, mukosa,
- RR : 40x/mnt adanya kehausan)
- Pasien nampak sakit sedang - Monitor serum albumin dan protein total
- Pemeriksaan paru terdapat - Monitor warna, kualitas dan BJ urine
bunyi ronchi basah halus pada
kedua basal paru
- Kardiomegali
- Hepar teraba 2 jbac
- Edema pretibia
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penerapan Teori Roy pada kasus CHF terlihat jelas pada pengkajian yang dibagi
menjadi pengkajian behavioural dan Stimulus.Pada masing-masing pengkajian
terbagi bagian-bagian fungsi fisiologis, interdependensi, peran konsep diri.
5.2 Saran
1 Penggunaan teori keperawatan adaptasi roy akan sangat mendetail bila
digunakan pada klien Congestive Heart Failuredengan masalah psikologis,
karena akan banyak yang bisa dibahas mengenai faktor ekternal dan internal
dari klien tersebut.
2 Diharapkan praktisi keperawatan dalam melakukanpengkajian keperawatan
yang konfrehensif dan holistik pada Congestive Heart Failure dapat
menjadikan model teori adaptasi roy sebagai salah satu acuan
DAFTAR PUSTAKA
Aligood, M. R. (2006). Nursing Theory: Utilization & Application (4th
Ed).Missouri: Elsevier.
Black, J.M, & Hawks, J.H. (2009). Medical-surgical nursing: Clinical management
for positive outcome (8th ed.). St.Louis: Saunders Elsevier
Lewis, S.L., Dirksen, S.R., Heitkemper, M.M., Bucher, L., & Camera, I.M. (2011).
Medical-surgical nursing: Asessment and management of clinical
problems. (8th ed.). St. Louis: Elsevier Mosby