Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

No. Rekam Medis : 681xxxx

IDENTITAS PASIEN

1. Nama Pasien : Tn. W


2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur/Tanggal Lahir : 61 Tahun/18-01-1960
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Petani
6. Alamat : Bringin, Ngawi
7. Penjamin : BPJS PBI
8. Tanggal MRS : 29-01-2021

ANAMNESIS

1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan muntah darah dan buang air besar
kehitaman
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan muntah darah kehitaman
2x dan buang air besar kehitaman 1x sejak pagi hari. Keluhan disertai
mual, perut terasa begah, nyeri ulu hati dan perut kiri atas, serta lemas.
3. Anamnesis Sistem
- Sistem neurologi : Nyeri kepala (-), pusing berputar (-),
demam (-)
- Sistem respirasi : Sesak napas (-), batuk (-)
- Sistem kardiovaskular : Berdebar (-), nyeri dada (-)
- Sistem gastrointestinal : Muntah (+)
- Sistem urogenital : Volume BAK normal, tidak nyeri dan tidak
ada perubahan warna.
- Sistem muskuloskeletal : Nyeri sendi (-), nyeri otot (-)
- Sistem integumentum : Kemerahan (-), gatal (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Gastritis
- Riwayat Hematemesis dan Melena (Post MRS 5 hari di RS Attin)
- Riwayat Batu Ginjal
- Riwayat penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, stroke, dan
alergi disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan serupa, penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi,
stroke, dan alergi disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
- Pola makan pasien tidak teratur, pasien sering telat makan karena
pekerjaannya sebagai petani
- Pasien sering meminum jamu-jamuan
- Sehari-hari pasien makan nasi dan sayur dengan lauk tahu, tempe,
ayam, atau telur

PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Sedang
- GCS : E4-V5-M6 (Compos Mentis)
- Berat badan : 54 kg
- Tinggi badan : 160 cm
- BMI : 21,0
- Tanda Vital :
Tekanan Darah : 96/67 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,2 °C
Respirasi : 18 x/menit.
- Kepala Leher : Anemis (+), Ikterik (-), Sianosis (-), Dispneu (-).
- Thoraks :
Cardio :
1. Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra
3. Perkusi
- Batas kanan : Linea Parasternal dextra sela iga III
- Batas kiri : Linea Midklavikularis sinistra sela iga V
- Batas pinggang : Linea Parasternalis sinistra sela iga III
- Batas atas : Linea parasternalis sinistra sela iga II
4. Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur gallop (-)
Pulmo :
1. Inspeksi : pengembangan dada simetris, retraksi dinding
dada (-)
2. Palpasi : fremitus dalam batas normal, pengembangan dada
simetris
3. Perkusi : sonor di kedua lapang paru
4. Auskultasi: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
- Abdomen :
1. Inspeksi : flat (-), sikatrik (-), rash (-), kulit kering (-)
2. Auskultasi : bising usus (+) normal.
3. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut.
4. Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium dan hipokondirum kiri,
hepar dan lien tidak teraba.

- Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-


+/+ -/-
Interpretasi Pemeriksaan Fisik : Konjungtiva Anemis, Nyeri epigastrium dan
hipokondrium kiri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 29-01-2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8,9* 13,4-17,7

Hitung Leukosit 11,54* 4.3-10,3

Trombosit 350 142-424

Hematocrit 27,2* 40-47

Hitung Eritrosit 3,24* 4.0-5.5

MCV 84,0 80-93

MCH 27,5 27-31

MCHC 32,7 32-36

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 0,5 0-3

Basofil 0,7 0-1

Neutrofil 81,8* 50-62

Limfosit 9,9* 25-40

Monosit 7,0 3-7

NLR (Neutrofil Limfosit


Ratio) 8,3

ALC (Absolut Limfosit 1142


Count)

