Anda di halaman 1dari 4

RESUME

Latar belakang
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa
siapa saja. Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi
korbannya. Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba
sehingga sulit memprediksi kapan terjadinya Pasien yang mengalami
kegawatdaruratan harus segera mendapatkan penanganan secara tepat, cermat, dan
cepat. Penanganan yang tidak tepat akan menyebabkan terjadinya kematian atau
kecacatan pada pasien. Angka kematian pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
terutama di negara berkembang masih tinggi (Obermeyer et al., 2015). Penyebab
kematian terbanyak di IGD antara lain penyakit jantung, trauma, cerebrovascular
attact (CVA), dan sepsis (Alimohammadi et al., 2014; Limantara et al., 2013).
Cedera kepala menjadi permasalahan kesehatan global karena
menyebabkan kematian, disabilitas, dan defisit mental. WHO 2016 (World Health
Organization) melaporkan setiap tahun sekitar 1,2 juta orang meninggal dengan
diagnosa cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas, dan jutaan lainnya terluka
atau cacat. Hal tersebut disebabkan berat ringannya cedera. Berat ringannya
cedera ditentukan mekanisme pada saat cedera terjadi. Yang sering muncul pada
cedera kepala diantaranya kontusio serebri, perdarahan di epidural, subdural,
arachnoid, perdarahan intracranial. Untuk mengetahui berat ringannya cedera bisa
dilakukan dengan pemeriksaan awal, sehingga dapat diketahui tingkat penurunan
kesadaran (Sjamsuhidajat, 2010).
Henti jantung adalah penyebab utama kematian di dunia. Penderita henti
jantung membutuhkan reusitasi jantung paru (RJP) dalam rangka
mempertahankan aliran darah ke otak dan jantung. Tindakan ini juga
meningkatkan tingkat keberhasilan defibrilasi untuk menghentikan Ventikular
Fibrilasi (VF) sehingga jantung memperoleh kembali kemampuan mencetuskan
irama jantung dan pompa jantung yang efektif. Kualitas kompresi dada sangat
menentukan terutama apabila defibrilasi tidak dapat dilakukan pada 4-5 menit
setelah kolaps (Jakarta Medical Service & Training, 2012).
a. Batasan-batasan asuhan keperawatan pada system persyarafan dan
kardiovaskular
Dapatkah perawat (tanpa memiliki ijin dari pemerintah) membantu
sepenuhnya dalam keadaan krisis kesehatan public atau bencana? Bisakah
perawat melakukan tugas diluar kewenangannya? Bila ada bencana
professional tenaga kesehatan dihadapkan pada perawat dari kota terdekat dari
bencana, menawarkan bantuan dan melakukan tugas atau kewenangan yang
biasa dilakukan oleh dokter. Semua negara mengharuskan seseorang memiliki
surat ijin agar dapat praktik keperawatan. Di Indonesia pemerintah telah
mengeluarkan peraturan menteri kesehatan republic Indonesia nomor
161/menkes/PER/I/2010 tentang regristrasi tenaga kesehatan. BAB II pasal 2
menyatakan setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaan
keprofesiannya wajib memiliki STR dengan melampirkan sertifikat kompetensi
yang dilegalisir.
Undang-undang lisensi mempunyai dua pengaruh yaitu:
a. Membatasi wilayah dimana seseorang perawat boleh praktik sesuai
lisensi yang dimiliki jika lisensi termasuk illegal. Hal ini ada
pengecualian saat terjadi bencana atau emergency. Perawat dari
wilayah lain boleh membantu melalui recruitment yang resmi dalam
periode waktu tertentu.
b. Pembatasan undang-undang lisensi keperawatan dimana seorang
perawat boleh terlibat sesuai bidang keahliannya. Dalam situasi krisis
kesehatan public akibat serangan bioterror, kemungkinan terjadi
kekurangan tenaga professional yang qualified, terutama pada tahap
awal. Perawat dari daerah lain dan berbagai bidang diijinkan
membantu melalui recruitment. Sementara itu UEVHPA tidak
mengijinkan tenaga relawan memberi layanan kesehatan tidak sesuai
dengan bidang keahliannya.
c. Penanganan secara umum pada kegawatdaruratan system persyarafan
dan kardiovaskular
1. Penanganan secara umum pada kegawatdaruratan system persyarafan
Penanganan Secara umum untuk therapeutic pada pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
a. bantuan kepatenan jalan nafas, ventilasi dengan bantuan oksigen
b. pembatasan aktivitas/tirah baring dan obersvasi TTV
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan Medis
Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai,
mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Terapi
steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki aliran darah koral spiral.
2. Penanganan secara umum pada kegawatdaruratan system kardiovaskular
Cardiac arrest
Resusitasi Jantung Paru “RJP” atau Cardiopulmonary Resuscitation “CPR”
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, untuk
mencegah kematian biologis.
Cardiac Arrest berujung pada kematian apabila tidak dilakukan tindakan
segera. AHA merekomendasikan ‘RJP segera’ (Monica E, Erin E,Zachary D, &
Robert A, 2015). RJP merupakan intervensi untuk mempertahankan fungsi vital
korban Cardiac Arrest (Hardisman, 2014).
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan tindakan untuk menyelamatkan
nyawa ketika terjadi henti jantung (cardiac arrest). Kelangsungan hidup jauh lebih
tinggi ketika korban OHCA menerima RJP segera dari orang awam sambil
menunggu tim medis datang.
Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a. Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh
tenaga
medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.

Anda mungkin juga menyukai