Anda di halaman 1dari 7

JOURNAL READING

Management of Multiple Traumas in Emergency Medicine Department:


A review

Parvin Kashani, Amin Saberinia

Dipresentasikan oleh:
Hana Nuraisa Basya

Pembimbing:
Dr. Heru Susilo, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD DR. SOEDONO MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
Review: Manajemen Multipel Trauma pada Instalasi Gawat Darurat

Parvin Kashani, Amin Saberinia

Abstrak

Disabilitas pada orang dewasa sering terjadi akibat multipel trauma. IGD
menjadi ruang awal pengenalan dan pemberian terapi cepat pada kasus yang
mengancam nyawa pasien dengan urutan prioritas yang sesuai. Pada evaluasi awal
dilakukan pemeriksaan rutin dan USG sesuai dengan konsep FAST (Focused
Assessment with Sonography in Trauma) untuk mengidentifikasi perdarahan spontan
intraperitoneal. Pasien gawat darurat yang mengalami trauma thoraks dapat
menjalani thoracotomy, sedangkan pasien yang memiliki trauma abdomen akan
menjalani laparotomi. IGD harus berperan pada fase akut dengan menghentikan
perdarahan dan mencegah cedera sekunder seperti sindrom kompartemen atau
infeksi intra abdomen. Penatalaksanaan jalan napas, melindungi sirkulasi dan napas,
identifikasi masalah neurologis, dan pemeriksaan klinis keseluruhan merupakan
tujuan utama tindakan di IGD.

Pendahuluan
Penyebab cedera paling sering yang mengancam nyawa adalah trauma benda
tumpul akibat kecelakaan atau jatuh. Pemeriksaan kualitas perawatan trauma
berdasar pada 3 hal, yakni: struktur, prosedur, dan hasil. Aspek struktural
berhubungan dengan pasien dan keuangannya untuk meningkatkan kualitas sistem
kesehatan. Aspek prosedural berhubungan dengan pasien dan tenaga kesehatan
dalam menegakkan diagnosis, terapi, dan perawatan. Hasil yang dicapai adalah
bertanggung jawab atas perawatan kesehatan yang tepat melalui tindakan yang
efisien dan produktif. Penulisan studi ini bertujuan untuk memberikan informasi terkini
tentang manajemen multipel trauma. Sistem yang terorganisir dan adanya tim
perawatan multidisiplin dapat meningkatkan perbaikan dan mencegah keparahan
multipel trauma.

Metode dan Material


Sumber pengumpulan materi tentang proses pelayanan kesehatan primer
pada pasien dengan trauma serius dilakukan pada 8 mesin pencari. Publikasi pada
Pubmed, Google Scholar, Cochrane Library, Medline, Embase, Cinahl, Amed, dan
Pedro dengan topik perawatan pasien multipel trauma hingga Agustus 2019. Hasil
pencarian dikategorikan berdasarkan trauma, multipel trauma, cedera pasien, dan
pelayanan IGD. Total artikel didapatkan 229 artikel dengan 58 artikel masuk dalam
kriteria inklusi untuk direvisi secara keseluruhan.

Tantangan pada IGD


Pada dasarnya tidak ada pengelompokan jenis trauma seperti trauma intensif,
cedera parah, dan multipel trauma. Secara klasifikasi internasional, pasien dengan
skor medis 16 atau lebih pada asesmen kekambuhan trauma termasuk dalam cedera
parah. Sedangkan multipel trauma yakni adanya 2 atau lebih trauma yang dialami
pasien. Perawatan utama pasien trauma di IGD sangat penting untuk tujuan
prospektif. Idealnya terdapat unit penghubung antara unit IGD dan unit rawat inap
berupa shock room. Spesifikasi utama untuk prosedur terapeutik di dalam shock room
berdasar pada rekomendasi grade A dan grade B. Rekomendasi grade A meliputi pola
cedera dan parameter fisiologis pasien dan rekomendasi grade B melihat bagaimana
mekanisme cedera yang terjadi. Tujuan shock room yakni bertanggung jawab untuk
mendiagnosis sesuai dengan standard tingkat perawatan rumah sakit. Perancangan
algoritma perbaikan harus disertakan untuk menghilangkan kesalahan dan
keterlambatan pengobatan.