KIMIA KLINIK
SGOT 36* 8 - 31

SGPT 50* 6 - 40

BUN 28,0* 10 - 20

Creatinin 1,09 0,6 – 1,1

Gula Darah Sewaktu 159* < 140

Natrium Darah 137 136-145

Kalium Darah 3,32* 3.5-5.1

Cl Darah 101 97 – 111

Anemia Normositik Normokromik

Leukositosis

Eritropenia

Limfopenia
Kesimpulan
Neutrofilia

Azotemia

Hipokalemia

Hiperglikemia

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Darah Lengkap
DIAGNOSIS
1. Hematemesis Melena ec susp. Gastritis Erosif
2. Anemia Normositik Normokromik
PLANNING
1. Planning terapi
a. Non-farmakologi
- Bedrest
- Konsul Sp.PD
b. Farmakologi
-Infus KN 2 16 tpm
-Inj. Asam Tranexamat 3x1
-Inj. Vit K 3 x 1
-Inj. Ondansentron 3 x 1
- Inj. Omeprazol 2x1
PO :
- Sucralfat syr 3 x cI

2. Planning Monitoring
a. Tanda – tanda Vital
b. DL serial
c. SpO2

FOLLOW UP
Tabel 2. Follow Up Pasien 29 Januari – 1 Februari 2021.
S O A P

29- Mual, KU : 1. Hematemes • Diet bubur saring lunak


01- nyeri ulu Lemah, is Melena
• Infus KN 2 1000 cc/24
2021 hati dan GCS 456 2. Gastritis
jam 14 tpm
perut kiri, CM erosif
Muntah 3. Anemia • Infus paracetamol
TD :
darah 3x500 mg
90/50
kehitaman • Inj. Ceftriaxon 1x1
mmHg
dan BAB gram
hitam
RR : 20x • Inj. Omeprazol 2x40
mg
HR : 88x
• Inj. Vut K 3x1 amp
T : 36
• Inj. Asam traxenamat
3x500 mg

• Inj. Ondansetron 3x4


mg

• PO Rebamipide 3x100
mg

• PO NAC 3x200 mg

• PO Zink 1x20 mg

• PO Hepatin 3x1 tab

• PO Sucralfat syr 3x2

30- Muntah KU : 1. Hematem • Diet bubur saring


01- darah Lemah, esis lunak
2021 kehitaman GCS 456 Melena
• Infus KN 2 1000
dan BAB CM 2. Gastritis
cc/24 jam 14 tpm
hitam erosif
TD :
3. Anemia • Infus paracetamol
110/70
3x500 mg
mmHg
• Inj. Ceftriaxon 1x1
RR : 20 x
gram
HR : 88 x
• Inj. Omeprazol
T : 36,4 2x40 mg

• Inj. Vut K 3x1 amp

• Inj. Asam
traxenamat 3x500
mg

• Inj. Ondansetron
3x4 mg

• PO Rebamipide
3x100 mg

• PO NAC 3x200
mg

• PO Zink 1x20 mg

• PO Hepatin 3x1
tab

• PO Sucralfat syr
3x2

31- Mutah KU : 1. Hematem • Diet bubur saring


01- darah Lemah, esis lunak
2021 kehitaman GCS 456 Melena
• Infus KN 2 1000
CM 2. Gastritis
cc/24 jam 14 tpm
erosif
TD :
3. Anemia • Infus paracetamol
100/70
3x500 mg
mmHg
• Inj. Ceftriaxon
RR : 20 x
1x1 gram
HR : 86 x
• Inj. Omeprazol
T : 36,6 2x40 mg

• Inj. Vut K 3x1


amp

• Inj. Asam
traxenamat 3x500
mg

• Inj. Ondansetron
3x4 mg

• PO Rebamipide
3x100 mg

• PO NAC 3x200
mg

• PO Zink 1x20 mg

• PO Hepatin 3x1
tab

• PO Sucralfat syr
3x2

01- BAB KU : 1. Hematem ● Diet bubur saring


02- hitam Lemah, esis halus 1500 cc/24
2021 GCS 456 Melena jam
CM 2. Gastritis ● Infus asering : KN
erosif 2 = 2:1 21 tpm
TD :
3. Anemia ● Pump pantoprazol
100/80
3 amp/hari
mmHg
● Inj. Ceftriaxon 2x1
RR : 20 x gram

HR : 80 x ● Inj. Kalnex 3x1


● PO sucralfat syr
T : 36,6
4xCII
● PO Lactulosa syr
3xCI
TINJAUAN PUSTAKA

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

A. DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan
darah dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai
dengan duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum Treitz) dengan
manifestasi klinis berupa hematemesis (muntah darah segar atau hitam),
melena (tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas), hematokezia
(darah segar yang keluar dari anus) atau kombinasi.

Gambar 1. Anatomi Duodenum

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus per
100.000 populasi, insiden tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia.
Walaupun dengan tatalaksana yang optimal menggunakan endoskopi
terapeutik dan terapi penekan asam lambung, mortalitas keseluruhan
perdarahan SCBA tetap stabil dalam dekade-dekade terkini, yakni berkisar
antara 6-14%. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka
kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini sebagai keadaan
klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan sumber
perdarahan. Mortalitas oleh karena perdarahan SCBA dikaitkan dengan
usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Risiko mortalitas juga
meningkat dengan adanya perdarahan berulang (5-20%) dengan etiologi
tersering perdarahan variseal.

C. ETIOLOGI
Penyebab perdarahan SCBA dibedakan menjadi dua, yaitu variseal
dan non variseal. Perdarahan variseal 80% disebabkan oleh pecahnya
varises esofagus pada sirosis hepar, sedangkan perdarahan non variseal
banyak disebabkan oleh ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosif,
sindrom mallory-weiss, atau keganasan saluran cerna bagian atas seperti
kanker gaster.
Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi, data lama
mendapatkan bahwa sekitar 70% penyebab perdarahan SCBA adalah
pecahnya varises esofagus. Namun demikian, diperkirakan, oleh karena
semakin meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan
bertambahnya populasi pasien usia lanjut, maka proporsi perdarahan oleh
karena ulkus peptikum akan meningkat. Berdasarkan studi retrospektif
yang dilakukan pada 4.154 pasien yang menjalani endoskopi selama tahun
2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami perdarahan SCBA.
Studi ini juga menunjukkan penyebab tersering dari perdarahan SCBA
adalah pecahnya varises esofagus (280 kasus, 33,4%) diikuti dengan
perdarahan ulkus peptikum (225 kasus, 26,9%), dan gastritis erosif (219
kasus, 26,2%). Begitu juga dengan data dari RSU dr. Soetomo Surabaya
dari 1673 kasus perdarahan SCBA, 76,9% disebabkan oleh varises
esofagus, 19,2% gastritis erosif, 1% tukak peptik, 0,6% kanker lambung,
dan 2,6% oleh sebab lainnya. Namun, data dari RS Sanglah, Bali
didapatkan bahwa penyebab perdarahan saluran cerna terbanyak yaitu
ulkus peptikum, diikuti gastritis erosif.