Pelatihan staff Shock Room


Bekal ilmu dasar yang harus dimiliki oleh staff shock room adalah pelatihan
ATLS (Advanced Trauma Life Support). Tujuan utama dari pelatihan ini yakni
memberdayakan staff shock room agar dapat cepat mengumpulkan informasi yang
relevan tentang risiko dan trauma yang mengancam pasien. Adanya shock room
mampu menurunkan angka kematian 25% menjadi 0% selama waktu awal tindakan
gawat darurat. Pelatihan tindakan ATLS dapat memiliki efek yang signifikan pada
kesehatan pasien secara keseluruhan. Namun, tidak ada studi statistik berkualitas
tinggi yang menilai pengaruh sistem pelatihan terhadap tingkat kematian atau faktor
lain yang mempengaruhi pasien trauma intensif. Pelatihan ATLS berfokus pada
simulasi dan latihan praktis pada shock room dengan langkah-langkah pemeriksaan
sebagai berikut:
I. Airway and Breathing: tulang belakang leher harus diimobilisasi untuk
membangun jalan napas yang aman dan pertukaran gas yang cukup
II. Circulation — sirkulasi darah lancar dengan memberikan perfusi yang adekuat
pada jaringan tubuh
III. Disability — pengenalan defisiensi neurologis fokal, keracunan alkohol, dll.
IV. Environment — pemeriksaan seluruh tubuh pasien setelah membuka pakaian;
menjaga tubuh pasien tetap hangat; dan manajemen yang tepat untuk trauma
yang mengancam

Manajemen Trauma Perdarahan Masif


Seringnya perdarahan terjadi akibat kekerasan, pembunuhan, bunuh diri, dan
kecelakaan lalu lintas, penggunaan senjata tajam, hingga perkelahian. Kontrol yang
tidak tepat pada perdarahan pascatrauma masif bisa menjadi salah satu penyebab
utama kematian yang dapat dicegah dari pasien cedera parah karena sekitar 33% dari
pasien kecelakaan datang dengan perdarahan terkait trauma dan menunjukkan
tanda-tanda gangguan perdarahan saat dirawat di rumah sakit.
Pasien dengan koagulopati mengalami kegagalan banyak organ dan risiko
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa koagulopati.
Koagulopati yang diinduksi trauma akut primer diidentifikasi sebagai penyakit
multifaktorial karena kombinasi aktivasi jalur fibrinolitik dan antikoagulan,
pembentukan reseptor trombin sel endotel, trauma jaringan terkait peningkatan
regulasi trombomodulin, dan syok hemoragik. Intensitas gangguan pembekuan (dapat
bergantung pada faktor terapi dan lingkungan yang akan menyebabkan darah encer,
hipotermia, asidosis, dan konsumsi serta hipoperfusi faktor pembekuan. Selain itu,
tingkat gangguan perdarahan dapat bergantung pada trauma dan faktor terkait
pasien, seperti cedera otak traumatis dan komorbidnya, genetik, peradangan dan
pengobatan sebelum trauma, konsumsi antikoagulan oral, dan pemberian cairan
sebelum rawat inap.

Proses Diagnosis
FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma)
Teknik awal untuk mengenali cedera yakni melalui pencitraan FAST. FAST
adalah teknik cepat dan sensitif untuk mengenali perdarahan intraperitoneal spontan
idiopatik sehingga didapatkan gambaran yang akurat tentang ada atau tidaknya
hemotoraks atau sindrom klinis tamponade jantung. Pemasangan underwater sealed
drains (UWSD) adalah intervensi perbaikan yang paling penting ketika pasien datang
dengan trauma tumpul thoraks akut, pembengkakan dada, cedera kardiovaskular
akut, dan trauma pada organ kardiorespirasi. Adanya darah di rongga peritoneum
harus dilakukan tindakan laparotomi.

Foto Polos
Pemeriksaan radiografi foto polos berperan dalam penilaian awal pasien
trauma yang tidak stabil. Rontgen lateral cervical, pelvis, dan thorax dapat
menemukan trauma yang mengancam jiwa. Namun, proyeksi lateral cervical hanya
dapat mengidentifikasi sekitar 75%. Beberapa fraktur atau kelainan pada sakrum
dapat terlewatkan jika hanya melakukan rontgen pelvis biasa. Foto polos thorax
posteroanterior (PA) normal harus diambil pada pasien yang memiliki luka tusuk pada
perut, punggung, atau dada. Foto polos akan mendeteksi adanya gas intraperitoneal
bebas, hemotoraks atau pneumotoraks.

CT scan
Salah satu pemeriksaan penunjang penting dalam deteksi primer trauma
intensif adalah CT scan dengan kontras intravena. Terlepas dari batasan pasti dalam
visualisasi trauma pada rongga perut, diafragma, dan pankreas, CT dapat mewakili
gambaran trauma pasien yang akurat dan ekstensif. CT scan mudah dilakukan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup pasien yang mengalami trauma tumpul dan dapat
menurunkan angka kematian secara signifikan. Penggunaan CT scan di IGD bisa jadi
tidak bermakna akibat kondisi trauma pasien yang tidak stabil. Dokter harus
memutuskan antara melakukan CT scan ulang atau membawa pasien ke ruang
operasi. Keputusan ini harus berdasar pada kualitas respons pasien saat resusitasi
awal.

DPA (Diagnostic Peritoneal Aspiration)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya cairan di dalam rongga
peritoneal pada perut. Indikasi penggunaan DPA serupa dengan FAST, yakni pada
pasien tidak stabil yang sumber perdarahannya tidak diketahui.
Elektrokardiografi
Pasien dengan trauma tumpul pada dada dapat dilakukan pemeriksaan EKG.
Pada pasien dengan trauma tumpul jantung, EKG harus dilakukan. Selain itu, fungsi
jantung harus dipantau selama prosedur penilaian trauma, resusitasi, dan diagnosis
karena variasi tekanan darah dan detak jantung dapat memperburuk kondisi klinis.