Tabel 1. Penyebab Tersering Perdarahan SCBA pada Pasien yang


Menjalani Endoskopi di Pusat Endoskopi RSCM selama tahun 2001-2005

D. PATOGENESIS
1. Perdarahan SCBA Variseal
Umumnya terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang timbulnya
perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori
eksplosif. Pada teori erosi disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul
sebagai akibat trauma eksternal yang menyebabkan erosi pada pembuluh
darah varises yang berdinding tipis dan rapuh. Faktor trauma eksternal
yang menjadi penyebab perdarahan variseal adalah adanya esofagitis dan
makanan solid yang dapat mengakibatkan iritasi dan erosi pada dinding
pembuluh darah varises. Teori eksplosif menyebutkan bahwa perdarahan
variseal lebih disebabkan oleh perburukan hipertensi porta yang telah ada
sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengalami varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran
varises dan menurunnya ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya
regang pembuluh darah pun menurun. Penelitian-penelitian yang ada telah
mendukung teori eksplosif untuk menjelaskan perdarahan variseal.
Semakin tinggi gradient tekanan porta maka akan memberikan risiko yang
lebih tinggi pula untuk terjadinya perdarahan variseal dan dapat
mempersulit dalam penatalaksanaan perdarahan yang terjadi. Sebagian
besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan porta
>12mmHg. Sebaliknya bila gradien tekanan porta dapat diturunkan
menjadi <12mmHg, maka perdarahan variseal tidak akan terjadi. Selain
itu, penurunan gradien tekanan portal >20% dari gradien tekanan portal
awal dapat menurunkan risiko terjadinya perdarahan ulang.
2. Perdarahan SCBA Non Variseal
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi
dalam proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster.
Beberapa mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster.
Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan
tipis yang mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung
pada lapisan epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan
musin stabil pada permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan
langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil
sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa
gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi
untuk mengencerkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut
atau kronik dapat terjadi dengan adanya gangguan atau ketidakseimbangan
antara faktor protektif dan defensif. Pembentukan musin pada usia lanjut
akan mengalami penurunan, sehingga lebih rentan terkena gastritis dan
perdarahan saluran cerna. Obat anti inflamasi nonsteroid dan obat anti
agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang
umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat
yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi
Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan
sekresi asam lambung, peningkatan keasaman pada duodenum, dan
kerusakan mukosa hingga terjadi ulkus duodenum. Sekresi gastrin akan
meningkat, baik pada sekresi basal maupun sekresi yang dirangsang oleh
makanan, sedangkan sekresi somatostatin oleh sel D akan menurun.
Peningkatan asam lambung dapat pula timbul akibat efek sitokin-sitokin
proinflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1), IL-8 dan tumor necrosis factor
(TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D. Perlukaan sel secara
langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol
merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan perlukaan
mukosa saluran cerna. Pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan
kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi
sel. Kerusakan mukosa yang terjadi menyebabkan kerusakan pembuluh
darah yang mendarahi saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi
perdarahan.
Darah hematemesis bisa dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/
cairan warna merah cerah) atau berubah warna menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi tercampur enzim dan asam lambung.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau
hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam.

E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Presentasi klinis terbanyak perdarahan SCBA adalah hematemesis
(muntah darah), emesis hitam seperti bubuk kopi, dan melena (feses hitam
seperti aspal). Sekitar 30% pasien mengalami hematemesis, 20% melena,
dan 50% keduanya. Sekitar 5% pasien mengalami hematokezia (buang air
besar berwarna merah marun), biasanya jika perdarahan lebih dari 1000
mL. Pasien dengan hematokezia dan tanda hemodinamik tidak stabil perlu
dicurigai mengalami perdarahan SCBA. Gejala klinis non-spesifik adalah
nausea, muntah, nyeri epigastrium, fenomena vasovagal, sinkop, pusing,
lemas dan gejala komorbid pasien (seperti diabetes melitus, penyakit
jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik, dan artritis). Onset dan
perkiraan jumlah perdarahan, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat
perdarahan di keluarga, perdarahan di bagian tubuh lain, kebiasaan minum
alkohol, riwayat konsumsi obat NSAID atau anti koagulan, dan riwayat
transfusi sebelumnya perlu diketahui.

2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah), laju
respirasi, kesadaran, konjungtiva pucat, waktu pengisian kapiler
melambat, suhu badan, tempat perdarahan lain, dan stigmata sirosis
hepatis, merupakan tanda utama yang harus segera dikenali. Takikardi saat
istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan banyaknya darah yang
hilang. Perlu diperhatikan adanya keluaran urin yang rendah, bibir kering,
dan vena jugular kolaps. Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans
muskuler, nyeri tekan lepas, skar bekas operasi, dan stigmata penyakit
hepar kronik. Pada sirosis hepar hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya
ikterus, ascites, spider navi, eritema palmaris, kerontokan pada rambut
pubis, dan edem pada tungkai. Pemeriksaan rektum dilakukan untuk
menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil untuk tes darah samar.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemasangan Pipa Nasogastrik (NGT)
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan memasang pipa
nasogastrik (NGT) kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik
stabil atau sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Pemasangan NGT dapat menilai aspirat yang bermanfaat untuk penilaian
klinis awal. Pada perdarahan SCBA akan keluar cairan seperti kopi atau
cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan masih aktif. Apabila
terdapat darah merah segar, maka pasien membutuhkan evaluasi
endoskopik segera dan perawatan di unit intensif. Apabila terdapat warna
coffee ground (bubuk kopi) maka pasien membutuhkan rawat inap dan
evaluasi endoskopik dalam waktu 24 jam. Selanjutnya dilakukan bilas
lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan
darah pada cairan aspirasi, dianjurkan tetap memasang NGT 12 atau 24
jam. Bila dalam kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu
maka dianggap bukan perdarahan SCBA.
b. Endoskopi
Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SCBA.
Bukan hanya menentukan diagnosis, endoskopi juga dapat mengevaluasi
stigmata yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan ulang.
Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengklasifikasi temuan selama
evaluasi endoskopik, digambarkan sebagai berikut:
● Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot (Forrest IA)
● Ulkus dengan perdarahan aktif merembes (Forrest IB)
● Ulkus dengan pembuluh darah visibel tak berdarah (Forrest
IIA)
● Ulkus dengan bekuan adheren (Forrest IIB)
● Ulkus dengan bintik pigmentasi datar (Forrest IIC)
● Ulkus berdasar bersih (Forrest III).
Pasien dengan risiko tinggi perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien
dengan perdarahan arterial aktif (90%), adanya pembuluh darah visibel tak
berdarah (50%) atau bekuan adheren (33%).

Gambar 2. Stigamata Endoskopi Perdarahan Ulkus Peptikum


A Forrest IA, B Forrest IB, C Forrest II A, D Forrest II B, E Forrest II C, F
Forrest III.

c. Pemeriksaan Lain
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah EKG untuk
pasien lebih dari 40 tahun, BUN dan kreatinin serum pada perdarahan
SCBA karena pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan
kenaikan BUN sedangkan serum kreatinin tetap normal atau sedikit
meningkat. Perubahan elektrolit (Na, K, Cl) yang bisa terjadi karena
perdarahan, hematokrit, trombosit, leukosit, CT, PT, PTT dan pemeriksaan
lainnya sesuai kasus yang dihadapi.

Tabel 2. Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB


SCBA SCBB

Manifestasi Klinis Hematemesis dan atau Hematokezia


Umum melena

Aspirasi NGT Berdarah Jernih

Rasio BUN/Kreatinin Meningkat >35 < 35

Auskultasi Usus Hiperaktif Normal

F. PENILAIAN RESIKO
Sistem skor Rockall memberikan perkiraan risiko
perdarahan dan kematian. Sistem skor ini didasarkan
pada tiga faktor klinis dan dua faktor endoskopik.
Pasien dengan skor ≤2 digolongkan risiko rendah
(prognosis baik), 3-7 termasuk risiko sedang, dan ≥8
risiko tinggi.. Pasien resiko rendah tidak perlu rawat
inap, pasien risiko tinggi perlu dirawat inap di unit
intensif. Skor Blatchford menggunakan tanda klinis dan
hasil laboratorium awal untuk memprediksi perlunya
rawat inap dan intervensi seperti transfusi, terapi
endoskopi atau pembedahan pada pasien perdarahan
SCBA. Skor Blatchford 0 memiliki sensitivitas sebesar
>99% untuk mengidentifikasi pasien yang tidak
memerlukan rawat inap dan intervensi. Skor 1 atau lebih
termasuk risiko tinggi.

Tabel 3. Sistem Skor Rockall


Tabel 4. Sistem Skor Blatchford

G. TATALAKSANA
1. Tata Laksana Awal
Penilaian status hemodinamik dan resusitasi
dilakukan paling awal. Resusitasi meliputi pemberian
cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi
koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan.
Batas transfusi darah adalah jika Hb ≤7,0 g/dL, lebih
tinggi apabila perdarahan masih berlanjut atau
perdarahan masif atau adanya komorbid seperti
penyakit jantung koroner, hemodinamik tidak stabil,
dan lanjut usia. Hemoglobin minimal untuk endoskopi
adalah 8 g/dL, namun jika akan dilakukan terapi
endoskopi, hemoglobin minimal 10 g/dL dan
hemodinamik stabil.
2. Terapi Pra Endoskopi
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien
dengan ulkus peptikum. Suasana lingkungan asam menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga
menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan yang telah terbentuk.
Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam lambung
intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka
panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa. Bila
endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut. ACG (American
College of Gastroenterology) merekomendasikan pemberian PPI bolus 80
mg diikuti dengan infus 8 mg/jam untuk mengurangi tingkat stigmata dan
mengurangi terapi endoskopi.
3. Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam. Pada
pasien risiko tinggi seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi)
yang menetap setelah resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah
segar pada selang nasogastrik, endoskopi dilakukan very early dalam
≤12 jam. Pada pasien dengan status hemodinamik stabil
dan tanpa komorbid serius, endoskopi dapat dilakukan sebelum pasien
pulang. Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif
dan mencegah perdarahan ulang. ACG merekomendasikan terapi
endoskopi untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau
pembuluh darah visibel tanpa perdarahan. Pada bekuan yang resisten
dengan irigasi (bekuan adheren), terapi endoskopi dapat dipertimbangkan
terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan ulang.Terapi endoskopi
tidak direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau bintik
pigmentasi. Penentuan stigmata melalui endoskopi dapat menjadi dasar
pertimbangan terapi. Perdarahan ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi
hemostasis, salah satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan
dengan pemasangan hemoklip, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi.
Epinefrin tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal. Pasien dengan
stigmata risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah visibel,bekuan
darah) memerlukan rawat inap setidaknya 3 hari. Pasien dipulangkan jika
tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi rawat inap lagi. Pasien
dapat memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan ditingkatkan
bertahap. Bila terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat diulang. Jika
tidak dapat dihentikan dengan endoskopi, dapat dilakukan pembedahan
atau embolisasi arterial. Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat langsung
diberi diet lunak dan dipulangkan setelah endoskopi bila status
hemodinamik stabil, hemoglobin adekuat, dan tidak ada masalah medis
lain. Ligasi merupakan terapi endoskopi pilihan untuk varises esofagus
karena kurang terjadi perdarahan berulang, angka kematian rendah,
komplikasi lokal kurang, kurang membutuhkan sesi pengobatan untuk
mencapai eradikasi varises dibandingkan skleroterapi.
Gambar 3. Tatalaksana Endoskopi
4. Terapi Pasca-Endoskopi
Farmakoterapi memiliki peran besar setelah endoskopi pada
perdarahan SCBA karena ulkus peptikum. PPI lebih superior
dibandingkan antihistamin. Data terkini merekomendasikan pemberian
PPI intravena dosis tinggi selama 72 jam untuk pasien risiko tinggi. Pasien
dengan ulkus dasar bersih dapat diberi terapi PPI dosis standar (oral satu
kali per hari). Pasien perdarahan ulkus peptikum yang dipulangkan
direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan dosis PPI
tergantung etiologi dan penggunaan obat lain. Tes H. pylori
direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum. Jika
hasil positif maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Setelah
pemberian terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan
menggunakan urea breath test (UBT) atau H. pylori stool antigen test.
Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir terapi. Jika
terapi gagal mengeradikasi H. pylori, maka perlu diberikan terapi lini
kedua. Diagnosis H. pylori memiliki nilai prediksi negatif rendah pada
pasien perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes negatif dalam kondisi
akut perlu diulang. Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H.
pylori dinyatakan berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS. Bila AINS
tetap diperlukan, sebaiknya dari golongan COX-2-selective dengan dosis
efektif terendah ditambah PPI. Pasien ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-
AINS) perlu diberi PPI jangka panjang. ACG merekomendasikan untuk
menghentikan dan menilai ulang kebutuhan aspirin untuk pencegahan
kejadian kardiovaskular primer. Aspirin perlu dilanjutkan jika digunakan
untuk pencegahan sekunder, idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam 7
hari. ESGE (European Society for Gynaecological Endoscopy)
merekomendasikan pemberian ulang terapi antikoagulan pada pasien yang
memiliki indikasi pemakaian antikoagulan jangka panjang. Saat aman
untuk memulai kembali terapi adalah antara hari ke-7 sampai hari ke-15.
Pemberian kurang dari 7 hari hanya pada pasien dengan risiko trombosis
besar. Pengobatan jangka panjang dengan beta bloker non selektif
menurunkan perdarahan berulang pada varises esofagus dikombinasikan
dengan ligasi endoskopi.
5. Terapi Lain
Penggunaan antifibrinolitik, misalnya asam tranexamat cukup rasional
karena tingginya kadar enzim fibrinolitik pada traktus digestif.
Penggunaanya dapat menurunkan resiko perdarahan berulang, tindakan
operatif, dan mortalitas.
Pada perdarahan variseal, Octreotide (100 ug bolus lanjut 25 ug/jam
infus IV selama 8-24 jam atau hingga perdarahan berhenti) dapat
mengontrol perdarahan akut dengan cara menghambat vasodilatasi
mesenterik yang diinduksi glukagon. Bahan vasoaktif yang lain seperti
somatostatin (250 ug bolus lanjut 250 ug infus 12-24 jam atau sampai
perdarahan berhenti) dan terlipressin juga efektif. Vasopressin diberikan
10 unit/jam bersamaan dengan nitrogliserin untuk mencegah insufisiensi
koroner. Antibiotik (quinolon) direkomendasikan karena dapat
menurunkan infeksi bakteri dan mortalitas.
Gambar 4. Tatalaksana Perdarahan SCBA Non Variseal

H. KOMPLIKASI
Komplikasi perdarahan SCBA dapat timbul dalam beberapa jam hingga
beberapa hari setelah terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah
beberapa minggu setelah terjadinya perdarahan SCBA. Berdasarkan Ferguson
dan Mitchell (2005), komplikasi perdarahan SCBA dapat dibedakan menjadi
komplikasi dini dan komplikasi lambat. Komplikasi dini merupakan
komplikasi yang timbul selama perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah
terjadinya perdarahan SCBA, sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi
yang timbul setelah keluar rumah sakit atau 7 hari setelah terjadinya
perdarahan.
Komplikasi perdarahan SCBA dapat berupa perdarahan ulang dan
kematian. Tingkat kematian dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA
sangat bergantung pada penyebab perdarahan, yaitu variseal atau non variseal.
Pada perdarahan variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup tinggi, sekitar
60%, terutama pada 6 minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi.
Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi
Forrest IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan
variseal, yaitu sekitar 5-15%. Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan
masif yang menimbulkan syok hipovolemik ataupun perburukan kondisi
terkait penyakit-penyakit komorbiditas yang ada pada pasien, seperti penyakit
ginjal kronik, penyakit jantung kongestif, dan kondisi infeksi
I. PROGNOSIS
Total rockall skor 3 merupakan indikator prognosis baik, sedangkan bila
lebih dari 8 mencerminkan resiko kematian yang tinggi. Penyebab varises
(30%) dan resiko perdarahan berulang (50-70%) mempunyai mortalitas yang
paling tinggi. Indikator lain yang dapat digunakan adalah aspirat NGT dan
warna feses.

Tabel 5. Prognosis Perdarahan SCBA


DAFTAR PUSTAKA
Marks, D., & Harbord, M. 2013. Acute upper gastrointestinal bleeding.
Emergencies in Gastroenterology and Hepatology, 1-19.
doi:10.1093/med/9780199231362.003.0001

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). 2012. Konsensus Nasional


Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia.
Jakarta : PGI.

Sauerbruch, T. (2008). Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal


Bleeding: In Reply. Deutsches Aerzteblatt Online.
doi:10.3238/arztebl.2008.0346b

Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. 2014. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Anda mungkin juga menyukai