Pemindahan Pasien Trauma


Ketika pasien mengalami cedera intensif dan dokter IGD tidak mampu
menanganinya, dokter harus segera berkonsultasi dengan pusat trauma terdekat.
Namun sayangnya banyak pasien yang perlu dipindahkan untuk pemeriksaan lebih
lanjut namun tidak segera dirujuk. Hanya sekitar 20% pasien gawat darurat yang
dibawa ke rumah sakit tersier dan dirujuk dengan benar ke pusat trauma profesional.
Risiko kematian pada pasien yang tidak dipindahkan ke pusat trauma tingkat atas
akan lebih tinggi. Kriteria utama pemindahan pasien didasarkan pada temuan klinis,
mekanisme trauma, dan karakteristik demografi pasien.
CT scan harus dilakukan pada pasien yang akan dirawat di pusat trauma. Jika
hasil tes CT scan tampak normal maka pasien dapat dipulangkan. Jika hasil tes
terdapat kelainan, pasien harus dirujuk ke pusat trauma lanjutan. Contoh yang paling
sering dari intervensi darurat yang diperlukan adalah seperti stabilisasi fraktur pelvis,
torakostomi, dan intubasi trakea. Pada pasien dengan aliran darah tidak stabil,
transfusi darah harus dilakukan.

Penatalaksanaan pasien tanpa pembedahan


Tindakan non-bedah dapat dilakukan pada pasien tanpa trauma tumpul
meskipun keadaan hemodinamik tidak stabil. Namun, jika ada trauma, terdapat 2
pilihan tindakan yang dapat dilakukan, yakni DCS (damage control surgery) dan ETC
(early total care). Tujuan utama ETC adalah untuk mengobati trauma secara definitif
dengan memulihkan struktur dan fungsi organ. Sedangkan tujuan tindakan DCS
adalah untuk mencegah perdarahan dan kerusakan sekunder sehingga dapat
mengurangi trauma operasi dan waktu operasi. Keluhan post-operasi harus dipantau
selama sekitar satu minggu untuk menstabilkan pasien dan mengurangi respon
inflamasi pasca trauma. Contoh tindakan awal yang sesuai dengan prinsip DCS
adalah pemasangan fiksator eksternal pada fraktur dan penutupan sumber
perdarahan pada trauma abdomen. Keuntungan tindakan DCS yakni mengurangi
faktor risiko asidosis, hipotermia, gangguan perdarahan koagulopati, perdarahan
persisten, syok hipovolemik perdarahan, trauma kepala yang intensif dan beberapa
trauma yang membutuhkan banyak waktu untuk rehabilitasi.
Hepar merupakan organ dengan posisi terbuka, sekitar 15-25% pasien yang
memiliki multipel trauma juga memiliki kelainan pada hepar mereka. Kerusakan hepar
menjadi faktor prognostik yang harus diperharikan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemeriksaan USG dan CT scan untuk memastikan kondisi hepar pasien multipel
trauma. Pasien yang memiliki hemodinamik tidak stabil baik karena laserasi hepar dan
kontusio derajat tinggi dapat dilakukan tindakan non-operatif. Syarat dilakukan
tindakan non-operatif yang penting adalah adanya akses intravena yang cepat jika
diperlukan.
Kategori faktor risiko yang mempengaruhi tindakan non-operatif pada trauma
tumpul abdomen adalah sebagai berikut:
I: Penurunan tekanan darah
II: Kebutuhan sel darah merah
III: Iritasi peritoneum
IV: Skor keparahan cedera
V: Trauma abdomen tumpul lebih lanjut
Tingkat keberhasilan penatalaksanaan trauma hepar dengan metode non-operatif
mencapai 90%. Tetapi jika terjadi lesi limpa, keberhasilan tindakan non-operatif tidak
mencapai 60%. Fraktur pelvis berhubungan dengan kerusakan organ urogenital dan
intra-abdominal. Selain itu, pada pasien yang menderita trauma intensif pada tulang
panggul, akan terjadi aliran darah tiba-tiba yang tidak terkendali terutama dari pleksus
vena presacral. Emboli vaskuler dan radiologi intervensi telah diterapkan secara
signifikan untuk pengobatan perdarahan abnormal yang persisten.

Kesimpulan
Manajemen perawatan pasien multipel trauma merupakan kerja tim. Tidak ada
individu yang bisa memiliki semua keterampilan, pengetahuan, keahlian, atau
kemampuan untuk sepenuhnya menangani pasien trauma. Multipel trauma seringkali
menyebabkan kematian, salah satu penyebabnya akibat perdarahan yang tidak
dicegah sedari awal. Alat pemeriksaan penunjang memiliki peran penting dalam
pengelolaan beberapa pasien trauma untuk mengetahui sumber perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai